PETAKA ARWAH DI TANAH MARAPU
PART 1
(Petualangan Wiro Sableng, Ratu Duyung, Gondoruwo Patah Hati dan Naga Kuning di Pulau Humba/Sumba - Negeri Tanah Marapu)
Hawa panas menghampar di seantero kawasan Wendewa. Sejak pagi sampai lewat tengah hari matahari tak berkedip sedikitpun di atas pesisir pantai utara pulau Humba ini. Keadaan kawasan ini jauh berbeda dengan pualu Jawa. Dari bibir pantai sampai ke perbukitan permukaan tanahnya lebih banyak berupa padang rumput dari pada semak belukar ataupun pohon besar. Di kejauhan perbukitan terlihat seperti barisan candi berwarna kekuningan. Ada ratusan bahkan ribuan titik hitam bertebaran di tengah padang rumput. Titik-titik tersebut adalah kawanan kuda liar yang sedang berlarian mencari tempat berteduh.
Di tengah deru tiupan angin laut, iba-tiba dari arah timur terdengar derap kaki kuda disusul munculnya tiga orang laki-laki bertampang gagah. Penunggang kuda paling depan adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya berwarna merah dengan gambar tombak bermata dua bersilang di bagian depan. Kepalanya diikat sehelai kain tenun berwarna hitam. Wajanya masih tampak bugar dengan kumis dan berewok bertumpuk-tumpuk. Penunggang kuda di belakangnya adalah seorang pemuda berkulit terang, berbadan gempal dan berhidung mancung. Ia mengenakan pakaian terbuat dari kain tenun berwarna serba hitam.
Penunggang kuda ke tiga adalah seorang laki-laki yang usianya lebih kurang sama dengan orang yang pertama. Wajahnya beringas, badannya besar tinggi dan berkulit hitam. Ia hanya memakai sehelai celana pendek. Tubuhnya yang hitam tampak berkilat di bawah sinar matahari. Dengan menggunakan kudanya orang ini menyeret seseorang yang keadaanya sudah sangat mengenaskan. Seluruh pakaian dan kulitnya robek di sana sini. Darah berceceran di seluruh pakaian dan tubuh orang malang tersebut. Bebrapa tulangnya yang patah tampak menyembul mengerikan. Sepertinya ia sudah tidak berkutik lagi. Entah pingsan atau sudah meregang nyawa.
Sampai di tepian sebuah muara orang paling depan mengangkat tangan memberi isyarat. Ketiganya berhenti dan memandang ke arah muara sungai yang bentuknya cukup menyeramkan. Tepian muara ini merupakan dinding karang terjal setinggi sepuluh tombak. Di setiap gundukan pasir di bawah sana dipenuhi puluhan bahkan ratusan buaya. Penduduk Wendewa menyebut tempat itu dengan nama Muara Kali Asin.
"Umbu Mara Siwu..." Membuka suara penunggang kuda ke tiga "Bagaimana sudah kita punya rencana?” (Umbu = ciri khas nama untuk kaum Maramba atau bangsawan, tetapi bisa juga digunakan sehari-hari untuk memangil laki-laki).
"Kita tidak perlu tunggu lama, Umbu Atabara..." Jawab orang yang bernama Umbu Mara Siwu. Air mukanya tampak menyimpan ganjalan besar.
Pemilik nama Umbu Atabara sedikit menyentak kudanya, menghampiri pemuda berbaju hitam. "Ama, Umbu Tungga Domu. Tangan siapa sudah yang kasi selesai?" Pemuda yang bernama Umbu Tungga Domu itu menoleh sedikit "Paman saja...” (ama = panggilan untuk anak laki-laki)
Umbu Atabara turun dari kudanya. Crasss! Tali pengikat di belakang kudanya putus. Tubuh malang tersebut tergeletak di tanah. Masih ada gerakan nafas di bagian dadanya pertanda ia masih hidup. Si hitam muka beringas menyeret tubuh itu beberapa tombak ke depan sampai mendekati garis tepi dinding muara. Tubuh mengenaskan itu diangkatnya tinggi-tinggi. "Wulang... Enam tahun engko sakit hati, semoga engko punya hati sudah membatu...." Tangan hitam legam berototnya siap melepar manusia malang itu ke dalam muara namun tiba-tiba tubuh itu menggeliat "Tuan-tuan sekalian... Seluruh alam arwah tanah Marapu akan menyambut saya punya dendam dan kasi balas sampai sepuluh keturunan...." (engko = kau/kamu)
Mendengar ucapan pemuda itu Umbu Mara Siwu membentak "Cepat lempar itu bangkai ke dasar muara!" Umbu Atabara tersentak. Tangannya bergerak. Wuuttt! Tubuh malang itu melayang di atas muara lalu menukik ke bawah lenyap di balik tingginya dinding karang. Tak lama kemudian terdengar dentuman suara benda jauh ke dalam air muara. Puluhan buaya menghambur masuk ke dalam air. Bersamaan dengan itu ketiga orang berkuda berbalik haluan lalu memacu kuda sekencang-kencangnya. Di bawah sana sepotong kayu seukuran manusia terapung-apung di atas air, puluhan buaya mencari ke sana sini, tidak ada terdengar suara cabikan daging, tidak ada tebaran noda darah di permukaan air…
***
Muara Kali Asin tidak pernah tenang sekalipun di malam hari. Angin laut bertiup mengeluarkan suara menderu seram. Udara terasa dingin mencucuk sampai ke dalam tulang. Sewaktu-waktu air muara bergejolak akibat gerakan buaya saling bertarung. Di padang rumput sekekali terdengar ringkikan suara kuda liar saling bersahutan.
Saat malam mulai merayap menuju fajar, di atas permukaan padang rumput tampak melayang satu sosok hitam. Sosok ini melesat cepat sambil memanggul seseorang di bahunya. Tak ubahnya seekor elang malam melarikan mangsa. Di tepi Muara Kali Asin ia meletakkan sosok manusia yang ia panggul. Tampaknya orang yang dipanggul berada dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sebab ketika sosok yang membawanya meninggalkannya ia tetap tidak bergerak ataupun bersuara.
Bayangan hitam melesat ke permukaan muara. Di salah satu dinding karang ia berhenti dan mengetuk. "Adi tana, saya datang...." (Adi tana = adik sayang)
Dari balik dinding karang terdengar jawaban "Kaka tana, masuk sudah, saya sudah lama menunggu…” dinding karang bergeser, satu pintu masuk terbuka, sosok melayang di atas muara ini masuk lalu lenyap di balik pintu dinding karang yang kembali tertutup. (kaka tana = kakak sayang)
Di balik dinding karang tersebut ada sebuah gua yang cukup besar. Dengan diterangi sebilah obor minyak tampak ada tiga orang di dalamnya. Yang pertama adalah sosok jasad Wulang yang terbujur kaku. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya tenang dan tatapan matanya jernih. Sejak tadi ia hanya duduk sambil terus memperhatikan jasad di hadapannya. Sementara orang ke tiga adalah orang yang tadi siang melemparkan jasad Wulang ke dalam muara, Umbu Atabara.
"Adi tana Praingu Watu, bagaimana keadaan pemuda ini?" tanya Umbu Atabara.
"Hanya ada jasadnya kakak, tidak ada nyawanya..."
"Kalau bukan karena Umbu Mara Siwu, saya ingin dapatkan dia dalam keadaan hidup..."
"Tapi Mara Siwu terlalu kuat untuk engko lawan..?."
"Hemmm... Tidak selamanya... " Kata Umbu Atabara. Ia memperhatikan keadaan jasad Wulang. "Kapan tepatnya dia mati?"
"Tepat tengah malam pergantian hari tadi ...!" menjelaskan Praingu Watu
"Semoga saya belum terlambat... " Umbu Atabara mendekati jasad Wulang. Jari tangannya berubah menjadi pisau tajam lalu bret! bret! Bagian dada dan perut jasad Wulang terbelah. Tangan Umbu Atabara menjebol ke dalam. Begita keluar di tangan tersebut tergenggam gumpalan hati, warnanya merah kebiruan. Umbu Atabara meremasnya sekuat tenaga. Gumpalan hati itu hancur luluh menyisahkan sebutir benda berwarna merah sebesar ujung jari. Benda tersebut tampak berdenyut seolah hidup.
"Apa itu?" Praingu Watu bertanya
"Inilah bagian hati yang mengeras akibat sakit hati, kemarahan dan dendam. Benda ini hanya ada di dalam gumpalan hati orang yang sarat tersakiti. Segenap arwah alam kegelapan tanah marapu akan saling berebut memberinya kekuatan..." jelas Umbu Atabara.
"Saya punya tugas hanya selamatkan jasad ini pemuda, kaka tana…” kata Praingu Watu pula.
"Baik adi tana... Terimakasih atas bantuanmu, engko boleh pulang…"
"Saya pamit..." kata Praingu Watu. Ia beranjak menuju pintu gua. Namun tiba-tiba ia merasakan ada sesuatu menyambar punggungnya. Belum sempat ia memastikan, dua totokan telah lebih dulu mendarat di bahu kanan dan pangkal lehernya.
"Umbu Atabara, engko buat apa...?!" tanya Praingu Watu terkejut
Wajah beringas Umbu Atabara menatapnya dengan seringai licik "Tidak lama lagi engko akan segera tahu Praingu Watu.... " Pintu gua terdengar bergeser, sosok hitam besar Umbu Atabara melesat keluar meninggalkan pintu gua yang ternganga. Angin malam bertiup kencang memenuhi ruangan gua. Walau dalam keadaan tertotok namun Praingu watu tetap dapat meraskan dinginnya angin malam.
"Atabara, engko mau ke mana...?" Teriak Praingu Watu tapi tidak ada jawaban.
Sesaat kemudian Umbu Atabara kembali muncul dengan memanggul tubuh seseorang di bahunya. Melihat sosok yang dipanggul dada Praingu Watu berdebar kencang "Jangan sampai...."
Umbu Atabara tertawa mengekeh. Ia membaringkan sosok yang dipanggulnya ke lantai goa. Di bawah remang cahaya obor Praingu Watu dapat melihat siapa orang itu. Seorang gadis muda cantik berkulit sawo matang. Ada tahi lalat di ujung alis sebela kirinya. Dada Praingu Watu bergemuruh kencang. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk membuyarkan totokan namun sia-sia. Kekhawatiran yang teramat sangat segera merayapi pikiran dan seluruh tubuh Praingu Watu.
"Umbu Atabara, jangan engko libatkan saya punya anak dalam ini urusan...!"
Orang yang diperingatkan hanya tersenyum. Dari balik pinggang celananya ia mengeluarkan sebuah pisau terbang bermata tiga. “Kau ingat benda ini Praingu Watu…?” Praingu Watu sesaat meperhatikan benda di tangan Umbu Atabara. Tiba-tiba ia teringat dua puluh tahun silam mengenai misteri kematian istrinya yang tewas oleh senjata yang sama persis dengan benda itu.
“Apa maksudmu, Atabara…”
Umbu Atabara tertawa “Dengar Praingu watu, saya yang bunuh engko punya istri…”
“Suanggi keparat kau Atabara” bentak Praingu Watu. (suanggi = sejenis hantu/setan)
“Tahan engko punya amarah, Praingu Watu… “ Kata Umbu Atabara santai “Malam ini saya akan kasi tambah engko punya sakit hati” Perlahan ia meloloskan semua pakaiannya. Dalam keadaan telanjang tubuh besar tinggi hitam itu mendekati sosok gadis di lantai gua. Kemudian terjadilah kekejian yang membuat seluruh aliran darah Praingu Watu seakan hendak meledak. Dengan deru nafas garang mahluk hitam keji itu mengagahi keponaknnya sendiri.
"Atabara, engko lebih rendah dari jasad budak bernama Wulang itu. Saya bersumpah bahwa saya tidak akan mati sebelum memecahkan engko punya kepala..." bentak Praingu Watu.
Umbu Atabara tertawa mengejek. "Sumpahmu tidak akan sampai Praingu bodoh..."
Setelah puas melakukan kekejiannya, Umbu Atabara menyeret Praingu Watu, dibaringkan di sisi putrinya yang masih dalam keadaan tidak sadar. Jari kiri kanan Umbu Atabara kembali berubah menjadi pisau tajam. Dalam penerangan cahaya obor jari-jari tersebut berkelebat. Dua tubuh terbelah dari dada sampai ke perut. Praingu Watu berteriak setinggi langit. Sekujur tubuhnya bergetar hebat. Sementara putrinya yang dalam keadaan tidak sadar hanya unjukkan getaran di kedua tangan dan ujung kakinya. Kejap berikutnya kedua tangan Umbu Atabara masing-masing menggenggam segumpal hati berwarna merah. Hal yang sama dengan gumpalan hati Wulang kembali terjadi.
Wajah hitam beringas Umbu Atabara unjukkan seringai puas memperhatikan tiga buah benda seukuran ujung jari berwarna merah dan tampak berdenyut. Inilah tiga inti hati milik Wulang, Praingu watu dan putrinya. Tiga inti hati yang dipenuhi sakit hati, kemarahan dan dendam. Masih dalam keadan telanjang sosok Umbu Atabara melesat keluar gua. Kali ini tidak lagi dengan membuka pintu gua melainkan menabraknya hingga hancur berhamburan. Sebagain pecahan batunya berdentuman masuk ke dalam muara, membangunkan puluhan buaya lapar di bawah sana. Sosok manusia keji ini kembali melesat ke salah satu gundukan karang paling tinggi. Tangannya yang memegang tiga inti hati diangkat tinggi ke atas.
"Wahai segenap alam arwah kegelapan tanah Marapu.... Tiga inti hati yang diselimuti denyut sakit hati, kemarahan dan dendam ini ada di tanganku... Berikan segenap kekuatan kegelapan seluruh alam arwah tanah Marapu kepadaku...."
Tiba-tiba tanah bergetar, air muara bergoncang, ombak di pantai menjadi kacau, angin gunung yang sejak tadi bertiup berubah haluan menjadi tak menentu. Lalu terdengar suara riuh diselingi raungan tak karuan. Lolongan suara alam kegelapan terdengar menggidikkan. Di udara tampak asap hitam betebaran ke berbagai arah mengikuti kekacauan arah angin. Kejap
berikutnya seluruh keadaan alam yang berubah itu menggumpal menjadi satu gumpalan hitam pekat sebesar kepalan. Lalu wusss..! Masuk ke ubun-ubun Umbu Atabara. Tubuh besar tinngi hitam itu berguncang hebat lalu terdengar suara teriakan kencang sampai menggoncangkan air muara. Beberapa bagian dinding karang luruh jatuh bergemuruh. Sosok Umbu Atabara terpelanting lalu jatuh di salah satu tanah lapang. Untuk beberapa saat lamanya matanya terpejam. Tarikan nafasnya cepat, jantungnya berdegup kencang.
Menjelang fajar menyingsing di ufuk timur manusia sangar dan keji ini tiba-tiba bangkit. Wajahnya semakin beringas. Ia menatap sekelilingnya. Tangan kirinya bergerak ke atas. Entah datangnya dari mana selembar kain tenun melesat ke arahnya dan langsung menutupi tubuh bagian bawahnya.
"Umbu Mara Siwu, Moju Sana… Manua Kalada… tunggu saya datang….” Teriaknya dengan suara menggelegar.
Di balik salah satu tumpukan padang rumput tidak jauh dari Umbu Atabara sebelumnya berada, ada empat orang mendekam. Orang pertama adalah seorang bocah seusia sepuluh tahun, rambutnya jabrik tampangnya konyol. Orang ke dua seorang nenek bermuka lebih seram dari setan, berjubah hitam, rambut kelabu awut-awutan. Orang ke tiga seorang pemuda bertubuh tegap berotot, mengenakan pakaian serba putih. Tampangnya gagah namun tampak konyol. Orang ke empat adalah seorang gadis cantik jelita. Rambutnya disanggul ke atas digelung sebuah mahkota kecil. Sikapnya anggun dan tenang. Ia semakin cantik dengan kedua matanya yang berwarna biru. Siapakah gerangan mereka ini? Sudah tidak asing lagi mereka adalah Naga Kuing, Gondoruwo Patah Hati, Wiro Sableng dan Ratu Duyung.
"Aku mendengar hantu muara itu menyebut nama Manua Kalada...." kata si nenek muka setan
"Mungkin itu rumah istrinya, Nek…" menyahuti Naga Kuning.
"Bagaimana kalau kita ikuti orang itu, aku menaruh duga dia akan membuat kejahatan besar..."
Naga Kuning mesem-mesem. "Aku tahu nek mengapa kau berhasrat sekali mengikuti muka pantat kuali itu?"
"Memangnya kau pikir aku mau apa?" tanya si nenek pula
"Karena kau sudah kepincut anunya yang sejak tadi gundal gandil terjulur hampir sampai ke lutut..." Kata Naga Kuning sambil menghindari jambakan tangan si nenek
"Bocah edan.... " maki Gondoruwo Patah Hati.
Wiropun tampak senyum-senyum "Apa kau sanggup, Nek...? Menurutku mahluk itu lebih cocok kawin sama kuda... Hahaha"
"Kalian berdua sama edannya" jawab si nenek "Tapi kalau boleh menduga kurasa punya dajal telanjang itu lebih hebat keadaannya dari pada punya Kiai Pauas Samudera Biru, Hihihiii... " akhirnya si nenek ganti tertawa cekikikan. Naga Kuning pencongkan mulutnya. Wiro menyentil telinga Naga Kuning “Memangnya apa yang sudah kalian lakukan…?”
Naga Kuning tidak mau menjawab.
Ratu Duyung memandang ke jurusan lain sambil sembunyikan senyum. Tanpa sengaja ingatannya lari ke saat-saat ia bersama Wiro di Puri Pelebur kutuk. Setelah puas tertawa Wiro mendekati Ratu Duyung.
"Ratu... " kata Wiro pula "Ada baiknya kau intai melalui cermin saktimu..."
"benar..."kata Naga Kuning "siapa tahu kainnya disamber hantu malam… "
“Mengapa kita harus melibatkan diri dengan urusan orang gila itu?” Tanya Ratu Duyung pula.
“Mohon maafmu, Ratu… ini permintaan nenek Gondoruwo Pata Hati…”
Walau agak enggan Ratu Duyung mengeluarkan juga cermin saktinya. Meletakkannya di atas pangkuannya. Ia mulai memantau dalam alur ghaib melalui cermin sakti tersebut. Mula-mula Ratu Duyung hanya melihat padang rumput luas. Kemudian mulai kelihatan punggung orang yang dipantau. Sosok Umbu Atabara tampak melayang di atas padang rumput. Di satu tempat ia berhenti, melihat ke atas lalu melompat. Ratu Duyung melihat bayangan lelaki itu lenyap lalu tiba-tiba kepalanya menyembul di permukaan cermin. Sang Ratu terpekik dan lemparkan cerminnya. Di tempat cermin tergeletak sosok kepala yang menyembul tadi terus keluar diikuti leher, bahu, perut sampai ke kakinya. Setelah utuh sosok ini melompat sambil berkacak pinggang di hadapan Wiro dan sahabat-sahabatnya.
"Siapa kalian? " bentak Umbu Atabara. Suaranya terasa menggetarkan tanah. Namun sekalipun kehadiran orang ini unjukkan wajah beringas, namun Wiro dan Naga Kuning justru merasa lucu karena terinat kejadian sebelumnya.
"Luar biasa tenaga dalam orang ini" Wiro membatin lalu menjawab "Kami tukang angon kuda, Tuan…" katanya sambal senyum-senyum. (angon = menggembalakan ternak)
Mata Umbu Atabara menatap orang di hadapannya satu persatu. Ketika menatap Ratu Duyung jakunnya tampak turun naik. Mendadak darahnya menjadi panas dan berkobar. Namun ia kembali membentak “ Apa itu angon kuda...?”
“Angon kuda itu mandi telanjang di malam hari, Tuan…” Naga Kuning menekap mulutnya
“Sudah berapa lama kalian di sini?”
"Sejak tengah malam, Tuan.... "Kata Wiro lalu tertawa tak karuan. Naga Kuning tidak sanggup lagi menahan tawanya. Gondoruwo Patah Hati sudah mulai ikut-ikutan tertawa, sementara Ratu Duyung juga mulai senyum-senyum.
"Kurang ajar.... Berarti kalian...."
"Hanya melihat anu kuda terjulur... "Kata Gondoruwo Patah Hati sambil pura-pura memijit kepalanya.
Tampang beringas Umbu Atabara tampak bergetar. Pelipisnya mengelembung berdenyut-denyut "Beraninya mempermainkan saya. Mereka ini harus lenyap, kecuali.... "Ia melirik kepada Ratu Duyung. Kakinya membuat gambar lingkaran di tanah, kejap itu pula tanah tempat Ratu Duyung berdiri juga tampak ada lingkaran. Ratu Duyung melangkah mundur tapi terkejut karena tubuhnya seolah ditahan oleh tembok tak kelihatan. Umbu Atabara tersenyum mesum "Tenang anak gadis... Lingkaran itu akan melindungimu dari seranganku....."
Tanpa basa basi lelaki hitam legam ini menghentakkan kaki ke tanah. Kedua tangan didorongkan ke depan. Wusss…! Satu gelombang angin luas biasa dahsyat melabrak ke arah Wiro, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati. Mendapat serangan tak terduga ketiganya masing-masing selamatkan diri. Wiro loloskan dirinya ke dalam tanah. Naga Kuning melompat setinggi tiga tombak. Nenek muka setan mengikuti gerakan Naga Kuning. Sementara Ratu Duyung yang berada di dalam lingkaran tidak merasakan apa-apa. Angin dahsyat yang dilepaskan Umbu Atabara melabrak udara kosong. Namun tetap menimbulkan getaran hebat di atas tanah.
Baru saja Wiro, Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati kembali ke tempat semula, si hitam besar kembali lancarkan serangan. Dari kedua tangannya keluar cahaya hitam bebentuk kerucut, semakin mendekati lawan ukurannya semakin membesar. Bau sangit bulu hewan terbakar menyesakkan pernapasan. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah Wiro. Sadar dirinya mendapat serangan, murid Sinto Gendeng ini lepaskan pukulan sinar matahari menyambuti datangnya serangan lawan. Cahaya terang berkiblat menyilaukan di remang cahaya menuju fajar. Hawa panas menebar melabrak ke arah Umbu Atabara. Dua pukulan sakti bertemu di udara. Gelegar dahsyat terjadi. Dinding karang tepian muara longsor sebagian. sosok Wiro tersapu mental jauh ke atas muara. Darah segar mengalir di sela bibirnya. Semntara Umbu Atabara tidak mengalami apa-apa. Tawanya terdengar di sela-sela sisah letusan.
Dengan cakar kuku apinya yang tajam Gondoruwo Patah Hati merobek lingkaran di sekitar kaki Ratu Duyung lalu gumpalan api di ujung jarinya dilemparkan ke arah Umbu Atabara. Saat itu pula Ratu Duyung terlepas dari tembok semu yang menguasainya. Ratu Duyung langsung melompat dan menyambar cerminnya yang tergeletak. Dari tangannya yang memegang cermin berkiblat sinar putih disertai hawa panas ke arah Umbu Atabara. Sedikit lebih cepat dari gerakan Ratu Duyung api serangan Gondoruwo Patah Hati menyambar kain tenun di pinggang Umbu Atabara. Tak ayal lagi kain tenun penutup aurat tersebut habis terbakar. Umbu Atabara melompat ke dalam padang rumput. Saat itulah serangan cahaya panas dari cermin Ratu Duyung menyambar. Padang rumput terang benderang dilamun kobaran api. Namun di luar dugaan dari balik kobaran api menebar sebuah jaring hitam, langsung meringkus Gondoruwo Patah Hati dan membawanya lari.
“ Intaaaaan…. “ teriak Naga Kuning. Ia mengejar sosok si nenek yang teringkus di dalam jala hitam. Umbu Atabara yang dalam keadaan tidak berpakaian melesat cepat membawa si nenek seperti anak kecil melarikan layangan.
Sementara itu setelah melepaskan serangan ke arah Umbu Atabara, Ratu Duyung memburu sosok Wiro yang melayang jatuh ke muara sungai. Tanpa pedulikan bahaya di dalam sarang buaya lapar tersebut, gadis cantik dari alam ghaib pantai selatan pulau Jawa ini siap melompat terjun. Namun tiba-tiba saatu sosok putih melesat cepat mendahului gerakannya. Menggulung sosok Wiro dengan sehelai kain dan melemparkannya ke tanah tidak jauh dari tempat Ratu Duyung berdiri. Kejap berikutnya sosok yang menolong Wiro menjejakkan kaki di samping tubuh Pendekar 212. Ternyata ia seorang perempuan tua alias nenek-nenek. Perawaknnya tinggi, kulitnya coklat, rambutnya putih disanggul rapi.
Nenek penolong ini menghampiri Wiro. Ia meletakkan sebuah bakul kecil yang berisi buah sirih, biji pinang dan segumpal kapur. Ketiga benda tersebut diremasnya. Dalam sekejap menjadi bubuk dan di taburkan ke atas tubuh Wiro yang terbaring. Telapak tangannya terpentang. Dari tubuh Wiro mengepul asap tipis menebar hawa panas. Cukup lama si nenek melakukan hal itu sampai kemudian Wiro bangun dan duduk bersila.
“Sedikit saja terlambat ini anak sulit untuk disembuhkan…” berkata si nenek
Ratu Duyung duduk di samping sang Pendekar. “Nenek… Saya menghaturkan terimkasih sebab nenek telah menolong sahabat saya…”
Si nenek penolong menatap Ratu Duyung. Lama ia memperhatikan “ina… alangkah cantiknya engko ini… manusia atau malaikat perempuan?” (ina = panggilan untuk anak perempuan)
Ratu Duyung tersenyum “Saya manusia, Nek. Nama saya Ratu Duyung dan sahabat saya ini Wiro Sableng. Kami datang jauh dari tanah Jawa…”
“Tanah Jawa…. “ si nenek mengulangi “ Kami di sini menyebutnya Negeri Tanah Datar…”
Wiro membuka matanya “Nek… saya Wiro menghaturkan terimaksih…”
Si Nenek memperhatikan Wiro dan Ratu Duyung bergantian. “Ada silang sengketa apa sehingga kalian bertarung dengan manusia luar binasa itu…?”
“Kami bertarung secara tidak sengaja. Tenaga dalamnya sulit diukur…” Wiro menerangkan
“Dia menculik salah satu sahabat kami…” Ratu Duyung menambahkan.
“Hindari bentrokan tenaga dalam dengan itu manusia… Dia baru saja menguasai satu ilmu hitam yang luar biasa dahsyat. Seluruh arwah alam kegelapan tanah Marapu ini memberi dia kekuatan….”
Tiba-tiba Naga Kuning muncul dengan wajah penuh kecemasan. “Ning Intan dibawa lari…”
Wiro dan Ratu Duyung menatap ke arah Naga Kuning. Sang Pendekar yang baru saja pulih bangkit berdiri “Kita harus mengejar sekarang…” katanya.
“Berbahaya mengejar jika tidak mengetahui apa-apa tentang itu orang …”
“Nek, waktu kami tidak banyak… kami mengkhawatirkan keselamatan sahabat kami…”
“Saya mengerti. Tapi dengar…. Orang itu tidak bisa dikalahkan dengan kesaktian badani” si nenek memperhatikan Wiro “ Ama, dalam alur pandangan batin, saya punya dugaan bahwa ama membekal satu ilmu yang saya maksudkan… “ (ama = panggilan untuk anak laki-laki)
Murid Sinto Gendeng ini tampak berpikir, seperti bingung. Si nenek kembali berkata “Jika di tanah Marapu ini ama menghadapi satu ilmu kesaktian yang membuat seluruh gerak alam terhenti diiringi suara burung elang menguik, ingatlah apa yang saya katakan… Jika ama salah bertindak nyawa melayang…”
Sosok si nenek bergerak terangkat ke atas. “Waktuku hampir habis...”
“Mohon maaf, Nek… Kalau boleh kami tahu siapakah gerangan nenek ini?” bertanya Ratu Duyung
Untuk pertama kalinya si nenek tersenyum. “Saya punya nama Matu Mara Kani. Orang menyebut saya dengan nama Rambu Fajar Menyingsing sebab saya hanya bisa muncul di waktu fajar menyingsing. Banyak rahasia tanah Marapu ini termasuk menyakut soal diri saya, tapi untuk saat ini cukuplah kalian menyelamatkan sahabat kalian. Pergilah ke arah timur dan temukan suatu tempat yang bernama Manua Kalada. Selamat tinggal, fajar makin terang, pintu bumi mulai tertutup untuk saya” lalu sosoknya terbang ke atas kawasan muara. Perlahan menjadi samar diterpa sinar fajar.... (Manua Kalada = kampung besar).
***
Sebelum mengetahui bagaimana nasib Gondoruwo Patah Hati, terlebih dahulu kita ketahui seperti apa ceritanya Wiro dan ketiga sahabanya tahu-tahu sudah berada di pulau Humba.
Atas petunjuk Kakek Segala Tahu, keempat orang tersebut berjalan menuju timur pulau Jawa. Setelah melewati kawasan Banyu Wangi mereka sampai ke selat Bali. Menurut si kakek kaleng rombeng tersebut di selat itu mereka akan menemukan seseorang yang akan memberikan petunjuk mengenai munculnya kitab sakti yang diberi nama Kitab Penyangga Bumi. Konon kitab tersebut berada di tangan seorang sakti berjuluk Kuntilanak Merak Jingga. Masih belum diketahui kitab tersebut berpangkal pada tokoh sakti golongan putih atau golongan hitam. Namun ketika ada sebuah kapal besar bersandar Wiro dan Naga Kuning dengan kebiasaan usilnya masuk ke kapal dan duduk diam menikmati pemandangan laut. Melihat kapal tersebut mulai bergerak, Ratu Duyung dan Nenek Gondoruwo Patah Hati segera menyusul kedua manusia konyol itu.
Kapal yang mereka tumpangi berlayar jauh hingga beberapa hari. Sampai di suatu pulau yang sangat indah mereka turun dari kapal dan berpetualang di sana. Dari bebarapa penduduk yang mereka temui mereka tahu bahwa pulau itu bernama pulau Humba berjuluk Negeri Tanah Marapu. Penduduk negeri itu sangat baik. Mereka memiliki kebiasaan mengunyah sirih pinang dan piawai menenun kain.
Suatu malam mereka berada di suatu tempat. Di tepi sebuah muara sungai yang dihuni banyak buaya. Atas permintaan Ratu Duyung mereka memilih satu pedaratan tinggi dan bermalam di sana. Menjelang menyingsingnya fajar mereka dibangunkan oleh suara bergemuruh dari dinding muara sungai disusul melesatnya sosok tak berpakaian di remang fajar yang dingin....
PART 2
Tempat yang bernama Manua Kalada adalah sebuah perkampungan penduduk. Tempat ini cukup ramai. Tidak kurang dari lima puluh buah rumah berjejer melingkar di sana. Setiap rumah memiliki bentuk yang sama yaitu segi empat. Bubungannya juga berbentuk segi empat dibuat tinggi beberapa tombak ke atas. Semua rumah beratap daun ilalang yang disemat rapi. Halaman perkampungan itu dipenuhi kuburan dengan batu-batu besar. Ada tiga buah uma Kalada alias rumah besar di bagian utara pekampungan itu. Rumah besar bagian tengah adalah rumah Umbu Mara Siwu. Sedangkan dua rumah besar lainnya adalah milik Umbu Atabara dan Praingu Watu.
Saat ini penduduk Manua Kalada tengah dilanda kebingungan sebab setelah kejadian penghukuman mati atas pemuda bernama Wulang, ternyata Umbu Atabara, Praingu Watu dan Moju Sina putrinya juga ikut menghilang. Umbu Marasiwu dan istrinya Moju Sana serta putranya Umbu Tungga Domu telah turut berupaya mencari.
"Sampai ini hari belum ada petunjuk yang jelas mengenai keberadaan kita punya saudara itu…” Kata Umbu Mara Siwu.
Moju Sana istrinya menimpali “Saya berat curiga bahwa Umbu Atabara terlibat di balik peristiwa ini…”
“ Sebetulnya kita sudah lama curiga keculasan hati paman Umbu Atabara. Hanya saja kita terlalu membiarkan dia dengan segala kelakuannya…” turut bersuara Umbu Tungga Domu.
***
Di luar pagar perkampungan, di balik rimbunnya pohon kesambi mendekam bersembunyi Pendekar 212, Ratu Duyung dan Naga Kuning. Dengan menggunakan cermin saktinya Ratu Duyung menjajagi menjajagi di mana keberadan nenek Gondoruwo Patah Hati.
"Nenek Gondoruwo Patah Hati tidak ada di sekitar sini. Dia disembunyikan di tempat lain. Tapi sulit sekali menjajaginya…” Kata Ratu Duyung. Mendengar hal itu Naga Kuning semakin gusar.
"Kurasa umbu pantat kuali itu menyebabkan daya tolak terhadap cerminmu. Ingat peristiwa ketika pertama kali kau mengintainya…” menimpali pendekar 212.
Naga Kuning tampak gusar. Hampir saja ia melompat dari pohon ketika tiba-tiba pohon terasa bergetar. Wiro, Ratu Duyung dan Naga Kuning saling pandang lalu menoleh ke jalan setapak tak jauh dari tempat mereka berada. Seorang laki-laki besar tinggi hitam bertelanjang dada melangkah menuju gerbang perkampungan. Kulitnya berkilat-kilat di bawah terpaan sinar matahri. Setiap langkahnya menimbulkan getaran di tanah yang ia pijak.
"Lain yang dicari lain pula yang muncul. Biang sinting ini ada di sini…” Kata Wiro
"Penculik keparat...!" kata Naga Kuning geram. “Ayo kita hajar mahluk gendeng itu…”
“Jangan gegabah… salah-salah kita yang celaka. Ingat petunjuk dari Rambu Fajar Menyingsing…!” kata Ratu Duyung.
PART 3
Di pintu gerbang perkampungan manusia besar hitam berhenti. Orang ini bukan lain adalah Umbu Atabara. Dengan beringas ia menghentakkan kaki. Tanah berguncang hebat seolah dilanda gempa. Atap rumah penduduk sebagian jatuh berjelepakan. Sontak para penduduk riuh, berhamburan keluar dari dalam rumah.
"Umbu Mara Siwu... keluar!!!" Umbu Atabara membentak membahana.
Dari dalam rumah besar paling tengah melesat tiga bayangan. Dalam sekejap Umbu Mara Siwu dan istrinya serta anaknya sudah saling berhadapan dengan Umbu Atabara. Tampang Umbu Atabara makin beringas. Sementara Umbu Mara Siwu unjukkan wajah tidak senang.
“Sepertinya para umbu-umbu itu akan bertarung habis-habisan…” Kata Wiro di atas pohon sambal garuk-garuk kepala.
“Itu lebih baik dari pada mereka bercumbu habis-habisan…” menjawab Naga Kuning menimpali. Keduanya lantas tertawa perlahan.
"Atabara. Dua hari menghilang tanpa kabar. Ke mana saja engko pergi…” menegur Umbu Mara Siwu
“Saya pergi mempersiapkan engko punya kuburan, Mara Siwu…!”
Walau merasa aneh dan jelas tidak senang dengan kemunculan adiknya yang menunjukkan sikap tidak biasanya, Umbu Mara Siwu masih bisa menahan diri.
“Sebenarnya ada apa dengan engko, Atabara?” Moju Ana, istri Umbu Mara Siwu menengahi.
Umbu Atabara menatap tejam ke arah Moju Ana dan Umbu Tungga Domu. Dari wajahnya tampak ada gemuruh perasan yang sudah lama disembunyikan.
“Hari ini saya mau kasi selesai riwayat Umbu Mara Siwu, mahluk culas ini…” katanya sambal menunjuk geram kepada Umbu Mara Siwu.
“Bukankah kalian dua saudara kandung, jika ada persoalan bisa diselesaikan baik-baik di rumah…” Kata Moju Ana pula
“Mohon maaf Paman…” menambahi Umbu Tungga Domu. Pemuda gagah ini tunjukkan sikap sopan. “Bukankah selama ini tidak ada silang sengketa di antara kita…?”
“Betul… tapi hari ini semuanya akan jelas…!”
Amarah Umbu Mara Siwu mulai bangkit “Lalu apa yang kau mau, Atabara..?”
“Saya mau kasi kembali engko punya nyawa ke alam arwah. Supaya saya punya hak saya kembali dengan wajar…”
“Hak apa, Atabara sinting?”
“Jangan pura-pura lupa Mara Siwu bodoh. Ingat dua puluh tahun silam. Kita punya bapa kasi persyaratan jika saya bisa lebih dulu menikah maka semua kekuasaan atas Manua Kalada ini menjadi milik saya. Saat itu Moju Ana tengah mengandung anak saya tapi engko rampas dan kalian dua menikah… selama ini saya tidak bisa lawan karena engko lebih sakti tapi hari ini engko punya nyawa akan saya habisi Mara Siwu”
Apa yang diucapkan Umbu Atabara tidak mengejutkan bagi Umbu Mara Siwu dan istrinya, tapi lain halnya dengan Umbu Tungga Domu yang tidak tahu apa-apa.
“Atabara…” menimpali Moju Ana “Satu bulan sebelum kami menikah engko memang memperkosa saya tapi Muri masih menyelamatkan saya dari aib besar. Saya tidak mengandung benih akibat perbuatanmu…” (Muri = Yang Kuasa)
“Lalu mengapa baru delapan bulan kalian menikah Umbu Tungga Domu sudah lahir?”
“Dia lahir lebih dulu dari waktunya…”
“Omong kosong…! “ bentak Atabara “Mara Siwu bersiaplah untuk jadi bangkai…”
"Atabara, cukup sudah! Engko sendiri yang cari mati...” balas membentak Umbu Mara Siwu. Tangannya bergerak, jari-jarinya terpentang ke atas. Tiba-tiba di langit yang sedang terang tanpa awan sedikitpun menyambar cahaya kilat. Semua orang yang menyaksikan menekap telinga dan mencari tempat perlindungan. Tangan Umbu Mara Siwu bergetar menebar hawa panas. Kejap berikutnya gelegar petir dahsyat menghantam telak tubuh Umbu Atabara. Umbu Tungga Domu dan ibunya melompat dua tombak ke belakang. Umbu Atabara terpelanting sampai lima tombak, terhempas di salah satu gundukan tanah bercampur karang. Inilah salah satu pukulan sakti yang sangat ditakuti di Pulau Sumba. Pukulan Marapu Petir. Pemilik ilmu ini bisa menggunakan petir alam kapanpun dia menginginkannya.
PART 4
Umbu Mara Siwu turunkan tangannya. Ada penyesalan dihatinya melihat tubuh adiknya hitam hangus. Namun alangkah terkejutnya ia setelah melihat apa yang kemudian terjadi. Belum pernah seorang lawanpun lolos dari kematian jika terkena serangannya. Umbu Atabara bangkit sambil ganda tertawa. Tubuhnya kembali pulih seperti semula.
"Muri.... Ilmu setan apa yang dimiliki adik kurang ajar ini...?” Membatin Umbu Mara Siwu.
"Engko masih penasaran Mara Siwu...?" Umbu Atabara mengejek "kasi keluar semua kekuatanmu..."
Umbu Mara Siwu masih tidak percaya. Dari balik ikat pinggangnya Ia mengeluarkan sebilah tombak kecil bermata dua. Ketika ia mengacungkan senjata itu ke langit tiba-tiba langit berubah gelap. Awan kelabu menutupi langit entah dari mana datangnya. Gelegar guntur sabung menyabung. Kilat menyambar kian kemari. Debu dan kerikil berterbangan, sebagian atap rumah penduduk jatuh berhamburan. Sosok Umbu Mara Siwu mengepulkan asap panas. Sambil berteriak ia acungkan senjatanya ke arah Umbu Atabara. Puluhan petir menyambar. Inilah pukulan paling ganas yang dimiliki Umbu Mara Siwu. Marapu Petir Menebar Malapetaka.
Sosok Umbu Atabara lenyap di lamun kobaran petir. Sesaat kemudian terdengar ledakan dahsyat. Tubuh besar tinggi hitam itu terlempar ke udara, hancur tercabik-cabik lalu jatuh berjelapakn di atas tanah. Umbu Mara Siwu tampak tersenyum puas. Namun mendadak senyumnya lenyap seolah direnggut setan. Tebaran tubuh Umbu Atabara kembali menyatu utuh seperti semula. Begitu sosoknya utuh kembali, tangan kirinya menghantam ke depan. Satu kekuatan tak terlihat menderu ganas ke arah Umbu Mara Siwu. Menghantam telak di bagian dada. Sosok Umbu Mara Siwu terlempar tiga tombak ke belakang. Jatuh bergedebuk namun hebatnya segera bisa bangkit lagi.
Umbu Atabara hantamkan kakinya ke tanah. Getaran hebat seolah gempa melanda kembali terjadi. Ia dorongkan tangan kanan ke depan. Serangkum sinar hitam disertai gelombang angin yang luar biasa dahsyat menderu ke arah Umbu Marasiwu. Bau tubuh hewan terbakar tercium menyengat. Di depan sana sosok Umbu Mara Siwu tiba-tiba amblas masuk ke dalam tanah. Serangan dahsyat Umbu Atabara menghantam perumahan penduduk. Sepuluh buah rumah yang berjajar dalam satu garis lurus tersapu habis. Melesat jauh sampai ke pinggiran pantai. Beruntung sudah tidak ada penghuni rumah-rumah tersbut. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Badai Marapu Menggusur Bumi.
Ketika sosok Umbu Mara Siwu kembali muncul di permukaan tanah, Umbu Atabara berkacak pinggang sambal tersenyum mengejek. Lalu manusia tinggi hitam ini menekuk lutut kanan ke tanah. Telapak tangan kanan di tekankan ke permukaan tanah kemudian didorongkan ke atas. Saat itulah terjadi satu hal yang mengejutkan. Tiba-tiba seluruh gerak alam terhenti. Angin berhenti bertiup, debur ombak di pantai tidak terdengar, suara hewan juga tak satupun terdengar. Untuk sesaat alam benar-benar hening. Dalam keheningan tersebut terdengar menggidikkan suara elang menguik seolah suara panggilan kematian. Kemudian hawa dingin perlahan menghampiri Umbu Mara Siwu. Tampang Umbu Mara Siwu mendadak pucat “Angin Marapu Menyekap Arwah…” gumamnya. Ilmu ini merupakan ilmu paling mengerikan di Tanah Marapu. Sebab setiap orang yang terkena pukulannya memang tidak akan mengalami kematian yang menyakitkan akan tetapi rohnya akan tersekap di alam ghaib selama bumi masih terbentang.
PART 5
Dalam saat genting itu tiba-tiba dari kerimbunan pohon kesambi melesat satu bayangan kecil berambut jabrik. “Penculik haram jadah, makan kakiku…”. Satu tendangan dialiri tenaga dalam penuh menyasar ke arah kepala Umbu Atabara. Buuukkk!!! Tumit menghantam telak di bagian pelipis. Orang yang kena tendangan terdengar melenguh tapi tak bergerak sedikitpun. Sebaliknya sosok penyerang terpental jauh dan berteriak kesakitan. Sebelum sosoknya menghantam salah satu pohon kelapa, dari arah yang berlawanan melesat bayangan putih menyambutinya. Hampir bersamaan dengan itu muncul pula satu sosok hitam bermanik-manik biru.
Sosok yang tiba-tiba kirimkan tendangan tadi bukan lain adalah Naga Kuning. Ia gagal meremukkan kepala Umbu Atabara. Sebaliknya kakinya saat ini terasa sakit dan sulit untuk digerakkan. Masih untung Wiro dan Ratu Duyung segera muncul. Sementara Umbu Mara Siwu kebagian nasib naas. Tubuhnya jatuh bergedebuk. Mata terpejam. Tidak ada luka atau lelehan darah dari tubuhnya. Ia persis seperti orang yang sedang tertidur lelap. Moju Sana dan Umbu Tungga Domu memburunya. Sontak keduanya menangis histeris.
Moju Sana bangkit lalu mendekati Atabara. “Kasi mati sudah kami semua, supaya puas engko punya tali perut…” Umbu Atabara mencekal lehernya. Melihat hal itu Umbu Tungga Domu melesat ke udara lalu kirimkan satu tendangan bertenaga dalam tinggi. Sasarannya adalah bagian kepala. Tangan kiri Umbu Atabara bergerak, jari-jarinya terpentang. Sosok Umbu Tungga Domu terhenti, menggantung di udara.
Saat itu Naga Kuning yang kakinya sudah pulih membentak “Umbu penculik… kembalikan sahabat kami…!” sebelum si bocah kembali lakukan serangan, Wiro dan Ratu Duyung bertindak lebih dulu. “Ingat, hindari beradu tenaga dalam dengan mahluk setan itu…” bisik Sang Pendekar. Ratu Duyung menangguk. Wiro mencabut kapak saktinya. Hawa panas menghampar diiringi suara ribuan tawon mengamuk. Wiro menyergap Umbu Atabara. Menghujaninya dengan serangan mata kapak. Sang pendekar tahu bahwa dalam hal tenaga dalam dia boleh kalah tapi dalam hal ilmu silat jelas ia jauh lebih unggul. Kapak saktinya menderu. Satu tebasan tak terelakkan menghantam tangan Umbu Atabara yang sedang mencekik Moju Sana. Tangan itu terputus. Ratu Duyung segera menyembar tubuh perempuan yang sudah hampir mati lemas itu sambil kilatkan cermin saktinya untuk mempengaruhi pandangan mata Umbu Atabara. Naga Kuning melesat ke atas menangkap sosok Umbu Tungga Domu yang masih mengapung di udara.
“Kurang ajar…” bentak Umbu Atabara. Amarahnya meledak-ledak. Ia memperhatikan Wiro, Ratu Duyung dan Naga Kuning. “Kalian tiga cari mati jauh-jauh ke pulau Humba ini…!!”
“Jangan banyak bicara! Kembalikan sahabat kami…”
“Cuiiihhhh…” Umbu Atabara meludah sengit “Nenek muka hancur itu sudah lenyap ke alam arwah. Kalianlah yang akan segera menyusul. Kecuali… ?” ia menatap penuh gelora nafsu kepada Ratu Duyung. “Nona cantik bermata biru, lihatlah aku hitam dan kau putih mulus... Bukankah pasangan yang cocok... Kita akan memiliki anak-anak yang gagah dan cantik..."
“Impianmu sungguh manis, Umbu Gagah. Tapi aku ingin kau sekali lagi menunjukkan ilmu maha dahsyat yang tadi kau pergunakan untuk melenyapkan Umbu Mara Siwu…”
“Hahahaaa….” Umbu Atabara tertawa membahana. Puas tertawa ia kembali menatap sang Ratu. Kali ini dengan tatapan menyala-nyala penuh hasrat mesum. “Istriku sayang… Katakan siapa yang harus kulenyapkan pertama kali…?”
“Dia…” Ratu Duyung menunjuk ke arah Wiro. Melihat sang Pendekar tersenyum sinis padanya, Umbu Atabara tertindih amarah meluap-luap “Anak muda, sayang sekali kekasihmu ini harus jadi istriku dan pernikahan kami harus melangkahi mayatmu..."
Umbu Atabara menekuk sebelah lututnya. Dengan kekuatan tak terukur ia menepukkan telapak tangannya ke tanah lalu mengangkat tangan tersebut terpentang ke langit. Lagi-lagi terjadi satu keanehan seperti sebelumnya. Seluruh gerak alam terhenti. Angin, ombak laut, binatang bahkan semua orang tidak ada yang terdengar bersuara. Dalam sesaat alam terasa begitu hening senyap. Di tengah keheningan itu terdengar menggidikkan suara elang menguik. Panggilan kematian. Umbu Atabara telah menerapkan ilmu Angin Marapu Menyekap Arwah.
“Wiro… saatnya…” Ratu Duyung memberi isyarat. Sang pendekar duduk bersila merapal satu ilmu kesaktian yang ia dapat dari alam ghaib samudera selatan pulau Jawa. Ilmu kesaktian yang ia dapat dari Nyi Roro Manggut. Meraga Sukma.
Ketika hawa dingin pukulan Umbu Atabara mulai mejalar mendekati sosok Pendekar 212. Saat itu pula sukma Wiro bergerak bangkit. Inilah yang Rambu Fajar Menyingsing maksudkan dengan bukan ilmu badani. Dengan menerapkan ilmu ini maka Umbu Atabara tidak dapat menguasai sukma lawannya. Dengan tidak diketahui Umbu Atabara, sukma Wiro melesat ke arahnya. Tangan sukma itu merogoh ke balik dada si manusia tinggi besar hitam itu. Kejap berikutnya sukma tersebut kembali ke jasad aslinya. Di tangan kanan sang pendekar tergenggam tiga buah benda bulat kecil berwarna merah dan tampak berdenyut. Tiga inti hati yang dipenuhi kekuatan kegelapan alam arwah.
Umbu Atabara merasakan dua keanehan. Pertama ia tidak menemukan roh di dalam tubuh Wiro. Kedua ia merasakan kekuatannya sangat jauh berkurang. Ia menghempaskan tangannya ke tanah. Ilmunya buyar. Di hadapannya ia melihat di telapak tangan Wiro tiga inti hati yang seblumnya ada di dalam dadanya. Mendadak ia menjadi ketakutan karena menyadari kekuatan alam arwah dalam dirinya sudah meninggalkannya.
Keaneah kembali terjadi. Tiba-tiba udara terasa pengap. Suara riuh tak terlihat seolah berseliweran tak karuan. Tanah bergetar. Lalu terlihat banyak bayang-bayang manusia di udara. Di antara bayangan-bayangan samar tersebut ada sosok Gondoruwo Pata Hati dan Umbu Mara Siwu. Naga Kuning berteriak memanggil. Tapi sosok si nenek tampak melesat ke arah selatan lalu lenyap di kejauhan.
“Umbu dajal arang neraka… Kau apakan nenek kekasihku…” terdengar suara membentak marah di susul satu bayangan kecil berambut jabrik melesat ke arah Umbu Atabara. Lalu… praakk! Satu tendangan mendarat telak di kepala Umbu Atabara. Sosok manusia besar hitam ini roboh ke tanah dengan kepala pecah.
Tiba-tiba Umbu Mara Siwu terbangun. Istri dan anaknya terkejut.
“Terimakasih Muri…. “ Katanya berucap.
Ternyata setelah tiga inti hati dihancurkan, semua arwah yang terperangkap dengan ilmu Angin Marapu Menyekap Arwah kembali dengan sendirinya ke jasad kasarnya selama jasad tersebut masih bisa bertahan hidup tanpa makanan dan minuman yang masuk ke tubuhnya. Tapi jika melewati batas kemampuannya maka jasad tersebut akan benar-benar mati dan arwahnya menjadi tawanan dalam penjara ghaib.
***
Dengan bantuan cermin sakti Ratu Duyung, ketiga sahabat ini berhasil menemukan keberadaan Gondoruwo Patah Hati.
“Sial betul nasibku…” kata si nenek “kalau terlambat kalian mengeluarkan aku dari sekapan ghaib itu maka jasadku akan benar-benar menemui kematian mengenaskan….”
Wiro senyum-senyum sambil garu-garuk kepala “Nek… seturut cerita Naga Kuning. Sewaktu umbu edan itu melarikanmu dia dalam keadaan telanjang karena pakaiannya kau hanguskan dengan ilmu kuku apimu…?”
Si nenek menatap Wiro dengan menduga-duga karena dia sudah paham otak bocah sableng itu. “Lalu apa yang ingin kau tanyakan?”
“Apakah kau sudah berpuas-puas mata melihat anu kuda di bawah pusarnya... Hahaaaa…”
“Dasar sableng….” Kata si nenek
Naga Kuning juga mulai tampak senyum-senyum “Jadi sekarang kau sudah tahu kan, Nek … punya siapa yang keadaanya lebih hebat… punyaku atau punya umbu pantat kuali itu….” Tangan si nenek bergerak, Naga Kuning mengelakkan jeweran di telinganya. Ratu Duyung dan Wiro tertawa melihat tingkah mereka….
***
TAMAT
0 $type={blogger}: