Kerajaan Perut Bumi

Kerajaan Perut Bumi

Wiro Sableng

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Episode

Kerajaan Perut Bumi


Bab 1

Wiro Sableng berlari dengan menggunakan jurus Kaki Angin. Tubuhnya seakan berubah menjadi bayang-bayang. Andai saat itu ada seseorang yang melihat, tentu dirinya akan dianggap setan gentayangan atau paling tidak mahluk jadi-jadian.

Dalam kabut yang begitu pekat sulit bagi siapapun untuk bisa berjalan, apalagi sampai berlari dengan kecepatan setinggi itu. Jangankan manusia biasa, seorang yang sangat sakti mandraguna sekalipun akan kesulitan. Berlari secepat dari yang dilakukan Wiro Sableng saat ini sudah pasti, sosoknya akan menabrak tebing atau benda di depannya karena layaknya dikegelapan malam, kabut putih pekat membutakan mata.

Wiro Sableng sendiri mampu melakukan perjalanan secepat itu bukan karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari para pendekar sakti lainnya. Kabut Putih yang dibuat orang-orang Kerajaan Perut Bumi bukan kabut biasa. Menurut Kakek Segala Tahu, jangankan manusia, Dewa sekalipun tak mampu menghilangkan kabut yang beberapa tahun ini memenuhi seluruh dataran Pulau Jawa dan Andalas. Dia mampu melakukan lari secepat angin berkat bantuan dari Kakek Segala Tahu. Orang tua itu memberikan sejenis ramuan pada dua matanya, dibarengi dengan bacaan mantra. Meskipun Wiro Sableng merasa seperti kedua matanya terbakar, tapi itu tidak terlalu lama. Kejapan berikutnya dia merasakan kesejukan dalam rongga matanya. Dan pada saat itu pula, penglihatannya jauh lebih tajam dari sebelumnya.

“Coba kau pergunakan Ilmu Menembus Pandangmu.”

Walaupun sesaat Wiro sempat ragu akhirnya ia ikuti juga apa yang diperintahkan Kakek Segala Tahu. Wiro Sableng alirkan tenaga dalam ke kedua matanya, dalam sepersekian detik, penglihatannya jauh lebih tajam. Pemuda ini terkejut bukan main. Ini kali pertama dia mampu mempergunakan ilmu itu setelah sekian lama dia merasa sia-sia setiap kali mencoba. Ratu Duyung yang sejak tadi memperhatikan raut muka si pemuda tampak cemas. Menunggu keterangan yang keluar dari mulut sang pendekar.

“Ajaib!” pekik Wiro. “Aku bisa pergunakan ilmu ini. Ratu, aku bisa melihat keadaan sekitar. Ya Tuhan .... setelah sekian lama aku merasa tidak berguna, akhirnya ....” Wiro hendak memperbanyak aliran tenaga dalam pada kedua matanya, maksudnya agar jangkauan penglihatannya bisa lebih jauh. Tapi Kakek Segala Tahu cepat menepuk bahu si pemuda.

“Wiro, hentikan! Jangan kau tambah lagi.”

Ratu Duyung yang melihat itu langsung bertanya penasaran. “Kenapa, Kek? Bukankah ini kesempatan kita untuk tahu di mana saja tempat persembunyian para sahabat yang lain. Agar kita bisa menemui mereka semua, merencanakan apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan bencana ini?”

Kakek Segala Tahu mendongak ke atas. Menggoyangkan kaleng rombeng yang ada pada tongkatnya. Suara nyaring menggema. Memekakan telinga. Dalam sebuah goa yang hanya di terangi obor kecil dia seakan melihat sesuatu. Padahal, jangankan orang buta, Wiro dan Ratu Duyung yang memiliki mata normal sekalipun tak mampu melihat apa-apa di langit-langit goa, kecuali lempengan batu dan cadas hitam berlumut.

“Aku mendengar ada getaran halus di luar goa ini. Itu pasti Ilmu Laknat milik orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Kalau mereka tahu ada getaran tenaga dalam yang kau pancarkan, celaka kita. Bukan hanya matamu yang akan dibuat buta oleh mereka, kita semua akan dibikin mampus.”

Wiro Sableng mengusap wajahnya. Tengkuknya mendadak terasa dingin. Beruntung tadi ia secepat mungkin memutuskan pengerahan tenaga dalam saat Kakek Segala Tahu memerintahkan untuk menghentikan, kalau terlambat sedikit saja, mata dia bisa buta.

“Ilmu Laknat para Kerajaan Perut Bumi itu bikin seluruh kepandaian kita benar-benar tidak berguna!”

Kakek Segala Tahu terkekeh. “Karena itu, Wiro, aku meminta kau untuk selalu waspada dan hati-hati. Terlambat sedikit saja bukan hanya ilmumu yang gak berguna, dua matamu pun cuma jadi pajangan saja, hihihi....”

“Dasar Tua Bangka geblek! Dalam keadaan begini dia masih bisa tertawa!” Wiro mengumpat dalam hati. Sementara Ratu Duyung hanya bisa menggeleng tak percaya melihat sikap Kakek Segala Tahu.

“Ah, sejak orang-orang Perut Bumi itu bikin kekacauan, kamu seperti kehilangan jati dirimu, Wiro. Kamu mudah tersinggung. Dan sejak pertemuan kita aku tak pernah mendengar kamu tertawa, hahaha .... atau jangan-jangan kekonyolanmu sudah hilang, berganti rasa takut yang berkepanjangan.”

Meskipun si orang tua seakan tahu isi hatinya, Wiro Sableng tidak terkejut. Dia hanya bisa melirik ke arah Ratu Duyung yang sampai saat itu hanya memperhatikan dirinya dan Kakek Segala Tahu.

“Bencana yang menimpa Pulau Jawa dan Pulau Andalas saat ini terlalu banyak mengorbankan jiwa Kek. Aku memang sableng, tapi untuk bisa tertawa dalam situasi genting begini rasanya tidak mungkin aku lakukan. Mengingat sampai saat ini kita masih tidak tahu, apakah tokoh-tokoh silat yang pernah kita kenal masih hidup atau mereka sudah meninggal? Kabar eyang guru saja aku tidak tahu.”

“Ah, soal nenek bau pesing itu kamu gak perlu mengkhawatirkan. Aku punya firasat dia baik-baik saja. Aku yakin dia sedang bersembunyi di suatu tempat bersama beberapa tokoh lain.”

“Kek,” Ratu Duyung yang sejak tadi hanya diam mengemati ikut bicara, “katamu setelah Wiro berhasil mempergunakan Ilmu Penembus Pandang akan ada tugas yang harus segera dia laksanakan.”

“Astaga! Untung kamu mengingatkan. Kalau tidak, semua usaha kita sia-sia.” Seakan melihat kakek ini berpaling ke Wiro Sableng. “Wiro, dengar ucapanku baik-baik. Berlarilah secepat yang kau mampu ke arah utara. Ketika kau sudah melihat puncak gunung tanpa mempergunakan Ilmu Penembus Pandang, maka ambil arah kiri. Sejauh sepeminuman teh kau akan temukan sebuah tebing yang sangat dalam. Di sana kamu akan mendapat pertanda.”

“Lalu apa yang aku lakukan setelah melihat pertanda itu, Kek?”

Kakek Segala Tahu menggeleng. “Aku hanya mendapat petunjuk sebatas itu. Bergegaslah! Waktumu tidak banyak. Ilmu penglihatanmu ada batasnya. Kalau sampai ilmu itu hilang dan kau belum sampai tebing itu, maka celakalah kita semua. Dunia persilatan berada dalam bahaya besar. Penduduk bumi akan mengalami kiamat mengerikan yang dibuat orang-orang laknat Kerajaan Perut Bumi.”

Wiro Sableng sampai membeliak mendengar keterangan si orang tua. Bukan tentang kiamat yang mengerikan itu, tapi tentang ilmu yang kini mampu membuatnya melihat dengan jelas, tanpa terhalang kabut. Dia mengira ilmu itu akan bertahan selama-lamanya seperti halnya ilmu kesaktian lainnya, nyatanya memiliki batas waktu.

“Kek, berapa lama ilmu itu bertahan?” Ratu Duyung yang tampak jelas mencemaskan keselamatan Wiro kembali bertanya.

“Semakin lama dia di sini, semakin sedikit waktu yang dimiliki pemuda sableng kekasihmu.”

“Wiro!” Ratu Duyung memegang lengan sang pendekar ketika dilihatnya hendak pergi.

“Ratu, aku harus cepat. Aku gak mau semua pengorbanan kita selama ini sia-sia.”

“Aku ikut bersamamu!”

Wiro menggeleng cepat. “Tidak! Kau tetap di sini. Lagian kau tahu sendiri kan, seluruh kepandaian yang kita miliki tak ada artinya tanpa mampu melihat.”

“Kalau begitu kau harus berjanji kembali dengan selamat.”

Wiro Sableng tersenyum. “Aku berjanji.”

Ratu Duyung memeluk tubuh kokoh sang pendekar. Wiro Sableng membalas pelukan sang ratu dengan penuh kehangatan. Suara batuk-batuk mengejutkan keduanya. Diiringi dengan senyuman Wiro telah bekelebat keluar dari goa. Dalam sekejap sosoknya telah menghilang di telan kabut yang memenuhi seluruh dinding goa.

Seperti yang dikatakan Kakek Segala Tahu Wiro Sableng menghentikan larinya saat puncak gunung terlihat olehnya tanpa mempergunakan Ilmu Penembus Pandang.

“Kakek itu memintaku untuk mengambil arah kiri.” Wiro terapkan lagi ilmu penembus pandang ke arah kiri. Ia sangat terkeju ketika melihat jalan yang harus dilaluinya ternyata sebuat lereng batu berlumut. Bukan itu saja, di kejauhan juga ia melihat banyak sekali bangkai binatang. Wiro menduga binatang-binatang itu terjatuh akibat salah jalan.

Wiro kerahkan sepertiga tenaga dalam. Ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai titik sempurna berhasil membuat tubuhnya melompat sejauh beberapa tombak dari batu satu ke batu lainnya. Ia harus ekstra hati-hati. Karena sekali ia salah melompat atau hilang sedikit saja keseimbangan tubuhnya maka tak ampun lagi, sosoknya akan terperosok jatuh ke jurang dan nasibnya akan sama seperti bangkai binatang yang ada di bawah sana.

“Tebing!” Wiro berseru tegang ketika sosoknya hampir saja terjatuh ke jurang. “Pasti tebing ini yang dimaksud Kakek Segala Tahu.” Wiro mencoba melihat ke dalam. Tak ada apapun selain warna hitam pekat, menandakan tebing batu itu teramat dalam. Ia bisa saja menambah tenaga dalam ke mata untuk bisa melihat lebih dalam, namun ia teringat dengan ucapan Kakek Segala Tahu agar tidak mempergunakan tenaga dalam melebihi dari batas yang sudah ditentukan.

“Apa yang harus aku lakukan? Mana tanda yang katanya akan muncul?” Wiro memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda apapun yang terlihat. Hanya puluhan bangkai binatang yang membusuk, menyengat pernapasan.

“Sialan! Terlalu lama aku di sini bisa ambrol isi perutku karena bau busuk ini!” Baru saja Wiro Sableng mengumpat, sebuah benda hitam dengan kecepatan tinggi berdesing mengarah ke kepalanya dari belakang. Wiro yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak terkejut bukan main. Dia berteriak dan merundukan kepala. Benda hitam berdesing setengah jengkal di atas kepalanya. Hempasan anginnya saja terasa panas menyengat.

“Pembokong, pengecut!” maki Wiro bersama ledakan keras dari benda hitam yang menghantam batu sebesar gajah. Melihat keganasan senjata rahasia musuh Wiro siap siaga dengan tangan kiri menyiapkan Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera sementara tangan kanan menyiapkan Pukulan Matahari. Diam-diam hati pendekar ini mulai meragukan petunjuk yang diberikan Kakek Segala Tahu. Jangan-jangan orang tua itu salah dan kini dia berada dalam kekuasaan Kerajaan Perut Bumi.

Dari arah serangan tadi melesat tiga sosok berpakaian hitam. Wiro mundur dua langkah dan memperhatikan penuh waspada tiga sosok di depannya. Walaupun ia tidak tahu apakah mahluk yang kini berada di hadapannya sebangsa dedemit penunggu jurang atau manusia terkutuk yang selama ini membuat bencana. Wiro pun tidak bisa mengenali siapa orangnya. Selain ketiga manusia itu mengenakan jubah hitam juga wajahnya ditutupi dengan sejenis kain yang membentuk topeng ala ninja.

“Bangsat bertopeng, siapa kalian? Mengapa membokong aku secara pengecut? Apa kalian salah satu komplotan manusia jahanam dari Kerajaan Perut Bumi?”

Mendapat bentakan keras menggelegar ketiga manusia berjubah hitam ini saling pandang. Kalau tidak terhalang kain tentu akan terlihat dengan jelas, betapa terkejut ketiga manusia ini. Bukan hanya kerena dahsyatnya tenaga dalam yang barusan dikeluarkan Wiro yang mengerahkan hampir separuhnya, tapi juga ketiga manusia ini dikejutkan dengan sikap si pemuda yang tahu persis keadaannya. Dari cara bicaranya jelas sekali kalau pemuda di depan mereka itu dapat melihat dirinya dengan jelas.

“Tidak mungkin pemuda seperti orang bodoh itu bisa melihat kita,” bisik orang di sebelah kiri. “Ajian Kabut Pembuta Mata yang disebarkan Para Iblis dari neraka tidak mampu dimusnahkan oleh dewa. Mustahil pemuda bertampang tolol ini memiliki ilmu lebih tinggi dari Dewa.”

“Tapi melihat dari pengerahan tenaga dalamnya, juga cara dia mampu menghindari Senjata Rahasia Kerajaan Perut Bumi, sepertinya dia bukan orang sembarangan. Dan satu lagi, selama ini tak ada satu manusia pun yang sanggup menghindar dari Braja Mustika. Sekali senjata rahasia keluar, darah dan nyawa bergelimpangan.” Balas membisik orang di samping kirinya. Sementara manusia yang di tengah diam saja. Berdiri mengamati seorang pemuda berpakaian serba putih sejauh tiga tombak di depan.

“Rupanya kalian hanya Setan Bisu penunggu jurang ini! Menyingkirlah! Sebelum aku muak melihat tampang kalian yang tak karuan.”

“Hahahaha.... Sayangnya, bagi para pengabdi sang baginda penguasa tunggal dunia ini tidak ada satu orang pun yang ditemui kecuali dia harus mati! Pemuda Tolol! Sebutkan siapa kau adanya agar para setan di neraka tidak repot menanyai nama burukmu!”

“Hahaha....” Wiro balas tertawa. “Ouh, jadi benar dugaanku, kalian bergundal-bergundal terkutuk itu? Baik, aku gak keberatan menyebutkan nama. Aku adalah Malaikat Maut yang datang untuk merenggut nyawa busuk kalian! Kalian gak perlu repot-repot sebutin nama, karena sebagai malaikat maut aku sudah tahu siapa saja nama kalian.” Wiro menunjuk ke manusia yang paling kiri. “Kau, mahluk yang kelihatannya paling kurus, meskipun pakai jubah, aku tahu namamu, kau terlahir dengan nama Mahani. Mati Hari Ini hahahaha .... Dan kau, yang tengah, aku tahu namamu karena sudah tertulis di neraka Jahanam. Kau bernama Darmika. Modar Minggat ke Neraka! Dan yang terakhir, kalian penasaran?”

Diejek sedemikian rupa, manusia yang dikatain kurus dan diberi nama Mahani bergerak cepat melancarkan serangan. Dua larik sinar hitam menggebu menyerang ganas ke arah kepala dan dada Wiro Sableng. Karena sebelumnya ia sudah siap siaga, Wiro cepat papasi serangan lawan dengan dua pukulan sekaligus. Benteng Topan Melanda Samudera dan Pukulan Matahari. Dua kekuatan beradu dahsyat. Suara gelegar ledakan mengguncang keadaan sekitar. Mahani terlempar ke udara, menjerit keras lantaran tangan kirinya buntung sebatas siku. Kepulan asap dan bau daging terpanggang menguar, memenuhi tempat sekitar.

“Bajingan! Bunuh pemuda itu dengan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi!” Manusia berjubah yang oleh Wiro diberi nama Darmika berteriak memberi perintah pada lelaki di sisinya. Tangan kiri mengacung ke atas sementara tangan kanan bertaut dengan tangan manusia berjubah di sebelahnya. Dari jemari yang teracung keluar membersit lima kilatan. Total sepuluh cahaya kuning sebesar buah jambu biji melesat, mengarah ke sepuluh titik mematikan di tubuh Wiro Sableng.

Wiro sendiri yang kala itu sedang mengatur jalan darah langsung melompat berdiri, kala melihat serangan mengancam nyawanya. Menghindar jelas tidak mungkin ia lakukan. Akhirnya Wiro kembali membalas serangan dengan Pukulan Matahari yang dilepas dari kedua tangannya. Dua larik sinar putih menyilaukan menerangi tempat sekitar. Hawa panas layaknya tembaga meleleh terasa membakar kulit. Ledakan dahsyat terjadi, kala dua pukulan hebat beradu di udara. Dua orang di sebelah sana tertawa bergelak. Wiro sendiri tidak merasakan adanya hempasan tenaga dalam sedikitpun. Ilmu setan jenis apa itu? Dalam bingungnya Wiro melihat kepulan asap putih keluar dari ledakan menyambar dahsyat ke arahnya. Wiro tidak tahu apakah asap itu beracun atau tidak. Tapi sebagai pendekar yang sudah memiliki banyak pengalaman ia segera menutup jalan napasnya, bergerak menjauhi hempasan asap putih tebal.

Suara tawa makin keras terdengar. “Kau lari ke neraka sekalipun Asap Kematian akan memburumu, pemuda tolol!”

“Berakhir sudah riwayatmu! Sayang kau tidak mau menyebutkan nama hingga kau harus mati percuma tanpa ada satu manusia pun yang tahu.”

Selagi Wiro bingung dan juga heran dengan kata-kata dua manusia di depan sana ia merasakan sekujur tubuhnya mendadak lemas. Pertama sekali kakinya terasa seperti kesemutan lalu seperti membal hingga akhirnya mati rasa. Wiro dalam paniknya segera mengerahkan tenaga dalam ke arah kaki yang berpusat di perut. Dan betapa terkejut ia ketika tenaga itu seakan lenyap dari tubuhnya.

“Astaga! Apa yang terjadi dengan diriku?” Wiro kembali mencoba mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan hal yang sama terjadi. Tenaga dalamnya seakan sirna dari dirinya. Saat itulah tubuhnya benar-benar mati rasa. Ia jatuh tersungkur. Anehnya, ia tak merasakan rasa sakit sedikitpun. Kini seluruh tubuhnya menjadi membal. Mati rasa. Dan penglihatan yang sebelumnya jelas perlahan menjad kabur, hingga dalam waktu singkat semua yang tampak hanya warna putih kabut. Apakah Ilmu yang diberikan Kakek Segala Tahu telah musnah? Atau memang hilang karena asap dari ilmu yang dilancarkan dua manusia jejadian tadi?

Wiro Sableng tidak bisa brfikir lama. Karena saat itu kesadarannya sudah mulai hilang. Ia hanya mendengar kata-kata terakhir dari manusia jejadian yang mulai mendekat.

“Sepertinya ajalnya sudah datang!”

“Tidak ada satu manusia pun yang sanggup bertahan dari racun mematikan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi! Kalau pun dia sangup bertahan paling hanya sampai sepuluh tarikan napas.”

***

Wiro Sableng membuka mata. Yang dilihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit kamar yang sangat indah. Diterangi dengan sebuah cahaya putih bulat sebesar kepalan tangan. Ada banyak sekali cahaya yang sama memenuhi hampir seluruh langit ruangan. Hingga keadaan tak ubahnya seperti di luar rumah, di bawah terik mentari. Hanya saja ia sedikit pun tidak merasa kepanasan. Bahkan yang ia rasakan udara sejuk seperti halnya di atas pegunungan. Wiro tidak tahu, terbuat dari apa cahaya yang mengambang di langit-langit itu. Ia tak bisa berfikir banyak karena keheranan dan kekaguman, lantaran saat ini ingatannya kembali saat di mana dirinya sebelum pingsan. Dia ingat betul kalimat salah seorang penyerang gelapnya itu. Tidak ada satu manusia pun yang sanggup menahan racun mematikan Pukulan Lima Kutuk dari Perut Bumi. Kalau memang benar, berarti saat ini dia telah meninggal? Berarti sekarang dia sedang di akhirat? Beginikah akhirat? Wiro memandang sekeliling. Ruangan itu luas sekali. Ada banyak perhiasan terbuat dari emas dan berlian. Emas? Astaga, seakan baru dia menyadari ternyata dinding kamar di mana ia berada pun terbuat dari emas. Dihiasi menik-manik di setiap sisinya dengan permata yang sangat indah.

Di mana dia sebenarnya? Apakah di Syurga? Wiro tidak yakin kalau kematiannya akan membawanya ke Syurga, mengingat betapa kotor dirinya atau penuh dosa hidupnya. Kalau di neraka masakan mendapat tempat seindah ini? Jika di neraka enak begini untung sekali manusia-manusia bejat.

Wiro senyum-senyum sendiri. Menarik napas panjang-panjang, aroma harum bunga taman di pagi hari terasa nikmat masuk ke hidung. Wiro melompat dari ranjang. Saat berdiri ia terkejut bukan kepalang. Baru sadar ternyata dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun di balik selimut.

“Celaka! Kelau ada orang liat bagaimana? Tempat seterang ini terongku di bawah tak tertutupi. Sial betul! Untung gak ada perempuan. Eh, jangan-jangan ini kamar perempuan. Setahuku hanya kamar wanita yang memiliki aroma seharum ini.”

Wiro kembali memandang sekeliling. Kedua tangannya digunakan untuk menutupi perabotan miliknya yang bergoyang ke sana kemari mengikuti gerakan tubuhnya. Padahal kalau dia mau bisa saja menyambar selimut yang tergeletak di atas kasur empuk bekas ketidurannya. Tapi bukan Wiro Sableng namanya kalau berfikir layaknya manusia kebanyakan.

“Kau sembuh lebih cepat dari dugaan anak muda.” Suara yang terdengar dekat sekali di belakangnya membuat Wiro sableng melompat ke depan. Di hadapannya kini berdiri orang tua berjenggot panjang sedada dengan jubah putih tersenyum. Wajahnya yang terbalut kulit keriput tampak tenang. Dalam kejutnya Wiro sampai lupa menutupi perabotannya, hingga si orang tua harus melihat kejuruan lain.

“Siapa kau orang tua? Dari mana kau masuk sementara sejak tadi aku meneliti ruangan ini tak ada pintunya.”

“Anak muda,” serunya dengan senyuman tanpa mau melihat ke arah Wiro. “Sebaiknya kau kenakan terlebih dahulu pakaiamu. Aku tidak mau bercakap-cakap dengan orang yang memiliki dua kepala.”

Seakan baru sadar dengan keadaannya, Wiro cepat kembali menutupi perabotannya.

“Sial betul! Kenapa aku bisa seceroboh ini sih? Untung orang tua itu tidak tergiur dengan barangku. Kalau iya, bisa celaka seumur hidup aku.”

“Tidak sepantasnya kau bicara kotor di tempat suci ini anak muda!” meskipun nada bicaranya tidak berubah, tetap tenang berwibawa namun ada sedikit gelombang yang terasa sekali menusuk telinga. Wiro menyadari kalau si orang tua telah mempergunakan tenaga dalam tingkat tinggi yang mampu mengirimkan penekanan lewat suara. Luar biasa. Tentu sosok tua berjubah putih ini bukaan orang sembarangan. Bahkan sekelas Kia Gede Tapa Pemungkas saja ia yakin sekali tidak akan mampu melakukan itu. Siapa gerangan manusia sakti mantraguna ini?

“Apa yang kau tunggu? Lekas kenakan pakaianmu! Dalam waktu dekat ini akan ada pembahasan penting dari seluruh negeri. Kedatanganmu sudah kami tunggu Pendekar 212.”

Dua bola mata Wiro Sableng terbeliak. Bukan saja karena dia terkejut lantaran si orang tua tahu siapa dirinya, tapi juga tentang pertemuan akbar yang tadi di sampaikan. Di mana sebenarnya dia sekarang? Makin banyak keanehan dan beragam pertanyaan kini memenuhi kepalanya.

“Dia bilang kenakan pakaian? Pakaian yang mana?” Wiro memandang sekeliling. Saat pandangan kembali ke sosok di mana orang tua tadi berdiri ia jadi terkejut. Mahluk tua itu tak ada lagi di tempatnya. Penasaran Wiro pun melompat, menyusuri setiap jengkal dinding yang terbuat dari emas bertabur permata, berharap ia menemukan sejenis tombol rahasia sebagai pembuka pintu. Tidak ada. Dinding itu rapi tanpa ada celah sedikitpun. Menurutnya, jangankan manusia yang sebesar dirinya, seekor semut pun tak akan mampu masuk. Lalu dari mana orang tua misterius tadi masuk? Mahluk gaib? Pasti sosok barusan hanya mahluk jejadian atau mungkin dedemit penunggu jurang?

Wiro terus berdikir-fikir sambil memutari seluruh dinding kamar memeriksa kalau-kalau ia menemukan sesuatu. Percuma saja. Dinding itu tak ubahnya sebuah kubus raksasa yang mengurung ketat dirinya.

“Tua Bangka sialan itu meminta aku agar ikut hadir dalam pertemuan besar, tapi anehnya dia tak ngasih tahu di mana pintu keluarnya?! Konyol dangkalan!”

“Sudah aku bilang, jangan berani bicara kotor di tempat suci ini, Pendekar 212!” entah dari mana datangnya suara itu tapi bagi Wiro terasa dekat sekali seakan orang yang bicara berada di depannya. Tapi bukan itu yang membuat Wiro terkejut dan sampai menutup telinganya rapat-rapat, melainkan suara itu seakan memiliki ribuan jarum yang menusuk gendang telinganya. Kalau sebelumnya ia hanya merasakan penekanan pada gendang telinganya, kini Wiro merasakan ribuan jarum panas yang menusuk. Pemuda ini sampai bergetar menahan rasa sakit. Beruntung semua itu terjadi hanya singkat saja. Kalau lebih lama sedikit saja tentu ia tak kuasa untuk tidak berteriak sekeras-kerasnya.

“Luar biasa! Ilmu silat apa yang dimiliki orang tua tadi? Bahkan saat orangnya tak ada sekalipun dia mampu mengirimkan suara dan sekaligus serangan mematikan! Selama seumur hidupku, baru kali ini aku melihat ada ilmu sedahsyat ini. Dan dia juga mampu mendengar suara hatiku. Astaga! Orang tua itu manusia atau ..... Tidak-tidak! Aku gak boleh bicara asal lagi. Salah-salah telingaku bisa pecah! Siala....” Wiro langsung menutup mulutnya. “Hampir saja,” katanya sambil menyengir lalu menggaruk kepalanya.

“Masih untung di tempat ini tidak dilarang untuk menggaruk kepala. Kalau iya, wahh, bisa mati kegatalan aku hahahaha....hup! Di larang ketawa juga gak ya? Eh kurasa nggak. Soalnya tadi aku lihat orang tua itu selalu tersenyum. Senyum kan adiknya ketawa. Jadi aku boleh ketawa sepuasnya hahahahahahaha......”

Setelah puas tertawa dan menggaruk kepala Wiro berpaling ke ranjang di mana sebelumnya ia terbaring. Di sana ia melihat ada setumpuk pakaian. Pemuda ini mengerutkan kening. Tadi ia tidak melihat apapun di situ. Benar-benar tempat penuh dengan kejutan.

“Mungkin orang tua tadi memang jago main sulap.” Wiro Sableng melompat ke dekat ranjang. Mengambil celana dalam warna hitam dan mengenakannya. Saat ia sibuk mengenakan celana dalam itu, tanpa disadari dinding yang sebelumnya menghalangi jarak pandangnya perlahan-lahan menghilang. Mirip seperti riak air, dinding itu bergoyang-goyang dan dalam sekejap sirna. Yang terlihat kini ratusan orang yang berbaris rapi dan tampak terkejut menyaksikan Wiro Sableng yang baru saja selesai mengenakan celana dalam.

Pemuda ini menjadi terkejut ketika mengambil pakaian yang sebelumnya tergeletak di ranjang kini tidak ada. Bahkan ranjangnya pun menghilang entah kemana. Saat telinganya mendengar suara-suara bisikan ia cepat berpaling. Dan betapa dahsyat gelombang kejut yang kini menerpa dirinya.

“Apa-apaan ini?” pekik Wiro dengan tubuh terjajar. Semua mata kini menghujani dirinya. “Bagaimana mungkin?” Ia memandang sekeliling. Sebelumnya berada di kamar, kenapa tiba-tiba dia berada di gedung rapat kerajaan.

Kalau kamar yang sebelumnya sudah membuat dirinya terlena dengan keindahan ukiran, kini lebih gila. Atap ruangan ini seakan tidak memiliki penopang. Bola-bola lampu yang memancarkan cahaya terang namun tidak panas menyilaukan berukuran sepuluh kalilipat lebih besar dari yang ada di kamarnya. Bukan itu saja, lantai yang dipijak, kalau sebelumnya terbuat dari emas maka di tempatnya sekarang berdiri terbuat dari batu permata. Wiro tidak tahu bagaimana cara memahat batu berlian seluas ini tanpa adanya sekat sebagai penyambung. Yang dia lihat lantai itu tampak berkilauan persis seperti batu berlian yang terkena cahaya.

Wiro melihat ke sisi kanan kiri. Di sana berbaris puluhan bahkan ratusan orang tua yang mengenakan jubah warna putih persis seperti orang tua yang menemuinya di kamar tadi. Sejauh lima puluh meter ke depan ia melihat para pemuda seusianya. Tatapannya sama bengis dengan yang dilakukan para orang tua. Kini Wiro pusatkan pandangan ke singasana di mana seharusnya sang raja berdiri. Namun seperti ada kabut, pandang matanya seakan menjadi kabur. Kala ia nekat untuk mempergunakan tenaga dalam, menerapkan Ilmu Penembus Pandang, kepalanya mendadak terasa sakit. Matanya menjadi perih. Semakin ia memaksa, matanya terasa seperti terbakar. Wiro terpekik dan cepat ia mengusap kedua matanya.

“Gila! Tempat macam apa ini sebenarnya? Orang-orang itu? Mengapa tidak ada satu pun yang bicara.”

“Yang Mulia, ijinkan hamba untuk menghukum pemuda terkutuk itu!”

Wiro tahu suara itu jelas memiliki nada pelan dan berada jauh di depan sana, sejarak lebih dari 50 meter tapi anehnya ia mendengar seakan orang yang bicara ada di sampingnya. Belum hilang gema suaranya mendadak Wiro merasakan badannya terasa panas. Semakin lama tubuhnya seperti terbakar. Tidak ada api, tidak ada kepulan asap, tapi dirinya seakan masuk ke dalam kobaran api raksasa.

Wiro menjerit. Melompat kalang kabut ke sana kemari, mencoba mencari air untuk mendinginkan tubuhnya. Sayangnya di tempat itu jangankan kubangan air, setetes pun tidak tersedia.

Pemuda ini bergulingan di lantai permata. Jerit kesakitan terus keluar dari tubuhnya. Ia mencoba mengerahkan hawa sakti ke sekujur tubuh, membentengi diri dengan Pukulan Angin Es berharap tubuhnya menjadi dingin. Yang terjadi justru sebaliknya. Hawa panas semakin menjadi-jadi. Kulitnya seakan hangus terbakar. Otak di kepalanya terasa mendidih.

“Kau pikir ini hukuman dunia yang ada di bumi, bisa dengan mudah kau langgar? Semakin kau melawan, semakin keras rasa sakit yang kau terima.”

“Siapa kalian? Apa salahku sampai kalian menjatuhkan hukuman terhadapku?” Wiro berteriak sambil terus berguling-guling tak kuasa lagi menahan rasa sakit.

“Kau telah melanggar aturan yang paling sakral di kerajaan ini.”

“Persyetan dengan segala macam aturan kalian! Aku gak merasa melanggar dan sedikitpun dari kalian tidak memberi tahu hingga aku menyadari kesalahan dan meminta maaf.”

“Tidak ada kesalahan yang bisa terhapus dengan kata maaf. Ini bukan duniamu. Di sini, siapa yang salah, hukum harus segera ditegakkan. Kau melanggar aturan paling berat, bertelanjang di depan Sri Baginda Raja. Harusnya hukuman yang paling dahsyat kau terima. Tapi Sri Baginda Raja menghendaki lain.”

Paling berat? Mereka pikir apa yang dirasakan Wiro saat ini ringan? Padahal rasanya dia mau mati!

“Kalau memang bertelanjang adalah kesalahan, aku minta maaf. Aku tidak tahu dan lagian itu bukan karena kesengajaan. Atau murni kesalahanku. Mengingat dengan tiba-tiba tempat di mana aku berada berubah menjadi tempat ini. Kalau memang kalian merasa paling tinggi derajatnya dari manusia, harusnya kalian jauh lebih beradap prilakunya. Menghukum orang tanpa tahu sebab kesalahan yang dibuat, apalagi dari ketidak sengajaan. Manusia yang kalian anggap rendah sekalipun tidak begini cara hukum ditegakkan. Kalian ini mahluk jenis apa? Dewa? Kurasa tidak ada dewa yang berprilaku seperti binatang. Melihat kesalahan orang hanya dari satu sudut pandang saja.”

“Benar-benar mahluk rendahan! Tidak punya peradapan, sopan santun!” Terdengar suara jentikan. Detik itu juga Wiro menjerit keras sekali. Hawa panas membungkus tubuhnya semakin menggila. Ia benar-benar sudah tidak tahan menerima penyiksaan sedahsyat itu. Kalau saja dia boleh memilih mati, mungkin sudah ia lakukan demi bisa terbebas dari siksa pedih yang berkepanjangan.

“Aku mengadu jiwa dengan kalian semua! Hentikan hukuman ini! Aku menantang kalian bertarung sampai mati!”

Hening sesaat, lalu gelak tawa memenuhi ruangan seluas mata memandang.

“Kau mau melawanku? Apa yang bisa kau lakukan wahai anak manusia? Mengeluarkan Pukulan Matahari andalanmu? Benteng Topan Melanda Samudra? Atau Tameng Sakti Menerpa Hujan? Pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang? Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih, Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung atau apa?” Kembali ruangan itu dipenuhi suara tawa. Wiro Sableng tidak usah ditanya seperti apa terkejutnya. Dalam rintih kesakitannya pendekar ini sampai terhenyak.

Hempasan angin terasa menyentuh kulitnya. Detik itu juga rasa sakit yang seakan membuat tubuhnya terasa gosong menghitam seketika hilang. Seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Wiro melompat berdiri. Diteliti sekujur tubuhnya. Benar-benar ajaib. Tidak ada bekas luka akibat terbakar, apalagi sampai gosong seperti yang disangka sebelumnya.

“Aku sudah membebaskanmu dari hukuman. Sekarang buktikan ucapanmu, anak muda.”

Wiro Sableng meneliti dari mana dan dari siapa suara itu keluar. Tidak bisa. Suara itu meskipun tahu dari jarak jauh di depan sana tapi ia seakan mendengar di samping. Saat kebingungan membungkus diri pendekar, bayang putih muncul di depannya. Wiro membeliak. Bersiap siaga dari berbagai kemungkinan. Lelaki muda berwajah tampan seusia dirinya tersenyum di hadapannya. Pakaian pemuda ini berbeda sekali dari kebanyakan orang tua di situ. Kain sutra yang dikenakan, diberi manik-manik dari intan. Dan sulaman yang terlihat disepanjang kain terbuat dari emas. Inikah sang paduka raja atau pangeran? Wiro tidak bisa berfikir lama karena saat itu si pemuda telah menegur.

“Buktikan ucapanmu, anak muda. Dengan Ilmu apa kau melawanku?”

Suara itu sama. Jadi ini mahluknya yang sejak tadi menyiksa dirinya. Wiro menjadi geram. Sekali mengangkat tangan, kepalan sebatas siku berubah menjadi perak. Hawa panas mengudara. Pemuda gagah yang diserang bukannya bersiap siaga menerima ancaman mematikan justru tertawa mengejek.

“Pukulan Matahari? Mungkin di duniamu Pukulan ini cukup mematikan dan menjadi momok paling menakutkan. Di sini, segalanya berbeda anak muda. Salah kaprah kalau kau sombong hanya karena ilmu silat sampah tak berguna!”

Diejek dan direndahkan di hadapan semua orang Wiro menjadi kalap. Bersama pekikan keras pendekar ini melepas pukulan sakti yang dalam rimba persilatan sekali terlepas maka nyawa melayang.

Sinar putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas memenuhi ruangan sekitar. Pemuda yang diserang masih tertawa-tawa. Sedetik lagi pukulan ganas itu akan memanggang sosoknya, pemuda ini sambil berkata meniup. “Dingin!” perlahan saja. Dalam sekejap sinar putih yang mengandung hawa panas luar biasa itu berubah beku. Menjadi es dan yang paling sulit dipercaya bongkahan itu tetap mengambang di udara.

“Kembali ke Tuanmu!”

Seperti memiliki pikiran, bongkahan es itu pecah menjadi ratusan benda pipih yang siap menembusi setiap bagian tubuh yang menjadi sasaran.

Mendapat serangan dari senjata andalannya sendiri Wiro Sableng berteriak garang. Berguling ia menghindari ratusan senjata tajam yang melesat puluhan kalilipat lebih cepat dari anak panah, Wiro Sableng melepaskan Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih sebagai benteng dirinya dan sekaligus melepas Pukulan Tangan Dewa Menerpa Karang. Dentuman dahsyat menguncang tempat sekitar. Beradunya tenaga dalam tingkat tinggi dengan ledakan sedahsyat itu harusnya lantai ruangan amblas, atap bangunan roboh, tapi yang terjadi justru di luar akal sehat manusia pada umumnya. Jangankan terjadi separah itu, bergetar saja lantai yang dipijak tidak. Ledakan dahsyat itu langsung hilang tak berbekas begitu saja. Walau demikian bukan berarti akibat dari benturan tenaga dalam tidak memberikan dampak apapun. Justru Wiro Sableng sampai terpental jauh, lebih dari lima tombak. Terguling-guling dia. Terbatuk-batuk hingga darah segar keluar dari mulutnya. Wiro sadar dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah. Tidak mungkin baginya mengerahkan tenaga dalam lebih tinggi dari yang barusan ia keluarkan. Secepat mungkin ia menelan pil pemberian Eyang Sinto Gendeng. Duduk bersila mengatur jalan darah. Setelah dirasa sesak di dada hilang, Wiro melompat berdiri.

Lelaki di depan sana dilihatnya tersenyum mengejek. Dia samasekali tak mengalami luka sedikitpun. Jangankan cidera, apalagi sampai luka dalam, bergeser sesenti saja dari tempatnya tidak. Diam-diam Wiro merasa kecut juga melihat seberapa tinggi kekuatan lawan. Mungkin ini pertama kali dalam hidupnya Wiro Sableng merasakan gentar saat menghadapi lawan.

“Mahluk ini sepertinya memang Dewa. Untuk para Jin sekalipun mustahil memiliki tenaga dalam setinggi itu. Aku yakin tadi dia hanya mempergunakan tidak sampai seperduapuluh tenaga dalamnya. Bahkan jauh lebih sedikit dari itu. Tapi dampak yang ditimbulkan benar-benar mematikan.” Selama Wiro membatin Pemuda itu secara tiba-tiba sudah berada di depannya. Entah kapan pemuda ini bergerak, Wiro sendiri tidak melihat.

“Mari kita lanjutkan Anak Muda,” ajaknya sambil tersenyum. “Aku lihat tadi kau mempergunakan separuh dari tenaga dalammu. Sekarang aku mau lihat kau mempergunakan seluruhnya. Selama seumur hidup kau belum perah melakukan itu, kan?”

Wiro Sableng sampai tersurut dua langkah ke belakang. Bukan hanya terkejut karena orang tahu seberapa banyak ia menggunakan tenaga dalam, tapi juga yang lebih mengejutkan baginya lelaki di depannya itu tahu kalau dirinya selama ini memang tak pernah sekalipun mempergunakan seluruh tenaga dalamnya. Karena memang selama melalang ke berbagai penjuru negeri ia belum membutuhkan untuk melakukan itu. Sekarang, di depan ratusan orang ia ditantang untuk mengerahkan seluruhnya. Tapi masalahnya, apakah ia mampu? Mengingat luka dalam yang kini menciderai cukup parah. Kalau menolak, jelas, semua orang yang ada di sini akan semakin merendahkan dirinya.

“Mari kita mulai Anak Muda.” Pemuda Gagah ini mengangkat tangannya tinggi sekali, siap melancarkan serangan mematikan, akan tetapi ia kembali menurunkan tangannya. “Aku lupa. Luka dalammu pasti sangat parah kan. Aku gak mau sedikit sentuhan itu menjadi alasan ketika nanti ajalmu telah datang.” Belum selesai gema suaranya lelaki ini kibaskan tangan kanannya yang tadi diturunkan. Hempasan angin terasa menerpa kulit Pendekar 212. Wiro Sableng tidak dapat menghindar karena hempasan angin terlalu cepat, sulit terlihat oleh mata manusia. Andai itu adalah sebuah serangan, tentu seluruh anggota tubuhnya akan terkutung-kutung kejap itu juga. Beruntungnya, ketika angin itu menyentuh kulit, yang ia rasakan adalah hawa sejuk, mengalir bersama darah menuju ke rongga dalam. Detik itu juga luka yang menyesakan dada hilang tak berbekas. Seakan tak pernah terjadi apapun sebelumnya. Tak pernah ada benturan tenaga dalam dahsyat, bahkan Wiro Merasa seakan tenaganya pulih layaknya orang yang baru terbangun dari tidur lelap. Benar-binar enteng. Cara penyembuhan luar biasa. Sulit diterima akal.

“Keluarkan seluruh kemampuanmu, anak manusia! Buktikan kalau kau memang bukan manusia rendahan seperti katamu sebelumnya!” Pemuda ini gerakan kedua tangannya. Seiring dengan itu, lantai yang dipijak Wiro Sableng berderak, terbongkar membentuk dinding, mengurung dirinya. Wiro Sableng yang sejak tadi telah siap siaga melompat setinggi tiga tombak, maksudnya agar ia mampu melampaui dinding yang terus tumbuh menjulang tinggi. Sayangnya, dinding itu keburu menutup. Wiro menghantam dengan Pukulan Harimau Dewa. Pukulan sakti yang didapatnya dari Kitab Putih Wasiat Dewa ini memiliki kelebihan, selain dahsyat tidak harus menggunakan tenaga dalam sedikitpun. Meski begitu, jangankan hanya dinding batu berlian, yang hanya setebal dua hasta, dinding batu setebal lima tombak pun akan hancur berkeping-keping.

“Buk!!!

Wiro Sableng menjerit setinggi langit. Jangankan jebol apalagi sampai hancur berkeping-keping, bergetar sedikit saja tidak. Dinding itu bahkan jauh lebih keras dari baja.

“Tidak sampai setengah peminuman teh, kau akan terkubur hidup-hidup jika tidak bisa meloloskan diri dari Dinding Kematian, anak manusia! Selamat berjuang, hahaha....”

Wiro Sableng kertakan rahang. Ia hendak menjajal dengan ajian atau pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi. Namun, di tempat sesempit itu, hanya akan membahayakan dirinya. Ia tidak sebodoh itu sampai harus melepaskan pukulan yang hanya akan memanggang dirinya sendiri.

Ancaman pemuda di luar sana bukan gertakan semata. Semakin lama kubus yang disebut Dinding Kematian itu semakin mempersempit ruang lingkupnya. Wiro Sableng tidak bisa berfikir lama, kecuali dia ingin mati tergenjet tanpa mampu melakukan apa-apa. Dalam bingungnya pendekar ini berteriak memanggil kapak maut naga geni 212. Dalam sekejap kapak sakti itu telah berada di genggaman tangannya. Dengan mengerahkan separuh tenaga dalam ia hantamkan mata kapak itu ke dinding Kematian.

Tranggg!!!

Bergerat hebat tangan Wiro. Hampir saja senjata sakti yang memancarkan sinar terang itu terlepas dari genggaman.

Dreggggghh!!!!

Dinding itu kembali mempersempit ruang pengurungan. Jaraknya kini hanya mampu diisi dua orang. Udara terasa semakin pengap. Pernapasannya mulai terasa sesak. Keringat dingin dan keringat panas akibat dari sesak mulai bermunculan, bersatu padu mengiringi kepanikan hati sang pendekar.

Dreeggghhhh!!!

Kembali Dinding Kematian menyempit. Ruang itu kini hanya mampu di tempati satu orang. Wiro Sableng semakin panik. Ia masih mencoba menghantam dinding sekeras baja itu dengan dua tangan sekaligus, dan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Ini adalah kali pertama ia melakukan itu.

Cahaya putih menyilaukan memancar sangat terang dari kapak sakti. Benda tajam itu menghantam dinding.

Tranggg!!! Wiro Sableng tak mampu lagi menahan gagang kapak agar tidak terlepas. Senjata sakti itu terpental menghantam dinding sebelah kirinya dan memantul ke arahnya.

“Celaka!” Wiro tidak mengira kalau senjata yang sangat diandalkannya akan menjadi senjata makan tuan. Dengan kecepatan tinggi ia jatuh duduk dan meratakan tubuhnya dengan kaki yang terlipat. Senjata sakti lewat satu senti di atas kepalanya. Hawa panas terasa menyembar rambut gondrongnya. Bau sangit rambut terbakar terasa memenuhi ruangan yang semakin sempit.

“Selamat!” Wiro mengusap tengkuknya. Menggaruk rambutnya. “Gila! Mimpi apa aku semalam sampai mau mati dibantai senjata sendiri.”

Dregghhhh!!!

“Jahanam!” Wiro mengambil kapak dan lekas melompat berdiri. “Apa yang harus aku lakukan? Dinding keparat ini kebal pukulan dan senjata sakti. Jelas menghancurkan dinding sialan ini tidak mungkin. Hanya membuang-buang waktu. Aku gak mau mati gepeng tergenjet dinding sialan ini! Tapi bagaimana caranya aku keluar?”

Dreggghhhh!!!

Dinding kembali mempersempit ruang lingkup. Kini Wiro samasekali tidak bisa bergerak. Sekali lagi dinding itu bergerak, maka hancurlah tulang rusuknya. Dua kali bergerak, maka remuk seluruh tulang dan daging pembungkus. Dan gerakan terakhir tentu sudah dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi dengan tubuh Wiro. Pendekar sakti itu akan berubah wujud menjadi perkedel yang dicetak gepeng.

“Merogo Sukmo!” Mata Wiro terpejam. Pendekar ini telah mengeluarkan ilmu kesaktian yang di dapatnya dari nenek sakti yang tinggal di kedalaman laut. Salah satu kaki tangan Nyi Roro Kidul. Beruntung dalam saat genting itu pikirannya mampu bekerja cepat, mengambil keputusan tepat, hingga ia bisa selamat dari ancaman maut.

Melihat Wiro berhasil keluar dari Dinding Kematian pemuda ini cukup terkejut juga. Lain halnya dengan Kakek Sakti yang mendatangi Wiro Sableng sebelumnya. Orang tua yang memiliki wajah penuh wibawa ini tersenyum tenang ketika melihat Wiro berhasil lolos dari Ilmu langka milik salah satu kepercayaan paduka raja.

Perlu diketahui, hanya para dewa yang bisa lolos dari keganasan Ilmu Dinding Kematian. Bahkan para jin sekalipun tidak mampu melakukan itu. Hanya mereka yang memiliki ilmu setingkat para dewa atau yang berusia lebih dari 25 ribu tahun.

“Resi Sepitung Jagat, meskipun pemuda yang kau banggakan itu berhasil lolos dari Ilmu langka milik para dewa, bukan berarti dia layak menjadi satu-satunya ksatria yang bisa mengalahkan Kerajaan Perut Bumi. Selama yang dia miliki hanya ilmu sampah tak berguna seperti yang sudah diperlihatkan barusan.”

Orang tua yang sebelumnya mendatangi Wiro Sableng yang ternyata memiliki nama Resi Sepitung Jagat berpaling ke arah datangnya suara. Suara itu cukup jelas terdengar, akan tetapi hanya pada siapa yang dituju saja. Jangankan bagi Wiro yang hanya seorang manusia, bagi para dewa lainnya pun tidak mendesangit

Resi Sepitung Jagat membungkuk hormat pada sosok yang tengah duduk di singa sana. Kalau Wiro Sableng sulit melihat siapa dan bagaimana rupa mahluk yang duduk itu, tidak dengan Resi ini. Orang tua ini dapat melihat dengan jelas paras mahluk yang kini sedang menatap ke arahnya. Ternyata wajah lelaki ini sangat tampan. Usianya sama seperti pemuda yang kini sedang bertarung dengan Wiro Sableng. Namun yang membedakan, pakaian yang dikenakan jauh lebih bagus. Penuh dengan hiasan di sepanjang garis jahitan emas. Di kepalanya ada mahkota yang juga terbuat dari emas, bertabur intan permata. Wajahnya benar-benar tampan. Kalau saja pemuda ini turun ke bumi, tentu seluruh mata wanita di sana akan terpesona dan mungkin rela melakukan apapun demi bisa dekat dengannya.

“Hamba mengerti, Paduka.” Resi Sepitung Jagat membungkuk hormat. Ia teringat degan pertemuannya beberapa waktu lalu, lebih tepatnya dua bulan sebelum hari penjemputan Wiro Sableng dilakukan. Saat itu Paduka Raja meminta menemuinya seorang diri. Di sebuah ruangan yang cukup rahasia.

“Jadi ramalan itu benar? Pemuda itu yang tertulis dalam Gugus Bintang Kehidupan? Hanya dia satu-satunya ksatria yang mampu mengalahkan Raja Perut Bumi?”

“Hamba tidak mungkin berani berkata tanpa adanya kebenaran, Paduka. Kami dan semua para dewa penyidik sudah mengkaji berulang-ulang tentang kasus ini. Dan segalanya merujuk pada pemuda itu.”

“Sebenarnya sampai saat ini aku masih tidak percaya, ada seorang mahluk yang derajatnya jauh lebih rendah terpilih untuk menyelamatkan dunia. Padahal bagi para dewa itu semudah mengembalikan telapak tangan.”

“Hamba tahu itu, Paduka. Tapi jangan lupa, kita sebagai dewa pun mempunyai banyak pantangan yang tidak mungkin bisa dilanggar.”

“Ya, ya .... aku gak akan lupa itu. Baiklah, kapan kau akan menjemput manusia itu?”

“Dua purnama dari sekarang, Paduka.”

“Baik. Tapi seperti kataku, sampai detik ini aku masih tidak percaya dengan ramalan itu. Sebelum aku yakin kalau dia orang yang dimaksud, yang tertulis, jangan harap manusia itu bisa kembali hidup-hidup ke dunia setelah dia melihat alam para dewa.”

“Resi, kau melamun?”

Tersadar dari lamunan Resi ini segera membungkuk. “Harap Maafmu, Paduka Raja. Hamba telah berlaku lalai.”

“Kau benar tidak mendengar apa yang aku katakan barusan?”

Resi Sepitung Jagat menggeleng. “Ampun Paduka, hamba tidak mendengar.”

Pemuda yang duduk di singasana menarik napas panjang. “Kau lihat pemuda kebanggaanmu, sampai saat ini aku masih belum melihat ilmu silat yang bisa diandalkan. Semua kesaktiannya tak lebih hanya sampah di mataku. Apa pendapatmu, Resi?”

Meskipun sekarang Resi bisa melihat Wiro Sableng mampu memberikan perlawanan pada salah satu dewa yang sebelumnya jelas mempecundangi Wiro, untuk dikatakan seimbang masih terlalu jauh. Sukma Wiro dihadapan dewa tak ubahnya anak kecil yang sedang mati-matian melawan pria dewasa. Muntang manting ke sana kemari tanpa bisa memberikan serangan balasan yang berarti.

“Resi Kau terdiam? Kau tersinggung aku katakan semua ilmu silat pemuda itu hanya sebatas sampah di mataku?”

“Ampun, Paduka, hamba....”

“Aku tahu, ada banyak jurus silat dan pukulan yang digunakan anak manusia itu adalah ciptaanmu sendiri. Seperti halnya Pukulan Matahari yang diwariskan oleh muridmu secara turun temurun selama berabad-abad. Tapi ingat, Resi, ilmu yang kau ciptakan, yang kata para penduduk bumi ganas itu tak ubahnya hanya sebatas setitik api bagi para Dewa. Sekali tiup api itu padam tak tersisa. Melihat betapa tidak bergunanya pemuda itu, aku mau mendengar keputusanmu. Kau masih ingat dengan kata-kataku dipertemuan terakhir itu kan?”

“Hamba.... hamba masih mengingatnya, Paduka.”

“Bagus! Sekarang sudah saatnya kita memusnahkan pemuda itu. Aku gak mau dia kembali ke dunia yang penuh dengan dosa dan kedengkian setelah dia melihat alam kita.”

Berdesir darah Resi ini. Bagaimanapun ia merasa tidak tega melihat anak manusia itu mati sia-sia. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh, pemuda itu masih satu turunan dari ilmu ciptaannya yang diwariskan lewat muridnya ratusan tahun yang lalu. Sebelum akhirnya sang murid mewariskan juga ke murid selanjutnya yang kini banyak orang mengenalnya dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas.

Kalau Raja itu menolak mentah-mentah bahkan sangat tidak mempercayai ramalan yang tertulis, berbeda dengan dirinya. Dia justru sangat mempercayai ramalan itu. Bukan! Bukan karena yang terpilih masih terkait dengan dirinya, tapi lebih jauh dari itu, ia selalu bermimpi kalau pemuda itu memiliki kekuatan dahsyat yang para dewa sekalipun takkan sanggup untuk menahannya. Tapi yang dilihatnya sekarang justru berbanding terbalik. Wiro Sableng hanya menjadi bulan-bulanan salah satu dewa yang kekuatannya tidak lebih tinggi dari dirinya. Apa mungkin mimpi itu salah? Atau jauh dari itu ramalan yang sudah tertulis ribuan tahun yang lalu ternyata hanya goresan pena kosong tak bermakna? Tidak mungkin Penguasa Gugus Bintang Kehidupan melakukan sesuatu yang bagi para dewa dengan pangkat terendah sekalipun tak akan berani melanggar. Berdusta adalah pantangan terbesar bagi para dewa. Keabadiannya akan langsung dicabut dan dia akan dihukum sampai milyaran tahun lamanya.

“Sudah kau keluarkan semua jurus-jurus andalanmu, Anak Muda?” tawa mengejek dewa ini membuat Wiro Sableng semakin kalap karena merasa direndahkan. Serangannya melancar bertubi-tubi bagai air bah tapi jangankan sampai menggores kulit pemuda itu, menyentuh selembar benang dari bajunya saja ia tak mampu. Padahal memang seluruh kepandaiannya sudah ia keluarkan dan tenaga dalam yang digunakan hampir mencapai puncaknya. Napas pendekar ini sampai ngos-ngosan. Baru kali ini ia menghadapi lawan yang sulit sekali. Kalau yang menjadi lawannya bukan dari golongan dewa, tentu sejak tadi-tadi ia berhasil mendaratkan pukulan telak, atau bahkan mengakhiri perkelahian.

“Kau menantang aku bertarung sampai mati. Aku mau lihat kau mati kehabisan tenaga, anak muda. Asal kau tahu, sejak tadi aku tida mengeluarkan tenaga dalam sedikitpun untuk mengimbangimu. Sekarang, lihat seranganku dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.”

Pergerakan untuk bisa mengimbangi pemuda itu sudah sangat cepat sekali. Tubuhnya sudah berubah seperti bayang-bayang. Kalau manusia yang melihat pertempuran tingkat tinggi ini tentu akan langsung pusing, dan kalau terus memaksakan mereka akan pingsan karena otak tak mampu mencerna dengan kecepatan gerak pertempuran yang dilakukan Wiro dengan dewa. Bagi Wiro sendiri itu adalah pertempuran tertingginya selama seumur hidup. Belum pernah ia melakukan perkelahian secepat ini. Tapi nyatanya, bagi dewa itu pergerakan tanpa mengeluarkan tenaga dalam. Gila! Apa dia salah mendengar? Selagi Wiro mengumpat, tiba-tiba sosok dewa yang sebelumnya masih bisa terlihat gerak serangannya menghilang, dalam seketika hantaman keras mengenai dada Wiro Sableng. Pendekar ini menjerit, terpental dari kalangan pertempuran. Darah segar menyembur seiring dengan batuk, pertanda luka dalam teramat parah kini bersarang di tubuhnya.

“Jangan karena kau tak terkalahkan di bumi, lalu bersikap pongah di hadapan kami! Kau tidak tahu sedang berada di mana anak muda? Kau dengar baik-baik anak muda, kami adalah para dewa yang memberimu kehidupan! Tidak selayaknya kau berani bicara pongah di sini. Kalau aku mau, hanya dengan kedipan mata sudah sejak tadi aku menghanguskan tubuhmu yang lemah itu!”

Walaupun sebelumnya sudah menduga kalau mereka bukan sebangsa manusia, mendengar keterangan barusan, Wiro tetap terkejut. Ia memang pernah bertemu para peri terutama saat ia tersesat di negeri latanahsilam, tapi sungguh, dalam pikirannya tak pernah terbesit sedikitpun kalau para dewa itu benar-benar bisa berinteraksi dengan manusia tanpa harus merubah wujud dalam bentuk kasar seperti halnya yang dilakukan para peri di latanahsilam.

“Kenapa terkejut? Kau masih belum yakin kami para dewa? Bukankah kau telah bertemu beberapa dari kami saat kau tersesat ke negeri latanahsilam dulu?” Pemuda ini kibaskan tangan kirinya. Saat itu terlihatlah dataran luas berbukit. Wiro ingat betul, itu adalah negeri latanah silam. Di lembah sana, tepatnya pinggir hutan ia sedang bersama Lakasipo salah satu kenalannya yang oleh Lakasipo menjadikan dirinya dan Naga Kuning juga Setan Ngompol saudara angkat. Di tempat itu ia pertama kali bertemu dengan Peri Angsa Putih.

Baru saja Wiro mengingat peri cantik bermata biru itu, sebuah kepakan sayap terlihat, memasuki gambar yang tertampil. Ia seakan berada di dalamnya, melihat kejadian dari tempat yang sangat dekat. Peri itu terbang berputar-putar dan lalu menukik turun menemui Lakasipo.

Bab 2

Baru saja Wiro mengingat peri cantik bermata biru itu, sebuah kepakan sayap terlihat, memasuki gambar yang tertampil. Ia seakan berada di dalamnya, melihat kejadian dari tempat yang sangat dekat. Peri itu terbang berputar-putar dan lalu menukik turun menemui Lakasipo. Sayang gambar keburu menghilang. Padahal ia ingin melihat wajah saudara angkatnya setelah sekian lama ia tidak pernah berjumpa. Bahkan kabar dia masih hidup atau sudah mati pun ia tidak tahu.

“Akibat ulah para peri bodoh itu akhirnya langit menjatuhkan hukuman pada para dewa untuk tidak ikut campur urusan dunia. Melihat kebusukan perbuatan kalian, kehancuran dan dosa-dosa betebaran di mana-mana sebenarnya aku atau kami para dewa ingin sekali menjentikan jari memusnahkan kalian semua. Sayangnya, para dewa tidak mungkin dan tidak akan pernah melanggar aturan.” Pemuda ini kembali menggerakan tangannya. Dalam sekejapan mata Wiro kini berada di sebuah arena pelatihan.

“Aku lihat kau beberapa kali mempergunakan Ilmu para dewa. Asal kau tahu, Ilmu yang kau gunakan atau yang kau kuasai itu hanya dasar tingkat terendah di sini. Lihat anak-anak itu baik-baik. Mereka sedang berlatih.”

Wiro berpaling ke sisi kirinya. Di sana ia melihat ada lima anak dewa yang sedang latih tanding. Gila! Wiro bahkan sampai leletkan lidah saking tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Anak-anak beberapa kali mengeluarkan pukulan-pukulan sakti ilmu silat yang bersumber dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Semua kesaktian yang dimiliki nyatanya hanya mainan anak kecil di sini. Ya Tuhan .... pantas saja dia hanya menjadi bulan-bulanan pemuda ini.

“Kau sudah paham anak muda? Hahaha lihat sekali lagi bahkan Sepasang Dewa Pedang yang tadi kau gunakan hanya mainan anak-anak, hahaha.....”

Selarik cahaya biru melesat dari sepasang mata anak itu, mengarah ke arahnya. Wiro berteriak dan siap melompat, tapi terlambat, kecepatan cahaya mematikan itu jauh melebihi yang pernah ia lakukan. Sedetik lagi sinar itu akan membabat putus tubuhnya, hendak menangkis dengan Pukulan Matahari, tapi yang terjadi sungguh membuat Wiro merasa benar-benar menjadi orang paling tolol di situ. Larikan cahaya mematikan itu lewat menembus tubuhnya tanpa melukai sedikitpun. Ia melirik ke belakang, bongkahan batu besar hancur berkeping-keping.

“Sepasang Pedang Dewa!” teriak lagi anak tadi. Yang diarah kini batu lainnya. Ternyata di sini ilmu mengerikan itu bisa dipakai berulang-ulang tanpa dibatasi seperti di dunianya yang hanya bisa digunakan dua kali dalam setahun.

Semua orang di ruangan itu tertawa. Keadaan sudah kembali ke sedia kala. Anak-anak yang sedang latihan itu sudah menghilang entah ke mana. Saat ini, Wiro bukan hanya merasa direndahkan lagi, dia bahkan sudah tidak memiliki harga diri untuk bisa dibanggakan.

Pemuda ini hendak kembali membuka tabir lain, akan tetapi terhenti karena mendengar ucapan yang berdengung keras dalam ruangan itu.

“Wisnu, cukup! Ada yang ingin aku sampaikan pada manusia yang tidak berguna ini.” Suara itu rendah saja, tapi gemanya begitu dahsyat terdengar. Bagi para dewa sekalipun harus menutup pendengaran dengan tenaga dalam. Bagaimana dengan Wiro Sableng? Pemuda ini sampai menyumbat telinganya dengan kedua tangan. Gendang telinganya seakan mau robek.

“Dengar anak manusia! Kami sudah mempunyai perjanjian dengan orang yang membawamu ke mari. Selama pertempuran tadi sesungguhnya kami sedang mengujimu. Ingin tahu apakah kau layak menjadi penentu keselamatan dari kekacauan dunia saat ini, tapi sampai sejauh ini kami tidak melihat sedikitpun dari ilmu silatmu yang berguna. Karena itu, sesuai perjanjian, kami harus memusnahkanmu, karena kau telah melihat alam kami. Alam para Dewa yang terjaga kesuciannya dari keburukan dan kotoran bahkan oleh pandangan manusia.”

Mendengar keterangan itu Wiro terlonjak berdiri. “Perjanjian setan apa itu?!” Wiro teriak dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam karena tak kuasa menahan marahnya. Kalau saja itu ia lakukan di dunianya, tentu dampak yang ditimbulkan bukan main-main. Tanah tempat berpijak akan bergoyang-goyang, batu dan tebing akan bergemuruh dan retak berjatuhan. Tapi di sini, di alam para Dewa, teriakan yang dipenuhi tenaga dalam itu tidak memiliki dampak apapun.

“Berani kau membantak di kerajaanku!” Kalau gelegar guntur sudah mampu membuat jantung terlepas, maka bentakan Sri Paduka saat ini ribuan kali lebih mengerikan dari itu. Wiro Sableng sampai terbanting dan kembali memuntahkan darah segar. Ia benar-benar terluka di bagian dalam.

“Wisnu, habisi manusia tidak berguna itu!”

Wisnu mengangkat kedua tangannya. Kalau sebelumnya ia hanya main-main tidak untuk sekarang. Bisa dibayangkan, seganas apa serangan yang akan mendarat pada Wiro Sableng, mengingat tanpa mempergunakan tenaga dalam saja Wiro harus mati-matian agar bisa bertahan.

Tidak tanggung-tanggung, Dewa Wisnu mempergunakan seperempat tenaga dalamnya. Jika tenaga ini dilancarkan ke bumi, maka gempa dahsyat akan meluluh lantahkan seluruh manusia yang ada di atasnya. Serangan segila itu akan ditanggung Wiro seorang diri.

Pusaran udara sedahsyat puting beliung keluar dari kedua tangan Wisnu. Bersamaan dengan itu ledakan kilat terlihat sangat mengerikan. Wiro yang melihat itu tidak mau mati konyol berdiam diri tanpa bisa memberi perlawanan. Tapi, semua kesaktian sudah ia gunakan. Bahkan seluruh ajian miliknya tak lebih hanya dianggap mainan untuk anak kecil. Apa yang harus ia lakukan? Ilmu silat yang didapat dari kitab Wasiat Malaikat! Tiba-tiba ia teringat dengan ilmu kesaktian dari kitab itu. Tapi ia sendiri pun tidak yakin apakah akan mampu menghadapi kehebatan pukulan lawan, mengingat sebelumnya ia pernah pergunakan salah satu ilmu pukulan yang bersumber dari kitab itu. Dan kekuatannya hampir tidak berbeda jauh dari kesaktian yang didapat lewat inti Kitab Putih Wasiat Dewa.

Seperti yang kita tahu, kitab itu didapat Ratu Duyung saat beberapa tokoh memperebutkan Pedang Naga Suci 212 di Telaga Gajah Mungkur tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat semua orang terpusat pada memperebutkan senjata sakti itu, Ratu Duyung melihat benda melayang yang ternyata adalah Kitab Wasiat Malaikat. Sepanjang perjalanan petualangannya, kitab itu hanya ia simpan dibalik pakaiannya. Walaupun demikian, kitab itu mampu memberi tambahan kekuatan pada tenaga dalam Sang Ratu. Bahkan beberapa kali nyawanya diselamatkan oleh kesaktian kitab itu.

Ratu Duyung sendiri pernah membuka lembaran demi lembaran kitab itu, akan tetapi ia samasekali tidak dapat melihat tulisan di dalamnya. Kitab itu hanya berupa lembaran kosong melompong tanpa goresan pena setitik pun.

Bertahun-tahun ia menyimpan dan hanya dijadikan perlindungan diri di balik pinggangnya, akhirnya ia memberikan pada Wiro. Lebih tepatnya dua bulan setelah Wiro Sableng kembali dari negeri 800 tahun yang silam atau Mataram Kuno. Saat Wiro kembali itulah hampir seluruh Tanah Jawa sudah dipenuhi kabut. Ratusan tokoh persilatan hilang entah ke mana. Ribuan orang meninggal karena kehabisan makanan. Dalam pertemuan pertama itulah Ratu Duyung langsung memberikan Kitab Wasiat Malaikat ke Wiro Sableng. Ajaibnya, kitab yang sebelumnya hanya berisi lembaran kosong, ketika dibuka oleh Wiro, tulisan itu secara ajaib timbul. Ratu Duyung yang tidak percaya itu langsung memberi dugaan kalau kitab itu memang berjodoh pada Wiro. Selama berbulan-bulan Wiro mempelajari isi dari kitab itu. Jika Kitab Putih Wasiat Dewa memiliki delapan inti kekuatan, maka Kitab Wasiat Malaikat mempunyai sepuluh inti kekuatan. Salah satunya yang kini sedang Wiro Sableng gunakan.

“Tiupan Sangkakala!” Wiro menyebut nama ilmu yang dikeluarkan tepat ketika Dewa Wisnu melepaskan pukulan dahsyatnya. Gelegar Guntur dan angin prahara menyambar ganas ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng yang memang sejak tadi sudah merasa kecut dan getar melihat kedahsyatan ilmu lawan, ia pasrah saja andai ilmu pukulan yang didapatnya dari Kitab Wasiat Malaikat tak mampu untuk menangkis serangan. Tapi, betapa terkejutnya pendekar ini saat menyaksikan apa yang terjadi.

Ketika dua kekuatan sakti itu beradu dentuman keras merobek gendang telinga. Kalau sebelumnya pukulan sehebat apapun yang dilepaskan Wiro tidak mampu memberi dampak apapun terhadap bangunan istana, tidak untuk sekarang. Lantai keras yang terbuat dari berlian berderak rengkah. Atap bangunan yang tidak terlihat langit-langitnya lantaran saking tinggi runtuh. Puluhan Dewa yang sejak tadi hanya menjadi penonton keseruan pertandingan pontang panting mencari selamat. Beberapa dari mereka mencoba memapasi angin kesaktian yang dilepaskan Wiro, meskipun dikeluarkan dari mulut, tiupan itu tak ubahnya seperti badai yang siap meluluhlantahkan apa saja yang diterjangnya. Beberapa Dewa yang kekuatannya tidak setara dengan Dewa Wisnu terbanting, ada juga yang sampai terpental jauh. Mereka semua muntah darah. Jelas, luka dalam yang sangat parah kini menimpa para dewa. Yang paling apes dari semua itu tentu saja Wisnu sendiri. Karena dia berada paling dekat dan menjadi sentral pusat kekuatan lawan, ketika bentrokan terjadi, pemuda ini terpental jauh ke arah singasana. Jerit kesakitan tenggelam di telan gemuruh badai prahara. Andai Sri Paduka tidak segera memapasi, tentu tubuhnya akan amblas masuk ke dalam dinding berlian.

Luka Wisnu sangat mengerikan. Hampir seluruh tubuhnya gosong. Sutra kebanggaan istana hangus tak tersisa. Sri Paduka tahu, Dewa kebal dari kematian, namun bukan berarti tidak bisa mengalami penderitaan. Semisal sekarat berkepanjangan. Dan ini terjadi pada salah satu abdinya.

“Beri pertolongan, cepat!” Dua orang bergerak lincah membawa Wisnu menuju ruang penyembuhan. Sementara yang lainnya telah mengurung Wiro Sableng yang saat itu telah kembali ke raganya dan mengenakan pakaian yang tiba-tiba muncul di dekatnya.

Setelah tersadar dari kekaguman ia langsung menyambar raganya yang secara ajaib terbebas dari Dinding Kematian. Dinding itu lenyab bersama terpentalnya Wisnu. Tidak mau membuang waktu ia segera melompat, masuk ke dalam raga. Menyimpan kapak yang tergeletak ke dalam dadanya dan pada saat yang sama pakaian putih miliknya tiba-tiba muncul.

Ia benar-benar merasakan perbedaan pada tubuhnya. Bukan hanya semua rasa sakit itu hilang, musnah tak berbekas, tenaga dalamnya seakan menjadi berlipat-lipat. Kecepatan geraknya sudah setara dengan para dewa. Sulit dipercaya. Ilmu yang sebelumnya ia remehkan nyatanya memiliki kekuatan dahsyat dan mampu menyelamatkannya dari kematian.

Wiro Sableng siap melompat untuk pergi, tapi dalam seketika ia sudah terkurung oleh puluhan dewa yang usianya sama persis dengan Wisnu. Dari pakaian dan ciri khasnya sepertinya mereka memiliki dua, tiga tingkatan lebih tinggi dari Wisnu.

“Hancur leburkan mahluk rendah yang berani mengacau di istana dewa!” Salah seorang memberi perintah. Wiro Sableng hendak berkata, memberi penjelasan kalau cukup sampai di sini perkelahian ini, tapi puluhan pemuda itu telah menggabungkan kekuatan untuk membumi hanguskan dirinya.

“Para Dewa Sialan!” Wiro Sableng pusatkan tenaga dalam ke kedua kakinya. Karena melihat puluhan dewa bergabung menyerangnya, Wiro Sableng tidak mau berlaku ayal. Seluruh tenaga dalam ia pusatkan ke kaki. Ini adalah ilmu ketiga dari sepuluh inti kekuatan yang bersumber dari Kitab Wasiat Malaikat. Di bumi Wiro belum pernah mengeluarkan ilmu ini. Karenanya sedikitpun tidak tahu seperti apa kedahsyatan yang nanti terjadi. Apakah sedahsyat yang tadi dia keluarkan atau justru melebihi.

“Sepasang Kaki Malaikat!” Wiro menyebut nama ilmu yang dikeluarkan dalam hati. Bersamaan dengan itu, dari sekujur tubuhnya keluar cahaya biru.

Krakkk!!!

Kedua kakinya tenggelam sebatas betis ke dalam lantai berlian. Beberapa dewa membeliak menyaksikan itu. Lantai teramat keras, pukulan sakti tak mampu menembus, tapi pemuda itu mampu membobol lantai keras seakan yang diinjak tanah lumpur yang lunak.

“Pendekar 212, hentikan!”

Wiro mendengar seseorang berbisik di telinganya. Ia tahu itu suara orang tua yang datang ke kamarnya. Wiro mau saja menghentikan serangannya, andai para dewa itu mau diajak bicara dan juga membatalkan serangan. Tapi yang dilihatnya justru gemuruh kekuatan dahsyat menerjang ke arahnya. Ia tidak mau mati konyol, mengikuti perintah si orang tua.

Cahaya biru yang memancar dari seluruh tubuh Wiro Sableng menyebar memenuhi seluruh lantai ruangan. Bersamaan dengan itu goncangan dahsyat terjadi. Para Dewa yang menyerang terpekik ketika merasakan gempa melanda lantai yang dipijaknya. Mereka siap terbang, tapi kakinya seakan telah menyatu dengan lantai ruangan.

Wiro Sableng melompat ketika Langit-langit istana gemuruh runtuh menimpa dirinya. Dan ini keterkejutan untuk kesekian kali bagi sang pendekar. Bukan hanya kekuatan ilmu yang dilepaskannya, tapi teryata ia pun kini bisa terbang. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari udara.

Wiro Sableng melesat keluar istana dengan kecepatan gerak yang setara dengan dewa. Ia menjadi terbelalak ketika menyaksikan apa yang terjadi dari ketinggian. Ia pikir hanya lantai istana yang terkena gempa, nyatanya seluruh kota raja dilanda gempa yang maha dahsyat. Istana megah menjulang tinggi ke langit para dewa runtuh, menimbun ratusan para dewa yang terperangkap di dalamnya. Istana-istana para penduduk kota lebih parah. Seluruhnya hampir rata dengan tanah. Jerit ketakutan terdengar di mana-mana. Ribuan para dewa yang menjadi pendudduk kota morat-marit mencari selamat. Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah, selama jutaan tahun baru kali ini alam para dewa mengalami bencana yang sangat mengerikan.

Wiro Sableng yang menyaksikan itu menjadi bingung. Menyesal juga ada. Ia tidak menyangka dampak dari kekuatan yang dikeluarkan akan sedahsyat itu. Tapi, apa yang bisa ia lakukan untuk menghentikan gempa yang maha dahsyat ini? Ia hendak melesat menolong orang-orang, tapi Resi yang tadi memberi peringatan menghadang jalannya.

“Itu ilmu larangan. Tadi aku sudah peringatkan. Kenapa kau nekat melakukannya?”

“Aku gak tahu akan sedahsyat ini, Orang Tua.”

“Kalau tidak segera dihentikan, alam para dewa bisa musnah anak muda.”

Wajah Wiro Sableng menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

“Keluarkan inti kesaktian yang pertama.”

Wiro Sableng segera melakukan apa yang dikatakan si orang tua. Ia melesat dengan kecepatan tinggi ke bawah. Berjongkok, dengan kedua telapak tangan memegang tanah.

“Tangan Kasih Malaikat!” Wiro Sableng kembali memyebut nama ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat. Dari telapak tangannya menjalar cahaya biru, memenuhi seluruh kota. Dalam sekejap gempa mahadahsyat terhenti. Keadaan sudah tidak bisa dikenali. Seluruh bangunan menjadi sama rata dengan tanah.

“Pendekar 212, cepat, ikuti aku!”

Wiro mendongak ke atas. Orang tua di atas sana terlihat mengangguk, lalu cus!! Sosoknya melesat hilang di ketinggian. Kalau sebelumnya Wiro hanya bisa leletkan lidah karena tak mungkin mampu mengejar, tidak untuk sekarang. Pendekar 212 dalam waktu singkat sudah berada di samping si orang tua. Ternyata kecepatan geraknya melebihi para dewa.

“Orang Tua, kita mau ke mana? Bagaimana dengan kekacauan di kerajaan?”

“Soal Kerajaan biar nanti jadi urusanku dan para dewa lainnya. Sekarang kita harus cepat ke Gugus Bintang Kehidupan. Sudah tidak ada waktu lagi. Dunia tempat tinggalmu dalam bahaya. Terlambat sedikit saja maka kiamat sudah tak bisa dihindari lagi.”

“Aku tidak mengerti.” Kata Wiro sambil menambah kecepatan karena si orang tua melipatgandakan kecepatan lesatnya.

“Apa yang kau tidak mengerti anak muda?”

“Ilmu dari Kitab Wasiat Malaikat yang barusan aku keluarkan. Di duniaku, meskipun itu tergolong ilmu langka dan sangat berbahaya, tapi dampaknya tidak sedahsyat barusan. Bahkan tidak lebih tinggi dari pukulan-pukulan kesaktian yang bersumber dari Kitab Putih Wasiat Dewa.”

Orang tua itu tersenyum. “Seperti halnya ilmu kalian penduduk dunia, anak muda. Sehebat apapun ilmu kalian, di alam kami tidak memiliki arti apa-apa. Kau sudah melihatnya saat melawan Wisnu kan? Semua itu terjadi karena perbedaan dimensi. Dimensi alam para dewa lebih tinggi dari alam dunia. Begitu pula dengan dimensi alam malaikat. Kami para dewa sekalipun tidak tahu di mana alam itu, dan berada di dimensi ke berapa. Yang jelas mereka puluhan kalilipat lebih tinggi dari dimensi alam para dewa. Karenanya, ketika kekuatan yang bersumber dari sana sekecil apapun itu sudah lebih dari cukup untuk membuat bencana di alam para dewa. Begitu pula yang terjadi di dunia. Bagi para dewa, alam kalian bisa hancur dan musnah hanya dengan jentikan tangan saja.

“Nah, kau bertanya mengapa kekuatannya tidak dahsyat ketika dilakukan di bumi? Itu karena keterbatasan fisik. Fisikmu tidak mampu mendukung kedahsyatan kekuatan itu. Sedangkan saat di sini, entah menyadari atau tidak, fisikmu sudah aku ubah menjadi dimensi ke lima, sesuai dengan tingkatan alam para dewa. Kau sudah mengerti anak muda?”

“Dimensi ke lima?” Wiro terbelalak tak percaya.

“Dalam dimensi ini kau bahkan bisa melihat alam jin dengan leluasa tanpa takut ketahuan.”

“Aku tidak percaya.”

Resi Sepitung Jagat Tersenyum. “Nanti kita bicarakan ini. Dan semua yang membuat kamu bingung akan aku jelaskan secara terperinci. Sekarang, tambah kecepatanmu anak muda. Perjalanan kita masih jauh.”

“Orang Tua, tunggu!”

Resi yang hendak menambah kecepatan jadi terhenti. “Apa lagi anak muda?”

“Di istana kerajaan aku melihat kalian mudah merubah tempat dan lokasi, kenapa sekarang tidak kau lakukan?”

“Tidak mudah kau pahami. Peraturannya tidak sesederhana itu. Soal yang satu ini aku sulit menjelaskan karena bagaimanapun kau mahluk dari dimensi terendah dari yang lain. Tapi aku akan menjelaskan secara sederhana.

“Di tempat kalian lokasi dan waktu adalah satu kesatuan yang berbeda. Kau butuh perjalanan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di sini, di alam para dewa justru yang terjadi sebaliknya. Tempat itulah yang kita datangkan ke mana kita suka. Kita bisa menarik lokasi yang kita mau tanpa bergerak sedikitpun. Bahkan dari masa lalu. Tapi tidak semua dewa bisa melakukan itu. Segalanya ada tahapan dan tingkatan. Dewa setingkat aku hanya bisa melakukan ruang lingkup sebatas kerajaan. Ada juga yang seluas langit pertama, kedua dan seterusnya. Sedangkan perjalanan yang kita tempuh terlampau jauh, hanya para dewa tertinggi yang bisa melakukan itu.”

“Aku pikir kalian adalah dewa tertinggi.”

Resi tersenyum. “Kerajaan yang tadi kau hancurkan itu adalah tingkatan terendah bagi para dewa karena dimensinya berada paling dekat dengan manusia.”

“Benar-benar di atas langit masih ada langit.” Wiro Sableng menggeleng berulang-ulang. Kalau ia hanya mendengar cerita lewat orang-orang mengenai tingkatan alam para dewa tentu sedikitpun ia tak percaya. Tapi dia menyaksikan sendiri. Walau sulit diterima akal, itulah kenyataannya.

“Mampu memindah lokasi yang kita mau?” pikir Wiro. “Bagaimana kalau yang dipindahkan itu tempat pemandian. Misalnya banyak gadis-gadis yang sedang mandi. Sedang ganti pakaian di kamar? Atau sedang malam pertama. Eh, enak juga ya jadi dewa. Tapi Dewa boleh nakal gak ya, misal ngintip orang kawin hihihi....” Wiro senyum-senyum membayangkan kekonyolan pikirannya. Resi Sepitung Jagat yang tahu isi benak sang pendekar hanya bisa menggeleng.

“Aku pernah mendengar kekonyolan pemuda ini. Tapi jujur, tidak menyangka kelakuannya segila ini.”

“Aku bisa dengar apa yang kamu pikirkan anak muda!”

Wiro Sableng menyengir dan menggaruk kepala. “Maaf, Orang Tua. Pikiranku memang suka kacau kalau ada sedikit saja celah untuk mengarah ke sana.”

“Aku sudah tahu sifatmu. Sekarang, lipat gandakan kecepatannya, Pendekar 212!”

Wiro Sableng mengangguk. Sosoknya lenyap, seolah meghilang padalah itu efek dari kecepatan terbang yang teramat sangat tinggi. Andai itu dilakukan di langit dunia tentu suara gemuruh ledakan akan terdengar mengerikan karena bergesekan dengan udara. Dan andai sosok Wiro yang bergerak secepat ini di bumi menabrak gunung, maka dalam sekejap, gunung akan hancur. Dan manusia langsung tergeletak berkaparan karena tak kuasa mendengar ledakan yang teramat dahsyat.

Kerajaan Perut Bumi

Bab 3

Sebelum kita mengikuti perjalanan Wiro Sableng yang sedang menuju Gugus Bintang Kehidupan, mari kita lihat kejadian ribuan tahun yang lalu di alam para dewa.

Kejadian memalukan telah melanda istana kerajaan. Ini untuk pertama kali dalam sejarah alam para dewa. Mereka yang terjaga dari salah dan dosa, baik diri, tempat dan kehidupannya, saat itu larangan terbesar bagi para dewa justru dilanggar. Raja Agung benar-benar murka. Tercoreng sudah nama baik para dewa yang sering diagung-agungkan kala pertemuan akbar di langit dua, tiga tingkat lebih tinggi dari alamnya. Lebih lagi, pelanggaran itu terjadi saat menjelang penobatan mahkota raja yang akan diberlakukan seratus tahun ke depan.

Karena Raja Agung memiliki dua putra mahkota, dalam seratus tahun ia sendiri yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi penggantinya. Anak pertama bernama Bharata Kamaswara. Sedangkan anak kedua bernama Bharata Ramanda. Kedua pemuda ini saling bersaing memperebutkan tahta kerajaan dengan memperlihatkan prestasi, perlakuan baik yang mampu dibanggakan di hadapan raja agung.

Walau jelas terucap kala sidang akbar digelar bahwasannya pemilihan raja ditentukan dari calon pemimpin terbaik, tetap saja, kandidat terkuat ada pada anak pertama. Bagaimanapun baik dan penuh prestasi dirinya, selama anak pertama tidak tertinggal jauh dalam segi prestasi, juga tidak memiliki catatan keburukan, anak kedua memiliki peluang sangat kecil untuk bisa bersaing. Hal itu sudah menjadi lumrah bagi sebuah kerajaan dan menjadi pengetahuan publik. Termasuk bagi anak kedua, Bharata Ramanda itu sendiri. Ia menyadari akan kekalahannya. Pasrah dan ikhlas, mungkin itu yang bisa ia perbuat saat ini. Atau ada cara lain?

Dewa memang terjaga kesuciannya dari sikap buruk yang seringkali kita temui pada manusia. Namun, bukan berarti dewa tidak memiliki hasrat, keinginan kuat dan andai itu menjadi poin utama, tujuan atau bahkan ambisi, maka hal-hal yang dianggap mustahil sekalipun bagi para dewa bisa dilakukan demi tercapainya ambisi itu.

Setelah mempertimbangkan segalanya, selama puluhan tahun, akhirnya Bharata Ramanda memutuskan untuk menjalankan rencana yang dalam sejarah kedewaan tidak pernah terjadi. Dalam rencana besar ini ia meminta istrinya untuk ikut andil. Demi perjuangan dan masa depan katanya.

“Demi Dewa Agung, Yang Maha Tinggi! Yang Maha Tunggal, aku tak pernah terbesit sedikitpun di hati kalau Kakang Ramanda punya pemikiran seperti itu. Bukankah kita para dewa terbebas dari sifat buruk?”

“Dinda, Dewi, dengar, apa yang kita lakukan ini bukan sedang melanggar aturan demi ambisi pribadi. Tapi ini demi kerajaan. Kakang Bharata Kamaswara bukan orang yang layak menggantikan ayahanda. Dia pernah tertuduh melakukan pencurian Batu Keabadian di Gugus Bintang Kehidupan. Apa kau mau melihat kerajaan ini hancur karena dipimpin orang yang salah? Pencuri? Padahal para dewa tidak seharusnya melakukan perbuatan rendahan seperti itu?”

“Tidak pernah terbukti Kakang Kamaswara melakukan itu, Kakang! Lagian kejadian itu sudah lama. Ribuan tahun yang lalu. Kalau memang dia yang mencuri, mustahil Raja Agung berdiam diri.”

“Ayahanda tidak tahu sifat asli Kamaswara, Istriku. Bahkan kau yang pernah menjalin hubungan dengannya sekalipun tidak tahu seperti apa sifat sebenarnya.”

Mendengar kalimat terakhir yang dalam benak pun tak pernah terfikir akan keluar dari mulut suaminya, kedua mata indah Dewi Gandasari sampai membulat. Ada raut kekecewaan di wajah putih cantiknya.

“Aku makin tidak mengerti, kenapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutmu, Kakang. Ingat siapa diri kita Kakang. Kata-kata semacam itu harusnya hanya bisa keluar dari mulut manusia, bukan para dewa.”

Ramanda tersenyum. “Jadi kau menolak membantu suamimu dalam perjuangan ini, Dinda Dewi?”

“Aku takut Dewa Agung murka.”

“Dewa Agung tidak akan ikut campur urusan kerajaan kita, Dewi. Aku yakin kau pun sudah tahu batasan-batasan itu. Semua ada aturannya.”

“Dan Kakang dengan sengaja akan melanggar aturan itu?!” Nada suara Dewi Gandasari sudah mulai meninggi. Beruntung ruangan di mana mereka berada telah dipagari dengan Tabir Buta. Jangankan dewa yang ada di kerajaan itu, yang tingkatannya jauh di atas mereka sekalipun tidak mampu melihat. Ilmu kesaktian ini hanya dewa di kalangan istana saja yang memiliki dan itu memang sudah menjadi suatu keharusan, karena setiap diri bagi para dewa yang tergolong penting dalam kerajaan harus punya privasi.

Namun, ini berlaku bagi dewa saja. Untuk para dewi tidak punya hak mempelajari, bahkan ilmu itu sangat terlarang penggunaannya bagi mereka. Itu diberlakukan demi dua ujian sekaligus. Pertama ujian bagi para dewi, apakah mereka sanggup menaati untuk tidak melanggar aturan, mempelajari ilmu Kabut Buta. Yang kedua ujian bagi para dewa. Apakah dia mampu menahan untuk tidak melanggar, melihat ruang para dewi yang tanpa sekat penghalang. Siapa saja yang melanggar, hukumannya hanya dua, tercabutnya keabadian atau dihukum selama milyaran tahun lamanya.

“Berapa kali aku bilang Dinda, ini bukan melanggar aturan, tapi demi kebaikan kerajaan. Kita sedang berjuang, Dewi. Apakah penolakanmu memang benar takut akan larangan, atau karena hal lain?”

Kedua alis Dewi Gandasari mengkerut. “Apa maksud, Kakang?”

Ramanda tersenyum kecut. “Bagi seorang istri, sepelik apapun keputusan yang harus diambil, selagi itu yang dilakukan kebaikan, terlebih kebaikan bagi banyak mahluk, dia akan mendukung perjuangan suaminya meskipun harus mengorbankan harga diri, nama baik, bahkan nyawa sekalipun. Apalagi perjuangan yang aku lakukan demi kerajaan ini. Harusnya kau tidak punya alasan untuk menolak. Tapi apa yang kulihat sekarang? Aku semakin yakin, bukan aturan itu sebenarnya yang kau takutkan, Dewi, melainkan kau tidak rela, kekasih masa lalumu mendapat hukuman yang setimpal akibat perbuatannya. Atau jangan-jangan itu memang sudah jadi rencana kamu? Menjadikan Kakang Kamaswara raja lalu kau meninggalkanku dan menikah dengan dia!?”

Dewi Gandasari sampai harus menjauhkan kepalanya lantaran Ramanda bicara dekat sekali seakan tidak berjarak dengan tatapan menusuk.

“Kau tampak terkejut! Kau juga mendadak bisu! Jadi benar dugaanku kan? Kau mengkhianatiku Dewi?!”

“Demi Dewa Agung tidak pernah aku....”

“Jangan berani-berani kau membawa-bawa nama Dewa Agung demi untuk menutupi kebusukan hatimu, Dewi!” potong Ramanda dengan suara keras membentak. Dewi Gandasari hanya bisa menangis. Ini untuk pertama kali dalam hidupnya mendapat bentakan sekeras itu.

“Dalam mimpi sekalipun aku tidak pernah terlintas sedikitpun untuk berkhianat, Kakang. Urusanku dengan Kakang Kamaswara telah berahir dan tidak memiliki jejak sedikitpun. Setelah kau menjadikanku istri, aku sudah bersumpah atas nama Dewa Agung untuk mengabdi kepadamu.”

“Buktikan kalau kau memang tidak berkhianat kepadaku, Dinda.” Ramanda memegang kedua bahu istrinya. Mengusap air mata perempuan cantik itu secara perlahan. Penuh kasih sayang. “Aku sangat mencintaimu. Kalau ada rasa cemburu, itu wajar, mengingat betapa dekat hubungan kalian di masa lalu. Karena itulah, sebagai pembuktian kalau kau sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya, maka, bantulah perjuangan suamimu.”

Dewi Gandasari tertunduk. Ini pilihan yang sangat sulit yang pernah ia temui selama seumur hidup. Andai ada pilihan lain, tentu ia akan memilih itu sesegera mungkin.

“Kau masih ragu? Jangan biarkan kesempatan yang kuberikan saat ini menjadi sia-sia. Putuskanlah, Dewi.”

Lama tak ada jawaban. Setelah lebih dulu Dewi Gandasari mengusap air matanya, akhirnya ia berkata, “Apa yang harus aku lakukan, Kakang?”

Ramanda tersenyum, mengecup bibir istrinya dengan penuh mesra. “Ajak dia ke kamar ini, Dinda.”

Dewi Gandasari tersurut satu langkah ke belakang.

“Itu pantangan besar Kakang. Raja Agung akan murka.”

“Karenanya setelah dia masuk ke sini langsung kau minta dia untuk mempergunakan Ilmu Kabut Buta. Soal apa yang nanti bakal kalian lakukan di kamar ini, itu terserah kamu. Aku tidak akan cemburu karena aku tahu ini bagian dari rencana. Kau mau buktikan sendiri kan apakah dia mencuri Batu Keabadian itu atau tidak. Saat dia menanggalkan pakaiannya, maka batu itu akan terlihat disekujur tubuhnya yang terbungkus cahaya hitam pekat.”

Dewi Gandasari menatap kedua mata suaminya dalam-dalam. Benarkan apa yang diucapkannya? Bukan-bukan soal Batu Keabadian itu, tapi soal kata yang pertama. Dia tidak akan cemburu apapun yang bakal nanti ia lakukan di sini bersama Kamaswara? Membayangkan berada berdua dalam ruang tertutup, tak ada satu mahluk pun yang tahu bersama lelaki yang dulu sangat dicintainya, dada Dewi Gandasari berdebar lebih kencang. Sudah lama ia tak pernah melihat wajah lelaki tampan itu dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan, jangankan untuk melihat, sejak ia dinikahi Ramanda, sejak saat itu pula, segala jenis hubungan dengan Kamaswara menghilang. Tak pernah ada lagi saling sapa. Apalagi sampai berbincang-bincang, berbagi cerita seperti sebelumnya ketika ikatakan pernikahan itu datang.

“Kau melamun, Dinda.” Ramanda tersenyum manis. “Apalagi yang kau pikirkan?”

“Kalau dia menolak?”

“Dia tidak akan bisa menolak permintaan orang yang sangat dicinta.”

Kedua alis Dewi Gandasari meninggi. Melihat keterkejutan itu Ramanda tersenyum bahkan tertawa.

“Kau tidak tahu mengapa sampai saat ini dia belum menikah, Dewi. Itu bukan lain karena sangat mencintaimu.”

Dewi Gandasari menundukkan kepala. Mendadak ia teringat dengan kisah cinta masa lalunya, akan tetapi segera ia menepis lembaran perjalanan cinta mereka yang mulai berdatangan. Ia tidak mau sesuatu yang sudah hilang, telah berlalu kembali datang, mengganggu kehidupan barunya saat ini.

“Maksud aku, bukan tentang penolakan kedatangannya, tapi penolakan dia melakukan untuk menutup pandang dengan Tabir Buta. Karena dia tahu itu pelanggaran besar yang tidak mungkin dilakukan.”

“Kalau dia tidak mau melakukan, kau yang melakukan, Dewi.”

“Aku?”

“Ya.”

Wajah Dewi Gandasari berubah pucat. Kedua bola matanya bergerak liar, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. Melangkah perlahan menuju sisi ranjang yang teramat besar.

“Kau tahu apa hukuman yang nanti aku dapatkan, Kakang?” Dewi melihat ke arah suaminya yang kini ikut duduk di sisinya. “Jangankan sampai menggunakan ilmu terlarang itu, ketahuan mempelajari saja hukumannya tidak main-main.”

“Percaya padaku, Dewi. Tidak ada yang akan menghukummu. Karena setelah Kakang Kamaswara ketahuan kelakuan buruknya, ayahanda raja mencabut Kamaswara dari pewaris sah kerajaan. Itu artinya, akulah pewaris tunggal kerajaan ini. Dengan demikian, semua hukum dan keputusan berada di tanganku. Siapapun, termasuk ayahanda sendiri tidak punya hak dan kendali lagi. Lagian kau tidak melanggar karena tidak pernah mempelajari. Aku hanya akan memberimu Ilmu ini sesaat, dan hanya bisa sekali digunakan. Setelah itu hilang tak berbekas. Jangankan ayahanda, dewa dengan tingkatan tertinggi sekalipun tidak akan bisa tahu kalau yang menggunakan ilmu itu adalah kamu.” Ramanda mengangkat dagu istrinya yang kala itu menunduk lesu. “Tanggalkan seluruh pakaianmu, Dewi. Ilmu ini hanya bisa masuk saat seluruh permukaan kulit tidak terhalang oleh apapun.”

Cukup lama kebimbangan menggelayut dalam hati Sang Dewi. Hingga akhirnya anggukan kepala membuat seluruh pakaiannya sirna. Kedua bola matanya terpejam. Bersama rentangan tangannya, dalam keadaan tubuh tanpa sehelai benang pun, sosok Dewi Gandasari mengapung di udara. Setinggi bahu sosok itu terhenti. Dari arah kepala Dewi Gandasari Ramanda merapal sebuah mantra. Cahaya putih menyilaukan keluar dari kedua telapak tangannya yang di tempelkan ke kepala di kedua sisi. Cahaya putih itu merambat ke seluruh tubuh, membungkus tubuh indah telanjang Sang Dewi. Tubuh yang terbungkus kulit halus itu gemetar. Pertama perlahan saja. Semakin lama semakin keras, hingga lenguh kesakitan terdengar dari bibir indah Dewi.

“Bertahanlah Dinda Dewi. Ini tidak akan lama.” Terlihat jelas Ramanda menambah tingkat kekuatan. Dewi Gandasari merasakan tubuhnya terpanggang. Sudah tak kuat lagi ia bertahan. Jerit kesakitan keluar dari bibirnya. Dalam sekejap cahaya putih menyilaukan itu hilang. Dan secara ajaib sosok Dewi kembali berdiri. Sebelum kakinya menginjak lantai, pakaiannya yang tadi hilang kini telah kembali.

“Kau sudah dapatkan ilmu itu. Ingat, pergunakan sebaik mungkin. Tidak ada satu kekuatan pun yang sanggup menembus Tabir Buta yang kau punya. Bahkan aku sendiri tidak akan mampu.”

Dewi Gandasari hanya mengangguk perlahan.

“Kau sudah siap menjalankan rencana?”

Lagi, Dewi Gandasari hanya bisa mengangguk.

“Kau memang istriku yang bisa diandalkan,” ujar Ramanda seraya tersenyum penuh kemenangan.

***

Dalam ruangan, di mana segala kemewahan tertata rapi di setiap sudutnya, seorang pemuda tengah bersemedi. Sekujur tubuhnya terbungkus dengan cahaya hitam pekat. Di depannya ada sebuah belanga besar terbuat dari tembaga murni berukir naga hitam. Di dalamnya berisi cairan yang juga berwarna hitam. Dari cairan itu mengepul asap hitam pekat menyesakkan. Kalau saja yang bersemedi itu bukan pemuda yang memiliki tingkat tenaga dalam tinggi, tentu sudah sejak tadi sosoknya akan terbakar lumer terkena hembusan asap hitam yang menyebar ke mana-mana. Inilah Air Larangan yang paling dan bahkan sangat dihindari bagi para dewa.

Boleh dikatakan ini air kutukan bagi mereka semua. Tidak peduli seberapa tinggi ilmunya, tingkat kekuasaan bahkan seberapa banyak kehidupan yang sudah ditempuh, ribuan tahun, jutaan tahun atau bahkan yang lebih dari itu, sedikit saja terkena cairan ini, maka runtuh sudah keabadiannya. Mereka bukan lagi dewa yang patut diagungkan, bukan lagi dewa yang mampu menjentikan jari hanya untuk menghancurkan dunia, saat itu, mereka lebih lemah dari seekor semut. Sekali potes, remuk seluruh tulang dan persendiannya.

Pemuda ini sendiri berani melakukan hal segila ini bukan tanpa perhitungan, apalagi tindakan konyol tak karuan. Ia sedang melakukan uji coba sebagai pembuktian dari ilmu barunya. Dia telah melakukan beberapa percobaan, menghirup, menyentuh dan sampai saat ini masih baik-baik saja. Semua itu karena dalam tubuhnya tersimpan Batu Puasaka yang ada di Gugus Bintang Kehidupan. Batu Keabadian. Benar apa yang disangka Ramanda, kalau pemuda ini, yang bukan lain Kamaswara telah mencuri Batu Keabadian ribuan tahun lalu.

Bharata Kamaswara membuka matanya. Cahaya hitam pekat yang sejak tadi membungkus tubuhnya perlahan mulai sirna. Lelaki berambut gondrong, berparas tampan ini meniup asap hitam pekat yang tiada henti keluar dari cairan hitam.

“Aku harus pastikan, kalau keabadian benar-benar telah kumiliki.”

Walaupun sudah sering mencoba, tapi hanya sebatas sentuhan. Yang akan dilakukan sekarang ialah jauh lebih gila. Meneguk Air Larangan, sebagai bukti kalau dirinya benar-benar telah abadi.

Perlahan ia masukan tangan kanannya ke dalam cairan itu. Dalam sekejap cahaya hitam keluar dari tubuhnya, kembali membungkus seperti sebelumnya. Itu tanda Batu Keabadian bereaksi dari ancaman luar. Bagaimana kalau ancaman itu dari dalam? Gemetar tangan pemuda ini. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang sangat gila. Sekali ia gagal, maka kejapan itu juga ia akan musnah dari peradapan.

Gluk! Gluk! Glukk!!!

Cairan hitam masuk ke kerongkongan. Ada seacam hawa panas yang menjalar di tubuhnya. Semakin lama semakin menggila. Kamaswara menjerit keras ketika ia merasakan bagian dalam tubuhnya terasa terbakar. Keringat membuncah. Kepala terasa mau pecah.

Brakkk!!!

Tubuhnya terpental menghantam meja. Benda yang terbuat dari batu permata hancur berkeping-keping. Berbagai pernik perhiasan berhamburan. Kamaswara menjerit keras, berguling-guling ke sana kemari menghantam apapun yang ada di ruangan itu. Cahaya hitam pekat mulai menyusut. Ketika cahaya itu hilang sempurna, rasa sakit yang seakan hampir membunuhnya pun sirna. Benar-benar ajaib! Seakan tidak terjadi apapun, Kamaswara melompat berdiri.

“Aku abadi!” teriaknya penuh rasa tak percaya. Ia melihat ke lantai ruangan. Betapa kacau balau kamarnya saat ini. Beruntung tubuhnya tidak terbanting ke belanga. Kalau sampai tumpah dan lantai itu terinjak dewa selain dirinya, tentu petaka besar akan menimpa.

Kamaswara menggerakan kedua tangannya. Cahaya putih kebiruan menjalar memenuhi ruangan. Dalam sekejap seluruh kekacauan tersusun kembali seperti semula. Kamaswara jentikan jarinya. Pakaian yang kini dikenakan menghilang, berganti dengan yang masih baru. Kain sutra warna hijau bergaris kuning kecoklatan bersulang emas menjadi nilai tambah bagi ketampanannya.

“Sampai saat ini aku masih tidak percaya, kalau kekuatan langit telah menjadi milikku. Aku dewa pertama di kerajaan ini, atau bahkan di tingkatan dua, tiga lebih tinggi yang menjadi abadi. Akulah raja selanjutnya yang takkan pernah tergantikan oleh siapapun. Selamanya, hahaha......”

Belum hilang gema suaranya, telinga Kamaswara mendengar suara perempuan. Suara itu sangat tidak asing di telinganya. Tapi terdengar sangat jauh. Kalau bukan dewa setingkat dia tentu takkan sanggup mendengar. Itu terjadi karena Tabir Buta yang mengurung kamarnya. Pemuda tampan ini kibaskan tangan kanan. Saat itulah cahaya putih yang sejak tadi mengurung dirinya hilang. Dalam waktu yang sama, suara perempuan yang sebelumnya terdengar kecil dan jauh berubah menjadi dekat, seolah yang bicara berada di sampingnya.

“Kakang Kamaswara, kau mendengar aku? Kakang, kenapa kau diam saja?”

Kamaswara memejamkan mata untuk memulai sambung rasa.

“Ada apa Dinda Dewi Gandasari?”

“Kakang, benarkah ini kau?”

“Benar Dinda Dewi. Apakah kau sudah tidak mengenaliku lagi?”

Terdengar desahan napas berat di sebrang sana. Juga terdengaar sedikit terisak.

“Dinda, kau menangis? Apa yang terjadi dengan dirimu?”

Lama tak ada jawaban, hingga akhirnya Kamaswara tidak sabar untuk menunggu. “Dinda, kau baik-baik saja?”

“Aku....” suara Dinda terasa sekali ada getar keperihan. “Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan sama kamu, Kakang. Sudah lama saat seperti ini ingin aku lakukan, tapi rasanya aku seperti tidak punya muka untuk menghubungimu.”

“Apa yang terjadi, Dinda?”

“Tidak mungkin kita bicara berlama-lama dengan posisi sambung rasa seperti ini, Kakang.”

“Kau ingin kita bertemu? Aku gak mau Adinda Ramanda jadi salah paham.”

Tak ada jawaban dari seberang sana. Akan tetapi Kamaswara merasakan ruangannya bergetar. Pemuda ini tahu, Dewi Gandasari sedang memindahkan ruangannya ke tempat dirinya. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman yang memang sejak dulu dihindari. Ia juga tidak mau kalau salah menempatkan diri. Bagaimana kalau Dewi sedang berada di kamarnya? Masuk ke dalam kamar perempuan adalah pelanggaran besar bagi para dewa. Apalagi perempuan itu sudah bersuami. Karena itulah Kamaswara menolak dengan gerakan halus perlahan saja. Seketika kemudian getaran dalam ruangan itu hilang.

“Kakang, kenapa kau menolak untuk bertemu? Apa kau membenciku hingga merasa jijik untuk bertemu denganku?”

“Tidak begitu Dinda Dewi. Tapi .... ini gak pantas kita lakukan.”

“Kalau bukan karena ada hal penting, tidak mungkin aku mau merendahkan diri menghubungimu, Kakang.”

Kamaswara terdiam. Berfikir, menimbang-nimbang.

“Baiklah Kakang. Maaf kalau aku mengganggu kedamaianmu. Lupakan semua yang pernah kita bicarakan hari ini. Anggap saja aku tak pernah melakukan sambung rasa dengan dirimu.”

Dewi hendak memutus sambung rasa, akan tetapi Kamaswara cepat memanggil.

“Baiklah, Dinda. Tapi apakah keadaan cukup baik hingga tak ada udara yang jadi mata-mata?”

“Semua sudah aku kondisikan Kakang. Mana mungkin aku berani melakukan sambung rasa denganmu tanpa mengamankan keadaan terlebih dahulu.”

“Baik. Lakukanlah!”

Dinding ruangan kembali bergetar halus. Mirip seperti riak air yang terkena tetesan dari daun keladi hutan, dinding yang terbuat dari emas bermanik-manik intan permata bergoyang-goyang. Dan dalam sekejap telah berubah menjadi kamar si pemanggil.

Kamaswara terkejut bukan main. Bukan tentang ke mana ia dibawa, juga bukan tentang betapa rindu dirinya selama ini yang tak pernah bertatap muka dengan orang yang dicinta, tapi tentang raut muka cantik itu, yang kini tenggelam dengan air mata. Gadis cantik yang dulu sangat dicintainya, selalu dibuat tersenyum, kini tertekuk kusut. Tampak sekali beban derita menghantui kehidupannya.

“Kakang!” pekik Dewi ketika Kamaswara telah berdiri di depannya. Berhambur ia memeluk, melepas rindu. Kamaswara yang belum mampu menguasai rasa kejut kini terhennyak, tidak menyangka perempuan itu akan memeluk dirinya. Ingin ia lepaskan, tapi, hasrat cinta terpendam seakan menyuruhnya untuk diam. Menikmati momen hangat yang telah lama lenyap.

“Dinda, hentikan! Aku gak mau ada yang lihat.”

“Kalau tidak ada, Kakang?” tantang Dewi. Kamaswara mengerut heran.

“Kenapa kamu berubah gini, Dinda? Apa yang terjadi dengan dirimu?”

“Kau belum menjawab pertanyaanku, Kakang. Kalau tidak ada yang melihat bagaimana?”

“Aku .....”

“Lakukanlah, Kakang. Keluarkan Ilmu Tabir Buta.”

“Tidak Dinda. Aku gak mungkin mengkhianati adikku sendiri.”

“Bukankah kau ke sini pun sudah termasuk pengkhianatan, Kakang. Kau tahu andai Kakang Ramanda, adikmu tahu apa yang kau lakukan sekarang, tentu kiamat bagi kita berdua. Karena itu, ada baiknya, kau keluarkan Ilmu Tabir Buta segera, Kakang. Agar dinding dan udara tidak menjadi mata-mata.”

“Dinda lepaskan pelukanmu.” Kamaswara mencoba melepaskan Dewi Gandasari. Sulit! Bukan karena teramat kuat pelukan perempuan cantik itu, melainkan kecilnya usaha yang dilakukan. Dewi pun bukannya tidak tahu. Wanita cantik ini tersenyum. Ditatapnya dalam-dalam pemuda tampan kekasih masa lalunya. Ciuman mesra mengandung sejuta rindu mendarat di bibir si pemuda. Bersamaan dengan itu cahaya merah keluar dari telapak tangan Dewi. Menyebar memenuhi ruangan. Dalam sekejap ruangan itu sudah terkurung oleh cahaya merah menyala.

Kamaswara yang menyadari itu menjadi terkejut. Tersurut ia sampai dua langkah ke belakang. Ciuman mesra penuh gelora terlepas dengan sendirinya.

“Dinda Dewi, kau mempelajari ilmu larangan untuk para wanita? Demi Dewa Agung, kau telah melanggar aturan, Dinda Dewi. Kau tahu, hukuman apa yang akan kau dapatkan andai ayahanda tahu?”

“Karena itu jangan biarkan ayahada tahu, Kakang.” Dewi tersenyum penuh pesona. Debaran dada semakin menggila. Kamaswara ingin berpaling, sekedar membuang muka untuk bisa menghindari kedahsyatan daya tarik sang dewi. Tapi sulit. Semakin ia berusaha untuk menolak, semakin kuat dorongan agar dia terus balas menatap wajah cantik itu.

“Aku rela melanggar aturan agar bisa berdua bersama kamu, Kakang. Jujur, selama ribuan tahun aku menikah dengan adikmu, aku .... sedikitpun aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Aku menyesal telah memilih dia Kakang. Aku menyesal telah terpedaya oleh bisikan yang mengatakan kalau kau bukan lelaki setia. Kau banyak menjalin cinta dengan dewi-dewi yang lain. Andai dulu aku percaya kamu, mungkin saat ini aku hidup bahagia.”

“Semua sudah berlalu Dinda. Tidak ada yang perlu disesali. Lalu jika kau tidak bahagia, terus selama ini yang kudengar kebohongan?”

Raut wajah Dewi Gandasari berubah. Ada sorot kebencian di kedua matanya. “Semua hanya sandiwara yang diciptakan Kakang Ramanda! Dia yang mengatur segalanya. Kehidupanku, kabahagiaan, senyuman, tawa, dan semacamnya tak lebih hanya kepalsuan semata. Aku tertekan, Kakang! Aku menderita! Andai aku bisa memilih, aku lebih baik hidup jadi manusia. Meskipun singkat, mereka bisa menentukan nasib hidupnya sendiri. Mereka bisa dengan mudah melanggar aturan tanpa takut hukuman yang mengancam. Kami para dewi hanya bisa pasrah menerima nasib yang telah digariskan.

“Kakang, ijinkan aku untuk bisa berbahagia bersamamu. Meskipun hanya singkat, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa mengobati luka derita selama ini.”

“Apa yang bisa aku lakukan Dinda?” belum selesai kalimat tanya Kamaswara, pakaian yang dikenakan Dewi Gandasari tiba-tiba menghilang. Tubuh indah terlihat sempurna tanpa sehelai benang pun yang menghalangi. Kamaswara membuang muka ke arah kiri. Walau demikian ia telah melihat semuanya. Darah mendesir, memenuhi kepala. Detak jantung menari-nari dalam tempo liuk gerakan yang sangat cepat.

“Kakang, tunggu apalagi?” pelukan hangat terasa menyentuh punggung Kamaswara. Dua bukit indah milik sang dewi terasa menempel rapat. “Lepaskan pakaianmu, Kakang.” Kedua tangan lentik berkulit lembut menjelajah ke setiap jengkal dadanya. Kamaswara menggeliat. Gelegar nafsunya sudah tak terbendung. Sekali berbalik pakaian yang dikenakan menghilang. Dalam ruangan yang terkunci rapat oleh ilmu kesaktian sepasang kekasih sedang memadu cinta, tanpa satu mahlukpun yang tahu. Bahkan dinding tidak bisa melihat, udara tidak bisa mendengar.

Brakk!!!

“Terkituk! Iblis kalian berdua!”

Kamaswara melompat dari ranjang. Tubuh telanjangnya secara cepat terbungkus pakaian yang sebelumnya hilang sesaat setelah kakinya menginjak lantai.

“Adinda Ramanda, ini tidak seperti yang kau lihat. Aku bisa jelaskan semuanya.”

Di depan sana, berdiri Ramanda dengan tatapan mata penuh amarah. Puluhan dewa lainnya berada di belakang. Kutuk sarapah terdengar lewat mulut masing-masing. Walau itu tak lebih dari dengungan suara tawon.

Dewi Gandasari yang saat itu telah berpakaian rapi warna biru muda, berlari ke arah Ramanda. Pecahan benda yang berserakan yang tadi di hantam dengan pukulan sakti dilewati tanpa takut kaki mulusnya tergores.

“Kakang.”

“Diam kau pelacur! Jangan melangkah lebih dekat lagi!”

Terlihat sekali betapa terkejutnya perempuan ini. Ia tidak tahu apakah amarah yang terlihat itu hanya sebatas sandiwara atau betulan. Kalau memang sandiwara harusnya suaminya tidak setega itu menyebut dirinya pelacur di depan banyak orang.

“Bawa Pelacur ini ke ruang tanahan!”

Dua dewa berkelebat. Dewi Gandasari hendak memberontak, akan tetapi ilmunya berada jauh dibawah dua dewa itu. Ia hanya bisa membeliak. Tubuh kaku itu sudah dibawa paksa. Kamaswara yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia hendak menolong, sayangnya, Ramanda cepat menghadang geraknya.

“Adinda, aku bisa jelakan semuanya.”

“Kau jelaskan nanti dihadapan ayahanda!”

“Ayahanda tidak perlu tahu masalah ini.”

“Kau takut?” senyum penuh ejekan terlihat di bibir Ramanda. “Kalau kau merasa benar harusnya ini tidak jadi masalah besar buat kamu kan?”

Kamaswara terdiam. Bersama anggukan kepalanya seperti yang terjadi saat di kamar tadi, dinding kamar indah berubah menjadi tempat pertemuan para pembesar kerajaan. Semua dewa yang hadir di situ sama heran melihat dua pangeran yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah rapat kerajaan. Sedangkan Raja Agung sendiri tenang-tenang saja. Tentu saja dia tahu akan kedatangan putranya karena sebelum memindah lokasi Ramanda ijin terlebih dahulu pada ayahnya. Yang ia tidak tahu ada gerangan apa putranya meminta dalam kondisi yang tidak biasa.

“Ampun ayahanda. Ada keadaan yang memaksa ananda untuk bertemu.”

“Apa yang membawamu sampai melakukan itu? Bukankah kau tahu aturannya? Hanya urusan yang sangat pelik, dan mendesak saja yang boleh mengganggu berlangsungnya pertemuan besar?”

Ramanda memandang sekeliling. Semua orang kini menghujani dirinya dengan tatapan. Kamaswara sendiri sejak tadi hanya berdiri menundukan kepala.

“Perkara yang ananda bawa lebih besar dari yang pernah terbayangkan, Ayahanda Prabu.”

Raja Agung menatap dalam-dalam paras anaknya. Menunggu sang pangeran untuk melanjutkan.

“Biar saya yang menjelaskan,” bisik Kamaswara. Seakan tidak mendengar perkataan kakaknya Ramanda membungkuk kepada ayahandanya.

“Mohon ijin membuka tabir.” Belum sempat mendapat restu, tidak peduli dengan kakaknya yang berusaha untuk melarang, Ramanda kibaskan tangan kanannya. Mendadak ruang rapat berubah menjadi kamar Dewi Gandasari. Semua orang bertanya-tanya. Apa yang kini sedang dilakukan sang pangeran.

Blup!!!

Tiba-tiba tabir tertutup kembali. Kamaswara telah memberi dinding penghalang, atau menutup akses dengan tenaga dalamnya. Semua mata kini tertuju pada Kamaswara.

“Aku bisa jelaskan secara kalimah tanpa harus mempertontonkan apa yang sudah terjadi, Dinda Ramanda!” Tampak sekali Kamaswara menekan kuat-kuat suaranya. Pemuda ini sedikit pun tidak menyangka kalau dirinya akan ditelanjangi di hadapan para dewa.

“Ayahanda dan kami semua tidak butuh penjelasanmu!” Ramanda melirik ke Raja Agung, maksudnya meminta bantuan agar penghalang yang dibuat kakaknya dimusnahkan. Mengerti maksud putra bungsunya, karena memang apa yang dikatakan juga benar, maka sekali kibas dalam sekejap ruang kamar yang tadi hilang kini kembali. Semua mata membeliak saat melihat Kamaswara berada dalam kamar istri Pangeran Ramanda. Kutuk sarapah para dewa terdengar berdesis di seluruh sisi ruangan. Terlebih saat keduanya bereluk cium dengan mesranya. Semua pembicaraan dan apa yang terjadi terdengar jelas. Sampai akhirnya cahaya merah muncul, merubah ruangan itu menjadi awan putih yang menghias langit lepas. Inilah saat Dewi Gandasari menutup dengan Tabir Buta.

Kutuk sarapah terdengar di mana-mana. Kalau sebelumnya hanya berupa desisan, tidak untuk sekarang. Raja Agung sendiri seakan tercoreng wajahnya dengan rasa malu yang teramat sangat. Hawa panas mulai menjalar disepanjang peredaran darahnya. Terlebih lagi saat ruangan kambeli berubah, dan sungguh sulit dipercaya dengan apa yang dilihat semua dewa. Kamaswara melompat dari ranjang dalam keadaan telanjang!

“Dewa Agung! Dosa apa aku sampai mendapat kutukan begini rupa? Kenapa perbuatan hina dina dan sangat rendah terjadi di kerajaanku?! Kau! Apa yang sudah kau lakukan, Kamaswara!!” bentak Raja Agung. Lebih dari seribu guntur digabungkan, suara itu mampu merobek setiap telinga yang mendengar. Beberapa dari dewa yang ilmu kesaktiannya berada dibawah Ramanda, harus menerima dengungan dahsyat, tak mampu membendung serangan tenaga dalam yang dikirim lewat bentakan. Dewa-dewa ini muntah darah segar. Dari telinga mengalir cairan merah kental dan pada saat yang sama mendadak telinganya tidak bisa mendengar. Sedangkan Ramanda dan Kamaswara yang tingkat kepandaiannya berada jauh di atas dewa-dewa itu meski merasakan sakit yang teramat sangat, mereka tidak sampai mendapat luka dalam.

“Ayahanda, Ananda bisa jelaskan. Apa yang terlihat tidak seperti yang terjadi sebenarnya. Ayahanda harus mendengar sedari awal kejadian itu bermula.”

Raja Agung seakan tidak mendengar penjelasan anak sulungnya. Lelaki berjanggut putih ini gerakan kedua tangannya. Dalam sekejap sebuah kawat yang terbuat dari perak sebesar kelingking telah menjirat sekujur tubuh Kamaswara. Pemuda ini menjerit keras. Semakin ia meronta, semakin dahsyat jiratan kawat itu. Lebih lagi andai dia berani menggunakan tenaga dalam. Maka bisa terkutung-kutunglah tubuhnya.

“Ayahanda, kau tidak bisa memperlakukan anakmu seperti ini sebelum tahu kebenarannya. Kalau kau tidak percaya aku, kau bisa tanyakan pada Dewi Gandasari!” Kamaswara dalam jerit kesakitannya berkata dengan teriakan. Akibatnya semakin keras jiratan yang diterima.

“Sama-sama pelacur! Bukan mustahil kalian sudah merencanakan ini sejak lama! Kenapa kamu tega merusak nama baik ayahanda, Kakang Kamaswara? Kenapa kamu tega mencoreng muka ayahanda di depan semua orang dengan kotoranmu sendiri? Apa salah ayahanda? Apa semua ini kau lakukan karena merasa dendam dengan ayahanda, lantaran beliau tidak langsung memberikan tahta kerajaan kepadamu?”

Mendengar keterangan itu Raja Agung menatap tajam pada Kamaswara. Menunggu jawaban apa yang akan keluar. Mungkinkan begitu?

Berbeda dengan Kmaswara sendiri. Lelaki ini bahkan sampai membeliak saking tak percayanya dengan perkataan adik kandungnya. Karena Kamaswara tidak memberi jawaban apapun, Raja Agung membentak.

“Jawab! Benar apa yang adikmu katakan?”

Kamaseara kembali menjerit, lantaran seiring dengan bentakan, jeratan kawat perak yang berada di tubuhnya semakin menggila.

“Terlintas dalam pikiran saja tidak pernah, apalagi sampai aku melakukan kegilaan itu!”

“Kau pandai berdusta. Aku mau lihat siapa kau sebenarnya Kakang Kamaswara.” Ramanda menggerakan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu, lantai di mana Kamaswara berpijak berderak, menguak. Dalam kecepatan kilat sosok Kamaswara telah terbenam ke dalam lantai sebatas leher. Lalu, grekkk!!! Lantai kembali menutup. Semua orang terkecuali Raja Agung bergidik ngeri melihat ilmu yang dikeluarkan pangeran Ramanda.

Dewa memang tidak bisa mati tanpa dicabut keabadian dari tubuhnya. Akan tetapi, mendapat siksaan yang mengerikan sepanjang hari selama beribu-ribu tahun maka siapa yang menginginkan hidup semacam itu? Ilmu langka yang dikeluarkan Ramanda sebenarnya hanya boleh dikeluarkan pada para dewa yang melanggar. Lantai di mana sosoknya terkubur akan merapat secara perlahan hingga tulang dan daging remuk menjadi satu. Lalu karena tubuh dewa abadi, kejadian itu akan terus berulang-ulang selama ribuan tahun hingga masa hukuman selesai.

Melihat Ayahandanya tidak melarang, yang dalam artian lain menyetujui apa yang dilakukan dirinya, pemuda ini rapatkan kedua telapak tangannya. Dalam kejapan mata bumi yang menghimpit tubuh Kamaswara merapat ganas. Suara remuknya tulang belulang bersahutan dengan jerit kesakitan. Semua orang sampai memalingkan muka. Terlebih bagi mereka yang mengenal sangat baik pemuda ini

Plak!!

Kembali Ramanda merapatkan telapak tangannya. Dan bumi pun mengikuti. Satu dua bahkan tiga kali masih bisa bertahan, tapi mau sampai kapan? Kamaswara tidak ada pilihan lain selalin melawan. Sekali hentak lantai keras yang terbuat dari berlian hancur berhamburan. Kamaswara berdiri tegak satu langkah di depan adiknya.

“Sejak dulu kau memang selalu iri padaku, Ramanda! Aku kenal betul dengan perempuan itu. Dia berhati baik, lugu tapi setelah bersamamu dia berubah binal. Apa semua itu bagian dari rencanamu? Kau memperalatnya demi ambisimu mendapatkan tahta?”

“Bermulut kotor, lancang! Berani kau memfitnah aku dihadapan semua orang setelah apa yang kau lakukan lebih rendah dari para manusia di bawah sana!” Ramanda hendak kembali mengeluarkan Ilmu Penghimpit Roh, namun Kamaswara mendahului dengan mengeluarkan Laskar Matahari. Dua larik sinar merah menyala, mengerikan keluar dari sepasang matanya. Membentuk gunting, siap menebas tubuh Ramanda. Pemuda ini sedikit terkejut melihat ilmu yang terkenal ganas itu. Perlu diketahui, ilmu ini sangat langka di alam dewa. Hanya ada beberapa orang saja yang memiliki. Termasuk ayahandanya sendiri. Sementara dirinya belum mampu menguasai lantaran tingkat ketinggian tenaga dalam belum mencukupi.

Dalam ilmu silat, selain kekuatan, kecepatan adalah hal yang paling penting. Tertinggal sedikit saja maka fatal akibatnya. Dan kini terjadi pada Ramanda. Walau ia terkejut hanya sesaat, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk serangan lawan membabat putus tubuhnya. Dalam ketegangan itu, Ramanda yang sudah terlambat memapasi sebuah ancaman, ia juga melakukan kesalahan berupa mengadu jiwa dengan mengeluarkan Sepasang Dewa Pedang. Secara tenaga dalam ia jelas kalah telak. Secara ilmu kesaktian yang dikeluarkan lebih lagi, Laskar Matahari berada sertus kali lebih tinggi di atasnya. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi pada pemuda ini. Selain kepala hancur tubuhnya akan terkutung-kutung. Beruntung jika masih bisa diselamatkan, kalau sekarat, karena tubuh tercerai berai maka kehidupan abadi yang sangat dibanggakan para dewa hanya sia-sia.

Saat genting itulah dua larik sinar merah memapasi serangan ganas Kamaswara. Ledakan dahsyat terjadi kala tiga kekuatan mengandung tenaga dalam tinggi mengguncang istana. Lantai yang dipijak terasa bergetar. Atap bangunan yang menjulang tinggi ke langit terasa akan runtuh. Butiran debu terlihat berjatuhan dari langit-langit ruangan. Tapi uniknya, segila itu ledakan yang diakibatkan, debu yang beterbangan tidak sampai menyebar. Dalam sekejapan mata bekas ledakan hilang, tempat itu seakan tidak pernah terjadi apa-apa.

Raja Agung terhenyak sedikit, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Kamaswara terbanting, berguling-guling sepanjang lantai ruangan. Terbatuk-batuk ia mengeluarkan darah segar. Tapi hanya sesaat. Dalam waktu singkat ia sudah kembali pulih. Berdiri seakan tak terjadi apapun atas dirinya. Melihat ini Raja Agung merasa heran. Harusnya anak sulungnya itu pingsan. Atau paling tidak luka parah, jangankan untuk bisa berdiri, duduk saja tidak mungkin bisa dilakukan. Bagaimana dengan Ramanda?

Karena tenaga dalam pemuda ini berada jauh dibawah kedua orang itu, maka sosoknya terpental jauh. Tiga dewa sampai harus menyambar agar tubuhnya tidak terbanting ke dinding. Pemuda ini pingsan. Raja Agung memerintahkan dua dewa itu untuk membawa Ramanda pergi, ke ruang pengobatan.

“Jangan katakan kalau yang ribuan tahun menggemparkan Gugus Bintang kau pelakuknya, Kamaswara!”

Kamaswara tersenyum ketir. Meludah ia di hadapan ayahandanya sendiri. Semua orang sama tak menyangka melihat perubahan sikap pemuda ini yang dulu terkenal sopan dan penuh tatakrama kini berbanding terbalik.

“Persetan dengan kata-katamu! Aku sudah katakan kalau aku bisa jelaskan semua tapi kau menghukum aku dengan membabi-buta! Jangan karena kau ayahku lalu bisa seenaknya memperlakukan aku serendah ini di hadapan semua orang!”

“Lancang! Laknat terkutuk! Aku tidak mengenalimu lagi! Mulai saat ini kau bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan! Hukum langit telah berlaku! Atas nama Dewa Agung, aku cabut keabadian yang kau miliki! Kau mahluk rendah yang tidak pantas berada di sini! Pergi kau ke bumi jalani hukumanmu menjadi mahluk fisik dan mati penuh penderitaan!” Raja Agung menunggu sesaat setelah kutukan dijatuhkan. Harusnya gelegar guntur mengguncang seluruh kota raja. Tapi, ditunggu sampai beberapa lama tidak terjadi apa-apa. Kamaswara tertawa terbahak-bahak.

“Kutukanmu tidak berlaku padaku, Orang Tua! Karena kau telah menjatuhkan laknat terhadapku, maka jangan salahkan aku kalau saat ini aku berubah menjadi kejam, merampas apa yang selama ini kau banggakan.”

Trakkk!!!

Kamaswara dengan sangat mudahnya menghancurkan kawat perak yang sejak tadi membelenggu dirinya. Raja Agung dan semua orang menjadi terkejut. Senjata sakti yang hanya dimiliki oleh para raja itu tak akan mampu terpatahkan oleh kekuatan apapun. Tapi Kamaswara dengan mudah menghancur leburkan?!

“Sekarang, lihat ini!” Kamaswara menggerakkan kedua tangannya. Dalam sekejap ruang kerajaan berubah menjadi ruang kamar miliknya. Dalam ruangan itu terdapat cairan hitam yang disebut Air Larangan bagi para dewa. Seperti yang sudah dijelaskan jangankan sampai menyentuh, terkena asap hitamnya saja para dewa akan musnah dengan seketika.

Raja Agung berteriak keras ketika melihat asap hitam memenuhi ruangan itu. Ia memberi perngingatan agar cepat menutup jalan pernapasan dan memagari tubuhnya dengan kesaktian. Bagi para dewa yang memiliki ilmu tingkat tinggi, mudah saja mengikuti apa yang diperintahkan. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak mampu melakukan pemagaran? Jerit kesakitan terdengar. Tubuhnya melepuh, asap hitam tebal keluar dari tubuh para dewa. Lalu Blup!!! Api menyambar, tidak sampai dua tarikan napas, tubuh itu telah berubah menjadi abu.

Puluhan dewa yang malang mulai berjatuhan. Mengikuti sosok sebelumnya yang berakhir menjadi abu.

“Mahluk laknat! Terkutuk kau selama dunia terkembang!” Raja Agung membentak garang. Dua pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam putra sulungnya. Kamaswara tertawa. Diambilnya secuil cairan hitam dari belanga, melempar ke arah gumpalan cahaya panas yang siap melahap dirinya, ajaibnya, kekuatan sedahsyat itu tak mampu menembus sejumput Air Larangan. Gelombang kekuatan serangan berbalik arah ke tuan pemiliknya. Raja Agung terbelalak. Melompat setinggi tiga tombak demi menghindari amukan pukulannya sendiri.

“Kalian akan mati terkurung dalam ruangan ini! Aku mau tahu kalian semua bisa tahan sampai berapa lama.” Kamaswara gerakan tangan kanannya. Raja Agung yang tahu apa yang akan dilakukan anak sulungnya cepat menghadang dengan tenaga dalam. Cahaya putih yang siap membungkus ruangan itu tertahan oleh bendungan. Soal tenaga dalam memang tidak bisa diragukan. Dua puluh dewa yang tersisa pun tahu itu. Sang raja akan sanggup membendung cahaya yang siap mengurung mereka. Tapi, bagaimana jadinya jika pemuda laknat itu mempergunakan Air Larangan?

“Cepat kalian semua keluar dari ruangan ini!” titah Sang Raja. Bukannya keluar, para dewa yang tersisa justru membantu menahan laju lesat cahaya. Sisa lainnya menyerang ke arah Kamaswara. Pemuda ini menghardik penuh kebencian. Sekali tiup ribuan cipratan air menerpa mereka semua.

“Awas!” Raja berteriak mengingatkan tapi terlambat. Ribuan titik air itu bagaikan anak panah yang melesat dahsyat. Dalam waktu singkat dua belas dewa telah tertembusi tubuhnya. Jerit kesakitan terdengar mengerikan dalam ruangan. Bersahut-sahutan layaknya teriakan setan dari neraka. Tubuh-tubuh itu kelojotan, mengepul, menghitam lalu terbakar, berakhir menjadi abu.

Cahaya putih telah sirna. Raja dan semua dewa serempak menggeser tempat ke sebuah dataran luas. Ini adalah perbatasan antara dunia manusia dan alam para dewa. Kamaswara kembali hendak menyerang para dewa dengan Air Larangan. Akan tetapi mendadak tubuhnya menjadi berat. Dalam kebingungannya, pemuda ini merasakan adanya kawat yang sama persis seperti tadi mengikat tubuhnya. Yang membedakan dari apa bahan kawat itu terbuat. Kalau tadi dari perak, saat ini dari emas. Menurut legenda, tidak satu kekuatanpun yang mampu memusnahkan kedahsyatan jiratan kawat emas itu.

Kamaswara menjerit. Belanga berisi cairan hitam yang sejak tadi dipegang terlepas. Sebelum tumpah ia pagari belanga itu dengan Ilmu Pemagar Roh. Belanga jatuh meluncur deras ke lautan dan menghilang. Salah satu dewa hendak mengambil cairan itu, tapi Raja Agung melarang.

“Kalian tidak akan sanggup menyentuhnya. Karena Ilmu Pemagar Roh sudah tercampur dengan Air Larangan. Aku merasakan tekanan hebat saat memapasi Laskar Matahari di ruang kerajaan. Tenaga dalam dia berada jauh sekali dibawahku, tapi aku merasakan hentakan dahsyat. Sebelumnya aku tidak tahu, sampai mahluk terkutuk itu membawa kita ke kamarnya.”

Dewa itu mengangguk. Raja Agung memejamkan mata. “Kau sudah bukan dewa lagi. Ajalmu bergantung pada kesaktianmu. Meskipun kau telah menelan Batu Keabadian tapi, ada saatnya kematian menjemputmu. Tinggalah dan jadilah manusia terkutuk selama-lamanya dalam perut bumi!” Raja Agung mendorong kedua tangannya. Desiran angin yang maha dahsyat menerpa sosok Kamaswara. Lelaki ini menjerit bak ribuan setan yang mengamuk dipekuburan. Melesat kencang bagaikan meteor yang jatuh menembus awan. Sosoknya amblas masuk ke dalam tanah.

“Beruntung Dewa Agung mau meminjamkan kawat emas itu. Kalau tidak, aku gak bisa bayangkan apa yang bakal terjadi di kerajaan para dewa.”

“Yang Mulia, menurut legenda, senjata sakti itu tak ada satu kekuatanpun yang mampu melepas. Itu artinya, putra Baginda Raja akan terikat selama dunia terkembang.”

Raja Agung mengangguk. “Keabadian yang dia inginkan membawa derita tak berkesudahan baginya. Dia akan menyesal telah melakukan langkah bodoh itu.”

Bab 4

Satu bulan sejak kabut tipis memenuhi seluruh daratan pulau jawa kesultanan Banten mengerahkan seluruh pasukan dan juga mata-mata kerajaan untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sampai seluruh pihak dimintai pertolongan, termasuk tokoh-tokoh penting dari dunia persilatan, tidak ada satu pun yang mengetahui, dari mana asal kabut itu. Meskipun tidak terlalu mengganggu, karena hanya berupa kabut tipis dan sebagai bukti, aktifitas sehari-hari tetap berjalan seperti sedia kala. Kabut itu juga tidak mengganggu pandang mata, pernapasan dan lain karena kehadirannya oleh masyakarat tak lebih hanya sebatas embun pagi yang justru menambah kesejukan saat siang hari karena sengatan mentari sedikit terhalangi.

Setelah sekian lama menyidik dan tidak mendapat kejelasan maka Kesultanan Banten memutuskan untuk menghentikan penyelidikan. Terlebih saat para pmbesar istana menegaskan kalau itu hanya kabut biasa akibat dari tingginya curah hujan yang mengguyur dataran pulau jawa.

Mendapat penjelasan demikian, pihak kerajaan memberi pengumuman kepada rakyatnya kalau kabut itu tidak memiliki dampak apalagi bahaya sedikitpun. Rakyat tidak perlu cemas dan tetap menjalankan aktivitas seperti biasanya. Tentu saja itu berita bagus, terutama bagi rakyat yang kegiatan sehari-harinya menjadi nelayan dan petani.

Lalu bagaimana pendapat para tokoh-tokoh sakti dari dunia persilatan? Hal itulah yang sedang dicari tahu oleh seorang perempuan yang memiliki mata indah bercahaya. Mata seindah bintang timur itu harusnya memiliki paras cantik nan rupawan. Akan tetapi, wajahnya yang selalu tertutupi kain warna merah menjadikan orang sulit menduga, bagaimana rupa sebenarnya.

Perempuan itu bukan hanya menutupi wajah, ia juga menutupi hampir keseluruhan kepalanya. Hingga yang terlihat hanya sosok tinggi semampai, potongan tubuh elok yang juga ditutupi dengan pakaian yang senada. Dari arah depan terlihat gagang pedang berwarna hijau menyembul.

Angin kencang mengibarkan pakaian merah, bersama dengan itu bau harum semerbak menebar di seluruh halaman rumah panggung.

“Kesultanan sendiri telah memberi pernyataan kalau itu hanya kabut biasa dan akan hilang dengan sendirinya, saat musim penghujan sampai pada titik terakhirnya.”

Perempuan bercadar merah memandang ke jurusan lain. Ke arah laut lepas. Kabut tipis tampak jelas menggantung di udara. Sebelum kabut itu datang, jarak pandang bisa sampai ke pulau sebrang. Kapal-kapal akan terlihat di kejauhan. Kini, jangankan kapal, pulau di mana anak buahnya berjaga-jaga saja sulit terlihat dengan jelas. Ia harus mempertajam dengan bantuan tenaga dalam agar apa yang dilihat menjadi sempurna.

“Lalu bagaimana dengan para tokoh dari dunia persilatan?”

Seorang lelaki berusia lebih dari setengah abad membungkuk hormat.

“Maafkan saya, Pimpinan. Sampai saat ini saya belum mendapatkan kabar pasti. Tapi beberapa anak buah saya menyirap kabar kalau para tokoh golongan putih sering mengadakan pertemuan.”

“Ayahanda Hang Damar tahu di mana saja mereka mengadakan pertemuan?”

Lelaki yang dipanggil ayahanda Hang Damar menggeleng. “Sepertinya itu pertemuan rahasia. Soal berita ini pun masih simpang siur. Belum bisa dibuktikan kebenarannya.”

Perempuan bercadar merah menarik napas berat. Sebagai orang rimba persilatan ia tidak merasa aneh dengan berita yang didengar. Pertemuan rahasia. Berita simpang siur dan segala sesuatu yang menyangkut tokoh-tokoh sakti memang selalu dibuat kabur atau seolah-olah berita angin lalu yang tidak memiliki kebenaran sedikitpun. Memang begitulah tujuannya. Agar orang-orang golongan hitam atau mereka yang tidak sepaham, para pengkhianat kesulitan dalam memprediksi rencana apa yang tengah dilakukan para tokoh golongan putih. Ia tahu dan sangat paham akan hal itu.

Lama perempuan ini terdiam seakan tengah memikirkan sesuatu, hingga akhirnya ia berucap, “Ayahanda Hang Damar, soal permintaanku yang kedua untuk menyelidiki pemuda itu, sudah sampai sejauh mana?”

Hang Damar menatap sejurus kedua bola mata indah pimpinannya, tapi hanya sebentar saja. Ia tak mau perbuatannya itu dianggap lancang oleh sang pimpinan. Walau begitu, ia bisa melihat lewat sorot mata itu, ada banyak harapan terkait berita yang tadi ditanyakan. Soal pemuda itu. Tentu saja Hang Damar tahu sekali siapa orang yang tengah diselidiki pimpinannya ini. Seorang pemuda gagah yang terkenal di delapan penjuru angin. Walaupun ia tidak pernah bertemu muka, karena selama menjadi pimpinan bajak laut ia tak pernah sekalipun keluar dari pulau ini, akan tetapi, setiap kejadian di dunia luar selalu tahu. Terlebih berita pemuda yang dimaksud pimpinannya saat ini. Berita mengalir deras bak sebuah badai yang kerap kali menerjang kapal-kapal besar di laut lepas sana.

Lagi Hang Damar membungkuk hormat. “Mohon maafmu Pimpinan. Dari ratusan anak buahku yang tersebar di seluruh pulau jawa, tidak satu pun dari mereka yang mendengar adanya Pendekar 212. Selama lebih dari dua tahun ini berita tentangnya tak pernah lagi terdengar. Mungkin beliau memilih untuk mengasingkan diri. Memperdalam ilmu kanuragan.”

Perempuan berpakaian merah menggeleng perlahan. Tidak ada kata yang terucap dari bibirnya, akan tetapi di relung hati terdalam perempuan ini menduga-duga. Mungkinkah kejadian kala itu kini terulang? Dia terpesat ke suatu tempat seperti halnya ke Negeri Latanahsilam dulu?

“Baik Ayahanda, sekarang kau boleh pergi.” Perempuan ini berbalik badan, siap masuk ke dalam rumah panggung, paling besar di antara rumah panggung yang lain. Hanya saja langkah kakinya tertahan kala Hang Damar mengutarakan informasi terakhirnya.

“Saya tidak tahu pasti apakah berita ini benar atau hanya angin lalu saja, dan saya juga gak tahu apakah ini penting buat Pimpinan atau tidak. Tapi, tidak ada salahnya saya sampaikan berita ini kepada Pimpinan.”

“Apa yang kau tahu, Ayahanda?”

“Dari berita yang kudengar satu purnama dari sekarang akan ada salah satu tokoh besar golongan putih yang hendak melangsungkan pernihakan.”

Kedua mata perempuan ini menyipit. Berita ini memang tidak terlalu penting baginya, namun, tokoh besar golongan putih banyak yang dia kenal. Karenanya, meskipun hatinya tidak tertarik, tidak ada salahnya mengetahui lebih lanjut informasi yang disampaikan anak buahnya.

“Ayahanda tahu nama orang itu?”

Hang Damar mengangguk. “Dulu dia dikenal dengan gelar Ratu Duyung. Penguasa Laut di kawasan Nyi Roro Kidul.”

Kedua bola mata indah perempuan ini mebeliak. Ada keterkejutan dan kecemasan besar lewat sorot matanya. Hang Damar bahkan sampai ikut kaget melihat reaksi dari pimpinannya.

“Pimpinan, sepertinya berita ini sangat mengejutkanmu. Apakah kau mengenal perempuan itu?”

Sang pimpinan menggeleng cepat. “Tidak-tidak. Aku tidak mengenalnya.” Suaranya terdengar bergetar, menandakan betapa dahsyat tekanan yang kini melanda tubuhnya. “Kau tahu di mana acara itu akan berlangsung?”

Hang Damar menggeleng. “Seperti yang sudah saya katakan, berita ini aku tidak tahu apakah benar atau hanya angin lalu, karenanya kami tidak mencari tahu terlalu dalam.”

Perempuan bermata indah ini memalingkah wajahnya ke jurusan lain. Ada debaran hebat di dadanya. Terlebih saat pikirannya mulai menduga-menduga. Dengan siapa Ratu Duyung menikah? Yang ia tahu, dari sekian banyak gadis yang mencintai Pendekar 212 hanya Ratu Duyung yang paling beruntung, karena dia yang selalu berada di sisi si pemuda. Kalau saat ini ia hendak melangsungkan pernikahan, mustahil dengan lelaki lain. Membayangkan kemungkinan terburuk terjadi, perasaan perempuan ini semakin tidak karuan.

“Ayahanda tahu, dengan siapa perempuan itu hendak menikah?”

Kembali Hang Damar menggeleng. “Mohon maafmu Pimpinan, saya tidak tahu siapa lelaki beruntung itu yang bisa mendapatkan hati perempuan yang terkenal cantik di Tanah Jawa.”

Mendengar anak buahnya memuji kecantikan Ratu Duyung secara berlebihan, perempuan ini menjadi gemas. Kedua rahangnya sampai terdengar gemeletakan.

“Ayahanda Hang Damar, untuk beberapa lama aku akan pergi dari pulau ini. Semua kepemimpinan aku serahkan padamu.”

Hang Damar membeliak tak percaya. “Pimpinan hendak meninggalkan kami?”

“Tidak akan lama, Ayahanda.”

Hang Damar terdiam sebentar. “Saya akan perintahkan beberapa orang untuk mengawal Pimpinan.”

Dari dua matanya terlihat, kalau Pimpinannya tengah mengulum senyum.

“Kau tidak perlu mencemaskanku. Mereka jauh lebih dibutuhkan di sini. Menjaga anak-anak, janda-janda, ibu hamil dan orang-orang tua. Mereka semua butuh keamanan dari ancaman luar yang datang secara tiba-tiba. Dan mereka juga butuh makanan untuk tetap bisa hidup. Ayahanda, selama aku pergi, aku harap, apa yang sudah aku tetapkan di sini tetap dipatuhi.”

“Apa yang sudah menjadi aturan akan aku patuhi selamanya, Pimpinan.”

“Terimakasih,” katanya sambil tersenyum. “Aku pergi.”

Sekali berkelebat sosoknya telah lenyap, hanya bau harum yang tertinggal di tempat itu. Hang Damar hanya bisa menggeleng mengagumi.

“Walau aku tidak pernah tahu seperti apa wajah dibalik kain yang selalu menutupinya itu, tapi aku yakin, wanita itu memiliki paras yang sangat cantik nan rupawan. Dia juga terlihat masih sangat muda. Tapi ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari guruku. Gila, dunia luar sudah jauh berkembang. Orang-orang muda yang sakti banyak bermunculan. Beruntung aku mendapat pemimpin dari salah satu orang sakti itu. Kalau tidak, sudah sejak lama pasukan Kesultanan Banten meratakan tempat ini.”

***

Rumah makan Jagat Depala tidak terlalu besar. Hanya mampu menampung kurang lebih sepuluh tamu di dalamnya. Walau demikian, karena ramainya pengunjung yang datang akhirnya Jagat Depala menyediakan tempat duduk di halaman rumah makannya yang memang sangat luas. Selain masakannya enak dan khas, rumah makan itu pula berada di tempat yang sangat strategis. Perempatan jalan. Setiap para pejalan yang dari dalam atau luar pasti selalu singgah untuk sekedar membeli bekal guna melanjutkan perjalanan atau menikmati hidangan di tempat.

Seperti yang terjadi siang ini. Kala mentari bersinar di puncak tertingginya, aroma ikan bakar, ayam panggang dan beragam jenis masakan lainnya seakan memanggil siapapun yang sedang lewat. Akibatnya, baik di dalam maupun di luar, pengunjung ramai menikmati santapan siang. Jagat Depala dan istrinya tampak sibuk melayani tamu yang seperti kucuran air tiada henti.

“Kalau begini terus kita bisa kaya raya, Kang Jagat.”

“Jangan berkhayal terus, Samitri. Itu tamu di luar masih nunggu pesanannya.”

Samitri mendengus kesal. “Apa aku bilang Kakang. Baiknya kita cari orang aja untuk membantu dagangan kita ini.”

“Iya Samitri, iya. Besok aku cari orang buat bantu-bantu. Sekarang kamu bawa masakan ini ke tamu kita yang barusan datang itu.”

“Yang mana, Kakang?”

“Asataga Samitri. ... Itu yang pakai baju merah ringkas, rambutnya dikuncir ekor kuda. Anak satu wajahnya cantik kayak mamanya. Suaminya pakai baju putih.”

“Gak usah sedetail itu juga, Kakang. Tinggal tunjuk aja. Aku gak buta!” Sambil membawa pesanan orang Samitri mengomel tiada henti. Menaruh ayam bakar dan pecak ikan bandeng di meja sepasang suami istri dengan satu anak. Sekilas ia memperhatikan anak perempuan itu. Menurutnya kira-kira anak itu baru berusia tujuh tahun. Cantik. Memang benar kata suaminya, anak ini cantik mirip seperti ibunya.

“Makasih,” seyum manis ibu muda berparas cantik ini. Samitri mengangguk seraya membalas senyuman. Sebelum pergi ia melirik ke lelaki yang duduk di sisi ibu muda. Berdecak kagum perempuan ini melihat betapa tampan paras lelaki ini. Terlebih saat senyum manis terkulum di bibirnya.

“Betapa bahagianya keluarga kecil ini. Mereka tampan dan cantik dikaruniai anak yang elok. Sementara aku hanya dapat suami kulit hitam, rambut keriting, kurus pula. Lengkap sudah, semua kejelekan ada padanya. Suaranya juga tidak enak didengar. Hufffttt ..... kapan pangeran yang selalu aku hayalkan sejak dulu menjemputku?”

Perempuan muda memotes paha ayam dan menyerahkan pada anaknya. Girang sekali anak itu menyantap ikan bakar berbumbu lezat.

“Menurut Kakang, Panji, berapa lama lagi kita sampai ke tempat pernikahan sahabat lama?”

Tidak jauh dari meja mereka, seorang perempuan yang juga mengenakan pakaian merah dan menutupi wajahnya dengan kain merah menghentikan gerakan tangannya. Sepotong ikan yang hendak masuk ke dalam kain di mana mulutnya tersembunyi, mengambang. Sesaat ia melirik ke meja perempuan yang berkata tadi. Memasang telinga, mempertajam pendengaran.

Lelaki yang bukan lain Panji Kenanga, menyantap terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan istrinya. Lalu siapa perempuan muda nan cantik ini? Siapa lagi kalau bukan Lestari, murid tunggal kakek sakti yang berjuluk Si Pemusnah Iblis. Sejak gagalnya perjodohan dengan Wiro Sableng, Lestari yang memang sejak awal pertemuan telah menyukai Panji Kenanga, langsung menerima itikad baik si pemuda untuk mempersunting dirinya. Di awal pernikahan mereka masih melanjutkan petualangan sebagai pendekar. Mengembara ke mana kaki melangkah. Tentu saja itu dilakukan bersama. Tapi petualangan seru itu terhenti kala Lestari diketahui hamil. Dan keduanya memutuskan untuk pensiun muda dari dunia persilatan. Hidup bahagia bersama buah hatinya. Boleh dikatakan sejak saat itu mereka buta dengan dunia persilatan. Bahkan kabar Wiro Sableng pun tak pernah terdengar. Hingga akhirnya surat undangan datang dari sahabat lamanya. Dan saat ini keduanya sedang menempuh perjalanan jauh menuju tempat di mana acara perkawinan Wiro Sableng akan berlangsung.

“Mungkin sekitar dua, tiga hari lagi. Aku harap bisa lebih cepat. Jangan sampai kita datang terlambat.”

Lestari mengangguk. Sambil menyuapi anak kesayangannya ibu muda ini teringat dengan pertemuan pertama dengan pemuda sahabatnya itu. Kalau bukan karena pertolongan dia saat racun ganas mematikan hampir merenggut jiwanya, tentu dirinya sudah lama menjadi tanah. Ia juga ingat betapa memuncak amarah Wiro Sableng kala melihat dirinya hampir direnggut kesuciannya oleh Ronggo Bogoseto di kediamannya. Beruntung Wiro datang dalam waktu yang tepat. Terlambat sedikit saja, apa artinya hidup kalau sudah tak memiliki kehormatan?

“Lestari, kau melamun? Apa yang kau pikirkan?”

Belum sempat Lestari memberikan jawaban dari pertanyaan suaminya, seluruh pengunjung baik di dalam yang sedang berada bersamanya, atau di halaman, mereka semua kabur, meninggalkan santapan yang sedang dinikmati. Lestari dan Panji tidak heran, karena kejadian semacam itu sudah sering terjadi. Tanpa berpaling dan cuek saja ia melanjutkan makanan.

Enam orang berpakaian hitam, berjambang bawuk masuk. Rumah makan yang sebelumnya penuh kini hanya menyisakan sepasang kekasih dan satu orang tidak jauh dari meja keluarga kecil itu.

Jarok Kemitir berpaling ke anak buahnya. Mengisyaratkan agar salah seorang memesan makanan. Sementara yang lain mengikuti dirinya menunu meja makan di mana sepasang ke kasih sedang asyik menikmati makan seolah tak terganggu dengan kehadirannya.

“Rugi lagi kita Samitri,” bisik Jagat Depala pada istrinya saat melihat seluruh pengunjung kabur, meninggalkan makanan tanpa bayar.

“Kalau begini terus kita bisa bangkrut, Kakang.”

“Tadi kau bilang kaya raya.”

“Apa yang kalian bisikkan?!” Bentak garang salah seorang dari enam tamunya yang barusan masuk. “Lekas sediakan makanan paling enak! Keluarkan seluruh persediaan yang ada!”

“Ba-baik, Tuan.” Tubuh Jagat Depala gemetar. Kalau bukan karena sedang berjualan mungkin sudah sejak tadi ia kabur seperti yang orang-orang lakukan.

Jarok Kemitir mengambil Kursi, duduk di samping Lestari. Panji Kenanga yang melihat itu membeliak. Tapi, lelaki brewok ini mana peduli. Senyum buruk terkembang di wajah seramnya.

“Sayang sekali wanita secantik kamu sudah punya anak. Kalau belum ....”

“Kalau belum kenapa Jarok?” tanya salah satu anak buahnya.

“Kalau belum aku jadikan ratu di istanaku, hahaha....”

“Menyingkir dari istriku atau kepalamu aku pisahkan dari tubuh!”

“Wow .... Baru kali ini ada cecunguk yang berani bicara jago di depan Jarok Kemitir. Penguasa kawasan yang ada di sini.”

“Mungkin dia orang jauh Jarok. Jadi tidak tahu siapa kita.” sahut anak buahnya.

“Bisa jadi. Atau monyet kampung yang baru turun gunung. Makanya dia buta kalau di depannya ada penguasa yang harusnya dia segera angkat kaki dari sini ketika aku datang.”

“Rombongan kerajaan sekalipun tak pernah aku lihat mereka memaksa orang-orang untuk meninggalkan tempat makan. Kalian ini siapa sampai harus ditakuti? Sebangsa dedemitkah?”

“Monyet Gondrong! Berani kau menghina Pemimpin kami!” Tidak tahu kapan lelaki ini mencabut pedangnya, tiba-tiba cahaya putih berkiblat mengarah ke leher Panji Kenanga. Mendengar bentakan keras anak kecil itu menangis. Lestari cepat mengambil, akan tetapi terhalang oleh tangan kokoh yang tiba-tiba menggenggam lengannya. Lestari membeliak. Sekali kibas pegangan terlepas. Jarok Kemitir yang tidak menyangka kalau ibu muda cantik ini memiliki kekuatan tinggi segera melancarkan serangan guna meringkus perempuan itu hidup-hidup.

Lestari melompat mundur, menjauhi meja di mana anaknya berada. Tangis anak ini semakin menjadi. Jarok Kemitir yang sudah terpesona oleh kecantikan Lestari, menyerbu ganas. Ia tak sabar ingin segera meringkus dan membawa ke kediamannya.

“Dalam lima jurus di muka, aku harus sudah meringkus Betina ini!” batinnya. Tapi sampai enam jurus berlalu, jangankan meringkus, membuat lawan terdesak saja tidak bisa. Penasaran sekali Jarok Kemitir Ini lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi ingin tahu sejauh mana kemapuan lawannya. Lestari tidak tinggal diam. Ia sambuti serangan lawan dengan pukulan tangan kosong pula. Serangkum angin menggebu-gebu, melabrak satu sama lain. Meja makan bermentalan. Jarok Kemitir terjajar satu langkah ke belakang. Sementara Lestari hanya terdorong sedikit saja. Ini menunjukan kalau tenaga dalam Lestari berada satu tingkat di atasnya.

“Tidak disangka, perempuan binal ini memiliki tenaga dalam tinggi juga.”

Srekkk!!! Jarok Kemitir mengambil pedangnya yang tergantung di punggung. Selarik sinar putih kini telah mengurung Lestari. Kalau sebelumnya lelaki ini berniat untuk menangkap Lestari hidup-hidup, maka lain hal untuk sekarang. Mengetahui kalau perempuan itu tidak berada di bawahnya, maka ia tidak mau mengambil resiko. Mengakhiri perkelahian dengan cepat adalah keputusan terbaik.

Tenaga dalam Lestari memang berada satu tingkat di atas lawannya. Namun, dalam permainan pedang ia kalah jauh. Itu terlihat, meskipun ia sudah mempergunakan suling perak saktinya, dirinya masih terdesak hebat. Pedang membabat ganas ke arah pinggangnya. Lestari mencoba menangkis dengan seruling sakti.

Trangg!!!

Percikan api keluar dari beradunya senjata keras. Suling sakti terlepas. Lestari terpekik. Sedangkan Jarok Kemitir tertawa mengejek.

“Berakhir sudah riwayatmu betina keparat!” Tebasan dahsyat mengarah ke leher Lestari. Perempuan satu anak ini sudah tak memiliki ruang untuk mengelak. Sesaat senjata tajam itu membabat putus leher Lestari, serangkum angin menghantam Jarok Kemitir dari arah samping. Lelaki ini teriak. Terjajar mengakibatkan serangannya gagal.

“Saudari, pakai pedangku.” Sebuah pedang hijau yang sudah keluar dari sarungnya melayang di udara. Lestari yang terlihat pucat segera sambuti pedang dari orang yang tidak di kenal. Orang ini pula yang tadi telah mengirimkan angin pukulan hingga dirinya selamat dari ancaman maut.

Sinar hijau redup keluar dari pedang yang kini berada dalam genggaman Lestari. Memiliki tenaga dalam tinggi, dan senjata yang juga jauh lebih tinggi dari lawannya, harusnya Lestari mampu menundukan lawan. Atau paling tidak membalikan keadaan. Dirinya yang mendesak lawan. Memang seperti itulah kejadiannya. Tapi tidak berlangsung lama. Karena Jarok Kemitir selain memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, ia juga terkenal dengan kehebatan permainan pedangnya. Sudah berapa ratus nyawa yang tercabut lewat keganasan ilmu pedangnya.

Sekali teriak Jarok Kemitir robah permainan ilmu pedangnya. Lestari yang melihat tempo permainan lawan berubah total, akhirnya hanya mampu bertahan. Lama kelamaan ia kembali terdesak hebat.

Sinar putih ganas membabat.

Crasss!!!

Lestari terpekik. Rambut panjang indahnya yang dikuncir terbabat putus. Wajah perempuan ini kembali memucat.

“Sebentar lagi lehermu yang putus!” ancam Jarok Kemitir membabi buta. Tapi serangan ganas ini tertahan ketika dari samping cahaya biru memapasi laju pedangnya.

Trangg!!!

Bunga api kembali keluar dari mata pedang yang beradu. Gemetar lengan Jarok Kemitir. Hampir saja pedang di tangannya terlepas.

Jarok Kemitir melompat, keluar dari kalangan pertempuran. Dilihatnya lelaki berbaju putih telah berdiri di samping istrinya. Jarok Kemitir berpaling ke anak buahnya. Dua orang tergeletak, melenguh kesakitan. Sementara tiga lainnya berdiri gugup. Wajah ketiganya pucat pasi. Pedang di tangan terbabat putus, hanya menyisakan satu jengkal dari gagang.

“Jarok, saatnya kita keluarkan Ilmu andalan!”

Jarok Kemitir mengangguk. Melompat ia ke samping anak buahnya. Dua orang yang meringkuk kesakitan susah payah berusaha berdiri.

“Telan!” Jarok Kemitir melempar dua butir obat luka dalam ke masing-masing anak buahnya. Keduanya cepat menelan. Meskipun luka dalam tidak sembuh seketika, tapi rasa sakitnya sudah jauh berkurang. Keduanya segera membentuk barisan. Kedua kaki masing-masing terentang.

“Pukulan Seribu Setan Mengamuk!” Jarok Kemitir teriak lantang, memberi komando pada anak buahnya. Panji Kenanga dan Lestari membeliak tak percaya ketika melihat dari masing-masing telapak tangan keluar cahaya hitam pekat mengerikan.

“Kau pernah mendengar nama pukulan yang disebutkan itu?”

Lestari menggeleng, karena memang selain kini telah buta dengan keadaan rimba persilatan juga saat malang melintang dulu tidak terlalu lama. Boleh dikatakan dirinya masih tergolong hijau jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain.

Perempuan yang tadi menolong Lestari membeliak, ia samasekali tidak menyangka, gerombolan yang sebelumnya dianggap tak lebih dari keronco nyatanya memiliki ilmu pukulan yang bukan main-main. Melihat betapa mengerikan cahaya hitam pekat itu keluar, perempuan bercadar merah ini mulai menyangsikan, apakah dua pasang suami istri itu bakalan mampu menghadapi?

“Saudari, amankan anakmu!” belum hilang gema suaranya, sosoknya sudah berdiri di sisi Panji Kenanga. Lestari yang menyadari orang hendak membantu segera turuti perintah tuan penolongnya. Saat itulah, cahaya hitam yang terbungkus asap membuntal melabrak ke arah Panji dan Perempuan bercadar merah.

Panji Kenanga teriak, pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi melesat, menyongsong pukulan lawan. Cahaya putih bersinar melabrak, bersamaan dengan itu, dari sampingnya dua larik sinar biru berkiblat. Ilmu kesaktian ini meskipun terlihat angker mengerikan tidak memiliki nama. Akan tetapi Nyi Kuncup Jingga pernah menyebut ilmu ini Pedang Biru Liang Akhirat saat terjadi pertempuran ganas di pantai kawasan Ratu Laut Utara.

Suara dentuman laksana letusan gunung merapi mengguncang rumah makan kala dua kekuatan dahsyat itu beradu. Jerit kesakitan terdengar mengerikan. Rumah makan ambruk, rata dengan tanah. Api membuntal, membumbung tinggi. Panji Kenanga terpental satu tombak ke belakang. Cepat ia melompat ke luar karena rumah makan ambruk. Sementara perempuan bercadar merah hanya terjajar dua langkah ke belakang dan sekali melompat ia sudah berada di luar.

Empat anak buah Jarok Kemitir tewas di tempat. Terkutung-kutung tubuhnya sulit dikenali. Dua sisanya luka parah. Muka gosong terbakar dan salah satu tangan kananya hancur. Jarok sendiri meskipun nasibnya tidak seburuk anak buahnya, ia mengalami luka dalam yang cukup parah. Darah hitam kental keluar dari mulutnya saat terbatuk-batuk. Mengambil pedang dan berlari sekencang yang ia mampu. Sayangnya, perempuan bercadar merah yang sejak tadi memperhatikan dirinya tidak membiarkan pimpinan grrombolan itu melangkah lebih jauh. Sekali berkelebat pedang di tangan Panji telah berpindah di tangannya. Dalam waktu singkat ia sudah menghadang lari Jarok Kemitir.

Melihat kecepatan gerak perempuan itu, Panji dan Lestari sampai leletkan lidah. Betapa terlalu lama mereka terkurung dalam sebuah desa kecil, hingga apa yang terjadi di rimba persilatan seolah-olah menjadikan dirinya benar-benar hijau.

“Tidak ada tempat lari bagimu, kecuali neraka!”

“Jahanam! Betina sundal! Mampus kau!”

Perempuan bercadar merah tertawa mengejek. Karena ilmu silat berada jauh di bawah si perempuan, di tambah Jarok Kemitir mengalami luka dalam teramat parah, dalam waktu singkat, tidak sampai lima jurus pedang di tangan kanan Jarok Kemitir telah terlepas, besama lengannya. Jarok Kemitir menjerit setinggi lagit. Darah mengucur deras.

Crasshhh!!!

Tangan satunya kembali buntung. Belum sempat ia mampu melakukan apa-apa, kepala lelaki yang sebelumnya mengaku pemilik kekuasaan di sini menggelinding bersama terjatuhnya tubuh. Darah muncrat ke mana-mana. Tubuh tanpa kepala melejang-lejang mirip seperti sapi yang disembelih. Sesaat kemudian sosok itu diam kaku, pertanda nyawa telah pergi ke neraka.

“Pedang hebat!” Puji perempuan bercadar sambil melempar ke arah Panji. Panji yang saat itu seakan tersihir melihat kelincahan permainan pedang, dan keganasan si perempuan, menjadi sedikit gugup. Beruntung ia mampu menangkap gagang pedang itu dengan baik. Sementara Lestari sejak tadi memalingkan muka, menutupi wajah anaknya, tak kuat melihat pertarungan singkat namun mengerikan. Bahkan ketika pemilik pedang hijau mengambil dari tangannya ia tidak tahu.

“Saudari, aku dan istriku ....”

“Kalian ambil barang-barang berharga milik para bergundal itu, lalu berikan kepada pemilik rumah makan untuk mengganti kerugian.”

Panji mengangguk. Kalimatnya yang barusan dipotong hendak disambung, akan tetapi perempuan itu sudah berkelebat jauh, meninggalkan mereka berdua.

“Sulit dipercaya, ada manusia mampu bergerak secepat itu. Bahkan untuk mengucapkan terimakasih pun aku tidak sempat.”

Pada istrinya ia bertanya, “Lestari, kau tidak apa-apa?”

“Aku tidak apa-apa Kang Panji.”

“Bagaimana dengan Wulandari?” Panji meneliti anaknya. “Kau tidak apa-apa sayang?”

Anak kecil ini menggeleng. Air mata masih terlihat mengalir di pipi.

“Anak hebat,” katanya menggendong anak kecil itu menuju ke kuda. Lestari mengikuti di belakang “Tunggu sebentar ya Sayang.” Setelah dilihatnya anaknya mengangguk ia mengambil sekantong keping emas dari jasad yang tak berkepala. Menyerahkan kepada pemilik rumah makan yang kala itu meringkuk sembunyi di bawah pohon besar.

“Ini untuk mengganti kerugianmu. Jika kurang, kamu bisa temukan dari masing-masing mereka. Aku yakin masih ada banyak kepingan emas di perbekalan mereka.” Pemilik warung makan hanya bisa mengangguk. Panji tersenyum lalu bersama istrinya ia meninggalkan tempat itu.

Bab 5

Memasuki anak sungai, Panji Kenanga memberi isyarat kepada istrinya untuk menghentikan kuda yang ditungganginya. Tidak jauh dari jalan yang mereka lalui manusia aneh dengan tubuh luar biasa besar tengah berendam. Yang membuat Panji Kenanga dan Lestari heran ialah, baju yang dikenakan. Terbalik. Selain itu juga rintihan yang terdengar. Dalam keadaan tubuh basah kuyup, tertutup air sungai ia merintih-rintih kepanasan. Sungguh tidak masuk akal.

“Aduhhh.... panas.... Panas banget hari ini. Aku gak tahan...” Lelaki gembrot yang oleh dunia persilatan dijuluki Bujang Gila Tapak Sakti kibas-kibaskan kipasnya. Keringat tampak bercucuran di kening dan wajahnya yang tembem.

“Aku memang belum pernah bertemu dengan manusia aneh ini. Tapi melihat dari sikapnya, ciri-cirinya pastilah dia seorang tokoh hebat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan karena mampu membunuh Si Muka Bangkai, manusia terkutuk guru Pangeran Matahari, musuh bebuyutan sahabat kita, Wiro Sableng.”

“Aku juga pernah mendengar riwayat itu, Kakang.” Sahut Lestari. “Hanya saja, apakah maksud dan tujuannya kali ini yang seolah sengaja menghadang kita? Aku khawatir dia punya niat jahat terhadap kita.”

“Biar aku yang menyapa,” kata Panji Kenanga pula.

“Orang Gagah yang sedang berendam, apakah saat ini aku sedang berhadapan dengan tokoh besar dunia persilatan, Bujang Gila Tapak Sakti?”

“Heh, apa kamu bilang? Orang gagah? Hahahah..... selama dunia ini terkembang, sejak aku membrojol dari perut ibuku hingga bangkotan begini, baru kali ini ada orang yang ngatain aku gagah. Dua orang penunggang kuda, apakah matamu sudah lamur, hihihi.....” Bujang Gila kembali kebut-kebutkan kipas saktinya.

Panji dan Lesatri hanya saling pandang.

“Oh ya satu lagi, aku memang masih bujang, tapi gak gila. Jadi panggil aja aku Bujang Gagah. Toh kalian sendiri yang manggil aku gagah. Aku gak minta, hihihi ....”

“Kakang, sepertinya orang ini tidak waras. Atau ada masalah pada otaknya.”

Panji Kenanga menggeleng. “Memang seperti itulah kebanyakan tokoh terkenal dunia persilatan. Semakin tinggi ilmu silatnya, semakin kuat menonjolkan kegilaan. Mungkin itu cara mereka untuk menutupi nama besarnya.”

Pada Bujang Gila Tapak Sakti, Panji Kenanga berkata, “Bujang Gagah,” Panji mengikuti apa mau lawan bicaranya. “semoga kedatanganku tidak mengganggu kedamaianmu. Harap maafku jika itu terjadi. Kami mohon diri melanjutkan perjalanan.”

“Hai orang berkuda, aku memang tidak merasa terganggu dengan kehadiran kalian. Tapi apa kalian gak sadar, kalau ada sepasang merpati dengan satu anak sedang diikuti elang raksasa? Aku gak tahu apakah elang itu berniat buruk atau apa. Yang jelas, mana ada seekor elang bisa bersahabat dengan mangsanya, betul gak?”

Panji Kenanga dan Lestari yang tidak mengerti apa yang dimaksud manusia gendut itu saling pandang. Keduanya kini sibuk mencari-cari. Sampai pandang matanya dua kali meneliti tempat sekitar, ia tidak menemukan sepasang merpati dan elang yang dimaksudkan.

“Bujang Gagah, aku yang bodoh ini tidak melihat adanya merpati apalagi elang di sekitar sini.”

Bujang Gila tertawa terbahak-bahak hingga perutnya yang besar itu berguncang hebat.

“Kalau begitu kalian tetap di sini, sampai elang itu pergi karena bosan sembunyi.” Bujang Gila Tapak Sakti melompat, keluar dari kubangan air. Tubuh seberat itu harusnya terdengar suara berdebam kala kaki menginjak tanah. Tapi sulit dipercaya, seakan daun kering yang terjatuh, sosok gembrot itu tidak menimbulkan suara sedikitpun. Panji dan Lestari sampai menggeleng penuh kekaguman melihat betapa tinggi ilmu meringankan tubuh Si Bujang Gagah.

Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum pada anak kecil yang entah mengapa anak itu jadi tertawa melihat pakaiannya yang terbalik. Kedua tangan digosok berulang-ulang. Lalu ia berjongkok dengan kedua telapak tangan menempel di tanah. Saat itulah, udara yang sebelumnya sejuk, karena kabut tipis menghalangi teriknya matahari, berubah drastis. Panji dan Lesatri sampai gemeletakan. Perempuan ini langsung memeluk anaknya.

Tidak jauh dari tempat mereka berada, seorang perempuan yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon besar menyumpah berulang-ulang. Seperti Lestari, orang ini pun menggigil kedinginan.

“Gendut sialan! Awas aja. Suatu saat aku balas perlakuannya ini.” Sekali berkelebat ia menghilang dari tempat itu.

Bujang Gila Tapak Sakti hentikan ilmu pukulannya. Kembali ia mesem-mesem pada anak kecil tadi. Mencubit gemas anak itu. “Anak cantik. Sejak tadi kamu ketawa-ketawa, apa yang lucu?”

“Baju Paman Gendut terbalik, hihihi ....”

Bujang Gila pura-pura menengok ke pakaiannya, lalau ikut-ikutan tertawa. “Oh iya, Paman lupa. Maklum udah tua, udah pikun.” Pada Panji dan Lestari ia bertanya, “Sobat muda ganteng dan cantik ini sebenarnya mau ke manakah?”

“Tuan Gagah, sebelumnya, aku dan istriku mengucapkan banyak terimakasih. Karena kebaikan Tuan kami terhindar dari marabahaya.” Panji berkata begitu karena sadar orang telah menolongnya. Ia juga sudah tahu arti dari ungkapan si gendut soal merpati itu, yang bukan lain dirinya. Dan elang yang dimaksud tentu saja orang yang berkelebat dari bawah pohon sana. Walau tidak begitu jelas terlihat karena kecepatan geraknya.

“Ahhh.... gak usah berlebihan sobat muda ganteng. Saling tolong menolong adalah sudah keharusan bagi orang-orang dunia persilatan. Untuk sementara kalian aman. Kalian sudah bisa lanjutkan perjalanan. Tapi aku gak bisa pastikan, apakah orang tadi akan kembali mengikutimu atau tidak. Yang jelas kalian harus tetap waspada.”

Panji Kenangan dan Lestari mengangguk. “Kalau begitu, kami mohon diri, Bujang Gagah.”

“Sekali lagi terima kasih,” sambung Lestari. Bujang Gila Tapak Sakti mengangguk. Sekali melompat ia sudah kembali kekubangan.

“Aduhhh .... panasnya hari ini. Kapan Tanah Jawa di guyur salju? Aku ingin berendam di salju.”

Panji Kenanga dan Lestari lagi-lagi hanya bisa menggeleng. Benar-benar sulit diterima akal.

“Menurut Kakang,” kata Lestari setelah berada cukup jauh dengan tempat yang mereka tinggalkan. “apakah orang yang mengikuti kita punya niatan jahat?”

“Aku tidak tahu. Yang jelas, orang baik tidak akan melakukan perbuatan serendah itu. Diam-diam membuntuti orang.” Dalam hati Panji Kenanga berharap, penguntit itu tidak lagi membuntutinya. Kalaupun masih, tidak punya niatan jahat. Ia dan istrinya tidak pernah tahu kalau ada yang membuntuti. Itu artinya, sang penguntit memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi di atasnya. Kalau tujuan orang itu jahat, celakalah mereka bertiga.

***

Telaga Gajah Mungkur menjadi tempat, dimana dua manusia yang telah lama terikat perjodohan akan melangsungkan pernikahan. Sebelumnya beberapa tokoh sepakat untuk memilih tempat di Danau Meninjau, kediaman salah satu guru Wiro Sableng sendiri, Datuk Rao Basaluang Ameh. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan baik buruknya dan dari hasil kesepakatan musyawarah, banyak tokoh akhirnya memilih Telaga Gajah Mungkur. Di samping Danau Meninjau terlalu jauh, tokoh yang hadir juga kebanyakan dari Tanah Jawa.

Hampir semua orang yang Wiro kenal telah hadir di acara pernikahannya. Anggini, yang duduk paling dekat di sebelah Ratu Duyung, menggenggam erat tangan si gadis. Tidak jauh dari dirinya duduk seorang gadis yang juga tak kalah cantik dengan dua gadis ini. Dialah Pandansuri, anak angkat dari Raja Rencong. Bagaiamana Pandansuri bisa berada di tanah Jawa? Padahal ia sekalipun tak pernah meninggalkan tanah kelahirannya. Pertemuannya dengan Wiro pun hanya terjadi beberapa kali kala Wiro Sableng datang ke utara Pulau Andalas.

Diketahu sejak kematian ayah angkatnya, Pandansuri diangkat menjadi murid oleh tokoh sakti pulau Andalas, Nyanyuk Amber. Selang beberapa lama Nyanyuk Amber juga mengundang Anggini ke kediamannya, sesaat setelah berakhirnya pertempuran hebat di Lembah Akhirat. Di sanalah keduanya bertemu dan saling bercerita tentang pengalaman masing-masing.

Pandansuri yang selama hidupnya selalu merindukan Wiro Sableng, tanpa bisa melakukan apapun, tentu saja ia sangat senang kala Anggini mau berbagi kisah mengenai pemuda itu. Meskipun terkadang ia merasa terluka ketika tahu kalau Wiro Sableng dikelilingi banyak sekali wanita cantik. Begitupun kala undangan pernikahan itu datang. Awalnya ia enggan untuk pergi ke Tanah Jawa. Namun, setelah cukup lama mempertimbangkan, mengesampingkan perasaannya yang terasa hancur, demi melihat orang yang dicinta untuk terakhir kali sebelum akhirnya jadi milik orang, Pandansuri memutuskan datang. Betapa rindu ia ketika untuk pertama kali, setelah sekian lama tak melihat si pemuda. Kalau tidak megedepankan rasa malu sebagai perempuan, tentu di pertemuan pertama itu ia langsung berhambur memeluk sang pendekar.

Di sebelah kanan, di samping Wiro Sableng duduk menjelepok nenek bau pesing. Siapa lagi kalau bukan Sinto Gendeng. Di sebelahnya ada Kakek Segala Tahu. Berulang kali orang tua ini menggoyangkan kaleng rombengnya, membuat Sinto Gendeng bebrapa kali memaki kakek ini. Yang akhirnya hanya disambut gelak tawa semua orang.

Semua tokoh telah hadir. Tua Gila, Dewa Tuak, Raja Penidur dan beberapa lainnya telah mengambil tempat duduk. Bahkan Panji Kenanga dan Lestari yang datang paling akhir pun telah memilih tempatnya. Pemuda ini cukup terkejut ketika di sana juga ternyata ada Bujang Gila Tapak Sakti yang sedang enak-enakan makan buah rambutan. Kapan Bujang Gagah itu sampai? Bagaimana bisa lebih cepat darinya? Padahal saat ditinggalkan di sungai kecil dua hari yang lalu masih enak-enakan berendam. Panji tidak bisa berfikir lama. Terlebih ketika melihat Bujang Gila melambaikan tangan ke arahnya.

Wiro Sableng menyapu seluruh hadirin. Semua orang sudah datang ke acaranya, tapi satu yang sejak pagi tadi dinanti tidak kunjung terlihat.

“Mungkinkah undangan itu tidak sampai ke tangannya?” Wiro Sableng membatin. “Sejak pertempuran di Pantai Laut Utara itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan kabar tentangnya pun tak pernah terdengar. Ke mana dia? Apakah dia baik-baik saja, atau ....”

Sekilas ingatan Wiro Sableng kembali ke akhir pertempuran dengan Ratu Laut Utara palsu. Wanita terkutuk itu, setelah nyawanya lepas dari badan, Bidadari Angin Timur menendang, penuh kebencian tepat di bagian mulutnya. Itu menandakan betapa besar dendam kesumat gadis itu terhadap Ratu Laut Utara Palsu. Karena saat itu telah mempermalukan dirinya di hadapan semua orang. Terlebih di hadapan orang yang sangat dicintai sepanjang hidupnya.

“Bidadari Angin Timur, meskipun aku mengharapkan kau datang, tapi jauh di lubuk hati terdalam, sudah cukup bagiku mengetahui dirimu baik-baik saja. Di mana pun kau berada, aku berharap kasih dan pertolongan Tuhan selalu menyertaimu.”

“Apa yang dicari si Sableng itu sebenarnya? Dari tadi celingak celinguk gak karuan.” Naga Kuning menyikut tulang rusuk Setan Ngompol. Dikejutkan begitu, seketika kemudian air mengalir deras dari bawah tubuhnya.

“Bocah geblek! Sudah kubilang jangan ngagetin.”

Naga Kuning menutup mulut, menahan tawa. “Untung Kiai Gede Tapa Pemungkas sudah tidak tinggal di sini lagi. Kalau masih, bisa dikeremus bijimu, Kek.”

Serrrrhhhh!!!

“Udah diem bocah sialan! Jangan sampai kau kumandikan dengan air kencing ini!”

Naga Kuning melompat, menghindari jambakan Setan Ngompol. Karena dia berada di tengah, diapit oleh Setan Ngompol dan Genderuwo Patah Hati, sosoknya menabrak si nenek yang memiliki wajah seperti setan. Keduanya jatuh bergedebukan. Dewa Ketawa yang berada paling dekat dengan ketiga orang ini tertawa ngakak. Menunjuk-nunjuk Naga Kuning yang saling tindih degan kekasihnya. Semua orang kini melihat ke arah keduanya. Beberapa ikut tertawa. Yang lainnya hanya senyum-senyum saja.

“Si Sableng yang mau nikah, mereka yang mau kawin, hahahahahaha .....”

Sinto Gedeng mengumpat kesal. Ia hendak melabrak Dewa Ketawa, tapi Kakek Segala Tahu segera menengahi.

“Orang yang kita tunggu sebentar lagi datang.”

Seperti yang sudah di jelaskan, para tokoh golongan putih sering mengadakan pertemuan, guna membicarakan kabut putih. Meskipun tipis dan tidak membawa dampak apapun terhadap kehidupan manusia, tapi bukan berarti tetap terjamin keamanannya di masa depan. Berbeda sikap dengan orang-orang kerajaan, para dedengkot persilatan justru sangat mengkhawatirkan keselamatan dunia persilatan yang disebabkan oleh kabut tipis itu. Menurut Raja Penidur, kabut itu membawa malapetaka besar. Kiamat bagi umat manusia akan terjadi, andai kabut itu tidak dihilangkan. Lalu bagaimana cara menghilangkannya?

Sebenarnya, dalam pertemuan pertama semua tokoh sudah tahu cara untuk menghilangkan kabut itu. Yakni, bersatunya dua tokoh besar golongan putih yang memiliki banyak ikatan.

“Kiamat sudah tetuliskan. Para dewa angkat tangan. Hanya cinta suci yang mampu menghalau.”

Itulah kalimat Raja Penidur yang bicara seperti ngelindur. Ia langsung kembali terlelap dan tidak mungkin ada satu kekuatan pun yang bisa membangunkannya. Kakek Segala Tahu langsung menerjemahkan arti dari kata-kata Si Raja Penidur ini.

“Kabut ini membawa ancaman besar bagi dunia persilatan. Aku tidak tahu kengerian apa yang bakal terjadi. Tapi, mendengar apa yang dikatakan Si Raja Penidur ini, dapat dipastikan, malapetaka yang akan kita hadapi sekarang, jauh berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya. Kita tidak tahu kabut ini datang dari mana. Itu tidak penting. Yang penting, secepat mungkin kita singkirkan kabut celaka ini.”

“Hanya cinta suci yang mampu menghalau. Apa maksudnya itu?” Dewa Tuak mengajukan pertanyaan. Lalu, gluk ... gluk... gluk... Beberapa tegukan tuak masuk ke tenggorokannya. “Sialan! Minumanku habis.”

Kakek Segala Tahu menengadahkan pandangannya. Seakan melihat sesuatu, kedua mata putih itu bergerak-gerak. Tongkat digoyang. Suara kaleng beradu dengan batu memecah kesucian malam.

“Hmmm ... Bantar-bentar.” Kakek Segala Tahu kembali bunyikan kaleng rombengnya. “Kau ingat dengan kutuk yang menimpa Ratu Duyung dulu? Kutukan itu langsung hilang saat dua manusia dengan ketulusan hati saling menolong. Sekarang keduanya telah terikat tali perjodohan, direstui hampir seluruh tokoh golongan putih. Itu artinya, penyatuan cinta mereka akan menggagalkan malapetaka ini.”

Semua orang terbelalak, terlebih Dewa Tuak. Orang tua ini segera melompat berdiri. “Kalau begitu tunggu apalagi. Kita harus segera satukan mereka berdua.”

“Hihihii.... Soal nyatukan sih gampang, Dewa Tuak,” Tua Gila menyela. “masalahnya, di mana kita temukan anak sableng itu. Sejak dua tahun belakangan ini dia dan juga gurunya seakan tenggelam ke dasar bumi.”

Dewa Tuak manggut-manggut. Seakan baru menyadari kalau Wiro Sableng telah lama menghilang.

“Begini saja. Semua orang yang ada di sini memiliki tugas yang sama. Mencari Ratu Duyung dan Wiro Sableng. 15 hari dari sekarang kita kembali bertemu lagi di sini. Aku harap, salah satu dari kita membawa dua orang itu.”

Semua orang mengangguk. Sayangnya, dipertemuan kedua tidak satupun yang membawa Wiro. Hanya Ratu Duyung yang berhasil mereka bawa. Akhirnya pertemuan itu berlangsung singkat saja dan kembali menyepakati untuk melakukan pencarian berikutnya. Di pertemuan ketiga itulah akhirnya salah satu dari mereka berhasil menemukan Wiro. Kakek Segala Tahu. Orang tua inilah yang berhasil membawa Wiro. Bukan Kakek itu yang mencari, justru Wiro sendiri yang mendatangi. Sekembalinya dari Mataram Kuno Wiro terperangah saat melihat kabut tipis memenuhi hampir seluruh daratan Pulau Jawa. Mendapat tugas dari gurunya, ia segera mencari Kakek Segala Tahu.

Rencana besar para tokoh pun diceritakan. Tentu saja Wiro Sableng keberatan, mengingat dirinya masih belum yakin apakah selama ini dia mencintai Ratu Duyung atau hanya sekedar kasihan karena gadis itu teramat sangat baik terhadapnya.

Terlebih ketika ingatannya meluncur deras pada wajah cantik Sang Bidadari. Gadis berlesung pipit, berambut pirang kini memenuhi isi kepalanya. Bagaimana perasaannya ketika tahu dirinya hendak menikah dengan Ratu Duyung? Meskipun tak pernah terucap kata cinta dari bibirnya, tapi, sikap dan perilakunya seringkali menunjukan kalau ada perasaan yang sama dengannya. Atau hanya dugaannya saja? Bergulat dengan pikirannya, Wiro Sableng jadi pusing sendiri.

Dalam pertemuan ketiga itu ia tak langsung memberikan jawaban. Meskipun beberapa tokoh seperti gurunya, Kakek Segala Tahu dan Dewa Tuak agar segera mengambil keputusan, ia meminta waktu satu minggu untuk berfikir. Padahal yang dilakukan Wiro Sableng adalah mencari kabar tentang keberadaan Bidadari Angin Timur. Sayang, segala penjuru telah ia datangi, segala bentuk mahkuk ia tanyai, tak satu pun yang tahu di mana beradanya gadis itu. Hingga akhirnya, keputusan itu datang, dari dalam hatinya.

“Demi kebaikan umat manusia,” tegasnya menghibur diri.

“Orang yang kita tunggu telah datang!” Kakek Segala Tahu kembali menegaskan. Maksudnya agar semua orang tidak ada yang bersuara. Dewa Ketawa yang sampai saat itu masih terdengar suara tawanya, menutup mulut. Telaga Gajah Mungkur seketika menjadi hening. Dikejauhan, lamat-lamat suara seruling khas Minangkabau terdengar. Semakin lama suara itu semakin keras. Hingga kabut putih samar-samar terlihat di hadapan Wiro Sableng. Auman suara harimau menggetarkan tempat sekitar. Dalam waktu yang bersamaan, sosok samar kini telah menjadi nyata.

“Datuk.” Wiro Sableng berseru seraya membungkukkan badan. Datuk Rao tersenyum. Mengusap kepala si pemuda. Ia mengalihkan pandangan ke seekor harimau putih bermata hijau. Inilah Datuk Bamatohijau. Wiro Sableng tersenyum. Seakan mengerti apa yang diinginkan hati sang pendekar, Harimau itu mendekati. Menjilati lengan Wiro Sableng yang sedang mengelus-ngelus kepala Harimau.

“Sebelum ikatan suci terjalin, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan pada kalian semua. Seperti yang sudah dikatakan Si Raja Penidur, setiap takdir telah dituliskan, apa yang menurut Sang Kuasa harus terjadi, maka terjadi. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menghalau. Walau begitu, sebagai manusia kita juga ditakdirkan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Setiap petunjuk yang datang dari langit, dari para dewa, adakalanya tidak selalu sesuai harapan. Bisa saja petunjuk itu ada kekeliruan, atau petunjuknya benar tapi penafsirannya kurang tepat. Semua terjadi tak lepas dari Kehendak-Nya. Oleh karena itu, apapun yang terjadi nanti, tabah dalam menjalani kehidupan ini adalah jalan satu-satunya.” Datuk Rao terdiam sesaat. Menatap Wiro lalu berganti ke Ratu Duyung. Perempuan ini langsung menundukan kepala.

“Meskipun ada niatan baik di relung hati terdalam, mengesampingkan keinginan sendiri demi kebaikan umat manusia, aku harap pernikahan ini tidak terjadi atas dasar paksaan. Pernikahan, apapun itu alasannya tetap sesuatu yang sakral. Anak Muda, kau mengerti apa yang aku katakan?”

“Saya .... saya mengerti, Datuk,” jawab Wiro cepat.

“Tidak ada paksaan di hatimu atau ganjalan yang pada akhirnya kau akan menyesal dikemudian hari?”

“Semua sudah aku pikirkan matang-matang, Datuk. Aku menerima Intan atau Ratu Duyung sebagai istri dengan kesadaran penuh.”

“Baiklah,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh. “Ulurkan tangan kananmu, Pendekar 212.”

Wiro mengikuti apa yang dikatakan Datuk Rao. Setelah ikatan suci itu selesai diucapkan Wiro Sableng, hampir semua orang tersenyum bahagia. Pandansuri, meskipun senyum terkembang di bibirnya, di relung hati terdalam ia merasakan perih yang teramat sangat. Tampak jelas sekali gadis ini bertahan mati-matian agar butiran air tidak mengalir di pipinya. Kalau ia tidak memikirkan sopan santun dan tatakrama, ingin sekali rasanya saat itu ia berlari meninggalkan upacara pernikahan.

Itulah yang terjadi pada perempuan bercadar yang sejak tadi menyaksikan upacara pernikahan orang yang sangat dicintainya. Sejak pertama datang, ketika apa yang diduganya selama perjalanan ternyata benar, sebenarnya sejak itu pula ia ingin segera angkat kaki dari situ. Akan tetapi, dorongan kuat untuk tetap mendekam di balik pohon besar, membuat sosoknya tetap diam. Kalau Pandansuri mampu menahan air mata tetap terjaga di balik kelopak, tidak dengan gadis bercadar ini. Sejak pertama kali melihat Wiro Sableng duduk berdampingan dengan Ratu Duyung, sejak saat itu pula gemuruh dalam dadanya seakan mau meledak. Sudah berapa kali ia mengusap air yang mengalir deras seakan tidak ada habisnya. Ketika ikatan suci itu telah terucap sempurna, dunia seakan runtuh. Orang-orang itu membicarakan kalau kiamat akan melanda dunia, tanpa mereka tahu atau bahkan peduli, pada dirinya yang saat ini sedang alami. Tidak ada yang paling menyakitkan dari seorang gadis, selain menyaksikan orang yang sangat dicinta telah resmi menjadi milik sahabatnya. Kalaupun ada senyum terukir di bibir, percayalah itu hanya dusta belaka.

Bersama derasnya air mata yang mengalir, perempuan bercadar ini berkelebat pergi, meninggalkan upacara pernikahan.

Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling ke arah Kakek Segala Tahu.

“Kakek Segala Tahu, saatnya upacara pemusnahan kabut dimulai. Untuk yang satu ini saya serahkan padamu. Saya mohon diri.” Datuk Rao mengusap kepala Wiro, lalu perlahan sosoknya menghilang, bersama menghilangnya gema auman harimau.

Kakek Segala Tahu melangkah ke hadapan Wiro. “Sinto, pinjamkan tusuk kondemu.”

“Heh, apa perlunya minjam tusuk kondeku segala?”

“Jangan main-main, Sinto! Kita sudah gak punya banyak waktu lagi.”

“Huh, Tua Bangka Sialan! Apa sulitnya menggores tangan dengan kaleng rombeng butut milikmu?” Walaupun mengomel penuh kesal, tapi nenek ini ambil juga tusuk konde yang menancap di batuk kepalanya. Melempar tusuk konde itu dengan sedikit pengerahan tenaga dalam. Ajaibnya, meskipun dalam keadaan buta, Kakek Segala Tahu sedikitpun tidak mengalami kesulitan menangkap senjata sakti itu. Padahal kecepatan geraknya sulit terlihat oleh mata orang biasa.

“Sialan kau, Sinto! Masih sempat-sempatnya pamer kesaktian.”

“Hihihi..... habis aku muak dengan keadaan ini. Kapan berakhirnya. Pantat tepos ini sudah terlalu lama duduk. Lagi pula sejak tadi aku gak tahan nahan kencing.”

“Nenek Sinto, kencing saja di situ, apa sulitnya.” Sahut Naga Kuning yang disambut tawa keras orang-orang.

“Bocah Syetan! Berani kau bicara ngasal sekali lagi aku robek mulutmu!”

“Aku kan Cuma memberi saran.” Naga Kuning pencongkan mulutnya. “Dari pada ditahan-tahan, takutnya benda yang lain ikut terbawa keluar.”

“Anak Setan! Mulutmu memang tidak bisa berhenti sebelum kusumpal dengan tanah!” Sinto Gendeng lempar sekepalan tanah ke arah Naga Kuning. Laksana anak panah, tanah itu melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sambil tertawa-tawa Naga Kuning melompat ke arah Setan Ngompol. Akibatnya kakek tukang ngompol ini memaki-maki tiada henti.

“Sudah-sudah. Kalian ini kayak anak kecil saja.” Dewa Tuak yang sejak tadi diam menengahi. “Orang Tua, tunggu apa lagi? Segera tuntaskan!”

Kakek segala tahu terbatuk-batuk. Menghoyang kaleng rombengnya terlebih dahulu, lalu meminta Wiro dan Ratu duyung untuk mengulurkan tangan masing-masing. Dengan tusuk konde kakek ini menggores luka ke telapak tangan Wiro dan Ratu Duyung.

Retttt! Retttt! Retttt! Retttt!!!

Empat kali berturut-turut. Darah merah segar mengucur dari telapak masing-masing.

“Satukan telapak tangan kalian.”

Wiro Sableng dan Ratu Duyung ikuti perintah Kakek Segala Tahu. Tampak bibir si orang tua komat-kamit, membaca mantra. Kedua talapak tangan di taruh di kepala Wiro dan Ratu Duyung. Asap putih mengepul dari keduanya. Wiro dan Ratu Duyung merasakan ada hawa panas menjalar ke sekujur tubuhnya.

“Takdir telah dituliskan. Penguasa memberi petunjuk. Hanya cinta suci dua insan yang mampu menjadi penawar.” Kakek Segala Tahu meniup perlahan saja. Hawa panas yang sebelumnya menjalar di sekujur tubuh berubah menjadi hawa sejuk. Kakek Segala Tahu melepas pegangan tangannya. Semua orang menunggu dengan dada berdebar. Sampai seperempat peminuman teh tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa kalian diam? Ayok ceritakan padaku, apa yang terjadi?”

“Kek, tidak terjadi apapun. Kabut masih tetap seperti sebelumnya.”

Kakek Segala Tahu menggeleng berulang-ulang. “Tidak mungkin. Harusnya kabut itu hilang saat upacara ini selesai di jalankan. Atau petunjuk Si Raja Penidur salah? Atau penafsiranku yang kurang tepat?”

“Kek, mungkin bukan hanya penyatuan darah saja.”

“Apa maksudmu Bocah Gebleg? Jangan berani bicara kotor!” Setan Ngompol langsung mendamprat Naga Kuning yang tadi bicara. Semua orang kini melihat ke arah Naga Kuning. Sambil senyum-senyum anak ini berkata, “Namanya orang sudah nikah, sudah suci, sudah mendapat ridho dari Gusti Allah, masakan upacara penghapusannya hanya sebatas penyatuan darah. Bukannya lebih asyik kalau ada penyatuan yang lain?”

“Emang Bocah Geblek!”

“Kenapa gak disebutin apa itu yang lain, Naga Kuning?” Dewa Ketawa tertawa diikuti beberapa orang.

“Mungkin senjata andalan masing-masing, hahahaha....”

“Bocah Edan!” yang memaki Wiro Sableng. Ratu Duyung, Anggini dan Pandansuri sampai bersemu merah. Sementara Lestari melihat kejurusan lain, pura-pura tidak mendengar.

Walaupun itu adalah sebuah ide yang sangat konyol dan asal-asalan, tapi terlihat masuk akal. Akhirnya Kakek Segala Tahu, Tua Gila, Sinto Gendeng dan Dewa Tuak menyetujui usul Naga Kuning. Penyatuan yang dimaksudkan pasti bukan hanya sekedar darah. Tapi lebih dari itu, penyatuan badan layaknya pengantin baru pada umumnya.

Tidak jauh dari telaga itu, telah di bangun sebuah rumah panggung beberapa hari sebelumnya. Wiro bersama Ratu Duyung menempati rumah itu. Sementara Panji Kenanga setelah bercakap-cakap cukup lama dengan Wiro Sableng mohon pamit. Kakek Segala Tahu berpesan pada Lestari kalau apa yang terjadi di tempat ini semuanya harus diceritakan pada gurunya. Si Pemusnah Iblis. Dan andai nantinya apa yang tidak diinginkan terjadi, Kakek Segala Tahu berharap, orang sakti itu bisa hadir dalam pertemuan para tokoh besar.

Demikian pula dengan Anggini dan Pandansuri, dua dara cantik ini memilih kembali ke kediaman gurunya. Berbeda hal dengan Naga Kuning dan Genderuwo Patah Hati. Dua pasang kekasih yang dimabuk asmara ini memilih menyelinap ke sebuah semak belukar, meninggalkan Setan Ngompol, hingga akhirnya Kakek Bau Pesing ini bergabung bersama Kakek Segala Tahu, Sinto Gendeng dan Tua Gila. Sisa lainnya memilih menunggu kabar di pemukiman penduduk.

Dalam sebuah kamar Ratu Duyung menunggu kedatangan Wiro yang kini telah resmi menjadi suaminya. Cukup lama hingga ia merasa bosan. Saat hatinya tergerak untuk menjenguk sang suami, pintu kamar terbuka. Wiro Sableng telah berada di depannya.

“Wiro..... Hmmm.... Kangmas.”

Mendengar Ratu Duyung memanggil kangmas padanya, Wiro merasa geli.

“Kau boleh panggil namaku saja, Intan. Tidak perlu ada yang berubah.”

Ratu Duyung menggeleng. “Sudah seharusnya seorang istri mengabdi pada suaminya. Tentang apapun, termasuk merendahkan diri meskipun usia si wanita lebih tua.”

Wiro Sableng tersenyum. Ditatapnya dalam-dalam wajah cantik sang Ratu.

“Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Aku gak yakin kamu sepolos itu, Kangmas.”

Kalau sebelumnya ia hanya tersenyum, kini pemuda ini tertawa.

“Apanya yang lucu?” Ratu Duyung cemberut.

“Panggilanmu. Aku merasa aneh. Udah, kamu panggil namaku saja. Jangan kangmas.”

Ratu Duyung tersenyum. “Baiklah kalau itu memang maumu.”

“Wiro.”

“Hmmm....”

“Kau masih ingat kejadian di Puri Pelebur Kutuk?”

“Aku tidak akan melupakan itu, Intan. Kenapa?”

“Kau kehilangan seluruh kekuatanmu. Sampai hari ini aku masih merasa bersalah.”

“Semua sudah berlalu, Intan.”

“Bukan itu, Wiro.”

Wiro Sableng mengerutkan keningnya. Menunggu kelanjutan ucapan Ratu Duyung.

“Meskipun yang bersangkutan telah memaafkan, tapi, yang namanya rasa bersalah tetap saja tidak bisa hilang. Karenanya, mungkin sekarang ini saatnya aku membalas semua kebaikanmu, sekaligus menebus kesalahanku.”

Wiro Sableng makin tidak mengerti dengan ucapan Ratu Duyung. Tapi tidak lama. Karena berikutnya ia melihat Ratu Duyung mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Wiro Sableng sampai membeliak melihat apa yang dipegang Sang Ratu.

“Kitab Wasiat Malaikat?!” terasa sekali getar pada suaranya. “Kitab yang hampir dilupakan keberadaannya oleh semua orang ternyata kau berhasil mendapatnya?”

Ratu Duyung mengangguk. “Kitab ini sebenarnya sudah lama ada padaku. Ingat kejadian di telaga ini ketika semua orang berebut Pedang Naga Suci 212, aku mendapatkan kitab ini di sana.”

Wiro menggaruk kepalanya. “Kehadiran kitab ini sempat menghebohkan dunia persilatan seperti halnya Kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi, karena sejauh itu ujudnya atau keberadaannya tidak ada kejelasan, akhirnya semua orang, termasuk aku sendiri mengira kalau kitab ini sebenarnya tidak ada. Hanya dibuat-buat saja oleh orang-orang Lembah Akhirat.”

“Sesuai apa yang aku katakan Wiro. Aku akan membalas segala kebaikanmu dan sekaligus menebus kesalahan waktu itu. Akibat aku kau hampir celaka. Maut mengikuti ke mana kau pergi. Ambilah kitab ini, Wiro.”

Kedua mata Wiro terbelalak. “Untukku?”

Ratu Duyung mengangguk.

“Tidak Ratu. Aku tidak berani menerimanya. Ini hakmu. Kamu yang mendapatkan. Soal kejadian masa lalu, udahlah tidak usah dipikirkan. Semua yang terjadi sudah bagian dari takdir Tuhan. Lagian soal balas budi, hutang piutang, kamu sudah terlalu banyak menanam budi untukku.”

“Ambilah Wiro. Aku tidak mungkin membawa ke mana-mana kitab ini di pinggang. Memang sejak kitab sakti ini ada padaku, tenaga dalam rasanya menjadi berlipat-lipat. Kitab ini pula sudah beberapa kali menyelamatkan nyawaku. Tapi, membawa kitab ini ke mana-mana rasanya terlalu berbahaya.”

“Kenapa kamu tidak mempelajari isinya, lalu menyimpan kitab ini di tempat yang orang lain tak pernah terpikirkan.”

“Lebih dari seratus kali aku membuka kitab ini, Wiro, tapi tak ada segores tinta pun di dalamnya. Mungkin aku gak berjodoh dengan kitab ini.”

“Atau memang kitab ini hanya berisi lembaran kosong melompong!”

Ratu Duyung menggeleng. “Mana ada lembaran kosong memiliki kekuatan yang dahsyat. Karena itu, ambilah, Wiro. Ini pemberian dari istrimu. Tidak ada alasan bagimu untuk menolak. Kecuali kalau kau terpaksa menikahiku.”

Mendengar kata terakhir Wiro Sableng menjadi tidak enak. Mau tidak mau akhirnya kitab di tangan Ratu Duyung diambilnya. Saat jemarinya menyentuh kitab itu, selarik cahaya putih kebiruan muncul. Ratu Duyung sampai membulat kedua matanya. Selama ratusan hari ia memegang benda itu, belum pernah sekalipun ada cahaya yang keluar dan masuk ke dalam tangan.

Wiro Sableng merasakan kesejukan pada tubuhnya. Dan pada saat yang sama tenaga dalamnya seakan meningkat tajam.

“Gila! Kitab ini mungkin lebih sakti dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Belum dipelajari saja isinya aku sudah merasakan kekuatan yang sangat luar biasa.” Wiro membatin. Menatap dalam-dalam pada istrinya.

“Coba, buka.”

Wiro ikuti saran Ratu Duyung. Dengan tangan gemetar ia buka lembaran pertama kitab itu. Dan untuk kedua kalinya, Ratu Duyung membeliak. Benar-benar sulit dipahami. Berulangkali ia membuka lembaran ini, tidak ada setitik tinta pun di atasnya. Sekarang, kitab itu berisi tulisan.

“Kitab Wasiat Malaikat. Hanya yang Ditakdirkan yang Bisa Melihat.” Suara Ratu Duyung bergetar saat membaca tulisan pertama pada kitab itu.

“Kau berjodoh dengan kitab ini, Wiro. Kau lah orang yang ditakdirkan untuk mempelajari isi dari kitab ini.”

Wiro Sableng membuka halaman berikutnya. Ternyata hanya ada sebuah gambar sepasang tangan raksasa yang sedang menyentuh tanah. Wiro Sableng tidak mengerti arti dari gambar ini. Kalau dalam Kitab Putih Wasiat Dewa di setiap halaman ada keterangan jurus dan pukulan apa yang terkandung di dalamnya, berbeda sekali dengan Kitab Wasiat Malaikat. Hanya ada gambar tanpa ada penjelasan. Mungkin di halaman berikutnya, pikir Wiro.

Halaman selanjutnya di buka. Sama. Hanya ada sebuah gambar. Kalau tadi hanya ada gambar tangan raksasa, sekarang hanya ada gambar sayap. Penasaran sekali Wiro Sableng buka halaman berikutnya. Gambar sepasang kaki yang terpendam sebatas betis.

“Kitab aneh! Tidak mungkin pembuatnya lupa memberi keterangan atau nama pada gambar-gambar ini.”

“Mungkin keterangannya ada di halaman terakhir,” ujar Ratu Duyung. Wiro segera melompat, membuka halaman terakhir. Halaman kosong melompong. Membuka lagi. Sama. Kosong. Penasaran terus membuka halaman demi halaman, hingga sampai ke ujung depan gambar yang sebelumnya ada menghilang.

“Gila! Apa yang terjadi dengan kitab aneh ini? Kenapa gambar yang tadi ikutan hilang?”

“Wiro, sepertinya kitab ini memiliki aturan khusus.”

“Maksudmu?”

“Selain hanya bisa dibaca oleh orang yang telah ditakdirkan, kitab ini juga tidak bisa dibuka dari sebelah belakang. Atau melompati halaman. Coba kau ulang dari awal.”

Wiro Sableng menggeleng tak mengerti. Benar-benar gak masuk akal. “Jika memang begitu aturannya, mungkin ini adalah satu-satunya kitab tertinggi yang pernah diciptakan.”

Wiro Sableng menutup kitab itu, lalu mengulang, membuka halaman demi halaman. Dan benar apa yang diduga Ratu Duyung. Kitab itu memang memiliki aturan khusus, yang harus dibuka secara berurutan.

Wiro telah sampai ke halaman bergambar kaki yang terbenam sebatas betis. Lalu halaman berikutnya bergambar ribuan manusia bersayap. Ingin cepat sampai ke ujung ia membuka halaman demi halaman dengan cepat.

Gambar orang yang sedang memukul dengan kedua tangan. Lalu berikutnya gambar terompet. Wiro makin tidak mengerti. Buka lagi halaman berikutnya, ada gambar sosok bayang-bayang. Lalu ada lagi gambar manusia raksasa. Sepasang Naga Putih dan yang terakhir gambar Batu Kristal.

Sebelum membuka halaman berikutnya Wiro Sableng menatap terlebih dahulu ke arah Ratu Duyung. Dan di halaman ini ada sebuah tulisan.

“Sepuluh inti kesaktian Kitab Wasiat Malaikat telah tersimpan sepenuhnya saat halaman terakhir tertutup. Kesaktian kitab ini baru bisa digunakan saat yang ditakdirkan menjalani beberapa aturan penting. Pertama: Terjaga dari kesucian hubungan badan suami istri. Kedua : Puasa selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Yang ketiga : Selama menjalankan puasa, yang ditakdirkan diharamkan untuk membunuh, meskipun hanya seekor nyamuk. Bila peraturan pertama dilanggar, yang ditakdirkan harus menunggu selama empat puluh hari selanjutnya.”

“Aturan gila!” membuka halaman terakhir. Ternyata di sana hanya berisi nama-nama dari inti kesaktian Kitab Wasiat Malaikat. Di sana juga di jelaskan kalau ilmu kesaktian ini hanya cukup menyebut namanya, maka tanpa membaca mantra apapun, atau melakukan gerakan apapun, ilmu dahsyat akan keluar dengan sendirinya.

“Bagaimana ini?” Wiro menutup halaman terakhir. Ratu Duyung tersenyum malu-malu.

“Apanya yang bagaimana?”

Wiro menggaruk kepala. Kebingungan juga ia. “Kalau kita lakukan sekarang, itu artinya, aku harus menunggu selama empat puluh hari agar bisa menjalankan ritual yang disebutkan. Tapi kalau kita tidak lakukan, guru dan semua orang pasti akan kecewa.”

Ratu Duyung diam saja. Melangkah duduk di ranjang kayu yang dilapisi jerami kering.

“Intan, aku menunggu pendapatmu.”

“Aku ikut apa keputusanmu saja, Wiro.”

Wiro kembali menggaruk kepalanya. “Kalau begitu kita lakukan sekarang aja. Soal kesaktian kitab itu, bisa kita jalankan lain waktu. Keselamatan dunia persilatan jauh di atas segalanya.”

Ratu Duyung mengangguk. Wiro melompat ke arah jendela.

Druggg!!!

Jendela kamar ditutup keras. Di dalam sana Ratu Duyung terpekik.

“Wiro, sabar dulu, ah.”

“Biar cepat selesai.”

“Aku tidak suka terburu-buru.”

“Kalau gitu kita lakukan sampai pagi.” Suara pakaian yang dilempar ke sembarang tempat terdengar.

“Kuat?”

“Dua hari dua malam juga rasanya aku kuat, hahaha....”

“Dasar gila!” Ratu Duyung terpekik. Wiro Sableng tertawa, diikuti jerit kegelian Sang Ratu.

Kenyataannya, panggang jauh dari perapian. Apa yang disangka semua orang tidak pernah terjadi. Kabut tipis tidak kunjung hilang. Bahkan, semakin bertambah bulan semakin tebal. Semua orang termasuk Kakek Segala Tahu hanya bisa pasrah. Wiro sendiri kini sibuk dengan rutinitasnya menjalani ritual yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat. Demi kelancaran ia sampai menyepi diri di gubuk bekas gurunya, di sebelah selatan yang ada di puncak Gunung Gede. Setelah sepuluh inti kekuatan yang terkandung dalam kitab itu dikuasai, ia tak sabar untuk mengujinya. Yang dicoba pukulan kedua tangan sekaligus.

Murka Sang Malaikat!

Wiro menyebut nama pukulan itu. Dan memang benar, secara ajaib pukulan sakti itu mampu menghancurkan batu karang sebesar rumah. Namun, ada sedikit kekecewaan di hati pemuda ini. Sebelumnya ia mengira, kesaktian ilmu Kitab Wasiat Malaikat berada dua atau tiga tingkat dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi nyatanya, sama saja. Bahkan jika dibandingkan Sepasang Pedang Dewa, rasanya Kitab Wasiat Malaikat kalah jauh dibawahnya.

Yang membuat Wiro kecewa adalah cara mendapatkan ilmu itu. Teramat sulit, bahkan boleh dikatakan tersulit dari ilmu lain yang pernah dipelajari. Bayangkan saja, selama menjalankan puasa dia samasekali tak membunub nyamuk yang berapa kali menghisap darahnya. Ia juga tidak bisa menggencet semut dengan ibu jarinya kala mahluk nakal itu menggigit perabotannya. Yang paling menjengkelkan dia harus meneliti di sebelah mana semut itu sembunyi. Padahal, andai ia sedang tidak menjalani ritual, mudah saja baginya. Tinggal meremas dengan dua jari, selesai.

Bab 6

Perempuan Bercadar merah berlari tanpa arah. Sepanjang perjalanan ia berulangkali mengusap air mata yang terus bercucuran tiada henti. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat jiwanya berguncang. Begini kah akhinya? Sejak perjodohan itu terikat sebenarnya ia sudah tahu akan ke mana akhir dari kisah cintanya dengan pemuda itu, akan tetapi, sejauh itu, ia tak menyangka akan sesakit ini rasanya. Ketika semua orang merayakan kebahagiaan mengenai bersatunya dua tokoh besar dunia persilatan, dirinya justru seakan tenggelam di dasar neraka. Demi Tuhan ... andai kematian adalah akhir dari segalanya dan bunuh diri bukan bagian dari dosa, ingin rasanya saat ini ia pecahkan saja kepalanya.

Sambil terus berlari dengan kecepatan tinggi, hingga sosoknya yang terlihat hanya bayang-bayang, Perempuan ini kembali mengusap air matanya. Kain merah sebagai penutup telah basah sempurna.

“Andai dulu ketika dia membawa aku menemui gurunya di Puncak Gunung Gede langsung kuterima saja, mungkin tidak begini jadinya.”

Di sebuah pohon besar perempuan ini berhenti. Ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu saat pertama kali dirinya bertemu Pendekar 212 dan tidak sampai lima hari perkenalan ia langsung di ajak ke kediaman sang guru. Ia melihat cinta dan kebahagiaan pada diri si pemuda, akan tetapi dirinya sendiri merasa ini terlalu cepat. Belum genap satu tahun ia turun gunung, juga belum banyak pengalaman yang didapatkan. Seperti gadis-gadis lain yang ditemuinya sepanjang petualangan, dirinya pun masih ingin bebas. Tidak ingin terikat dengan apapun. Termasuk tali perkawinan. Karenanya, begitu Nenek Sakti dar Gunung Gede itu bertanya, dengan mantap ia menjawab tanpa ada keraguan sedikitpun.

“Nenek Sinto, harap maafmu, bukannya saya menolak niat baik muridmu, tapi terpikir untuk ke sana pun belum ada. Lagi pula, sesuai keteranganmu barusan, masih terlalu banyak tugas yang dipikul muridmu. Saya yang bodoh ini tidak mau menjadi penghalang atau tambahan beban buat dia.”

“Bidadari, bukankah kita sudah sepakat ....”

“Anak Setan, kau diam lah!” bentak Sinto Gendeng. Gubuk reot di mana dia berada sedikit bergetar. Wiro Sableng langsung menundukan kepala. Bidadari Angin Timur sendiri hanya bisa menggigit bibir.

“Jadi kau menolak aku nikahkan dengan muridku?”

Sebelum menjawab gadis cantik berambut pirang ini melirik terlebih dahulu ke Wiro Sableng yang duduk di sebelahnya.

“Seperti apa yang saya katakan barusan, Nek. Ini terlalu cepat buat saya. Dan lagi saya tidak mau menjadi beban buat muridmu dalam menjalankan tugas besar yang diembannya.”

“Kamu katakan saja, iya atau tidak!”

Bidadari Angin Timur menarik napas besar, lalu mengangguk perlahan. Wiro Sableng yang melihat itu seakan detak jantungnya terhenti. Bukan hanya jauh dari harap, apa yang terjadi kini seperti kutukan terencana. Dirinya seolah terpeleset jauh ke dasar jurang setelah sebelumnya dibawa terbang ke taman langit yang indah.

Tawa Nenek Sakti dari Gunung Gede memecah ketegangan.

“Anak Setan! Kau sudah dengar sendiri kan? Sudah lihat sendiri jawaban darinya? Hihihi .... Udah, nikmati saja masa mudamu. Dulu, waktu aku seusiamu, aku disibukkan dengan menimba ilmu dan pengalaman di mana kaki berpijak. Kamu, bulu baru tumbuh beberapa helai saja udah minta kawin, hihihi .... dasar anak jaman sekarang. Udah, kalian pergi, aku masih banyak urusan.” Sinto Gendeng berdiri.

“Nenek, Sinto, saya mohon diri.” Bidadari Angin Timur ikut berdiri. Menyalami orang tua itu.

“Ya ya ya, kau pergilah. Dunia persilatan masih membutuhkan orang-orang muda seperti kalian. Masa depan masih panjang. Jangan kawin saja yang dipikirkan. Tapi jangan juga tidak sampai mikirin kawin. Kecuali kalau tuanya mau seperti aku, hihihi .....”

Bidadari Angin Timur tersenyum geli. Dua lesung pipit terlihat di pipinya. Sebelum berkelebat pergi ia membungkuk terlebih dahulu pada si orang tua. Wiro Sableng yang melihat itu hendak mengejar, tapi gerak tubuhnya tertahan oleh tongkat butut si nenek. Bagaimanapun ia mencoba, bahkan sampai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya tetap saja, sosoknya tak mampu bergerak sedikitpun.

“Eyang, bukankah pembicaraan kita sudah selesai?”

“Anak Setan, dengar! Sebelum kau pergi, ada ujar-ujar mengatakan, ‘Apa yang terlihat indah di matamu, belum tentu itu baik untuk dirimu.’ Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan. Sudah banyak malapetaka terjadi di dunia ini disebabkan karena mereka lalai dalam mengambil pilihan.”

“Menurut Eyang, apakah Bidadari Angin Timur bukan pilihan terbaik buat saya?”

“Bodoh!” Sinto Gendeng menjitak kepala muridnya, membuat Wiro Sableng meringis kesakitan. “Aku sedang tidak membahas si Pirang itu! Kau juga tidak perlu memikirkannya sekarang. Kau pergilah! Aku sudah muak melihat tampangmu!”

“Baik, Eyang, Murid pergi sekarang.” Wiro Sableng ciumi kedua tangan gurunya. Sinto Gendeng mengangguk perlahan. Memperhatikan bayangan putih sang murid yang semakin lama semakin menghilang di kejauhan.

“Orang Tua ini memang sudah seharusnya kesepian.” Entah sadar atau tidak, ada bulir air mulai mengalir di kedua pipi kempot si nenek. “Aku bisa dengan mudah menepis tali perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, atau Si Pemusnah Iblis, tapi tidak mungkin kalau yang meminta muridku sendiri. Untung si Pirang punya pemikiran yang sama denganku, hihihi ... Anak Setan, masih banyak yang harus kau kerjakan. Dan tubuh reot ini sudah saatnya dibaringkan.” Sinto Gendeng melangkah ke ranjang roet terbuat dari bambu.

“Bidadari Angin Timur!” teriak Wiro, mempergunakan hampir separuh tenaga dalamnya. Tanah yang dipijak bergetar, bebatuan sebesar kepala terjatuh menggelinding. “Aku tahu kau masih ada di sekitar sini. Keluarlah. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan.” Wiro menunggu. Tapi sampai kakinya terasa pegal berdiri, orang yang ditunggu belum juga keluar.

“Bidadari Angin Timur! Apa kau sepengecut itu sampai harus bersembunyi? Keluarlah! Aku ingin bicara! Setelah itu, terserah!”

Dari arah samping kiri terdengar suara berdesir. Saat Wiro Sableng berpaling, sosok berbaju biru tipis telah berdiri menatap dirinya dengan senyum terkembang. Kalau sebelumnya ia menggebu-gebu lantaran hati dan perasaannya dibuat jengkel dengan sikap Bidadari Angin Timur, kini, saat melihat betapa cantiknya wajah itu, amarah yang beberapa saat menguasai hati sedikit demi sedikit mulai mereda.

“Ada apa Anak Setan?”

“Heh, kau jangan ikut-ikutan guruku.”

Bidadari Angin Timur tertawa. Di mata Wiro, suara itu terasa indah, renyah seperti butiran murtiara yang berjatuhan.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Bidadari Angin Timur kemudian setelah puas tertawa.

“Kenapa kau menyalahi kesepakatan awal? Bukankah sebelumnya kita sudah saling sepakat kalau tujuan aku membawamu ke Gunung Gede ini untuk meminta restu?”

“Memang.”

“Lalu?”

“Ada kalanya apa yang sudah kita sepakati harus dikorbankan demi kebaikan bersama.”

“Aku tidak mengerti.”

“Pada saatnya kau akan mengerti.”

Wiro Sableng menekan kuat-kuat gigi gerahamnya. Kekesalan mulai kembali merasuki hati pemuda ini. Ia merasa dirinya benar-benar dipermainkan. Kalau memang tidak ada niatan untuk menerima, mengapa dia mau diajak menemui gurunya? Bukankah lebih baik dia menolak saja sejak awal?

“Kau tidak suka dengan keputusan ini?”

“Aku suka atau tidak, apa pedulimu? Lagi pula tidak akan mengubah keputusan yang sudah ditentukan kan?”

Bidadari Angin Timur kembali tertawa. “Anak Setan Sudah lebih pintar rupanya. Baiklah, kalau begitu, saatnya aku untuk pergi.” Bidadari Angin Timur siap berkelebat, tapi lengan tangannya tergenggam erat.

“Ada apa lagi?”

“Apakah kau tidak memiliki perasaan apapun terhadapku?”

Bidadari Angin Timur tersenyum. “Kau percaya apa yang terjadi di dunia ini atas kehendak Gusti Allah?”

Wiro Sableng mengangguk cepat.

“Kalau begitu, percaya saja pada-Nya. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersatu, apapun yang terjadi, kita akan kembali dipertemukan. Disatukan.”

“Kata-katamu samasekali tidak menjawab pertanyaanku.”

“Belum saatnya kau tahu Anak Setan!” lagi-lagi Bidadari Angin Timur tertawa. Dalam hati Wiro Sableng memaki panjang pendek.

“Sialan gadis ini. Udah tiga kali dia menyebut aku Anak Setan! Sialan betul!” Wiro Sableng menggaruk kepalanya habis-habisan saking kesalnya.

“Akhirnya yang aku tunggu sejak tadi muncul juga.”

Murid Sinto Gendeng menatap heran. “Heh, apa yang kau tunggu Bidadari Angin Timur?”

“Garukan kepalamu, hahaha ....” Sekali berkelebat, belum juga hilang gema tawanya, sosoknya sudah lenyap, seakan tenggelam ke dalam perut bumi.

“Baru kali ini aku merasa mati kutu menghadapi perempuan. Sial dangkalan!”

***

Wanita bercadar tersadar dari lamunan panjangnya, kala suara orang mengejutkan dirinya.

“Benar ini manusianya Suto Kemikir?” tanya lelaki bertubuh besar di atas kuda. Kedua matanya melotot tajam. Wajahnya yang penuh dengan brewok ada bekas luka di pipinya membentuk codet memanjang. Di pinggangnya membekal sebuah kendi sebesar kepala bayi.

Orang yang dipanggil Suto Kemikir mengangguk. “Melihat dari ciri-cirinya, betina ini sama persis seperti keterangan dari pemilik rumah makan. Tidak salah lagi, sudah pasti dialah orangnya, yang telah membunuh adikku.”

“Kalian siapa?” bentak Perempuan Bercadar yang saat itu telah siap siaga. Tanpa mendapat jawaban dari pertanyaannya pun mendengar obrolan mereka sebenarnya ia sudah menduga, kalau orang-orang ini datang untuk membalas dendam atas kematian rombongan prampok beberapa hari lalu di rumah makan.

Di depan sana ada sepuluh orang berkuda. Semuanya bertampang menyeramkan. Tapi bagi dirinya yang memiliki ilmu silat yang tidak sembarang orang bisa mengalahkan, tak ada rasa takut sedikitpun. Akan tetapi, sebagai manusia, perasaan was-was tetap ada walau hanya sesaat. Terlebih saat menyadari, selain dua orang yang harus di waspadai juga ada salah satu yang sepertinya menjadi paling berbahaya dari yang lain. Seorang kakek kurus yang enak-enakan duduk di atas kepala kuda. Kalau bukan karena ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi, mustahil ia mampu melakukan itu. Seperti lelaki brewok bertubuh besar, kakek ini pun membekal sebuah kendi berukuran sama di pinggangnya. Pasti itu bukan air untuk minum, pikir Perempuan Bercadar. “Mungkin senjata andalan. Aku harus hati-hati dengan manusia satu ini.”

“Suto Kemikir! Kenapa kau diam saja ada orang bertanya? Sebelum minggat ke neraka, ada baiknya kau jelaskan siapa kami. Agar rohnya tidak gentayangan, hahahaha .....” kakek tua ini tertawa keras, membuat bumi yang dipijak bergetar. Bagi seorang pendekar yang memiliki segudang pengalaman seperti dirinya, itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui seberapa tinggi tenaga dalam yang dimiliki lawannya.

“Betina Bercadar!” bentak Suto Kemikir. “Aku tidak akan bicara banyak-banyak dengan orang yang akan mampus! Beberapa hari lalu kau telah membunuh adikku, Jarok Kemitir di sebuah rumah makan. Kau tidak bisa mengelak lagi. Akui dan serahkan nyawamu!”

Wanita Bercadar tersenyum. “Oh, jadi kalian datang untuk menuntut balas?”

“Aku datang untuk mencincang tubuhmu! Mengorek jantungmu, memenggal lehermu seperti yang telah kau lakukan terhadap adikku!”

“Dia pantas mati! Dosa yang telah diperbuatnya sudah kelewat batas. Kalau kau datang untuk menyusul, aku dengan senang hati membantumu, hahaha....”

“Betina keparat!” Pada lima anak buahnya ia memberi isyarat untuk menerjang. Enam orang melompat dari atas kuda, mengeroyok manusia bercadar. Dua lainnya siap mengikuti, namun, lelaki bercodet memberi tanda agar keduanya tetap di tempat.

“Kita lihat kemampuan perempuan itu dulu.”

Wanita Bercadar yang sejak tadi telah siap waspada tidak tinggal diam. Begitu serangan datang, ia tidak ragu-ragu melepas pedang dari sarungnya. Cahaya merah redup terlihat memancar dari badan pedang. Membabat putus salah satu pedang milik anak buah Suto Kemikir. Lelaki ini membeliak tak percaya. Saat itulah, pukulan keras menghantam rusuknya.

Krakk! Jerit kesakitan terdengar mengerikan. Sosok manusia ini terbanting dengan tulang rusuk patah. Berhasil mendaratkan satu pukulan mematikan hampir saja ia kecolongan. Dua sabetan Pedang berebut menyambar punggungnya. Beruntung ia memiliki kecepatan gerak yang sangat luar biasa. Terlambat sedikit saja, tentu salah satu dari mata pedang itu akan membabat putus tubuhnya.

Bukk!!!

Satu orang kembali terpental bersama jerit kesakitan. Lelaki ini terbanting menghantam pohon besar dan saat sossoknya jatuh ke tanah sudah tidak bernyawa. Dadanya sebelah kiri melesak. Suto Kemikir yang melihat itu berteriak marah. Didahului dengan bentakan garang ia merobah ilmu pedangnya. Sesaat kemudian gerakan ilmu pedang lelaki ini berubah total. Perempuan Bercadar pernah melihat keganasan ilmu pedang ini lewat pertarungan Jarok Kemitir dan Lestari. Karenanya, walau cukup mengagumi ia tidak begitu terkejut. Meskipun sedikit kerepotan karena harus menghadapi empat orang bersenjata lengkap sekaligus, ia masih mampu bersikap tenang. Semua itu berkat kecepatan geraknya.

“Aku mau tahu seberapa lama lagi kau mampu bertahan!” bentak Suto Kemikir.

“Banyak omong! Lihat pedang!” cahaya hijau berkiblat ganas.

Trang!!!

Dua pedang putus sekaligus. Belum hilang rasa kejutnya, sambaran berikutnya menghantam leher masing-masing. Darah mengucur deras dari dua orang anak buah Suto Kemikir. Suara seperti kambing disembelih terdengar mengerikan. Bersama terjatuhnya sosok tubuh yang hampir putus kepalanya, dua lainnya melompat mundur dari kalangan pertempuran. Enam penyerang sisa dua. Padahal, Suto Kemikir dan anak buahnya bukan termasuk orang rendahan. Mereka cukup disegani di wilayah selatan. Tapi, menghadapi perempuan bercadar ini sangat tidak berdaya.

“Pantas kau merengek-rengek meminta pertolongan aku dan Guru, Suto. Rupanya betina satu ini memang tidak mudah ditaklukkan.” Lelaki bercodet melompat. Wanita bercadar perhatikan sosoknya yang mendarat. Meski masih terdengar saat kaki itu bertemu dengan tanah, tapi terlihat jauh lebih ringan di banding Suto Kemikir. Lelaki ini tentu berada tiga atau empat tingkat di atas Suto.

“Begini cara menaklukan Betina, Suto.” Sekali berkelebat ia merampas pedang di tangan Suto Kemikir. Serangan ganas menggempur Wanita Bercadar. Ia sudah menyaksikan keganasan pedang di tangan wanita itu. Karenanya sebisa mungkin ia menghindari bentrokan. Akibatnya, dalam waktu singkat ia terdesak hebat. Lelaki ini memaki dalam hati. Ia mengira paling lama dalam waktu sepuluh jurus sudah mampu menaklukan si betina, ternyata yang terjadi sebaliknya. Belum sampai sepuluh jurus ia harus mati-matian bertahan dari keganasan serangan lawan.

Tidak mau dipermalukan begitu rupa, di hadapan guru dan juga anak buahnya, Lelaki ini hantam lawan dengan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Wanita bercadar yang penasaran seberapa tinggi tenaga dalam lawan sambuti dengan pengerahan lebih dari separuhnya. Suara benturan beradunya pukulan terdengar nyaring sekali. Jerit kesakitan menggema di sepanjang hutan. Lelaki Bercodet terpental lima langkah ke belakang. Tangan kanannya bengkak. Tulang seakan remuk. Melihat lawannya hanya terjajar satu langkah dan tidak mengalami cidera sedikitpun, jelas sudah, kalau tenaga dalam dirinya berada di bawah si wanita.

“Betina ini tidak bisa diajak main-main! Kalau tidak segera dihabisi, sangat berbahaya.” Membatin lelaki bercodet. Pada gurunya ia hendak berkata, tapi tak jadi, karena lelaki tua itu lebih dulu memberi arahanan.

“Keluarkan Jurus Seribu Racun Dari Liang Kubur!” Orang tua ini melompat satu langkah di samping muridnya. Dua lainnya mengikuti, berdiri di samping kiri Lelaki Bercodet. Suto Kemikir sendiri terkejut bukan main mendengar perintah yang diberikan si orang tua. Jurus yang disebutkan itu adalah jurus andalan, dan sekaligus jurus pemangkas yang sangat mematikan. Hanya kepada lawan yang sangat tangguh ilmu itu dikeluarkan. Menghadapi wanita itu, si orang tua sampai harus turun tangan dan mengeluarkan jurus simpanan? Kalau bukan lawan yang sulit ditaklukan, mustahil ia memerintahkan anak buahnya mengeluarkan jurus itu.

Suto Kemikir dan satu anak buahnya yang tersisa melompat mundur, sejauh tiga tombak. Melihat itu Wanita Bercadar menjadi heran, dan bertanya-tanya.

“Kau boleh punya ilmu setinggi langit Betina Sundal! Tapi tidak ada satu manusia pun yang akan selamat dari Jurus Seribu Racun Dari Liang Kubur!”

“Begitu?” sahut Wanita Bercadar dengan seringai mengejek. Di simpannya kembali pedang yang sejak tadi tergenggam. Tenaga dalam di alirkan ke dua tangannya yang terkepal. Sinar biru gelap memancar dari keduanya. Melihat sinar angker kakek ini segera memberi kode kepada muridnya untuk membuka guci yang kini telah berada di genggaman. Begitu terbuka, asap hitam pekat keluar, membumbung tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, guru dan murid ini mendorong kedua tangan masing-masing. Laksana badai yang sangat dahsyat, kepulan asap hitam pekat yang keluar dari dalam guci yang mengambang di udara terhempas, menyongsong dengan ganas ke arah wanita bercadar. Wanita ini pun telah melepas pukulan saktinya.

Dua kekuatan sakti beradu di udara. Ledakan mengerikan mengguncang tempat sekitar. Daun-daun berguguran. Kuda meringkik keras, beberapa berlarian. Kakek tua terhuyung beberapa langkah ke belakang. Di sampingnya muridnya terbanting. Muntah darah segar. Jelas, lelaki itu mengalami luka dalam yang cukup parah. Beruntung dua anak buahnya cepat melompat ke samping. Kalau tidak, tentu cahaya biru angker itu akan merobek tubuh masing-masing.

Di depan sana Perempuan Bercadar terbanting, berguling-guling. Darah segar menyembur dari mulutnya. Cepat ia mengambil pil obat dan menelannya.

“Seribu obat takkan mampu menghilangkan racun yang telah kau hirup. Dalam waktu singkat, kau akan merasakan penyiksaan yang teramat sangat. Hahaha ... tapi aku tidak akan setega itu. Karenanya, segera kau kukirim ke neraka.”

Napas wanita ini ini sedikit tersengal. Pandang matanya mulai kabur. Dadanya terasa sesak. Beradunya tenaga dalam seberapapun kuatnya, tidak seperti ini rasa sakitnya. Benar kata orang tua itu, dalam waktu singkat ia sudah merasakan tubuhnya seakan terpanggang oleh kobaran api. Di depan sana orang tua itu sudah mengeluarkan pukulan sakti. Dia yang tidak mau mati konyol tanpa mampu memberikan perlawanan apapun segera, menyibak pakaian di bagian perutnya. Kulit putih mulus seketika mengejutkan si orang tua. Ia dan semua orang tak menyangka, perempuan bercadar yang dikiranya memiliki wajah buruk rupa nyatanya punya kulit semulus itu.

“Kau pikir dengan membuka pakaian aku akan tergoda?” Baru saja kalimat itu keluar dari mulut orang tua, selarik sinar putih menggidikan melesat ke arahnya. Orang tua ini terbelalak. Ia memang berhasil membalas serangan lawan, namun sedikit terlambat. Pukulan lawan sudah berada dekat dengannya. Di samping itu, pukulan andalan Nyi Bodong teramat sangat ganas. Dalam kejapan mata, sosok orang tua tercerai berai, bersama ledakan dahsyat yang diakibatkan dari keganasan ilmu pukulan wanita bercadar.

Manusia Bercodet menjerit keras. Meraung-raung ia memanggil nama gurunya. Seakan lupa dengan luka dalamnya, lelaki ini melompat berdiri. Menghantam dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Ia tak peduli, meskipun harus tewas karena memaksakan diri mengeluarkan tenaga dalam. Yang terpikir saat ini adalah membunuh perempuan bercadar itu dengan segera.

Wanita bercadar sendiri sudah tidak berdaya. Kalau sebelumnya ia masih mampu memberikan perlawanan, kini, pasrah adalah jalan satu-satunya. Tubuhnya sudah tak mampu lagi digerakan. Bahkan, pandang matanya sudah mulai gelap. Hanya telinganya saja yang masih bisa mendengar. Ketika suara angin pukulan datang menggebu, ia hanya bisa menunggu. Ajal datang menjemput.

“Bukankah manusia diciptakan dari cinta dan kasih sayang para dewa? Wahai ... Sehitam apakah hati kalian hingga kasih sudah tak lagi tersisa? Lawan sudah tidak berdaya, tapi kalian menyerang membabi buta!”

Sampai kalimat itu selesai terucap, ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Ketika ia membuka mata, yang dilihatnya adalah sebuah dinding goa. Ia mencoba bangun untuk duduk. Terbatuk-batuk. Tidak ada darah yang keluar. Perempuan ini mencoba menarik napas dalam-dalam. Ringan. Ternyata sesak sudah hilang. Ia juga sudah tidak merasakan sakit lagi.

“Perempuan itu. Aku ingat betul, ada seorang perempuan yang menolongku. Di mana dia sekarang?” Wanita ini memandang sekeliling. Goa itu tidak terlalu dalam. Hanya berupa cekungan yang bisa menampung sepuluh orang. Dari arah pembaringan ia bisa melihat ke luar. Di sana, semak belukar tampak menutupi pintu goa.

Ia melangkah ke arah pintu. Saat sampai, seseorang menyibak semak belukar. Di depannya kini berdiri seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian berwarna biru. Di keningnya ada hiasan bunga tanjung. Saat senyum menyeruak di bibir, parasnya semakin mempesona. Ia membawa seekor kelinci dan dua batang singkong.

“Saudari, kau yang telah menolongku?”

Masih mengulum senyum gadis cantik ini menggeleng pelan. “Para dewa yang telah menolongmu, sahabat. Wahai... apakah keadaanmu baik-baik saja?”

Perempuan ini mengangguk. “Berkat pertolonganmu, aku tak kurang suatu apa. Saudari, aku berhutang budi dan nyawa sama kamu. Terimakasih banyak. Kalau bukan ...”

“Sahabat, apapun yang terjadi di dunia ini sudah tertulis di atas langit sana. Para dewa yang tahu segalanya. Kau tidak perlu merasa terbebani karena peradatan orang-orang dunia persilatan.” Menatap cukup lama dua bola mata lawan bicaranya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia melanjutkan. “Kau pasti lapar kan? Aku bawakan makanan untukmu.”

Ia mendahului masuk. Sambil berjalan ia membatin, “Meskipun di balik cadar itu terlihat wajah yang sangat mengerikan, kulit hitam bernanah, tapi aku yakin, di balik sinar matanya yang indah, perempuan ini memiliki paras yang rupawan. Wahai ... kenapa aku jadi memikirkan urusan orang? Bukankah sudah benar keputusanku untuk tidak berusaha mengetahui lebih jauh saat dia tidak sadarkan diri?”

“Saudari, kalau boleh tahu, siapakah namamu?”

“Namaku Luhcinta. Sahabat sendiri?”

“Aku ....” Perempuan ini meragap wajahnya. Seakan baru sadar, ternyata cadar merah masih menempel di sana. Sebelumnya ia mengira sang penolongnya telah melepas.

“Kau tidak perlu khawatir, sahabat. Meskipun aku cukup kesusahan memasukan obat penawar lewat mulutmu, aku tidak sampai berani lancang membuka cadar merah yang selalu menutupi wajahmu. Apa yang kau sembunyikan masih aman dari pandangan orang.”

“Aku hanya tidak mau kau menyesal saat melihat wajah burukku, saudari Luhcinta.”

Gadis cantik yang ternyata Luhcinta, salah satu perempuan dari Negeri Latanahsilam kembali tersenyum.

“Cukup panggil namaku saja. Hmmm.... kau belum menyebutkan namamu.”

“Orang-orang memanggilku Janda Pulau Cingkuk.”

Kedua alis Luhcinta mengkerut. “Wahai... yang kutahu di negeri ini janda artinya bekas orang. Apakah ....”

“Anggap saja begitu.”

“Aneh rasanya kalau aku harus menanggil kamu dengan sebutan itu, Sahabat.”

“Kau boleh memanggil aku apa saja Luhcinta.”

“Baik. Aku lebih suka memanggilmu perempuan bercadar.”

Perempuan Bercadar mengangguk. “Aku boleh tanya sesuatu?”

“Boleh. Dengan senang hati.”

“Apakah kau bukan orang sini? Aku melihat banyak keanehan pada dirimu. Kau mirip orang-orang yang pernah aku temui.”

Luhcinta tersenyum. “Kau tidak salah. Aku memang berasal dari dunia yang sama. Wahai.... Kalau boleh tahu, siapa saja kah yang pernah bertemu kamu, Sahabat?” Dalam hati Luhcinta berharap orang yang ditemui perempuan bercadar ini adalah yang sedang dicarinya.

“Aku banyak menemui mereka. Salah satunya, Jatilandak, nenek sakti yang dijuluki Hantu Penjujung Roh dan Manusia yang punya dua wajah.”

“Hantu Muka Dua?”

Wanita bercadar mengangguk.

“Dua orang yang kamu sebutkan orang baik dan aku bersahabat baik dengan mereka. Di manakah aku bisa menemukan mereka berdua sahabat? Atau salah satunya, terutama Hantu Penjunung Roh?”

“Jatilandak yang kutahu sekarang berada jauh dari sini. Dia berada di Kesultanan Cirebon. Sudah menjadi perwira muda pasukan kerajaan.”

“Wahai... dewa maha adil. Di negeri kami dia ....” Luhcinta hampir saja keceplosan menerangkan asal usul Jatilandak. Dia bukan orang yang suka mengobral aib orang lain.

“Di negeri kamu dia_dia kenapa?”

“Tidak Sahabat.” Luhcinta terdiam sesaat. “Untuk nenek sakti itu, di manakah aku bisa bertemu?”

“Sayangnya kau tidak lagi bisa bertemu dia Luhcinta. Termasuk juga Hantu Muka Dua.”

“Wahai... apakah yang terjadi dengan mereka hingga aku tidak bisa bertemu?”

“Hantu Muka Dua mati di tanganku, Luhcinta. Sedangkan nenek sakti berjuluk Hantu Penjunjung Roh mati dibunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”

Luhcinta sampai terlonjak berdiri mendengar keterangan wanita bercadar. Kalau Luhcinta terkejut karena keterangan yang sulit diterima akal, lain halnya dengan wanita bercadar, ia terkejut karena tak menyangka gadis secantik ini punya hubungan dekat dengan salah satu dari dua orang yang terkenal jahat.

“Wahai! Sejak aku tersesat ke negeri ini, aku pikir apa yang terjadi di Latanahsilam berlaku juga di sini. Persahabatan, cinta dan kasih, tetap terjaga. Ternyata apa yang aku pikirkan salah. Kalau kematian Hantu Muka Dua mungkin memang itu sudah seharusnya. Mengingat betapa banyak dosa yang sudah diperbuat di negeri sana. Tapi, kenapa nenekku juga mengalami nasib yang sama? Yang mungkin tak bisa aku terima, kenapa Wiro Sableng orang yang sangat dekat denganku tega membunuhnya? Padahal selama di sana hubungan mereka baik-baik saja. Apa cinta kasih sudah tak mereka miliki lagi?”

“Luhcinta, kau melamun?”

Luhcinta menatap wajah perempuan bercadar. “Kau bisa ceritakan, pasal apa Wiro Sableng sampai hati membunuh nenek itu?”

“Apa hubunganmu dengan nenek itu, Luhcinta?”

“Dia nenekku. Dia salah satu dari beberapa orang yang sedang aku cari-cari selama ini.”

Wanita bercadar menarik napas dalam-dalam. Sungguh, sulit dipercaya, gadis cantik dengan sikap lembut dan tutur kata halus nyatanya cucu dari seorang nenek yang terkenal sangat jahat.

“Aku akan ceritakan semuanya. Tapi kita sambil bakar kelinci ini ya. Aku lapar sekali Luhcinta.” Tidak seperti biasanya, wanita ini bicara sambil tersenyum. Itu ia lakukan demi mengurangi ketegangan.

Luhcinta mengangguk. Sekali tarik, kulit kelinci telah terkelupas sempurna. Sementara wanita bercadar sendiri membuat perapian dengan kayu yang tersisa. Sambil menumpuk potongan kayu agar terlihat sibuk ia berfikir apa yang harus dilakukan untuk bisa mengulur waktu. Paling tidak, sampai senyuman di wajah Luhcinta kembali datang.

“Luhcinta. Apa yang terjadi saat aku pingsan?”

“Wahai.... Perempuan ini sepertinya cerdik sekali. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan padahal sebelumnya ia berjanji hendak menceritakan kejadian yang menimpa nenekku.” batin Luhcinta.

“Kau sudah berjanji mau cerita, Sahabat.”

Wanita bercadar tersenyum. “Aku pasti ceritakan semuanya padamu, Luhcinta. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu bagaimana kejadiannya. Dan racun jahat yang berada di tubuhku bagaimana bisa kau punya penawarnya?”

Lama Luhcinta terdiam, hanya sibuk membolak-balik kelinci. Aroma daging panggang terhirup nikmat, membuat rasa lapar semakin menjadi.

Melihat orang terdiam cukup lama, Perempuan Bercadar menggigit bibir bawahnya.

“Mungkin dia merasa kecewa. Atau jangan-jangan dia menaruh rasa benci?” pikirnya.

“Mereka aku biarkan hidup. Dengan imbalan dia menyerahkan penawar untuk racun yang menyerap dalam tubuhmu. Di negeriku saja, aku diajarkan untuk tidak membunuh. Apalagi di negeri orang. Selama masih bisa dibicarakan maka jalan untuk menghilangkan nyawa adalah pilihan terakhir ketika itu menjadi satu-satunya jalan. Sahabat, aku tidak tahu apakah kau kenal dekat dengan Wiro Sableng, tapi tolonglah, ceritakan apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia sampai hati membunuh nenekku?”

Dalam hati Luhcinta merintih perih. Ini kenyataan pahit yang sangat menyakitkan. Selama seumur hidup baru dengan pemuda itu ia tahu rasanya cinta, kasih sayang dan kebahagiaan. Meskipun sejak kecil ia dididik dengan semua itu, tapi, segalanya tentu memiliki rasa yang berbeda. Pemuda itulah yang selama ini ia rindukan. Selain ayahnya, nenek, sahabat-sahabat dekat dari Negeri Latanahsilam, pemuda itu juga termasuk ke dalam pencairannya selama ini. Tapi mengapa, orang yang selama ini dirindukan justru memberi luka yang teramat dalam?

“Luhcinta aku akan ceritakan semuanya. Tapi setelah makan ya. Aku lapar banget.”

Lagi-lagi Luhcinta menatap dalam-dalam kedua bola mata perempuan bercadar.

“Perempuan ini benar-benar cerdik. Mungkin karena itu mengapa dia bisa selamat, padahal kalau orang lain mungkin sudah celaka sejak kakek sakti itu mulai turun tangan.”

Mau tak mau akhirnya Luhcinta mengikuti kemauan si wanita bercadar. Di ranjang batu, keduanya menyantap daging panggang dengan singkong bakar yang masih mengepulkan asap.

Bab 7

Dua orang berjubah berlari kencang, melewati jalan terjal berbatu. Kabut putih pekat yang membutakan mata seakan tidak jadi penghalang. Kalau bukan karena mereka termasuk anak buah Kerajaan Perut Bumi, mustahil mampu berlari secepat itu tanpa menabrak benda di hadapannya.

“Harusnya kau bawa saja mayat manusia tolol tadi. Siapa tahu sri paduka raja suka, lalu ngasih imbalan lebih dari sekedar pujian untuk kita.” Orang ini perbaiki sosok tubuh yang memberatkan bahu kirinya. Rupanya ia membawa salah seorang kawannya yang salah satu tangannya buntung. Tidak tahu pasti apakah orang yang dipanggul itu sudah meninggal atau hanya sekedar pingsan.

“Tidak perlu khawatir,” sahut temannya santai saja. “Cukup kita ceritakan aja kejadiannya. Pimpinan langsung percaya. Bukankah ini sudah berlangsung lama? Lagi pula tak pernah pimpinan meminta kita membawa mayat setelah berhasil kita bunuh. Dan satu hal lagi, ada yang jauh lebih penting dari membawa mayat manusia tolol itu, yakni pengobatan atas adikku. Aku tidak mau dia meninggal. Pukulan anjing buduk itu cukup mematikan.” Sambil terus berlari ia melihat ke arah tangan yang buntung. Kejadian sudah cukup lama, lebih dari dua kali peminuman teh, akan tetapi, kutungan tangan itu masih mengepulkan asap. Bau daging terbakar menusuk tajam ke hidung.

Tepat di sebuah tebing mereka menghentikan langkah. Orang yang tidak memanggul maju ke depan hingga tubuhnya hampir menempel sama rata dengan dinding batu yang menjulang tinggi.

“Kelompok Seribu Dua Ratus, siap memasuki pintu Kerajaan Perut Bumi yang ke 570.” Sunyi senyap. Tak ada suara apapun yang terdengar. Hanya desah napas mereka bertiga. Lalu tiba-tiba suara berderak terdengar mengerikan. Bumi di mana keduanya berpijak bergetar hebat. Lelaki yang tadi berada paling dekat dengan tebing melompat ke belakang sejauh dua tombak. Tebing batu bergetar. Semburan debu keluar dari sepanjang retakan yang membentuk garis ke atas setinggi tiga tombak. Perlahan-lahan dinding batu itu terbuka. Semakin lama semakin besar hingga terlihatlah sebuah goa yang sulit di nalar oleh manusia. Bagaimana bisa, selain goa itu luas, terawat, keadaan di dalam juga cukup terang. Ada banyak lampu yang menghiasi dinding di sepanjang lorong.

Dengan langkah terburu mereka masuk. Sampai di ujung bagian dalam dua orang itu melompat ke atas sebuah lempengan batu yang membentuk lingkaran. Cukup besar. Diperkirakan mampu menampung sebanyak lima puluh orang. Dari sisi lingkaran keluar asap hitam tipis, membentuk dinding kurungan. Dua orang ini saling pandang, lalu berpegangan tangan. Dalam sekejap, seolah jatuh dari langit ke tujuh, batu besar di mana mereka berada melesak ke bawah. Keduanya menutup mulut, agar tidak sampai teriak.

Batu pipih sebesar itu tentu memiliki berat ratusan atau mungkin ribuan kati. Bisa dibayangkan, apa jadinya saat mendarat ke tanah di bawah sana. Tentu dentuman keras yang diakibatkan oleh tabrakan antara batu dan permukaan akan membuat lempengan itu hancur berkeping-keping. Lebih lagi penumpangnya. Tulang belulang akan ringsek, menjadi satu dengan anggota tubuh lainnya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Semakin mendekati permukaan, laju lesatnya semakin melambat. Dan ternyata, lempeng batu itu hanya salah satu dari puluhan, bahkan ratusan lempengan batu lainnya.

Ada banyak lempeng batu yang sama di sepanjang rongga bumi. Tidak terhitung berapa kali benda itu naik atau turun dalam sehari. Yang jelas setiap benda itu bergerak, naik atau turun, selalu ada orang yang dibawa. Paling sedikit seperti tiga orang tadi. Dan yang paling banyak bisa sampai lima puluh orang.

Lempeng batu itu sendiri oleh orang-orang Kerajaan Perut Bumi disebut Seribu Pintu Maut. Nama itu diberikan karena jumlah keseluruhan ada seribu pintu dan siapa saja yang berani menaiki lempeng batu tanpa restu dari kerajaan maka akan hangus terbakar.

Jarak dari lempeng batu satu ke lempeng batu berikutnya lebih dari lima puluh tombak. Bisa dibayangkan, seberapa luas kerajaan ini mengingat ada seribu lempeng batu yang tersebar di segala sisi.

Sejauh mata memandang, sebuah istana yang sangat megah berdiri menjulang. Ada banyak istana kerajaan, namun yang paling besar adalah pemimpin tertinggi yakni Raja Agung Kamaswara penguasa tunggal Kerajaan Perut Bumi. Dalam kepemerintahannya, ia membagi 5000 kepemimpinan. Dalam setiap pemimpin membawahi sepuluh ribu pasukan. Perlu diingat, dari lima ribu pemimpin itu lebih dari setengahnya terdiri dari bangsa jin. Untuk menerbangkan benda-benda pun Kamaswara mengandalkan tenaga dari para jin.

Tidak seperti permukaan yang memiliki satu sumber cahaya dari matahari. Di Kerajaan Perut Bumi cahaya di dapat dari empat sudut utama. Dari cahaya inilah mereka mendapat kehidupan, beragam jenis tumbuhan dan hewan banyak dikembangbiakkan. Para petani dan peternak semuanya hasil culikan dari atas. Mereka dipaksa bekerja sepanjang hari. Karena tidak ada malam, maka waktu istirahatat teramat sangat singkat. Akibatnya, banyak para pekerja yang sakit-sakitan, meninggal lantaran tubuh kurang istirahat.

Saat turun dari lempeng batu, dua orang ini menuju ke pos penjagaan. Di sana ada lima orang penjaga. Tubuhnya tiga kali lebih tinggi dari manusia. Wajah mahluk ini sangat mengerikan. Tubuhnya yang berwarna merah dipenuhi sisik layaknya ikan. Di kepalanya ada tanduk dan dua taring mencuat, hingga bibirnya yang tebal tak mampu menutup rapat.

“Apa yang kau inginkan mahluk lemah?” Suara mahluk itu sember tidak enak didengar. Setiap mulutnya terbuka, aroma busuk memenuhi tempat itu. Dua orang ini sampai menutup jalan pernapasan karena tidak tahan. Kalau muntah bukan salah satu pelanggaran, tentu keduanya sudah menguras isi lambungnya.

Salah satu dari mereka menjawab pertanyaan. “Aku ingin cepat sampai ke pemimpin kami.”

“Seberapa penting berita yang kau bawa?”

“Kami berhasil membunuh salah satu tokoh besar golongan putih.”

“Sebutkan namanya!”

Keduanya saling pandang. Karena sampai lawannya menemui ajal, mereka tidak pernah tahu siapa nama orang itu.

“Kami .... kami tidak tahu namanya. Tapi ....”

“Tapi apa? Dasar manusia tolol! Bukankah peraturannya sudah jelas? Jangan kau bunuh siapapun sebelum tahu nama atau gelar mereka. Memalukan! Pergi kalian dengan menaiki kuda!”

Orang yang memanggul, yang sejak tadi gemetar ketakutan menyeret temannya, menjauh.

“kita turuti saja perintahnya.”

“Naik kuda terlalu lama. Bisa memakan waktu setengah harian. Sementara adikku harus segera mendapat pertolongan. Kalau kau takut, tetap di tempatmu. Biar aku yang bicara dengan mereka.”

“Mahluk rendahan! Ada apa lagi?” bentak salah satu jin ketika melihat lelaki tadi kembali.

“Aku memang tidak tahu nama atau gelarnya, tapi melihat dari ciri-cirinya aku yakin manusia yang kubunuh adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro Sableng.”

Para jin itu saling pandang, lalu tawa mengejek meledak.

“Pimpinan kami dari bangsa jin sekalipun belum tentu mampu membunuh manusia satu itu. Kamu yang tak lebih hanya sebatas kecoa busuk sesumbar bermulut besar?”

“Terserah kalian mau percaya atau tidak, tapi ingat satu hal. Andai apa yang kukatakan ini benar adanya, maka bersiaplah buat kalian menerima hukuman!”

Kelima jin saling pandang. Ada raut wajah ketakutan di masing-masing.

“Kalian boleh berbangga diri karena merasa bangsa kalian lebih tinggi derajatnya dari kami bangsa manusia. Tapi jangan lupa, pemimpin tertinggi di Kerajaan Perut Bumi adalah dari bangsa kami.”

“Tolol! Kau pikir raja agung dari bangsa manusia? Cepat masuk!”

Lelaki ini tersenyum penuh kemenangan. Memanggil temannya dan keduanya masuk ke sebuah lingkaran cahaya putih redup. Walau samar dalam lingakaran mereka masih bisa melihat ke luar. Lalu ada getaran halus di kakinya, bersamaan dengan itu dinding cahaya berubah putih pekat. Pemandangan di luar tidak terlihat lagi. Sesaat setelah getar halus di kaki hilang, dinding cahaya telah kembali ke semula. Ketika keduanya keluar, yang terlihat adalah halaman luas. Di depan sana ada istana besar. Itulah istana pemimpin mereka. Keduanya cepat berlari menuju undakan anak tangga.

Perlu diketahui, setiap istana kepemimpinan memiliki tiga lapis gerbang sebagai keamanan. Di setiap gerbang ada puluhan orang penjaga. Bagi mereka yang datang dengan mengendarai kuda butuh waktu lama hingga semua pertanyaan terjawab. Menurut keterangan salah seorang tadi butuh waktu setengah hari, maksudnya hanya perjalanannya saja. Jika disatukan dengan kerumitan penjagaannya, bisa memakan waktu seharian. Karena itulah dia ngotot ingin menaiki dinding cahaya. Karena hanya dengan itu, perjalanan tidak mendapat hambatan sedikitpun. Bahkan, ketika mereka memasuki gerbang istana kepemimpinan tidak ada satu pertanyaan pun yang keluar dari mulut para penjaga.

Ada lebih dari seratus orang dalam istana. Semuanya kini menatap heran kepada kedua orang yang baru masuk.

Sosok tubuh bertangan buntung yang sejak tadi dipanggul, diturunkan. Lalu keduanya membungkuk hormat.

“Apa yang terjadi dengan kalian?” Lelaki berusia empat puluh tahun mengajukan pertanyaan. Potongan buah kanas segar yang sejak tadi menemani duduknya masuk ke mulut. Menikmati rasa manis asam, kedua matanya tak lepas memperhatikan kutungan tangan yang gosong.

“Ampun Pimpinan,” yang menjawab lelaki yang barusan menurunkan panggulan. “Kami berhasil membunuh salah satu tokoh besar golongan putih. Tapi musibah menimpa kami. Salah satu kawan kami mengalami luka yang sangat parah. Saya harap, Pimpinan bersuka hati mau memberi kesembuhan bagi dia.”

“Seberapa penting tokoh itu?”

“Sangat penting, Pimpinan.” Yang menjawab lelaki di sebelahnya. “Bahkan dia salah satu orang yang Raja Agung inginkan kematiannya. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”

Mendengar nama yang disebutkan sang pimpinan berdiri. Kedua matanya menyorot tajam ke pada orang yang barusan bicara.

“Kau tahu, hukuman apa yang kalian dapatkan jika berani main-main denganku?”

“Kami tahu, Pimpinan. Karena itu kami tidak mungkin melakukan perbuatan sebodoh itu.”

Pimpinan melangkah, mendekat ke sosok tubuh yang tergeletak. Diamati lengan buntung terbakar. Walau ia belum pernah bertemu langsung dengan pemilik pukulan, tapi, dari cerita yang didengar, ciri-cirinya sama persis dengan keganasan Pukulan Sinar Matahari.

“Kau yakin telah membunuh pemuda itu?”

“Saya sangat yakin Pimpinan. Pemuda itu mati karena Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi.”

Sekelumit senyum menghias bibir manusia ini. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Berita yang kalian bawa sangat berharga. Karena itu, kalian akan aku bawa menghadap Sri Paduga Raja Agung. Bawa kawan kalian.” Lelaki ini mendahului ke arah pintu. Dua orang mengikuti di belakang. Di halaman depan ketiganya memasuki dinding cahaya. Seperti yang terjadi sebelumnya, lantai di mana mereka berdiri bergetar halus. Lalu kabut putih membungkus ketiganya. Dalam sekejap mereka telah berada di halaman utama kerajaan.

Bangunan megah menjulang tinggi ke langit. Halaman itu teramat luas. Ternyata, bukan hanya dirinya yang menggunakan dinding cahaya. Ada puluhan bahkan ratusan pengguna lain yang juga keluar dari dinding cahaya. Mereka memiliki tugas yang sama. Membawa kabar untuk disampaikan ke Baginda Raja.

Peraturan di kerajaan ini, berita yang paling penting adalah yang di nomor satukan. Karenanya, begitu Sang Pimpinan menyebut nama orang yang terbunuh, dua prajurit langsung memilih dia untuk menghadap lebih dulu.

Pintu istana terbuka. Dinding batu pualam terlihat indah dengan corak bergambar istana langit. Terlihat pula di sepanjang dinding itu gambar para dewa yang sedang menyembah Kamaswara. Berbeda dengan pimpinan yang sudah sering ke sini, dua orang tadi karena ini baru pertama kali, mereka sampai terbengong-bengong menyaksikan betapa megah istana baginda raja. Tiang-tiang besar menjulang tinggi. Setiap langkah yang dibuat, terdengar nyaring. Padahal bagi para petinggi kerajaan tidak ada suara sedikitpun. Itu membuktikan betapa tinggi tenaga dalam mereka. Untuk sekelas pimpinannya saja masih berada jauh di bawah orang-orang istana.

“Berani sekali kau membawa sampah ke dalam istanaku!” Nada suaranya biasa saja. Akan tetapi, getaran yang dikeluarkan terasa sekali menusuk telinga. Sang pimpinan masih kuat menahan, menyumbat pendengaran dengan tenaga dalam. Sayangnya, bagi kedua orang anak buahnya, yang tingkat tenaga dalam jauh berada di bawah dirinya, dua orang ini sampai menjerit kesakitan. Darah kental keluar dari telinga masing-masing.

Lelaki ini sujud sebagai bentuk kepatuhan, diikuti dua anak buahnya.

“Mohon ampunmu Sang Baginda Raja Agung,” jelasnya setelah kembali berdiri. “Hamba membawa serta anak buah karena keduanya membawa berita yang sangat berharga. Mereka berhasil membunuh Pendekar 212.”

Ada lebih dari 50 orang dalam istana itu. Semuanya kini saling pandang. Lalu berakhir menatap ke arah Sang Baginda Raja.

“Manusia itu pernah tersesat ke Negeri Seribu Dua Ratus Tahun yang lalu. Di sana banyak tokoh sakti yang berebut untuk membunuhnya. Tapi tidak satu pun yang sanggup. Lalu di Mataram Kuno, di sana juga orang-orang sakti setingkat para dewa paling rendah yang saling berebut untuk mengambil jiwanya. Tapi semua hanya sebatas keinginan. Mereka semua tidak ada yang berhasil membunuh manusia itu. Lalu, kau datang membawa kabar menggembirakan ini? Apa kau sudah selidiki kebenarannya?”

Pucat pasi lelaki ini. Menatap tajam ia kepada kedua anak buahnya. Dua orang itu cepat jatuhkan diri berlutut.

“Demi jiwaku yang ada di tanganmu, Sang Paduka Raja Agung. Hamba tidak berani berbohong. Pemuda itu mati setelah kami mengeluarkan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi. Bukankah tidak ada satu kekuatan pun yang mampu melawan keganasan racun pukulan itu?”

“Berani sekali kau mengajukan pertanyaan kepadaku?” Sekali tangan kanan bergerak ke depan, sosok lelaki yang tadi berkata terbetot. Melesat hingga tubuhnya kini tergantung dalam cengkraman tangan raja. Melejang-lejang tubuh itu beberapa ketika hingga terdiam pertanda nyawa telah melayang.

Raja Agung membanting tubuh yang sudah tidak bernyawa. “Singkirkan dua manusia tak berguna itu dari hadapanku!” Dua orang melesat cepat. Melihat adiknya hendak di bawa ia berniat untuk menghadang, tapi suara ngiangan terdengar di telinganya.

“Jangan tolol! Kau mau jadi bangkai seperti temanmu?”

Walau hatinya kesal dan merasa terpukul hebat ia tak berani berbuat apa-apa. Tujuannya datang ke sini untuk minta kesembuhan. Mendapat pujian setinggi langit, sayangnya, yang didapat justru sebaliknya.

“Kesaktian Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi memang tiada tanding. Tak ada satu kekuatan pun yang mampu menyembuhkan dari racun ganas. Tapi itu berlaku di dunia kalian, para manusia bodoh! Di dunia para dewa, ilmu itu tak lebih hanya sebatas sampah busuk tak berguna! Sebagai pemimpin harusnya kau selidiki dahulu, apakah berita yang dibawa orang-orangmu benar atau hanya kebodohan belaka? Kau pikir akan mendapat sanjungan dariku karena merasa telah melakukan hal besar?” Raja Agung melirik ke sisi kirinya. “Buto Kantolo, tunjukan pada manusia bodoh ini apa yang terjadi setelah mereka pergi.”

Buto Kantolo, salah satu raja jin berdiri, membungkuk hormat. Sosoknya yang menjulang tinggi bergetar hebat. Kepulan asap hitam keluar dari kedua telapak tangannya yang diputar-putar. Asap hitam membentuk lingkaran. Dari lingkaran itulah terlihat seorang pemuda yang tengah sekarat. Lelaki ini tahu, itulah manusianya yang pernah dikalahkan. Ia tahu, dalam dua kali tarikan napas, pemuda itu pasti akan menemui ajalnya. Tapi, kejapan berikutnya cahaya putih bersinar menutupi penglihatan. Orang-orang yang sedang menyaksikan sampai menutup mata. Dalam sekejap sinar itu hilang, bersama hilangnya pemuda sekarat tadi. Dan jin Buto Kantolo mengakhiri pertunjukannya.

“Kau tahu hukuman yang pantas atas kecerobohan kalian?”

Pimpinan langsung jatuhkan diri, bersujud diikuti anak buahnya.

“Mohon ampunmu, Baginda Raja Agung. Hamba mohon terima tobatku. Ampuni kesalahan hamba.”

“Buto Kantolo! Kelompok Seribu Dua Ratus adalah bagianmu.”

“Baginda Raja, tolong ampuni kami!” pekik sang pimpinan. Buto Kantolo tertawa keras. Mulut terbuka lebar-lebar. Dua orang menjerit. Mereka merasakan tubuh terbakar. Padahal tidak ada api sedikitpun di kulit masing-masing. Jerit kesakitan semakin menggila. Sosok dua manusia itu terbanting ke lantai. Belum hilang gema suaranya, tubuh keduanya telah berubah menjadi abu. Masuk ke mulut Buto Kantolo.

“Menurut Dinda Kamaswara, siapakah orang yang menolong pemuda itu?”

Raja Agung berpaling ke arah orang yang barusan bertanya. Di sana berdiri seorang berpakaian hijau muda seusianya. Di istana langit, orang ini menjadi sahabat terdekat. Dialah Dharma Siwanala. Sejak kepemimpinan istana langit berganti, ia sering bertentangan dengan peraturan baru yang dibuat Ramanda. Karena sejak awal ia dan beberapa dewa lainnya tidak suka dengan sikap Ramanda, akhirnya delapan dewa yang dipimpin dirinya menyusun sebuah rencana. Penyerangan negeri atas langit. Namun, tidak mudah menaklukan Ramanda, terlebih seluruh dewa berpihak padanya. Saat itulah, Dharma Siwanala mengusulkan untuk turun ke bumi melakukan pencarian terhadap Kamaswara. Sayangnya melakukan pencarian Kamaswara sama sulitnya dengan melakukan penyerangan terhadap Raja Agung Ramanda. Karena mereka terbatas dengan gerak jasadiah yang mengurangi tingkat keleluasaan.

Perlu diingat. Sama seperti halnya dengan yang terjadi pada para peri di Latanahsilam, atau pada Kamaswara, setiap dewa yang masuk ke dunia manusia, maka sosoknya akan berubah sama seperti manusia pada umumnya. Mereka memiliki jasad, banyak keterbatasan, misal kehausan, kelaparan dan andai dalam bentuk itu ia mati terbunuh, maka mereka akan mati selamanya. Tidak ada lagi keabadian. Itulah aturan yang harus ditaati bagi para dewa.

Lebih dari seribu tahun pencarian akhirnya sosok Kamaswara ditemukan. Ia terbenam ke lapisan bumi terdalam. Di bawah kaki Gunung Selat Sunda. Tubuh lelaki ini sangat mengenaskan. Hampir seluruhnya diselimuti lumut hijau. Kalau bukan karena Batu Keabadian, mungkin sudah sejak lama sosoknya membusuk atau berubah menjadi debu.

“Siapa kalian?” bentak Kamaswara. Ia tidak bisa melihat lantaran kepalanya tergenjet lempengan bumi. Dharma Siwanala berpaling ke kawan-kawannya.

“Kau tenanglah Dinda Kamaswara. Aku dan sahabat lain datang untuk menolongmu.” Dharma Siwanala putar kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan melesak cahaya hijau redup. Gelegar suara menggunjang tempat sekitar kala sinar angker itu melabrak dinding batu yang membenamkan Kamaswara. Bersama kepingan dan debu yang berterbangan, tubuh Kamaswara terpental. Dua dewa menangkap sosoknya. Lalu membaringkan tubuh itu ke lantai batu.

“Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu melepas ikatan kawat emas.” lenguh Dharma Siwanala.

“Kakang Siwa, apa kau membawa seteguk air? Meskipun aku tidak bisa mati, tapi menahan haus dan lapar lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.”

Salah satu dewa memberikan sebuah kendi berukuran dua kepalan tangan kepada Dharma Siwanala. Lelaki ini berjongkok, memberikan minum kepada sahabat dekatnya.

Tegukan demi tegukan mengalir di tenggorokan. Ketika menjadi dewa, ia mampu tidak makan dan minum selama berpuluh-puluh tahun. Sedikitpun tubuhnya tak merasakan letih, kehausan apalagi sampai kelaparan. Kini, saat tubuh berubah menjadi bentuk jasad, ia dipaksa menahan lapar dan haus selama seribu tahun. Sungguh, kalau bukan karena dendam kesumat yang tertanam dalam setiap tetes darahnya, tentu sudah sejak lama ia memuntahkan Batu Keabadian dan memilih untuk mengakhiri hidup.

“Keparat terkutuk itu harus kubunuh dengan tanganku sendiri!” Kamaswara mencoba berdiri. Dua dewa membantu tubuhnya yang sedikit limbung.

“Apa yang terjadi atas dirimu ternyata sudah direncanakan jauh-jauh hari, Dinda Kamaswara.”

“Maksud Kakang Dharma?”

“Ramanda sejak lama telah menyusun sebuah rencana untuk mnyingkirkanmu.”

Kedua mata Kamaswara membeliak. “Jadi benar dugaanku, Kakang? Bajingan itu memfitnah aku?”

Dharma Siwanala mengangguk. “Dia sengaja memperalat Dewi Gandasuri, istrinya untuk memuluskan rencana. Seluruh dewa di kalangan istana sudah pada tahu kebusukan itu. Bahkan Raja Agung sendiri mengetahui. Sayang, semua kebusukan itu terbongkar setelah kepemimpinan berpindah tangan. Raja Agung tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau hanya bisa menyesal dan melempar kutuk untuk adikmu.”

“Kutuk apa yang ditimpakan?”

“Akan datang suatu ketika, mahluk dari golongan paling rendah yang menghancurkan kerajaan langit.”

Cuhhh!!!

Kamaswara meludah penuh kebencian. “Sebelum kutuk itu datang, aku yang akan memporak-porandakan kerajaan para dewa. Dan lelaki tua itu harus menerima hukuman paling mengerikan dari tanganku!”

“Karena kebencian yang sama itulah aku dan kawan-kawan datang menemuimu, Dinda Kamaswara. Tapi bagaimana cara kamu terbebas dari lilitan kawat ini?”

Kamaswara menatap tubuhnya. Kawat emas yang sudah seribu tahun mencengkeram tubuhnya mencoba dilepas. Sayangnya, sudah ribuan kali ia mencoba, kawat itu tak bisa dilepaskan. Jangankan terlepas, sekali ia menggunakan tenaga dalam, walau hanya sedikit, kawat itu akan melilit semakin dalam.

“Seberapapun dahsyat kesaktian para dewa, tetap ada pantangannya. Kalian ingat Air Larangan yang aku gunakan untuk mengobrak-abrik para dewa saat di kamarku?”

Dharma Siwanala menatap silih berganti kawan-kawannya.

“Apakah cairan itu juga berlaku pada kawat ini? Mengingat kawat emas ini milik Dewa Agung? Penguasa tertinggi bagi para dewa?”

“Aku tidak yakin. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Bukankah Air Larangan berlaku bagi semua? Tak peduli itu dewa dengan drajat paling rendah atau paling tinggi. Sekarang, tugas kalian cari cairan itu di bawah laut. Jika kalian kesulitan, bisa minta bantuan para jin.”

Dharma Siwanala mengangguk. “Kau tidak keberatan aku tinggalkan sendirian?”

Kamaswara tertawa terbahak-bahak. “Ada apa denganmu, Kakang Dharma? Aku sudah seribu tahun di sini. Menunggumu selama seribu tahun lagi sekalipun tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau lupa, aku tidak bisa mati!”

Dharma Siwanala tersenyum. Lalu pada kawan-kawannya ia memberi kode untuk segera pergi ke perbatasan antara dewa dan manusia. Di sana wujud mereka kembali dalam bentuk dewa. Dan karena alam dewa dan jin memilik banyak kesamaan, tidak ada kesulitan yang berarti. Para dewa ini mampu bergerak seratus kali lebih cepat dari yang para jin lakukan. Akibatnya, dalam sekejap saja para jin termasuk pimpinannya berhasil ditaklukan. Dengan mengerahkan seluruh pasukan, dalam waktu kurang dari setahun Air Larangan berhasil di temukan.

“Harusnya kita sejak awal minta bantuan mereka,” keluh Dharma Siwanala.

Kawannya hanya menanggapi dengan senyum kecut.

Di lantai batu, Kamaswara di baringkan. Para dewa yang sudah kembali berubah ke ujud manusia menjauh. Melihat itu raja jin menjadi heran. Tapi ia tidak bisa berfikir menduga-duga. Terlebih ketika Dharma Siwanala membentak keras untuk segera menungkan Air Larangan itu ke kawat emas.

Kamaswara meniup belanga. Ilmu Pemagar Roh yang sejak dulu menyelimuti, sirna. Kepulan asap hitam mulai keluar. Raja Jin menciduk dengan tangan kirinya, meneteskan cairan itu ke lilitan kawat emas. Suara mendesis layaknya besi panas tersiram air terdengar dari sepanjang lilitan. Asap putih keluar. Kamaswara menjerit keras kala kawat emas itu melilit semakin dalam ke tubuhnya. Leher, tubuh, lengan dan kaki terasa terkutung-kutung.

“Tambah lagi!” teriak Kamaswara. Berguling-guling ke sana kemari. Jin segera ikuti. Menciduk dengan dua tangan sekali gus.

Byurrhhh!!!

Cairan itu mengguyur hampir separuh tubuh Kamaswara. Lilitan kawat semakin dalam mencekik leher dan seluruh anggota tubuh. Tidak ada lagi suara yang terdengar karena kawat emas menjirat urat suaranya. Hanya tubuhnya saja yang melejang-lejang. Melihat itu Dharma dan kawan-kawan menjadi panik. Apa yang bisa mereka lakukan untuk menolong? Apakah kawat emas itu tidak bisa dimusnahkan?

Baru saja hati mereka bertanya cemas, kepulan asap putih semakin banyak bermunculan. Suara desisan terdengar di sepanjang lilitan. Perlahan-lahan Kamaswara merasakan llilitan yang hampir memutus urat lehernya, mulai mengendor. Dan kejapan berikutnya lilitan itu benar-benar hilang.

Kamaswara bangkit duduk. Menatap kedua tangannya yang kini terbebas. Masih ada bekas lilitan, tapi itu tidak lama. Karena sesaat kemudian tubuhnya kembali seperti semula.

“Saatnya untuk menyusun rencana!” Kamaswara melompat berdiri. “Bangunkan aku istana yang megah di bawah perut bumi ini.”

Kedua bola mata raja jin membeliak besar. “Perjanjiannya tidak begitu!”

“Aku yang membuat perjanjian!” bentak Kamaswara. “Tugasmu hanya bisa mematuhi! Atau aku musnahkan alam kalian?!”

“Ba-baik, Tuan!”

“Panggil aku Sri Paduka Raja Agung Penguasa Kerajaan Perut Bumi!”

“Baik Sri Paduka Raja Agung. Titah Paduka Raja akan hamba laksanakan.”

“Apa yang akan Dinda Kamaswara rencanakan?”

Kamaswara tersenyum. Menatap Dharma, kawan-kawan lain, lalu berakhir pada belanga berisi cairan.

“Selama tergenjet lapisan bumi, selama itu pula aku menyusun sebuah rencana. Akan aku jadikan dunia permukaan mengalami bencana mahadahsyat, yang belum pernah terjadi selama dunia diciptakan. Dalam kekacauan itu, para dewa hanya mempunyai dua pilihan. Turun melawan Kabut Kematian, atau menghancurkan dunia ini. Kalau dia memilih yang pertama, maka kematian akan menimpa mereka. Karena dalam kabut itu aku akan berikan Air Larangan. Dan kalau dia memilih jalan kedua, menghancurkan dunia ini, maka aku terbebas dari kutuk jasad yang menimpaku. Itu artinya, aku kembali dalam ujud dewa. Dan saat itu, aku musnahkan kerajaan langit. Mengambil alih kerajaan.”

Dharma dan semua dewa melengak tak percaya dengan rencana luar biasa sahabatnya.

“Luar biasa,” pujinya penuh kekaguman. “Bahkan dalam mimpipun kami tidak pernah terpikir ada rencana sedahsyat itu.”

Kamaswara sahuti ucapan sahabatnya dengan tawa bergelak.

***

Kembali ke istana kerajaan.

Mendapat pertanyaan dari sahabatnya, Kamaswara menggeleng. “Aku tidak bisa memastikan, siapa dan mahluk apa yang berani menerobos Kabut Kematian. Kalau dia dari bangsa dewa, tentu tubuhnya sudah hangus terbakar.”

“Kalau bukan dari bangsa dewa, itu artinya, racun yang mengendap dalam tubuh pemuda itu takkan bisa terselamatkan?”

“Seharusnya begitu.” Kamaswara melirik kepada Buto Kantolo. “Coba kau perlihatkan di mana adanya sekarang pemuda tolol itu!”

Buto Kantolo mengangguk. Seperti tadi, jin ini memutar telapak tangannya. Asap hitam tebal keluar, membuntal mebentuk lingkaran. Dari dalam lingkaran perlahan tapi pasti keluar asap putih. Harusnya setelah itu akan terlihat orang yang sedang dituju. Sayangnya, ditunggu cukup lama yang terlihat hanya sebatas itu.

“Keparat! Hanya para dewa yang mampu menampis ilmu Buto Kantolo.” Pada Dharma Siwanala ia berkata, “Soal itu kita bisa selidiki nanti. Bagaimana dengan tiga perempuan bengal itu? Apa mereka sudah mau bergabung dengan kita?”

“Dua orang sepertinya sudah tidak memiliki harapan. Tapi yang satu aku melihat ada keraguan. Sepertinya dia bisa diajak kerja sama.”

Kamaswara mengangguk senang. “Buto Kantolo, antarkan aku ke Ruang Penyekapan.”

Mahluk menyeramkan ini mengangguk. Membungkuk terlebih dahulu lalu memegang tangan Kamaswara. Cahaya putih keluar membentuk lingkaran, mengurung ke duanya. Sesaat kemudian lantai di mana mereka berpijak terasa bergetar halus. Dalam sekejap mereka telah berada di sebuah ruangan kumuh. Gelap, pengap dan bau amis. Kamaswara menyumbat penciumannya dengan tenaga dalam. Melambai ke dinding.

Blup! Blup! Blup!

Lampu di seluruh sisi ruangan menyala. Ketika cahaya menyinari, terlihatlah kini sebuah pagar besi yang mengurung tiga orang perempuan. Keadaan tiga orang ini sangat mengenaskan. Pakaian putih yang dikenakan sudah lapuk, menyatu dengan debu, hingga warnanya sudah tak karuan. Wajahnya yang dulu terawat, putih mulus kini dekil, kotoran di mana-mana. Kalau ada yang menjadi sanjungan untuk perempuan itu mungkin hanya satu. Sepasang matanya yang biru terlihat indah. Itulah satu-satunya yang bisa dibanggakan. Di Latanahsilam, ia dikenal dengan julukan Peri Angsa Putih. Kalau perempuan malang ini Peri Angsa Putih, lalu siapa dua lainnya? Siapa lagi kalau bukan Peri Bunda dan Peri Sesepuh. Tubuhnya yang dulu gembrot, memiliki banyak lemak di badan, kini menjadi sosok yang sulit dikenali. Kulit saling menggelambir di sepanjang tubuhnya. Sungguh, keadaan perempuan ini tidak lebih baik dari Peri Angsa Putih atau Peri Bunda.

“Manusia Dajjal! Berani kau menampakan diri di hadapanku!” Peri Angsa Putih siap melancarkan serangan lewat cahaya yang memancar dari tangan kanannya. Akan tetapi Peri Bunda segera mencegah, dengan memeluk kerabatnya.

“Jangan nekat Peri Angsa Putih! Berapa kali kau menderita karena melakukan serangan!”

“Sampai aku mati pun aku tak peduli! Dajal terkutuk itu harus mati di tanganku!”

“Hahaha...... kuakui nyalimu lebih besar dari kebanyakan para peri lainnya, Peri Angsa Putih. Tapi kau harus ingat, pada siapa kau berhadapan. Di alam para dewa, derajat kalian jauh lebih rendah dari dewa terendah di kerajaanku.”

Peri Angsa Putih meludah. “Masih punya muka kau membawa-bawa nama kerajaan, padahal, di mata para dewa dan kerajaan langit, kau tak lebih dari mahluk terkutuk yang hina. Kau dicampakan karena dosamu yang sudah kelewat takaran. Apa yang kau banggakan Kamaswara? Pecurian Batu Keabadian? Atau hukuman dari ayahmu sendiri? Kau tidak malu membanggakan derajat para dewa, padahal dirimu jauh lebih hinda dari para jin dan bahkan binatang sekalipun!”

Merah padam wajah Kamaswara. Kalau bukan karena ada rencana besar, sudah sejak lama ia membunuh peri satu ini.

“Sayangnya aku sedang tidak berselera meladenimu.”

“Bebaskan aku dari tempat terkutuk ini. Kita bertarung sampai dunia kiamat!”

Kamaswara tersenyum. “Hay gadis bermata biru, kau diamlah.” Serangkum angin menerpa tubuh Peri Angsa Putih. Kejap itu juga sosoknya menjadi kaku tegang. Kamaswara berpaling pada Peri Bunda. “Pada saatnya giliranmu. Sekarang aku hanya ingin bicara dengan mahluk paling jelek di antara para peri.”

Ia berpaling ke arah Peri Sesepuh. “Dalam ujudmu yang gembrot itu saja semua orang muak melihat tampangmu, apalagi dalam kondisimu yang sekarang. Aku tahu kau sangat mencintai pemuda itu kan? Pendekar 212. Tapi sayang, selain dia sedikitpun tidak menyukaimu, sainganmu banyak dan mereka semua jauh lebih sempurna. Aku melihat banyak penderitaan dalam hidupmu. Apa kau mau selamanya merasakan sakit?”

“Apa maksudmu?”

Kamaswara tersenyum. “Orang-orangku berulangkali datang membujukmu agar kau mau bergabung. Tapi ....”

“Sampai mati pun aku tidak sudi bergabung dengan mahluk terkutuk seperti kamu!”

“Hahaha.... Meskipun aku memberikan sebuah ilmu langka? Kau mampu merubah ujud sesuai keinginanmu tanpa batas waktu? Kau akan cantik sempurna. Jangankan hanya manusia tolol itu, pangeran dari kerajaan saja pasti akan tergila-gila sama kamu.”

Mendengar keterangan itu Peri Sesepuh terdiam. Sedangkan Peri Angsa Putih yang terdiam kaku merasa cemas. Takut kalau-kalau Peri Sesepuh terkena bujuk rayu.

“Selain itu, kau juga akan kuberikan Ilmu Penyedot Batin. Dengan ilmu itu kau akan mendapat tenaga dalam tambahan dari semua orang yang kau kehendaki. Apa kau tidak ingin merasakan kebahagiaan seperti wanita-wanita lain? Mereka memiliki pasangan, berkasih sayang dengan orang yang dicinta. Apa kau tidak iri? Kalau aku jadi dirimu, tidak akan kusia-siakan kesempatan ini.”

Peri Sesepuh masih diam. Ia berpaling ke Peri Bunda. Wanita itu menggeleng. Sedangkan Peri Angsa Putih memejamkan kedua matanya.

“Ini kedatanganku yang terakhir. Mungkin sampai kiamat tiba, aku belum tentu datang lagi ke sini. Bagaimana keputusanmu, Peri Sesepuh? Menerima tawaranku dengan hidup bahagia atau tetap terkurung di sini sampai dunia ini hancur?”

“Jangan dengarkan ucapannya, Peri Sesepuh. Semua yang dia katakan hanya kebohongan belaka.”

“Dia bisa berani bicara begitu karena keadaannya tidak seperti dirimu. Apa dia pernah merasakan bagaimana rasanya dikucilkan? Bagaimana rasanya dipandang sebelah mata? Tertolak cinta padahal cintamu mungkin jauh lebih besar dan tulus dari pada mereka semua? Kau tak perlu terpengaruh oleh omongan siapapun. Yang tahu keadaanmu dirimu sendiri. Putuskanlah, sebelum kau menyesali diri. Sekali aku pergi, selamanya aku takkan kembali.”

Ditunggu cukup lama, Peri Sesepuh tetap diam. Gurat kekecewaan terlihat jelas di raut wajah Kamaswara. Pada Buto Kantolo ia berkata, “Bawa aku kembali ke Istana Kerajaan.”

Buto Kantolo mengangguk. Seperti sebelumnya, ia menggenggam lengan Kamswara. Cahaya putih mulai mengurung keduanya. Saat sosok akan menghilang, satu suara mengejutkan semua orang.

“Aku bersedia ikut bersamamu.”

Kalau Kamaswara terkejut karena tidak menyangka peri gendut itu akan masuk ke perangkapnya, lain halnya dua wanita ini. Peri Bunda dan Peri Angsa Putih sedikitpun tidak menyangka kalau Peri Sesepuh akan melakukan pengkhianatan. Bergabung dengan mahluk paling terkutuk di segenap alam.

“Apa yang kau lakukan, Peri Sesepuh? Kau sadar apa yang kau pilih?” Peri Bunda berteriak mengingatkan.

“Kau diamlah.” Seperti tadi, kala serangkum angin menerpa tubuh Peri Angsa Putih, angin ini pula menjadikan tubuh Peri Bunda kaku. Hanya kedip mata yang bisa kedua perempuan ini lakukan.

“Itu keputusan yang tepat, Peri Sesepuh.” Kamaswara menempelkan telapak tangannya pada besi pembatas. Cahaya putih yang melindungi besi itu tersedot ke dalam telapak tangan. Inilah Ilmu Pemagar Roh, yang sudah sejak lama mengurung ketiga perempuan itu. Sebenarnya, mudah saja bagi Peri Angsa Putih atau Peri Bunda, juga Peri Sesepun untuk memusnahkan ilmu itu, akan tetapi, Air Larangan yang telah tercampur dalam setiap ilmu yang di keluarkan Kamaswara membuat mereka lumpuh. Setiap pukulan membentur Ilmu Pemagar Roh, tenaga dalamnya seakan terkuras. Karena itulah tadi Peri Bunda mencegah agar Peri Angsa Putih tidak nekat menyerang Kamaswara.

“Kau bisa keluar,” kata Kamaswara setelah Ilmu Pemagar Roh hilang sempurna. “Sebelum ilmu kesaktian kuberikan kepadamu, kau harus berjanji untuk tunduk dan patuh terhadapku. Sekali kau membangkang, nyawamu melayang. Kau mengerti?”

“Aku-aku mengerti.”

“Bagus.” Kamaswara menepuk bahu Peri Sesepuh. Saat itu pula ia merasakan sakitnya yang selama ini menyesakan dada hilang seketika. Menarik napas dalam-dalam. Terasa ringan dan lega.

“Tugas apa yang akan kau berikan padaku?”

Kamaswara tertawa. “Kau sudah gak sabar rupanya. Tugasmu mudah. Kau tinggal bersatu tubuh dengan Pemuda itu.”

Peri Sesepuh membeliak. Membayangkan saja rasanya tidak perah, kini ia akan menikmati indahnya cinta bersama pemuda itu. Ia menatap ke sekujur tubuhnya. Seketika bayangan kebahagiaan itu hilang.

“Sudah kukatakan, kau akan menjadi perempuan paling cantik di dunia ini. Mari ikut denganku.”

Sebelum pergi Kamaswara memasang kembali Ilmu Pemagar Roh, sekaligus ia membebaskan jiratan yang membuat kedua peri itu kaku.

Peri Angsa Putih menangis, memeluk Peri Bunda.

“Kenapa dia jadi seperti itu, Peri Bunda?”

Peri Bunda menggeleng. “Kata-kata mahkuk terkutuk itu berhasil masuk ke relung hati terdalam Peri Sesepuh. Dan apa yang dikatakan semuanya benar, menurut sudut pandang si penderita. Peri Sesepuh kita tahu, sejak dulu ia selalu memencilkan diri karena tak kuat menanggung malu dan cibiran semua orang. Karena itulah mengapa ia mengambil keputusan salah. Dan menurut sudut pandangnya, itulah jalan yang benar.”

“Lalu apa yang akan terjadi dengan Wiro Sableng, Peri Bunda?”

Peri Bunda terdiam sesaat. Sekilas ia teringat dengan wajah tampan pemuda itu. Sudah lama ia tak pernah melihat. Bagaikan gelombang yang menerpa karang, rasa rindu itu kini membuncah memenuhi isi hati.

“Yang Kutahu, Ilmu Penyedot Batin adalah ilmu Iblis terkutuk yang keberadaannya pernah menggegerkan dunia persilatan ratusan tahun yang lalu. Aku pikir ilmu itu telah musnah bersama kematian Iblis Betina Gendawa Maharta. Ternyata lelaki terkutuk itu memiliki ilmu laknat Gendawa. Kalau sampai Peri Sesepuh berhasil membujuk Wiro, dan mereka melakukan hubungan badan layaknya suami istri, maka terkuraslah semua kesaktian pemuda itu. Dan nyawanya tidak akan tertolong lagi.”

“Dewa Agung, kapan ujian ini akan berakhir?” pekik Peri Angsa Putih. Ia kembali memeluk Peri Bunda. “Apa yang bisa kita lakukan, Peri Bunda?” isak tangis mulai terdengar dari bibir Peri Angsa Putih. Peri Bunda tidak mampu memberikan tanggapan apapun. Hanya kedua matanya yang terpejam dan bulir air mengalir dari lipatan kelopaknya.

Bab 8

Kita kembali kepada Ratu Duyung dan Kakek Segala Tahu.

Sesaat setelah Wiro Sableng pergi, Ratu Duyung yang masih penasaran dengan kepergian suaminya langsung bertanya, “Kek, katamu Wiro akan mendapat petunjuk di suatu tempat. Menurutmu, kira-kira petunjuk apa yang akan didapatkan suamiku? Juga siapa gerangan yang memberi petunjuk? Kenapa tidak langsung lewat mimpimu saja, Kek?”

Sebelum menjawab Kakek Segala Tahu terbatuk-batuk. Menggoyangkan kaleng rombengnya terlebih dahulu. “Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Wiro, suamimu. Karena itulah kau selalu berharap, dalam suasana yang sangat buruk ini tidak ada lagi perpisahan. Kau ingin selalu bersama sampai anakmu lahir kan? Tapi ingat satu hal. Adakalanya sesuatu yang sangat besar membutuhkan pengorbanan yang lebih besar pula. Mengenai petunjuk apa yang akan didapat, sampai sejauh ini pun aku masih belum bisa menduga. Yang jelas, semuanya pasti ada kaitan dengan kekacauan dunia yang menimpa saat ini. Andai seorang pendekar besar saja seperti halnya suamimu dan juga dirimu berlepas tangan, memilih untuk menyelematkan diri sendiri, maka jangan harap bencana ini akan sampai pada ujungnya.”

Mendengar jawaban Kakek Segala Tahu, Ratu Duyung sampai menggigit bibir bawahnya. Memang pernah terlintas dalam benak agar suaminya tetap berada di sisi hingga sang buah hati lahir. Itu ia lakukan demi masa depan anaknya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Wiro Sableng. Karena selama kabut celaka itu menutupi pandangan, setiap langkah yang dibuat, maut selalu mendatangi. Beberapa kali Wiro Sableng hampir tewas akibat keganasan orang-orang Kerajaan Perut Bumi.

Sejak dirinya mengandung, boleh dikatakan segalanya selalu diperhitungkan. Terlebih dalam hal keselamatan. Kalau sebelumnya para sahabat, atau orang lain yang menjadi poin utama, tidak untuk sekarang. Dirinya dan suaminyalah yang harus diutamakan. Memang terkesan hanya mementingkan diri sendiri, tapi mau bagaimana lagi ? Dia butuh suami saat menjelang sang buah hati lahir ke dunia. Dan anaknya nanti butuh seorang ayah sebagai tempat berlindung.

“Kek, aku memang pernah berfikir untuk hidup normal seperti layaknya pasangan suami istri pada umumnya, tapi Demi Gusti Allah, tak pernah terlintas sedikitpun untuk sampai hati berlepas tangan dari bencana dunia persilatan.”

“Mengharapkan hidup tenang, damai dan bahagia dalam mengarungi rumah tangga itu adalah sesuatu hal yang wajar. Apalagi beberapa bulan ke depan kamu akan menjadi seorang ibu. Tentu ibu mana yang tega melihat anaknya terlahir dalam kondisi yang penuh kekacauan begini. Tidak ada satu ibu pun di dunia ini yang menginginkannya. Aku memahami perasaanmu, Ratu Duyung. Tapi ada satu hal yang harus kau ingat selama sepanjang hidupmu. Memiliki suami seorang pendekar besar, dan selalu menjadi andalan dunia persilatan, tanamkan di lubuk hati terdalam, kau harus rela dan siap kehilangan dirinya. Kapanpun!”

Cukup lama Ratu Duyung terdiam. Hingga akhirnya wanita cantik dengan mahkota kerang yang selalu menghiasi kepala mengangguk perlahan.

Kakek Segala Tahu tersenyum. “Dari pada kamu terus berlarut-larut memikirkan anak sableng itu, lebih baik kau isi perutmu. Sejak tadi pagi kamu belum makan. Coba lihat, tinggal seberapa persediaan makanan kita.”

“Aku sudah lihat tadi Kek. Hanya tinggal tersisa lima batang singkong.”

Kakek Segala Tahu menarik napas panjang. “Sudah waktunya aku keluar. Kau tetap di sini. Jangan lakukan apapun selama aku tidak ada.” Kakek Segala Tahu hendak melangkah, tapi sosok tua bercaping itu membatalkan niatnya.

“Celaka!” Wajah orang tua sedikit memucat.

“Ada apa, Kek?”

“Orang-orang laknat Kerajaan Perut Bumi sepertinya sudah tahu keberadaan kita. Aku mendengar ada beberapa orang menuju tempat ini.”

Kedua mata Ratu Duyung membeliak.

“Kau jangan jauh-jauh dariku. Ada lebih dari lima orang menuju ke sini.”

Ratu Duyung mempertajam pendengarannya. Butuh waktu lama hingga ia akhirnya bisa mendengar langkah kaki yang mendekati goa di mana mereka berada.

“Dua Calon Mayat dalam goa! Keluar kalian! Sebutkan nama dan gelar, lalu gorok leher kalian!” teriak salah seorang dari luar goa. Kakek Segala Tahu memberi isyarat pada Ratu Duyung agar tetap diam dan waspada.

“Siapkan pukulan paling mematikan. Tunggu aba-aba dariku.”

Ratu Duyung mengangguk. Ia segera mengalirkan hampir separuh tenaga dalam ke sepasang matanya. Tidak tanggung-tanggung, ia siap melepaskan ilmu kesaktian yang paling mematikan. Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudra. Dulu ia pernah bercerita kepada Wiro Sableng, kalau Ilmu kesaktiannya ini mungkin berasal dari orang yang sama dengan Ilmu Sepasang Pedang Dewa yang dimiliki Wiro Sableng. Juga dengan ilmu milik nenek sakti Sinto Gendeng. Sepasang Sinar Inti Roh. Mengingat cara penggunaan dan rapalan ajian yang sangat mirip. Hanya saja itu hanya sebatas dugaan.

“Bangsat haram jadah! Di panggil diam saja! Apa kalian tuli atau bisu? Lekas, sebutkan siapa nama kalian atau aku timbun kalian hidup-hidup di dalam goa!”

Benar dugaan Kakek Segala Tahu. Di luar goa ada lebih dari lima orang yang mengenakan jubah hitam. Ciri keronco Kerajaan Perut Bumi. Orang yang tadi berteriak dan sekaligus menjadi pimpinan dari enam orang lainnya memberi isyarat kepada dua anak buahnya untuk masuk ke goa.

Dua orang melompat. Baru saja kaki masing-masing menginjak bibir goa, dua larik sinar biru yang membentuk gunting raksasa melabrak keduanya. Suara ledakan sedahsyat guntur memekikan telinga. Tidak terdengar adanya jeritan, akan tetapi yang terlihat sungguh mengerikan. Dua orang tadi kini tidak bisa dikenali lagi. Tubuhnya hancur tercerai berai. Bau daging sangit terbakar memenuhi udara sekitar. Beberapa potongan daging terlempar ke lima orang yang tersisa. Kalau mereka tidak melompat, menghindar, tentu akan terkena hantaman daging-daging gosong.

“Bangsat haram jadah!” Terbelalak lelaki ini. Kedua matanya yang bisa melihat dengan jelas, seolah kabut yang membutakan mata tidak ada, karena itu pula, kejadian singkat disaksikan secara jelas. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menjadi ciut nyalinya.

Di depan pintu goa ada pohon yang sangat besar. Untuk bisa masuk harus bergantian, paling banyak dua orang. Ini jelas merugikan bagi mereka. Karena apa yang dilihatnya barusan pasti akan terulang.

“Bagaimana dua kunyuk itu tahu kalau ada orang masuk? Tidak mungkin mereka mampu melihat.”

“Aku yakin salah seorang dari keduanya memiliki ilmu pendengaran yang sangat tajam, Suaka. Kelebihan itu sangat menguntungkan dirinya, karena tidak akan terpengaruh dengan Kabut Buta atau Kabut Kematian yang menjadi andalan kita.”

Kedua rahang Suaka menggembung. “Jika begitu, kita bunuh terlebih dahulu orang yang memiliki pendengaran setajam penglihatan.”

“Lalu bagaimana kita masuk?” salah seorang yang sebelumnya telah hilang keberanian karena melihat keganasan pukulan lawan mengajukan pertanyaan. Terdengar jelas sekali ada getar pada suaranya.

Suaka terdiam sejenak. Setelah berfikir mencari-cari akal akhirnya ia menemukam cara untuk bisa masuk bersamaan. Pada dua anak buahnya ia memerintahkan agar menghantam pohon besar yang menghalangi mulut goa.

“Tunggu aba-aba dariku!”

Dua orang siap melepaskan pukulan sakti ke pohon besar. Saat dilihat pimpinannya memberikan perintah, bersama bentakan, dua larik sinar merah melabrak. Ledakan keras bersahutan dengan gemuruh pohon tumbang. Saat itulah, Suaka memberi komando agar seluruh orang melesat bersamaan.

Di dalam goa, Ratu Duyung yang tidak bisa melihat apapun hanya bisa mendengar kelebatan beberapa orang. Sedangkan Kakek Segala Tahu yang tahu di sebelah mana saja musuh-musuhnya berdiri, berbisik kepada Ratu Duyung.

“Pertajam pendengaranmu. Dan selalu perhatikan setiap aba-aba yang aku berikan.”

Ratu Duyung mengangguk. Dua pukulan sakti telah ia siapkan.

“Hahaha .... Benar dugaanku, Suaka. Monyet Tua inilah yang jadi biang keroknya. Dan seperti perintahmu, Orang Tua Buta ini harus menjadi tumbal utama di tempat tinggalnya.”

Suaka tersenyum. Lelaki ini sejak pertama masuk cukup terkejut begitu melihat mangsanya. Walaupun ia belum pernah bertemu muka, tapi melihat dari ciri-cirinya ia yakin sekali kalau kedua mangsanya kali ini tokoh-tokoh besar golongan putih.

“Kalau tidak salah orang tua buta ini berjuluk Kakek Segala Tahu. Beruntung sekali kita menemukan mangsa yang sangat besar.” Suaka tertawa bergelak. “Pimpinan Kita pasti bangga dan tentunya pujian setinggi langit akan kita dapatkan dari baginda raja.”

“Dan drajat kita akan makin tinggi di kerajaan, Suaka, hahaha....”

“Para Kecoa Busuk Kerajaan Perut Bumi senang bermimpi di siang bolong rupanya. Majulan kalian! Aku sudah tidak sabar ingin menjadikan daging gosong seperti dua kambrat kalian barusan!”

Suaka mengatupkan grahamnya. “Betina Bunting!” bentaknya garang. “Nyawa sudah hampir minggat, neraka sudah di depan mata, kau masih bicara pongah tak karuan rupa. Aku sudah tahu siapa kamu. Karena itu, aku tidak akan menunda kematianmu lebih lama lagi!” Selesai berucap ia memberi perintah kepada dua anak buahnya untuk meringkus Ratu Duyung. Sementara dia dan dua lainnya menerjang ke Kakek Segala Tahu.

Ratu Duyung yang telah siap dengan pukulan saktinya tidak menunggu lama, begitu telinganya mendengar gerak serangan, ia segera melepaskan dua pukulan sakti sekaligus. Namun pukulan ganas itu hanya mengenai tempat kosong. Ledakan keras mengguncang dinding goa. Lempengan batu banyak berjatuhan. Pecahan yang lebih kecil banyak bermentalan ke segala arah. Debu membuntal, memenuhi ruang goa.

Orang-orang Kerajaan Perut Bumi yang telah banyak menghadapi lawan tangguh membuat ia banyak pengalaman. Setiap serangan pertama yang dibuat selalu tipuan. Langkah ini memang selalu berhasil. Dan pada serangan kedua, karena jarak sudah terlalu dekat, mereka menjadi leluasa untuk menggempur lawannya.

Hanya mengandalkan pendengaran, Ratu Duyung yang selama hidupnya lebih banyak mengandalkan indra penglihatan, akibatnya kepandaian yang dimiliki seakan turun jauh. Dalam waktu singkat ia terdesak hebat. Beberapa kali pukulan ganas hampir menghantam wajah dan tubuhnya.

“Dalam waktu dekat, tubuh mulusmu akan aku buat hancur tak bisa dikenali, Betina Bunting!”

Lelaki ini menyerang dua kali lebih ganas dari sebelumnya. Semakin yakin dalam lima jurus ke depan ia sudah berhasil mendaratkan pukulan ke salah satu bagian tubuh lawannya.

Ratu Duyung memekik, saat satu pukulan ganas lewat seujung kuku dari pelipisnya. Terlambat sedikit saja menghindar, maka remuk sudah wajahnya. Dia berusaha melompat, keluar dari kalangan pertempuran, tapi dua orang lawannya tidak memberi kesempatan sedikitpun. Serangan bagaikan air bah menggempur habis-habisan. Perempuan cantik bermata biru yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, kini harus bertahan mati-matian demi bisa terhindar dari serangan lawan, tanpa mampu membalas serangan.

“Ke neraka sekali pun kau lari aku kejar! Hanya segini saja kah kemampuan Ratu Duyung yang namanya tersohor itu? Hahaha.... Memalukan! Aku pikir dengan menyandang nama besar, sedikit kesulitan untuk menaklukanmu, nyatanya, jauh dari yang kubayangkan. Nama besarmu tak lebih hanya sebatas isapan jempol belaka.”

Diejek dan direndahkan begitu rupa setiap orang pasti akan meradang, menyerang dengan membabi-buta. Akan tetapi, Ratu Duyung yang menyadari posisinya, sangat-sangat tidak diuntungkan, ia memilih meredam amarah yang membeludak. Seperti yang dikatakan Kakek Segala Tahu, harus tetap pada satu titik, yakni pendengaran. Karna sekali terpancaing, maka nyawa bisa melayang.

“Sebelah kiri belakang!”

Mendengar aba-aba dari Kakek Segala Tahu, secepat laju lesat suara, Ratu Duyung pukulkan tangan kanan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.

Buk!

Suara beradunya pukulan cukup keras terdengar. Hanya saja tertimpa dengan jerit kesakitan setinggi langit. Lelaki ini melompat mundur. Sebatas siku tulangnya remuk mengerikan. Hancuran tulang banyak merobek daging membuat darah mengalir deras. Kawannya yang terkejut melihat itu melompat mendekati. Maksudnya hendak menolong. Sayangnya, keputusan yang dipilihnya ini adalah sebuah kesalahan besar. Ratu Duyung yang sejak tadi mencari celah, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Selarik cahaya putih yang dilepas dari pukulan saktinya, berhasil membuat dua orang terpanggang hidup-hidup. Jeritan menghilang begitu roh keduanya melesat ke neraka.

Kakek Segala Tahu tertawa mengejek melihat dua orang kembali tewas. Sedangkan Suaka sudah sejak tadi melompat mundur dari kalangan perkelahian, sesaat sebelum salah satu kepala anak buahnya rengkah.

Tidak seperti Ratu Duyung yang cukup kesulitan karena tidak biasa bertarung hanya mengandalkan pendengaran. Bagi Kakek Segala Tahu, yang memang selama hidupnya melakukan itu, dan bahkan sudah menjadi andalan, maka tidak heran, dalam waktu singkat ia telah berhasil memberikan desakan hebat kepada ketiga orang musuhnya.

“Tua Bangka Buta ini, kalau tidak lekas dihabisi, urusanku akan jadi kepiran!” Suaka mengumpat dalam hati. Serangan ganas bertubi-tubi mengarah ke titik mematikan lawan. Sayangnya, setiap sasaran yang dibuatnya selalu mengenai tempat kosong.

“Hihihi .... Perasaan yang buta aku, kenapa kalian selalu mengarah ke tempat kosong? Atau hanya sebatas ini kemampuan orang-orang Kerajaan Perut Bumi?”

“Tua Bangka Setan Alas! Berhenti mengoceh atau aku robek mulutmu!”

“Dari tadi ngomong aja! Tapi sampai saat ini jangankan merobek mulut, menyentuh baju rombengku saja kamu tidak mampu. Hihihi.... apa perlu aku sobekin sebelah bawah baju dekilku lalu kulempar ke kalian agar bisa menyentuh?”

“Keparat,! Jahanam!” Suaka lipat gandakan serangan. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama. Kakek Segala Tahu bukan hanya mampu menghindar dari serangan ganas yang mengurung dirinya, di luar dugaan, ia bahkan mampu melakukan serangan balasan. Dan lagi-lagi dalam waktu singkat ia telah mendesak ke tiganya.

Suaka memukul ganas ke arah mulut Kakek Segala Tahu. Kali ini ia yakin akan mengenai sasaran, karena posisinya sangat menguntungkan. Sekali pukulan itu mendarat, maka mulut Kakek Segala Tahu bukan hanya robek, orang tua ini tentu akan mengalami nasib mengerikan. Tulang wajah melesak ke dalam, dan sebagian kepalanya akan hancur.

Sayangnya, semua itu hanya ada dalam benak, harapan besar Suaka. Yang terjadi justru perutnya hampir saja jebol di hantam kaki kurus Kakek Segala Tahu andai saja ia tidak lekas mundur membatalkan serangan. Di belakangnya, melihat kesempatan besar, dua orang anak buah Suaka menerjang. Lelaki ini yakin, salah satu dari anak buahnya berhasil mendaratkan pukulan ganas ke lawannya.

Prakk!!!

Dua bola mata Suaka membeliak, bersama jerit kematian salah satu anak buahnya. Kepala lelaki itu rengkah di hantam tongkat butut Kakek Segala Tahu.

Selagi ia terkejut melihat kematian yang sangat mengenaskan, lawannya berteriak, “Sebelah kiri belakang!”

Belum mampu mencerna apa maksud dari teriakan itu, suara beradunya pukulan bersama jerit kesakitan kembali melumerkan nyali dirinya. Dalam keadaan yang sangat menguntungkan baginya saja ia tak mampu menaklukan dua orang ini, yang sebelumnya sangat diremehkan. Bagaimana ia mampu meneruskan pertempuran, yang tersisa kini hanya ia dan satu anak buah?

Suaka memberi perintah lewat gerak tangannya kepada anak buah untuk melepas pertanda. Lelaki ini melompat keluar. Kakek Segala Tahu melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi ke mulut goa. Hempasan angin melabrak dinding goa. Lantai bergetar hebat. Sebagian mulut goa hancur bermentalan. Sayangnya, lelaki yang diincar telah lebih dulu berada di luar.

Suara nyaring terdengar keras merobek desir angin serta riuhnya suara binatang.

“Celaka! Terkutuk itu memanggil kawanan lainnya.”

Ratu Duyung sampai tersurut satu langkah ke belakang. Melawan dua orang saja ia harus bertahan mati-matian, kini rombongan lainnya akan datang.

“Apa yang harus kita lakukan, Kek?” bisik Ratu Duyung. Kakek Segala Tahu menggeleng.

“Sudah tidak ada waktu. Cepat kita habisi manusia satu itu lalu tinggalkan tempat celaka ini!”

Ratu Duyung mengangguk, ia kembali mengerahkan tenaga dalam ke kedua matanya. Sepasang Sinar Dasar Samudra siap dilepaskan. Akan tetapi Kakek Segala Tahu berteriak, “Tahan Serangan!”

Orang tua ini menarik lengan Ratu Duyung, melompat jauh ke sisi kiri goa. Lima cahaya kuning sebesar jambu biji melabrak tempat kosong. Umumnya, setiap ilmu kesaktian akan meledak ketika membentur benda keras atau apapun. Tapi yang terjadi sekarang sungguh di luar akal sehat orang-orang persilatan. Cahaya kuning itu melesak ke dalam tanah, dinding tanpa mengalami kerusakan sedikitpun. Andai Ratu Duyung dapat melihat itu, tentu ia akan terheran-heran menyaksikan ada ilmu pukulan yang sulit diterima akal.

Melihat lawannya membatalkan serangan dan memilih menghindar, wajah Suaka menjadi pucat. Kini sudah tidak ada lagi ilmu yang menjadi andalannya.

“Tua Bangka Buta itu sepertinya tahu kelemahan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi.” batinnya. Kecemasan besar kini menguasai isi hati. “Menghadapi dua cecunguk ini dengan pukulan lain hanya bunuh diri. Agaknya, aku harus terus-terusan mengeluarkan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi. Dengan begitu aku punya waktu untuk menunggu kawan-kawan datang, tanpa takut mendapat serangan balasan.”

Lelaki ini kembali merentangkan kedua kakinya. Tangan kanan diangkatnya tinggi-tinggi. Dari jari jemarinya yang membentuk cakar keluar cahaya kuning. Dalam kejapan mata lima cahaya itu melesat ke arah dua orang lawannya.

Kakek Segala Tahu kembali menarik Ratu Duyung, melompat jauh ke sisi kanan goa. Kejadian itu terus berulang, hingga Ratu Duyung yang tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang tua bertanya heran.

“Apa yang sedang kau lakukan, Kek? Bukankah katamu kita harus segera membunuh bajingan itu? Lalu segera pergi dari sini?”

“Aku merasakan getaran halus di kakiku. Dan mendengar lima desisan pelan jari-jari lawan. Itu ciri-ciri ilmu iblis andalan orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Kau tidak bisa membalas menyerangnya.”

“Mengapa?”

“Racun yang terkandung dalam cahaya itu akan meledak saat terkena pukulan lawan. Dalam waktu singkat kau akan mati rasa lalu jantungmu berhenti berdetak.”

Mendengar itu Ratu Duyung menjadi bergidik ngeri. Beruntung tadi ia tidak gegabah dengan nekat membalas serangan lawan. Kalau kemauannya dituruti, tentu saat ini sosoknya telah berubah menjadi bangkai.

“Lalu sampai kapan kita melakukan ini?” tanya kembali setelah kakinya menginjak lantai goa. Tidak tahu sudah berapa kali ia menghindari serangan. Yang jelas, menghindar tanpa mampu melakukan serangan balasan adalah kekalahan yang tertunda. Ratu Duyung tidak mau mengalami itu.

Kakek Segala Tahu sendiri bukannya tidak menyadari akan keadaannya. Ia juga tahu, kalau musuhnya sengaja melakukan itu demi menunggu bantuan datang.

“Hahaha.... begitu terus sampai malaikat maut bosan melihatnya! Lalu merampas paksa nyawa busuk kalian!”

Kakek Segala Tahu berbisik kepada Ratu Duyung.

“Di lompatan berikutnya, kau harus ke mulut goa. Dari sana kau bisa membalas menyerang. Tapi harus hati-hati. Jangan lakukan serangan kalau manusia itu mengarahkan pukulan kepadamu.”

“Bagaimana aku tahu dia mengarahkan padaku atau tidak, Kek?”

“Nanti aku kasih tahu waktu yang tepat.”

Ratu Duyung mengangguk. Lalu dalam lompatan terakhir, menghindari serangan ia berkelebat ke pintu goa. Melihat itu Soaka mengarahkan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi ke arah Ratu Duyung. Dari arah samping melesat sinar putih kebiruan menghantam tubuhnya. Lelaki ini menjarit setinggi langit. Tubuhnya gosong terkena pukulan sakti yang dilepas Kakek Segala Tahu. Ketika terbanting keras ke lantai goa nyawanya telah tiada. Kakek Segala Tahu cepat melompat, mengajak Ratu Dunyung meninggalkan tempat itu. Hanya saja langkah kaki sosok tua renta ini menjadi terhenti manakala bentakan keras terdengar jelas.

“Tua Bangka Terkutuk! Setelah kau membunuh orang-orangku, kau mau bersembunyi di ketiak wanita?!”

“Dia dua tokoh besar golongan putih,” memberitahu anak buahnya Suaka.

“Aku tahu dua orang ini. Lekas, membentuk kurungan. Aku mau lihat, apakah dia bisa lolos dari ancaman Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi dengan serangan melingkar?”

Selusin orang telah melompat, mengurung keduanya. Ratu Duyung yang tidak tahu apa yang harus ia lakukan hanya bisa menunggu perintah dari Kakek Segala Tahu. Tapi kakek itu tetap diam.

“Apa yang harus aku lakukan, Kek?”

“Agaknya ini akhir dari hidup kita.”

“Apa maksudmu, Kek? Aku tidak suka kau berkata begitu. Pasti ada cara. Kau memiliki segudang pengetahuan di dunia ini. Kau pasti tahu caranya, Kek.”

Kakek Segala Tahu menarik napas panjang dan berat. “Seberapa besar dan luas pengetahuan seseorang, adakalanya ia terkurung oleh keadaan. Hari apes tidak memandang siapapun! Aku orang tua buta yang oleh dunia persilatan di juluki Kakek Segala Tahu, hari ini aku tidak tahu kalau kematian akan datang menjemputku.”

“Kek, aku tidak suka kau berkata seperti itu! Lakukan sesuatu! Aku yakin kau tahu apa yang harus kita lakukan!”

Di depan sana orang-orang Kerajaan Perut Bumi telah merentangkan kaki masing-masing. Mengacungkan tangan setinggi-tingginya. Dari selusin tangan memancar cahaya kuning. Semakin lama semakin membesar.

“Kek!” Ratu Duyung kembali teriak. Kakek Segala Tahu sudah merasakan getaran halus lewat kakinya. Pertanda ilmu andalan lawan telah siap merenggut nyawanya.

“Berpasrah diri kepada Gusti Allah mungkin jalan satu-satunya. Mengakui kalau aku dan dirimu hanya hamba yang rendah. Dan berharap, semoga Gusti Allah mengampuni dosa-dosa kita di masa lalu.”

Mendengar kata-kata Kakek Segala Tahu, putus sudah harapan Ratu Duyung. Orang tua yang selama ini menjadi tumpuan harapan kini telah mengemukakan keterbatasannya. Tiada lagi yang bisa menolong, selain Gusti Allah Semata. Dialah satu-satunya kekuatan dan pengetahuan tanpa batasan.

Ratu Duyung menggenggam erat lengan kurus Kakek Segala Tahu. Terbayang sosok suaminya yang kini ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah ayah dari anaknya nanti masih hidup atau sudah pergi, menunggu dirinya di alam baka? Mengingat masa-masa indah bersama pemuda itu, kedua mata indah perempuan ini berair. Meluncur deras air mengalir membasahi pipi.

“Jika itu memang sudah takdir dari-Nya, aku hanya bisa berharap, semoga Gusti Allah mau berbelas kasihan mempertmukan kembali aku dan suamiku di alam sana.” lirih Sang Ratu. Seperti Kakek Segala Tahu, kini ia hanya bisa pasrah menunggu saat-saat menjelang ajalnya datang.

Namun, jeritan keras yang datang dari orang-orang yang mengurungnya membuat Kakek Segala Tahu dan Ratu Duyung heran. Perempuan bermata biru ini jelas tidak bisa melihat apa-apa, tapi berbeda dengan Kakek Segala Tahu. Ia mendengar ada suara seperti benda terbakar. Lalu di susul dengan bau daging gosong terbakar.

“Ratu Duyung, kau melihat ada api? Atau bau asap?”

“Aku tidak melihat apapun, Kek? Aku juga tidak mencium bau asap. Hanya bau daging gosong terbakar.”

Di depan sana, secara bergantian, orang-orang Kerajaan Perut Bumi mengalami pembakaran hebat pada tubuhnya. Ia merasa api besar menghanguskan sosok. Padahal, tidak ada api sedikitpun. Jerit kematian terdengar dari setiap tubuh yang kelojotan. Dalam sekejap sosok itu berubah menjadi abu, lalu seakan tersedot masuk ke dalam perut bumi. Beberapa orang yang tersisa mencoba melarikan diri. Sayangnya, baru dua langkah bergerak, hal yang serupa terjadi atas diri mereka. Jerit kesakitan menghiasi halaman goa di sebelah tumbangan pohon besar. Terbanting, berguling-guling lalu berubah menjadi abu dan tersedot masuk ke dalam tanah.

“Mereka semua berubah menjadi abu. Ini sungguh aneh. Tidak ada api, tidak ada pukulan sakti kenapa bisa terjadi? Gusti Allah telah menunjukan kuasanya. Membuktikan bahwa sehebat apapun manusia, dia hanya mahluk lemah dan tidak tahu apa-apa.”

“Kau benar Kek. Aku bersyukur masih diberi umur panjang. Hanya saja, apa kau samasekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi barusan?”

“Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskan. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu, bahkan seluruh tokoh golongan putih. Ada kekuatan besar dan dahsyat yang sedang mengancam kita semua.”

“Maksudmu, Kek? Kalau soal kekuatan yang barusan terjadi bukankah itu yang menyelamatkan kita?”

Kakek Segala Tahu mendongak ke atas. Menggerakan kaleng rombengnya.

“Itu takdir dan kuasa Gusti Allah. Namun di sisi lain aku merasakan ada serangan jarak jauh dari orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Apa yang kita alami barusan adalah salah satu dari sekian banyak keganasan ilmu langka mereka.”

“Secara tidak langsung kau mengatakan mereka mati akibat ulah orang-orang Kerajaan Perut Bumi?”

“Firasatku mengatakan demikian,” jawab Kakek Segala Tahu sambil menganggukan kepala perlahan.

“Tidak mungkin dan tidak masuk akal, Kek.”

“Ada banyak yang tidak masuk akal sejak Kerajaan Perut Bumi muncul.”

Ratu Duyung mengusap air matanya yang sudah tampak mengering.

“Aku tidak mau lagi berbicara soal kerajaan itu, Kek. Sekarang apa yang akan kita lakukan?”

“Tempat ini sudah tidak aman. Kita harus cari tempat persembunyian lain.”

“Tapi bagaimana dengan Wiro nanti, Kek? Dia akan kesusahan mencari kita.”

“Soal anak sableng itu, biarlah nanti kita pikirkan. Sekarang, ikuti aku.” Kakek Segala Tahu berlari ke arah utara. Ratu Duyung mengikuti dari belakang.

Bab 9

Wiro Sableng memperlambat laju lesatnya, saat dilihatnya Resi Septuning Jagat memintanya untuk berhenti.

“Anak muda, aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Untuk melindungi diri, pergunakan selalu ilmu kesaktian yang bersumber dari kitab yang sama seperti yang tadi kau gunakan.”

“Kek, kenapa kau tidak ikut bersamaku?”

Sebelumnya Wiro Sableng selalu menyebut lelaki berjenggot putih itu orang tua, tapi setelah ia tahu siapa mahluk dihapannya ini, perubahan sikap pun terjadi atas dirinya.

Resi Septuning Jagat, dalam perjalananya menceritakan secara singkat, siapa dirinya, juga mengenai kesaktian Wiro Sableng dan senjata mustika. Sesaat setelah tahu Wiro Sableng pun langsung membungkuk hormat. Tidak di nyana, hari ini ia akan bertemu langsung dengan tokoh besar pencipta segala jenis ilmu dan senjata sakti.

Resi Septuning Jagat tersenyum. Mengusap janggutnya seraya berkata, “Seperti yang sudah aku jelaskan tadi, Anak Muda. Di alam para dewa pun ada banyak tingkatannya. Dewa dengan tingkatan terendah adalah di mana aku dan kamu berada sebelumnya. Setiap dewa paling bawah tidak bisa memasuki tingkatan lebih tinggi. Andai memaksa, maka hancur lebur lah tubuh mereka. Kau mungkin berfikir, bukankah para dewa abadi? Meskipun hancur mereka akan kembali lagi.” Resi ini tersenyum lebih dulu sebelum melanjutkan. “Dewa memang abadi, tapi tidak jika mereka melanggar aturan. Salah satunya ya memasuki tingkatan lebih tinggi dari alamnya.”

“Kalau para dewa saja bisa hancur bagaimana dengan diriku, Kek?”

“Karena itulah mengapa tadi aku memintamu untuk mempergunakan ilmu kesaktian yang bersumber dari kitab yang sama. Hanya ilmu itulah yang mampu menjadi pelindung atas tubuhmu.”

“Kitab Wasiat Malaikat?”

“Para dewa menamainya Kitab Terlarang.”

Dalam hati Wiro berpikir, ilmu mana yang harus ia gunakan. Sepasang Kaki Malaikat yang tadi memporak-porandakan kerajaan para dewa? Atau Tangan Kasih Malaikat yang mampu meredam kehancuran? Atau ....”

“Anak Muda, kau harus cepat. Waktu kita tidak banyak. Ingat satu hal, alam para dewa berbeda jauh dengan alammu. Setiap kedipan mata yang kau habiskan di sini, di alammu berlangsung jauh lebih cepat.”

Kedua mata murid Sinto Gendeng membeliak. “Maksudmu, andai aku habiskan seharian di sini bisa belasan hari di duniaku?”

Resi Septuning Jagat mengangguk perlahan.

“Gila! Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Kek? Ya Tuhan... sudah berapa lama aku meninggalkan mereka semua.”

“Karena itulah sejak tadi aku katakan padamu, Anak Muda, kita tidak punya waktu banyak.”

Wiro Sableng menggaruk kepalanya habis-habisan. Benar-benar gila dan tidak masuk akal. Jika tahu sejak awal, tentu dia tidak akan sibuk bertanya. Kenapa orang tua itu tidak menjelaskan sejak awal.

Wiro Sableng tidak bisa berpikir lama. Apalagi sampai menduga-duga, karena semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia, semakin banyak korban yang berjatuhan akibat keganasan orang-orang Kerajaan Perut Bumi.

Wiro Sableng memejamkan mata. Mengingat setiap ilmu kesaktian yang ada pada Kitab Wasiat Malaikat. Diurutan ke tujuh, ada sebuah gambar bayang-bayang. Gambar itu memiliki nama Ilmu Bersalin Raga Melebur Sukma. Waktu pertama kali menguasai Kitab Wasiat Malaikat ia pernah mencoba ilmu ini, tapi tidak ada perubahan apapun atas dirinya. Bahkan ketika dengan konyolnya ia meminta Ratu Duyung untuk menampar mukanya, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini sampai melenguh kesakitan. Beruntung waktu itu Ratu Duyung hanya mengandalkan tenaga luar. Biar begitu, tetap saja, pipinya memar. Sudut bibirnya sedikit pecah.

Sesaat setelah bibir Wiro Sableng mengucap nama ilmu kesaktian, Resi Septuning Jagat melihat ada semacam cahaya putih kebiruan yang keluar dari tubuh sang pendekar. Semakin lama cahaya itu semakin terang membungkus sosok Wiro. Lalu berubah menjadi bayang-bayang, hingga akhirnya menghilang.

Orang tua ini menggeleng berulang-ulang. “Ilmu langka dan sangat terlarang. Jangankan diriku, para dewa berada dua atau bahkan tiga tingkat dariku saja tidak tahu, dari mana asal ilmu itu? Siapa penciptanya? Mungkin salah satu kepercayaan Dewa Agung. Bertujuan untuk menghukum para dewa yang sesat. Merasa paling tinggi dan mudah merendahkan mahluk lain. Atau kitab itu diciptakan setelah kekacauan terjadi di Kerajaan Langit ribuan tahun yang lalu? Sesuai dengan bunyi kutukan di Gugus Bintang, kalau suatu saat akan datang dari mahluk terendah yang memporak-porandakan Kerajaan Langit. Jika benar demikian, maka kemungkinan besar Kitab Terlarang diciptakan untuk menghukum Raja Ramanda.” Resi Septuning Jagat memutar tubuhnya, dengan kecepatan penuh ia telah berada ribuan tombak di kejauhan.

Wiro Sableng terkejut ketika mendapati langit di mana sebelumnya berwarna biru dan dipenuhi awan putih berubah menjadi hitam. Gumpalan awan raksasa memancarkan cahaya dengan jutaan warna yang berbeda. Bintang-bintang memenuhi setiap pandangan. Yang membedakan dari langit dunia ialah, bintang di sini jauh lebih besar. Cahayanya bahkan mampu menerangi kegelapan malam.

Wiro Sableng berpaling ke belakang. Ia mengira Resi Septuning Jagat masih ada di sampingnya. Ternyata orang tua itu menghilang.

Tidak jauh dari gumpalan awan raksasa, ada sebuah istana yang sangat megah. Sejauh mata memandang, Wiro melesat ke istana itu. Pemuda ini terkejut besar ketika menyadari ternyata istana itu jauh lebih besar dari dugaannya. Di pagar istana ada dua naga dan satu patung raksasa. Tingginya, jika ia berdiri di telapak kaki, maka kepalanya tidak sampai setinggi mata kaki.

Wiro Sableng melesat ke atas. Sampai di bawah pusar patung raksasa ia berhenti. Pemuda ini menggaruk kepala dan senyum-senyum sendiri.

“Gila, besar sekali,” serunya sambil cengengesan. “untung dia hanya patung. Kalau orang asli dengan tubuh segede ini, aku tidak bisa bayangin apa yang terjadi ketika melihat cewek mandi, hihihi....” Wiro Sableng menekap mulutnya.

“Astaga! Apa yang aku lakukan? Aku harus cepat!” Seakan diingatkan kembali dengan perjalanan waktu yang berbeda, tentang alam para dewa dan dunianya, Wiro Sableng melesat memasuki gerbang istana. Jika melihat patung penjaganya sebesar itu, tentu orang-orang istana pun memiliki tubuh yang sama besarnya. Sedangkan sosoknya yang kecil, apakah mampu melawan mereka semua, andai orang-orang yang akan ditemuinya tidak bersahabat? Dan yang paling mengkhawatirkan apakah ilmu kesaktian dari Kitab Wasiat Malaikat masih ampuh di sini?

Wiro Sableng terus berpikir cemas dan menduga-duga hingga tubuhnya memasuki gerbang istana. Ketika sosoknya menyentuh cahaya putih tipis yang membentuk dinding gaib di sepanjang pintu pagar, suara lonceng yang sangat dahsyat terdengar. Pagar raksasa yang terbuat dari berlian bergetar hebat. Murid Sinto Gendeng terbang menjauh. Patung kedua naga berwarna putih dan hitam terkelupas. Lempengan batu yang terukir berjatuhan. Menimbulkan suara berdebam ketika bongkahan menghantam lantai.

“Apa yang terjadi?”

Baru saja Wiro Sableng bertanya bingung pada dirinya sendiri, kepala naga yang sudah terkelupas mengerang ganas. Semburan angin laksana topan prahara menghantam Wiro Sableng. Pemuda ini menjerit. Mengira ia akan terhempas, dan tubuhnya akan tercabik-cabik, lantaran betapa ganas serangan angin yang menerpa. Tapi yang terjadi justru lagi-lagi membuat ia terpukau. Dari tubuhnya keluar cahaya putih kebiruan. Serangan angin dari naga putih lewat tanpa membuat tubuhnya cidera sedikitpun.

“Ya Tuhan.... menyesal aku selama ini telah meremehkan ilmu kesaktian dari Kitab Wasiat Malaikat. Sudah berapa kali nyawaku terselamatkan oleh ilmu ini?” Wiro Sableng terbang menjauh. Naga putih telah terkelupas sempurna. Sosok raksasa melesat ganas ke arahnya. Kalau sebelumnya naga ini hanya menyembur dengan hempasan angin, tidak untuk sekarang. Dari mulutnya yang terbuka lebar keluar api raksasa membuntal-buntal siap melumat habis sosok Wiro Sableng.

Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede melesat ke atas. Memapasi serangan naga itu dengan dua pukulan sekaligus.

Murka Sang Malaikat!” teriak Wiro Sableng. Dua larik pukulan sakti menyongsong ke arah gelombang dahsyat semburan. Dari kejauhan terlihat betapa tidak sebanding beradunya tenaga dalam itu. Gelombang api raksasa sebesar tiga rumah yang disatukan menelan habis ilmu pukulan yang tak lebih besar dari kepala kerbau. Kalau melihat dari sudut pandang dunia persilatan, jelas, murid Sinto Gendeng akan terbakar hangus tak tersisa. Akan tetapi, di tempat ini perhitungan manusia yang mengandalkan akal pikiran tidak berlaku sama sekali. Gelombang semburan ganas yang menggila berbalik arah, menghantam ke tuannya.

Naga putih meraung keras. Mengibaskan ekor hingga api serangan musnah tak tersisa.

Krakk!!!

Suara retakan kembali terdengar. Kini dari naga hitam pasangannya. Wiro Sableng terbelalak. Menghadapi satu naga cukup kesulitan kini harus melawan keduanya.

Seperti naga putih, begitu kepalanya terbebas, naga hitam meraung marah. Semburan angin laksana topan menerpa Wiro Sableng. Walaupun tahu, serangan angin ganas itu tidak mencelakai dirinya, tapi ia memilih menghindar, menjauh. Ia harus cepat. Tidak bisa terus berlama-lama di tempat ini yang membuat semakin banyak waktu terbuang.

“Apa yang harus aku lakukan?”

Selagi Wiro Sableng bertanya kebingungan derak retakan kembali terjadi. Kini pada patung raksasa penjaga. Kejut bukan main pendekar ini. Ia harus menghadapi tiga mahluk sekaligus dengan sosok tubuhnya yang kecil.

“Siapa berani mengacau di tempat ini?” Bentakan keras membuat pendengaran Wiro Sableng sedikit sakit. Kejadian ini membuat Wiro Sableng menjadi gelisah. Jangan-jangan Kitab Wasiat Malaikat memiliki banyak keterbatasan di tempat ini?

Patung raksasa telah terkelupas sempurna. Seorang lelaki garang dengan tombak terbuat dari emas menatap tajam ke arah Pendekar 212.

“Mahluk rendahan berani mengacau di tempat ini? Apa yang kau cari Anak Manusia?”

Seperti sebelumnya, Wiro merasakan tusukan tajam pada telinganya. Kalau hempasan gelombang suara saja mampu menerobos pelindung Kitab Wasiat Malaikat pada tubuhnya, bagaimana jika mahluk raksasa itu menyerang dengan tenaga dalam? Wajah Wiro Sableng mulai memucat.

Dua ekor naga meliuk-liuk siap meluncur ke arah Wiro Sableng. Andai mahluk raksasa itu tidak memberi tanda, sudah sejak tadi keduanya menyerang ke arahnya.

“Aku tidak tahu apa yang aku cari. Tapi aku disuruh ke sini untuk bertemu Dewi Asih Gendramani.”

“Lancang sekali bicaramu mahluk rendahan!”

Wuttt!!!

Tidak tahu kapan mahluk raksasa itu menggerakan tangannya, dalam sekejap saja sosok Wiro Sableng kini telah berada dalam genggaman. Wiro merasakan tekanan hebat pada tubuhnya. Sepertinya mahluk raksasa itu hendak meremas hancur tubuh mungilnya.

“Mahluk rendahan sepertimu tidak layak bertemu pimpinan kami!”

Mendengar bentakan keras dalam jarak sedekat itu telinga Wiro Sableng serasa mau robek. Ia berusaha keras untuk menyumbat pendengarannya dengan tenaga dalam. Sayangnya sia-sia. Hempasan gelombang suara seakan berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk gendang telinga.

“Hancur telingaku!” pekik Wiro dalam hatinya.

“Bukan hanya telingamu yang hancur mahluk rendahan! Tubuhmu pun akan kubuat remuk!”

Wiro Sableng kembali merasakan tekanan hebat pada tubuhnya. Berlipat-lipat jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Sinar putih kebiruan semakin banyak keluar dari tubuh, mencoba memberi perlindungan agar apa yang dikatakan mahluk raksasa tidak jadi kenyataan. Biar begitu, tetap saja, Wiro Sableng merasakan tubuhnya di timpa dengan batu sebesar istana kerajaan. Napas terasa sesak. Sampai berapa lama lagi mampu bertahan ia sendiri tidak tahu. Sepertinya kesaktian Kitab Wasiat Malaikat sudah sampai pada batasnya. Wiro berfikir begitu karena ia tak melihat dampak apapun pada mahluk raksasa.

Sebenarnya yang Wiro Sableng tidak ketahui adalah Ilmu Bersalin Raga Melebur Sukma hanya sebatas ilmu perlindungan diri. Kalau ia tidak menerapkan ilmu itu tentu sosoknya tidak akan sanggup memasuki alam dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi seperti yang dijelaskan oleh Resi Septuning Jagat. Dan pada saat naga putih menyembur dengan hempasan angin, tubuhnya akan berubah menjadi abu. Begitu pun ketika saat ini, dalam genggaman raksasa, sosok kecil itu masih mampu bertahan. Padahal, sudah lebih dari separuh tenaga dalam raksasa ini keluarkan untuk bisa meremuk hancur tubuh Wiro Sableng.

Tentu saja Wiro Sableng tidak tahu, kalau sejak awal sebenarnya mahluk besar ini hatinya telah dilanda keheranan yang termaat sangat.

Dengan kekuatan sebesar itu, ia mampu memusnahkan alam para dewa di tingkatan terendah. Tapi sampai saat ini, sosok mungil tidak terdampak sedikit pun oleh remasan bajanya.

Saat ia kebingungan, dalam genggaman, di mana sosok kecil berada, ia merasakan ada perlawanan hebat. Semakin lama jari jemari tangannya terasa semakin melonggar. Ia lipat gandakan kekuatan, hingga sampai pada tingkat tertingginya. Akan tetapi mirip seperti bola yang dipantulkan, semakin keras orang memukul, semakin besar pantulan yang didapatkan. Itulah yang terjadi. Dalam waktu satu kali tarikan napas, sosok Wiro Sableng terlepas. Lalu,

Desss!!!

Tubuh pemuda itu telah berubah sama tinggi dengan dirinya. Wiro telah mengeluarkan ilmu kesaktian dalam Kitab Wasiat Malaikat. Menghempas Bumi Merobek Langit.

Kedua mata lelaki ini membeliak, memutar tombaknya dengan sebat, menghantam ke kepala Wiro Sableng. Kalau sebelumnya suara saja membuat telinga Wiro kesakitan, kini, serangan seganas itu dengan mudah sekali ia elakan. Mengandalkan kecepatan geraknya, ia menghindari serangan lawan tanpa sedikitpun kesulitan.

Lelaki ini berteriak marah. Serangannya datang bertubi-tubi bak sebuah badai yang menerpa nelayan di tengah lautan. Ia berharap ada satu saja serangan yang mengenai lawannya, tapi, sampai jurus ke sembilan serangan ganasnya tidak sedikitpun mampu menyentuh.

“Gendana, Gendani!” teriak lelaki ini pada dua naga yang sejak tadi terbang berputar-putar. Mendapat perintah dari majikannya, sepasang naga ini meraung, lalu laksana anak panah keduanya menerjang ke arah Wiro.

Dalam sibuknya menghindari serangan lawan, Pendekar 212 berhasil menghalau gebukan lelaki bertombak dengan Tiupan Sangkakala. Lelaki ini menjerit keras, terhempas ke lantai istana. Sementara dua naga yang siap merobek tubuhnya menerima pukulan telak Murka Sang Malaikat. Dua naga terpental jauh ke depan. Tubuhnya gosong terbakar. Sebelum sosoknya jatuh ke lantai, nyawanya telah melayang.

“Pendekar 212, kau telah ditunggu Sang Dewi.” Suara halus nan merdu terdengar dari arah punggungnya. Wiro Sableng berbalik. Di undakan anak tangga berdiri tiga dara cantik mengenakan pakaian warna biru muda. Kain sutra yang halus dan lembut mengikuti bentuk tubuh. Akibatnya, tubuh indah ketiga gadis cantik itu seakan tercetak sempurna. Wiro Sableng sampai menelan ludah. Kedua matanya membesar.

“Apakah yang kulihat ini bidadari?” batin Wiro. Ketiga gadis di depan sana tersenyum. Saling pandang lalu yang di tengah berkata, “Kau jangan terkejut ketika melihat paras ratu kami yang ratusan kali lebih cantik. Silahkan ikuti kami. Bukankah kau tidak punya banyak waktu?”

Meskipun ia masih terheran-heran dan sangat mengagumi kecantikan tiga gadis itu, kata terakhir segera menyadarkan dirinya. Ia memang tidak punya waktu banyak. Sekali melompat ia telah berada di belakang tiga gadis tadi.

Langkah kaki membawanya masuk ke sebuah istana. Bau harum langsung menusuk hidung. Wiro Sableng menarik napas dalam-dalam, menikmati harum yang dalam perjalanan hidupnya, belum pernah ia merasakan ada wewangian seharum ini.

“Apa yang sedang kau lakukan Pendekar?”

Wiro Sableng berpaling ke sisi kiri di mana tadi ia mendengar suara. Di sana ada dua orang penjaga. Semua wanita. Berpaling ke sisi kanan juga sama. Semuanya tidak kalah cantik dengan tiga perempuan tadi.

“Gila, apakah semua orang di istana ini wanita?” pikir Wiro Sableng.

“Kau lelaki pertama yang menginjakan kaki di istana ratu.” Menerangkan salah satu penjaga. Sepertinya, semua orang di sini bisa mendengar apa yang ia pikirkan. Akibatnya, Wiro Sableng tersipu malu. Ia harus lebih hati-hati dan berusaha keras untuk tidak berfikir macam-macam.

“Aku hanya kagum dengan harum ruangan ini. Selama seumur hidup belum pernah aku merasakan aroma seharum ini.”

“Ketahuilah Pendekar, bau harum yang kau cium bersumber dari pohon bunga tanjung.”

“Bunga tanjung?” kedua mata Wiro Sableng terbelalak. “Aku tahu bunga tanjung dan juga pernah mencium baunya. Wanginya tidak seperti ini.”

Para penjaga tersenyum. Pesona kecantikan semakin terlihat jelas di mata murid Sinto Gendeng.

“Ratu kami akan menjelaskan semuanya. Silahkan kau ikuti tiga gadis tadi.”

Wiro Sableng mengangguk. Sedikit berlari ia mengejar ketertinggalan tiga gadis yang sudah berada di depan sana.

Kalau sebelumnya ia pernah terpukau dengan kebesaran istana kerajaan langit para dewa karena kemegahannya, maka, istana di sini memiliki ratusan kali lebih sempurna. Cahaya seperti bintang-bintang menghiasi atap yang tinggi menjulang. Pasak raksasa menopang kokoh. Wiro Sableng hampir tidak bisa menutup mulutnya karena kekaguman yang sangat besar. Andai pikirannya tidak lebih dulu mengagumi penghuninya, tentu bangunan megah inilah yang akan menyita perhatiannya secara penuh.

Ketiga gadis menghentikan langkah, tepat di depan cahaya putih tipis yang membentuk tabir.

“Pendekar, silahkan kau masuk. Ratu sudah menunggu di dalam.”

Wiro Sableng menggaruk kepala. Menatap bergantian ketiga gadis di depannya.

“Apa yang kau tunggu Pendekar?” setiap kata yang keluar dari bibir indahnya selalu dihiasi dengan senyuman.

“Aku ingin bertanya sesuatu tapi khawatir kalian tidak suka.”

“Apa yang ingin kau tanyakan Pendekar?”

Wiro Sableng menggaruk kepalanya terlebih dahulu sebelum kembali berkata, “Di duniaku, perempuan seberapapun tinggi dirinya, tetap derajatnya berada di bawah lelaki. Bahkan ketika ia menjadi seorang ratu, tetap ada seorang raja yang melebihi ketinggiannya. Di sini, apakah peraturan itu terbalik?”

“Kenapa kau menanyakan itu, Pendekar?”

“Karena aku melihat di tingkatan tertinggi para dewa justru kalian lah para dewi penguasanya.”

Ketiga gadis ini tersenyum. “Ketahuilah Pendekar di atas kami masih banyak tingkatan yang jauh lebih tinggi. Mereka semua dari golongan para dewa. Akalmu tidak akan sanggup memikirkan berapa banyak tingkatan alam para dewa. Bahkan tubuhmu yang sudah terlindungi ilmu dari Kitab Terlarang tetap akan lebur terbakar ketika memasuki tingkatan yang lebih tinggi dari ini. Satu hal lagi, Kitab Terlarang tercipta di sini. Dewi sendiri yang menciptakan. Bertujuan untuk memberi hukuman para dewa di tingkat terendah yang istananya kau hancurkan.”

“Dewi Asih Gendramani yang menciptakan?”

Ketiganya mengangguk.

“Jika kau jeli, bukankah tidak ada satu bangunan pun yang rusak akibat ilmu yang kau gunakan?”

Dalam kejutnya Wiro hanya bisa mengangguk.

“Aku merasa tidak enak dengan Dewi Asih karena telah mencelakai naga dan penjaga istana.”

Ketiga gadis cantik kembali tersenyum. Saling pandang lalu salah satu berkata, “Kau tidak perlu merasa bersalah. Semua sudah di atur oleh ratu kami. Sekarang, silahkan masuk. Ratu sudah menunggu di dalam.”

Ditunggu cukup lama tapi Wiro Sableng tak kunjung melangkah.

“Apa lagi yang membuatmu bimbang, Pendekar? Ingat ucapan kakek tua itu! Kamu jangan membuang-buang waktu di sini.”

Wiro Sableng menggaruk kepalanya. Mengangguk perlahan lalu melangkah, memasuki tabir cahaya. Yang terlihat kini singasana sang ratu. Ada puluhan orang dengan pangkat berbeda-beda. Semua pandangan kini tertuju ke arahnya. Benar apa yang dikatakan tiga gadis cantik tadi, Dewi Asih Gendramani memiliki kecantikan selangit tembus. Pakaian kebesaran yang dikenakan menjuntai ke lantai. Mahkota terbuat dari perpaduan intan dan emas murni menghiasi kepalanya. Rambut hitam pekat tertata rapi. Lehernya yang putih mulus tampak jenjang. Di sana juga melingkar kalung emas menjuntai selebar telapak tangan.

Seperti yang lainnya, kedua bola mata indah perempuan ini pun menatap tajam ke arahnya.

Murid Sinto Gendeng membungkuk hormat.

“Kalian semua boleh pergi!” titah Sang Ratu. Dalam sekejapan mata semua orang telah hilang dari pandangan. Di ruang istana yang sangat luas itu kini hanya ada mereka berdua.

“Pendekar 212, mendekatlah.”

Wiro Sableng mengangguk. Melangkah lebih dekat. Menaiki undakan anak tangga hingga keduanya hanya berjarak tiga langkah saja.

“Pendekar Dua Satu Dua, lihatlah apa yang akan aku tunjukan. Dan jangan sekalipun kau bertanya sebelum aku mengijinkan. Kau mengerti, Anak Manusia?”

“Saya... saya mengerti, Ratu.” Suara Wiro Sableng terdengar bergetar. Itu terjadi karena debaran jantungnya berdetak hebat. Ia juga tidak berani menatap wajah sang ratu lebih lama dari kedipan mata. Padahal hatinya ingin sekali menatap wajah cantik itu selama mungkin.

Semua itu karena ia menyadari betapa besar jasa Sang Ratu atas dirinya, juga ia tidak ingin melakukan kesalahan sedikit pun di tempat ini. Wiro Sableng sangat hati-hati. Jangan sampai sikapnya yang ceriwis dan celamitan ketika melihat gadis cantik menjadikan dirinya gagal dalam tujuan untuk menyelamatkan dunia.

Dewi Asih Gendramani menggerakkan kedua tangannya. Seketika tempat di mana mereka berada berubah menjadi taman bunga yang sangat indah. Di antara banyak bunga-bungaan di sana juga ada satu pohon tanjung. Bau harum terasa santar dari bunga tanjung yang mulai bermekaran.

Dewi Asih Gendramani memetik satu bunga tanjung. “Kau tentu mengenal seorang gadis yang menghiasi keningnya dengan bunga ini? Cukup kau anggukan kepala jika benar.”

Wiro Sableng mengangguk perlahan. Diam-diam ingatannya terbang jauh ke Negeri Latanahsilam dulu. Di sana ia kenal dekat dengan gadis cantik bernama Luhcinta. Kemana dia kini? Apakah sama seperti yang lain, tersedot ke Tanah Jawa atau tertinggal di sana?

“Bunga ini aku titipkan pada jiwanya.” Dewi Asih melepas bunga itu. Bagaikan gasing, bunga itu berputar. Dari putaran samar-samar terlihat sosok bayi. Semakin lama, semakin jelas. Bunga tanjung terbenam ke dalam tubuh bayi lucu menggemaskan.

“Sejak dalam kandungan, aku telah menanamkan bunga ini di jiwanya. Dari cinta dan kasih sayang para dewi ia hidup. Tidak melangkah di muka bumi selain cinta dan kasih yang ditebarkan. Sampai kematian datang, cinta dan kasih akan menjadi pengiringnya. Karena itulah, aku memberikan nama paling indah untuknya. Luhcinta. Sebuah nama yang kugerakan pada hati seorang nenek yang mengasuh dirinya sejak bayi.”

Wiro Sableng terkejut ketika bayi mungil itu secara perlahan-lahan berubah menjadi anak-anak, lalu remaja hingga akhirnya sosok yang sangat ia kenal. Hampir saja meluncur panggilan nama untuk gadis cantik itu dari mulutnya. Beruntung ia ingat dengan peraturan Sang Dewi, untuk tidak bersuara saat Dewi bicara.

“Bunga tanjung yang ada di kening itu hanya hiasan. Bisa layu dan dia selalu menggantinya dengan yang baru. Dalam hidupnya dia ditakdirkan hanya mencintai satu pemuda. Dari cinta yang suci dan tulus itulah, malapetaka yang menimpa duniamu akan sirna. Kabut Kematian yang selama ini menghantui dunia manusia akan hilang. Kami sudah memberikan ilham ke salah satu orang yang kau kenal lewat mimpi mereka. Tapi sayangnya, mereka salah mengartikan. Walau demikian, kau tidak harus menyesali mengenai pernikahanmu, karena itu juga bagian dari takdir hidup yang harus kau jalani.” Dewi Asih Gendramani berpaling ke arah Wiro Sableng.

“Sekarang kau boleh bicara, Anak Manusia.”

“Jika melihat dari keterangan Ratu, harusya yang aku nikahi Luhcinta?”

Dewi Asih mengangguk. “Kekuatan bunga tanjung dari taman para dewi, dan kebesaran cinta seorang gadis, ketulusan kasih dari hati yang suci, hanya itu yang mampu memusnahkan Kabut Kematian, atau Kabut Buta orang-orang Kerajaan Perut Bumi.”

Wiro Sableng terdiam. Yang dipikirkannya saat ini bukan tentang penolakan untuk menikahi Luhcinta, tapi memikirkan bagaimana perasaan istrinya saat tahu kalau ia harus mendua? Tantu hati Ratu Duyung akan hancur. Di samping itu juga ia tidak tahu keberadaan Luhcinta.

“Seperti halnya dirimu yang rela berkorban, rela kehilangan orang yang kau inginkan saat kau menikahi gadis dari dasar samudra itu, istrimu yang sekarang pun harus siap dan rela melihat dirimu menikahi seorang gadis yang akan menjadi penyelamat umat manusia.”

Wiro Sableng menjadi termanggu. Selain mampu membaca hati, Dewi Asih juga tahu banyak tentang kehidupannya. Terutama mengenai perjalanan cintanya. Ia melihat Dewi Asih menuip sosok Luhcinta. Seketika tubuh gadis cantik dari Latanahsilam itu memudar, lalu menghilang, bersama hilangnya taman bunga. Berganti dengan ruang hampa nan gelap yang dipenuhi ribuan bintang raksasa. Yang paling besar berada di depannya, satu garis lurus dengan sebuah bunga tanjung raksasa yang terbentuk dari kepingan batu bercahaya. Dewi Asih melangkah ke arah bunga tanjung sebesar lima kali pemelukan dirinya. Di ambilnya satu keping batu yang tidak bercahaya. Batu berlian berbentuk bintang sebesar telapak tangan ternyata hanya sebuah wadah. Di tengahnya ada lubang berukuran sebesar ibu jari kaki. Membentuk segi delapan.

“Kau tahu isi dari batu bintang ini?”

Wiro Sableng menggeleng.

“Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa batu ini tidak bercahaya? Padahal yang lain memancarkan cahaya yang sangat terang.”

Dewi Asih melihat ke arah bintang yang paling besar. “Itulah Gugus Bintang Kehidupan. Dari sanalah kekuatan di seluruh jagat raya tercipta. Tapi, tanpa batu keabadian, kekuatan tidak akan bertahan lama. Kurang dari seribu tahun, bintang itu akan meredup, kehilangan sumber kekuatannya. Bunga tanjung ini tersusun dari seratus Batu Keabadian. Dan kini hanya tertinggal sembilan puluh sembilan. Yang aku pegang dan tidak memiliki cayaha ini, kehilangan batunya. Salah satu dewa serakah telah mencuri batu ini.”

Dalam perjalanan, Resi Septuning Jagat bercerita secara singkat mengenai siapa penguasa Kerajaan Perut Bumi. Dialah Kamaswara, seorang dewa terkutuk yang telah mencuri Batu Keabadian. Sedikitnya Wiro tahu kisah kekacauan negeri para dewa kala itu. Tapi, yang ia tidak tahu, bagaimana cara dewa picik itu masuk ke alam sini dan mencuri Batu Keabadian. Padahal, semua para dewa tahu, jangankan untuk mencuri, masuk ke sini saja mereka hangus terbakar.

Dewi Asih Gendramani yang tahu pikiran Pendekar 212 tersenyum. Untuk pertama kali saat pertemuan, ratu agung yang sangat cantik ini memamerkan betapa kuat pesonanya kala senyum menghias bibir. Wiro Sableng sampai salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke bunga tanjung.

“Apa yang kau pikirkan benar, Anak Manusia. Para dewa itu akan langsung terbakar saat berani masuk ke kerajaanku. Karena itu, dia memperdayai salah satu kepercayaanku. Lewat tangannya, dewa terlaknat berhasil mencuri Batu Keabadian. Karena itulah, aku meminta kau mengambil kembali batu itu dari tubuhnya. Simpan ini.” Dewi Asih Gendrramani memberikan batu bintang yang dipegannya. Wiro Sableng sambuti, menyimpan batu itu di balik pakaian.

“Kau tidak perlu khawatir dengan kedahsyatan Batu Keabadian yang ada pada tubuh Kamaswara.” Dewi Asih menggerakan tangannya sedemikian rupa. Cahaya putih pekat membentuk lingkaran di telapak tangan kanan. Lalu secara ajaib sebuah kitab telah tergenggam.

“Lepas pakaianmu, duduk bersila di atas batu sana.”

Wiro Sableng melihat ke arah tunjukan. Sebelumnya disana tidak ada apa-apa. Mengapa tiba_tiba ada batu pipih? Wiro Sableng tidak bisa berpikir lama. Sekali melompat ia telah berada di atas batu. Melepas pakaiannya dan duduk bersila.

“Kau akan merasakan tubuh seperti terbakar, tercabik-cabik, tapi bertahanlah. Semua kesakitan itu hanya berlangsung singkat. Kau akan merasakan perbedaan yang besar setelahnya.” Kitab berwarna hitam bergambar bintang di lempar ke udara. Melesat ke arah kepala Wiro Sableng. Meskipun sekilas, Wiro dapat melihat tulisan yang tertera dalam sampul kitab itu. Kitab Seribu Bintang. Inilah kitab yang maha sakti yang dikatakan Resi Septuning Jagat selama dalam perjalanan.

“Pejamkan matamu, Pendekar 212.” Dewi Asih Gendramani menggerakan kedua tangannya. Kitab mengambang satu jengkal di atas kepala Wiro Sableng. Dari kitab itu keluar cahaya biru muda. Menyambar ganas masuk ke dalam kepala Wiro. Mula-mula ia merasakan hawa sejuk menerpa seluruh tubuh. Lalu, semakin lama hawa sejuk berubah menjadi hangat. Dan seperti yang dikatakan Dewi Asih, tubuhnya mulai terasa panas seakan terbakar kobaran api.

Wiro Sableng menggigit bibir bawahnya agar mampu bertahan dari sengatan api yang sangat menyiksa. Hampir saja ia pingsan manakala lumatan api yang terasa menghanguskan tubuhnya. Tak kuat lagi menahan rasa sakit yang teramat sangat, Wiro Sableng menjerit. Ia hampir saja melompat kalau Dewi Asih tidak mengingatkan.

“Tetap di tempatmu, Pemdekar 212!”

Wiro Sableng merasakan tubuhnya hancur tekutung-kutung. Jerit kesakitan terus menggila dari mulutnya. Saat dirinya sudah benar-benar tak mampu bertahan, dan hendak membatalkan semua rangakain pengalihan ilmu kesaktian Kitab Seribu Bintang, rasa sakit yang menyiksa mulai berkurang. Hingga akhirnya hilang tak tersisa.

Wiro Sableng menarik napas dalam-dalam. Meragap tubuhnya. Masih utuh. Ia mengira telah menjadi abu. Dewi Asih Gendramani tersenyum manis sekali.

“Kau sudah boleh bangun dan mengenakan kembali pakaianmu.”

Wiro Sableng menggaruk kepala. “Gila bener! Aku hampir mati dibuatnya.” Wiro mengumpat dalam hati. Dewi Asih kembali tersenyum.

“Sebenarnya ada banyak cara menguasi ilmu kesaktian dari kitab itu, tapi kau sudah tidak punya waktu. Karena itulah aku mengambil jalan tercepat. Seluruh isi kitab telah kau kuasai. Kau merasakan perubahan atas dirimu, Anak Manusia?”

Wiro Sableng mengamati tubuhnya. Menggerak-gerakkan tangan ke sana kemari. “Jauh lebih ringan. Dan tenaga dalamku seakan meningkat puluhan kalilipat.”

“Karena di alam ini tubuhmu berada dalam pengaruh ilmu dari Kitab Terlarang, maka tidak terlalu terasa. Nanti saat kau kembali ke alammu, kau akan merasakan perbedaannya.”

“Saya mengucapkan banyak terima kasih atas semua yang Ratu berikan.”

Dewi Asih kembali tersenyum.

“Ada satu hal yang harus kau ketahui. Sebelum kau mengambil Batu Keabadian dari dalam tubuh Kamaswara, pastikan dulu, salah satu kaki tangannya yang memiliki kesaktian langka, Ilmu Penjerat Sukma berhasil kau bunuh. Karena jika kau sampai terperangkap, maka sampai dunia kiamat kau belum tentu bisa keluar dari jeratnya.”

“Ilmu Penjerat Sukma?”

“Bukan hanya sukma dari orang yang masih hidup, mereka yang telah mati pun akan menjadi bagian dari kekuatannya.”

“Mungkinkan Bunga pun berada dalam sekapannya?” Wiro Sableng hanya berani mengajukan pertanyaan dalam hati. Dewi Asih yang tahu mengangguk perlahan.

“Kekasihmu dari alam roh tidak lepas dari jeratannya. Juga Perempuan dari Latanahsilam. Dan banyak lagi lainnya.”

“Pantas, beberapa kali aku memanggil Bunga tidak pernah datang.”

“Pendekar Dua Satu Dua, ada lagi yang ingin kau tanyakan?” Dewi Asih Gendramani telah mengembalikan keadaan seperti semula. Kini keduanya telah berada dalam sebuah istana. Wiro Sableng membungkuk hormat.

“Sepertinya sudah tidak ada, Ratu.”

Dewi Asih Gendramani memutar kedua tangannya. Perlahan-lahan cahaya putih membentuk pusaran keluar di hadapan keduanya.

“Masuklah. Cahaya itu akan membawamu ke perbatasan antara dunia manusia dan alam para dewa.”

Untuk kesekian kalinya Murid Sinto Gendeng membungkuk hormat. Di dahului ucapan terima kasih ia masuk ke dalam pusaran cahaya sebesar pintu rumah. Perlahan-lahan sosoknya memudar, hingga akhirnya menghilang.

Bab 10

Puluhan kapal perang memasuki kawasan pelabuhan Kesultanan Banten. Pasukan gabungan dari beberapa kerajaan di Pulau Andalas telah tiba. Walau mereka cukup kesulitan lantaran jarak pandang terhalang kabut. Tapi tidak membuat keterlambatan terlalu jauh dari rombongan lain, yang telah lebih dulu sampai. Bahkan dalam kesulitan pelayaran itu, berkat pertolongan kakek sakti dari Pulau Andalas, mereka sampai di perairan Selat Sunda. Sepanjang perjalanan tak ada satu kapal pun yang saling bentur. Berbanding terbalik dengan rombongan yang datang satu minggu lebih awal. Pasukan yang datang dari gabungan semua kerajaan yang ada di Pulau Jawa bagian timur harus mengalami kerugian yang cukup besar, lantaran lebih dari sepuluh kapal perang mereka hancur dan beberapa tenggelam akibat benturan hebat. Ratusan prajurit gugur sebelum berperang. Andai saja mereka bisa melihat dengan jelas, tentu, bulu kuduk masing-masing langsung berdiri. Gigil tubuh menyiutkan semangat untuk melanjutkan perjalanan. Bagaimana tidak? Akibat dari tabrakan hebat itu, ratusan nyawa melayang dengan tubuh hancur tergencet. Kepala meledak, darah muncrat di segala tempat. Dalam sekejap air laut di Pelabuhan Kesultanan Banten yang berwarna biru berubah merah. Jerit kesakitan memenuhi tempat sekitar.

“Kami menunggu perintahmu selanjutnya, Orang Tua.” Seorang lelaki tinggi bertubuh kekar membuka suara. Melihat dari pakaian kebesaran yang dikenakan, tentu, semua orang sudah dapat menduga, kalau lelaki ini salah satu pimpinan tertinggi dalam rombongan. Senopati Jayarendra.

Orang Tua yang dimaksud bukan lain adalah seorang tokoh besar dedengkot persilatan yang ada di Pulau Andalas. Siapa lagi kalau bukan Nyanyuk Amber.

Orang tua ini menengadah, lalu seolah melihat, ia berpaling ke arah Senopati Jayarendra seraya berkata, “Beri tanda kalau kurang dari seratus tombak lagi kita sampai dermaga.”

Jayarendra mengangguk. Pada anak buahnya ia memberi perintah. Dua orang berlari ke lantai atas. Tanda dibunyikan. Alunan terompet besar menggema. Diakhiri dengan tiga kali suara gendang raksasa.

Mendengar tanda itu, para pemimpin kapal-kapal lain memberi perintah untuk memperlambat laju kapal.

“Sepertinya, musibah besar telah terjadi di tempat ini.”

Anggini dan Pandansuri sama berpaling ke arah si kakek.

“Apa maksudmu, Kek?” tanya Anggini kemudian.

“Aku mencium banyak darah tergenang di mana-mana.”

“Apa mungkin semua ini perbuatan orang-orang Kerajaan Perut Bumi, Kakek Guru?” yang bertanya Panji.

Orang Tua bermata putih menggeleng. “Aku tidak dapat memastikan. Kalian masih ingat pesan orang tua sakti itu?”

Anggini, Pandansuri dan Panji saling pandang. Lalu ketiganya mengangguk. Sementara Jayarendra memperhatikan dengan saksama.

“Ilmu andalan orang-orang Kerajaan Perut Bumi kita sudah tahu kelemahannya, akan tetapi, kita harus tetap waspada. Menurut orang tua buta waktu itu, musuh kita yang sekarang benar-benar berbeda dari sebelumnya. Yang kita hadapi bukan hanya orang-orang sakti dari golongan manusia, tapi juga dari bangsa jin, bahkan mahluk yang lebih tinggi lagi.”

“Jika musuh sekuat itu, lalu apa yang kita andalkan Orang Tua? Apa hanya dengan gabungan seluruh pasukan kerajaan-kerajaan dari Pulau Andalas dan Pulau Jawa serta pulau-pulau lainnya sudah mampu mengimbangi? Atau kedatangan kita hanya akan mengantarkan nyawa ke sana?”

Semua orang yang ada di ruangan itu kini menatap cemas kepada Nyanyuk Amber. Jika benar apa yang dikatakan, sungguh, tidak ada peperangan yang paling konyol selain dari apa yang kini mereka lakukan.

“Ada banyak misteri sejak kemunculan Kerajaan Perut Bumi, termasuk dalam hal penyusunan rencana orang-orang dunia persilatan. Percayakan saja semuanya kepada mereka. Aku yakin, orang tua itu punya rencana besar. Segala tanya yang ada di benak kita semua, akan terjawab ketika kita sampai di tempat perjanjian, Ujung Kulon Pulau Jawa.”

Puluhan kapal telah berlabuh. Pasukan dari Kesultanan Banten menyambut hangat kedatangan rombongan dari seberang.

“Sampaikan kepada Sultan kalau pasukan dari tanah seberang telah tiba.” bisik perwira muda. Lelaki yang mendapat perintah mengangguk. Sekali menggebrak kuda yang ditunggangi, sosok lelaki ini telah menghilang ditelan kabut.

Menjelang magrib ia telah sampai di kotaraja. Suara bedug pertanda waktu solat telah masuk terdengar di mana-mana. Di persimpangan jalan pemuda pembawa pesan ini bertemu dengan Pangeran Aji Triyasa. Pemuda gagah keponakan sultan beru pulang dari menyambangi gurunya di puncak Gunung Karang.

“Pangeran,” begitu mengenali dengan siapa ia berhadapan, lelaki ini buru-buru membungkuk hormat.

“Ada berita dari perbatasan?” tanya Aji Triyasa.

Lelaki ini mengangguk. “Benar Pangeran. Saya disuruh menyampaikan pesan ke sultan kalu rombongan dari seberang telah datang.”

Kedua mata Aji Triyasa sedikit melebar. Bukan hanya terkejut dengan berita yang didengar, tapi juga ingatan beberapa bulan lalu kembali datang.

“Sepertinya ucapan orang tua sakti waktu itu bukan hanya gurauan semata. Tanah Banten akan menjadi puncak pertempuran mahadahsyat sepanjang sejarah umat manusia.”

Aji Triyasa mengajak prajurit itu menemui Sultan. Memasuki gerbang istana ia menuju masjid kesultanan. Solat berjamaah sudah lama usai. Meskipun kabut menutup seluruh pandangan, para petinggi kerajaan dan orang-orang istana tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Seusai solat berjamaah mereka berdiskusi ringan sambil menunggu waktu solat isya. Beberapa lainnya memilih tadarus dari surat-surat Al-Qur’anyang dihapal.

“Kau mau ikut solat? Atau menungguku di sini?” tanya Aji Triyasa pada prajurit. Andai raut wajah itu terlihat jelas tentu akan tergambar betapa tidak nyaman hati prajurit ini. Dirinya ingin menolak, yang terjadi justru mulutnya mengiyakan.

Pemuda ini tersenyum dan menuju sudut ruangan untuk melaksakan solat magrib. Selesai menunaikan kewajiban ia langsung menghampiri para petinggi kerajaan. Di sana juga ada ayahandanya.

Api besar yang dijadikan penerangan membuat wajah-wajah terlihat jelas. Pun dengan wajah dirinya. Begitu Sultan mengenali, lelaki ini langsung menyapa.

“Kau sudah kembali dari menyambangi gurumu?”

Aji Triyasa mengangguk. Menyalami para petinggi kerajaan terlebih dahulu, baru kemudian ia membuka suara.

“Mohon maaf jika kedatanganku mengganggu Ayahanda Sultan dan Bapak-bapak semua. Ada hal penting yang harus segera saya sampaikan. Dalam perjalanan ke sini saya bertemu prajurit dari pelabuhan.”

Sebelum sultan dan lainnya menanyakan lebih lanjut, Aji Triyasa memanggil prajurit untuk mendekat.

“Sampaikan apa yang kau ketahui di pelabuhan.”

Prajurit mengangguk lalu membungkuk hormat kepada Sultan dan para petinggi kerajaan.

“Rombongan dari seberang telah datang. Lebih dari lima puluh kapal perang memenuhi pelabuhan. Oleh pimpinan saya ditugaskan untuk menyampaikan ini ke Baginda Sultan.”

Sultan mengangguk perlahan, menatap sekilas para menterinya. “Tujuh hari lalu rombongan dari gabungan kerajaan di Jawa bagian tengah. Lalu di susul dengan Jawa bagian timur. Sekarang dari seberang. Jika seluruh pasukan kerajaan itu bergabung di Ujung Kulon, berarti apa yang dikatakan orang tua waktu itu tidak main-main, kalau Tanah Banten akan banjir darah hingga genangannya akan membanjiri seluruh kota.”

“Sejak kabut ini menyelubungi seluruh kota, banyak huru-hara. Ratusan orang menghilang. Hewan-hewan ternak dan lumbung-lumbung padi seakan tenggelam ke dasar bumi. Mungkinkah mereka semua dibawa ke Kerajaan Perut Bumi?” salah seorang petinggi kerajaan mengajukan pertanyaan. Beberapa orang menganggukan kepala. Sisa lainnya lebih memilih diam, menunggu jawaban pasti dari Sultan.

“Jika menilik dari keterangan orang tua itu, yang terjadi sejak kabut ini menghantui, kemungkinan besar mereka di bawa ke kerajaan.” Pada Aji sultan bertanya, “Masih ada yang ingin disampaikan?”

Aji Triyasa mengangguk. “Orang tua itu juga berpesan agar kita segera mengirim pasukan terbaik ke Ujung Kulon.”

Sambil tersenyum sultan mengangguk. “Semuanya sudah saya pikirkan. Ba’da solat subuh, pasukan terbaik kerajaan berangkat.”

“Jika Ayahanda Sultan mengijinkan dan Ayahanda merestui, saya ingin ikut tugas ini.”

Sultan ganda tersenyum. Sementara ayahnya Aji Triyasa sendiri menggeleng tidak setuju. “Kau sudah menjalankan tugas berat untuk kerajaan. Kali ini, biarkan para prajurit khusus yang menyelesaikan.”

Karena saat itu dihadiri banyak para petinggi kerajaan, mau tidak mau Aji Triyasa menurut saja apa yang dikatakan orang tuanya. Lain halnya saat di rumah. Pemuda ini bersikeras membujuk ayahandanya agar mau merestui kepergian dalam membasmi bergundal-bergundal Kerajaan Perut Bumi.

Awalnya keputusan sang ayah tak dapat dirubah. Akan tetapi, setelah sekian lama berdebat panjang akhirnya ijin meluncur dari ayah dan ibundanya.

“Kembalilah hidup-hidup anakku.”

Sepasang suami istri ini memeluk anaknya. Aji Triyasa membalas dekapan kedua orang tuanya.

“Nyawaku berada di tangan-Nya, Ayah. Maafkan anakmu, tidak mampu menjanjikan itu. Andaipun kematian telah ditakdirkan untukku, percayalah padaku, Ayah, Ibu, di sana, di sisi Tuhanmu, aku berbahagia, bersama orang-orang yang kucinta, para kekasih Tuhan.”

Air mata mengalir deras dari kedua paruh baya ini.

“Tidak ada kebahagiaan, selain berakhirnya hidup di jalan kebenaran. Aku mati membela negeriku yang menjadikan norma agama sebagai pondasinya. Bukankah kematian semacam itu tergolong syahid? Itu kan yang sering Ayah tanamkan padaku sejak dulu?”

Ayahnya mengangguk perlahan. Berjalan menuju lemari hias. Sementara ibunya enggan untuk melepas pelukan anak semata wayang.

“Menjadi Syuhada tidak harus di medan perang anakku.”

“Benar Ibunda. Tapi apa artinya ilmu dunia dan ilmu akhirat yang kudapat selama ini, jika negara membutuhkan aku justru berpangku tangan?”

“Sultan tahu, keinginanmu tidak bisa dihentikan. Kerena itulah, dia menitipkan ini padaku.” Lelaki ini menyerahkan sebuah keris kepada anaknya.

“Senjata Pusaka Kerajaan?”

Ayahnya mengangguk. “Ambilah anakku. Dengan pusaka ini tidak sembarang orang bisa mengalahkanmu. Semoga Gusti Allah meridhoi.”

“Terima kasih Ayah.” Aji Triyasa menyimpan senjata itu di balik pinggangnya. Diiringi do’a kedua orang tuanya ia bergabung ke dalam pasukan yang kini sedang mempersiapkan segalanya untuk perjalanan ke Ujung Kulon.

Bab 11

“Bocah geblek! Berapa kali aku bilang, jangan narik-narik celanaku. Kalau talinya putus aku bisa kedodoran.” Setan Ngompol memaki panjang pendek. Berulang kali ia menaikan celananya, tapi Naga Kuning selalu menarik dari belakang.

‘Kalaupun talinya putus, dan celanamu melorot, aku jamin tidak satu pun yang sudi liat kek. Apalagi di hutan belantara diliputi kabut buta begini. Di tengah perkampungan, siang bolong, aku yakin, semua orang tidak sudi melihat barang rongsokan jelek begitu. Siapa yang mau kena kutuk tujuh turunan?” Naga Kuning tertawa ngakak. Kakek Setan Ngompol mendekap mulut si bocah.

“Bocah konyol! Kau lupa kita sedang berada di mana. Kecilkan suara tawamu!”

“Maaf, Kek. Habis lucu saja rasanya membayangkan kutukan akibat melihat timun busuk milikmu.” Tawa Naga Kuning hendak kembali meledak, akan tetapi buru-buru ia mendekap mulutnya dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan memperbaiki sosok tubuh yang didukungnya. Rupanya anak ini sedang membawa seekor rusa besar.

“Jalanmu jangan cepat-cepat, Kek. Kamu enak tidak bawa apa-apa. Aku bisa mati kecapean.” Lagi-lagi Naga Kuning menarik kolor Setan Ngompol. Celana komprang bau pesing itu melar sampai dua jengkal.

“Bocah Setan! Sekali lagi menarik celanaku, aku potong tanganmu!”

Habis menghardik Setan Ngompol kembali berlari. Tak pedulikan Naga Kuning yang kerepotan membawa rusa yang besarnya melebihi tubuh si bocah.

“Kakek sialan! Awas aja nanti gilirannya. Tidak akan kukasih ampun!”

Memasuki rimba belantara, Setan Ngompol memperlambat larinya. Cahaya matahari yang redup, terhalang daun rindang membuat pandangan dalam kabut semakin gelap.

“Nah, sekarang giliranmu, Kek.” Enak saja Naga Kuning melempar rusa ke punggung si Kakek. Karena sudah sesuai kesepakatan, setengah dalam perjalanan harus bergantian. Setan Ngompol meskipun bibir manyun, hati kesal, akhirnya sambuti juga. Beban berat sepanjang perjalanan yang sedari tadi mengganggu langkah Naga Kuning kini berpindah ke bahu si Kakek.

“Uhhh,... enak sekali rasanya tubuhku.” Naga Kuning menggeliat memamerkan pundaknya yang tak lagi terbebani. Setan Ngompol hanya bisa mengumpat yang diakhiri dengan tawa mengejek si bocah.

“Ayok, Kek, kita harus cepat. Takutnya orang-orang Kerajaan Perut Bumi menemukan kita.”

Serrhhhh!!!

Bersamaan dengan gemericik air yang membasahi bagian bawah tubuh si Kakek, Naga Kuning telah melesat meninggalkan dirinya.

“Bocah Jahanam! Aku remas biji kemenyanmu.” Setan Ngompol ikut berlari. Namun ia tidak bisa bergerak secepat Naga Kuning. Bocah konyol itu telah hilang dari pandangan, bahkan suara tawanya sudah tidak terdengar, pertanda jarak keduanya sudah terlalu jauh.

“Keparat kau Naga Kuning! Tega sekali meninggalkanku sendirian.” Sepanjang perjalanan bagian bawah tubuhnya tiada henti mengucurkan air. Rasa takut kalau-kalau orang-orang Kerajaan Perut Bumi memergokinya, membuat peluh dan air kencing membanjir deras.

“Berhenti atau aku penggal batang lehermu!”

Serrhhhh!!! Lagi, perabotan busuk itu mengeluarkan isinya.

“Siapa?”

“Kakek doyan ngompol! Hanya ada dua pilihan untukmu. Mengorek jantungmu sendiri atau aku meremas hancur perabotanmu.”

“Naga Kuning, jangan main-main!” Setan Ngompol memandang sekeliling. Tidak ada yang terlihat selain bayangan pohon besar dan semak belukar. Ia berharap itu suara Naga Kuning, meski hati dan pikirannya menyangkal keras.

“Siapa yang kau sebut Kakek bau pesing? Tidak ada nama Naga Kuning di sini! Apalagi Naga Merah, Naga Hijau. Yang ada naga busuk milikmu yang sebentar lagi aku cincang karena kencing sembarangan di hutan larangan.”

“Hutan larangan?” Setan Ngompol kembali mengucurkan air kencingnya. Walau ketakutan setengah mati, setidaknya kini ia sudah dapat menduga, orang yang bicara bukan dari gerombolan Kerajaan Perut Bumi. Karena sekalinya bertemu, manusia-manusia laknat itu hanya meminta menyebutkan nama lalu membunuhnya. Tidak mengurusi soal pantangan.

“Kau demit penunggu hutan ini?” tanya Setan Ngompol. Ditunggu sampai berapa lama tak ada jawaban. Kakek ini semakin meyakini dugaannya.

“Demit penunggu hutan, demi para setan yang ada di sini, aku tidak bermaksud melanggar aturan. Aku tidak bermaksud mengotori tempatmu ini. Semua terjadi karena ketidak sengajaan. Perabotanku kena penyakit aneh. Aku tidak bisa mengontrol air kencingku.”

“Kakek Bau Pesing, cepat tentukan pilihanmu! Mengorek jantung sendiri atau kuremas habis perabotanmu!”

“Aku tidak akan melakukan apapun!”

“Hmmm.... begitu.”

Setan Ngompol bersikap waspada. Pandangan dan pendengaran ditajamkan. Saat itulah ia merasakan sambaran keras dibawah pusarnya.

“Setan alas! Dia benar-benar mengincar perabotanku!” Kakek bermata jereng ini melompat setinggi satu tombak menghindari serangan. Bersamaan dengan itu ia siap membalas serangan, tapi, tawa cekikikan membatalkan niatnya.

“Bocah Jahanam kurang ajar! Berani-beraninya kau ngerjai orang tua!”

“Lihat tuh, Kek, tidak ada satu orang pun yang sudi melihat terong busukmu kan?”

Terkejut Setan Ngompol melihat ke arah bawah. Dan makian pun meluncur tiada henti ketika menyadari perabotannya gondal-gandil tanpa pelindung. Naga Kuning telah memutus tali pengait celananya. Haya kutuk serapah yang terdengar diiringi gelak tawa si bocah.

Berjalan selama sepeminuman teh Naga Kuning berbisik ke Setan Ngompol. “Kau merasakan sesuatu Kek?”

Sebelum menjawab Setan Ngompol memperbaiki dulu beban di bahu kanannya. “Aku rasa kita ada yang mengikuti,” jelasnya kemudian. Naga Kuning mengangguk.

“Apa yang akan kita lakukan, Kek?”

“Jalan saja terus. Kalau mereka menghadang, baru kita hajar.”

Baru saja Setan Ngompol menyelesaikan kalimatnya, dari belakang terdengar suara tawa.

“Sepertinya dua ekor kelinci itu sudah tahu sedang kita ikuti kawan-kawan.”

“Jika begitu, apa boleh buat. Kita langsung panggang saja, Darma.” Menyahuti kawan di sebelahnya.

“Hmmm.... memanggang mereka soal mudah. Kalian ada yang tahu dua kecoa busuk ini?” enam bayangan hitam berkelebat, mengurung Naga Kuning dan Setan Ngompol. Seperti yang sudah dijeaskan di awal, meskipun semua orang kesulitan memandang lantaran terhalang kabut yang membutakan mata, tidak dengan orang-orang Kerjaan Perut Bumi. Karenanya, mereka langsung menyadari ketika orang yang diikuntitnya saling berbalas bisik.

“Satu seorang kakek bau pesing, mata jereng kepala botak. Hanya ada satu dengan ciri-ciri manusia seperti itu di dunia ini. Siapa lagi kalau bukan manusia dengan julukan Si Setan Ngompol. Sedang bocah berambut jabrik ini di kenal dengan julukan Naga Kuning. Hmm.. sepertinya hari ini kita dapat rezeki besar, Darma. Kalau tidak salah mereka sahabat dekat Pendekar 212. Manusia terkutuk yang sedang kita cari-cari keberadaannya.”

“Hahaha.... kalau begitu, mari kita berebut pahala.” Seru Darma di tengah tawanya. Setan Ngompol dan Naga Kuning yang sejak tadi sudah siap siaga melipat gandakan ketajaman pendengarannya.

“Kau ingat dengan perkataan Kakek Segala Tahu?” bisik Naga Kuning. Kedua tangannya terlihat bergetar halus, pertanda pukulan sakti siap lepas kala diperlukan.

“Kau tidak perlu khawatir. Aku selalu mengingat setiap kata yang keluar dari mulut orang tua buta itu. Yang penting sekarang, lipatgandakan pendengaran , saling percaya dan saling melindungi.”

“Darma, serahkan dua ekor kelinci ini padaku.” Terdengar suara dari arah kiri, tapi suara berdesis pertanda pukulan siap dilepaskan justru dari arah sebaliknya.

“Awas, serangan tipuan, dari kanan!” teriak Naga Kuning memperingatkan seraya melompat ke arah depan. Setan Ngompol sendiri, tanpa diberi sudah mengetahui datangnya serangan. Karenanya, begitu Naga Kuning teriak ia ikut melompat. Setelah memastikan serangan lawan menembus bumi, keduanya melepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.

Bumm!!! Bummm!!! Bumm!! Bumm!!

Empat ledakan dahsyat mengguncang tempat sekitar. Gumpalan debu menutupi pemandangan, bercampur menjadi satu dengan Kabut Buta. Jika sebelumnya orang-orang Kerajaan Perut Bumi mampu melihat dengan jelas, tidak untuk kali ini. Debu hasil ledakan membutakan mata mereka semua.

“Keparat itu sepertinya tahu kelemahan ilmu andalan kita, Darma!” teriak sambil terbatuk-batuk lelaki yang barusan melepaskan pukulan Lima Kutuk dari Perut Bumi. Baru saja ia menyelesaikan ucapannya, dari kiri ia merasakan tangannya terbetot keras, lalu krakkk!!!

Bersama jerit kesakitan tulang siku sebelah kiri lelaki ini patah.

“Keparat Jahanam, pengecut!” Darma sebagai pimpinan melompat keluar dari gumpalan debu sisa ledakan. Jeritan kembali terdengar dari dalam gumpalan. Dua sosok tubuh mencelat mental. Yang satu melejang-lejang. Tangan kirinya patah, di bagian dada tepat di arah jantung melesak. Hantaman sekeras itu tidak ada harapan untuk hidup. Dan memang benar, seketika kemudian anak buahnya mati di depan matanya sendiri.

Sedangkah yang satunya lebih mengerikan. Kepala hancur tidak tersisa. Darah membanjir deras dari bekas ledakan. Tudung yang biasa menutupi bagian kepala entah hilang kemana. Saat sosoknya melesat lelaki ini sudah tidak bernyawa.

“Keluar kalian dari debu laknat itu!” teriak Darma. Tiga orang yang tersisa keluar dari bekas ledakan. Dan betapa bergidiknya mereka ketika menyaksikan dua temannya mati dengan kepala hancur mengerikan.

Setelah berhasil mematahkan siku lawan, Naga Kuning tidak memberi kesempatan sedikitpun pada lawannya. Sekali membetot ia hantam tinju kanan ke bagian dada. Lelaki itu mencelat keluar. Pada Setan Ngompol ia memberi tanda untuk segera meninggalkan tempat itu. Setan Ngompol sendiri hanya punya satu kesempatan dari seribu kemungkinan nyawanya melayang. Karenanya, begitu ia berhasil mengelabui musuh dengan meledakan tempat sekitar, rusa yang menjadi beban ditubuhnya dilempar ke sembarang tempat. Dengan gerakan kilat ia melompat ke salah seorang yang dirasa paling dekat dengan dirinya. Pukulan yang dilepaskan tidak tanggung-tanggung, separuh tenaga dalam ia alirkan. Akibatnya seperti yang sudah kita lihat, kepala anak buah Darma itu hancur tanpa mengetahui siapa manusia yang telah membunuh dirinya. Begitu tanda jentikan terdengar dari Naga Kuning, kakek bermata jereng ini segera melompat, meninggalkan Darma dan anak buahnya. Sayangnya, debu sisa ledakan sudah mulai menipis. Meski sudah berada jauh tapi sosoknya jelas terlihat oleh Darma dan yang lainnya.

“Kejar keparat itu! Cincang tubuhnya sampai tak tersisa!”

Sepanjang berlari, Setan Ngompol dan Naga Kuning tiada henti melepaskan pukulan ke arah belakang. Dengan begitu, mereka berharap orang-orang Kerajaan Perut Bumi akan kesulitan mengejar. Sayangnya, langkah itu sia-sia saja. Karena mereka mengejar lewat jalan lain. Tidak butuh waktu lama Darma dan anak buahnya sudah berada di depan jalan. Kalau sebelumnya ia sangat meremehkan musuhnya, bermain-main, kali ini tidak demikian. Memberi perintah ke anak buahnya untuk menyebar ke empat arah tembakan. Dengan demikian lawan tidak punya kesempatan untuk menghindar, kecuali menangkis serangan.

“Sekarang!” teriak Darma memberi perintah ketika Naga Kuning dan Setan Ngompol masuk ke dalam perangkap lingkaran mereka. Empat pukulan sakti dari empat titik serangan melesat deras ke arah Naga Kuning dan Setan Ngomol. Dalam kejutnya dua orang ini melompat setinggi tiga tombak. Dari atas mereka kembali melancarkan serangan. Maksudnya seperti sebelumnya. Sayangnya, serangan itu disambuti dengan suara tawa mengejek.

“Kalian pikir serangan yang sama berlaku bagi kami?”

Baru saja Setan Ngompol menginjakan kakinya dengan sempurna, sambaran keras datang dari arah belakang. Beruntung kakek bermata jereng ini cepat mengelak, terlambat sedikit saja leher bagian belakang terbabat putus.

“Pengecut!” maki Setan Ngompol ketika kembali berhasil menghindar dari ganasnya pedang lawan.

“Untuk membunuh orang tua tak berguna sepertimu, kenapa harus pakai aturan?”

Wuuuttt! Wutt!

Dua serangan pedang semakin mengganas. Mengincar sasaran empuk di setiap jengkal tubuh kakek bermata jereng. Setan ngompol sendiri hanya mampu menghindar. Keterbatasan penglihatan membuatnya kesulitan untuk membalas serangan.

“Sampai berapa lama kau bisa bertahan Kakek bau pesing?!” Manusia bertupung melipat gandakan serangannya. Hal ini membuat Setan Ngompol kalang kabut. Ia semakin terdesak hebat. Hanya menunggu waktu, sampai akhirnya tenaganya terkuras habis dan dia tak mampu lagi menghindar.

Bukk!!!

Jerit kesakitan terdengar jelas. Itu suara Naga Kuning. Apa yang terjadi dengan anak itu?

“Tamatlah riwayatmu bocah jahanam!”

Konsentrasi kakek bermata jereng ini terpecah. Ia sangat mencemaskan keadaan Naga Kuning. Akibatnya, pertahannya menjadi kendur. Meskipun hanya sepersekian detik, itu sudah lebih dari cukup menjadikan tubuhnya sasaran empuk bagi serangan lawan.

Ada dua serangan ganas yang mengincar titik terpenting di tubuhnya. Satu mengarah ke urat besar di leher satu lagi mengarah ke jantung. Celakanya dia hanya bisa menghindari salah satu saja.

“Celaka!” keluh kakek ini. “Tamatlah riwayatku!” dalam bingungnya kakek ini merundukan kepala. Sabetan pedang lewat di atas kepalanya. Sambil menunggu detik kematian dengan jantung pecah tertusuk, kakek ini hanya mampu memejamkan mata. Ia merasakan sambaran angin keras.

Crasshhh!!!

Jerit bak lolong anjing terdengar mengerikan. Setan Ngompol membeliak, membuka lebar-lebar kedua matanya yang jereng. Saat itulah, darah segar mengalir deras ke tubuhnya. Dua manusia yang mengeroyoknya tadi kehilangan tangan dan kepala. Andai penglihatannya tidak terhalang kabut, tentu ia akan menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Sosok tubuh yang masih berdiri dengan tangan buntung dan kucuran darah membanjir deras dari leher tanpa kepala.

Bluk!

Dua sosok tubuh tanpa kepala itu terjatuh, melejang-lejang sesaat sebelum akhirnya diam tanda nyawanya melayang.

“Apa yang terjadi? Siapa yang menolongku? Naga Kuning, kau masih hidup?”

“Aku masih hidup Kek.”

“Syukurlah. Aku pikir tidak akan melihatmu lagi, Naga Kuning.”

“Aku yang justru mengkhawatirkanmu, Kek. Hampir saja kau jadi sate guling hahaha....”

“Bocah gebleg! Dalam keadaan begini kau masih bisa tertawa.” Setan Ngompol melomat ke arah Naga Kuning. “Apa yang terjadi sebenarnya?”

“Kau tanyakan saja kepada pemuda edan itu!”

Setan Ngompol berpaling ke arah kirinya. Tidak jauh darinya berdiri, samar-samar ia melihat seorang pemuda yang sedang enak-enakan duduk di atas batu sambil menghisap rokok.

“Mahesa Edan?”

Lelaki di atas batu tertawa. “Ini emang aku Kek. Kau pikir siapa? Pemuda Sableng yang hilang di telan bumi itu?”

Setan Ngompol tertawa dan melompat ke arah si pemuda. “Jadi kau belum menemukannya?”

Mahesa Edan menggeleng.

“Astaga, aku sampai lupa,” seru Setan Ngompol seraya membungkuk hormat. “Aku berutang nyawa padamu, Mahesa. Kalau tidak ada kamu....”

“Udahlah, Kek, hentikan kegilaan peradatan dunia persilatan. Saat ini kita memang harus saling membantu. Tolong menolong. Jadi tidak perlu kau merasa terbebani oleh pertolongan seseorang.”

Setan Ngompol mengusap kepalanya yang botak. Sambil manggut-manggut ia berkata, “Paling tidak kan aku masih tahu diri, berterima kasih. Tidak seperti bocah geblek itu.”

Naga Kuning yang merasa kesinggung langsung menyambar ucapan orang. “Eh, Kakek Bau Pesing, sebelum kau mengucap sepatah kata, aku sudah mengucap duluan.”

“Kapan? Aku tidak dengar.”

“Tadi, dalam hati, hahaha....”

“Dasar bocah jahanam!”

“Sudah-sudah. Apa yang sedang kalian lakukan di sini? Tempat ini cukup jauh dari persembunyian.”

“Hari ini tugas kami yang mencari makanan,” jawab Setan Ngompol.

“Hmm... begitu.” Mahesa Edan menghisap dalam-dalam rokok kawungnya. “Lalu, mana hasil buruannya?”

“Tertinggal.”

“Tertinggal?”

“Iya tertinggal.”

“Kenapa bisa tertinggal?”

“Dasar pemuda edan! Kau pikir mudah melawan bergundal-bergundal itu tanpa membuang hasil buruan?” hardik kesal Setan Ngompol.

“Tanpa beban di bahu saja hampir mati, betul kan Kek?” sahut Naga Kuning.

“Diam, kau!” maki si kakek yang disambut gelak tawa Naga Kuning dan Mahesa Edan.

“Sekarang kan udah aman, kau ambil Kek. Terus kita pulang. Semua orang pasti sudah kelaparan.”

Serhhhh!!!

“Masa aku?”

“Ini kan emang giliran kamu bawa rusa, Kek.”

“Anak Durhaka! Tidak mau. Kalau manusia dajal itu datang lagi bagaimana?”

“Ya kamu hadapi sendiri, Kek.”

Setan Ngompol melompat. Niatnya hendak menjambak rambut jabrik si bocah, tapi Naga Kuning yang sudah menduga menghindar jauh. Sambil terus tertawa anak ini menghindari serangan si orang tua.

“Biar aku saja yang ambil,” kata Mahesa Edan menengahi. “Kalian tunggu di sini.”

“Aku ikut,” seru Naga Kuning.

“Aku juga ikut.”

“Tadi tidak mau.”

“Nunggu di sini sendiri, sama aja bunuh diri.”

Mahesa Edan hanya bisa menggeleng kepala dan pergi meninggalkan keduanya yang terus beradu mulut.

Apa yang terjadi sebenarnya?

Boleh dikatakan Naga Kuning mengalami nasib yang jauh lebih buruk dari Setan Ngompol. Itu terjadi karena Darma memilih menyerang dirinya. Bagaimanapun seorang yang dijadikan pimpinan tentu memiliki ilmu satu atau dua tingkat lebih tinggi dari yang dipimpinnya. Karenanya, tidak mengherankan, dalam serangan pertama, Naga Kuning sudah terdesak hebat. Beberapa kali serangan yang mengarah titik-titik mematikan hampir mengenai tubuhnya. Kalau bukan karena kelincahan gerak tubuhnya, tentu sudah sejak pertama tadi ia kena hantam pukulan lawan.

Di jurus ke sepuluh Naga Kuning sampai nekat mengeluarkan serangan balasan. Ini ia lakukan karena dalam waktu dekat, pertahanannya akan jebol. Dari pada hanya mati konyol, ia memutuskan membuka serangan. Dengan jurus Naga Murka Merobek Langit ia berhasil mematahkan leher lawan. Serangan ganas mendadak yang bahkan untuk menjerit saja tidak kuasa, manusia bertudung ini hanya bisa mengorok seperti kambing disembelih, dan kemudian ambruk dengan leher patah.

Keberhasilan itu tidak lekas membuat Naga Kuning berada di atas angin. Justru akibat serangan nekat itulah ia harus membayar mahal. Pukulan keras Darma dengan tenaga dalam tinggi mendarat tepat di dadanya. Anak kecil berambut jabrik ini menjerit keras, tubuh mencelat. Ia sudah tidak mampu lagi melanjutkan perkelahian. Sementara lawannya sudah siap melancarkan pukulan andalan.

“Tamatlah riwayatmu bocah jahanam!”

Naga Kuning hanya bisa memegangi dadanya yang terasa sesak. Jangankan untuk membalas serangan, untuk menghindar pun ia sudah tak mampu.

Lima sinar mematikan telah melesat ke arah Naga Kuning. Sesaat lagi serangan andalan orang-orang Kerajaan Perut Bumi merenggut nyawanya, ia merasakan sebuah tali menjirat kakinya. Lalu sosoknya tertarik. Serangan mengenai tempat kosong. Belum mampu mengetahui apa yang terjadi, di depan sana, tepat di bawah Darma tanah terkuak.

Wutttt!!

Sebuah benda melesat dengan kecepatan tinggi, membelah sosok Darma menjadi dua bagian. Jerit menggidikan terputus bersama putusnya tubuh. Benda itu berputar ganas, mengeluarkan sambaran angin yang sangat keras. Naga Kuning melihat ada bayangan putih berkelebat lalu jeritan demi jeritan kembali terdengar.

Di depan sana Mahesa Edan menggunakan pedang salah satu penyerang Setan Ngompol untuk membabat putus leher keduanya.

Sebenarnya benda apa yang Mahesa Edan gunakan untuk membabat putus tubuh Darma. Seperti halnya Wiro Sableng yang oleh kekuatan ghaib dari Kiai Gede Tapa Pamungkas mampu menyimpan senjata sakti dalam tubuhnya. Mahesa Edan pun demikian. Dalam pengembaraannya ia menemui banyak tokoh-tokoh sakti. Tidak sedikit yang memberikannya ilmu. Sampai akhirnya seorang kakek tanpa ujud yang oleh Mahesa disebut Datuk Lembah Bangkai memberikan ilmu lanka pada dirinya. Termasuk mampu menyimpan senjata andalannya sebuah besi berbentuk papan nisan yang cukup merepotkan kalau hanya disimpan di balik pakaian. Yang paling mengagumkan senjata itu mampu dipanggil di titik mana saja sesuka hati. Selama itu tanah, senjata akan datang lewat tebing, pegunungan curam atau bahkan di bawah kaki lawan seperti yang baru saja Mahesa Edan lakukan. Hal ini, selain memudahkan juga menjadi senjata rahasia ampuh, karena banyak lawan yang tak mampu menangkal serangan mendadak dari kemunculan senjata yang tiba-tiba.

Menjelang malam, Mahesa Edan, Naga Kuning dan Setan Ngompol sampai di sebuah goa persembunyian. Rupanya di sana banyak tokoh-tokoh sakti golongan putih. Terkecuali Kakek Segala Tahu.

Mahesa Edan menyampaikan hasil penyelidikannya. Sayangnya tugas pokok dan paling penting yakni menemukan Wiro Sableng tidak berhasil. Jangankan manusianya, jejaknya saja tidak.

“Kerajaan-kerajaan dari Jawa bagian tengah dan timur sudah bergerak menuju tempat perjanjian.” Menerangkan Mahesa Edan. “Perkiraanku, sepuluh hari dari sekarang mereka tiba di Ujung Kulon.”

Sinto Gendeng mengangguk-anggukan kepalanya.

“Ada lagi yang ingin kau sampaikan?”

“Ada, Nek. Dalam perjalanan kemari aku bertemu Raja Penidur. Beliau berpesan agar penyatuan segera dilakukan.”

“Mahluk sialan satu itu merepotkan saja. Kalau saja dulu dia tidak berbelit-belit memberitahu apa yang para penguasa langit sampaikan lewat mimpinya, tentu kegilaan ini tidak akan pernah terjadi!” Sinto Gendeng meludah.

Gluk gluk gluk....

“Apa untungnya menyesali apa yang sudah terjadi, Sinto.” sahut Dewa Tuak. “Sial dangkalan! Tuak kayanganku tinggal sedikit.”

“Memang tidak ada gunanya. Hanya saja, sampai saat ini kita belum menemukan di mana beradanya anak setan itu! Bagaimana kita bisa menjalankan siasat?”

“Mungkin muridmu sedang menuju ke sana. Bagaimana kalau mulai malam ini kita bergerak?” usul Dewa Tuak.

“Jangan konyol! Di siang bolong saja kita bisa dipecundangi org-orag Kerajaan Perut Bumi, bagaimana saat malam hari.” Yang bicara Tua Gila. Mahesa Edan berdehem beberapa kali.

“Anak setan! Apa yang kamu lakukan?” hardik Sinto Gendeng. “Kalau kau punya usulan ngomong saja tidak perlu berdehem segala.”

“Hehe ... maaf sebelumnya Nenek Sinto, dan semua tokoh yang ada di sini. Jika boleh memberi saran, aku setuju dengan ide Kakek Dewa Tuak. Karena sepengalamanku, senjata andalan mereka justru kabut buta itu.”

“Soal kabut buta itu aku suda tahu! Langsung aja ke pokok utamanya!” potong Sinto Gendeng. Tiba-tiba tawa meledak di tempat itu.

“Setan alas! Apa yang kau tertawakan Kerbau Bunting?!”

“Ucapanmu.”

Sinto Gendeng mengerutkan alisnya. Dewa ketawa melanjutkan. “Kau selalu terburu-buru tapi di sisi lain juga selalu memotong ucapan orang. Padahal jelas-jelas si Anak Setan itu hendak mengemukakan maksud tujuannya.”

Sinto Gendeng terdiam. Dewa Ketawa kembali mengumbar tawanya. “Nah sekarang kau lanjutkan penuturanmu, Anak Setan.”

Diam sesaat hingga dalam goa itu menjadi hening. Mahesa akhirnya melanjutkan ucapaannya.

“Selama ini kita dirugikan dengan kehadiran Kabut Buta. Sementara mereka mampu melihat dengan jelas. Nah maksud aku, jika kita berjalan di malam hari, maka Kabut Buta tidak berfungsi lagi. Artinya, kita dan mereka sama-sama rugi. Kalaupun ada penyerangan dari pihak mereka, sama-sama hanya mengandalkan pendengaran.”

Sinto Gendeng manggut-manggut. “Cerdik juga kau Anak Setan hihihi ..... kenapa tidak dari dulu aku kepikiran?”

“Karena kau keras kepala?”

“Apa kau bilang?”

“Keras kepala.”

“Setan alas!”

Bab 12

Tiga hari melakukan perjalanan, rombongan dari seberang memilih berhenti di pedataran luas. Sang surya telah sampai ke titik tenggelamnya. Seluruh prajurit membangun tenda untuk peristirahan. Panji tampak sibuk membuat tenda untuk gurunya. Sementara Anggini dibantu saudari seperguruan, yakni Pandansuri hampir merampungkan pembuatan tenda untuk keduanya.

Saat malam tiba, seluruh pasukan telah menyelesaikan. Sebagian dari mereka yang telah selesai lebih dulu kini sibuk menyiapkan makan malam. Api unggun terlihat menghiasi di sepanjang pedataran. Aroma daging panggang menguar, membuat rasa lapar semakin menjadi-jadi. Makan malam hari ini cukup istimewa dari sebelumnya. Kambing bakar dan nasi hangat. Sebelumnya mereka hanya mengganjal perut dengan singkong bakar saja.

“Sepertinya sudah matang.” Panji mencium aroma daging yang dipegangnya. Satu kaki kambing utuh diserahkan ke Anggini. “Kalian makan dulu. Aku akan bawakan makanan ke guru.”

“Biar aku saja,” ujar Anggini. Karena daging panggang tak kunjung diambil, Panji akhirnya menyerahkan ke Pandansuri.

Panji tersenyum. Meskipun terlihat samar, Angini dapat melihat dengan jelas, terlebih keduanya berada cukup dekat.

“Sesuai kesepakatan giliranmu diperistirahatan berikutnya.”

Pandansuri yang mendapat giliran pertama satu hari lalu menggam lengan Anggini. “Tak perlu risau Anggini. Soal mimpimu waktu itu, percayalah, itu hanya bunga tidur saja. Tidak ada kaitannya dengan perjalanan kita.”

Cukup lama Anggini terdiam dan tampak bimbang, hingga akhirnya gadis cantik ini menganggukan kepala. Panji kembali tersenyum, lalu membawa sepotong daging dan satu penanak nasi menuju ke tenda gurunya.

“Aku hanya tidak ingin, penyesalan datang dan menghantuiku seumur hidup.”

Pandansuri tersenyum. Anak angkat Raja Rencong dari Utara ini menggeleng perlahan. “Tidak ada kekacauan yang terjadi di dunia ini disebabkan oleh mimpi. Lagian, guru dan orang-orang di sini sudah tau penangkal ilmu murahan mereka kan? Apa yang kita takutkan? Dengan pasukan sebanyak ini, kurasa mereka hanya mencari mati bila berani datang kemari.”

Menurut Senopati Jayarendra pasukan yang bersamanya sekarang ini ada lebih dari duapuluh lima ribu. Kalau gerombolan Kerajaan Perut Bumi datang, apa yang dikatakan Pandansuri sangat masuk akal, mereka hanya akan mati konyol di tempat ini. Datang hanya untuk mengantar nyawa.

Tapi mimpi itu? Sungguh sangat mengerikan. Bahkan dirinya tak mau lagi untuk mengingat, betapa porak poranda pasukan yang kini bersamanya. Darah membanjir deras dari segala penjuru dan ratusan mayat bergeletakan di mana-mana. Gurunya. Ini yang paling mengerikan. Orang tua buta itu mengalami kematian yang sangat memilukan. Kepala hancur. Isi seluruh tubuh terurai ke mana-mana.

“Anggini, kau melamun?”

Tersadar dari kemelut pikirannya gadis ini menciduk nasi hangat, ditaruhnya ke daun jati yang telah disusun rapi. Daging bakar dicubitnya sedikit dan makan lahap sekali. Melihat itu Pandansuri tertawa kecil.

“Hay, kau kelaparan rupanya.”

“Seharian perut belum terisi, manusia mana yang tak kelaparan.” Anggini menyobek daging bakar cukup besar, menyantap untuk kesekian kali. Pandansuri sahuti ucapan Anggini dengan tawa terkikik. Lalu dirinya pun mulai memasukan sepotong dagin ke mulutnya.

Keduanya pun larut menikmati santapan malam tanpa terganggu dengan percakapan seperti sebelumnya. Hingga Panji telah kembali dan ikut gabung dengan keduanya.

Pada santapan pertama Panji tersenyum menatap Anggini, jelas ini membuat si gadis di depannya heran. Pandansuri sendiri berpura-pura tidak melihat.

“Ada yang aneh?” tanya Anggini mengerutkan kening. Penji menggeleng masih dengan senyumnya.

“Tidak. Aku hanya teringat saat pertama kali ke Tanah Jawa ini. Di sungai aku bertemu kamu.”

“Kisah yang romantis,” menyahut Pandansuri dengan kerling mata menggoda ke arah Anggini.

“Jangan berpikir macam-macam! Dipertemuan pertama itu aku hampir membunuhnya.”

Pandangsuri menatap heran. “Kenapa bisa begitu?”

“Dia ngintipin aku yang sedang mandi.”

Kedua alis Pandansuri sampai meninggi. “Astaga! Tidak disangka, rupanya Pangeran Muda ini tak lebih hanya seorang lelaki hidung belang yang suka ngintipin perempuan mandi.”

“Ehhh, tidak begitu kejadiannya. Aku tidak sebajingan itu. Kejadiannya begitu cepat. Aku baru duduk di atas pohon, lalu tiba-tiba Angini datang, cuci kaki.”

“Cuma cuci kaki?” Pandansuri mengerutkan kening.

“Iya hanya cuci kaki.”

“Benar begitu, Anggini?” Pandansari masih tidak yakin. Dilihatnya Anggini mengangguk.

“Astaga! Kalian dua orag gila! Aku pikir kejadian besar yang menyangkut martabat wanita, tahunya hanya cuci kaki.”

Anggini dan Panji tertawa melihat saudari seperguruannya mengomel tidak jelas.

“Mengingat masa itu, aku jadi teringat dengan sahabat kita. “

Tanpa Panji sebutkan pun kedua gadis ini tahu siapa sahabat yang dimaksudkan, bukan lain pendekar 212. Tiba-tiba saja ingatannya terbang jauh ke masa di mana pertemuan pertama terjadi dengan pemuda itu. Anggini sendiri, mengingat dengan jelas betapa dia untuk pertama kali merasakan cinta, kasih sayang dan pelukan hangat dari sosok pemuda. Jika mengingat malam itu, terkadang, ada terbesit di hati ingin sekali untuk mengulangi. Betapa ia menjadi orang paling bahagia di dunia kala itu.

Namun, mengingat Wiro telah menjadi milik sahabat karibnya, ia hanya bisa tersenyum ketir. Meski tak ada dengki, dendam atau rasa sakit di hatinya, tetap saja, sebagai perempuan yang sangat mencintai si pemuda, percikan rasa cemburu cukup kuat membakar hati. Jika sudah begini biasanya ia segera membuang jauh-jauh pikiran menyimpangnya itu. Dan menyadarkan dirinya, bahwa ada sosok Panji yang begitu sayang dan cinta atasnya. Keduanya juga sudah berjanji, selesai urusan di Pulau Jawa ini, mereka akan melangsungkan pernikahan, memulai hidup baru dan berdiam diri di sebuah pulau di mana Panji dilahirkan. Di hari itu, mungkin dirinya tidak akan lagi terlibat dengan urusan dunia persilatan. Dengan kata lain, perjalanannya saat ini adalah terakhir kalinya. Ia sudah bertekat untuk menghilang dari dunia persilatan.

Menjelang tengah malam di dalam tenda, Pandansuri tidak bisa memejamkan mata. Bayangan tentang sosok Wiro terus datang. Silih berganti mengisi alam pikirnya. Semakin ia berusaha untuk menangkis, semakin deras kenangan bersama Wiro berdatangan.

Ia melirik ke sampingnya. Di sana sosok Anggini terbujur kaku. Mungkinkah saudarinya itu telah terbang ke alam mimpi? Keadaan di dalam tenda sangat gelap. Gadis cantik ini tidak bisa memastikan.

“Anggini, kau sudah tidur?”

Kepala Anggini beraling ke arahnya.

“Aku tidak bisa tidur, Pandansuri.”

“Apa yang sedang kau pikirkan, Anggini?”

“Entahlah. Mungkin pikiran kita sama.”

“Apa yang sedang kau pikirkan tentang pemuda itu?”

“Hmmm.... sepertinya kau sengaja memancing, Pandansuri.”

Gadis cantik ini membalas dugaan Anggini dengan senyuman.

“Kau sendiri apa yang sedang dipikirkan mengenai Wiro?”

“Aku... ahh, kau tahu sendiri, Anggini. Hubunganku dengan Wiro tidak ada yang spesial. Tidak lebih hanya sebatas perjumpaan antar pengembara. Bahkan bertemu pun bisa terhitung jari. Sementara kamu, banyak kenangan dari kejadian demi kejadian yang sangat menarik. Mungkin sulit kau lupakan bahkan sampai dunia ini tiada.”

Entah mengapa mendengar kata-kata terakhir itu hati Anggini menjadi berbunga-bunga. Membenarkan apa yang dikatakan Pandansuri. Bagaimanapun menderitanya kala memaksakan diri untuk terus berjuang mendapatkan hati Wiro, paling tidak, jika dibandingkan gadis-gadis lain, ia jauh lebih beruntung. Meskipun selama ini ia menyadari, tidak ada rasa cinta sedikit pun untuknya dari Wiro, kebersamaan dengan pemuda itu lebih banyak dari para pesaingnya. Terlebih saudari seperguruannya ini.

“Aku tidak tahu, apakah aku termasuk gadis paling beruntung, sebab, dalam pengembaraan pertama, ketika pertama kali turun gunung, guru mempertemukan aku dengannya.”

“Mungkinkah itu juga pertemuan pertama dia dengan seorang gadis?”

“Aku tidak tahu. Yang jelas, apa yang kurasakan saat itu aku juga yakin dirinya merasakan yang sama. Kau bisa bayangkan seperti apa kebahagiaanku saat itu. Seorang gadis yang terkurung belasan tahun di puncak gunung, lalu dijodohkan dengan seorang pemuda berilmu tinggi, anak murid dari seroang nenek sakti yang juga sahabat dekat guruku. Apalagi yang dipikirkan seorang gadis? Selain harapan besar untuk bisa menjadi pendamping hidupnya.”

“Panji tahu soal ini?”

Anggini menggeleng. “Tidak. Yang dia tahu aku dan Wiro hanya sahabat dekat, tidak lebih.”

“Bagaimana jika suatu saat nanti dia tahu?”

“Mungkin dia akan marah. Atau membenci aku seumur hidupnya.”

Srekk!!!

Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar. Anggini dan Pandasuri bangkit duduk hampir bersamaan.

“Seseorang menguping pembicaraan kita.”

Wajah Anggini tampak pucat. Debaran dada gadis ini meningkat hebat. Ia khawatir kalau si penguping itu adalah Panji.

Anggini melompat ke pintu tenda. Menyibak tirai. Ketika ia keluar, di kejauhan api besar menyala. Riuh suara orang terdengar.

“Apa yang terjadi?” Pandansuri yang baru keluar bertanya heran.

“Sepertinya kita kedatangan tamu.”

***

Panji yang sedang tertidur lelap terbangun, kala guyuran air mengalir membasahi wajahnya. Disampingnya Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. Meskipun tidak memiliki tangan, orang tua sakti ini tidak kesulitan untuk mengambil sesuatu. Dengan ilmu silat aneh yang dimilikinya, ia mampu menggerakan benda-benda disekitar. Sebenarnya, hampir semua pendekar yang memiliki tenaga dalam tinggi mampu melakukan itu. Tapi yang membedakan, orang tua ini melakukan tanpa pengerahan tenaga dalam. Ia cukup memusatkan pikiran ke satu titik yang diinginkan. Dengan demikian tenaga dalam tak akan terkuras habis, terlebih andai ada balasan dari lawan mainnya dirinya tidak akan bahaya.

“Guru.” Panji bangkit duduk. “Ada apa?”

Nyanyuk Amber menengadah. “Aku merasakan firasat buruk.”

“Para jahanam itu?”

Nyanyuk Amber mengangguk. “Cepat kau beritahu Senopati Jayarendra, agar melakukan penangkalan yang sudah kita rencanakan.”

“Baik, Guru.” Panji mengambil pedang yang tersimpan di sisi bekas tidurnya lalu melompat keluar. Sedikit berlari ia menuju ke tenda Senopati Jayarendra. Tidak terlalu jauh, lantaran memang semua sudah direncanakan. Para pimpinan tertinggi harus selalu berada dekat dengan Nyanyuk Amber.

“Cepat, panggil Senopti.” pinta Panji pada salah seorang prajurit yang sedang berjaga-jaga. Di hadapannya kini ada lebih dari dua puluh prajurit.

“Tapi tuan sedang tertidur nyenyak.” Merangkan salah seorang penjaga. “Apa ini perintah dari orang tua sakti itu?”

Panji mengangguk. Prajurit segera berlari ke arah tenda. Selang beberapa lama kemudian lelaki ini telah kembali, bersama orang yang dicari.

“Ada perintah dari orang tua itu?”

“Benar Tuan. Guru meminta Tuan untuk menjalankan siasat yang sudah kita rencanakan.”

Senopati Jayarendra berpaling ke para prajurit. “Panggil seluruh pimpinan pasukan.”

Lebih dari lima belas prajurit membungkuk hormat, lalu mereka semua berlari menuju tenda para pimpinan kelompok. Panji sendiri segera berlari menuju tenda di mana Anggini dan Pandansuri sedang tertidur nyenyak. Ia mengira dua gadis itu sedang berkelana di alam mimpi, sayangnya ia salah besar dan apa yang didengar membuat dadanya menjadi sesak. Tak kuat mendengar perbincangan keduanya, ia memilih pergi, bergabung dengan rombongan Jayarendra.

“Nyalakan!” teriak lantang Seopati Jayarendra memberi perintah.

Blup! Blup!

Puluhan obor menyala. Ratusan bahkan ribuan prajurit telah membentuk lingkaran besar. Secara serentak para prajurit pemegang obor membakar tumpukan kayu dan daun-daun kering yang telah diguyur minyak. Api menyala membentuk lingkaran setinggi satu setengah tombak. Meskipun samar, tapi semua mata dapat melihat, ada lebih dari 15 orang berjubah hitam terkurung dalam lingkaran.

Total keseluruhan ada delapan belas. Biasanya, setiap kelompok orang-orang ini berjumlah enam. Jika mereka datang delapan belas sekaligus, itu artinya, mereka termasuk kelompok gabungan.

“Keparat! Kita dijebak!” salah seorang menghardik. Nada suaranya mengandung kekhawatiran besar.

“Apa yang akan kita lakukan?”

“Bentuk lingkaran. Kita hantam mereka semua dengan Pukulan Lima Kutuk dari Perut Bumi!” salah seorang memberi perintah. Sekejab kemudian mereka semua telah berbaris melingkar. Tangan masing-masing teracung. Tapi, sebelum ilmu andalan mereka keluar, ribuan anak panah datang menghujani mereka.

“Biadab! Pengecut! Licik!”

Makian penuh kebencian terdengar bersama jerit kematian. Sembilan orang tergeletak dengan tubuh tak dapat dikenali. Hampir setiap jengkal tubuhnya terdapat lima anak panah. Bisa dibayangkan, betapa mengerikan rasa sakit yang dialami manusia bertupung ini. Melejang-lejang beberapa ketika lalu diam tak berkutik. Mereka yang selamat pun bukan berarti terbebas dari hantaman. Lebih dari sepuluh anak panah bersarang ke tubuh masing-masing. Bahkan, lelaki yang barusan memberi perintah pun keadaannya tidak lebih baik. Dua anak panah mengenai salah satu matanya. Bagian kiri, wajah itu robek besar. Mata hancur, darah mengucur deras. Sisa lainnya memenuhi seluruh tubuh.

Cara ia menghindari serangan maut ternyata lebih pengecut dari yang diserukan kepada para prajurit. Menarik salah seorang kawannya, menjadikannya tameng untuk berlindung. Hasilnya memang tidak sebanyak yang lain, namun tetap saja, kucuran darah sederas itu, cepat atau lambat, ia dan delapan lainnya akan menyusul kawan yang telah lebih dulu minggat ke neraka!

“Pasti ada celah. Kita harus kabur dari jebakan ini.” Lelaki ini mencabut anak panah yang mengenai perutnya. Darah mengucur deras. Pekik kesakitan disambut gelak tawa semua orang.

“Keparat-keparat itu tak akan membiarkan kita hidup. Dalam pertarungan jarak jauh kita benar-benar dirugikan. Di sisi lain sepertinya, mereka sudah tahu kelemahan ilmu andalan kita.”

Wutt!!

Lagi, ratusan anak panah terbang mengarah ke satu titik di tengah lingkaran. Tidak sebanyak sebelumnya, walau begitu, tetap saja, ini terlalu mengerikan bagi sembilan orang. Dan lagi lelaki ini menyeret temannya untuk dijadikan tameng. Kalau sebelumnya hanya satu, kini tidak tanggung-tanggung dua sekaligus. Jerit kesakitan kembali terdengar mengerikan di tempat itu. Ratusan anak panah menancap di lima tubuh manusia berjubah. Yang tersisa kini hanya 3 pimpinan kelompok.

“Sepertinya butuh tembakan sekali lagi untuk menghabisi mereka semua.” Terdengar teriakan seseorang di depan sana. Ketiga orang ini saling pandang. Untuk kali ini mereka semua tidak akan selamat. Menyadari ajalnya sudah di depan mata, tanpa mampu berbuat apa-apa, mereka hanya bisa pasrah.

“Selesaikan!” teriak lantang Senopati Jayarendra. Kembali ratusan anak panah melesat ke arah satu titik. Sesaat lagi ujung-ujung runcing itu menembusi setiap jengkal tubuh manusia berjubah, angin dahsyat terhempas, memapasi serangan. Ratusan anak panah bermentalan. Tiga manusia berjubah selamat dari incaran maut.

“Sungguh rendah, memalukan! Beginikah cara orang-orang yang katanya beradab itu?”

Bersama ucapan itu, jerit kematian terdengar di lingkaran bagian belakang. Lebih dari dua puluh prajurit meregang nyawa. Tubuh masing-masing gosong ada pula yang sampai hancur kepalanya. Sementara beberapa lainnya mengalami luka yang teramat parah.

Lima orang berkelebat. Pakaian manusia ini sama dengan ketiga lelaki yang terselamatkan. Hanya saja jubah dan tupung yang dikenakan warna merah.

Melihat kedatangan lima orang, sekaligus sebagai tuan penolong, tiga lelaki berjubah hitam sujud.

“Hamba menghatur sembah atas kedatangan pimpinan cabang lima. Hamba mengucap terima kasih atas pertolongannya.”

Kata-kata yag terdengar aneh bagi semua orang diucapkan secara bersamaan. Anggini dan Pandasuri yang sejak tadi menyaksikan kegilaan rencana gurunya haya bisa saling pandang. Sementara Panji yag berada jauh di sisi lain lingkaran berbisik pada gurunya.

“Sepertinya pangkat lima orang yang barusan datang itu tingkat jabatannya lebih tinggi guru. Aku melihat ketiga bergundal itu sujud menyembah mereka.”

Nyanyuk Amber menggeleng tak percaya. Cukup lama ia menyaksikan kebiadaban yang terjadi di dunia persilatan, tapi baru kali ini ada manusia menyembah manusia. Kegilaan apa yang tengah diciptakan orang-orang perut bumi?

“Tuhan Maha Besar. Apa yang ada dalam pikiran orang-orang itu? Bagaimana mungkin mereka menyambah sesamanya?” Nyanyuk Amber terdiam sesaat. “Kau mengatakan pangkat mereka lebih tinggi? Dengar muridku, yang datang saat ini bukan termasuk ke dalam bagian rencana. Aku merasakan kekuatan besar dari orang-orang ini. Kalian semua harus hati-hati.”

“Mungkinkah mereka ini pimpinan tertinggi dari Kerajaan Perut Bumi?” yang bertanya Senopati Jayarendra.

“Tidak-tidak. Bukan itu maksudku. Aku menduga setiap pakaian yang mereka kenakan tentu punya satu atau dua tingkat lebih tinggi dari warna lain. Aku tidak bisa menjelaskan secara rinci, yang pasti kalian harus hati-hati. Tidak seperti keronco-keronco yang kalian bantai barusan, lima manusia ini memiliki tenaga dalam yang sulit dijagjagi.”

“Hanya untuk menghabisi delapan belas orang-orangku, kalian mengerahkan pasukan sebanyak ini? Haha .... sungguh memalukan! Atau sebegitu mengerikannyakah Kerajaan Perut Bumi buat kalian hingga untuk membunuh dari tingkatan terendah saja kalian sampai berubah menjadi binatang?” teriakan lantang salah seorang berjubah merah memekakan telinga. Beberapa prajurit yang sebelumnya mengalami luka dalam parah harus meregang nyawa. Benar dugaan orang tua buta itu, lima manusia ini berbeda sekali dengan kelompok-kelompok jubah hitam yang sering ditemui.

“Untuk membunuh binatang terkadang kita harus berlaku seperti mereka. Bukankah kalian manusia paling pengecut di muka bumi ini yang selalu berlindung dibalik Kabut Iblis! Lalu mengapa teriak-teriak soal peradatan dunia persilatan? Siapa yang rendahan dan memalukan?”

Lelaki yang sebelumnya bicara berpaling ke arah suara. Andai wajahnya tidak tertutup tudung, tentu senyum buruk terlihat di sana.

“Kau pimpinan rombongan ini?”

“Datuk Gadang,” yang memanggil kawan di sebelahnya. Ternyata dia perempuan. Suara seorang nenek-nenek. “dia menyebut Kabut Buta atau Kabut Kematian ini dengan nama Kabut Iblis. Apakah dia tidak tahu, kalau saat ini dia sedang berhadapan dengan Iblis Api Perut Bumi? Membunuh kalian semua bagiku semudah memadamkan api.”

Bersama akhir kalimatnya, nenek ini kibaskan tangan kanannya ke belakang. Ajaibnya, sepuluh obor yang dipegang para prajurit padam. Bukan itu saja, sebagian lingkaran api juga ikut padam. Padahal jarak antara dia dan lingkaran cukup jauh. Melihat ini, semua mata terbelalak. Terlebih Senopati Jayarendra yang barusan ditunjuk Datuk Gadang Tigo Mentari. Mendadak aliran darah panglima besar ini meninggi. Detak jantung berdebar hebat.

Kalau sapuan tangan nenek itu mampu mematikan api, tak dapat dibayangkan seberapa tinggi tenaga dalamnya. Itu baru satu orang. Empat lainnya tidak satu pun yang tahu.

“Hay..... Datuk Gadang bertanya padamu. Kenapa kau mendadak bisu? Apa sekarang celanamu jadi basah setelah tahu berhadapan dengan siapa? Hahaha.....” yang bicara manusia ketiga. Ternyata orang ini juga perempuan. Dari suaranya sama dengan Iblis Api Perut Bumi. Menurut taksiran semua orang, mereka seumuran. Mudah saja menduga usia, namun siapa adanya dia, tidak seorang pun tahu. Bahkan Nyanyuk Amber sendiri tidak dapat menduga.

“Aku memang kepala pimpinan dalam rombongan ini.” Senopati Jayarendra menekan kuat-kuat suaranya agar tidak terdengar bergetar. Akan tetapi sepertinya semua usaha itu sia-sia saja. Sebab, kelima orang di dalam lingkaran itu tertawa tergelak. Jelas sekali, ini suatu penghinaan besar bagi seorang panglima kerajaan.

“Benar dugaanmu, Nek. Manusia putung neraka itu pastilah sudah ngompol ketakutan, hahaha....” kali ini manusia ke empat yang memberi ejekan.

“Jelaskan kepada mereka, siapa aku sebenarnya.”

“Jika itu maumu, aku menurut saja Nek.” Pada semua orang ia berteriak lantang. “Dengar kalian semua calon bangkai busuk! Kalian pernah mendengar Siluman Lembah Anai? Dialah Nenek Sakti Siluman Lembah Anai. Tidak melangkah kecuali darah dan mayat menjadi alasnya. Setiap hembus napas baginya adalah kematian. Ada yang mau mencoba? Atau celana kalian sudah sama basahnya seperti pimpinan kalian? Aku peringatkan pada kalian semua, jauh-jauh dari sebrang kalian hanya mengantar nyawa. Kecuali ....”

“Kecuali apa?” yang berteriak lantang memotong adalah perwira muda salah satu pimpinan kelompok. Berdiri tidak jauh dari Senopati Jayarendra.

“Manusia rendahan dilarang bicara pongah terhadap kami!”

Wut! Selarik sinar hitam pekat melabrak ganas ke arah perwira muda. Pemuda ini tidak menyangka akan mendapat serangan ganas mendadak, tak mampu berbuat apa-apa. Selagi semua orang terkesima dengan pukulan dahsyat mematikan, dua larik cahaya biru datang memapasi. Ledakan bah sebuah letusan gunung mengguncang tempat sekitar. Meskipun perwira muda tadi selamat dari serangan mematikan, tetap saja, karena ledakan terlalu dekat, perwira muda ini sampai terpental hingga satu tombak. Senopati segera melompat, memberikan pertolongan pada bawahannya.

Yang mengenaskan tentu saja para prajurit. Mereka berada di posisi paling dekat. Kejadian singkat itu benar-benar membuat semua mata terbelalak. Cahaya hitam yang menghantam lima orang prajurit menyisakan tulang belulang. Daging tubuh beserta pakaian atau bahkan senjata masing-masing habis terpanggang merubah menjadi abu dalam kejapan mata.

Ilmu apa yang telah dilepaskan Nenek Siluman Lembah Anai itu sebenarnya? Ilmu pukulan ini tidak bernama. Tapi, orang-orang dunia persilatan menamai ‘Api Siluman Mengamuk’ sekali pukulan mengerikan itu keluar, abu tubuh manusia menambah tebal debu tanah dan tulang belulangnya menambah tinggi timbunan lembah.

“Ilmu Setan apa yang telah dikeluarkan Nenek jahaman itu?” Panji mendekati gurunya. “Kau tidak apa-apa guru?”

Nyanyuk Amber tertawa mengekeh. “Seperti yang kau lihat muridku, aku baik-baik saja. Hanya saja kepala sedikit pusing.”

Sementara di tengah lingkaran Nenek Siluman Lembah Anai terdorong keras. Andai dua teman di belakangnya tidak segera memapasi, tentu nenek sakti ini akan terbanting ke belakang. Ia mengusap dadanya. Beruntunglah dirinya tidak mengalami luka dalam.

“Jahanam! Rupanya dalam rombongan ini ada orang yang berilmu tinggi,” bisik Nenek Siluman pada Datuk Gadang. “Aku menduga orang ini tidak berada dibawah kita.”

“Jika hanya satu orang, apa yang kita takutkan?” Iblis Api Perut Bumi menyahut.

“Kalian ada yang mengenal ilmu barusan?”

Empat orang menggeleng. “Ilmu kesaktian itu keluar dari sepasang matanya. Setahuku, manusia yang mampu melakukan itu hanya ada tiga orang. Pendekar terkutuk Wiro Sableng dan istrinya, satu lagi gurunya.”

“Hmmm.... kalau begitu dia jenis manusia yang tak pernah ikut campur urusan dunia persilatan. Tentulah hanya seorang tua bangka busuk rongsokan. Hanya ada dua orang di tanah seberang yang menjadi dedengkotnya. Tua Gila dan Tua Buta Nyanyuk Amber!”

Datuk Gadang melihat ke arah di mana dua larik sinar tadi berasal. “Kiranya ada tokoh sepuh yang mengikuti rombongan ini. Orang tua, kau kah itu? Seorang tokoh sakti yang pada masanya menggetarkan Pulau Andalas?”

“Hehehehe..... kau terlalu berlebihan memuji manusia bertudung merah. Eh siapa tadi namamu? Datuk Gagang....?”

“Datuk Gadang!”

“Oh, ya, maaf sudah tua sudah pikun. Datuk Gadang, barusan aku mendengar anak buahmu berkata .....”

“Bangsat! Aku bukan anak buah siapapun. Hanya Yang Mulia Paduka Raja tertinggi yang jadi pimpinan kami!”

“Owaaahhhh.... aku yang sudah tua ini tidak mengerti urutan pangkat jabatan kalian di Kerajaan Perut Bumi, harap maklum. Soal pengecualian yang kalian maksudkan, bagaimana aturannya?”

“Mudah saja,” kata Datuk Gadang. “Kalian semua ikut bergabung bersama kami.”

“Jauh-jauh kami datang mengarungi lautan, lalu menghambakan diri pada raja sesat perut bumi?!”

“Keparat! Berani kau menghina sri baginda raja tertinggi kami!” Nenek ini hendak kembali melepas pukulan saktinya, tapi Datuk Gadang segera mencegahnya.

“Sabar sahabatku. Kita masih punya banyak waktu untuk mengirim mereka semua ke neraka. Sekarang, aku mau main-main dulu dengan mereka.”

“Jika kalian menolak, baiklah,” ucapnya lantang. “Aku punya satu permainan. Cukup kuno. Kedua belah pihak saling menjagokan. Bagi jagoannya yang kalah, harus siap untuk menuruti kemauan si pemenang. Bagaimana? Kalian setuju?”

Senopati Jayarendra hanya diam. Melirik pada Nyanyuk Amber. Begitupun dengan Anggini dan Pandansuri. Keduanya hanya berdiri terpaku, menatap tajam ke depan di mana lima orang sedang menjual laga.

“Aku setuju!” tiba-tiba suara seseorang menyahut. Anggini yang sangat mengenal suara itu lekas berpaling. Kekasihnya kini terlihat melangkah maju, berada di baris depan pasukan. Api lingkarang sudah padam. Hanya menyisakan cahaya obor dari para prajurit.

“Weleh-weleh. Rupanya ada pemuda gagah dan ksatria. Kuharap keberanianmu sama hebatnya dengan ilmu yang kau miliki anak muda.”

“Ingat perjanjiannya! Jika kau kalah, maka kalian harus mengikuti apa kemauanku!”

“Luar biasa, hahahaha ..... benar-benar luar biasa. Heh, anak muda, kamu bertarung dulu. Kalahkan dulu jagoanku, baru menjual tampang menuntut janji. Jangan jadi orang kebelinger. Belum apa-apa udah merasa juara hahahaha....” suara tawa nenek ini diikuti yang lainnya.

“Tidak perlu banyak cakap! Siapa lawan yang harus kuhabisi?!”

Manusia keempat yang sudah gerah melihat sikap pongah Panji melompat. Panji sendiri kini sudah berdiri di tengah lingkaran. Karena tidak mau terjadi kecurangan, Jayarendra memerintahkan kepada seluruh prajurit untuk menambah kayu bakar. Minyak dituangkan dan api melingkar kembali menyala. Lebih besar dari sebelumnya. Pedataran kini menjadi terang benderang.

“Aku tahu, sejak digembeleng guru, ilmu silat Panji meningkat tajam. Tapi kita tidak tahu, siapa manusia yang akan Panji hadapi. Aku merasa malam ini sikap dia sedikit berbeda.”

Anggini diam bukan berarti tidak mendengarkan apa yang dikatakan Pandansuri barusan. Justru sejak tadi ia memikirkan hal yang sama. Ada yang aneh dari sikap Panji. Ketika pertama dia datang saja, ia langsung memilih tempat di samping pemuda, akan tetapi, seakan sengaja menghindar, Panji menuju ke tempat gurunya. Sejauh itu Anggini menganggap biasa. Mungkin ada hal yang ingin disampaikan kepaada sang guru. Sampai kejadian demi kejadian membuat gadis ini semakin bertanya-tanya akan perubahan sikap Panji. Beberapa kali ia melihat ke arah pemuda itu, tidak sekalipun Panji melihat balik. Padahal biasnya senyum manis selalu terkembang di kumis tipisnya. Mungkinkah dia marah atas dirinya? Jika benar, perihal apakah? Si penguping? Mungkinkah si penguping itu Panji? Dia mendengar semua pembicaraan dirinya mengenai Wiro Sableng. Cemburu! Atau bahkan sakit hati? Ya Tuhan.... bagaimana ini?

Diam-diam Anggini meyakini dugaannya kalau semua perubahan sikap Panji karena cemburu. Lelaki mana yang tidak sakit hati ketika mengetahui kekasihnya masih menyimpan kenangan masa lalu. Bukan itu saja, kekasihnya itu nyatanya masih merindukan dan berharap kejadian lampau akan terulang.

Bab 13

“Jagat Satria!” panggil Nenek Lembah Anai. Nama si pemuda sebenarnya Ksatria Penggetar Jagat, tapi kawanannya lebih sering memanggil nama demikian. “Beri pelajaran pada cecunguk salah kaparah itu! Buka matanya lebar-lebar, agar dia tahu kepada siapa dia berhadapan saat ini.”

Jagat Satria tertawa mengejek. “Kau tenang saja Nek. Aku sendiri sebenarnya lebih suka menutup matanya. Malam ini adalah kali terakhir dia melihat dunia.”

Pada Panji ia berkata, “Keluarkan pedangmu. Jika dalam sepuluh jurus kau mampu bertahan, tidak akan ada lagi kesempatan bagimu.”

Panji tersenyum mengejek. “Hanya untuk memenggal batang lehermu apa perlunya pakai pedang!”

“Hina dina tak tau diri!” Jagat Satria melancarkan serangan pembuka. Yang jadi sasaran kepala Panji. Bentakan dan hempasan angin sekuat itu, harusnya serangan datang secepat kilat. Tapi, yang dilihat Panji ancaman datang tidak semestinya. Sedikit melambat. Walau dirinya tidak memiliki pengalaman bertarung sebanyak Wiro Sableng, berkat gemblengan orang tua sakti, Nyanyuk Amber, ia mampu membaca jenis serangan apa yang dilancarkan lawannya. Bukan lain adalah serangan tipuan. Dan memang apa yang diduga Panji benar, andai ia memilih mengelak kenanan atau kekiri, maka ancaman mengerikan akan menerjangnya. Ada tiga titik serangan sekaligus. Dan sudah pasti, dirinya takkan mampu mengelak atau misalkan mampu pasti salah satu akan mendarat pada tubuhnya. Ternyata kesombongan manusia bertupung itu bukan hanya omong kosong belaka. Apa jadinya, andai ia terkena jotosan hanya dalam satu serangan. Tentu selain rasa malu yang teramat sangat, ancaman kehilangan nyawa juga menimpa dirinya.

Di sisi lain, Jagat Satria terkejut bukan kepalang, kala menyadari lawannya mampu membaca jurus serangan andalannya. Dalam banyak pertarungan, ia tidak pernah mempergunakan jurus ini. Akan tetapi, sekali jurus itu keluar, musuh akan langsung terkapar dengan kepala rengkah, jantung jebol dan alat kelamin ambrol. Andaipun lawan mampu mengelak, ia akan susul lagi dengan serangan yang jauh lebih menggila. Meski sejauh itu belum pernah ada satu lawan pun yang mampu menyelamatkan diri dari jurusnya ini.

Sedangkan pemuda ini? Bukan hanya mampu membaca, lebih dari itu, lawannya kini membalas serangan.

Jagat Satria berteriak ganas. Desiran angin kembali menggila. Ini bukan lagi tipuan. Panji merasakan ada dorongan hebat dari setiap pukulan dan tendangan yang dilancarkan Jagat Satria. Tidak seperti pada serangan pembuka tadi, dirinya mampu menyerang balik, pada saat ini, ia dipaksa untuk terus bertahan. Dan apa yang dikatakan Jagat Satria sebelumnya kini terbukti, kalau dalam sepuluh jurus, ia harus mati-matian membentengi diri.

“Jahanam!” Panji mengumpat. Hampir saja perabotannya kena hantam lawan. Ia melompat keluar kalangan pertempuran. Wajah pemuda ini mendadak pucat. Di depannya, Jagat Satria tertawa mengejek diikuti ke empat kawannya.

“Belum sampai sepuluh jurus kau sudah kewalahan. Ternyata ilmumu tidak sebesar ucapanmu! Lebih rendah dari yang kubayangkan!”

Walau dadanya hampir meledak dipermalukan di depan semua orang, di hadapan gurunya sendiri, Panji berusaha tetap tenang. Sejauh ini, ia hanya mengandalkan jurus-jurus silat miliknya. Hasil gemblengan Nyanyuk Amber belum satu pun digunakan.

Panji berpaling ke arah Nyanyuk Amber. Seakan mendapat restu dari si orang tua, pemuda ini membentak garang. Gerakan ilmu silat Panji berbeda sekali dengan sebelumnya. Hal ini pun sangat disadari oleh Jagat Satria. Pemuda bertupung yang sebelumnya mampu mendesak habis dalam gebrakan jurus pertama, kini dibuat kewalahan menghindari serangan yang dilancarkan Panji.

Wuttt!!!

Kedua tangan Panji menelikung kepala Jagat Satria. Kalau terlambat sedikit saja tentu, apa yang diucapkan Panji sebelumnya akan jadi kenyataan. Batang lehernya putus tanpa perlu menggunakan pedang.

“Keparat ini ruapnya punya ilmu simpanan!” Jagat Satria menghantam tinjunya ke arah dada lawan. Tidak tanggung-tanggung, ia mengaliri hampir separuh tenaga dalamnya. Bisa dibayangkan, andai pukulan ini mengenai sasaran, bukan hanya ringsek, dada Panji akan jebol bersama hancur lebur isinya.

Buk!!!

Panji sengaja menghantam balik pukulan lawan. Ia ingin tahu seberapa tinggi tenaga dalam lawannya. Jeritan dari keduanya merobek kegelapan malam. Semua orang terlebih Anggini dan Pandansuri sampai terpekik ketika melihat Panji terpental satu tombak. Ingin sekali keduanya segera melompat ke gelanggang pertempuran demi membantu Panji. Tapi, perjanjian sudah dibuat. Tidak mungkin bagi pendekar yang taat aturan seperti mereka menyalahi janji.

Panji melihat ke lengan kanannya. Dari jemari sampai pergelangan berwarna hitam lebam. Untuk sementara ia merasa kaku. Di sisi lain, Jagat Satria mengibas-ngibaskan. Meniup berulang-ulang, berharap rasa sakit menjadi berkurang.

“Kau masih sanggup?” pertanyaan yang mengandung ejekan dari Nenek Lembah Anai langsung disahuti dengan nada suara penuh amarah.

“Masih banyak ilmu simpanan yang belum aku keluarkan. Jangan kau menganggap aku kewalahan melawannya, Nenek Tua!”

Nenek Lembah Anai tertawa cekikikan. “Jika begitu, segera selesaikan. Aku sudah muak, bosan, ingin segera melihat mereka semua menggorok leher masing-masing!”

Kedua rahang Jagat Satria menggembung. Andai kepala lelaki ini tidak bertupung, tentu sorot matanya yang mengandung amarah besar terlihat jelas oleh Panji. Selain rasa malu yang begitu besar pada kawan-kawannya, ia juga merasa dihinakan oleh semua orang. Dugaannya yang mampu membunuh lawan dalam serangan pertama, bukan hanya salah besar, tapi juga lawannya mampu memberi ancaman maut.

Untuk kedua kalinya Panji memulai serangan. Seperti halnya Jagat Satria, dirinya pun berfikir sama, ingin segera mengakhiri pertempuran. Karenanya, dibabak ketiga ini ia mempergunakan jurus terhebat yang diberikan gurunya. ‘Dua Naga Menggelung Marapi’ Penggunaan ilmu silat ini hampir mirip dengan Ilmu Kopo yang dimiliki Wiro. Sama-sama mampu mematahkan tulang. Bedanya, kalau Ilmu Kopo mematahkan tulang disegala tempat, Dua Naga Menggelung Marapi hanya mampu melepas persendian. Ini pun butuh kecepatan yang luar biasa. Tanpa itu, segala kelebihan yang dimiliki ilmu ini tak lebih hanya mainan anak-anak.

Karena itulah, dibabak ketiga ini, di mata para prajurit, yang pada dasarnya hanya manusia biasa, mereka sulit melihat, mana teman mana lawan. Selain Kabut Buta yang cukup menggangu, kecepatan pertempuran itu tak ubahnya angin puting beliung. Bahkan untuk Senopati Jayarendra sendiri sangat mengagumi ketinggian ilmu si pemuda. Tidak disangka, nyatanya, pemuda yang sebelumnya dianggap anak kampung yang hanya punya sedikit ilmu, nyatanya mampu mendesak salah satu anggota Kerajaan Perut Bumi.

Pandansuri berpaling ke arah Anggini yang sampai saat itu tidak berkedip melihat pertarungan sengit.

“Dalam 13 jurus ke depan, kalau pemuda bernama Jagat Satria itu tidak mengeluarkan ilmu simpanannya, kemenangan sudah ada di tangan kita.”

Tanpa mengalihkan pandangan Anggini menyahuti ucapan Pandansuri. “Justru aku merasa cemas dengan itu.”

Pandansuri yang juga memikirkan hal yang sama mengangguk perlahan. “Kau juga melihatnya Anggini?”

Untuk pertama kali sejak pertandingan dimulai Anggini berpaling ke arah Pandansuri. “Sejak tadi aku mengkhawatirkan itu. Kau ingat dengan salah satu sahabatku yang memiliki kecepatan gerak?”

“Hmmm..... gadis berambut pirang bernama hebat itu ya?”

Anggini megangguk. “Dalam pelatihan aku pernah cerita soal jurus dahsyat ini. Mungkin andai dirinya yang menggunakan, tidak akan ada celah sedikitpun, mengingat betapa cepat gerakan dia. Dua Naga Menggelung Marapi jenis ilmu silat serangan mematikan. Namun di sisi lain, banyak pertahanan yang terbuka. Karenanya, pengguna dituntut untuk mampu bergerak secepat setan dalam gelapnya malam. Tanpa itu semua, selain mengincar kematian lawan, sipemakai juga sedang mempertaruhkan sebagian nyawanya.”

Pandansuri mengalihkan pandangan ke depan. Pertempuran sengit terlihat semakin menggila. Tiga belas jurus yang sebutnya tadi sudah berlalu. Dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda kekalahan bagi pihak lawan. Melihat ada banyak titik kosong dalam pertahanan Panji gadis ini menggigit bibir bawahnya.

“Aku berharap Tuhan membutakan mata manusia terkutuk itu.”

Mulutnya berharap demikian, tapi hatinya justru merasa semakin cemas. Terlebih saat menyadari kalau lawannya telah melihat ada banyak pertahanan yang terbuka. Dan ini pun menjadikan Anggini harus teriak mengingatkan kekasihnya.

“Ubah permainan silat!” teriakan Anggini terdengar jelas oleh semua orang. Keempat manusia bertupung yang sejak tadi mengamati jalannya pertempuran tertawa bergelak.

“Weh-weh... kenapa harus diubah? Apakah jurus yang digunakan hanya sebuah ilmu silat picisan? Jagat Satria! Aku telah salah menduga padamu. Aku pikir ilmumu sebesar namamu. Nyatanya, menemukan kelemahan jurus lawan saja kau tak mampu!”

Lagi-lagi Nenek Lembah Anai mengejek temannya. Padahal, dirinya pun sebenarnya baru menemukan kelemahan jurus yang dimainkan Panji. Sebelumnya, dia dan kawan-kawan sama kagum melihat keganasan serangan. Bahkan dirinya sendiri pun tentu harus mengeluarkan hampir seluruh kemampuannya agar bisa mengimbangi atau mengalahkan Panji.

“Aku tidak serendah itu Nenek Peot!” Jagat Satria membentak garang. Menarik tangan kanannya yang hampir saja berhasil dicekal lawan. Seperti yang sudah disadari Pandasuri, setelah sekian lama bertahan mati-matian akhirnya ia berhasil menemukan kelemahan dari ilmu silat yang digunakan Panji. Sayangnya seseorang mengingatkan untuk mengubah permainan. Umpat kekesalan membanjir deras di hati Jagat Satria. Akan tetapi, permainan silat tetap tidak berubah. Rupanya lawan tidak mengindahkan peringatan teman. Hal ini menjadi kesempatan emas bagi Jagat Satria untuk mengambil keuntungan.

Dalam puncak amarahnya ia pergunakan tangan kanan sebagai pancingan. Meskipun itu sangat beresiko, kegagalan besar terbuka lebar, di sisi lain juga membuka kesempatan untuk menang.

Setelah berhasil menghindari jepitan tangan lawan, Jagat Satria menghantam rusuk dengan tangan kirinya. Panji yang tidak mengira akan mendapat serangan balasan secepat itu hanya mampu mengelak, sayangnya serangan sesungguhnya sedang menanti dirinya dibagian kanan. Ini adalah tendangan keras mematikan dari Jagat Satria.

Buk!

Jerit kesakitan bersatu padu dengan pekikan semua orang.

Tubuh Panji mencelat sejauh dua tombak. Terguling-guling hingga Anggini dan Pandansuri harus melompat menahan tubuh si pemuda agar tidak terlempar ke dalam kobaran api lingkaran.

“Kenapa kau berlaku senekat itu, Panji? Kau mendengar peringatanku kan?” Anggini mendudukan sosok kekasihnya. Gegas ia hendak memberi tambahan tenaga dalam untuk mengatur jalan darahnya, tapi tatapan keheranan terlihat pada kedua gadis ini saat mendengar ucapan Panji.

“Pandan, tolong bantu aku mengatur tenaga dalam.”

Walaupun merasa tidak enak dengan Anggini, ia harus cepat. Karenanya, tanpa dipinta dua kali gadis cantik ini tempelkan kedua telapak tangannya ke punggung si pemuda.

Darah segar keluar bersama batuk yang terdengar seperti sakit menahun.

“Kau luka dalam cukup parah, Panji.” Anggini mengusap darah yang memenuhi bibir si pemuda.

“Aku baik-baik saja.” Panji menelan obat pemberian gurunya dari kantung hitam. Kembali mengatur jalan darah. Pernapasan yang sebelumnya terasa sesak mulai sedikit lega.

Di tengah lingkaran Jagat Satria tertawa menggila.

“Bisa kita lanjutkan? Nanti saja berkasih sayangnya di neraka. Kalian ingat perjanjiannya kan?”

Panji bangkit berdiri. Anggini yang masih cemas dengan keselamatan kekasihnya menghadang langkah Panji.

“Hentikan permainan!”

“Apa kau mau semua orang di sini mati bunuh diri akibat kekalahanku?”

“Panji. Andaipun kau memenangkan pertarungan ini, mereka tidak akan menepati janji!”

“Itu urusan mereka! Aku juga tahu akan hal itu. Tapi, sebagai seorang Ksatria, apakah kita mau mengikuti keburukan yang mereka lakukan?” Panji menoleh ke arah Pandansuri. “Jika aku mati, sampaikan pada semua orang, aku tidak mewakili perjanjian apapun atas mereka semua. Apa yang kulakukan atas dasar kemauanku. Bukan keputusan rombongan ini. Jadi, apapun yang mereka minta, kalian semua tidak harus menuruti.”

Srek!!

Panji mencabut pedangnya. Pemuda ini kembali melancarkan serangan. Jagat Satria yang sejak tadi telah merapal ajian untuk membumi hanguskan ketiganya, segera lepaskan pukulan “Sinar Hijau Penghancur Jagat”

Gelanggang pertempuran yang sudah cukup terang oleh lingkaran api semakin benderang ketika pukulan Jagat Satria sebesar kepala kerbau menghantam ke arah Panji.

“Pengecut, terkutuk!” teriak Panji sambil berguling di atas tanah. Ledakan dahsyat terdengar menggila di belakangnya, diiringi jerit kesakitan, dan bau daging gosong terasa menyengat hidung.

Di depannya, Jagat Satria terjajar sampai lima langkah ke belakang. Tubuhnya bergetar hebat. Mukanya pucat. Sementara di belakangnya Anggini dan Pandansuri yang tadi memapasi serangan gelap lawan berdiri kaku. Kedua tangan kesemutan. Beruntung mereka tidak mengalami luka dalam.

Pukulan ganas Jagat Satria memang berhasil dimentahkan. Berkat pukulan Surya Biru milik Pandansuri dan Ilmu Asap Kencana Biru milik Anggini. Walau begitu, bukan berarti di pihak mereka tidak mengalami kerugian. Hasil muntahan dari sisa ledakan dahsyat itu membabat habis sepuluh prajurit kerajaan. Bahkan salah satu perwira terkena, meskipun selamat, kaki lelaki ini terbakar hangus. Meraung-raung merasakan sakit yang teramat sangat. Para prajurit yang tidak tertolong mengalami kematian yang mengerikan. Bagian kepala sampai perut hangus membiru sementara sisa lainnya hijau kehitaman.

Panji yang ingin segera menghabisi lawannya, tak mau memberi kesempatan sedikitpun. Dalam keterkejutan besar akibat bentrokan tenaga dalam dengan dua perempuan sekaligus, Jagat Satria tidak cukup siap ketika pukulan warisan Nyanyuk Amber menghantam dirinya.

“Matahari Tenggelam di Puncak Singgalang!” teriak Datuk Gadang mengetahui ilmu kesaktian yang dikeluarkan Panji.

Mula-mula pukulan merah menyala lalu meredup menjadi hitam legam. Menerjang ganas ke arah Jagat Satria. Pemuda ini hanya mampu menangkis dengan pukulan tangan kosong lantaran tak ada kesiapan bahkan untuk bisa mengelak. Tentu saja, ini akan menjadi hantaman empuk. Sosok lelaki ini akan terpanggang dalam kobaran api hingga tulang belulang menjadi abu. Sayangnya, seperti apa yang sudah diduga Anggini, kalau kelompok perut bumi tidak akan menepati janji. Tidak bisa dipercaya.

Nenek Sakti Lembah Anai berhasil menyelamatkan Jagat Satria berkat pukulan ganas mematikan “Api Siluman Mengamuk”. Hal ini jelas menyalahi janji.

Curang!” teriak lantang Senopati Jayarendra.

Panji sendiri harus menotok beberapa titik di lengan kanannya, karena ia merasakan ada hawa api yang membakar lengan. Beruntung Nenek Sakti itu tidak mengerahkan tenaga dalam lebih dari yang dimiliki dirinya. Jika ia, tentu nasib yang dialami para prajurit sebelumnya akan menimpanya.

“Panji awas!” teriakan Anggini dan Pandansuri terdengar nyaring bersama terlepasnya ribuan anak panah yang mengarah ke tengah lapangan. Tanpa menoleh ia rebahkan tubuh sama rata dengan tanah, berguling jauh meninggalkan Jagat Satria dan lainnya.

Nenek Sakti Lembah Anai tertawa mengerikan. Dunia persilatan menyebutnya Tawa Kematian! Sekali kebutkan jubah, ratusan anak panah hancur bermentalan. Pukulan Api Siluman Mengamuk kembali melesat, mengarah ke sisi lingkaran. Tidak tanggung-tanggung, ia gunakan dua tangan sekaligus. Bisa dibayangkan, seberapa besar kehancuran yang diakibatkan nenek ini.

Jerit kematian terdengar menggema di sepanjang lingkaran. Dari pukulan Nenek Sakti Lembah Anai para prajurit mengalami terbakar hebat. Seolah tubuh direndam ke dalam lahar. Lalu seketika tubuh berubah menjadi abu, hanya menyisakan tulang belulang yang oleh dunia persilatan akan menjadi tambahan timbunan lembah.

Di sudut lingkaran lain, puluhan prajurit menjadi gosong. Ini akibat pukulan yang dilancarkan Datuk Gadang. Sementara akibat ulah Iblis Api Perut Bumi lebih mengerikan. Puluhan prajurit mengalami kematian yang sangat aneh. Kepala meledak, dan perut membuncah. Usus dan isi tubuh keluar semua. Robekan itu terlalu mengerikan untuk dilihat. Dalam waktu singkat, ratusan prajurit menjadi korban akibat keganasan orang-orang Kerajaan Perut Bumi.

Senopati Jayarendra sampai terbelalak melihat kegilaan yang ditimbulkan akibat keputusannya. Ia melihat ke arah Nyanyuk Amber. Orang Tua buta itu segera memerintahkan untuk menghentikan penyerangan.

Anggini, Panji dan Pandansuri telah melompat ke gelanggang pertempuran. Ia memilih membantu Panji karena nenek sakti berjuluk Iblis Api Perut Bumi membantu Jagat Satria. Tentu saja keputusan Anggini tidak bermaksud meremehkan kekasihnya, ia hanya tidak mau Panji kenapa-kenapa, mengingat menghadapi satu manusia saja cukup sulit, apatah kini dua orang sekaligus. Di sisi lain, kejadian yang dialami para prajurit akibat keganasan ilmu iblis yang digunakan Iblis Api benar-benar mengerikan.

“Aku bisa tangani ini sendiri!”

Anggini sampai melompat keluar dari kalangan pertempuran mendengar ucapan kekasihnya.

“Apa maksud ucapanmu, Panji?”

*Weleh-welehh... kalian sepasang kekasih rupanya. Hihihi.... jika aku jadi kalian, tentu aku memilih bergabung dengan Kerajaan Perut Bumi. Di sana banyak sekali istana megah dan kalian akan hidup bahagia, hihihi......”

“Tua bangka rongsokan! Sampai aku matipun aku tidak sudi bergabung dengan manusia-manusia jahanam terkutuk seperti kalian!”

“Duh, cah ayu... apa kau belum bisa mengambil pelajaran dari kematian para prajurit itu? Kalau sampai aku kelepasan tangan, wajah dan tubuhmu yang mulus itu tak lagi enak dipandang. Bahkan Jagat Satria pun kurasa tak sudi melihatnya hihi....”

“Keparat!” Anggini siap menerjang. Tapi Panji menghadang gerak langkahnya. “Anggini! Apa kau tidak mendengarku? Kau lebih baik membantu Pandansuri, kakek tua itu jelas bukan tandingannya.”

“Kau mengkhawatirkan Pandansuri atau sengaja menghindariku?”

Panji diam saja.

Di depannya Iblis Api Perut Bumi dan Jagat Satria kembali mengejek.

“Sungguh kasihan. Ini perpisahan yang paling ditakuti umat manusia. Terlebih bagi pasangan muda seperti kalian. Saat ajal berada di depan mata, kalian justru tidak akur. Gadis Ayu, kurasa kekasihmu memang mengkhawatirkan gadis yang sedang bertarung di sana. Dia lebih tinggi dari kamu. Rambutnya juga lebih bagus. Aku yakin ada perasaan khusus. Dan ada hubungan khusus antara keduanya. Mungkin .....”

“Tutup mulutmu Nenek Keparat!” Anggini siap melancarkan serangan dengan selendang ungunya, tapi lagi-lagi Panji menghadang geraknya. Nenek Iblis Api tertawa mengekeh diikuti Jagat Satria.

“Kau tidak punya waktu. Lihatlah.”

Anggini menengok ke arah tunjukan. Di sana Pandansuri terdesak hebat. Bagaimanapun tingginya ilmu gadis itu, menghadapi Datuk Gadang seorang diri bukan keputusan yang baik. Dalam waktu dekat ia menjadi bulan-bulanan kakek tua dari Andalas.

Karena tidak ada pilihan lain, dan juga membenarkan apa yang Panji katakan, mau tidak mau dengan berat hati Anggini melompat ke pertempuran Pandansuri. Bagaikan seekor ular raksasa selendang itu melesat, membelit lengan kanan yang hampir saja meremukan dada sebelah kiri Pandansuri. Datuk Gadang segera melepas belitan selendang sebelum pemilik menambah hentakan untuk memutus lengannya. Ketika lengannya berhasil lolos ia melompat keluar dari kalangan pertempuran. Tapi Anggini dan Pandansuri tidak mau memberi kesempatan sedikitpun. Serangan datang bertubi-tubi dari keduanya. Meskipun datuk Gadang terlihat cukup kerepotan akan tetapi, orang tua ini masih terlihat tenang, pertanda serangan yang dibuat lawannya tidak cukup mengancam nyawa.

“Padahal aku menawarkan syurga. Kalian jadi gundikku dalam istana yang megah. Di sana apa pun yang kau inginkan akan kupenuhi. Tapi kalian memilih mati!”

“Tua Bangka Bermulut Kotor! Lihat selendang!”

Anggini keluarkan Jurus Sepasang Tangan Menebar Maut. Biasanya jurus ini digunakan dengan tangan kosong. Namun, kali ini ia menerapkan dengan serangan selendang, senjata yang sangat diandalkannya. Butuh waktu lama ia untuk bisa menyempurnakan perpaduan jurus ini. Jika ini berhasil mengenai sasaran, maka Datuk Gadang adalah orang pertama yang menjadi kelinci percobaan bagi ilmu barunya.

Wut! Wut!

Dua selendang laksana kepala ular raksasa melesat ke arah leher, siap memebelit, satu lagi mengincar kaki kanan lawan. Di sisi lain, Pandansuri telah melepaskan Pukulan Kuku Api. Sehebat apapun Datuk Gadang bahkan andai ia memiliki kecepatan gerak layaknya setan terbang, tak akan sanggup untuk menghindari ketiga serangan sekaligus. Pasti ada salah satu yang harus direlakan. Selamat dari Kuku Api kepalanya akan putus dibetot Anggini. Sementara jika memilih menghindari serangan selendang, ia harus merelakan pukulan yang cukup ganas dan terkenal di pulau Andalas itu merobek tubuhnya.

Dalam kebingungan ia melihat kawannya Si Bisu melepas pukulan guna memapasi serangan Pandansuri. Hal ini menyelematkan ia dari tiga serangan sekaligus.

Bum!!!

Pandansuri terpental satu tombak, tapi ia tidak sampai terjatuh. Tubuhnya masih mampu berdiri tegap. Anggini segera melompat, memberi pertolongan pada saudarinya.

“Aku tidak apa-apa.” Pandansuri mengatur napas. Tidak merasakan adanya luka dalam. “Keparat! Harusnya Iblis Tua itu sudah mampus! Atau paling tidak meregang nyawa!”

“Berikutnya, selendangku benar-benar akan membetot kepalanya.” Sahut Anggini.

“Dan kedua tanganku merobek jantungnya!”

Keduanya kembali melompat. Sayangnya, kini manusia berjubah ke lima alias Si Bisu ikut bergabung membantu Datuk Gadang. Hal ini jelas membuat dua dara cantik menjadi kerepotan. Bahkan, yang sebelumnya mampu mendesak Datuk Gadang, kini terjadi sebaliknya. Anggini dan Pandansuri terdesak hebat. Tapi beruntungnya itu tidak lama. Karena dari sisi lain teriakan Nenek Sakti Lembah Anai mengejutkan semuanya. Termasuk manusia berjubah ke lima.

“Setan Bisu.... bantu aku...!”

Apa yang terjadi dengan manusia mengerikan ini?

Ratusan nyawa para prajurit bergelimpangan tanpa terkendali. Setiap Tawa Kematian Nenek Sakti Lembah Anai terdengar, saat itu juga jerit kematian menggila bersama lesatan pukulan-pukulan yang dilepasnya.

Senopati Jayarendera tidak mampu berbuat apapun. Memberi perintah pada para prawira, jelas itu hanya menambah lebih banyak kerugian. Mereka hanya berlari untuk mengantarkan nyawa.

Nyanyuk Amber yang mengetahui itu, memberi perintah pada para petinggi kepemimpinan untuk menjaga tubuhnya dari serangan. Lebih dari selusin orang melingkar, melindungi orang tua buta ini. Kelopak mata mengerikan tanpa bola bergerak-gerak. Diikuti dengan gerakan bibir yang sedang membaca mantra.

Di depan sana, Nenek Sakti Lembah Anai tiada henti melepas pukulan pukulan mautnya. Terlihat sekali betapa ia menikmati jerit kematian orang-orang. Suara mengerikan itu baginya seperti nyanyian para bidadari dari syurga.

“Hieeeeeeehehehe...... siapa lagi? Oh sebelah sana belum.” Nenek Anai mengarahkan pukulan ke arah para petinggi keprajuritan yang sedang melindungi Nyanyuk Amber. Ketika buntalan api hitam bermunculan di kepalan tangannya, saat itulah, sebuah benda terbang dengan kecepatan tinggi, layaknya anak panah mengarah kepalanya.

“Setan alas! Siapa berani main-main dengan Nenek Sakti Lembah Anai?!” mudah saja bagi nenek ini menghindar.

Bluk! Benda itu jatuh di depannya. Jika benda itu dilempar orang, apalagi dengan pengerahan tenaga dalam, tentu benda akan terus melaju seiring hindarannya. Tapi yang dia lihat justru terjatuh di hadapan. Padahal jelas-jelas kecepatannya menyamai anak panah.

Meskipun ia memikirkan ke anehan yang terjadi, akalnya tidak mampu menebak, lebih lagi, rasa penasaran akan benda apa yang tergolek di depannya membuat nenek ini menyenggol pelan dengan kakinya. Saat terbalik, rupanya itu kepala salah satu dari ketiga orang yang sebelumnya ditolong. Ia tahu, tiga orang itu tak mampu diselamatkan, akibat luka yang teramat parah, tapi, ketiganya tidak mati dalam keadaan kepala terputus.

Wutt!

Lagi, sebuah kepala manusia mengarah ke kepalanya.

“Setan alas!” Nenek ini hantamkan tinjunya. Kepala itu hancur berkeping-keping. Tapi serangan kembali datang. Akhirnya ia pergunakan tenaga dalam. Tidak tanggung-tanggung, separuh dari miliknya ia keluarkan. Maksudnya, jika kepala yang menyerangnya mempergunakan tenaga dalam, maka, si penyerang gelap akan mengalami serangan balik.

Prakkk!!

Kepala hancur dan ia tak merasakan apapun. Membuktikan kalau kepala itu terbang tanpa pengerahan tenaga dalam.

Keadaan bingung, ia belum mampu memecahkan apa yang sebenarnya terjadi, nenek ini kembali dikejutkan dengan serangan ganas dari sebuah tombak. Senjata prajurit itu menusuk ke arah jantungnya.

“Keparat!” Nenek Anai melompat, menghindar, sekali hantam tongkat itu patah menjadi lima bagian. Sayangnya, kejadian aneh itu terus berulang. Walaupun menghadapi serangan gelap itu sangat mudah baginya, mematahkan tongkat semudah meludah, tapi, jika terus-terusan dirinya kelabakan juga.

Tongkat hancur datang lagi serangan tongkat lain, lalu disusul pedang, berganti lagi kepala manusia, mayat, dan terus menerus berulang hingga yang membuat nenek ini sampai mau gila ialah sebatang pohon besar tiba-tiba terbongkar, lalu bagai terkena puting beliung, pohon itu berputar-putar membabat kearahnya. Nenek Sakti ini untuk kesekian kali melepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi untuk menghancurkan pohon itu.

Brak!

Pohon sebesar pemelukan manusia hancur menjadi serpihan. Tapi di belakangnya batu sebesar kerbau telah datang menyerang.

“Ilmu Iblis apa yang digunakan manusia pengecut ini? Setan alas, jika kau bukan banci, keluar! Hadapi aku secara kesatria!”

Ledakan dahsyat mengguncang tempat sekitar. Kepulan asap tebal akibat hancuran batu memenuhi tempat itu. Nenek Anai melihat ke arah para pemimpin tertinggi. Orang-orang itu sejak tadi hanya diam melingkar. Nenek ini mulai curiga.

“Tua bangka sialan! Ini pasti pekerjaanmu!” Nenek Sakti Lembah Anai kerahkan seluruh tenaga dalamnya. Api hitam bermunculan dari kepalan tangan. Tapi lagi-lagi serangan ganas datang mengarah ke lehernya.

“Keparat! Kalau begini terus aku bisa kehabisan tenaga!” ia berkelit, serangan mengenai tempat kosong. Tidak seperti sebelumnya, senjata mudah dipatahkan. Kali ini, seakan dimainkan oleh ahli pedang, senjata itu meliuk-liuk mencari sasaran ke bagian-bagian terpenting milik Nenek Sakti Lembah Anai.

Menghantam pukulan sakti pun percuma. Sebab yang ia lawan hanya angin kosong tak memiliki nyawa.

“Setan Bisu..... bantu aku.....!” teriakan ganas disertai hempasan tenaga dalam hanya membuat mental pedang beberapa langkah saja. Dalam sekejab senjata itu laksana naga kembali datang menerjang.

Nenek ini hantam dengan pukulan sakti. Pedang mental, tapi pedang lain kembali datang. Setan Bisu telah masuk ke lingkar pertempurannya melawan angin. Melihat keanehan kawannya, lelaki ini terbelalak di balik tupungnya. Untung saja dia bisu, kalau bisa bicara tentu ejekan bermunculan dari mulutnya.

“Bantu aku hadapi pedang sialan ini! Aku mau bumi hanguskan keparat yang ada di sana.”

Walaupun merasa heran, Setan Bisu ambil alih pertempuran Nenek Anai. Anehnya, senjata itu terjatuh seolah ditinggalkan tuannya. Tapi kemudian hal luar biasa terjadi. Setan Bisu merasakan ada kekuatan mahadahsyat yang menggerakan tangannya. Ia mati-matian bertahan tapi tangan itu siap menerjang ke arah Nenek Sakti Lembah Anai.

“Emhhhh......!”

“Setan alas! Apa yang terjadi dengan dirimu!?” Nenek Sakti ini kembali terganggu dalam merapal ajian Api Siluman Mengamuk ketika melihat kawannya bergulat dengan tangannya sendiri.

“Keparat! Mati kalian semua!” Nenek ini melompat menjauhi Setan Bisu. Tujuannya tentu saja saat merapal tidak ada satu manusia pun yang mengganggu. Benar saja. Api hitam telah muncul membuntal di kepalan tangannya. Tangan kanan siap melepas dengan tenaga dalam penuh ke arah Nyanyuk Amber yang ada di dalam lingkaran. Sayangnya, baru pertengahan jalan, ia merasakan tangan itu menjadi seberat batu karang. Perlahan tapi pasti tangan itu bergerak mengarah ke kepalanya.

“Tidak! Jangan!’ ia lipatgandakan tenaga dalam. Maksudnya agar mampu mencegah kekuatan besar yang sedang mengambil alih anggota tubuhnya. Celakanya, itu sia-sia. Tangan itu tetap bergerak dan akibat pengerahan kekuatan, api hitam makin membuntal mengerikan.

Prak!

Kepala Nenek Sakti Lembah Anai hancur dihantam pukulannya sendiri. Kobaran api hitam menjalar ke sekujur tubuh yang sudah tak bernyawa. Dalam sekejap, tubuh itu berubah menjadi abu, menyisakan tulang belulang tanpa kepala. Semua mata terbelalak. Saat itu juga jeritan Pandansuri terdengar.

Kembali kepertempuran sebelumnya.

Ditinggalkan Setan Bisu, Datuk Gadang kembali menghadapi dua dara seorang diri. Biar begitu, ia mampu mengimbangi, karena pengalaman pahit membawanya untuk berlaku hati-hati. Kalau sebelumnya ia menganggap remeh lawan, tidak untuk sekarang. Karenanya, serangan ganas bertubi-tubi dua gadis cantik itu mampu dihindari sekaligus membalas serangan.

Wut! Selendang Anggini kembali merenggut kepala Datuk Gadang. Kakek tua itu terkekeh.

“Serangan yang sama tidak mempan bagiku, gadis cantik.” Datuk Gadang merunduk. Di sisi lain kaki kanan Pandansuri menerobos ke dalam pertahanannya.

“Gadis binal satu ini harus kulumpuhkan lebih dulu. Sayang, padahal tubuh bagus kulit mulus.”

Datuk Gadang berkelit, bersama dengan itu ia hantamkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Jika mengenai sasaran, tulang kering Pandansuri akan hancur, dan robekan daging bersama cipratan darah akan menciptakan pemandangan yang tak elok dilihat.

Namun, Panadansuri bukan gadis kemaren sore yang baru turun gunung. Segudang pengalaman membawanya untuk selalu bersikap waspada. Kala Datuk Gadang berkelit, ia sudah bisa membaca serangan apa yang bakal dilancarkan si orang tua. Karena itu, mudah saja baginya mengelak, menarik pulang hantaman kaki kananya, dan kembali menyerang dengan serbuan menggila.

Datuk Gadang berteriak cemas kala selendang Anggini lagi-lagi hampir berhasil membelit tubuhnya. Di sisi lain Pandansuri berhasil melepas pukulan Kuku Api. Ilmu ganas mematikan itu menghantam dinding batu, hingga bongkahan batu sebesar rumah hancur berkeping-keping. Datuk Gadang sendiri telah menyelamtkan sendiri, bergulingan ke tanah. Dari bawah ia mengincar dada salah satu gadis yang sejak tadi dipuji-puji karena kemulusan kulit dan kecantikan wajah.

“Terpaksa aku harud menghabisi saalah satu dari kalian!” Selarik sinar merah menyala terlepas dari kepalannya. Datuk Gadang telah mengeluarkan pukulan sakti andalannya. “Jeritan Iblis dari Neraka” sesuai namanya, pukulan itu bergemuruh bagaikan teriakan para setan yang sedang disiksa di neraka. Menghantam dengan pukulan sakti dengan jarak sedekat itu, tidak ada jalan selamat bagi Pandansuri, selain memapasi pukulan lawan. Walaupun begitu, jika pukulan lawan lebih hebat, ditambah tenaga dalam berada di atasnya, jelas, keputusan apapun yang akan diambil Pandansuri hanya akan membawa dirinya pada kematian.

Gadis cantik dari utara ini harus bergerak cepat. Seluruh tenaga dalam dialirkan ke tangan kanannya. Mula-mula api merah membuntal keluar, lalu berubah menjadi hitam. Datuk Gadang sampai terbelalak melihat pukulan yang dikeluarkan Pandansuri. Itu adalah pukulan yang sama, sebelumnya dikeluarkan Panji, dan dia tahu namanya. “Matahari Tenggelam di Singgalang”

Di sisi lain, Anggini juga tidak mau ketinggalan. Melihat lawan menyerang secara tiba-tiba ia pun melepas pukulan yang sama. Di ruang yang sempit itu, tiga pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi terjadi. Ledakan dahsyat membuat ketiga sosok tubuh terpental sejauh tiga tombak. Datuk Gadang sampai berguling-guling sejauh dua tombak. Lelaki tua ini muntah darah. Jelas ia mengalami luka dalam yang cukup parah. Jubah merah yang dikenakan terbakar habis di beberapa bagian. Tupung penutup kepala hangus menyisakan separuhnya. Ternyata wajah lelaki ini sangat mengerikan. Ada bekas luka bacok di bagian hidung. Salah satu matanya picak.

Anggini merasakan tubuhnya terbakar hebat. Seakan aliran darah berjalan tidak semestinya. Hampir sekujur tubuhnya merasakan sakit. Murid Dewa Tuak mencoba bangkit, tapi ia kembali terkulai. Seluruh tenaga seakan terkuras habis. Baju ungu di beberapa bagian robek besar akibat ledakan. Ia berpaling ke Pandansuri. Sejauh dua tombak, saudari seperguruannya tergeletak tak bergerak. Anggini tahu apa yang dialami sahabat baiknya itu jauh lebih mengerikan dari yang ia rasakan kini. Mengingat pusat seragan tertuju ke arahnya.

Apa yang dikhawatirkan Angginu memang benar. Pandansuri mengalami nasib yang jauh lebih parah dari dirinya. Tapi yang Anggini tidak tahu, gadis dari utara ini mengeluarkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Secara tidak langsung, kekuatan penuh itu menjadi benteng ketika getaran kejut menerpa. Walau keadaan luar jauh lebih parah, celana bagian bawah hampir hangus sempurna. Sepasang kaki mulus kini terllihat memar dan kotor berdebu akibat ledakan.

Bagi orang yang melihat, seperti halnya Anggini tentu itu tampak mengkhawatirkan. Tapi bagi yang punya diri, rasa sakit di tubuhnya tidak separah Anggini. Sesaat setelah mengatur napasnya, Pandansari mampu berdiri. Saat itulah, satu sosok tubuh jatuh tepat di bawah kakinya. Pandangsuri menjerit bah orang kesetanan. Tubuh gadis ini bergetar hebat. Muka menjadi sepucat mayat. Terjatuh berlutut seolah persendian terlepas, tulang penyangga tubuhnya hilang.

Di depannya kini tergeletak sosok mayat yang sangat mengerikan. Kepala mayat itu meledak dan tentu saja sudah tak bisa dikenali. Tubuh bagian dada dampai perut robek besar. Semua organ dalam berserabutan. Usus berserakan. Darah hampir membanjiri seluruh tubuh mayat. Siapa manusia malang yang mengalami kematian sangat tragis ini? Meskipun keadaan sudah sulit dikenali, bagi Pandansuri itu cukup mudah, mengingat seberapa dekat persahabatan mereka selama ini.

Ia pernah berkata pada sahabatnya soal mimpi. “Kau tidak perlu khawatir Anggini. Tidak ada kekacauan yang terjadi di dunia ini disebabkan oleh mimpi.” Tapi kini, apa yang dilihatnya persis seperti mimpi Anggini. Dan semua itu nyata. Mengingat itu Pandansuri menjerit lagi. Tangis membuncah. Semua orag kini menatap iba ke arahnya. Senopati Jayarendra dan beberapa perwira berlari mendatangi. Tidak ada kata yang terucap dari bibir mereka selain lenguhan penyesalan, dan doa-doa pengharapan.

“Anggini...! Anggini mana?” Senopati Jayarendra berteriak ketika menyadari sosok Anggini yang sebelumnya terbujur kaku kini telah tiada. Semua orang menlihat ke sekeliling. Anggini kelihatan. Pandansuri berdiri.

“Tolong urus jenazah Panji. Aku akan kejar para jahanam itu!”

“Pergilah. Beberapa anak buahku menyertaimu.”

Pandansuri melompat, diikuti lebih dari 20 perwira tinggi kerajaan. Sebelum mengikuti Pandansuri yang melakukan pengejaran atas penculikan Anggini, kita lihat dulu apa yang terjadi atas diri Panji hingga mengalami kematian yang sangat mengenaskan.

Setelah Anggini pergi membantu Pandansuri, Iblis Api Perut Bumi tertawa mengejek. “Kau yakin akan melawan kami berdua? Menghadapi sontoloyo ini aja kau kewalahan, dan mati-matian. Kamu terlalu gegabah meremehkan lawan, anak muda.”

“Sampai aku mati sekalipun aku tidak akan mundur . Jangankan hanya kalian berdua, lima sekaligus aku siap menghadapi.”

Tawa meledak di keduanya. Jagat Satria menimpali, “Pepatah mengatakan, semakin dangkal air danau, semakin banyak riak yang ditimbulkan. Aku harap, kesombonganmu tidak membenarkan pepatah tua itu.”

Panji sahuti ucapan orang dengan mulai menyerang. Pedang yang sejak tadi berada dalam genggamannya berkiblat mencari mangsa. Dalam waktu singkat Jagat Satria terdesak hebat. Iblis Api Perut Bumi yang masih berdiri menyaksikan tertawa mengejek kepada temannya.

“Jagat Satria, aku sudah melihat pertarunganmu dengan pemuda itu sebelumnya. Huehhhh.... sangat membosankan! Pertarungan kalian tak lebih hanya mainan untuk anak kecil.”

Wanita Tua ini melompat ke dalam kalangan pertempuran. Kalau sebelumnya Jagat Satria yang terdesak hebat, disibukan oleh serangan Panji dengan ilmu pedangnya yang memang patut dipuji, kini, setelah Iblis Api ikut membantu, desakan justru berbalik. Serangan Panji yang cukup ganas itu bisa dengan mudah dimentahkan. Bahkan sambil tertawa-tawa mengejek, seolah apa yang dilakukan Panji hanya bermain-main.

“Mampus kalian!”

Wuttt!!

Pedang Panji membabat putus penutup wajah Jagat Satria. Tupung itu jatuh, menyisakan beliakan mata dengan wajah sepucat kapas. Ternyata, ia hanya seorang pemuda yang usianya jauh di bawah Panji. Mungkin lima tahun lebih muda. Panji sendiri tidak menyangka kalau manusia bertupung itu ternyata memiliki wajah yang cukup rupawan.

“Baru tupungmu kau sudah merasa seperti kehilangan nyawa. Lihat leher!” bentakan ganas menggema. Laksana kilat pedang menebas ke arah leher. Jagat Satria rundukan kepala, membalas serangan dengan pukulan tangan kosong kearah dada lawan, tapi kemudian terpaksa ia tarik kembali ketika melihat dengan ganasnya pedang Panji kembali datang.

“Setan Alas!”

Makian Jagat Satria disambut gelak tawa oleh Iblis Api Perut Bumi. Sampai saat ini nenek itu jelas masih main-main dalam bertarung. Ia hanya mengikuti ilmu silat yang dimainkan lawan, tanpa mau membalas serangan.

“Benar kata pemuda lawanmu Jagat Satria, baru mendapat ancaman seuprit kau sudah seperti kehilangan nyawa.”

“Jika tidak niat membantu lekas kau minggat dari sini Nenek sialann!”

Sambil terus tertawa-tawa nenek sakti ini berkelit kesana kemari menghindari serangan yang dibuat Panji.

“Olalalaaa.... kalau aku pergi, kau beneran mati, cah gagah.” Saat itulah ia mendengar makian-makian dari sahabatnya, Nenek Lembah Anai. Dengan ekor matanya ia melihat orang tua itu bertarung seorang diri.

“Eh, apa yang dilakukan tua bangka itu? Dia yang sudah gila apa mataku yang mulai buta?”

Wutt! Hampir saja pedang menghantam kepalanya. Ujung tupung miliknya putus, tapi tidak sampai melepas ikatan hingga penutup wajah itu terjatuh.

“Setan alas! Dikasih hati kau minta mati!”

“Aku memang sudah siap mati bersama kalian para Jahanam!”

Ledakan dahsyat terdengar di sampingnya. Kepingan batu bermentalan, beberapa sampai ada yang mengenai wajahnya. Iblis Api melenguh kesakitan. Ledakan itu diakibatkan Nenek Anai yang menghantam bongkahan batu dengan pukulan sakti.

“Keparat!”

Baru saja nenek ini memaki, jerit kesakitan terdengar dari Jagat Satria. Salah satu tangan anak muda itu buntung sebatas siku. Darah membanjir deras. Pemuda ini sampai harus melompat keluar dari pertempuran. Memberikan totokan di beberapa titik untuk menghentikan kucuruan darah.

Nenek Api membentak garang. Melompat setinggi dua tombak. Dari atas ia hantamkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Panji merasa ada bongkahan batu raksasa yang menggencet tubuhnya. Ia kerahkan tenaga dalam, hampir sampai batas kemampuan. Sayangnya itu sia-sia. Ketika Iblis Api Perut Bumi mendarat di depannya, ia hanya merasakan perutnya seperti patuk seribu ular berbisa. Ketika melihat ke bawah, seluruh isi dalam tubuhnya berbusaian, darah membanjir deras lewat robekan besar tubuh bagian depan. Saking tak kuat menahan rasa sakit, bahkan untuk menjerit pun tidak mampu ia lakukan.

“Rasakan kematianmu!” Jagat Satria menghantam keras kepala Panji dengan pukulan Sinar Hijau Penghancur Jagat. Kepala Panji Hancur. Darah muncrat mengikuti ledakan kepala. Tubuhnya mencelat, dan terjatuh tepat di bawah kaki Pandansuri.

Setelah berhasil merobek Panji, Iblis Api memilih kabur, meninggalkan pertempuran. Ia sudah menghitung-hitung kekuatan, dan tahu betul jika dilanjutkan, apa yang menimpa sahabatnya, Nenek Anai juga akan menimpa dirinya.

Datuk Gadang yang saat itu terluka dalam cukup parah, melihat kawannya kabur, tidak mau cari mati. Susah payah ia pun mengikuti. Namun, ketika melihat gadis cantik incarannya tergolek pasrah rasanya sungguh sayang jika ditinggal begitu saja. Walau membawa tubuh sendiri ia sempoyongan, berkat tekat dari dorongan nafsu yang kuat ia bawa Anggini setelah lebih dulu menotok gadis itu. Jagat Satria mengikuti di belakang.

Sementara nasib Setan Bisu? Tidak jauh beda dari bawahannya manusia-manusia bertupung hitam. Ribuan anak panah menancap ke tubuhnya. Kalau mereka yang mati akibat terkena pukulan sulit dikenali lantaran tubuh hancur, maka Setan Bisu tidak bisa dikenali karena kerapatan anak panah ini.

Pandansuri berlari ke arah tenggara. 20 perwira mengikuti dari belakang. Di ufuk timur matahari tampak merangsek naik. Andai kabut putih tidak menutupi pandangan, tentu mereka akan melihat goresan indah ciptaan Tuhan.

Semburat jingga membentang luas di cakrawala. Seolah sedang bercengkrama dengan gunung-gunung yang berdiri gagah menjadi saksi bisu akan kekacauan dunia. Pemandangan itu cukup menarik untuk dilihat. Sayangnya, semua keindahan itu tidak berada dalam waktu yang tepat. Andaipun kabut buta tidak ada, Pandansuri tidak akan sempat memperhatikan. Sorot matanya tertuju pada tetes darah yang ditinggalkan para bedebah.

“Kalian mendengar sesuatu?” tanya Pandansuri pada para pengikutnya. Semua orang menggeleng. Tentu saja mereka tidak mendengar sebab tingkat tenaga dalam para perwira itu berada jauh di bawahnya. Itu artinya, ketajaman pendengaran tidak sama dengannya.

“Suaranya dari arah sana.” Pandansuri kembali berlari. Selang beberapa lama semua orang baru bisa mendengar. Suara perkelahian. Hingga ketika mereka semua telah sampai di sebuah telaga Pandansuri melihat orang-orang yang dikejarnya sedang mengeroyok si pemuda putih. Wiro! Hampir saja meluncur seruan itu dari bibir mungilnya, hingga ia menyadari kalau pemuda itu bukan orang yang dikenalnya.

Jauh di sebelah kiri ada gubuk reot. Pandansuri berlari ke arah sana. Sedangkan para perwira ia perintahkan untuk membantu si pemuda yang sedang melawan dua orang. Iblis Api sendiri tidak kelihatan tanda-tandanya.

“Anggini!” Pandansuri terpekik ketika menyaksikan tubuh sahabatnya. Pakaian robek besar di beberapa bagian. Terutama bagian dada dan tempat terpenting milik perempuan.

“Ya Tuhan.... keburukan apa yang kini menimpamu, Anggini.” Gadis dari utara ini segera lepaskan totokan di tubuh sahabatnya. Setelah terbebas Anggini langsung bankit. Merapikan robekan di bagian dada.

“Terkutuk itu harus mati di tanganku.”

“Anggini, kau .....” Pandansuri tidak kuasa meneruskan. Anggini menatap tajam ke arah pertarungan.

“Bersyukurnya manusia keji itu belum sempat menyentuhku, Pandan.”

Pandansuri menarik napas lega. Meskipun keadaan sahabatnya cukup mengkhawatirkan, tapi, menyadari kini ia tidak kurang suatu apa, termasuk kehormatan, kini hatinya benar-benar tenang.

Anggini berdiri, maksudnya hendak ikut bergabung dengan pemuda yang telah menolongnya. Tapi, ketika ia teringat dengan jeritan keras Pandansuri saat pertempuran sebelumnya, tangis gadis ini pecah. Tubuhnya mendadak kehilangan keseimbangan. Ambruk. Pandansuri tanggap menangkap sosok sahabatnya.

“Tabahkan hatimu, Anggini.” Pandansuri peluk sahabatnya. “Aku tahu ini berat, tapi takdir Tuhan tidak dapat dihentikan. Semua yang terjadi di dunia sudah ada dalam genggamannya.”

Anggini masih menangis. Air mata membuncah, mengalir deras membasahi bahu Pandansuri.

“Kita semua kehilangan. Dia pemuda yang baik. Untuk saat ini kita hanya bisa berdoa, semoga di sana dia mendapatkan kebahagiaan.”

“Harusnya aku tidak meninggalkannya.”

“Ini semua bukan salahmu, Anggini.”

Anggini menggeleng. “Jelas ini salahku, Pandan. Penguping itu aku yakin Panji. Sejak saat itu sikap dia jadi berubah. Aku merasa dia sengaja menghindar dariku. Karena itu pula dia nekat menghadapi para jahanam itu seorang diri.”

Kini Pandansuri menjadi terdiam. Soal kecemburuan, ia pun membenarkan, Panji jelas cemburu akibat obrolan mereka. Dan jika mengingat siapa yang memulai, maka yang patut disalahkan adalah dirinya. Malam itu ia memancing Anggini untuk berbagi kisah dengannya soal Wiro. Tanpa memikirkan akibat yang bakal ditimbulkan.

“Bukan kamu yang salah Anggini. Tapi aku.”

Anggini mengerutkan dahi.

“Kalau saja malam itu aku tidak memancingmu agar mau bercerita, tentu tidak begini kejaidannya.”

Anggini mengusap air matanya. “Kita, Pandan. Kita berdualah yang salah.” Anggini bangkit berdiri. “Nenek keparat itu harus merasakan akibatnya!”

“Kita sama-sama punya hak menuntut balas pada jahanam satu itu!” Pandansuri ikut berdiri. Di kejauhan, salah seorang pengikut perut bumi menjerit keras. Darah mengucur dari leher yang hampir putus. Anggini dan Pandansuri tahu, siapa manusia itu yang bukan lain Jagat Satria. Dua orang inilah yang hampir saja merenggut kehormatan Anggini. Pertarungan semakin tidak seimbang. Datuk Gadang terdesak hebat. Sebelum para prajurit membantu saja keduanya cukup kerepotn dengan ketinggian ilmu silat pemuda berbaju putih, apa tah saat bantuan datang. Di tambah lagi kini Jagat Satria mati di babat hampir putus lehernya.

Diam-diam ia merencanakan pelarian. Sayangnya, pemuda berbaju putih sudah tahu apa yang ada di benak manusia itu.

Buk!

Satu hantaman keras mengenai dadanya. Datuk Gadang menjerit setinggi langit. Ia merasakan jantung hancur. Napas sesak. Belum lagi ia mampu memperbaiki berat napasnya, sabetan pedang salah seorang perwira membabat putus kaki kananya. Datuk mesum tersungkur dengan kucuran darah membanjir deras dari kutungan kakinya. Jerit kematian mulai terlihat di sana. Para perwira hendak mencincang habis manusia terkutuk itu, tapi pemuda mencegahnya.

“Sisanya bagian dia.”

Para perwira berpaling ke arah sudut pandang pemuda. Anggini dan Pandansuri telah berada di belakang mereka.

“Itu bagianmu. Selesaikanlah.”

“Ampun.... jangan bunuh aku. Tolong kasihani aku.”

Walaupun keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan, Datuk Gadang rupanya masih berharap untuk bisa selamat. Sayangnya, rengekkan memohon itu tak memiliki arti apapun. Sekali bergerak, selendang Anggini mengarah ke selengkangan Datuk Gadang. Bagaikan pentungan besi yang sangat besar, selendang itu meremukan alat kelamin beserta tulang pinggul si orang tua. Jerit kematian makin menggila. Sampai selendang kembali datang, yang diincar kini leher Datuk Gadang. Sekali sentak, kepala itu terbabat putus.

Anggini menatap kosong jauh ke depan. Pandansuri menepuk bahunya.

“Mari kita beri penghormatan kepada Panji untuk terakhir kali.”

Anggini mengangguk perlahan. Ia tidak lupa berterimakasih kepada tuan penolongnya.

“Bukan kah kau.....” Anggini yang saat itu baru menyadari siapa pemuda yang menjadi tuan penolongnya sampai tak mampu melanjutkan ucapan.

Si pemuda mengangguk. Ada sekelumit senyum di bibirnya.

“Kita memang pernah bertemu sebelumnya.”

“Kau sudah menyelamatkan nyawaku dua kali. Aku menghaturkan banyak terima kasih.”

“Setiap kita punya kewajiban yang sama. Saling membantu. Karena itu kau tidak perlu merasa sungkan, Anggini.”

Anggini melirik ke arah Pandansuri. Gadis itu memberi gerakan pada kedua alisnya, seolah bertanya apakah kalian saling kenal?

“Dia Mahesa Kelud. Dulu bersama Wiro dia pernah menyelamatkanku.”

Pandan mengangguk sebagai sahutan keterangan Anggini.

“Ahhhh.... soal sahabat lamaku itu, aku dengar dia sudah kawin?”

“Mungkin sudah punya anak,” sahut Pandansuri. Ada nada kesal pada suaranya.

“Hmmm.... sayang waktu itu aku tidak bisa datang memenuhi undangannya. Tadi kau bilang soal Panji. Apa yang terjadi dengan dia?”

Seakan tersadar, kedua gadis ini segera mengajak rombongan untuk pergi.

“Kita harus cepat. Semua orang mungkin mengkhawatirkan kita,” jelas Pandansuri seraya mempercepat larinya.

Bab 14

Di bagian ini terpaksa dibikin 2 part. Soalnya terpotong

tapi tenang saja terbit barengan kok sobat2ku yang keceh

“Berapa lama lagi perjalanan kita, Kek?” Ratu Duyung memegang perutnya yang kini telah mencapai puncak kehamilan. Mereka kini berada dalam sebuah goa, tidak jauh dari anakan sungai.

“Jika malam nanti tidak ada halangan, ke esokan paginya kita sudah sampai di tempat perjanjian,” jelas orang tua yang bukan lain Kakek Segala Tahu.

“Apakah perutmu masih sakit?”

Ratu Duyung kembali meraba perut besarnya. “Aku merasakan tendangan dari dalam. Kek, bagaimana jika di tempat perjanjian aku melahirkan? Bagaimana nasib anakku, Kek?”

Kakek Segala Tahu terbatuk-batuk terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan orang. Ingin sekali ia menggoyang kaleng rombengnya, akan tetapi, pengalaman ketir membuat orang tua ini mengurungkan niat.

“Kau tidak perlu khawatir. Di sana banyak para sahabat yang akan membantu kamu.”

Sebenarnya pernah terbesit di hati si kakek untuk mengantar Ratu Duyung ke warga desa atau rumah penduduk, namun jarak yang ditempuh cukup jauh. Ia harus memutar ulang perjalanannya menuju Ujung Kulon. Itu artinya, ia akan terlambat datang dari waktu yang sudah ditentukan. Menurut perhitungannya, paling lambat, orang-orang atau para sahabat lain malam ini. Dan ia bisa menyusul esok harinya. Jika ia memutuskan untuk mengantar Ratu Duyung ke warga desa maka ia akan terlambat sepuluh hari. Itu artinya, segala pengorbanan orang-orang akan sia-sia.

Di samping itu, kakek buta ini sangat mengkhawatirkan keselamatan Ratu Duyung. Bukan tidak mungkin, dalam kesendiriannya di rumah warga, Ratu Duyung bertemu dengan gerombolan ganas orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Sepanjang perjalanan orang tua ini telah mengalami, manusia-manusia laknat itu seolah memenuhi hampir setiap sisi Pulau Jawa.

“Lalu kabar suamiku bagaimana, Kek? Sampai saat ini kita belum juga mengetahui di mana beradanya.”

Kakek Segala Tahu terdiam membisu. Entah sudah berapa kali Ratu Duyung menanyakan Wiro Sableng. Kakek Segala Tahu, yang memiliki segudang pengetahuan, untuk pertama kali dalam hidupnya tak mampu menjawab pertanyaan orang.

Hening menyelimuti goa untuk beberapa saat hingga satu bayangan hitam berkelebat di depan mereka. Kakek Segala Tahu berdiri dari duduknya yang menjelepok di tanah. Sedang kan Ratu Duyung tetap di tempatnya. Duduk di atas batu datar selebar dua jengkal orang dewasa.

“Wahai.... apakah aku pergi terlalu lama hingga kalian menjadi kesal?”

Orang ini bertanya begitu karena dua sahabatnya tidak lekas menyapa, menyambut kedatangannya.

“Uhuk.... uhuk...” lagi-lagi Kakek Segala Tahu terbatuk-batuk. “Tidak ada yang kesal soal kepergianmu, Latampi. Kami diam karena sebelumnya sedang membicarakan perjalanan malam nanti. Lalu tiba-tiba kamu datang, aku cukup terkejut sampai lupa menyapa. Sejak kekacauan terjadi, Orang Tua Buta ini sering lambat dalam mengambil sikap. Aku hanya khawatir yang masuk ke goa ini bukan dirimu, tapi orang lain.”

Walaupun sebenarnya penjelasan itu sangat janggal, Latampi yang dalam dunia persilatan Latanahsilam dikenal Si Penolong Budiman tak mau ambil pusing. Meskipun merasa aneh, bagi orang sesakti Kakek Segala Tahu sampai tidak menyadari mana kawan mana lawan. Bahkan andai si orang tua sedang mendengkur sekalipun, mengingat betapa tinggi ilmunya akan selalu tahu manusia jenis apa yang mendatangi.

“Hari ini aku hanya dapat dua ekor kelinci saja dan beberapa buah-buahan hutan.” Memberitahu Latampi. Ia menaruh hasil buruannya ke sebuah batu pipih yang sebelumnya menjadi tempat duduk dirinya.

Kakek Segala Tahu mengangguk perlahan.

“Itu sudah lebih dari cukup untuk mengganjal perut kita hari ini dan persiapan perjalanan nanti malam.”

“Wahay.... para sahabat, kalian makan saja berdua. Aku sudah banyak makan buah-buahan di hutan. Masih kenyang.”

“Saudara Latampi, kita makan bersama,” sahut Ratu Duyung yang sejak tadi hanya diam memperhatikan pembicaraan orang.

“Sahabat Bermahkota Kerang, kau sedang hamil. Harus makan banyak. Daging kelinci dan buah-buahan baik untuk kesehatan bayi dalam kandunganmu.” Latampi mengambil satu mangga lalu memberikan ke Ratu Duyung yang kemudian langsung disambuti.

“Kau bisa makan buah itu dulu atau menunggu daging kelinci ini matang.” Latampi menarik kulit dua kelinci itu, membuang isi perutnya dan mulai menyiapkan api pemanggangan.

Kakek Segala Tahu berpaling ke arah Ratu Duyung. “Soal suamimu, aku yakin dalam waktu dekat ini kau akan bertemu dengannya.”

“Itu sudah sering kau katakan, Kek. Sejak dua bulan pertama kepergian Wiro. Demi Gusti Allah Kek, tidak ada yang aku takutkan dikehidupan ini selain kegagalan menjadi seroang ibu. Aku tidak mau ketika anakku lahir suami tidak ada di sisiku. Apalagi aku mati bersama anak dalam kandungan di perjalanan nanti malam.”

Kakek Segala Tahu dan juga Latampi sampai membeliak mendengar apa yang Ratu Duyung katakan. Sepertinya perempuan ini mengalami tekanan batin yang sangat hebat. Atau ini bagian dari dampak kandungan yang sudah cukup besar? Tentu saja orang tua buta ini tidak tahu, karena sepanjang hidupnya dia tidak pernah melihat sikap dan tindak tanduk wanita hamil.

Sebelum-sebelumnya Ratu Duyung memang sering diam dan lebih banyak menyendiri. Menangis ketika sedang dalam peristirahan, atau menjawab dengan nada ketus. Sejauh itu, kata-katanya masih terbilang wajar dan masuk akal. Kini, kalimat yang Ratu Duyung ucapkan benar-benar membuat kedua lelaki ini sampai mengusap tengkuknya. Padahal ia sering melihat kematian. Tidak ada sedikitpun rasa takut, apalagi sampai bulu kuduk berdiri seperti sekarang ini.

“Ratu Duyung, ingat Penciptamu. Kau sudah terlalu jauh bermain dengan perasaan. Akhir-akhir ini kau mengalami banyak tekanan. Tapi, tetap gunakan akalmu. Jangan sampai kau terperosok lebih dalam lagi. Gusti Allah selalu bersama kita. Percayalah, kamu, anakmu dan juga suamimu akan baik-baik saja.”

Ratu Duyung tidak memberikan tanggapan apapun. Bahkan, ia kini melihat ke sudut lain. Ke dinding goa yang jelas tidak tampak apapun selain kabut putih tebal menghalangi.

Latampi sendiri memilih diam. Tetap pada pekerjaannya, membakar kelinci hasil tangkapan. Dalam waktu singkat aroma daging panggang mulai menguar, menusuk hidung, menciptakan rasa lapar yang semakin membesar. Bunyi perut Ratu Duyung menandakan, betapa laparnya wanita ini. Entah kapan ia terakhir kali makan daging.

Sebentar kita ceritakan dulu bagaimana tiba-tiba Latampi berada dalam kelompok ini.

Dikisahkan setelah selamat dari serangan mematikan orang-orang perut bumi di tempat persembunyiannya, Kakek Segala Tahu mengajak Ratu Duyung ke arah utara. Yang menjadi tujuan kakek ini bukan lain adalah sebuah goa berjarak satu hari perjalanan. Di sana juga ia berharap agar bertemu dengan tokoh-tokoh lain. Karena sesuai firasatnya, setiap goa tentu ada penghuni dan pastinya para pendekar dari golongan putih. Sayangnya, ketika keduanya sampai mereka terlambat dua hari perjalanan. Penghuni goa telah lama pergi. Kakek Segala Tahu memutuskan untuk langsung ke tempat perjanjian Ujung Kulon.

Dalam pengembaraannya itu ia menemui banyak bergundal dari perut bumi. Belajar dari pengalaman, juga karena sudah tahu kelemahan ilmu picisan mereka, mudah saja bagi keduanya untuk membumi hanguskan para pengacau itu.

Namun, perjalanan masih jauh. Halang dan rintang terus berdatangan seiring silih bergantinya hari dan bulan. Dari kelompok enam orang, hingga yang menghadang lima orang. Orang-orang perut bumi menyebutnya Kelompok Cabang Lima. Kelompok ini kesaktiannya setara dengan Datuk Gadang dan kawan-kawan. Menurut Nyanyuk Amber, tingkatan ilmu mereka ditentukan warna jubah yang dikenakan. Dari setiap warna memiliki ketinggian satu atau dua tingkat dari sebelumnya.

Apa yang dikatakan Nyanyuk Amber memang benar. Tapi, disamping warna jubah yang menentukan, jumlah kelompok juga berpegaruh. Semakin sedikit kelompok, semakin tinggi ilmu yang dimiliki. Tiga tingkat lebih tinggi dari kelompok di bawahnya.

Sama seperti kelompok lainnya, Ratu Duyung dan Kakek Segala Tahu sudah menyadari, ada banyak keuntungan ketika melakukan perjalanan di malam hari. Kedua belah pihak mengalami kebutaan. Sama-sama mengandalkan pendengaran. Walau begitu, tetap saja menghadapi kelompok Pimpinan Cabang Lima, Ratu Duyung terdesak hebat. Mati-matian ia berrtahan, membendung serangan lawan yang bagaikan angin puting beliung mengurung dirinya. Kakek Segala Tahu sendiri cukup kewalahan harus menghadapi tiga orang sekaligus. Meski di beberapa ketika ia masih mampu membalas serangan bahkan mendaratkan pukulan pada lawannya. Dalam keadaan itu jelas si orang tua tidak bisa diandalkan untuk membantu Ratu Duyung.

Di situasi yang sangat genting, antara hidup dan mati akhirnya pertolongan datang. Latampi, menyelamatkan Sang Ratu. Degan melepas Pukulan Menebar Budi Hari ke 5 dua orang pengeroyok Ratu Duyung tewas seketika. Tubuh terbakar hangus, kepala terbelah.

Pertempuran Kakek Segala Tahu sendiri menyisakan dua orang. Satu lainnya telah berhasil dikirim ke neraka. Melihat ke tiga temannya tewas, juga ada pendatang baru, dua orang yang tersisa memilih kabur menyelamatkan diri. Kakek segala tahu kelontrengkan kaleng rombengnya sebagai tanda bahaya telah berakhir.

Sejak saat itu Latampi ikut bersama kelompok Kakek Segala Tahu. Walaupun belum sepenuhnya aman, tapi tiga orang jauh lebih baik dari pada melakukan perjalanan hanya dua orang saja.

Dalam pertemuan itu pula Latampi menanyakan orang-orang yang dicarinya. Anak kesayangan, ibu yang dicintai. Sejak kehancuran yang melanda Istana Kebahagiaan milik Hantu Muka Dua, sejak itu pula ia menelusuri rimba belantara guna mengetahui keberadaan anak dan bundanya. Sayang, sampai kini tak kunjung ditemui.

Untuk Lucinta, Ratu Duyung dan Kakek Segala Tahu tidak kenal, karenanya mudah saja bagi keduanya menjawab. Lalu bagaimana dengan bundanya? Keduanya tahu sendiri, Hantu Penjujung Roh mati ditangan Wiro. Bahkan Ratu Duyung sendiri ikut andil di dalamnya. Ia menendang nenek itu hingga mencelat tenggelam ke dasar kubangan air bercampur belerang. Jelas ini keadaan yang sangat tidak baik. Mengatakan yang sejujurnya keduanya khawatir, Latampi akan murka. Bukan mustahil Latampi akan berbalik memusuhi mereka berdua. Memilih untuk menyembunyikan kebanaran juga pantangan bagi seorang pendekar. Akhirnya, setelah cukup lama menimbang-nimbang baik buruknya, mereka memutuskan untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.

Awalnya Latampi tidak terima bahkan sampai menganggap orang-orang di Tanah Jawa sangat kejam dan tidak memiliki hati welas asih. Tapi, setelah dijelaskan secara terperinci, pada akhirnya Latampi melunak juga.

***

Latampi menyodorkan satu kelinci panggang utuh kepada Ratu Duyung. Sedang satunya diberikan ke Kakek Segala Tahu.

“Makanlah selagi hangat. Jangan tunggu sampai dingin. Di negeriku, orang-orang percaya kalau daging kelinci baik untuk bayi dalam kandungan.”

Ratu Duyung tersenyum. Memotes salah satu paha kelinci dan mulai memakannya. Sementara Kakek Segala Tahu tidak kunjung menyambuti pemberian orang.

“Kek, apa yang kau lakukan? Lekas ambil kelinci bakar ini. Aku tahu kau juga kelaparan.”

Kakek Segala Tahu tertawa bergelak. “Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, Latampi. Orang tua ini walaupun kulit tinggal pembalut tulang, pernah tidak makan selama satu bulan. Telat beberapa hari saja itu kecil bagi perut kempesku ini, hihihi.....”

“Wahay.... Kakek Sakti, aku tahu kenapa kau tidak mau mengambil pemberianku. Tentunya karena kau merasa tidak enak kan? Wahay... selama pengembaraan, aku banyak kenal dan tahu sifat orang-orang di Tanah Jawa ini. Mereka sangat menjunjung tinggi rasa tidak enak kepada seseorang. Terutama kepada orang asing sepertiku.” Latampi tersenyum. Lalu memotes kelinci panggang itu menjadi dua bagian. Satu untuknya, satu lainnya diberikan ke Kakek Segala Tahu. Orang tua buta ini tertawa.

“Sudah aku katakan, perutku ini mampu bertahan selama satu bulan. Tapi kalau diajak makan bersama, siapa mau menolak.” Kakek Segala Tahu ambil kelinci di tangan Latampi. Melihat itu Ratu Duyung sampai tertawa pelan yang diikuti oleh Latampi.

“Ada-ada saja kelakuan Kakek Tua satu ini.”

Dalam goa yang tidak terlalu besar itu, ketiganya menikmati makan siang yang hampir mendekati sore hari.

“Semakin dekat dengan tempat perjanjian, semakin banyak orang-orang perut bumi yang menghadang kita.” Kakek Segala Tahu bicara sambil mengunyah sepotong daging bakar.

“Sepertinya mereka sudah tahu rencana besar kita,” lanjut si Kakek.

“Kek, selama ini kau selalu bicara rencana besar, tapi tidak pernah menjelaskan rencana apa yang bakal dilakukan di tempat perjanjian?”

Kakek Segala Tahu berpaling ke sisi kirinya, di mana Latampi berada. Lalu menengadah, seolah melihat langit lepas di mana para dewa berada. “Petunjuk yang kudapat dari para dewa hanya sebatas perintah menuju ke sana. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Tapi firasatku mengatakan, kalau suamimu sudah mendapat cara dari para dewa untuk memusnahkan Kabut Kematian milik orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Karena itu aku meyakini, dalam waktu dekat ini kau akan bertemu dengan suamimu.”

Mendengar penuturan si Kakek, harapan yang sudah hampir pupus kembali datang. Diam-diam ia membayangkan pertemuan dengan suaminya. Betapa bahagia dirinya saat itu. Lelaki yang selama berbulan-bulan ini ia rindukan akan tiba di sisinya. Memeluk erat dengan dekapan rindu yang menggebu. Sudah terlalu lama hatinya tersiksa dengan perpisahan ini. Kalau tidak dalam keadaan bahaya, tentu ia ingin menjerit sekeras gelegar guntur, memanggil nama Wiro, berharap di ujung dunia sana orang yang paling dicinta mendengar. Sayangnya, segalanya serba buntu. Ia dipaksa tenggelam dalam laut kerinduan yang teramat dalam. Tanpa mampu melakukan sesuatu.

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Pendar cahaya tampak memudar. Ratu Duyung mengemasi barang-barang berupa air minum, sisa makanan untuk perbekalan. Dulu, sebelum hamil ia tak pernah melakukan itu. Semua demi kebaikan bayi yang dikandungnya. Ia tidak mau anak kesayangan terlahir tidak sempurna karena dirinya kurang makan. Walau pada kenyataannya, beberapa kali ia terpaksa hanya mengganjal perutnya dengan buah-buahan hutan.

Ketika keadaan cukup gelap mereka mulai bergerak. Kakek Segala Tahu berjalan di depan sebagai petunjuk sementara paling belakang Latampi. Ia harus berjaga-jaga dari para pembokong gelap. Melangkah selama dua kali peminuman teh mereka terpaksa berhenti karena Ratu Duyung merasakan sakit pada perutnya. Kakek Segala Tahu dan Latampi menjadi panik. Mereka takut Ratu Duyung melahirkan.

“Saudari, kau baik-baik saja?” tanya Latampi dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.

“Perutku sakit. Kejadian di goa kembali terulang. Aku merasakan tendangan dari dalam.”

Mendengar itu kedua lelaki ini sedikit merasa lega.

“Istirahat lah dulu sampai sakit pada perutmu hilang.” yang berkata Kakek Segala Tahu. Saat ini mereka berada di kawasan hutan jarang berbatu. Sejauh sepuluh tombak dari mereka ada tebing tinggi, membentuk seperti bukit yang telah di bagi dua. Ratu Duyung duduk dibatu pipih, menyandarkan punggungnya ke pohon besar.

“Maaf aku hanya memperlambat perjalanan saja. Jika terus seperti ini, siang hari kita baru sampai. Harusnya aku tetap tinggal di dalam goa.”

Latampi cepat menimpali. “Aku tahu perasaanmu Saudari. Dalam keadaan seperti ini, kita sudah sepatutnya saling membantu, tolong menolong pada sesama. Kau tidak harus terbebani dengan perasaan tidak enak. Apapun yang terjadi kita harus tetap bersama-sama. Soal keinginanmu tetap tinggal dalam goa, itu keputusan buruk. Kita bertiga saja cukup kesulitan menjalani hari-hari, apalagi sendiri. Dan mengenai keterlambatan yang kau katakan, tentunya kau tidak lupa sama ucapan Kakek Segala Tahu? Orang Tua itu pernah berkata, ‘selama matahari belum mencapai titik tenggelamnya, di hari yang telah ditentukan, selama itu pula upacara yang dititahkan para dewa bisa dilangsungkan’. Dengan kata lain, terlambat selama setengah hari tidak ada masalah. Benar begitu, kan Kek?”

Kakek Segala Tahu menganggukan kepala. “Benar apa yang kau katakan Latampi....” Mulutnya terbuka, sepertinya masih banyak kalimat yang hendak disampaikan, tapi sampai sekian lama kakek ini terdiam, seakan setan bisu mendadak membungkam mulutnya.

“Celaka!” keluhnya kemudian.

“Ada apa, Kek?” tanya Latampi.

“Ratu Duyung. Kau sudah baikan, sudah bisa jalan?”

Ratu Duyung mengangguk. “Aku sudah baikan, Kek. Memang ada apa, Kek?” Ratu Duyung mengulang pertanyaan Latampi.

“Kita harus cepat. Aku merasakan gerakan halus di kaki. Juga gesekan daun-daun yang dilewati manusia. Aku yakin mereka orang-orang dari perut bumi. Sepertinya mereka sudah tahu keberadaan kita.”

Ratu Duyung yang sudah bangkit berdiri mengambil perbekalannya, lalu mengikuti Kakek Segala Tahu yang sudah lebih dulu melangkah. Tapi baru sepuluh langkah berjalan, gelak tawa orang-orang menggelegar.

“Kenapa buru-buru? Bukan kah tadi kalian sedang asyik berbincang? Ada tamu datang bukannya disambut malah ditinggal pergi. Di mana sikap sopan santun kalian?”

Bab 15

“Kenapa buru-buru? Bukan kah tadi kalian sedang asyik berbincang? Ada tamu datang bukannya disambut malah ditinggal pergi. Di mana sikap sopan santun kalian?”

Ada enam bayangan berkelebat, berdiri sejauh tiga tombak dari tempat Kakek Segala Tahu dan kawan-kawan.

Enam orang? Itu artinya yang datang kali ini hanya sebangsa keronco recehan tak berguna, yang mudah saja bagi ketiga orang ini menghabisi. Ini juga yang diharap Kakek Segala Tahu dan yang lainnya, meskipun hati dan pikirannya jelas menyangkal.

Selain pakaian yang dikenakan berbeda, warna ungu bergaris hitam di dua sisinya, orang-orang ini juga tidak mengenakan penutup kepala. Berbeda sekali penampilannya dari sebelum-sebelumnya. Mungkinkah mereka bukan dari bagian perut bumi? Lagi-lagi ketiganya mengharapkan demikian. Namun sayangnya, harapan Kakek Segala Tahu dan yang lainnya hanya keinginan yang takkan pernah terwujud. Penghadangnya kini bukan hanya bagian dari perut bumi, jauh dari itu, mereka justru orang-orang yang memiliki derajat tinggi. Enam orang ini gabungan dari kelompok Pimpinan Cabang Tiga.

Di sisi paling kiri, seorang lelaki bertampang gagah, berusia lebih dari setengah abad. Paras yang cukup rupawan itu lebih cocok jadi Adipati atau lebih tinggi, dari pada jadi bergundal perut bumi. Ia dikenal dengan gelar Pendekar Seribu Bayangan. Di sebelahnya seorang wanita cantik, berusia empat puluhan. Ia dikenal dengan nama Ratu Penguasa Angin.

Bagian tengah, ada dua manusia kembar. Mereka dikenal degan nama Simbar Guntur dan Simbar Petir. Di sebelahnya nenek bungkuk bermata buta. Berbeda dari yang lain, nenek ini membawa pendupa di kepalanya. Sejak kedatangannya, bau setanggi terasa santar menusuk hidung. Karena itu pula Kakek Segala Tahu langsung berbisik pada Ratu Duyung dan Latampi untuk menutup jalan pernapasan. Nenek ini dikenal dengan Iblis Buta Pencabut Nyawa. Sedangkan manusia terakhir, kakek tua yang keadaannya mirip dengan Kakek Segala Tahu. Bedanya manusia ini tidak buta kepala botak peluntus. Dunia persilatan menjulukinya Setan Gundul Akar Bala. Orang tua ini kekasihnya Iblis Buta Pencabut Nyawa. Kemana pun mereka pergi selalu bersama. Dalam jajaran perut bumi, mereka berada di posisi yang cukup tinggi. Karena itulah mengapa, Kakek Segala Tahu membutuhkan waktu lama untuk mengetahui keberadaan mereka. Itu karena ketinggian ilmu meringankan tubuh yang hampir menyamai dirinya. Mungkin satu atau dua tingkat dibawahnya.

“Apa yang kalian bisikan?” bentak Pendekar Seribu Bayangan. Ia mengatakan itu karena dilihatnya ketiga orang di sana, bukannya menyahuti ucapan dirinya, mereka justru saling balas berbisik.

Mendengar bisikan si Kakek, agar menutup jalan pernapasan, Ratu Duyung mulai menyadari, dengan siapa kini mereka berhadapan. Lawannya malam ini jauh lebih berbahaya dari yang dihadapi sebelumnya. Semua dugaan itu diperkuat oleh hempasan angin ketika mereka berkelebat. Padahal, jarak antara dia dan pendatang cukup jauh untuk mengirim gelombang angin.

“Kek, jika dalam beberapa bulan belakangan ini aku bersikap kurang ajar padamu, harap dimaafkan. Aku sadar, aku bukan sahabat yang baik dalam melakukan perjalanan ini. Sudah berapa kali aku membuatmu kesal. Dan jika aku pergi sebelum aku bertemu degan suamiku, tolong sampaikan maafku padanya. Karena tidak bisa menjadi istri yang baik, menjadi ibu yang mampu melindungi bayi yang berada dalam kandunngan.”

Untuk kedua kalinya, Kakek Segala Tahu mengalami takut akan kematian. Bukan tentang dirinya, tapi mengenai kata-kata Ratu Duyung yang dirasa aneh.

“Ratu Dunyung, sebaiknya kau jangan bicara yang aneh-aneh. Soal permintaanmu mengenai suamimu, kau sampaikan saja sendiri pada pemuda sableng itu,” balas berbisik Kakek Segala Tahu. Sedangkan Latampi ia memilih diam, mengamati ke enam lawannya yang kini kembali membentak.

“Rupanya setan bisu telah memutus ludah kalian. Baik, kalau begitu aku akan bantu setan bisu mengambil nyawa kalian!” Pendekar Seribu Bayangan siap melancarkan serangan, tapi dicegah oleh wanita cantik di sampingnya.

“Orang Gagah sabar dulu. Jangan kesusu. Malam masih panjang, waktu kita masih banyak. Aku ingin berbincang lebih dulu dengan perempuan bunting ini.” Ratu Penguasa Angin yang memiliki nama asli Gayatri Wigura melangkah lebih dekat ke hadapan Ratu Duyung. Ditatapnya cukup lama paras cantik itu. Senyum menyeruak dari bibir manisnya.

“Tidak salah jika pada akhirnya pemuda itu menjatuhkan pilihan sama kamu. Kau tampak cantik dan anggun. Tapi sayang, selama pernikahan sekalipun kau tidak pernah mengalami kebahagiaan. Aku melihat banyak derita di raut wajahmu. Hmmm.... apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian? Mungkinkah kekasih yang banyak dari pemuda itu menjadikannya tidak setia? Melalang buana memuaskan hasrat nafsunya ke kekasih yang lain, karena darimu tidak ia dapatkan kepuasan? Atau kau terperangkap dalam kecemburuan semu, yang pada dasarnya tidak ada?” Gayatri Wigura akhiri ejekannya dengan tawa melengking. Tanah yang dipijak terasa bergetar. Daun-daun setengah menguning banyak berjatuhan.

“Kau tidak layak dan tidak punya hak untuk menilai rumah tanggaku!” Meskipun kalimat itu keluar dengan penuh ketegasan, sebagai bentuk pembelaan atas tuduhan Gayatri Wigura, di hati terdalam, Ratu Duyung menyadari, apa yang dikatakan wanita ini hampir persis sama yang beberapa bulan belakangan dialami. Ia merasakan penderitaan hebat, akibat menanggung rasa rindu, cemas berlebihan dan merasa was was akan apa yang terjadi atas suaminya. Tapi soal kebahagian atas pernikahannya, wanita itu salah besar. Ia sangat bahagia ketika pertama kali menikah dengan pemuda itu. Ia juga cukup bahagia saat mengetahui buah hati mulai tumbuh dalam janinnya.

Gayatri Wigura tertawa berderai mendengar pernyataan Ratu Duyung.

“Apa kau juga tahu, di atas langit sana, suamimu sedang bertemu para dewi yang kecantikannya melebihi perempuan tercantik di bumi ini? Jangan berpikir kalau semua dewi memiliki hati yang suci. Suamimu yang mata keranjang mudah saja tergoda dengan kemulusan kulit para dewi di kayangan.”

Ratu Duyung mengatupkan Rahangnya. Tatapan mata seakan menusuk tajam menembus sampai ke ulu hati. Kakek Segala Tahu yang menyadari kalau lawannya sedang menyerang Ratu Duyung lewat tubuh bagian dalam langsung berkata, “Jangan kau pedulikan segala ucapannya, Ratu Duyung. Semua apa yang dikatakannya tidak lebih hanya cara licik untuk menjatuhkan lawan sebelum berperang. Kau jangan sampai termakan jebakannya.”

Ratu Duyung yang seakan baru menyadari langsung membuang muka, mengalihkan pandangan ke jurusan lain. Gayatri Wigura yang merasa gagal dengan cara liciknya tersenyum, melompat kembali ke sisi Pendekar Seribu Bayangan.

“Tidak berhasil?” bisik Pendekar Seribu Bayangan.

“Semua gara-gara mahluk tua buta itu. Sepertinya dia tahu ilmu yang sedang aku mainkan.”

Sebelumnya, Gayatri sedang menerapkan Ilmu Penebar Bahala Pengikat Jiwa. Penggunakan ilmu ini selama merapal mantra cukup menatap wajah lawannya. Di sana ia akan melihat kekacauan hidup dan mulai memainkan lewat kata-kata menusuk. Jelas ini sulit terlihat oleh siapapun, kecuali memang yang memiliki segudang pengalaman hidup.

Penerapan ilmu ini sendiri cukup mudah sekali lawan terperangkap, maka kemenangan sudah menjadi miliknya. Mula-mula lawan akan merasakan guncangan hebat, lalu membenarkan setiap kata yang terucap, saat itulah api amarah membuncah tak terkendali. Ia akan melepaskan ilmu tertinggi yang dimiliki dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Setelah itu, tubuhnya akan merasakan lemas, seolah tulang belulang hilang. Terjatuh tanpa mampu melakukan apapun. Bahkan hanya untuk mengedipkan mata.

Ratu Duyung telah sampai tahap pengeluaran ilmu kesaktian andalannya. Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudra lewat dua bola matanya. Beruntung Kakek Segala Tahu segera mengingatkan. Juga sebelumnya Ratu Duyung berhasil membentengi diri dengan memberi perbandingan atas hasutan Gayatri.

“Hahahaha.....” tiba-tiba Kakek Segala Tahu tertawa. Suara kaleng rombeng terdengar nyaring memekakan telinga, terutama bagi Gayatri dan kawan-kawan. “Ilmu picisan yang puluhan tahun sudah punah masih saja kau gunakan? Hmmm.... sepertinya gurumu tidak mampu menciptakan ilmu baru. Padahal dunia persilatan sudah jauh berkembang.”

“Tua Bangka Keparat! Berani kau bicara besar di hadapan kami! Apa kau belum sadar kalau malaikat maut sudah lama menunggu?”

“Ahh...., aku hanya menyinggung sedikit soal ilmu yang barusan kau gunakan. Kenapa bahas soal kematian?”

“Orang Tua Buta! Apa kah kau merasa hebat, menjadi orang paling sakti di dunia ini hingga masih berani bicara pongah di hadapan kami?” yang bicara Nenek bungkuk bergelar Iblis Buta Pencabut Nyawa. “Aku tahu siapa kamu. Hanya Orang Buta yang tidak tahu apa-apa tapi anehnya dunia persilatan menjulukimu dengan gelar hebat. Apa kau bangga dengan julukan itu Orang Buta?”

Kembali Kakek Segala Tahu tertawa. Kaleng rombeng digerakan dengan pengerahan sepertiga tenaga dalamnya. Lengkingan suara di malam buta terasa menusuk ke dalam telinga. Orang-orang sampai harus menyumbat pendengaran dengan pengerahan tenaga dalam. Kalau orang biasa yang mendengar, tentu sudah menjerit-jerit, gendang telinga robek darah mengucur keluar. Tapi lawannya kini masih tampak baik-baik saja. Bahkan Ratu Duyung atau Latampi tidak melihat lawan-lawannya itu mengalami gangguan apapun.

“Orang Buta, sampai kau menggunakan seluruh tenaga dalammu sekalipun kami akan baik-baik saja. Apa kau pikir tingkatan yang ada di Kerajaan Perut Bumi hanya sebatas isapan jempol?” untuk pertama kalinya Simbar Guntur bersuara. Sementara kembarannya tetap memilih diam.

“Ratu Penguasa Angin. Sudah saatnya kita kirim manusia-manusia tak berguna ini ke neraka!”

Gayatri Wigura tersenyum. “Aku setuju,” sahutnya lalu dengan bentakan garang ia melompat ke arah Ratu Duyung. Belum sampai orangnya, hempasan angin telah lebih dulu menerpa. Ratu Duyung merasakan gelombang hebat dari serangan wanita yang sebelumnya mengejek dirinya. Nyatanya, kesombongan yang tadi diperlihatkan bukan omong kosong.

Ratu Duyung berkelit menghindari serangan Gayatri Wigura. Mendapati serangan pertamanya gagal, wanita ini berteriak marah. Lengkingan suaranya terasa sekali menusuk telinga sang ratu. Tubuhnya berputar sebat, angin laksana badai benar-benar menyulikan Ratu Duyung. Serangan lawan datang dari segala sisi. Padahal lawan hanya satu, tapi Ratu Duyung merasakan digempur oleh sepuluh orang sekaligus.

Tujuh jurus berlalu dengan cepat. Ratu Duyung tampak terombang-ambing dari badai serangan Gayatri. Dalam tekanan hebat itu ia keluarkan jurus warisan Nyi Roro Kidul. ‘Kencana Biru Membobol Dinding Samudra.’ Jurus yang diberikan Nyi Roro Kidul itu bukan hanya mampu mengimbangi serangan lawan, lebih dari itu, dinding pertahaan Gayatri mulai terbelah. Beberapa kali ia hampir kena hantam serangan Ratu Duyung.

“Keparat!” Gayatri menggeser sedikit kaki kirinya. Pukulan ganas lewat seujung kuku di depan hidung. Wajahnya selamat, tapi pukulan lain mendarat di ulu hatinya. Gayatri menjerit. Tubuhnya terpental dua tombak ke belakang menghantam semak belukar. Darah segar menyembur dari mulutnya.

“Betina Bunting Keparat!” Pendekar Seribu Bayangan yang sejak tadi diam memperhatikan jalannya pertempuran melompat. Namun di belakangnya Gayatri teriak. “Jangan ikut campur! Aku masih sanggup membunuh manusia sisa kutukan ini!”

Gayatri Wigura telah berdiri. Kaki terkembang, kedua tangan berputar seperti titir angin. Mula-mula hanya hempasan kecil, bahkan yang bergoyang pohon di dekatnya saja. Tapi kejap berikutnya, badai angin memporak-porandakan tempat sekitar. Semak belukar tercerabut dari akarnya. Pohon sebesar kaki manusia jebol, ikut berpurtar bersama amukan angin yang hendak meruntuhkan tempat sekitar. Keganasan amukan angin itu melesat ke satu arah di mana Ratu Duyung berada.

Ratu Duyung sendiri telah menyiapkan pukulan andalan, yang sebelumnya hampir terlepas kala ilmu iblis Gayatri berhasil memancing amarahnya.

Dua larik sinar melintang yang mirip gunting raksasa melesat keluar dari kedua bola mata Ratu Duyung, memapasi serangan lawan. Ledakan sedahsyat gunung merapi harusnya terdengar, tapi yang terlihat kini sungguh mengejutkan semua orang, terlebih Ratu Duyung sendiri. Larikan sinar ganas itu masuk ke dalam pusaran angin bergulung-gulung lalu wus! Berbalik mengarah ke tuannya.

Ratu Duyung yang tidak menyangka akan mendapat serangan dari pukulan andalannya sendiri sampai berteriak panik. Beruntung ia mampu berpikir cepat untuk kembali melepas ilmu yang sama. Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudra. Untuk kedua kali ilmu langka yang mahadahsyat itu keluar dari kedua mata Ratu Duyung. Dalam waktu singkat, tidak sampai dua kali kedipan mata, ia telah mengeluarkan dua kali ilmu langka yang sangat diandalkannya.

Dua pukulan yang sama beradu. Dentuman keras mengguncang hutan berbatu. Api sebesar dua rumah yang digabungkan membuntal-buntal membakar hutan. Untuk seketika tempat yang sebelumnya gelap kini menjadi terang benderang. Hawa panas seakan membakar kulit semua orang.

Ratu Duyung terlempar jauh. Berguling-guling ia hingga sebuah pohon menghentikan laju tubuhnya. Pakaian kemewahan yang selalu dikenakan dan menjadi keanggunannya hangus terbakar di beberapa bagian. Bahkan mahkota kerang yang biasa menjadi tonggak kekuasaannya kini hilang entah di mana. Rambut yang terbiasa tergerai indah, semerawut tak enak dipandang. Wajah dan tubuhnya yang dulu putih bersinar kini hitam kelam, tertutup debu ledakan.

Ratu Duyung terbatuk. Darah menyembur dari mulutnya. Jelas, wanita yang dulu menjadi ratu di kawasan Nyi Roro Kidul ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Selama tinggal di dasar samudra, ia tak pernah mengalami sesak napas akibat desakan air yang masuk ke paru-paru. Karena kesaktiannya, sampai ia tidak tahu bagaimana rasanya tenggelam. Kini, ketika ia berada di daratan, jangankan lautan, setetes air pun tidak terlihat, ia justru mengalami gangguan pernapasan hebat. Ia merasa tenggelam ke dasar samudra. Tarikan napas terasa berat, seolah ada tekanan air yang menutup jalur pernapasannya. Ia mencoba mengatur jalan darah, namun yang terjadi justru muntahan darah keluar dari mulutnya. Saat Ratu Duyung buntu, tidak tahu harus melakukan apa, sosok bayangan berkelebat mendekat.

“Ulurkan kedua tanganmu.” Suara Kakek Segala tahu. Ratu Duyung segera ikuti perintah orang. Tidak tahu apa yang dilakukan karena saat itu kedua mata ia mulai berat. Ratu Duyung hanya merasakan goresan kecil di setiap ujung jarinya. Lalu ia merasakan telapak tangan menempel di punggung dan kemudian hawa sejuk masuk ke tubuhnya. Dari sayatan kecil jari-jari Ratu Duyung keluar kucuran darah hitam pekat. Perlahan-lahan pernapasan Ratu Duyung mulai tebuka. Dada yang sebelumnya terasa sakit berangsur membaik. Ketika kucuran darah berubah menjadi merah, luka dalam yang diderita seakan sembuh sempurna.

Ratu Duyung menarik napasnya dalam-dalam. Ia hendak mengucap terimakasih kepada si orang tua, tapi bentakan garang di depan sana menundanya.

“Tua Bangka keparat! Lagi-lagi kau mengacau semuanya!” Dua sinar hitam datang menghantam. Gemuruh suaranya sudah lebih dari cukup untuk dua orang ini tahu kalau pukulan sakti itu dilepas dengan tenaga dalam penuh.

“Kau masih sanggup keluarkan ilmu tadi?”

Tahu maksud pertanyaan si kakek, tanpa membuang waktu lebih lama, Ratu Duyung kembali melepas dua larik sinar dari matanya. Sementara di sebelahnya Kakek Segala Tahu menyongsong serangan lawan dengan pukulan tangan kanannya. Sinar putih menyilaukan melesat, seiring dengan dua gunting raksasa dari Ratu Duyung. Untuk kedua kali, dentuman dahsyat mengerikan terjadi di tempat itu. Ratu Duyung hampir kembali terpental kalau saja Kakek Segala Tahu tidak segera menopang punggungnya. Tidak ada luka dalam saat ini, hanya gemetar tubuh dan kepala sedikit pusing. Itu akibat dari terlalu banyak menggunakan Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudera yang terlalu berdekatan waktunya.

“Kek, ma......”

“Sudah tidak perlu,” potong Si Kakek yang tahu maksud Ratu Duyung. “Kau cukup menyamaratakan tubuhmu dengan tanah untuk menghadapi ilmu aneh wanita itu. Aku tidak tahu nama pukulannya. Tapi itu satu-satunya penangkal.”

Ratu Duyung mengangguk. Ia melihat ke arah depan di mana Gayatri sedang mengatur jalan darahnya yang kacau tak menentu. Jelas sekali perempuan ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Ada banyak muntahan darah di dekatnya. Walau begitu tidak jadi masalah baginya. Selama ilmu pukulan berpusat dari hawa panas, selama itu pula ia aman dari kematian. Orang lain, jangankan mampu mengatur jalan napasnya sendiri, mampu untuk mempertahankan nyawanya saja itu sudah menjadi keberuntungan besar. Apa yang dialami Gayatri Wigura barusan berhasil membuat Pendekar Seribu Bayangan membulat kedua matanya.

Wanita berparas manis ini terpental sejauh lima tombak seiring dengan ledakan beradunya pukulan. Sosoknya terbanting ke sebatang pohon, begitu mendarat ke tanah muntahan darah segar seakan menguras isi lambungnya. Cukup kesulitan untuk bangkit hingga akhirnya ia mampu duduk bersila. Merapal mantra untuk memusnahkan luka dalam yang sedang mengancam jiwanya. Cahaya kuning kebiruan tampak muncul dari atas kepala lalu menyebar ke seluruh tubuh dan berakhir masuk ke dalam tanah. Bersama hilang cahaya kuning itu, hilang pula rasa sakit yang sebelumnya menyesakan dada.

“Benar kata si kembar, wanita satu ini tidak bisa dianggap remeh. Orang lain tentu sudah minggat nyawanya. Dia bahkan seperti tidak terjadi apa-apa. Dewa sekalipun aku yakin pasti mengalami luka dalam akibat benturan sedahsyat tadi. Ilmu iblis apa yang dimiliki Gayatri Wigura?” Pendekar Seribu Bayangan ini berpaling ke arah si kembar. Karena sejak tadi ia hanya jadi penonton, maka selama pertarungan sengit berlangsung, ia mengamati setiap gerak silat yang dimainkan musuh-musuhnya.

Di sana ia melihat Simbar Guntur dan Simbar Petir terdesak hebat. Ia tahu seberapa tinggi ilmu silat dua manusia kembar itu, tidak mudah bagi siapapun untuk menghadapinya, tapi kini melawan satu orang saja keduanya cukup kewalahan. Bahkan beberapa kali mereka hampir kecolongan.

“Aku melihat keanehan ilmu silat yang dimainkan lelaki yang tidak pernah bicara itu. Apa mungkin dia dari negeri yang sama dengan Luhjelita?”

Kedua alis Pendekar Seribu Bayangan meninggi, seiring dengan beliakan bola matanya. Sejauh tiga tombak dari kalangan pertempuran Simbar Guntur dan kembaranya, di sana sepasang kekasih yakni Iblis Buta Pencabut Nyawa dan kekasihnya mengalami keadaan yang sangat memalukan.

Dua sejoli itu terperangkap oleh akar pohon sebesar lengan orang dewasa yang melilit tubuh. Lalu apa yang memalukan? Penggunaan senjata dari akar pohon adalah ilmu andalan kakek sakti berkepala botak, yakni Setan Gundul Akar Bala.

“Apa yang terjadi dengan dua tua bangka mesum itu? Bagaimana bisa senjata andalan justru menjadi alat musuh untuk meringkus mereka berdua?” Pendekar Seribu Bayangan melihat kakek sakti yang sebelumnya menolong Ratu Duyung telah kembali mendatangi dua orang yang terikat.

“Hehe... maaf menunggu lama. Aku harap kalian tidak membenciku karena pertarungan terpaksa ditunda.” Kakek Segala Tahu kelontrengkan kaleng rombengnya. Di depannya dua manusia terikat mengumpat habis-habisan namun karena mulutnya tersumpal akar pohon yang terdengar hanya gumamam.

“Baik-baik. Jika kalian sudah tidak sabar untuk melanjutkan permainan, aku lepas ikatan akar pohon ini.” Kakek Segala Tahu memutar salah satu tangannya, seketika layaknya ular, akar pohon bergerak, meluncur lepas dari tubuh sepasang kekasih ini lalu melesak masuk ke tanah.”

Kedua orang tua ini saling pandang. Seolah dapat melihat, Iblis Buta Pencabut Nyawa berkata pada kekasihnya, “Kakek Tua Buta itu mampu menirukan ilmu aneh andalanmu.”

“Sudah terbebas kenapa diam saja? Kenapa tidak menyerangku? Apa cukup berakhir sampai di sini pertarungan kita?”

Meskipun diejek dan dipermalukan, kakek nenek di depan sana tatap diam. Iblis Buta mendekatkan wajahnya ke telinga si kakek, membisikan sesuatu.

“Aku tahu kelemahan ilmu silat yang digunakan kakek buta itu,” bisiknya mengakhiri kalimat dan memulai penyerangan.

Sebelumnya kita lihat dulu apa yang terjadi sampai Kakek Segala Tahu harus menggunakan ilmu langka yang selama ini tersimpan rapi dan baru digunakan ketika dirinya menghadapi bahaya besar, atau dalam keadaan tidak sadar.

Ketika dilihatnya Gayatri mulai menyerang dan Simbar Guntur serta kembarannya menerjang lawan, sepasang kekasih ini tidak mau ketinggalan. Nenek sakti berjuluk Iblis Buta Pencabut Nyawa melepas pendupa yang sejak tadi bertengger di atas kepalanya. Pendupa itu berputar perlahan saja di hadapannya. Kedua tangan bergerak membentuk putaran pada pendupa. Asap hitam membumbung tinggi. Bau stanggi makin santar. Lalu tiupan keras membawa asap tebal itu ke arah lawannya. Kakek Segala Tahu yang sudah sejak tadi menutup jalan pernapasannya semakin memperketat penjagaan. Bahkan titiran tongkat bututnya membentuk benteng untuk melindungi tubuh. Namun, asap tebal hitam yang mengurung dirinya itu nyatanya bukan hanya beracun, tapi juga panas menyengat. Semakin sempit mengurung dirinya, kulitnya terasa terbakar. Kakek Segala Tahu melompat keluar, jauh meninggalkan kurungan asap yang membuntal ganas. Sayangnya, seolah memiliki nyawa asap itu melesat, mengejar si kakek.

Iblis Buta Pencabut Nyawa tertawa penuh kemenangan. Ia yakin, dalam waktu singkat sudah berhasil menaklukan orang tua buta itu.

“Semakin cepat kita kirim manusia rongsokan ini ke neraka semakin baik. Kita buktikan kepada kelompok Cabang Tiga yang dipimpin Pendekar Seribu Bayangan, kalau kelompok kita jauh lebih baik dari mereka.” Nenek ini melompat mendekati lawannya yang kini sibuk melepaskan diri dari serangan. Ia memulai ritual seperti sebelumnya. Asap hitam menggumpal lalau wuss... gelombang asap dahsyat bersatu padu mengurung Kakek Segala Tahu. Semakin tebal saja kurungan asap itu.

Kakek Segala Tahu melepas caping bambu bututnya, melempar jauh ke atas kepalanya. Tangan kanan menghantam ke atas. Gelombang angin tidak terlihat menerpa caping bambu, lalu seperti gasing, caping itu berputar, menyedot asap tebal yang mengurung si kakek. Dalam waktu singkat asap hitam yang sebelumnya mengancam jiwanya kini berputar-putar satu tombok di atas kepalanya mengikuti putaran caping bututnya.

Kakek Segala Tahu tertawa mengejek. “Masih ada lagi ilmu simpanan kalian?”

Penuh amarah Iblis Buta menggembor. Untuk ketiga kalinya ia membuat rangkaian asap beracun. Sayangnya untuk saat ini asap beracun itu tidak berguna lagi di hadapan Kakek Segala Tahu. Selagi ia kebingungan, kekasih di sampingnya memutar kedua tangannya.

Drak!

Dua akar pohon sebesar lengan manusia mencuat, di samping Kakek Segala Tahu. Lalu seolah hidup, meliuk-liuk bagaikan ular berbisa, akar pohon itu melilih erat kedua kakinya. Sementara akar satunya membetot tangan kanan yang sampai saat ini mengatur putaran caping. Akibat dari betotan itu, putaran caping menjadi terganggu, hal ini membuat asap hitam beracun menyambar deras ke arahnya.

Dalam keadaan sulit itu Kakek Segala Tahu menghantam akar pohon degan tongkat bututnya. Seperti yang kita tahu meskipun hanya tongkat butut, sejata itu lebih mematikan dari seribu pedang. Jangankan hanya akar pohon, batu sebesar rumah akan hancur akibat hantaman tongkat yang dalam beberapa kesempatan memiliki bobot lebih dari dua ratus kati.

Namun, apa yang terjadi saat ini sungguh membuat Kakek ini sampai terperangah. Akar pohon itu jangankan hancur, gompal saja tidak. Gepukan tongkat membal layaknya menghantam dinding yang terbuat dari karet.

Asap hitam beracun sudah mulai mengurung dirinya. Kakek Segala Tahu berpikir cepat. Memutar otak guna memusnahkan asap mematikan itu.

“Bodoh! Bodoh! Kenapa aku tidak kepikiran?” Habis membatin Kakek Segala Tahu lepas pukulan tangan kosong ke arah pendupa. Iblis Buta yang tidak menyangka mendapat serangan terkejut dan gerakan mengelak sedikit melambat. Beruntung kekasih di sebelah menarik sosoknya hingga ia selamat. Tapi, pendupaan hancur berkeping-keping. Bersama hancuran itu pula, asap hitam beracun sirna. Cuping butut Kakek Segala Tahu turun dan kembali menjadi mahkota kebanggaan di atas kepala si kakek.

Melihat senjata andalan hancur Iblis Buta menjerit marah. Saat itulah angin laksana badai prahara terasa mengguncang pohon-pohon banyak tercerabut. Wajah Kakek Segala Tahu memucat. Ia tahu ilmu apa yang sedang digunakan Gayatri Widura. Karenanya, ia buru-buru memberi peringatan. Tapi sebelum suaranya keluar, akar menyumpal mulutnya. Ledakan dahsyat mengguncang kawasan sekitar. Setan Gundul memutar kedua tangannya. Akar pohon membelit, hampir menutupi tubuh si kakek. Di depannya Iblis Buta Pencabut Nyawa telah melepaskan pukulan mematikan ke arahnya.

“Celaka! Kalau tidak lekas ditolong, Ratu Duyung bisa kehilangan nyawa.”

Padahal saat itu dirinya menghadapi serangan ganas mematikan. Tentunya tubuh kurus itu akan hancur tak tersisa. Anehnya, kakek satu ini justru mengkhawatirkan istri sahabatnya.

Bum!

Pukulan yang dilepas Iblis Buta Pencabut Nyawa meledak satu jengkal di depan si kakek. Luar biasanya Kakek Segala Tahu Tidak mengalami cidera apapun. Ledakan dahsyat itu membentur akar pohon yang membentuk tameng untuk dirinya.

Kedua orang di depan sana terkejut bukan alang kepalang melihat apa yang barusan terjadi. Kalau Iblis Buta Pencabut Nyawa terkejut karena tidak menyangka pukulan saktinya mampu dimentahkan begitu saja lain halnya dengan Setan Botak Akar Bala. Manusia bungkuk ini kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan percaya sampai bumi mengalami kiamat tujuh kali sekalipun. Di dunia ini ada orang yang mampu meniru ilmu kesaktian nya dalam waktu singkat. Padahal untuk menyempurnakan ilmu andalannya itu, ia butuh waktu dua puluh tahun.

Selagi keduanya terperangah itulah Kakek Segala Tahu mempergunakan kesempatan untuk mengikat keduanya, lalu gegas ia menolong Ratu Duyung.

“Simbar Guntur! Kalau terus-terusan bertahan kita berdua bisa celaka!” Simbar Petir teriak di tengah gempuran ganas Latampi. Si Penolong Budiman itu tidak memberi kesempatan sedikitpun pada lawannya. Padahal di negerinya, Latanahsilam ia terkenal sosok welas asih. Lebih memilih mengampuni dari pada harus membunuh. Apakah perubahan sikap ini disebabkan karena menurutnya orang-orang di Tanah Jawa tidak memiliki welas asih? Entahlah. Yang jelas, sejak kekacauan yang disebkan oleh orang-orang perut bumi ia tidak mengutamakan pengampunan. Karena tahu, seberapa kejam dan mengerikan bangsat-bangsat itu!

“Gunakan Jurus Sepasang Rajam Manusia Kembar!” Simbar Guntur teriak. Tangan kiri dan kanan kedua manusia ini saling bertaut, lalu gerakan kaki menjadi seirama. Si Penolong Budiman alias Latampi melihat perubahan silat yang cukup mendadak itu sendikit terkejut. Hal ini sudah cukup bagi lawannya untuk mengambil alih permainan. Gerakan lawan meskipun terlihat lambat karena salah satu tangan bergandengan tapi banyak serangan tiba-tiba yang sulit diduga. Beberapa kali wajah, perut dan selengkapnya kena hantam serangan kedua manusia kembar.

Buk!

Latampi terpekik. Tubuhnya terpental satu tombak. Tapi hebatnya ia mampu melakukan jungkir balik di udara hingga kaki menginjak tanah lebih dulu. Dada kanannya kena hantam lawan. Meskipun sakit mulai menyesakan dada, lelaki ini tidak terlihat mengalami luka dalam yang cukup mengancam nyawa.

Melihat lawannya tidak mengalami cidera sedikitpun, kedua manusia kembar ini saling pandang. Gemas sekali ia dibuatnya.

“Manusia macam apa dia?”

Simbar Guntur bertanya begitu karena pukulan yang dilepaskannya barusan mampu meremukan kepala kerbau atau bahkan mengahncurkan batu karang. Tapi lawannya tidak mengalami luka sedikitpun. Penasaran keduanya akhirnya sepakat untuk mempergunakan jurus andalan.

“Dewa Guntur dan Dewa Petir Berebut Pahala!” Simbar Guntur menyebut pukulan sakti yang akan dikeluarkan. Kembarannya mengangguk. Lalu keduanya kembali bertautan tangan. Tangan satunya mengangkat ke atas. Dari telapak tangan masing-masing keluar kilatan-kikatan cahaya. Kedua manusia kembar ini teriak. Laksana sambaran petir diiringi gelegar guntur menghantam ke arah Latampi. Manusia dari 1200 tahun silam hadapi dengan dua pukulan sekaligus. Tangan kanan melepas Pukulan Menebar Budi Hari ke 5 sementara tangan kiri melepas Pukulan Menebar Budi Hari Ke 6. Untuk kesekian kalinya, cahaya terang menyinari tempat itu. Dan guncangan dahsyat kembali terjadi ketika empat pukulan mematikan mengandung tenaga dalam tinggi saling menghantam.

Latampi terlempar jauh. Bagaimanapun hebat pukulan Penerbar Budi, menghadapi dua orang sekaligus dengan tenaga dalam penuh, juga ilmu kesaktian yang hanya satu tingkat berada di bawahnya, tetap saja lelaki ini mengalami luka dalam yang cukup parah. Tangan sebelah kanan yang hanya melepas pukulan Penebar Budi Hari Ke 5 tampak gosong. Lengan panjang terbakar hebat, menyisakan robekan besar di ketiak. Sementara dadanya terasa berdenyut sakit. Ia mencoba bangkit, tapi tidak mampu. Untuk sementara ia tergeletak tak berdaya.

Di sisi lain, manusia kembar ini menjerit setinggi langit. Simbar Petir yang tadi berhadapan langsung dengan pukulan Penebar Budi Hari ke 6 mengalami luka yang sangat berat. Tangan kananya sebatas siku hancur, menyisakan daging hangus terbakar. Sebagian tubuh manusia ini gosong hangus. Jerit kesakitan terus terdengar dari mulutnya. Kucuran darah mebanjir deras. Dalam keadaan terbaring itu ia berusaha menotok kutungan tangan guna menghentikan darah, sayangnya, seluruh tubuhnya seolah kaku. Tidak mampu digerakan. Simbar Petir kembali menjerit, memanggil kembarannya. Tentu saja kembarannya tidak bisa segera datang. Walaupun Simbar Guntur tidak mengalami nasib yang mengenaskan seperti dirinya, tangan kanan buntung, diapun tidak bisa lekas bangun. Tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Untuk menggerakan jemari saja rasanya sakit. Apalagi untuk bergerak.

Berpaling ke arah Pendekar Seribu Bayangan, maksudnya hendak meminta bantuan pada lelaki itu, sayangnya manusia yang sejak tadi jadi penonton itu kini sedang sibuk menggempur Ratu Duyung.

Walaupun ia yakin mampu membunuh Ratu Duyung seorang diri, Gayatri Wiguna tidak melarang ketika Pendekar Seribu Bayangan masuk ke kalangan pertarungan membantunya. Ini terjadi karena kelemahan ilmu andalannya sudah dikathui lawan. Di samping itu ia ingin menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin.

Menghadapi Gayatri saja Ratu Duyung cukup kewalahan, meski beberapa kali mampu membalik keadaan, walau pada akhirnya ia lebih banyak terdesaknya lantaran sakit pada perutnya mulai kambuh. Pergerakan cepat pada tubuhnya memberikan dampak buruk. Hal ini jelas membuat Ratu Duyung khawatir akan keselamatan bayi yang ada dalam kandungannya. Akibatnya, perhatiannya terpecah menjadi dua bagian. Gayatri berada di atas angin kini. Di tambah lagi saat Pendekar Seribu Bayangan membantu, pupus sudah harapan Ratu Duyung untuk bisa membalik keadaan.

Wut!

Ratu Duyung menggeser ke samping, guna menghindari cakaran Gayatri Wiguna, tapi serangan dari Pendekar Bayangan tak mampu dielakan.

Buk!

Ratu Duyung papasi karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Kecuali jika pelipis bagian kiri rela dimakan tinju lawan.

Ratu Duyung terpekik. Pergelangan kirinya hitam membengkak. Di depan sana Pendekar Seribu Bayangan menyeringai. Jelas, lelaki itu tidak mengalami cidera sedikitpun.

“Sebenarnya aku tidak tega membunuhmu. Tapi ini demi kemenangan Kerajaan Perut Bumi. Kematianmu akan menjadi luka yang sangat mengerikan bagi Wiro Sableng. Tentunya kau tahu, orang patah hati lebih mudah dikalahkan, hahaha.....”

“Jangan mimpi kau bida mengalahkanku!” Ratu Duyung membentak garang. Ia kembali mengeluarkan jurus warisan Nyi Roro Kidul. Kencana Biru Menjebol Dinding Samudra. Pendekar Seribu Bayangan sudah melihat keganasan ilmu silat ini. Karenanya ia menjadi sangat waspada. Di sisi lain Gayatri yang sudah merasakan langsung tentu memiliki sedikit pengalaman serangan macam apa yang dimainkan lawannya. Karena itulah walaupun Ratu Duyung telah mengeluarkan ilmu silat terbaiknya, dia tetap tak mampu membalik keadaan.

“Saatnya kita akhiri Gayatri!”

Ratu Duyung hanya mendengar suara itu, lalu seolah-olah lelaki separuh baya itu seakan menghilang dari pandangannya. Selagi pikirannya kembali terpecah satu hantaman keras mengani perutnya. Ratu Duyung menjerit setinggi langit. Ia merasakan bayi yang dikandungnya ambrol. Terguling-guling sejauh dua tombok. Ia mencoba melihat ke bawah, sedikit lega wanita dari dasar samudera ini ketika menyadari bayinya baik-baik saja. Walau begitu, pukulan hebat tadi membuatnya sulit untuk bangun. Rasa sakit teramat menyiksa tubuhnya. Merintih ia, sekuat tenaga terus berusaha. Belum lagi ia mampu duduk secara sempurna, di depan sana Pendekar Seribu Bayangan telah melepaskan pukulan dengan pancaran cahaya hitam pekat yang sangat mengerikan. Ratu Duyung yang jelas tidak memiliki kesiapan apapun hanya mampu menangkis dengan Pukulan Dua Genta Melanda Samudera.

Sebenarnya pukulan yang dilepas dengan dua tangan sekaligus secara menyilang ini cukup mematikan. Purnama mahluk alam roh pernah merasakan sendiri keganasan ilmu pukulan ini. Mahluk alam roh itu sampai tergeletak tak berdaya menghadapinya. Namun kala itu Ratu Duyung bertarung dengan kondisi terbaiknya. Juga Pukulan Dua Genta Melanda Samudera dibantu dengan Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudera. Tidak mengherankan kalau Purnama sampai terkapar pingsan.

Kini, boleh dikatakan Ratu Duyung berada dalam keadaan terburuknya. Luka dalam yang cukup parah, sakit tubuh, kehamilan yang sedikit banyaknya menurunkan kemampuan juga tekanan batin ditambah pula ketidak siapan menghadapi pukulan lawan. Dengan seabrak kekurangan itu, dapat dipastikan, Ratu Duyung mengalami kekalahan telak. Dan memang itulah yang terjadi. Ketika dua pukulan sakti bertemu, ketika ledakan mengguncang jagat, saat kepulan debu dan kilauan api membuntal mengerikan, saat itu pula sosok sang ratu terpental sejauh lima tombak. Tidak ada jeritan di sana karena rasa sakit yang teramat dalam membuat bibir tak mampu berucap. Ratu Duyung sekarat! Terbujur kaku tanpa mampu berbuat sesuatu, yang bisa ia lakukan hanya menunggu detik-detik ajal datang.

“Ratu Duyung.....!!!

Untuk pertama kali Si Penolong Budiman menyebut namanya. Ia masih bisa mendengar, tapi tak mampu bersuara.

“Keparat! Apa yang kau lakukan terhadap istriku?!”

Teriakan keras diiringi hempasan angin yang menggila membuat Pendekar Bayangan yang saat itu hendak menghantam beruntun sang ratu batal. Lelaki ini melompat menjauh. Hempasan angin itu bukan hanya mengibarkan jubahnya, tapi kejadian yang mengerikan dan membuat dua orang ini melotot matanya adalah Kabut Buta andalan mereka seakan menghilang. Terdorong jauh meninggalkan tempat di mana mereka berada. Akibatnya, sosok mereka tidak lagi terlihat samar. Di bawah cahaya api yang sejak tadi menerangi tempat sekitar sosok mereka kini terlihat sempurna.

“Intan... aku datang. Aku telah kembali....” Lelaki yang bukan lain adalah Wiro Sableng, suami yang selama berbulan-bulan ini dirindukan akhirnya berada di sisinya. Bulir air tampak mengalir dari mata sang ratu yang sampai saat itu terbuka nyalang dengan mulut ternganga.

Wiro Sableng menangis ketika menyadari betapa buruk keadaan istrinya saat ini. Ia angkat tubuh sang istri, menempelkan telapak kirinya lalu mengalirkan hawa sejuk ke tubuh Ratu Duyung.

“Intan.... sadarlah.” Wiro Sableng menggoyang-goyangkan tubuh istrinya. “Intan.....!” pekik Wiro.

Ratu Duyung terbatuk. Darah kental menghitam keluar dari mulutnya. Wiro Sableng segera menyeka darah itu. Membersikan kotoran yang menempel di wajah.

“Su-suamiku.” Ratu Duyung menggenggam jemari sang pendekar. “Wiro..... maaf.... a...ku tidak bi....sa jadi istri yang baik u...ntukmu.”

“Intan... apa yang kamu bicarakan. Diamlah. Aku akan menolongmu. Kamu pasti selamat.”

Ratu Duyung tersenyum. Menggeleng perlahan. “Melihatmu terakhir kali se...belum ajal datang. A...aku sudah cukup bahagia, Wiro.”

“Intan jangan bicara begitu.” Wiro Sableng hendak kembali memberi tambahan tenaga dalam tapi sang ratu mencegahnya.

“Wiro.... dalam beberapa bulan terakhir i...ini, a...aku membuat kesalahan besar. A...aku pernah berfikir buruk tentangmu. Tentang dunia persilatan. Karena itu Wiro, a....aku hanya minta satu hal sama ka...mu. Maafkan aku. “

“Intan!” Wiro Sableng menggoyang tubuh istrinya.

“Intan...!”

“Intann......!!!”

Wiro Sableng menjerit keras. Airmata membuncah, mengalir deras membasahi sosok istri yang tak lagi bernyawa. Padahal sebelumnya ia membayangkan senyum manis kala pertemuan terjadi. Membayangkan pelukan hangat setelah sekian lama terpisah. Semua keindahan tergambar jelas dalam benak. Tawa bahagia akan mengiringi setiap langkah keduanya. Dan, setelah pertempuran dengan Keraan Perut Bumi berakhir, dia memimpikan untuk menyepi diri di puncak gunung. Bersama guru ia hidup bahagia dengan anak tercinta. Tapi nyatanya, semua keindahan itu sirna, berganti dengan keperihan hati yang teramat dalam. Istri yang selama ini dirindukan mati dengan keadaan yang sangat mengenaskan. Lalu untuk apa segala perjuangannya selama ini?

“Wiro awas!” seseorang berteriak tapi Wiro tak pedulikan. Ia terus mendekap tubuh istrinya yang sudah terasa dingin.

Bab 16

Setelah memberitahu rencana untuk mematahkan ilmu aneh yang dimainkan Kakek Segala Tahu, Iblis Buta Pencabut Nyawa berbisik kepada kekasihnya, "Aku tahu kelemahan ilmu silat yang dipakai kakek buta itu! Kau tetap mainkan ilmu andalanmu."

Setan Gundul Akar Bala mengangguk. Bersama teriakannya, kakek tua berkepala botak ini memutar kedua tangannya. Akar pohon sebesar lengan manusia meliuk-liuk, mencari sasaran empuk di tubuh kurus Kakek Segala Tahu. Sambil tertawa-tawa, kakek ini berkelit ke sana kemari. Lalu—drak!—akar kembali mencuat, dan hal luar biasa terjadi.

Pemandangan yang pantas mendapat decak kekaguman kini terlihat. Akar pohon membentuk kurungan guna melindungi diri, sementara akar-akar lain membalas serangan. Yang paling gila dan tidak masuk akal menurut Setan Gundul Akar Bala ialah lawannya kini bukan hanya memainkan ilmu andalannya dengan sempurna, tetapi lebih dari itu—kakek tua renta bahkan mampu menjadikannya satu tingkat lebih tinggi dari yang dipelajari dirinya.

Kalau sebelumnya orang tua ini memainkan ilmu Akar Bala Membetot Nyawa dengan kedua tangan, seperti yang juga dilakukan pemiliknya, saat ini ia mempergunakan ilmu itu dengan jemari. Karena itulah, satu gerakan tangan saja mampu memainkan lima akar sekaligus.

Wutt!

Empat akar pohon menyerang ke titik pertahanan tubuhnya. Setan Gundul berteriak panik. Saat digembleng gurunya dulu, menghadapi satu serangan akar saja ia harus mati-matian untuk bisa menghindari. Kini, dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan kegilaan serangan yang dimainkan lawan. Gurunya pernah berkata bahwa tidak ada satu manusia pun yang sanggup memainkan lebih dari dua akar. Selain itu terlalu sulit, dan tidak banyak manusia yang sanggup menghadapi serangan dua akar sekaligus.

Lalu, yang dilihatnya kini dengan mata kepala botaknya sendiri apa? Manusia butut yang sebelumnya dianggap remeh—bahkan dengan bangga ia dan kekasihnya meyakini kalau orang tua buta itu tak lebih dari rongsokan tidak berguna—dalam waktu yang sangat singkat sudah bisa mengirim lawannya ke neraka. Semua keangkuhan yang sebelumnya memenuhi isi hati nyaris sirna, berganti dengan ketakutan yang sangat besar.

Satu akar mengarah ke leher, siap membelit hingga kepala putus. Satu lagi mengincar selangkangan, sementara dua lainnya mengarah ke dada kanan dan kiri, membentuk tombak. Dalam kejapan mata, dua serangan itu siap menembus jantung.

Setan Botak menyadari, secepat apa pun ia mampu mengelak—bahkan andai dirinya punya kecepatan gerak setingkat dewa—serangan ganas itu tidak akan mampu dihindari. Karenanya, sebelum tubuhnya tertusuk, sebelum nyawanya minggat akibat senjatanya sendiri, kakek ini memejamkan mata, merapal mantra, lalu meniup.

"Musnah!" titahnya.

Dan ajaibnya, akar itu hilang, menjadi kepulan debu yang beterbangan. Di depannya, Kakek Segala Tahu tertawa mengejek.

"Jadi itu mantra penangkalnya? Baik-baik, ayo kita lanjutkan permainan."

Tak peduli dengan ejekan lawan, kakek ini berteriak lantang. Ilmu silatnya berubah. Kakek Segala Tahu, yang sampai saat itu masih terpengaruh ilmu langka, ikut memainkan gerakan silat yang sedang dipakai lawan. Inilah yang tadi disebut Iblis Buta Pencabut Nyawa sebagai kelemahan. Si pengguna akan terus terperangkap hingga pertarungan berhenti sesaat.

"Hahaha! Mati kau, tua bangka buta!" teriak Iblis Buta Pencabut Nyawa yang sejak tadi menunggu kesempatan sesuai rencana.

Tidak tanggung-tanggung, nenek tua ini mengirimkan dua pukulan sekaligus. Satu mengarah ke kepala, satu lagi ke dada. Kepulan asap hitam bercampur percikan api menghantam ganas ke arah Kakek Segala Tahu, sedangkan Setan Botak Akar Bala sendiri telah melompat, menjauhi pusat pertempuran.

Kakek Segala Tahu, yang saat itu masih terpengaruh ilmu langka yang dimainkannya, hanya bisa berteriak. Ia berusaha melompat untuk menghindari serangan, sayangnya terlambat. Pukulan yang mengarah ke kepala memang berhasil dielakkan, tapi tidak dengan yang menghantam dadanya.

Kakek tua buta ini menjerit. Tubuh kurusnya terpental empat tombak ke belakang, membentur pohon. Saking kuatnya, daun-daun berjatuhan.

Untuk sesaat, kakek sakti ini tidak bisa bergerak. Di depan sana, Iblis Buta Pencabut Nyawa tertawa bergelak. Ia meraba tubuhnya. Hebat! Benar-benar luar biasa daya tahan orang tua satu ini. Kalau orang lain, tentu bukan hanya luka dalam yang diderita—tubuh kurus itu akan hangus terbakar, menyisakan tulang rongsokan.

Padahal saat pukulan datang, ia tidak menangkis dengan ilmu apa pun—hanya mengandalkan tenaga dalam yang dimilikinya saja. Kalau bukan dedengkot persilatan yang memiliki segudang pengalaman juga ketinggian tenaga dalam yang sulit dijangkau, tentu ia takkan mampu melakukan ini.

"Sebaiknya kita segera akhiri hidup manusia tak berguna itu, kekasihku," kata Iblis Buta Pencabut Nyawa.

Ia kembali menyiapkan pukulan. Bersama Setan Botak Akar Bala, ia kembali melepas pukulan ke arah Kakek Segala Tahu, yang saat itu baru saja menyempurnakan duduknya. Empat pukulan menggila menghantam ke arahnya. Dari kejauhan, ia sudah merasakan hempasan angin menerpa tubuh reotnya. Caping bambu yang sebelumnya terjatuh saat ia terpental, kini terbang jauh mengikuti dorongan ganas hempasan.

Kakek ini tahu, dua musuhnya sedang melepaskan pukulan andalan dengan tenaga dalam penuh. Dengan pukulan seganas itu, dilepaskan oleh dua tokoh sakti berkepandaian tinggi, sosok tubuh si kakek tentu akan terbakar hangus—atau paling tidak, tubuhnya tercerai-berai bersama ledakan jika ia melakukan perlindungan diri seperti sebelumnya.

Karena bagaimanapun, tingkat tenaga dalam yang dimiliki hanya berada dua tingkat di bawahnya. Karena itu pula, kakek ini tidak mau berlaku ayal.

Tongkat dihantamkan ke tanah, mulutnya komat-kamit. Dari dua matanya yang putih, memancar cairan putih susu. Cairan itu mengucur deras, membasahi sekujur tubuh.

Ledakan terjadi!

Api membuntal, membungkus Kakek Segala Tahu. Debu beterbangan, menutupi pemandangan. Di depan sana, Iblis Buta dan kekasihnya tertawa bergelak, mengira lawannya telah terbang ke neraka.

"Mampus! Nikmatilah perjalananmu ke neraka, tua bangka rongsokan!"

Nenek itu mengajak kekasihnya mendekat ke arah Pendekar Seribu Bayangan dan Gayatri Wigura yang kala itu berhasil mendesak lawan dengan hebat.

Namun, baru saja ia melangkah—tawa melengking, disusul kelontang-kelontang kaleng rombeng, membuat keduanya terpaku.

"Mau ke mana? Pertarungan ini belum selesai, hihihi... Aku juga belum kirim balasan, kalian sudah mau pergi saja?"

Kedua orang tua itu berbalik cepat. Setan Gundul Akar Bala berteriak panik ketika melihat cairan putih susu laksana ribuan anak panah melesat ke arahnya.

"Ilmu setan apalagi yang dimainkan bangsat durjana itu?" teriak Iblis Buta Pencabut Nyawa.

Bersamaan dengan itu, ia menghantamkan pukulan tangan kosong untuk menangkis serangan. Celakanya, cairan susu itu laksana hujan yang diterpa badai—tidak berjalan lurus layaknya serangan, tetapi menghantam dari berbagai jurusan, seolah-olah pusat serangan datang dari langit.

Tutup jalan pernapasan! Aku yakin cairan ini beracun! seru Setan Gundul Akar Bala.

Dan memang benar, cairan itu memiliki racun yang sangat kuat—mampu membunuh satu induk gajah hanya dengan satu tetes saja. Sayangnya, keduanya tidak tahu bahwa selain mengandung racun yang mematikan, cairan itu juga tak ubahnya seperti lelehan besi panas. Apa pun yang tersentuh olehnya langsung berlubang dan terbakar. Banyak pohon telah menjadi korbannya. Kayu sekeras itu terbakar tembus, menjadikan tempat sekitar terang benderang. Apalagi daging manusia...

Dan itulah kenyataannya.

Jerit kesakitan saling bersahutan di antara sepasang kekasih itu. Ada ratusan titik di tubuh mereka yang tertembus. Semakin lama, lubang-lubang itu semakin membesar. Kepulan asap membumbung dari setiap luka yang menganga. Iblis Buta dan kekasihnya berguling-guling, menjerit dalam kesakitan yang tak tertahankan.

Andaikan mereka bisa memilih, tentu keduanya lebih memilih kematian yang cepat—kepala meledak, jantung jebol, atau tubuh tercerai berai—daripada harus merasakan penyiksaan yang tiada habisnya.

"Keparat Setan!" Iblis Buta Pencabut Nyawa menghantamkan pukulan tangan kanan ke kepalanya sendiri. Seketika, kepala itu retak, darah dan otak muncrat ke mana-mana. Detik itu juga nyawanya melayang ke neraka.

Melihat itu, Setan Botak meraung sejadi-jadinya. Kekasih tercintanya mati di depan matanya sendiri dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Ia sendiri sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya, tetapi melihat kekasihnya pergi lebih dulu, dendam kesumat membuncah dalam hatinya.

Saat itu, tubuhnya tak lebih dari seonggok daging yang dipenuhi lubang-lubang menghitam. Semakin lama, semakin membesar.

Ia mencoba berdiri, berniat membalaskan dendam kematian kekasihnya, tapi kembali terbanting karena tak kuat menahan sakit yang teramat sangat.

"Aku tunggu kau di neraka, tua bangka laknat!"

Kakek botak itu mengikuti jejak kekasihnya. Sekali bergerak, akar pohon mencuat, lalu laksana tombak, akar itu menghujam tepat ke arah jantungnya. Detik itu juga nyawanya hilang—tak ada teriakan, yang terlihat hanya belalakan mata, mulut yang menganga, dan akar pohon yang menembus dada.

Kakek Segala Tahu menarik napas lega, mengusap dadanya yang sebelumnya terkena serangan.

"Selama hidup, rasanya aku tidak pernah mempergunakan ilmu langka itu. Kenapa nenek pembawa pendupa bisa tahu kelemahannya? Mudah-mudahan hanya dia seorang yang mengetahui. Kalau orang-orang Kerajaan Perut Bumi banyak yang tahu, celaka! Sepertinya aku harus melupakan ilmu itu. Tidak mungkin aku gunakan lagi... terlalu berbahaya."

Kakek Segala Tahu mengambil caping bambunya. Saat itulah telinganya menangkap teriakan Si Penolong Budiman, alias Latampi.

"Ratu Duyung...!"

"Ada apa? Apa yang terjadi?" Kakek ini segera melompat menuju sumber suara. Di sana, Latampi berusaha duduk dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Keparat! Apa yang kau lakukan terhadap istriku?!"

Kakek Segala Tahu mengenali suara itu. Wiro. Bocah sableng itu akhirnya datang juga.

"Latampi, ceritakan apa yang terjadi!"

"Aku... aku melihat ada kekuatan dahsyat, Kek! Gelombang angin yang sangat besar menghalau kabut sejauh mata memandang. Aku bisa melihat mereka berdua dengan jelas. Kek, dua bangsat itu hendak membokong sahabat kita! Lekas bantu!"

Kakek Segala Tahu segera melompat ke arah Gayatri Wigura dan Pendekar Seribu Bayangan. Kedua manusia itu terkejut ketika kakek buta itu tiba-tiba menghadang mereka.

"Tua bangka keparat ini benar-benar merepotkan," batin mereka.

Sekilas, Pendekar Seribu Bayangan melirik ke arah sepasang kekasih yang telah terkapar. Kepala yang rengkah dan dada yang tertembus akar pohon—betapa besar gelombang kejut yang menerpa lelaki berparas gagah itu.

"Hehehe... siapa namamu tadi? Gayatri? Hmm... aku sudah tahu semua kelemahan ilmumu. Apa kau masih punya keberanian?"

"Tua bangka jahanam! Jangan hanya karena kau tahu satu kelemahan ilmuku, lalu kau bicara pongah merasa paling hebat!"

"Ah, jangan marah. Tapi kamu salah, Gayatri. Aku tahu dua kelemahan ilmumu, bukan satu, hihihi... Silakan keluarkan ilmu lain, barangkali aku tahu lagi."

"Setan alas!" Gayatri menjerit. Sekali menerjang, ia melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi ke arah kepala Kakek Segala Tahu.

Di sebelahnya, Pendekar Seribu Bayangan tidak mau ketinggalan. Jika sebelumnya saat melawan Ratu Duyung ia seolah bermain-main, kali ini tidak. Sekali serang, ia telah mempergunakan Ilmu Seribu Bayangan yang sebelumnya berhasil memperdaya sang ratu.

Bersama bentakan garang, tubuhnya seakan menghilang. Jika bukan Kakek Segala Tahu yang menjadi lawannya, tentu lawan akan langsung gugup seperti yang dialami Ratu Duyung sebelumnya. Saat itulah ia bisa mendaratkan pukulan ke mana saja sesuka hati.

Sayangnya, yang menjadi lawannya kini adalah dedengkot persilatan.

Bersama dentingan lonceng kaleng rombengnya, Kakek Segala Tahu dengan mudah menghindari serangan kedua tokoh sakti dari Kerajaan Perut Bumi. Bahkan, sambil tertawa-tawa, kakek ini mengejek permainan silat Pendekar Seribu Bayangan.

"Salah kaprah jika kau menggunakan ilmu itu pada orang buta sepertiku, anak muda, hihihihi... Apa kau lupa? Ilmu silatku tidak berpusat pada penglihatan, tapi pada pendengaran!"

Pendekar Seribu Bayangan mendengus. Bersama Gayatri, ia meningkatkan kecepatan serangannya.

Sekilas, senyum merekah di bibirnya saat ia melihat Kakek Buta mulai terdesak. Beberapa kali, ia hampir berhasil mendaratkan pukulan di tubuh lawannya.

"Gayatri, serahkan tua bangka busuk ini padaku! Kau bunuh pemuda itu! Dia sedang berduka. Cepat!"

Gayatri melompat keluar dari arena pertempuran. Kakek Segala Tahu hendak mengejar, tetapi Pendekar Seribu Bayangan tentu tidak akan membiarkannya.

"Celaka!" keluh Kakek Segala Tahu.

Pendekar Seribu Bayangan tertawa mengejek.

"Mungkin aku tidak bisa membunuhmu dengan mudah, orang tua. Tapi pemuda sableng itu bisa dengan mudah kukirim ke neraka!"

"Wiro, awas...!" teriakan Latampi menggema.

Lalu, kejap berikutnya...

Suara angin laksana topan prahara bergemuruh. Beberapa pohon tumbang. Kakek Segala Tahu dan Pendekar Seribu Bayangan harus melompat menjauh.

Latampi yang kala itu berusaha berdiri terseret, tetapi segera disambar oleh Kakek Segala Tahu. Sedangkan Pendekar Seribu Bayangan mati-matian bertahan agar tubuhnya tidak terpental.

Yang paling mengerikan adalah Gayatri Wigura. Perempuan cantik itu terpental jauh—puluhan tombak. Sosoknya membentur tebing batu, darah menyembur dari mulutnya, menandakan luka dalam yang sangat parah. Baju yang dikenakannya morat-marit, beberapa aurat terlihat. Terutama bagian kakinya, kedua paha mulus itu terbuka. Dengan susah payah, ia mencoba bangkit. Seperti sebelumnya, segera ia duduk dan merapal ajian pemusnah luka dalam.

Sulit!

Ia mengulangi lagi. Sedikit membaik, tapi sakit di dadanya masih terasa. Bahkan untuk menarik napas saja, rasanya berat, seakan ada benda berat menggenjet tubuhnya.. Apa mungkin pukulan pemuda sableng itu berpusat dari hawa dingin? Mendadak, tengkuk Gayatri Wigura terasa dingin. Ketakutan akan kematian seolah memenuhi relung hatinya.

“Celaka!” keluhnya dalam hati.

Saat itulah satu bayangan berkelebat.

“Ilmu pemuda itu berpusat antara hawa panas dan dingin. Kamu butuh waktu lama untuk bisa menyembuhkan luka dalammu. Kita harus segera pergi. Keadaan sudah tidak menguntungkan.”

Tanpa menunggu jawaban, Pendekar Seribu Bayangan langsung menyambar tubuh wanita cantik itu, lalu melesat pergi, meninggalkan empat kawannya yang kini telah berubah menjadi mayat.

**

“Sudah baikan?” tanya Kakek Segala Tahu setelah memberikan beberapa pertolongan.

Lelaki dari negeri Latanahsilam itu menarik napas panjang terlebih dahulu sebelum menjawab.

“Napasku sudah lega, tidak sesak lagi, Kek. Terima kasih banyak. Aku berhutang nyawa dan budi padamu.”

Kakek Segala Tahu terkekeh.

“Syukurlah kalau kau sudah baikan, anak muda.”

Kakek itu terdiam sejenak, lalu berkata, “Hmm... tadi kau bilang gelombang angin mendorong kabut?”

“Benar, Kek. Saat ini aku bisa melihatmu dengan jelas, tanpa terhalang kabut lagi. Semua berkat sahabat Wiro.” Ia melirik ke arah Wiro yang sampai saat itu masih meringkuk, memeluk istrinya.

Kek, aku pernah melihat pukulan yang dilepaskannya tadi di negeri Istana Silam. Pukulan itu cukup dahsyat dan mematikan, tapi sepengetahuanku, tidak sebesar tadi gelombang anginnya. Gayatri bukan orang sembarangan, tapi dia sampai terpental jauh ke tebing sana.

Kakek Segala Tahu kembali terkekeh.

"Semua berkat bantuan para dewa. Mendengar keteranganmu yang mengatakan kabut buta terhalau, aku yakin pemuda itu telah mendapatkan ilmu langka dari para dewa. Ilmu pukulan yang dilepaskannya tadi bernama Benteng Topan Melanda Samudra. Jika itu terjadi sebelum ia mendapat ilmu dari para dewa, apalagi dalam keadaan kalut seperti itu, mendapat serangan mematikan dari Gayatri tentu sangat berbahaya bagi jiwanya, karena pukulan itu takkan sanggup membendung keganasan ilmu pukulan yang dilepas Gayatri."

Si Penolong Budiman kembali melihat ke arah Wiro.

"Apa yang harus kita lakukan, Kek? Tidak mungkin kita terus membiarkan sahabat kita berkalung duka seperti itu."

"Untuk saat ini, biarkan dia menyelesaikan urusannya. Biarkan dia memuaskan seluruh dahaga yang selama ini mencekik. Aku tahu apa yang dia rasakan. Kehilangan orang yang dicintai, yang dirindukan sekian lama, cukup menyakitkan. Terlebih ketika pertemuan datang, istri pergi di depan matanya sendiri. Kita tunggu sampai dia merasa tenang, merasa cukup untuk melepas rindu untuk terakhir kali."

Latampi menganggukkan kepala, membenarkan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Untuk sesaat, hening menggantung di antara mereka. Hanya isak tangis Wiro Sableng dan suara hewan malam yang terdengar.

"Kek..."

"Hmmm..."

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu. Kau ingat saat di dalam goa itu? Ketika Ratu Duyung menanyakan soal rencana besar, kau bilang tidak tahu. Tapi firasatku mengatakan kau tahu sesuatu, Kek. Dan waktu itu juga kau melihat aku, seolah aku ada keterkaitan dengan rencana besar yang akan dilakukan."

Sebelum menjawab, Kakek Segala Tahu berdehem lebih dulu.

"Latampi, apa yang kau duga ada benarnya. Kau—atau lebih tepatnya putrimu—punya keterkaitan dengan rencana besar yang akan kita lakukan."

"Putriku?" Latampi menatap dengan mimik wajah penuh kejut. Dilihatnya Kakek Segala Tahu mengangguk.

"Apa yang akan terjadi dengan putriku, Kek? Juga, kenapa kau seakan tidak berani menjelaskan kepada Ratu Duyung?"

"Itu masalahnya. Aku tidak tega melihat dia kembali terkena tekanan batin ketika tahu rencana besar itu. Karena di sana, Wiro akan menikah dengan putrimu."

"Apa?!" Latampi sampai terbelalak mendengar keterangan si kakek. "Menikah, Kek?"

Kakek Segala Tahu mengangguk cepat. Seketika, ingatannya terbang jauh ke negeri asalnya.

Waktu itu, ketika Wiro baru saja menyelamatkan putrinya dari kematian akibat mencoba bunuh diri, sebagian kisah hidup putrinya ia ketahui. Secara diam-diam, Luhcinta sangat mencintai pemuda itu. Tapi sejauh itu, ia tak berani bertanya lebih dalam karena saat itu Luhcinta sangat membenci dirinya. Tidak mau menerima kalau ia adalah ayahnya.

Sampai kejadian besar di Istana Kebahagiaan membuka tabir yang selama ini menutupi. Seorang nenek menjelaskan bahwa Luhcinta bukan anak haram, bukan anak Dajjal yang terlahir dari saudara kandung—yakni kakak adik. Luhcinta adalah anak sempurna seperti yang lain.

Dalam waktu yang singkat itulah akhirnya Luhcinta mengakui Latampi sebagai ayah yang selama ini dirindukan. Dalam haru biru itu, ia memberanikan diri untuk bertanya kepada putrinya.

"Wahai, putriku. Menurut keterangan dari yang kudengar, juga dari nenekmu dan gurumu, benarkah kau sangat mencintai pemuda itu?" Dengan pandang matanya, Latampi menunjuk Wiro yang kala itu sedang duduk santai di kursi paling depan.

"Ayah... aku tidak tahu apakah yang kurasakan ini benar-benar cinta, atau hanya kekaguman seorang gadis pada pemuda yang telah menolongnya. Dia pernah menyelamatkan nyawaku, Ayah. Dan sejak saat itu, pikiranku seakan tidak pernah lepas dari bayangannya."

Latampi tersenyum. Melirik ke arah dua nenek yang ada di samping kirinya.

"Itu namanya cinta, putriku."

Wajah Luhcinta bersemu merah.

"Tapi menjalin hubungan dengan pemuda asing itu, Ayah khawatir kau hanya akan tersiksa, Anakku."

"Maksud Ayah?"

Latampi kembali melihat ke arah Wiro Sableng.

"Bagaimanapun, dia bukan orang sini. Dia pasti akan kembali ke negerinya. Jarak hidup kalian terpisah lebih dari seribu tahun. Aku tidak mau kamu tersiksa karena perpisahan. Menikah dengan lelaki itu suatu hal yang mustahil."

"Wahai... Ayah, aku tidak memikirkan sejauh itu."

Kembali gadis ini dilanda rasa malu yang teramat sangat. Melihat itu, Latampi dan dua orang nenek tersenyum.

"Udah-udah, sebentar lagi manusia Dajjal akan menampakkan diri. Kita ke sana sekarang."

Mereka semua pun berjalan menuju baris depan.

"Latampi, kau melamun?"

Latampi tersadar dari lamunan. Mengingat semua kenangan singkat itu membuatnya semakin dirundung rasa rindu. Rindu ingin segera bertemu dengan anak semata wayang.

"Kau mendengar penjelasanku barusan, Latampi?"

Kening Latampi berkerut.

"Maaf, Kek, aku tidak dengar. Kakek tadi bicara apa?"

Kakek Segala Tahu tidak segera menjawab. Ia menengadah terlebih dahulu.

"Tabahkan hatimu, Latampi."

Mendengar keterangan itu, untuk kesekian kalinya Latampi terhenyak.

"Maksudmu, Kek?"

"Seperti yang aku jelaskan tadi, pernikahan Wiro dan putrimu bukan untuk meraih kebahagiaan, bukan juga untuk mendapat keturunan. Pernikahan itu hanya sebagai upacara pemusnah Kabut Buta yang beberapa tahun belakangan ini menjadi petaka bagi seluruh umat manusia. Karena itu, pernikahan ini disebut Korban Jiwa."

Dada Latampi bergemuruh. Detak jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya.

"Ma-maksudmu, Kek?"

Guncangan hebat pada tubuhnya membuat suara lelaki ini bergetar.

"Kau akan kehilangan anakmu. Dan ini untuk selamanya."

"Dewa Agung..."

Latampi terjatuh berlutut.

"Kenapa kesialan selalu menimpaku?" Lelaki ini menjelepok di tanah. Seketika kemudian, air mata mulai mengalir.

"Bertahun-tahun aku mencari keberadaan putriku, sampai harus membungkus diri dengan lumpur hitam setiap hari. Setelah ketemu, Engkau pisahkan di negeri asing ini. Lalu sekarang, bahkan sebelum Kau pertemukan, hendak Kau pisahkan lagi? Apa maumu, Dewa Agung? Kenapa Kau begitu kejam terhadap diriku? Terhadap keluargaku?"

Kakek Segala Tahu mengelus bahu Latampi.

"Latampi, ingat, apa yang sudah terjadi dan akan terjadi semua berada pada takdirnya. Kita manusia hanya diberi pilihan untuk menjalani, bukan mengingkari...

“Pengorbanan anakmu tidak akan sia-sia. Seluruh umat manusia akan mengingatnya sampai dunia ini berakhir. Bahkan, dia akan menjadi dewi yang sangat cantik di kayangan sana. Sekali lagi, tabahkan hatimu, Latampi. Jangan karena menuruti perasaan, kau lupa ada dunia yang harus kita selamatkan. Aku yakin anakmu pun tidak rela melihat kau menangis.”

Lama Latampi terdiam, terlarut dalam pusaran duka, hingga akhirnya ia bertanya, “Apa putriku tahu semua ini?”

“Dari mimpi yang kudapat, putrimu sudah tahu semuanya. Karena itulah aku berharap dia sudah ada di Tanah Perjanjian.”

Di ufuk timur, sinar sang surya mulai terlihat. Cahaya kuning temaram tampak indah meski ada kabut yang menghalang di kejauhan. Sementara itu, di hutan berbatu, tempat Latampi, Kakek Segala Tahu, dan Wiro Sableng berada, keadaan tampak jelas. Tidak ada lagi kabut buta, tiada penghalang untuk melihat.

Latampi berdiri. Meskipun hatinya masih terasa perih, ia mencoba menguatkan diri. Benar apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu—ini bukan saatnya menyesali diri, saling menyalahkan, atau merasa tersakiti karena kehilangan. Dalam dunia yang kacau ini, pertemuan dan perpisahan setipis embun pagi. Keduanya datang dan pergi tidak lebih hanya sekejapan mata.

Kakek Segala Tahu mengajak Latampi menuju ke arah Wiro. Dilihatnya pemuda sableng itu telah meletakkan jenazah Ratu Duyung di atas batu datar. Murid Sinto Gendeng itu melirik ketika Kakek Segala Tahu dan Latampi sampai di sisinya.

"Kita harus kebumikan dulu istri dan anakmu, setelah itu kita lanjutkan perjalanan," kata Kakek Segala Tahu.

Wiro Sableng mengangguk, mengusap air mata yang sudah mengering, lalu sekali lompat ia telah berada sejauh lima tombak, tepat di bawah pohon sebesar betis. Dengan tangan kirinya, ia menebas pohon itu hingga putus. Lalu, kapak sakti tiba-tiba tergenggam di tangan kanannya. Dengan kapak itu, ia mulai membuat kayu meruncing.

Menyaksikan semua yang dilakukan Wiro, Latampi mulai memahami apa yang tengah dikerjakan sahabatnya. Ia sedang membuat alat penggali untuk istrinya. Sebenarnya, bagi seorang pendekar—terlebih pendekar besar seperti mereka—membuat lubang untuk mengubur jenazah adalah hal yang mudah. Namun, kali ini yang meninggal bukan orang biasa. Tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu. Ratu Duyung layak dikebumikan dengan terhormat, sebagaimana manusia pada umumnya.

"Wiro, aku akan membantumu," kata Latampi ketika dilihatnya Wiro sudah mulai menggali.

Wiro Sableng melirik. "Sahabat lama, terima kasih atas peringatanmu malam tadi. Kalau bukan karenamu, mungkin aku sudah kena di bokong."

Latampi mengangguk cepat. "Aku turut sedih atas kepergian istrimu, sahabat Wiro. Semoga para dewa memberinya tempat terbaik di kayangan."

Wiro hanya tersenyum mendengar doa dari sahabat lamanya. "Kalau kau mau membantu aku, tolong ambilkan air di anak sungai sana. Aku ingin membersihkan jasad istriku sebelum dikebumikan."

Latampi mengangguk. Sekali berkelebat, ia telah lenyap dalam lereng yang penuh dengan semak belukar.

Penggalian Wiro sudah sedalam betis. Keringat mengucur deras dari tubuhnya. Andai saja ia menggunakan tenaga dalam, tentu setetes pun keringat tidak akan keluar.

Tiba-tiba, cahaya putih muncul di dekat jenazah Ratu Duyung. Kakek Segala Tahu, yang berada paling dekat dengan sosok itu, segera bersiap siaga, menyalurkan tenaga dalam ke tangan kanannya.

"Kakek buta, aku datang bukan untuk membawa bencana. Simpan saja tenagamu."

Dari dalam cahaya putih, keluar sosok tua dengan jenggot menjuntai sampai dada. Wiro, yang mengenali suara orang tua itu, langsung melompat dan membungkuk hormat.

"Kakek Saptuning Jagat, kedatanganmu tentu memiliki maksud."

Orang tua yang memang Kakek Sakti Resi Saptuning Jagat itu tersenyum. "Anak manusia bernama Wiro Sableng, apa yang kau duga memang benar adanya. Kedatanganku ke dunia manusia memiliki suatu maksud."

Diam-diam, Wiro berharap keajaiban atas istrinya terjadi—agar Kakek Sakti itu mau menghidupkan kembali Ratu Duyung. Namun, akal sehatnya menolak keanehan keinginannya.

Seakan tahu apa yang dipikirkan Wiro, kakek berwajah ramah itu berkata, "Setiap jiwa yang dititipkan ada saatnya diambil kembali. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menghalanginya. Anak manusia bernama Wiro, tabahkan hatimu atas kejadian ini. Kepergian istrimu memang sudah takdirnya. Kau harus ikhlas menerimanya. Namun, dalam kematiannya, dia membawa jiwa yang belum saatnya diambil."

Resi Saptuning Jagat memutar telapak tangannya, lalu menghadapkan telapak itu ke perut Ratu Duyung. Perlahan-lahan, asap putih tipis keluar dari perut besar sang ratu, semakin lama semakin tebal. Seiring bertambahnya asap putih yang keluar, perut jenazah Ratu Duyung makin mengempis, hingga akhirnya kempis sempurna.

Resi Saptuning Jagat mengambil gumpalan asap sebesar bayi. Ia menggendong gumpalan asap itu layaknya bayi, lalu meniupnya perlahan. Keajaiban terjadi—Wiro terbelalak. Asap putih itu hilang, berganti dengan sosok bayi merah, persis seperti baru keluar dari kandungan.

"Menangislah, anakku," bisik Kakek Sakti itu. Lalu, di hutan yang penuh mayat bergelimpangan, suara tangis bayi terdengar. Resi Saptuning Jagat tersenyum. "Bayi pintar."

Kepada Wiro, ia berkata, "Anakmu akan kubawa ke Kerajaan Atas Langit. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya, karena kami semua akan menyayanginya seperti anak sendiri."

Wiro Sableng mengangguk hormat. Resi Saptuning Jagat tersenyum, lalu menatap ke arah Kakek Segala Tahu.

"Sudah saatnya Kerajaan Perut Bumi kita musnahkan dari dunia ini, orang tua bijak."

Kakek Segala Tahu terkekeh, menggoyangkan kaleng rombengnya, lalu membungkuk hormat seraya berkata, "Mohon bimbinganmu dan para dewa di Negeri Atas Langit."

"Satu langkah lagi," katanya, lalu masuk ke dalam gumpalan cahaya. Sesaat kemudian, cahaya itu hilang.

"Kek, melihat dari sikapmu, sepertinya kau sudah kenal cukup lama dengan orang tua tadi?"

Kakek Segala Tahu kembali terkekeh. "Orang tua itu yang selalu datang dalam mimpiku, Wiro. Dia juga yang menyuruhmu untuk menemuinya di Tebing Curam dulu."

"Hmm, begitu."

Wiro Sableng kembali melanjutkan pekerjaannya. Keringat membanjir deras, bajunya hampir basah seluruhnya. Saat ini, liang lahat sudah sedalam pusar.

Wiro Sableng melompat ketika dilihatnya Latampi datang membawa air dalam anyaman bambu berbentuk gentong. Pantas saja lama—rupanya lelaki ini membuat wadah air terlebih dahulu. Anyaman bambu itu memiliki dua lapisan, di tengahnya diselipkan daun pisang berlapis-lapis serapat mungkin. Karena itulah, air tidak bocor keluar. "Cerdik," puji Wiro dalam hati.

"Sahabat Latampi, bisakah kau membantuku sekali lagi?"

Latampi mengangguk cepat. "Dengan senang hati, sahabat Wiro."

"Kau teruskan menggali sampai sedalam dada. Aku akan memandikan istriku."

Latampi mengangguk lalu gegas ia meneruskan pekerjaan Wiro. Seperti sahabat lamanya, ia juga menggunakan tenaga luar saja, demi menghormati sahabt cantiknya yang sering dipanggil Sahabat Bermahkota Kerang

Wiro sableng membasuh wajah istrinya, membersihkan dengan telaten. Debu bekas ledakan diusap hingga wajah itu kini mulai terlihat. Meski tampak pucat, kecantikan masih terpancar dari sana. Selesai membersihkan wajah lanjut ke dua lengan. Menggosok perlahan hingga warna hitam dikulit akibat debu ledakan hilang. Meski tidak bersih sepurnah, paling tidak dalam peristirahatan terakhir, Ratu Duyung tetap terlihat seperti seorang ratu.

Selesai membasuh kaki, wiro Sableng pandangi wajahnya untuk terakhir kali. Lalu berpaling ke arah Latampi yang juga telah menyelesaikan pekerjaannya. Wiro Sableng mengangkat sosok kaku Sang Ratu. Membawanya perlahan ke pembaringan. Perahan sekali ia meletakan tubuh itu ke dalam liang lahat.

“Berbahagialah di sana Intan. Tidur yang lelap. Tunggu aku. Aku akan menyusulmu.”

Wiro Sableng peluk tubuh itu untuk terakhir kali, mengecup kening lalu berpindah ke bibir. “Selamat tinggal,” lirihnya. Dengan kedua tangan, dibantu Latampi dan Kakek Segala Tau ia mengubur jasad sang ratu. Inilah akhir dari perjalanan hidupnya. Ia hidup ratusan tahun di dasar samudra, di kelilingi ribuan abdi, , kini terkubur di daratan yang jauh dari pemukiman. Ia terbujur kaku dalam liang yang sepi nan sunyi.

Bab 17

Wiro Sableng berlari dengan mempergunakan jurus Kaki Angin, warisan Eyang Sinto Gendeng. Di belakangnya, Kakek Segala Tahu dan Latampi mengikuti. Suatu pemandangan lucu andai saja kala itu ada seseorang yang melihat, sebab ketika Wiro berada jauh di ujung sana, kabut yang sebelumnya terhempas kini kembali menutupi. Keadaan sekitar menjadi gelap, memutih; yang terlihat hanya bayangan pohon-pohon besar dan tebing berbatu.

Wiro bisa saja menambah kecepatannya hingga tiga sampai empat kali lipat dari sekarang. Bahkan, jika ia menerapkan jurus Seribu Langkah Dewa—salah satu ilmu gerak maha dahsyat yang ada dalam Kitab Seribu Bintang—dalam sekejap mata ia sudah melesat sejauh puluhan tombak. Perjalanan sehari mampu ditempuh hanya dalam seperempatnya. Namun, ia tidak melakukan itu karena selain jarak mereka dengan Tanah Perjanjian sudah sangat dekat, ketiganya juga sering terlibat obrolan dalam perjalanan.

“Kembali dari Alam Para Dewa, aku langsung menuju ke goa tempat sebelumnya kau dan istriku berada, Kek, tapi yang kutemui hanya jerangkong yang sudah menyatu dengan tanah.”

Sambil terus mengimbangi kecepatan lari Pendekar 212, Kakek Segala Tahu berdeham beberapa kali. “Jika mendengar apa yang kau ceritakan itu, jelas aku dan mendiang istrimu sudah lama meninggalkan goa itu, Wiro. Pertempuran sengit di goa terjadi setelah beberapa saat kau pergi. Lalu kau baru kembali berbulan-bulan berikutnya.”

“Aku merasa hanya pergi ke Alam Para Dewa tidak lebih dari tujuh hari, Kek. Dan memang menurut penjelasan dari Resi Saptuning Jagat, perbedaan antara dunia kita dan Alam Para Dewa cukup jauh. Satu hari di sana bisa belasan hari di dunia kita.”

Orang tua di belakang Wiro mengangguk perlahan. “Itulah mengapa orang-orang di dunia ini merasa kau pergi terlalu lama.”

“Benar, Kek.” Wiro menggaruk kepalanya. Laju larinya sedikit diperlambat ketika ia sampai di jalanan lapang. Mereka kini bisa berlari beriringan.

“Dalam perjalanan mencarimu, Kek, aku bertemu salah satu abdi Kakek Raja Penidur.”

“Maksudmu kakek sakti yang tidur di atas tandu?” Latampi untuk pertama kalinya sejak memulai perjalanan bersama membuka suara.

Wiro Sableng melirik ke arah Latampi lalu menganggukkan kepala. “Kau pernah bertemu dia, Sobat?”

“Sudah cukup lama. Justru aku melakukan perjalanan ke sini karena petunjuknya. Beliau mengatakan kalau dalam beberapa bulan lagi, pertempuran maha dahsyat akan terjadi. Aku juga diminta untuk mencari putriku. Jujur aku sangat terkejut waktu itu, karena selama aku bertemu banyak tokoh sakti di Tanah Jawa ini, hanya dia yang tahu siapa aku dan siapa putriku.”

Kelonteng kaleng rombeng terdengar nyaring dari goyangan tangan Kakek Segala Tahu. “Matanya boleh terpejam, tapi dia tahu banyak tentang apa yang terjadi di dunia. Bahkan yang akan terjadi.” Kakek Segala Tahu memperlambat laju larinya. “Ada lagi yang dia katakan padamu, Latampi?”

Latampi cepat menggeleng. “Tidak ada, Kek. Hanya itu. Beliau memintaku hanya untuk mencari putriku, lalu membawanya ke Tanah Perjanjian.”

Kakek Segala Tahu menggumam, seakan berpikir. Ia berpaling ke arah Wiro. “Ceritamu tadi terpotong, apa masih ada hal penting yang mau kau sampaikan mengenai salah satu abdi si Raja Penidur?”

Wiro Sableng menarik napas sesak. Ia menghentikan larinya hingga kedua orang lainnya melakukan hal yang sama.

“Heh, apa yang terjadi denganmu, Pemuda Sableng? Aku merasakan desah napas kesedihan?”

Latampi membenarkan apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu. Ia melihat raut kesedihan di wajah sahabat lamanya.

“Beliau sudah meninggal, Kek.”

Kedua mata Kakek Segala Tahu yang berwarna putih menyipit, seiring tarikan keningnya yang dilapisi kulit kendur. Sementara itu, Latampi menatap Wiro dengan tatapan tak mengerti.

“Meninggal? Maksudmu meninggal bagaimana? Siapa yang meninggal? Bicara jangan sepotong-sepotong, nanti orang salah mengartikan!”

“Kakek Raja Penidur telah mendahului kita, Kek. Beliau telah berpulang ke pangkuan Gusti Allah.”

Kakek Segala Tahu dan Latampi terperangah. Kalau bukan Wiro yang mengatakan, sulit bagi mereka berdua untuk percaya.

“Aku tahu kau suka bercanda, suka usil, dan bicara konyol, tapi sejauh aku mengenalmu, kau tidak pernah bicara ngawur soal kematian. Apalagi ini tentang tokoh besar dunia persilatan. Aku percaya yang kau katakan, Wiro. Masalahnya, siapa manusia terkutuk yang telah membunuh sahabat lamaku, sahabat tuaku? Tidak mudah bagi orang-orang golongan hitam untuk mengalahkan manusia satu itu, apalagi sampai membunuhnya.”

“Menurut keterangan abdinya, beliau mati bukan karena perkelahian. Beliau menderita penyakit panas. Satu bulan sebelum kepergiannya, ia meminta para abdinya untuk membawanya ke Bukit Manoreh. Di sana juga beliau dimakamkan.”

Kakek Segala Tahu menarik napas perlahan. “Jadi dia mati secara wajar?”

“Benar, Kek. Karena memang sudah waktunya.”

“Dia memang sudah terlalu uzur. Seperti tubuh rongsokan ini, harusnya sudah tidak lagi mengurusi dunia. Tanggung jawab dunia persilatan seharusnya kalian yang masih muda yang menanggungnya.”

“Orang muda seperti kami bisa apa, Kek, tanpa petunjuk darimu?”

Sambil membetulkan caping bambu yang agak miring, Kakek Segala Tahu kembali berkata, “Soal kematian si Raja Penidur, jangan kau ceritakan dulu pada yang lain. Cukup kita saja yang mengetahui berita ini. Aku tidak mau pusat perhatian mereka saat menghadapi orang-orang Kerajaan Perut Bumi jadi terpecah. Kalian mengerti?”

“Aku mengerti, Kek,” jawab hampir bersamaan Latampi dan Wiro Sableng.

“Wiro, kau jalan duluan. Sebelum matahari sampai ke puncak tertingginya, kita pasti sudah sampai sana.”

Wiro Sableng mengangguk, lalu kembali ia pergunakan jurus Kaki Angin. Sosoknya melesat jauh. Jika perjalanan mereka tidak terganggu, maka apa yang diperkirakan Kakek Segala Tahu akan sesuai. Mereka akan sampai ke Tanah Perjanjian sebelum matahari mencapai puncak tertingginya.

Berlari selama satu kali peminuman teh, mereka memasuki hutan jarang. Tanah berpasir berlapang luas, tetapi dipenuhi gundukan batu-batu sebesar rumah. Tidak seperti hutan pada umumnya, pohon-pohon di sini tumbuh berjauhan.

Wiro Sableng memperlambat larinya ketika berada lima tombak dari batu sebesar dua rumah yang disatukan.

“Kau merasakannya, Pemuda Sableng?” Kakek Segala Tahu berbisik, yang kemudian langsung dibalas dengan anggukan. Sementara Latampi, yang tidak merasakan apa pun, hanya bisa menatap heran pada keduanya.

“Ada tiga orang di balik batu itu,” jelas Wiro, menghentikan langkah kakinya.

“Wahai sahabat Wiro, apakah mereka sejenis keroco?”

Belum hilang suara Latampi, juga belum sempat Wiro menjawab, suara tawa terdengar nyaring di balik batu sana. Batu sebesar dua rumah yang disatukan terlihat bergetar. Butiran pasir dan kerikil tampak berjatuhan. Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu, dan juga Latampi merasakan tanah yang mereka pijak bergetar hebat.

“Gila, tenaga dalamnya benar-benar luar biasa.” Latampi menyumbat kedua telinganya dengan mengalirkan tenaga dalam, menghindari serangan menusuk yang sedang dilancarkan musuhnya. Sementara itu, murid Sinto Gendeng dan Kakek Segala Tahu tampak santai saja.

"Tokoh-tokoh besar golongan putih." Suara lelaki yang sangat berat terdengar dari balik batu. “Nyatanya, itu bukan omong kosong belaka. Firasat kalian yang mengetahui adanya ancaman patut diacungi jempol.”

Belum hilang gema suaranya, tiga bayangan berkelebat. Satu berwarna biru, dua lainnya berwarna hijau muda. Mereka berdiri sejauh tiga tombak di hadapan Wiro Sableng dan kawan-kawan. Seketika, tempat sekitar dipenuhi bau harum semerbak. Jika ada orang yang paling terkejut di situ, tentu Wiro Sableng lah orangnya. Kedua mata murid Sinto Gendeng sampai terbelalak. Dada berdebar seiring dengan detak jantungnya yang seolah-olah hendak meledak.

"Bi-Bidadari Angin Timur...."

Suara Wiro tercekat. Detak jantung yang meningkat tajam membuat tenggorokannya terasa tercekik. Ia mengucek kedua matanya, meyakinkan diri bahwa yang dilihatnya kini bukan mimpi.

Di depan sana, seorang gadis yang sangat ia kenal tersenyum. Lesung pipit terlihat indah menghiasi pipinya. Wiro Sableng merasakan aliran darahnya membanjir deras, kala rindu secara tiba-tiba menerjangnya. Cukup lama ia tak melihat senyum itu. Sejak pertempuran di Istana Ratu Laut Utara, ia tak pernah lagi bertemu dengan gadis yang sangat dicintai. Yang selalu dirindukan sepanjang hidupnya.

"Wiro..."

Suara halus nan merdu masuk ke telinga, mengetuk pintu hati, dan sekejap kemudian sudah bertahta, menjadi ratu tunggal di istana hatinya.

"Aku pikir setelah kau meninggalkanku, memilih menikah dengan sahabatku sendiri, kau lupa dengan diriku, Wiro. Melupakan segala kenangan yang pernah kita lalui bersama karena kau ingin menjaga perasaan hatimu dan istrimu. Tapi saat ini, ketika untuk pertama kalinya kita bertemu setelah cukup lama berpisah, aku melihat tatap matamu tidak ada yang berubah. Kau masih seperti dulu, Wiro. Aku gembira, aku bahagia melihat ini semua. Kau masih menyimpan perasaan itu untukku."

"Wiro, berhati-hatilah. Aku melihat ada yang tidak beres," bisik Kakek Segala Tahu.

Di depan sana, Bidadari Angin Timur tertawa berderai. Bak butiran permata yang berjatuhan, suara tawa itu terasa indah bagi mereka semua. Terlebih bagi Wiro sendiri.

"Apa yang aneh, Kek? Apa kau sudah tidak mengenaliku lagi? Apakah suaraku sudah berubah? Bau harum yang selalu kupakai, apakah kau merasa ada perbedaan? Kau jahat, Kek. Setelah kau memisahkan aku dari Wiro lewat pernikahan dengan sahabatku, lalu sekarang pun kau melupakanku? Sungguh kemalangan apa yang kualami saat ini? Kenapa orang-orang yang kuanggap lebih dari sekadar sahabat justru menyakitiku?"

Kakek Segala Tahu menarik napas dalam-dalam, memasukkan aroma harum semerbak ke dalam paru-parunya. Dan apa yang dikatakan Bidadari Angin Timur benar, bau wangi itu miliknya. Tidak ada perubahan sedikit pun.

"Bidadari Angin Timur," seru Wiro. Getar pada suaranya sudah lebih berkurang, menandakan ia sudah mampu mengendalikan diri. "Jika memang ini kau, lalu mengapa kau datang bersama cecunguk dari Perut Bumi itu? Juga, mengapa kau bersembunyi, seolah sengaja menghadang jalan kami?"

Kembali Bidadari Angin Timur tersenyum. Senyum yang mampu melumerkan hati sang pendekar. Ia melirik ke kanan dan kiri, ke arah dua lelaki seusia Latampi yang berdiri tegap dengan kedua tangan terlipat di dada. Lalu perlahan, ia melangkah ke hadapan Wiro Sableng, hingga keduanya hanya terpisah tiga langkah saja.

Berdiri sedekat itu, menatap wajah jelita yang sejak lama hanya bisa terbayang, Wiro Sableng kembali merasakan desiran darah yang tak terkendali. Bola mata itu begitu indah bercahaya. Seberapa kuat pun ia bertahan, pada akhirnya Wiro mengalah dalam adu pandang.

"Aku akan jelaskan. Aku harap kau mengerti, Wiro." Bidadari Angin Timur menggenggam lengan Wiro. Menariknya perlahan. Wiro mengikuti.

Di belakangnya, Kakek Segala Tahu segera mencekal baju Wiro, hingga langkah pemuda ini tertahan.

"Kek, beri aku waktu untuk menjelaskan kepada Wiro."

"Kalau mau menjelaskan, kenapa tidak di sini saja? Kenapa harus membawa Wiro jauh-jauh?"

Bidadari Angin Timur tersenyum. Ia melirik ke belakang terlebih dahulu, ke arah dua orang yang memperhatikan mereka, lalu berkata dengan suara pelan, "Ini bagian dari rencana."

Kakek Segala Tahu mengerutkan kening. Masih tidak mengerti dan juga tidak percaya dengan setiap kata yang diucapkan Bidadari Angin Timur. Firasatnya mengatakan lain, sehingga ia tetap menahan Wiro.

Namun, Wiro yang melihat sikap Bidadari Angin Timur—yang dirasa menyimpan rahasia besar—langsung berkata, "Kek, izinkan aku bicara dengannya. Kau tidak perlu khawatir. Aku akan baik-baik saja."

"Anak muda, ini tidak seperti yang kau bayangkan."

"Kek, percayalah. Aku akan baik-baik saja."

"Kek, apa kau masih belum yakin kalau aku adalah Bidadari Angin Timur, sahabat lamamu?"

"Kalaupun kau Bidadari Angin Timur yang kukenal, tapi waktu mampu mengubah segalanya. Yang putih menjadi hitam, yang bagus menjadi buruk, dan yang wangi menjadi busuk."

Bidadari Angin Timur melepaskan pegangannya pada Wiro, menatap tajam ke arah Kakek Segala Tahu.

"Jadi maksudmu, aku ini telah berubah, Kek? Kau sudah tidak percaya padaku lagi hanya karena aku datang bersama mereka? Kek, andai kau tahu apa yang kulakukan selama ini demi dunia persilatan, demi keselamatan umat manusia, tentu kau akan malu dengan segala yang kau katakan itu. Selama ini aku memang tidak terlihat oleh kalian semua, tapi apakah tidak tampak, berarti aku diam saja? Aku tidak peduli dengan keadaan ini? Demi Gusti Allah, yang segala kekuasaan ada pada genggaman-Nya, aku benar-benar sakit hati dan kecewa dengan ucapanmu, Kek. Orang yang paling aku hormati selama ini, yang sangat dikenal karena kebijakannya dalam menentukan segala hal, saat ini justru kulihat sebaliknya."

Kakek Segala Tahu tercengang. Kata-kata yang dilontarkan Bidadari Angin Timur memukul telak hatinya.

Sementara itu, Wiro kembali meyakinkan si kakek.

"Kalau ada apa-apa, aku bisa langsung minta tolong sama kamu, Kek. Tenanglah, aku akan baik-baik saja."

Setelah Kakek Segala Tahu melepas pegangannya pada ujung baju Wiro, murid Sinto Gendeng mengikuti langkah gadis cantik berambut pirang itu.

Sejauh tujuh langkah, didahului dengan senyum manis, Bidadari Angin Timur menggerakkan tangan kanannya, lalu—

Wusss!

Cahaya putih muncul dari dalam tanah, membentuk lingkaran yang mengurung keduanya. Wiro Sableng terkejut. Ia hendak melepas pukulan sakti untuk menghancurkan cahaya itu. Namun, di depannya, Bidadari Angin Timur terkikik.

"Tenanglah, Wiro. Cahaya ini tidak akan melukaimu. Hanya dengan begini, setiap pembicaraan yang kita lakukan tidak akan terdengar, bahkan oleh para dewa sekalipun."

"Dari mana kau dapatkan ilmu ini, Bidadari Angin Timur?"

"Apakah itu penting bagimu, Wiro? Bukankah lebih baik kau menanyakan kenapa akhirnya aku memilih bergabung dengan Kerajaan Perut Bumi? Pertanyaan itu lebih bermakna, dan kau akan tahu alasannya."

Wiro Sableng menelan ludah ketika melihat Bidadari Angin Timur melangkah mendekat hingga jarak keduanya tidak sampai satu langkah. Berdiri sedekat itu, aroma harum seakan masuk seluruhnya ke dalam tubuh Wiro. Ia merasakan gelombang hebat dalam dirinya.

"Kau memilih bergabung dengan Kerajaan Perut Bumi ketika semua orang mati-matian bertahan dari kekejaman mereka?"

Bidadari Angin Timur tersenyum. "Seperti yang aku jelaskan sebelumnya, Wiro, aku melakukan ini bukan karena kemauanku, juga bukan karena keinginan untuk menjadi yang terbaik di antara para tokoh lain, terutama kamu. Aku tahu kau melakukan perjalanan jauh ke Negeri Atas Langit, alam para dewa. Aku melakukan ini demi kebaikan kita bersama, demi keselamatan umat manusia."

Bidadari Angin Timur menggerakkan tangan kanannya. Cahaya putih yang mengurung mereka berdua berubah menjadi pemandangan yang tidak pernah Wiro lihat sebelumnya. Sebuah istana yang sangat besar berdiri kokoh di dalam perut bumi. Wiro melihat banyak sekali istana di sana, tapi satu yang paling menarik perhatiannya adalah istana tunggal yang paling besar.

"Kau tahu ini di mana?"

Sebelum Wiro menjawab, Bidadari Angin Timur sudah meneruskan ucapannya.

"Itulah Kerajaan Perut Bumi yang selama ini kalian cari-cari keberadaannya. Istana megah itu berada jauh di dasar tanah. Untuk sampai ke sana, kau dan semua orang harus melewati pintu-pintu yang dijaga ketat. Orang-orang Perut Bumi menyebutnya 'Seribu Pintu Kematian.' Karena selain tamu kehormatan dan pengikut mereka, menaiki pintu-pintu itu hanya akan membawa kematian."

Cahaya yang tampak kini memperlihatkan banyak batu pipih yang naik turun dengan kecepatan tinggi. Tidak terlihat apa yang menjadi penggerak batu-batu itu, tapi melihatnya saja Wiro merasa ngeri. Bagaimana jika batu itu sampai menghantam tanah dengan kecepatan segila itu? Keterkejutannya meningkat saat ia melihat batu-batu pipih yang dinaiki lima puluh orang tiba-tiba melambat ketika mencapai permukaan.

"Benar-benar gak masuk akal," desis Wiro.

Bidadari Angin Timur tersenyum.

"Kalian, orang-orang luar, jangan harap bisa menaiki batu pipih itu. Sekali masuk ke lingkar cahaya, tubuh kalian akan terbakar hangus. Pertanyaannya sekarang, setelah kau berhasil menghapus Kabut Buta ini, apa yang akan kau dan orang-orang lakukan? Karena mengetahui itulah aku memilih jalan lain, Wiro."

Kening Wiro Sableng berkerut. Ia memandang lekat-lekat wajah Bidadari Angin Timur. Tampilan cahaya sudah kembali seperti semula.

"Lalu, rencanamu?"

Bidadari Angin Timur melangkah ke dinding cahaya. Seperti sebelumnya, ia menggerakkan tangan kanan, lalu tampaklah pemandangan indah—sebuah telaga luas terlihat jelas. Seolah-olah mereka kini berada di dalamnya. Jauh di ujung sana, lebih dari seratus orang sedang mengadakan sebuah acara pernikahan.

Wiro Sableng terbelalak ketika mengenali siapa mereka. Itu adalah dirinya dan tokoh-tokoh sakti. Itu acara pernikahannya dengan Ratu Duyung!

"Aku tahu waktu itu kau mencariku, Wiro. Kau mengira aku tidak datang, kan? Wiro, aku ada di sana, di acara pernikahanmu dengan sahabatku sendiri. Pernah terbayang seperti apa hancurnya hatiku kala itu, Wiro? Aku bahkan hampir saja memecahkan kepalaku karena tak kuat melihat kenyataan yang sangat menyakitkan.

"Kalaupun diberi pilihan mati seribu kali atau menyaksikan pernikahanmu, aku memilih mati seribu kali. Kau mengkhianati cintaku, Wiro. Padahal aku orang pertama yang kau ajak menemui gurumu di Puncak Gunung Gede. Apa kau juga lupa itu?"

"Bidadari Angin Timur, aku tidak akan melupakan kejadian itu. Sampai kapan pun."

Bidadari Angin Timur tersenyum getir. "Aku senang mendengarnya, Wiro. Tapi kenyataannya, kau memilih menikah dengan sahabatku, Ratu Duyung."

"Tentu kau tahu alasannya, kan?"

"Menghilangkan Kabut Buta?"

Bidadari Angin Timur tersenyum sinis. "Kebodohan mereka sudah terlihat sejak saat itu. Aku hanya bisa menjerit, kenapa mereka begitu mudahnya memutuskan sesuatu yang belum tentu kebenarannya? Ini tentang perasaanmu dan perasaan orang-orang yang mencintaimu."

Bidadari Angin Timur terdiam. Tangan kirinya mengusap wajah. Kedua mata Wiro membelalak. Gadis cantik itu menangis.

"Bidadari... maafkan aku..."

Bidadari Angin Timur melambaikan tangan. "Tidak perlu, Wiro. Semua sudah berlalu. Semua sudah terjadi. Sejak saat itu, aku bertekad untuk melakukan pembebasan ini seorang diri. Kabut Buta adalah buatan Kerajaan Perut Bumi yang dipimpin Kamaswara. Karena itu, hanya dia yang bisa memusnahkan kutukan ini."

Mendengar nama Kamaswara disebut, kedua tangan Wiro terkepal. "Bajingan tengik itu biang keladi dari kekacauan ini!"

"Itulah sebabnya aku memutuskan untuk bergabung dengan Kerajaan Perut Bumi. Dan di sanalah, pada akhirnya, aku mengetahui rahasia untuk menghilangkan Kabut Buta."

"Tapi Dewi juga sudah memberitahuku hal itu, Bidadari Angin Timur."

Si gadis kembali tersenyum. "Dengan cara menikahi Luhcinta? Gadis cantik dari Negeri Latanahsilam itu?"

Pertanyaan itu membuat Wiro terkejut. Bidadari Angin Timur tertawa berderai.

"Apa yang terjadi di permukaan dan apa yang akan dilakukan orang-orang golongan putih, semuanya sudah diketahui Kamaswara. Tidak ada waktu lagi, Wiro. Dan lagi, apa kau tahu di mana Luhcinta sekarang? Sampai saat ini, belum ada satu tokoh pun yang mengetahui keberadaannya."

Wiro Sableng terdiam sejenak. Ia mencoba mencerna apa yang dikatakan Bidadari Angin Timur. Dewi Asih Gendramani memerintahkannya untuk mencari Luhcinta dan menikahinya agar Kabut Buta di seluruh daratan bisa lenyap. Masalahnya, apa yang dikatakan Bidadari Angin Timur benar. Sampai saat ini, ia belum mengetahui di mana gadis itu berada.

"Lalu, rencana yang akan kau lakukan apa, Bidadari Angin Timur?"

Bidadari Angin Timur tersenyum dan melangkah lebih dekat hingga jarak keduanya hanya satu jengkal.

"Kita menikah, Wiro."

Wiro terbelalak.

Melihat itu, Bidadari Angin Timur mengerutkan kening. "Kenapa kau terkejut begitu, Wiro? Apa kau sudah tidak mencintaiku?"

Bukan itu yang Wiro pikirkan. Menikah dengan gadis ini adalah mimpinya sejak dulu, sejak pertama kali ia mengenal si gadis. Hanya perempuan inilah yang berhasil mengalihkan hatinya dari kebesaran cintanya terhadap Bunga, gadis alam roh. Sayangnya, dunia seakan menentang cintanya ini. Halang rintang datang silih berganti hingga keadaan memaksanya untuk menyimpan perasaan itu di hati terdalam.

Namun saat ini, gadis itu mengatakan sesuatu yang dulu ingin sekali didengarnya, ketika ia membawa gadis itu ke puncak Gunung Gede di kediaman gurunya. Mengapa baru sekarang? Demi pengorbanan? Jika demikian, ia akan melakukannya dengan sukarela, di samping rasa cinta yang teramat besar tentunya.

"Wiro, kenapa kau terdiam? Apa kau tidak menginginkan ini? Benar yang kutanyakan, kalau kau sudah tidak mencintaiku lagi?"

Wiro Sableng menggeleng cepat. "Aku masih seperti yang dulu. Hatiku tidak berubah sedikit pun terhadapmu, Bidadari Angin Timur."

"Ah, sungguh aku bahagia sekali mendengarnya, Wiro."

Wiro tersenyum. "Aku juga bahagia. Kalau begitu, kita harus segera keluar dari dinding ini, menemui guruku, lalu memberitahu rencana besarmu."

Bidadari Angin Timur menggeleng. "Seperti yang sudah aku katakan tadi, Wiro, sudah tidak ada waktu. Perjalanan ke sana paling cepat sepertiga hari."

"Lalu tanpa mereka, tanpa guruku, pernikahan apa yang akan kita lakukan?"

Bidadari Angin Timur terdiam, pandangannya kini tertuju pada cahaya putih di sisi kirinya. "Jujur, sebenarnya aku malu mengatakannya, Wiro. Tapi ini demi kebaikan umat manusia, demi menyelamatkan dunia." Ia menarik napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan, "Pernikahan yang kumaksud adalah penyatuan badan."

Wiro tersurut satu langkah. Seketika ia teringat dengan kejadian di Puri Pelebur Kutuk. Ratu Duyung waktu itu melakukan hal yang sama, mengatakan sebuah pernikahan, namun hanya dengan penyatuan badan. Apakah sekarang akan terulang?

"Aku tahu ini memalukan bagi seorang perempuan, terutama bagiku yang memang sejak dulu menjunjung tinggi adat dan harkat martabat wanita. Tapi mau bagaimana lagi, Wiro? Mungkin ini sudah jalannya. Selain Kabut Buta sirna, penyatuan badan dari cinta yang suci juga mampu mengguncang Kerajaan Perut Bumi. Kita bukan hanya terbebas dari kutukan kabut ini, Wiro, jauh lebih besar dari itu—orang-orang Kerajaan Perut Bumi akan dipaksa keluar. Dengan begitu, kita tidak perlu susah-susah pergi ke sana, mengorbankan ribuan nyawa.

"Di samping itu, Kamaswara tidak tertandingi jika pertempuran terjadi di istananya. Semua perangkap dan pagar gaib telah dipasang. Kalian dan semua tokoh-tokoh lain hanya akan mengantar nyawa ke sana. Percaya padaku, Wiro."

Wiro Sableng kembali terdiam, hanya hembusan napas yang terasa semakin cepat. Membayangkan bersatu tubuh dengan orang yang sangat disayang membuat dadanya berdebar hebat.

"Tapi... melakukan hubungan tanpa pernikahan rasanya terlalu sulit buatku, Bidadari Angin Timur."

"Bukan hanya kamu, Wiro, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi satu hal yang harus kau ingat, Wiro, kita melakukan ini bukan atas dasar nafsu, tapi murni demi keselamatan umat manusia."

Bidadari Angin Timur untuk kesekian kali menggerakkan tangan kanannya. Cahaya putih berubah menjadi sebuah ruangan yang sangat megah nan luas. Tanah yang sebelumnya dipijak berubah menjadi permadani indah. Lima langkah dari tempat Wiro berdiri ada ranjang besar, berlapis kasur empuk yang dipenuhi bunga-bunga. Harum bunga menjadi satu padu dengan bau harum milik Bidadari Angin Timur.

Bidadari Angin Timur melangkah lalu duduk di sisi ranjang.

"Kemarilah, Wiro."

Di tempatnya, Wiro tidak bergerak sedikit pun. Hatinya memang tergerak untuk mengikuti panggilan, menerkam gadis cantik yang sudah sejak lama dicintai, tapi di sisi lain, ia masih ragu. Bukan ragu soal ucapan Bidadari Angin Timur, melainkan ragu karena yang ia harapkan ketika penyatuan cinta itu terjadi, keduanya telah terikat dengan janji suci. Ia sangat mencintai gadis itu, dan ia juga mendambakan kesakralan ketika untuk pertama kali menyentuh tubuhnya.

"Wiro, kenapa kau masih berdiri di situ? Tidakkah kau ingin membukakan pakaianku?" Bidadari Angin Timur mengerlingkan matanya menggoda ke arah pakaian yang dikenakan.

Melihat sikap manja itu, debaran dada murid Sinto Gendeng semakin menggila.

"Atau kau masih malu-malu?" Kembali gadis itu tersenyum menggoda. "Baiklah, biar aku yang melakukannya."

Lalu, perlahan sekali jemari lembutnya mulai melepaskan satu per satu kancing bajunya. Satu terlepas, menampakkan pangkal leher putih mulus menggairahkan. Disusul kancing kedua, pangkal bukit kembar terlihat.

Wiro Sableng menelan ludah. Ini bukan pertama kali ia melihat pangkal payudara wanita, tapi milik Bidadari Angin Timur benar-benar memikat hatinya. Mengikat pandangan matanya. Jangankan untuk berpaling, memejamkan mata saja ia tak bisa. Padahal dua benda itu baru terlihat sebagian kecil saja.

Ketika kancing terakhir terlepas dan gunung kembar itu terlihat sempurna, kedua mata Wiro Sableng nyaris terlepas. Deru napas tidak beraturan, seiring degup jantung yang seakan mau meledak.

"Kemarilah, Wiro." Bidadari Angin Timur melambai. Pakaian atas telah tercampak di lantai. Tubuh itu benar-benar sempurna. Putih mulus tanpa cela.

Kalau sebelumnya Wiro mampu menahan, tetap terpaku, tidak untuk sekarang. Seperti ada yang menarik tubuhnya berjalan mendekati ranjang.

Bidadari Angin Timur tersenyum. "Aku tahu kau sudah mengharapkan ini sejak kita pertama kenal dulu."

"Yang kuharapkan adalah menikahimu, Bidadari Angin Timur."

"Sssttt..." Telunjuk Bidadari Angin Timur menempel di bibir murid Sinto Gendeng. "Kau tidak perlu menjelaskan lagi, Wiro. Sudah cukup kita tersiksa karena keadaan. Inilah saatnya kita mereguk madu dari perjalanan panjang yang cukup menyiksa, setiap saat sepanjang tahun menanggung rasa rindu tanpa mampu memelukmu.

"Wiro, takdir sudah ditetapkan, para dewa sudah memberi restu. Apalagi yang kau tunggu?"

Bidadari Angin Timur menarik kedua tangan Wiro lalu meletakkannya di kedua bukit kembarnya.

Bersentuhan dengan kulit sehalus itu, kedua tangan Wiro Sableng bergetar. Ia merasakan gejolak aneh pada tubuhnya. Aliran darahnya meningkat tajam. Deru napasnya makin tak beraturan.

Wajah cantik itu menengadah, menunggu reaksinya pada buah dadanya. Dulu, ia pernah melakukan ini dengan Ratu Duyung, tapi tidak merasakan sedahsyat sekarang. Mungkin karena ia sudah terlalu lama memendam, hingga ketika pemicu datang, maka ledakan maha dahsyat terjadi tanpa mampu dicegah lagi.

Wiro Sableng telah tenggelam ke dasar lautan birahi. Bidadari Angin Timur terpekik manja ketika merasakan remasan pada bukit kembarnya datang. Desis kenikmatan mengalun indah dari bibirnya, mengiringi geliat tubuh yang sudah tak terkendali.

"Wiro, lepaskan pakaian bawahku. Ahhh... Aku sudah lama menantikan saat-saat seperti ini, Wiro. Aku milikmu seutuhnya. Lakukan semaumu, Wiro."

***

Kakek Segala Tahu tersentak ketika tiba-tiba getaran aneh terasa di kakinya. Ia segera memerintahkan Latampi untuk menghantam cahaya yang keluar dari bawah tanah, mengurung Wiro.

Latampi segera melepaskan Pukulan Menebar Budi Hari Kelima, disusul dengan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi dari Kakek Segala Tahu.

Dua larik sinar yang berseberangan warnanya melaju cepat. Sinar putih pekat milik Kakek Segala Tahu melesat laksana kilatan cahaya di kegelapan malam. Tanah berpasir yang dilewati membuntal, membentuk gumpalan debu yang menghalangi pandangan. Di sebelahnya, Pukulan Menebar Budi Hari Kelima menerjang ganas menghantam dinding cahaya.

Dua kekuatan mengantam. Seyogyanya, dentuman mengerikan akan mengguncang hutan berpasir. Tapi yang dilihat Latampi membuat kedua matanya hampir melompat dari rongga. Pukulan sakti itu tenggelam tanpa menimbulkan suara apa pun. Jangankan ledakan, desisan pun tidak terdengar.

Kakek Segala Tahu mengeluh pendek. "Celaka, cahaya itu mampu meredam pukulan sakti."

Di depan sana, dua orang yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, tertawa terbahak-bahak. Lagi-lagi tawanya ini berhasil membuat tanah yang dipijak bergetar.

"Gila! Kalau terus seperti ini, telingaku bisa hancur," Latampi kembali menyumpal telinganya dengan aliran hawa sakti.

"Sekalipun sepuluh orang sakti sepertimu melepaskan pukulan, dinding cahaya itu takkan jebol. Kau benar-benar sudah masuk ke dalam perangkap mematikan, orang tua. Hahaha..."

"Kang Aji Damantra, jelaskan saja apa yang bakal terjadi dengan pemuda yang sangat diandalkan tokoh-tokoh golongan putih ini. Siapa tahu setelah mendengar, mereka akan langsung bersujud di hadapan kita dan memilih menjadi hamba Paduka Raja."

"Akalmu cerdik juga, Damar Alitan," puji Aji Damantra, lalu ia menatap tajam kedua orang di depannya. "Aku percaya bahwa kawanmu, si bocah sableng itu, memiliki segudang kesaktian. Terakhir kali, berita yang cukup menghebohkan Kerajaan Perut Bumi adalah bahwa Pendekar 212 berhasil menguasai kitab langka para dewa, Kitab Seribu Bintang. Seperti apa kedahsyatan kitab itu? Menurut pemimpin tertinggi kami, kitab itu sulit dibayangkan kedahsyatannya. Aku membuktikan sendiri ketika dengan mudahnya dia mengetahui keberadaanku dan teman-teman di balik batu ini. Bentar, aku tertawa dulu. Hahahahaha..."

Aji Damantra tertawa bergelak, diikuti teman di sebelahnya.

"Namun, sungguh sayang..." lanjutnya setelah puas tertawa. "Di balik ketinggian ilmunya, kedahsyatan tenaga dalamnya, Wiro Sableng hanya seorang lelaki mata keranjang. Tidak lebih! Melihat sikapnya tadi, aku menduga dia jauh lebih buruk dari lelaki hidung belang. Hahaha... Kalian tahu apa yang akan terjadi di dalam sana?"

"Katakan! Apa yang akan terjadi dengan sahabat kami, Wiro Sableng?" tanya Latampi.

"Sabar. Jangan kesusu," Aji Damantra tersenyum penuh kemenangan. "Seperti kataku tadi, kalian golongan putih akan kehilangan harapan. Saat penyatuan badan terjadi, seluruh kekuatan pemuda sableng itu akan terkuras habis, tersedot ke dalam tubuh gadis cantik temanku."

Kakek Segala Tahu dan Latampi terbelalak. Gelombang kejut benar-benar menghantam tubuh keduanya.

"Keparat! Akan kubunuh kalian!" Latampi tak mampu lagi membendung amarahnya. Sekali melompat, ia melepaskan Pukulan Menebar Budi Hari Ketujuh.

Selama malang melintang di dunia persilatan, baik di Latanahsilam maupun di Tanah Jawa, belum pernah ia sekalipun mengeluarkan kesaktian sampai tingkat setinggi itu. Paling mentok Menebar Budi Hari Ketiga. Baru ketika menghadapi gerombolan orang-orang Kerajaan Perut Bumi inilah, semua kesaktiannya seakan dipaksa keluar.

Selarik sinar hitam dengan gumpalan sebesar kepala gajah melesat, siap menghancurleburkan Aji Damantra. Percikan api yang mirip kilat menyambar terlihat mengerikan. Terlebih, hawa panas terasa membakar, padahal pusat serangan masih jauh.

"Tidak disangka lelaki aneh itu punya ilmu yang bisa diandalkan juga." Aji Damantra berteriak lantang, menyambut pukulan lawan dengan dua larik sinar hitam yang keluar dari matanya—Sepasang Gendawa dari Dasar Perut Bumi.

Dua kekuatan beradu, dentuman mengerikan mengguncang tempat sekitar. Debu pasir bercampur hancuran batu beterbangan, membuntal-buntal bersatu padu dengan letupan-letupan api yang menyambar melingkar.

Latampi terpental sejauh tiga tombak. Sosoknya baru berhenti berguling ketika pohon besar menyangga tubuhnya. Lelaki itu memegang dada. Nyeri. Saat batuk, darah segar keluar. Untuk serangan pertama, ia sudah mengalami luka dalam. Ini sangat berbahaya dan tidak menguntungkan bagi dirinya.

Segera, Latampi duduk bersila, mengatur jalan darah guna meredakan denyut rasa sakit di dalam sana. Setelah dirasa mendingan, ia menelan obat yang diberikan Kakek Segala Tahu ketika selesai menguburkan sahabat cantiknya.

Denyut rasa sakit mulai berkurang. Ketika tarikan napas mulai lega, ia melompat berdiri. Di depannya, lawannya sudah menunggu. Latampi terkejut melihat itu. Tidak mungkin lawannya baik-baik saja sementara dirinya mengalami luka dalam yang cukup mengkhawatirkan. Ia meneliti sekitar, di bawah kaki lelaki itu ada muntahan darah. Pasti dia juga mengalami keadaan yang sama.

"Lanjut?" tanya Aji Damantra dengan seringai mengejek.

Latampi tidak segera menyahuti. Ia berpaling ke arah kanannya. Di sana, Kakek Segala Tahu sedang bertarung sengit dengan lawannya, Damar Alitan. Tidak seperti biasanya yang melawan musuh dengan asal-asalan atau sambil main-main, kali ini Kakek Segala Tahu melayani lawannya dengan sangat serius. Ini membuktikan bahwa dua manusia yang menjadi lawannya kini bukan orang sembarangan. Apalagi setelah ia merasakan sendiri kedahsyatan pukulan lawannya.

Latampi menggeram. Bersama hentakan kakinya, ia melompat ke arah Aji Damantra.

Lelaki itu tersenyum mengejek. "Aku mau tahu sampai di mana kemampuan orang-orang dari negeri yang telah lama hilang."

Diejek demikian, Latampi mengamuk. Serangannya datang bertubi-tubi bagaikan hempasan hujan deras bercampur angin ganas.

Pertarungan tingkat tinggi terjadi. Andaikan saat itu ada mata manusia yang melihat—kalangan para prajurit kerajaan misalnya—maka yang mereka lihat hanyalah bayang-bayang hitam. Semakin lama memandang, semakin sulit terlihat. Yang terjadi justru matanya perih, kepala pusing, karena otaknya tak sanggup mengikuti kecepatan pertarungan.

Tiga puluh dua jurus berlalu dengan cepat. Damar Alitan bahkan sudah kehabisan akal, dengan cara apa lagi agar ia mampu menerobos pertahanan Kakek Segala Tahu.

“Pantas imbalan yang didapat tidak main-main. Nyatanya, memang tidak mudah membunuh manusia satu ini.”

Damar Alitan terpekik ketika hampir saja tongkat butut kakek buta itu menghantam selangkangannya. Beruntung ia mampu mengimbangi jurus-jurus aneh yang dimainkan lawan.

"Kakek buta tidak tahu diri! Selain licik, ternyata kau juga mesum! Cuh!" Damar Alitan meludah. Serangannya makin menggila.

"Welehhh... apa salahnya menyerang anumu? Toh, tidak ada aturan khusus yang harus dipatuhi. Kalau kamu takut anumu pecah, sebaiknya kau akhiri saja pertarungan ini, lalu pulang cuci kaki dan tidur yang nyaman di rumah. Hehehe."

"Setan alas! Jangan belaga paling hebat di depanku, tua bangka sialan!" Damar Alitan berteriak, lalu gerak ilmu silatnya semakin cepat. Kalau saat itu bukan Kakek Segala Tahu yang dihadapi, tentu sejak tadi ia sudah berhasil mendaratkan pukulan di banyak tempat mematikan.

"Kena kau, tua bangka sialan!" Damar Alitan menghantamkan tangan kanannya. Angin pukulan menderu. Ketika telapak tangan dikembangkan, Kakek Segala Tahu yang kala itu sedang kerepotan membendung serangan hanya mampu menarik mukanya dari tusukan jari-jari. Hempasan angin pukulan menerpa, ia merasakan kedua matanya perih sekali. Lalu, di depan sana, Damar Alitan telah melepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi dengan tangan kiri.

Kakek Segala Tahu hanya punya dua pilihan: membiarkan pukulan lawan menghantam tulang rusuknya atau kembali menggunakan ilmu langka, yakni mampu menirukan ilmu kesaktian yang dimainkan lawan.

Jika ia memilih yang pertama, membiarkan lawan mendaratkan pukulan, bisa saja ia membentengi diri dengan tenaga dalam seperti yang pernah dilakukan ketika melawan Iblis Buta Pencabut Nyawa. Masalahnya, lawannya kini memiliki tenaga dalam yang hampir menyamainya. Bisa dipastikan, dinding perlindungan dari tenaga dalam miliknya akan jebol, dan pukulan akan meremukkan tulang rusuknya.

Seandainya ia memilih yang kedua, mempergunakan ilmu langka, ia akan selamat dengan catatan lawannya tidak mengetahui kelemahannya. Karena jika tahu, tubuhnya tak lebih hanya sebatas daging empuk yang segala sisi bisa dengan mudah menjadi pusat serangan.

Buk!

Jerit kesakitan terdengar nyaring ketika dua pukulan beradu. Damar Alitan terpental satu tombak. Ia terperangah ketika melihat pukulan mematikan miliknya dimentahkan dengan jurus andalannya sendiri. Ya, pada akhirnya, Kakek Segala Tahu memutuskan untuk memilih cara kedua. Bukan karena ia merasa yakin lawannya tidak mengetahui kelemahan ilmu ini, tapi memang tidak punya pilihan lain. Sesaat setelah terpental, ia melompat mundur sejauh dua tombak. Menarik napas dalam-dalam, menenangkan hati dan pikirannya. Itulah cara untuk menghilangkan pengaruh ilmu silat yang tengah dimainkan.

Sementara di depan sana, Damar Alitan berusaha meredam rasa sakit pada pergelangan tangan kirinya. Memberikan totokan beberapa tempat di punggung telapak tangan yang membengkak.

"Ilmu setan apa yang dimainkan tua bangka sialan itu?" maki Damar Alitan dalam hati. Ia merasa ngeri juga ketika menyadari lawannya mampu memainkan ilmu miliknya hanya dengan sekali pandang.

"Aku harus hati-hati. Dan jangan terpancing menggunakan ilmu andalan."

Damar Alitan melompat. Di depan sana, Kakek Segala Tahu terkekeh. Separuh pertarungan ini sudah ia menangkan ketika mengetahui bahwa lawannya tidak tahu kelemahan ilmu langkanya. Karenanya, Kakek Segala Tahu tidak segan-segan kembali menggunakan ilmu yang baru saja ia lepas paksa.

Wutttt!

Keringat dingin bermunculan di tengkuk Latampi ketika hampir saja wajahnya kena hantam serangan lawan.

"Hahahaha... harusnya yang jadi lawan aku kakek buta itu. Kau terlalu sombong memilih aku jadi lawanmu, manusia salah kaprah! Kepandaianmu masih terlalu jauh di bawahku. Lihat serangan!"

Latampi merasakan tendangan datang mengenai paha kirinya. Ia bergeser, tapi serangan datang lagi hingga geraknya mati langkah. Latampi melompat karena inilah satu-satunya pilihan yang bisa ia lakukan. Hanya saja, itu yang memang sedang ditunggu Aji Damantra.

Bersama tawa mengejeknya, lelaki ini menghantamkan pukulan mengarah ke dada, satunya lagi tendangan ke arah perut.

Dalam posisi yang sulit itu, Latampi hanya mampu menghindari satu serangan saja. Tanpa pikir panjang, ia memilih menghindari serangan kaki, karena bagaimana pun kaki lebih mengerikan dari pukulan. Walau kenyataannya sama saja.

Buk!

Latampi menjerit. Tubuhnya terpental sejauh dua tombak. Terbanting ke tanah, berguling-guling hingga sebongkah batu menahan laju geraknya. Dadanya serasa hancur, megap-megap ia berusaha mengambil napas yang terasa sulit. Pakaian hitam terbakar hangus di bagian dada. Dari robekan itu terlihat, warna biru menghitam, menandakan bahwa selain mengandung tenaga dalam tinggi, pukulan itu juga mengandung racun yang sangat mematikan.

Latampi tak mampu berbuat apa pun. Ia teringat dengan sahabat bermahkota kerang malam tadi. Mereka mengalami nasib yang sama—tak mampu melakukan apa pun selain menunggu ajal tiba.

"Dalam waktu singkat, kau akan meregang nyawa dengan jantung meledak karena racun ganas yang bersarang di tubuhmu. Tapi sebagai ksatria, aku tidak akan setega itu. Karenanya, kukirim kau langsung ke neraka!"

Aji Damantra mengangkat tangan kanannya tinggi. Asap hitam tebal bermunculan, bersama kilatan api yang menggidikkan. Sekali terlepas, pukulan itu melaju ganas.

Sekali lagi, Latampi hanya bisa pasrah. Menanti ajal tiba sebelum mimpinya untuk bertemu dengan putri tercintanya kesampaian. Ia hanya bisa memejamkan mata ketika hawa panas mulai terasa.

Bab 18

Bagi teman-teman yang bingung dengan alurnya, mungkin perlu baca ulang Part 7.

Diceritakan Kamaswara pada akhirnya berhasil membujuk Peri Sesepuh untuk bergabung bersamanya. Dijanjikan berbagai ilmu kesaktian, dua di antaranya adalah ilmu penyedot batin yang dulu dimiliki Iblis Betina Gendawa Maharta. Pada masanya, kehadirannya sangat menggetarkan dunia persilatan. Banyak tokoh sakti golongan putih yang terperangkap ke dalam dekapannya. Karena selain cantik dan memiliki bentuk tubuh yang indah, Iblis Betina Gendawa Maharta juga teramat cerdik. Ia bisa melakukan apa pun demi tercapainya tujuan.

Memasuki lingkaran hitam yang dibuat oleh Raja Jin Buto Kantolo, Peri Sesepuh merasakan lantai batu pualam yang dipijaknya bergerak halus, lalu wusss... lingkaran hitam yang mengurung dirinya, Kamaswara, beserta Buto Kantolo sendiri menghilang. Keadaan yang sebelumnya gelap, berbau amis, dan berdebu hingga membuat napas sesak, berubah menjadi istana yang sangat indah.

Hanya dalam kejapan mata, mereka telah kembali ke dalam istana kerajaan.

Sebagai peri, tentu ia telah melihat banyak istana megah di kediaman para peri atas langit. Tapi sejauh itu, hanya istana para dewa yang memiliki kemegahan mengagumkan. Itu pun mereka tidak bisa masuk untuk menyaksikan sendiri dengan mata kepala, hanya sebatas kabar berita dari para pimpinan tertinggi di kediaman para peri.

Ketika pertama kali ia melihat kemegahan istana Kamaswara, bagaimanapun ia berusaha untuk meredam kekaguman dan menampakkan raut biasa saja, nyatanya tidak bisa. Kemegahan itu berhasil menyita sorot pandangnya untuk melihat sekeliling. Tanpa disadari, decak kekaguman keluar dari mulutnya.

Kamaswara tersenyum tipis melihat sikap perempuan berkulit gelambir ini. "Peri Sesepuh, beri hormat kepada para sahabatku."

Peri Sesepuh melihat ke arah yang ditunjukkan. Di sebelah Kamaswara ada delapan orang yang menatap aneh ke arahnya. Ketika diperhatikan, ia langsung mengenali siapa delapan orang itu, bukan lain adalah para dewa di tingkatan tertinggi di Kerajaan Atas Langit.

Peri Sesepuh membungkuk hormat. "Salam hormatku kepada para Panglima Tertinggi di Kerajaan Atas Langit."

Dharma Siwanala mengangguk lalu melirik ke arah sahabatnya, Raja Agung Kamaswara. "Adinda Kamaswara, apa yang akan kau lakukan dengan makhluk satu ini?"

Kamaswara tersenyum melihat ke bawahannya yang ada sekitar lima puluh orang berbaris rapi di bawah singgasana. "Kalian semua boleh pergi," titahnya.

Lima puluh orang membungkuk hormat. Sekali berkedip, mereka semua telah berubah menjadi asap putih tipis, hingga ruangan kini hanya ditempati Kamaswara, delapan dewa, beserta Jin Buto Kantolo dan Peri Sesepuh.

"Dia akan mendapat tugas paling besar dariku, Kakang Dharma. Sekali ia berhasil melakukannya, maka kemenangan sudah berada dalam genggaman."

Walaupun masih belum mengerti rencana apa yang akan dilakukan rajanya, Dharma hanya bisa mengangguk setuju.

"Buto Kantolo, berikan apa yang kupinta sebelumnya."

"Perintah Sri Baginda Raja Agung saya patuhi." Suara berat memenuhi ruangan. Kalau saja saat itu ada pimpinan dari Cabang Tiga, tentu telinga bagian dalam langsung robek, darah mengucur deras karena tak kuasa membendung tekanan tenaga dalam dari suara Buto Kantolo.

Raja Jin yang memiliki tinggi tiga kali manusia menggerakkan tangannya sedemikian rupa, lalu kepulan asap hitam bercampur percikan cahaya kuning membuntal-buntal di lantai istana. Sebesar ukuran rumah, kepulan asap hitam itu membentuk sebuah ruangan. Kamaswara mengajak Peri Sesepuh masuk. Di dalam ruangan itu ada cahaya dari api sebesar kepalan tangan di salah satu dinding. Paling sudut, sebuah guci setinggi manusia tertata rapi. Di sebelahnya ada batu pipih membentuk ranjang. Di atas batu itu ada jerangkong. Peri Sesepuh ingin bertanya, tapi mulutnya seakan terkunci.

"Kau tidak perlu bertanya apa pun karena aku sendiri yang nanti akan menjelaskan."

Kamaswara memandang ke arah jerangkong. "Jerangkong itu milik seorang wanita sakti, bernama Sri Dewi Maharta. Kesaktian wanita ini pada masanya mampu menggegerkan dunia persilatan. Di Tanah Jawa yang dipenuhi tokoh-tokoh sakti saat ini, aku yakin tidak satu pun dari mereka yang mengenalnya. Karena masa hidup wanita ini jauh sebelum Negeri Latanahsilam, di mana masa hidup kalian berada. Dan di zaman kalian, wanita ini pernah membuat kekacauan. Itu karena setiap zaman selalu datang tokoh yang membangkitkan kembali dirinya. Kau tahu sudah berapa kali dia dibangkitkan hanya untuk membalas dendam?"

Karena tidak mampu berbicara, Peri Sesepuh hanya bisa menggeleng.

"Seribu tujuh ratus kali. Dan terakhir kali di zaman kalian, seribu dua ratus tahun silam. Setelah itu tidak satu pun yang mampu melakukan, dan tidak satu pun yang sanggup menampung kekuatan dahsyat miliknya. Karena tenaga dalamnya sudah hampir menyamai para dewa. Itulah mengapa aku meminta kalian, bangsa peri, untuk gabung bersama kami. Hanya tubuh para dewi dan peri lah yang sanggup menjadi wadah kekuatan dahsyat Sri Dewi Maharta."

Kedua bola mata Peri Sesepuh membelalak, bukan terkejut karena kedahsyatan kekuatan itu, melainkan karena sosok dirinya yang hanya akan menjadi wadah. Jika demikian, apa artinya kecantikan yang didapat, kalau orang lain yang mengendalikan tubuhnya? Ia sendiri tidak akan merasakan kehidupan setelah Sri Dewi Maharta menempati tubuhnya.

Melihat keraguan pada raut wajah Peri Sesepuh, Raja Agung Kamaswara tersenyum, menyentuh bahunya seraya berkata, "Kau tidak perlu khawatir, Peri Sesepuh. Yang kulakukan tidak seperti para pembangkit terdahulu. Kau akan tetap sadar dalam dirimu. Tubuhmu milikmu. Sri Dewi Maharta akan tertidur selamanya, kecuali kekuatan suci membangunkannya."

Kamaswara melambaikan tangan. "Kau sudah bisa bicara sekarang."

"Kekuatan suci? Apa ada kekuatan seperti itu di Tanah Jawa ini?"

Kamaswara tertawa. "Kau ketakutan sekali kalau perempuan cantik itu terbangun lalu mengambil alih dirimu, Peri Sesepuh."

Peri Sesepuh terdiam. Kamaswara melanjutkan, "Kekuatan suci berasal dari orang yang suci. Yang bisa melakukan itu hanya para dewa dan dewi di kayangan."

Peri Sesepuh menatap senyum manis rupawan dari Kamaswara. Keraguan yang sebelumnya memenuhi hati sirna seketika.

"Ada lagi yang ingin kau tanyakan, Peri Sesepuh?"

Wanita ini cepat mengangguk. "Yang aku takutkan, jika wanita sakti itu bangkit, bagaimana cara aku mengambil alih tubuhku?"

Kamaswara kembali tersenyum. "Sudah aku katakan padamu, Peri Sesepuh, kekuatan suci hanya ada di kayangan. Hanya para dewa dan dewi yang bisa melakukannya. Kau tidak perlu cemas, karena sampai dunia berakhir Sri Dewi Maharta akan tetap terlelap di dalam tubuhmu. Dan selama itu pula kau akan mengendalikan tubuhmu sendiri dengan kecantikan tubuh beserta kekuatan mahadahsyat miliknya."

Ada pancaran kegembiraan pada dua bola mata yang membeliak besar. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Peri Sesepuh akan merasakan kebahagiaan seperti yang pernah dirasakan para peri lainnya. Peri Angsa Putih, Peri Bunda, dan ribuan peri cantik yang sering bercerita betapa hampir seluruh makhluk bumi mengagumi kecantikan mereka semua. Ada yang bercerita tentang sekelompok orang yang melakukan penyembahan hanya demi bisa mendapatkan kasih dan cinta seorang peri. Ada yang bercerita tentang asmara, bagaimana kekaguman mereka terhadap keanggunan para peri. Hingga yang terakhir kisah memilukan yang waktu itu hampir membuat kayangan dilanda kekacauan mengerikan. Berpangkal dari kisah cinta seorang peri dan manusia yang kebablasan hingga memiliki anak. Pada akhirnya kutukan menimpa kaum peri. Benar-benar mengerikan sampai aturan ketat untuk mereka pun ditetapkan. Para peri dilarang keras pergi ke dunia manusia.

Namun, bagaimanapun mengerikannya tragedi itu, tetap saja, masih banyak para peri yang nekat turun ke dunia. Semua dilakukan karena mereka merindukan pujian yang datang dari permukaan, dari bibir manusia. Agar ketika kembali ke kayangan, semua peri mengagumi tutur kisahnya. Sadar atau tidak, hal itu jelas mengguncang batin Peri Sesepuh. Melihat keadaannya yang begitu buruk, makhluk mana yang akan mengagumi dirinya? Yang ada justru nyinyiran, sindiran, dan bahkan bagi mereka yang tingkat keilmuannya lebih tinggi darinya tidak segan-segan meledek, mengatakan kalau tubuh Peri Sesepuh adalah aib bagi kaum para peri. Tuduhan itu jatuh lantaran di tengah lautan pujian menyejukkan mereka, terselip gelak tawa dan hinaan dari beberapa orang yang pernah melihat keberadaan Peri Sesepuh.

"Nyatanya tidak semua peri cantik, ada juga yang kayak babi gendut. Aku pikir, golongan peri terhindar dari keburukan jasadiah, tapi ternyata sama saja dengan manusia, hahahaha..."

"Wahai... itu memalukan sekali, hahaha..."

Sekumpulan orang tertawa jauh di bawah sana. Meskipun terkurung rimbunnya hutan, terlapisi awan hitam tebal, tapi para peri tahu bahwa kata-kata ejekan itu jauh lebih mengerikan dari kutukan yang pernah mereka dengar. Karena hal itulah akhirnya lebih dari sebagian besar peri yang dipimpin Peri Cantik Belibis Biru meminta agar Peri Sesepuh tidak lagi turun ke bumi.

"Keberadaanmu hanya akan menjatuhkan harkat dan martabat bagi kalangan para peri."

Karena lebih dari separuh mendukung ucapan itu, dengan berat hati Peri Sesepuh menyetujui. Dan hal itu pula yang menjadikannya merasa rendah dan hina ketika pertemuan besar diadakan. Ia selalu menjadi gunjingan, ejekan, hinaan, sampai akhirnya memilih untuk mengasingkan diri. Selama pengasingan itu, batinnya benar-benar tersiksa. Sebagai seorang perempuan, ia sangat mendambakan kecantikan, mendambakan sanjungan, pujian setinggi langit dari para manusia di bawah sana. Agar ketika pertemuan berlangsung, ada yang bisa dibanggakan dari dirinya.

"Bisa kita mulai upacara pembangkitan ini, Peri Sesepuh?"

Pertanyaan Kamaswara mengejutkannya dari lamunan panjang masa lalu. Mengingat kepahitan hidup itu, dengan mantap ia katakan, "Lebih cepat lebih baik, Sri Paduka Raja Agung Kamaswara."

"Hahaha... kau sudah satu tujuan denganku, Peri Sesepuh. Bersiaplah, seluruh jagat raya akan mengagumimu."

Kamaswara menggerakkan tangan kirinya, tutup guci terbuka. Bau harum semerbak memenuhi ruangan. Ada cairan biru muda di dalam sana. Bunga tujuh rupa memenuhi permukaan air.

"Air Kehidupan, yang keberadaannya sangat dicari manusia di muka bumi ini. Tapi hanya para jin yang tahu keberadaannya. Buka pakaianmu dan masuklah ke dalam guci itu. Tenggelamkan tubuhmu sepenuhnya. Jangan keluar sampai aku membuka tutupnya."

"Tapi, Paduka, aku tidak bisa bernapas di dalam air." Raut kecemasan terlihat jelas di wajah Peri Sesepuh.

Kamaswara tersenyum. "Kau tidak perlu khawatir. Meskipun kematian akan datang merenggut, kau tidak akan benar-benar mati. Kau lupa di mana tubuhmu tenggelam, Peri Sesepuh?"

"Air Kehidupan," desisnya yang kemudian disambut gelak tawa Kamaswara.

"Sekarang lakukanlah. Ingat satu hal, apa pun yang kau rasakan nanti, tetaplah bertahan. Jangan sekali-kali keluar dari guci sebelum tutup kubuka. Mengerti?"

"A-aku mengerti, Sri Paduka Agung."

"Bagus, mulailah."

Peri Sesepuh mengangguk, lalu mulai menanggalkan pakaian atasnya yang penuh dengan debu. Pakaian berbau amis itu terjatuh ke lantai, memperlihatkan kulit mengelambir, menutupi hampir separuh tubuhnya, hingga sulit ditebak, makhluk ini berjenis kelamin apa sebenarnya? Dua bukit kembar yang biasa kencang kini merosot jatuh mengikuti gelambir kulit. Kamaswara sampai melihat ke sudut lain, karena saking tidak enak dipandang mata.

Ketika seluruh pakaian terbuka sempurna, Peri Sesepuh mulai memasuki guci. Pertama kali kakinya mengenai Air Kehidupan, hawa sejuk dan perasaan bahagia muncul. Ia seperti mendapat pujian dari ribuan para peri di atas langit.

"Tenggelamkan kepalamu," titah Kamaswara ketika dilihatnya Peri Sesepuh hanya diam saja saat air dalam guci itu telah menelan seluruh tubuhnya.

"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, Sri Paduka Raja Agung."

Kamaswara tersenyum. "Kau tidak perlu melakukan itu, Peri Sesepuh. Kau cukup menjalankan tugas dengan baik, maka segala kebaikan yang aku berikan kuanggap impas."

Peri Sesepuh tersenyum, lalu menenggelamkan kepalanya hingga yang terlihat hanya gelembung air. Kamaswara kembali menggerakkan tangan kirinya. Tutup guci yang mengambang di udara perlahan turun, menutup rapat. Lalu lelaki ini keluar dari ruangan.

"Kita tunggu sampai cahaya putih keluar dari dalam guci."

Dharma Siwanala mengangguk. Sebenarnya dari luar tidak terlihat apa pun, hanya gumpalan asap hitam yang menyelimuti dinding ruangan. Tapi, walau tidak tahu apa yang dilakukan pimpinan, sedikitnya ia mulai menduga-duga, rencana besar apa yang sedang dijalankan rajanya.

Walaupun sebagai peri, tapi ia tidak memiliki kesaktian yang mampu bernapas dalam air. Karenanya, begitu udara yang sebelumnya dihisap dalam-dalam mulai menipis, ia merasakan desakan hebat. Tubuhnya seolah berteriak untuk segera keluar, menghirup udara segar. Peri sesepuh tetap bertahan, meski paru-parunya seolah ingin meledak karena seluruh pasokan udara habis. Tubuhnya sendiri seakan memiliki otak yang berbeda, berusaha memberontak, melejang-lejang agar bisa keluar. Tak kuat dengan desakan hebat, Peri Sesepuh menguap, maksudnya mengambil udara, padahal ia menyadari kalau saat itu dirinya berada dalam air. Akibatnya, air masuk ke dalam perutnya. Peri Sesepuh megap-megap, ia merasakan ajalnya sudah sangat dekat. Jantung terasa sekali melambat, dan dadanya panas seakan kobaran api yang menggila terjadi di dalam sana. Ia benar-benar mengalami sekarat. Dalam kedipan terakhir, nyawanya terbang ke neraka.

Namun, seperti yang dikatakan Kamaswara, kematian tak kunjung datang. Nyawanya tak juga terbang meninggalkan tubuh buruknya. Sekarat terus berlangsung, hingga ia merasakan sakit yang belum pernah dialami sepanjang hidup. Pernah terbesit untuk membatalkan rangkaian pembangkitan ini. Tapi keinginan besar untuk bisa mengubah nasib membuat ia tetap pada pendirian. Tetap bertahan meski merasakan sekarat tanpa tahu kapan kematian akan datang.

Dess... dess... dess...

Ia merasakan letupan tiga kali di bawah kakinya. Ketika melihat, cahaya putih mulai tampak di kaki kanan dan kirinya. Perlahan sekali cahaya itu merambat ke atas, ke betis, ke paha, hingga ke seluruh tubuh. Dan yang membuat wanita ini tidak percaya adalah apa yang dilihatnya kini nyaris membuat kedua bola matanya terlepas dari rongga.

Tubuh yang diselimuti cahaya itu berubah menjadi kencang, persis seperti gadis berusia 22 tahun. Dan ketika lengannya menggesek bagian dada, ia kembali terkejut. Andai ini terjadi di luar, tentu jeritan keluar dari mulutnya. Bagian dada yang sebelumnya hanya ada kulit menggelambir, kini terlihat dua bukit kembar yang mengkal. Benar-benar indah dan enak sekali dipandang. Belum puas, ia meraba wajahnya. Mulus dan halus. Apakah ini dirinya?

Saat itulah tutup guci terbuka. "Kau sudah bisa keluar, Peri Sesepuh."

Kamaswara melihat ke arah air yang tenang tanpa riakan sedikit pun. Padahal sebelumnya permukaan itu mirip air yang bergejolak seakan ada pertarungan dua ekor buaya di dalam sana.

Delapan dewa lainnya juga sudah diperbolehkan masuk. Mereka menanti dengan sorot mata yang memancarkan ketidaksabaran. Apa yang akan terlihat setelahnya? Jika sosok wanita buruk tadi yang muncul, maka siallah mereka semua. Sepanjang hidup menjadi dewa, baru kali ini matanya merasa sakit karena melihat makhluk buruk menjijikkan.

Sebuah kepala terlihat. Rambut yang sebelumnya awut-awutan, kusut di mana-mana, berubah menjadi warna hitam, memantulkan cahaya yang menggantung di dinding. Ketika kepala tersembul sempurna, maka terbelalaklah kedelapan dewa. Decak kekaguman mengiringi kemunculan tubuh yang dihiasi dua buah gunung kembar yang mengkal. Sungguh tontonan yang enak dipandang mata.

Kamaswara tersenyum. "Kau tidak akan percaya apa yang kau lihat dengan perubahan dirimu, Peri Sesepuh."

Peri Sesepuh melihat ke delapan dewa. Betapa mereka mengagumi sosoknya kini. Ini adalah kebahagiaan pertama yang ia rasakan selama hidup di dunia. Kebahagiaan sebagai seorang perempuan yang memiliki paras cantik bertubuh elok dengan hujanan tatap kekaguman semua orang.

"Kau berbaringlah di atas tengkorak itu. Pengalihan kekuatan Sri Dewi Maharta segera kita lakukan."

Peri Sesepuh mengangguk. Kaki jenjangnya melangkah indah dengan goyangan pinggul layaknya seorang penari yang mampu menyihir semua orang. Setiap gerak yang dilakukan dirinya menyita perhatian secara penuh, kecuali Raja Kamaswara.

"Kakang Dharma Siwanala, Sadewa, Rendana, dan semuanya, tolong bantu aku," pinta Kamaswara ketika dilihatnya Peri Sesepuh telah berbaring sempurna di atas tengkorak.

Kedelapan dewa mengangguk. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mereka berdiri di posisi masing-masing. Dharma Siwanala berdiri di kepala Peri Sesepuh, Sadewa dan Rendana di bahu kanan dan kiri Peri Sesepuh. Dua lainnya di bagian pinggang kanan dan kiri, sementara tiga lainnya di bagian kaki. Kedelapan dewa ini menyentuh sedikit bagian tubuh Peri Sesepuh. Cahaya putih menyilaukan keluar dari jari masing-masing.

Kamaswara memulai upacaranya. Kedua tangannya bergerak sedemikian rupa, lalu guci yang sebelumnya menjadi tempat pemulihan bergetar hebat, lalu wusss...! Air dalam guci itu mencuat ke atas seiring terpentalnya tutup, layaknya seekor naga air itu terbang, berputar-putar di atas tubuh Peri Sesepuh kemudian melesat ke pusar tubuhnya.

Peri Sesepuh merasakan perutnya jebol. Ia menjerit laksana teriakan setan yang sedang disiksa di neraka. Suaranya sangat mengerikan. Jika saat itu ada manusia, tentu jeritan itu akan merobek gendang telinga dan meledakkan otak di dalam kepalanya.

Tubuh Peri Sesepuh menggelepar-gelepar, seiring dengan derasnya air memasuki tubuhnya. Di dalam guci, Air Kehidupan tersisa separuhnya. Jerit kesakitan makin menggila. Peri Sesepuh ingin melompat, menghantam dengan pukulan sakti, tapi jemari para dewa mengunci gerak tubuh. Saat air habis seluruhnya, Kamaswara mengingatkan kepada delapan dewa.

"Bersiaplah, Kakang." Kamaswara mendorong telapak tangan kanannya ke arah kepala Peri Sesepuh. Cahaya putih kebiruan meluncur deras, melesak ke dalam kepala Peri Sesepuh. Suara wanita itu sampai parau karena jerit tiada henti keluar dari mulutnya.

Dess... dess... dess...

Tiga kali letupan terdengar dari beberapa tempat di tubuhnya. Hawa panas menjalar, membakar tubuh hingga ia seakan tenggelam ke dasar lahar gunung merapi. Lalu, seperti ada kekuatan hebat dari bagian bawah tubuhnya yang merangsek masuk. Merasakan tubuh terbakar, kepala hendak meledak, lalu dari bawah punggungnya seolah dikelupas paksa. Rentetan penyiksaan itu membuat ia tak kuasa lagi untuk bertahan hingga kesadarannya hilang.

Yang terlihat kini tubuh telanjang itu bergetar hebat, dengan pendar cahaya hitam mencoba melawan cahaya putih yang dipancarkan dari jemari para dewa. Dorongan itu sangat kuat hingga jari-jari yang menyentuh tubuh Peri Sesepuh sedikit terangkat.

"Tahan!" Kamaswara melompat, berdiri di sisi Dharma lalu menekan kepala Peri Sesepuh yang memperlihatkan sorot mata nyalang mengerikan.

"Tambah tenaga dalam sedikit lagi," titahnya yang segera diikuti. Tubuh telanjang bergetar hebat, lalu cahaya hitam yang sebelumnya berusaha menerobos keluar masuk ke dalam tubuh. Hingga tubuh itu tenang, baru Kamaswara memerintahkan untuk menyudahi.

"Tenaga dalam wanita itu sangat besar. Dinda Kamaswara, siapakah wanita yang sedang kita bangkitkan ini?"

Kamaswara tersenyum pada lelaki paruh baya di sampingnya. "Dialah Sri Dewi Maharta. Dalam dunia persilatan dijuluki Iblis Betina Gendawa Maharta."

"Aku tahu riwayat keganasan makhluk satu itu. Ribuan tokoh sakti telah jadi korban sepanjang pembangkitan. Tidak mengherankan kalau tenaga dalamnya sedahsyat ini."

“Dia berada tiga tingkat di bawah para dewa.”

Semua dewa berdecak kagum. “Tahu sebesar itu harusnya tadi aku pakai seperempat tenaga dalamku.”

Kamaswara menggeleng. “Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, Kakang, pengalihan ini tidak bisa sembarangan mengirim tenaga dalam sebagai pencegahan membendung kekuatan Dewi Maharta keluar. Dia akan merasa terancam, yang nantinya membawa kepada kegagalan. Karena itulah mengapa tadi aku katakan sebelum masuk ke sini, rasakan oleh tangan kalian. Jika desakan semakin kuat, kalian bisa menambahnya sedikit demi sedikit.”

“Apa yang terjadi jika tenaga dalam itu keluar dari tubuh Peri Sesepuh?”

“Rohnya akan gentayangan tanpa bisa kita atur. Atau andaipun bisa menjeratnya dengan ilmu aneh milik Datuk Lembah Neraka, tapi sia-sia saja. Karena bukan itu tujuan kita. Mengumpulkan sukma orang yang sudah mati itu mudah, tapi buat apa kalau rencana besar yang akan aku terapkan tidak berjalan sempurna?”

Dharma Siwanala mengangguk-angguk. "Lalu rencananya?"

"Bangunkan dia."

Dharma mengusap wajah Peri Sesepuh. Seketika kelopak mata indah gadis cantik itu terbuka, lalu melompat berdiri. Meraba tubuhnya, dan ia terpekik ketika menyadari tak sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Setelah kesadarannya kembali sepenuhnya, barulah ia membungkuk hormat kepada raja yang telah memberinya kebahagiaan. Mewujudkan mimpi yang selama ini diidamkan semua kalangan wanita, terlebih dirinya.

"Sri Paduka Raja Agung, apakah pengalihan kekuatan Dewi Maharta telah selesai?"

Kamaswara mengangguk. "Kini kau memiliki seluruh kesaktian Sri Dewi Maharta. Jika belum yakin, kau bisa mencobanya."

Mengulum senyum, perempuan ini mengangguk senang. Kedua matanya terpejam untuk sesaat, seakan memperhatikan betapa banyak jenis kesaktian yang kini tersimpan di tubuhnya.

"Sekali lagi, aku ucapkan terima kasih sebesar-besarnya, Sri Paduka Raja Agung."

"Kau tidak ingin mengenakan pakaian, Peri Sesepuh?"

Seakan tersadar dengan keadaannya yang sampai saat ini masih telanjang bulat, ia segera menggibrikan tubuhnya, lalu seketika pakaian bagus telah menutupi tubuhnya. Rambut yang tergerai indah, mahkota yang terbuat dari emas, dan perpaduan mutiara biru menghiasi kepalanya. Pakaian berwarna merah dari kain sutra membuat dirinya persis seperti seorang ratu. Melihat itu, delapan dewa hanya bisa menggeleng dan berulang kali berkata dengan tatap mata kekaguman.

"Luar biasa."

"Benar-benar sempurna."

"Kecantikannya mendekati para dewi di kayangan."

Peri Sesepuh menggerakkan tangannya. Cahaya hitam pekat muncul di hadapan, membesar hingga setinggi tubuhnya. Lalu perlahan cahaya itu berubah menjadi cermin. Dan inilah puncak kebahagiaan yang ia rasakan sejak pertama kali keluar dari dalam guci. Hatinya benar-benar gembira ketika menyadari wajah dan tubuh indah di balik cermin itu miliknya.

“Bahkan Peri Cantik Belibis Biru tidak sebagus wajah dan tubuhku.” Walau itu hanya ada dalam hati, tapi Kamaswara tahu apa yang ia ucapkan.

"Mereka, para peri yang dulu menghinamu, akan menyesal dan siap bersujud menghambakan diri kepadamu, Peri Sesepuh."

"Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kebaikan yang telah kau berikan untukku, Sri Paduka Raja Agung."

Kamaswara mengangguk. Ia memerintahkan Buto Kantolo untuk menghilangkan ruangan yang terbuat dari gumpalan asap hitam.

"Aku hanya akan memberikan satu tugas untukmu, Peri Sesepuh. Dan jika berhasil, kau akan aku jadikan ratu tertinggi di kerajaanku," jelas Kamaswara setelah dinding hilang dari pandangan.

Untuk kesekian kalinya, Peri Sesepuh terbelalak. Saking tak percayanya, dia sampai terjajar satu langkah ke belakang. "Ratu? Itu artinya...?"

"Tidak," jawab Kamaswara yang tahu isi hati Peri Sesepuh. "Kau hanya kuberikan kekuasaan di kerajaanku, bukan menjadi permaisuriku. Kau boleh memilih siapa pun yang kau sukai menjadi rajanya. Bahkan jika pemuda sableng yang kau inginkan, aku bisa wujudkan."

Mendengar nama pemuda yang selama ini ia rindukan, ia cintai, kedua mata Peri Sesepuh berbinar.

"Su-sungguh, Paduka?"

Kamaswara mengangguk. "Karena itulah, jalankan tugasmu dengan baik."

"Katakan, tugas apa yang harus aku jalankan, Paduka?"

"Hahaha... sepertinya sudah ada yang tidak sabar." Kamaswara melangkah ke singgasana. Ia duduk di kursi kebesarannya. "Peri Sesepuh, tugasmu mudah. Kau hanya mencari pemuda sableng itu lalu menidurinya."

"Tidur? Bersama Wiro?" Seakan tak percaya dengan apa yang didengar, Peri Sesepuh menatap tak berkedip ke rajanya. Kalau sebelumnya ia merasa rendah diri dengan keadaan tubuh yang buruk, tidak untuk saat ini. Gejolak hasrat menggebu layaknya gelombang laut yang siap menerkam perahu nelayan.

"Kau sudah siap, Peri Sesepuh?"

"A-aku... aku siap, Paduka." Getar suaranya terdengar jelas oleh semua orang. Melihat itu, mereka tersenyum lalu saling melempar pandang.

"Tapi, maaf beribu maaf, Paduka, kalau boleh memberi masukan..."

"Katakan saja, Peri Sesepuh. Aku senang jika ada rencana yang jauh lebih baik."

"Dengan tubuh dan wajah secantik sekarang ini, aku bisa dengan mudah menaklukkan siapa pun di permukaan sana. Tapi, Paduka, setahuku tidak mudah menaklukkan pemuda itu. Meski itu seorang dewi sekalipun. Apalagi dia pernah mengalami musibah besar ketika menolong seorang gadis yang terkena kutukan."

"Hmmm... aku tahu kejadian itu. Lanjutkan keteranganmu, Peri Sesepuh."

"Aku punya rencana lain agar dia benar-benar yakin kalau penyatuan badan itu adalah sebuah rencana untuk mengalahkan kerajaanmu."

Masih belum mengerti, Kamaswara menatap dalam-dalam wajah cantik di bawah singgasananya.

"Maksudku, hanya orang yang sangat dia sayangi dan kasihi sajalah yang bisa meluluhkan hatinya." Peri Sesepuh membungkuk hormat. "Izinkan hamba untuk memberi perintah pada Buto Kantolo, Sri Paduka Raja Agung."

Kamaswara mengangguk. "Keinginanmu aku kabulkan, Peri Sesepuh."

Pada Buto Kantolo, Peri Sesepuh memerintah, "Tunjukkan padaku, perempuan mana saja yang menjadi kekasih Wiro Sableng."

Buto Kantolo mengangguk. Ia menjentikkan jarinya, sebuah bola api melesat, lalu membentuk lingkaran di udara sebesar pintu rumah. Dari lingkar itulah keluar banyak wanita cantik yang silih berganti datang dan menghilang. Pertama sekali Nilam Sari, berganti Anggini, lalu Kala Putih, dan beberapa gadis cantik yang Wiro temui sepanjang hidupnya. Bahkan gambar dirinya ada di sana. Peri Sesepuh menggeleng. Raut kekesalan terlihat jelas di wajah cantiknya.

"Apa para jin tidak mengerti mana orang yang dikasihi dan mengasihi?"

"Semua wanita itu mengasihi pemuda yang kau sebutkan."

Peri Sesepuh tersenyum ketir. "Buto Kantolo, yang aku inginkan adalah wanita yang sangat Wiro cintai sepanjang hidupnya. Dia rela melakukan apa pun demi mendapatkan cinta itu, kau mengerti?”

“ Jangan kau berani membentakku, Peri Jelek!"

Peri Sesepuh mendengus. Kamaswara di singasananya berdehem. "Buto Kantolo, lakukan apa yang dia inginkan."

"Titah Paduka Raja Agung siap hamba jalankan." Ia memejam sebentar, lalu dalam lingkaran cahaya itu keluar gambar seorang gadis berambut pirang mengenakan pakaian biru tipis.

"Cantik sekali," desis Peri Sesepuh. Pada Buto Kantolo ia berkata, "Tunjukkan aku kejadian gadis ini yang berhubungan dengan pendekar itu."

Buto Kantolo mengikuti perintah Peri Sesepuh. Di dalam sana rangkaian kejadian tergambar. Tidak runut, hanya potongan-potongan cerita. Pertemuan pertama dengan Wiro saat pertempuran hebat dalam perebutan guci setan, lalu mengajak perempuan itu ke Gunung Gede dengan tujuan melamar.

"Kasihan," desisnya lagi ketika maksud dan tujuan Wiro gagal karena gadis itu memilih menolak. Gambar berlanjut, memperlihatkan cumbu rayu pemuda itu sampai hal memalukan terlihat di sana. Adegan mandi bersama.

"Sudah cukup," kata Kamaswara yang menjadi jengah juga melihat kelakuan dua manusia di sana.

"Aku melihat keanehan dengan perempuan berambut pirang itu. Sebelumnya dia menolak mentah-mentah, kenapa kemudian jadi semurah itu? Buto Kantolo, perlihatkan selanjutnya."

Ketika gambar sampai di Pangandaran, baru ia memahami kalau itu dua perempuan yang berbeda.

"Jelas sudah, dialah wanita yang sangat Wiro cintai selama ini," katanya kemudian. "Aku ingin segala tentangnya, baik pakaian yang dikenakan, sifat dan sikapnya, bau tubuh. Buto Kantolo, kau juga bisa memberikan bau-bauan yang sering ia pakai?"

"Itu mudah bagiku, Peri Jelek." Buto Kantolo menengadah, memejamkan matanya yang berwarna merah menyala, lalu menarik napas dalam-dalam, cukup lama hingga akhirnya ia menghembuskan napas. Seketika udara dalam istana ini menjadi harum semerbak.

"Hmmm, wewangian dari berbagai campuran bunga-bunga. Baik, aku bisa menirunya." Peri Sesepuh memejamkan mata, merapal mantra, lalu tubuhnya bergidik beberapa kali. Cahaya hitam pekat membungkus tubuhnya, dalam sekejap sosoknya telah berubah menjadi gadis cantik berambut pirang. Saat ia tersenyum, terlihatlah lesung pipit di kanan kiri pipinya.

"Sudah mirip?"

Kamaswara tertawa. "Bukan hanya mirip, Peri Sesepuh, kau bahkan telah menjadi dirinya. Siapa nama gadis ini?"

"Beberapa kali Wiro memanggilnya Bidadari Angin Timur."

"Nama yang hebat," puji Kamaswara. "Tapi kau hanya akan menggunakan sosok Bidadari Angin Timur ketika bertemu pemuda sableng saja, kan?"

"Tentu, Yang Mulia. Aku ingin memberi kejutan untuknya, hihihihi..." Seketika sosoknya telah kembali berubah ke wanita cantik memakai mahkota di kepalanya.

"Dalam perjalananmu, kau akan ditemani salah satu kepercayaanku dari Cabang Dua."

"Cabang Dua?"

"Kau akan mengerti nanti," tukas Kamaswara. "Kau bisa mengambil ilmu kesaktian milik orang lain dengan dua cara, menarik paksa lewat ubun-ubun atau lewat penyatuan badan. Untuk lewat ubun-ubun kau harus memastikan terlebih dahulu tenaga dalam lawanmu berada di bawah. Jika menyamai apalagi sampai melebihi apa yang kau miliki, gunakan cara kedua."

"Karena itulah kau meminta aku untuk bersatu tubuh dengan Wiro?"

"Sekembalinya dari alam para dewa, tenaga dalam dia sulit dijangkau."

"Baik, aku mengerti sekarang, Sri Paduka Raja Agung, dan aku akan pegang teguh titahmu."

"Satu hal lagi, Peri Sesepuh. Untuk memuluskan rencana ini, aku telah menyisipkan satu ilmu untukmu. Ilmu langka dan hanya para dewa dengan tingkatan tertinggi yang memiliki, Tabir Buta. Selain menjadi perlindungan mahadahsyat, dengan ilmu itu juga kau bisa menciptakan apa yang kau bayangkan dalam benakmu. Kau hanya bisa pergunakan ilmu itu sekali, karena itu jangan kau keluarkan kecuali keadaan memungkinkan. Kau mengerti, Peri Sesepuh?"

"Aku mengerti, Paduka."

"Bagus." Kamaswara melirik ke arah Buto Kantolo. "Antarkan dia ke istana pimpinan Cabang Dua."

"Titah Sri Paduka Raja Agung hamba patuhi."

Buto Kantolo menggerakkan tangannya, gumpalan asap hitam tebal muncul di depan Peri Sesepuh. Setelah membungkuk hormat, peri itu masuk. Lalu seketika gumpalan asap itu hilang, bersama hilangnya sosok cantik berbaju merah sang peri.

Kamaswara tersenyum senang. "Jika rencana ini berhasil, mudah bagiku untuk meratakan orang-orang permukaan."

"Seperti yang kau katakan dulu, Dinda Kamaswara, dengan terkurasnya ilmu Wiro Sableng, para dewa atas langit tidak memiliki pilihan selain memusnahkan dunia ini. Dengan begitu, kutukan jasadiah atas dirimu sirna dan kita kembali menjadi dewa."

"Hahahaha... benar, Kakang. Lalu kita memulai penyerangan. Sungguh aku sudah tidak sabar melihat Ramanda adik durhaka itu tersiksa antara hidup dan mati sepanjang masa."

"Dewa keji terkutuk itu memang pantas mendapatkan penyiksaan itu, Dinda Kamaswara."

"Hahahaha... kau benar, Kakang Dharma."

Sejak saat itulah Peri Sesepuh gentayangan ke berbagai tempat ditemani pimpinan Cabang Dua, yakni Aji Damantra dan Damar Alitan. Dalam pengembaraannya, telah banyak korban jatuh, baik dari kalangan pendekar biasa sampai tokoh-tokoh sakti golongan putih.

***

Cinta, kasih sayang, dan besarnya rasa rindu yang terpendam selama bertahun-tahun membuat Wiro Sableng tenggelam dalam pusaran nafsu yang kini mengancam dirinya. Mengancam dunia persilatan. Harapan untuk bisa terbebas dari belenggu kekejaman orang-orang perut bumi sepertinya sirna, berganti dengan jurang neraka yang telah menunggu di depan mata. Sekali penyatuan badan terjadi, meskipun hanya tersentuhnya dua alat kelamin tanpa penghalang, maka kiamat datang saat itu juga.

"Wiro, lepaskan pakaian bawahku. Ahhh... Aku sudah lama menantikan saat-saat seperti ini, Wiro. Aku milikmu seutuhnya. Lakukan sesukamu, Wiro."

Wiro Sableng mengikuti perintah gadis yang sangat dicintainya. Sekali tarik, pakaian bagian bawah terlepas, dan kini tubuh indah dengan dua gunung menjulang tinggi benar-benar tak terlindungi oleh sehelai benang pun.

"Lepaskan pakaianmu, Wiro." Bersama deru napasnya yang menggebu, Wiro melepas pakaian atas, melemparkannya ke sembarang tempat. Ia hendak menerkam sosok indah yang menggeliat ke sana kemari layaknya ular liar, tapi gadis berambut pirang menggeleng cepat.

"Buka pakaian bawahmu dulu, Wiro. Cepatlah, aku sudah tidak kuat menahan terlalu lama."

Wiro mengangguk, melepas ikat pinggangnya. Saat itulah bentakan keras terdengar.

"Bidadari Angin Timur tidak serendah itu, Pendekar Dua Satu Dua!"

Bersama bentakan itu, selarik sinar putih menghantam dinding cahaya. Sekejap kemudian, udara yang sebelumnya hangat—bahkan bagi Wiro dan Bidadari Angin Timur—terasa panas membara, berubah menjadi dingin, seakan keduanya tenggelam ke dasar es yang sangat dalam. Sepasang kekasih ini menggigil kedinginan. Di depan sana, Bidadari Angin Timur menjerit. Dalam keadaan telanjang, gadis cantik itu melompat berdiri, lalu—

Wuss!

Kamar beserta ranjang megah hilang, berganti dengan keadaan semula. Wiro Sableng tersurut dua langkah ke belakang ketika di depan sana sosok Bidadari Angin Timur berubah menjadi gadis cantik yang tidak dikenal.

"Siapa kau?"

Wanita itu tak memedulikan bentakan orang. Ia seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Teriakan tiada henti keluar dari mulutnya.

"Tidak! Jangan!" pekik Peri Sesepuh, lalu terdengar suara tawa cekikikan.

Suara itu rasanya tidak asing bagi Wiro Sableng, tapi ia tak bisa berpikir lama, karena saat itu ia penasaran dengan seseorang yang berteriak tadi, menyebut nama Bidadari Angin Timur, Ia berpaling, mencari-cari. Sejauh lima tombak ada Kakek Segala Tahu yang sedang mengobati Latampi. Tidak jauh darinya, sosok lelaki mati mengenaskan. Dialah Damar Alitan. Lima belas tombak di depan sana, dua wanita sedang mengeroyok seorang lelaki. Salah satu pengeroyok itu Wiro Sableng kenal.

"Luhcinta…," pekiknya dengan tatapan tidak percaya. "Apakah gadis itu yang menyelamatkanku? Siapa wanita bercadar merah itu?"

Tawa melengking dari samping kanannya. Wiro segera berpaling. Di depan sana, perempuan yang sebelumnya telanjang telah memakai pakaian warna merah. Kepalanya dihiasi dengan mahkota. Melihat itu, Wiro seolah sedang berhadapan dengan seorang ratu.

Perempuan cantik ini menatap tajam ke arah Wiro Sableng. Ditelitinya sekujur tubuh Wiro hingga sekelumit senyum menyeruak di bibir manisnya.

"Kekar, berotot. Pasti kau tangguh dalam permainan di atas ranjang."

Kedua mata Wiro Sableng membeliak. Ia menyambar pakaiannya yang tergeletak di tanah berpasir.

"Kenapa ditutupi? Bukankah lelaki selalu bangga memamerkan otot-ototnya? Hahaha...."

"Siapa kau? Kenapa tadi kau menyamar menjadi Bidadari Angin Timur?"

"Bidadari Angin Timur?" Kedua mata indahnya berputar menggoda. "Aku menyamar menjadi bidadari? Wah, betapa cantiknya diriku. Hihihi… Tapi, apa wajahku saat ini kurang cantik menurutmu?"

"Gadis gila! Jangan kau berani berpura-pura. Apa yang tengah kau lakukan? Siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau bisa tahu segalanya tentang diriku? Tentang masa laluku bersama Bidadari Angin Timur?"

"Ah… sepertinya Bidadari Angin Timur itu orang yang sangat berarti bagimu, pemuda gagah. Jujur aku jadi cemburu. Tapi, apa pun itu, percayalah, aku Sri Dewi Maharta, jauh lebih menggairahkan dari wanita manapun. Termasuk perempuan yang kau sebutkan. Dan kau akan merasakan kebahagiaan tiada tara ketika bermain denganku di ranjang."

"Keparat!" Wiro Sableng membentak. Sekali melesat, ia sudah berada di dekat Dewi Maharta. Perempuan ini cukup terkejut melihat kecepatan gerak si pemuda. Sudah berulangkali ia melihat kehebatan lawan-lawannya, tapi selama itu belum pernah melihat gerakan secepat ini.

Wiro hendak mencengkeram leher si gadis, tapi sebelum itu terjadi, Dewi Maharta lebih dulu mengelak dan melompat jauh dari pusat serangan.

"Mengagumkan… Jika aku berhasil meniduri pemuda ini, dewa sekalipun takkan sanggup mengalahkanku. Aku harus cari akal untuk bisa memperdayainya."

Tidak menyangka serangannya gagal, Wiro Sableng melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung. Suara angin layaknya badai mengamuk di lautan terdengar sangat mengerikan. Beberapa batu sebesar gajah di sisi kanan-kiri Wiro ikut bermentalan, menjadi satu padu dengan tanah berpasir, membuntal-buntal menutupi pandangan.

"Gila! Seumur hidup, baru kali ini aku melihat pukulan sedahsyat ini!"

Entah hidup yang mana yang Dewi Maharta maksud. Ia menggerakkan tangannya, siap membalas serangan, tapi seketika kemudian kepulan asap hitam tebal keluar di depannya.

"Sri Dewi Maharta, masuklah."

"Siapa itu? Kau mengenaliku?"

"Masuklah. Tidak ada waktu lagi."

Dewi Maharta mengikuti suara tanpa wujud. Ia melompat masuk ke dalam gumpalan asap hitam tebal, tepat ketika serangan dari Wiro menyapu bersih tempatnya.

Wiro melompat, meneliti tempat sekitar. Sosok yang dicari tidak ditemui. Hanya pecahan batu yang tadi ikut beterbangan yang terlihat.

"Keparat! Ke mana larinya betina sialan itu? Tidak mungkin dia tenggelam ke dasar bumi!"

Wiro berlari ke arah Kakek Segala Tahu. Saat itu, Latampi sudah bisa duduk.

"Untunglah kau selamat, Latampi," Kakek Segala Tahu mengusap peluh di kening keriputnya. "Terlambat sedikit saja, tamat riwayatmu."

"Kek, lagi-lagi kau menyelamatkanku. Aku banyak berhutang nyawa sama kamu, Kek."

Kakek Segala Tahu menggerincingkan kaleng rombengnya, tertawa mengekeh. "Sudahlah, yang penting kau selamat, dan pemuda mata keranjang itu juga selamat."

Saat itulah Wiro datang.

"Kek, apa yang terjadi dengan sobat Latampi?"

"Nanti aku ceritakan. Sekarang, kau bantu dua gadis cantik itu. Aku tahu mereka bisa menghadapi Aji Damantra, tapi mereka butuh waktu lama untuk bisa menyelesaikan pertarungan. Sementara kita sudah tidak punya banyak waktu lagi. Kita harus sudah sampai di Tanah Perjanjian."

Wiro Sableng melirik ke arah pertarungan. Di sana, Luhcinta dan wanita bercadar merah sedang mendesak hebat Aji Damantra. Menurut Wiro Sableng, kurang dari sepuluh jurus, lelaki itu bakal kalah telak. Beberapa pukulan mematikan akan mengenainya. Tapi benar kata Kakek Segala Tahu, ia tidak punya waktu banyak. Semakin cepat, semakin baik.

Wiro Sableng berkelebat. Kakek Segala Tahu terkekeh ketika angin hempasan mengenai wajahnya.

"Beruntung Gusti Allah masih melindungi pemuda itu. Kalau pisang tanduknya sampai tercelup, tamatlah dunia persilatan. Kiamatlah umat manusia." Kakek Segala Tahu menggeleng setelah sebelumnya menghembuskan napas menegangkan terlebih dahulu.

Bab 19

Dua sosok berkelebat dalam bayang-bayang pohon besar yang dipenuhi kabut. Keduanya bergerak lincah layaknya kabut yang membutakan mata itu tidak pernah ada. Walau terlihat beberapa kali mereka seperti kesulitan untuk menambah kecepatan, mampu melakukan perjalanan secepat itu di alam yang tidak bersahabat sudah tergolong luar biasa. Mengingat banyak para tokoh sakti lainnya hanya mampu melakukan kecepatan dari setengah yang mereka lakukan.

Semilir angin menampar wajah cantik gadis berbaju biru muda. Rambut hitam tergerai melambai-lambai. Sesekali jemari lentik kirinya merapikan bagian rambut yang menutupi wajah. Terlihatlah sebuah bunga tanjung yang menjadi hiasan di kening. Ada yang aneh dari bunga itu, seperti menyedot kabut. Hanya sedikit, mirip seperti kepulan teh hangat yang nikmat merangsek masuk ke hidung saat pemilik menghirup dalam-dalam bau harum minuman itu.

Di sampingnya, seorang wanita bercadar merah mengiringi. Berbanding terbalik dengan paras wanita berbaju biru, sosok ini terlihat sangat mengerikan. Wajah di balik cadar tampak membusuk, ada tetesan nanah yang mengalir dan merembesi kain merah cadarnya. Walau begitu, bau harum yang selalu dikenakannya berhasil mencuri perhatian. Andai saja kala itu ada segerombolan pemuda mesum, tentu mata kurang ajar mereka langsung menelanjangi pakaian yang dikenakan, mengingat potongan tubuh yang begitu indah, dengan tinggi semampai—walau pada akhirnya mereka akan menjerit terkejut lalu kutuk serapah keluar dari mulut masing-masing lantaran tak menyangka sosok tubuh sebagus itu mengapa punya wajah seburuk setan dari kuburan?

"Sahabat bercadar, suara bentakan perkelahian semakin dekat."

Wanita bercadar merah mengangguk. "Tanah Perjanjian, tidak jauh lagi dari sini. Mungkinkah...?"

Wanita bercadar menggantung kalimatnya. Jelas saja hal ini membuat gadis cantik berhiaskan bunga tanjung di kening mengernyit heran.

"Mungkinkah? Wahai... apa yang ingin kau katakan, sahabat bercadar?"

"Orang yang kau cari ada di sana."

Entah mengapa pernyataan wanita bercadar itu seketika membuat dada gadis cantik ini berdegup lebih kencang. Siapa yang dimaksudkan? Ayahnya atau Wiro Sableng?

"Maksudmu ayahku?" tanya gadis ini memastikan, tanpa mengurangi kecepatan larinya.

"Ayahmu, juga pemuda yang selalu kau impikan, Luhcinta."

Gadis cantik yang memang Luhcinta adanya sampai menghentikan larinya. Tampak jelas betapa sulit ia menyembunyikan raut muka kejut yang melanda dirinya.

"Wahai... aku hanya memimpikan pemuda itu dua kali, sahabat bercadar. Jangan kau menambahi apa yang tidak pernah terjadi. Kau mengatakan itu seolah malam-malamku tiada hari tanpa mimpi dengan pemuda itu."

Wanita bercadar merah tertawa. "Aku juga tidak mengatakan kau memimpikan pemuda itu tiap malam, Luhcinta. Kau jangan salah sangka."

Wajah Luhcinta memerah. "Tapi aku menangkap hal lain dari kalimatmu."

Wanita bercadar kembali terkikik. "Ya, mungkin benar. Tapi bisa juga kau salah menilai. Huh, kenapa kita jadi bahas mimpimu? Orang di depan sana mungkin sedang butuh pertolongan kita."

Luhcinta mengangguk. "Kita harus cepat," katanya. "Tapi soal pemuda itu, aku tidak terima kalau kau sebut aku memimpikan dia tiap malam."

"Hmmm... mungkin kalau setiap tujuh hari sekali, kau akan setuju. Hihihi..." Sekali berkelebat, sosoknya telah berada di kejauhan.

"Hey....." pekik Luhcinta gemas. Ia mengejar. Selang beberapa lama, ia sampai di hutan jarang berpasir. Dan kedua gadis ini terkejut ketika mendapati kabut putih yang membutakan mata seolah tertahan oleh kekuatan tak terlihat. Kabut itu membentuk dinding melingkar, keduanya menatap sekeliling. Jauh di ujung sana, perkelahian hebat sedang terjadi.

Degup jantung Luhcinta semakin meningkat ketika ilmu aneh miliknya berhasil digunakan dengan sempurna. Layaknya seekor elang, kedua mata indah itu mampu memperbesar, hingga wajah di kejauhan terlihat jelas olehnya.

"Kau benar, itu ayahku." Suara Luhcinta bergetar, pertanda aliran darah membuncah ke segala arah.

"Di sana juga ada pendekar dua satu dua?"

Luhcinta menggeleng. "Aku tidak melihat adanya Wiro Sableng. Tapi kata Dewi dalam mimpiku, hempasan kabut ini salah satu kekuatan yang dimiliki Wiro. Bentar, aku melihat ada dinding cahaya yang membentuk kurungan. Mungkin orang yang kita cari ada di sana."

Mendengar keterangan Luhcinta, wanita bercadar ingat dengan kejadian beberapa tahun lalu tentang hilangnya ilmu kesaktian yang dimiliki Wiro Sableng kala menolong Ratu Duyung. Mendadak hati dan perasaan wanita ini tidak enak.

"Luhcinta, kita harus cepat. Aku yakin pemuda yang kau cari ada di dalam dinding cahaya itu."

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Kita hantam bersama dengan pukulan."

Luhcinta segera mengikuti wanita bercadar. Untuk sesaat ia dibuat terkejut melihat kelebatan yang begitu cepat. Selama melakukan perjalanan bersama, ia tak pernah menyangka kalau sahabat bercadarnya memiliki kecepatan sedahsyat itu.

Sambil berlari, ia siapkan pukulan sakti pada kedua tangannya sekaligus. Itu ia lakukan karena di depan sana wanita bercadar melakukan hal yang sama. Sadar akan dahsyatnya kekuatan dari perut bumi, ia tidak segan-segan untuk segera membumihanguskan. Pengalaman sedikit mengubah sikapnya terhadap musuh yang dihadapi. Kalau sebelumnya ia selalu menasihati terlebih dahulu atau bertarung dengan tujuan hanya untuk melumpuhkan, saat ini tidak demikian. Selain ganas dan kejam, orang-orang perut bumi juga berilmu sangat tinggi. Beberapa kali ia hampir celaka akibat welas asihnya, memilih melumpuhkan lawan daripada menghabisi. Beruntung, pertolongan datang tepat waktu dari sahabat bercadarnya. Terlambat sedikit saja, entah sudah jadi apa dirinya.

"Musuh yang kita hadapi saat ini berbeda, sahabat Luhcinta. Jangan karena welas asihmu, kau sampai mengorbankan diri. Ingat, ada banyak nyawa yang harus kau selamatkan. Seluruh umat manusia saat ini bergantung pada dirimu. Jika kau menemui ajal sebelum kita sampai di Tanah Perjanjian, maka kiamatlah dunia persilatan. Tamatlah kehidupan."

Kata-kata itu menancap kuat pada hatinya, dan sejak saat itu setiap pertempuran terjadi, ia berusaha untuk menyelesaikan secepat mungkin. Membunuh musuh tanpa ampun. Benar apa yang diucapkan, menyelamatkan jutaan manusia jauh lebih berarti dan berharga dari sekadar memberi welas asih kepada begundal perut bumi, yang jelas-jelas keji dan mustahil akan bertobat.

Laju lesat Luhcinta terhenti ketika jerit kesakitan terdengar dari mulut ayahnya. Sosok lelaki yang sekian lama dicari tersungkur dengan keadaan tubuh mengenaskan. Melejang-lejang karena racun ganas mematikan menyerang jantungnya. Di depan sana, musuh siap melepas pukulan. Luhcinta yang sebelumnya hendak menghantam bersama, dinding cahaya berubah haluan. Dua pukulan sakti miliknya yakni Ilmu Tangan Dewa Merajam Bumi, dan Kasih Mendorong Bumi terlepas, memapasi pukulan Aji Damatra yang siap membawa kematian bagi ayahnya.

Dentuman mengerikan terjadi. Debu dan bongkahan batu yang tersambar keganasan beradunya pukulan sakti hancur berkeping-keping terpental ke berbagai arah. Luhcinta terbanting satu tombak ke belakang. Ia terbatuk, dadanya terasa sesak, tapi tidak mengalami luka dalam. Bergegas ia berdiri dan mendatangi ayahnya. Tubuh Latampi terkubur dengan abu dan pasir sisa ledakan. Luhcinta membawanya menjauh, menotok di beberapa tempat, berharap racun ganas mematikan tidak segera meledakkan jantung ayahnya.

Sementara di sisi lain, Aji Damatra terkejut bukan olah-olah ketika mendapati sosoknya terbetot ke belakang, menghantam batu sebesar gajah. Tangan kanan terbenam ke dalam batu. Seperti halnya Luhcinta yang tidak mengalami luka dalam, dirinya juga tidak merasakan sakit sedikitpun akan tetapi melihat separuh lengannya tenggelam dan seakan menjadi satu dengan batu, panik juga.

“Ilmu setan apa yang dipakai betina keparat itu?”

Ia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanannya, astaga... tangan itu seolah berubah menjadi daging lembek tak bertulang. Bahkan ruas urat penyusunnya seolah-olah menghilang.

Jahanam!” Aji Damantra menghantam bongkahan batu itu dengan tangan kirinya. Sekali hajar, batu itu meledak, tangan kanan yang lumpuh terbebas, walau tidak begitu sempurna, lantaran sebagian batu masih menempel di lengan, menjadi satu dengan dagingnya.

Ia kembali mengerahkan tenaga dalam, berusaha memutuskan jirat iblis yang melumpuhkan lengannya. Sulit! Seberapa keras pun ia berusaha, percuma.

“Keparat! Sepertinya tangan kananku ini sudah tidak bisa digunakan lagi.” Ia menarik tangan itu, sekali puntir terbetot putus. Pekik kesakitan terdengar. Ia menotok urat bekas kutungan agar darah berhenti mengucur lalu melompat ke hadapan Luhcinta yang kala itu berusaha keras mengobati ayahnya.

Gadis ini pun cukup terkejut melihat lawannya masih mampu berdiri tegap, siap kembali melancarkan serangan atas dirinya. Dua pukulan yang dilepasnya barusan bukan sembarangan. Salah satu tokoh paling sakti di Latanahsilam banyak yang tidak berdaya menghadapinya. Karena keganasan itulah ia tak pernah mengeluarkan salah satu ilmu itu kecuali dalam keadaan terdesak. Juga beberapa tokoh golongan hitam dari perut bumi berhasil ia tanam hidup-hidup ke dinding batu. Atau membiarkan mereka mati lumpuh. Setiap pukulan sakti itu terlepas, selalu ada nyawa yang terbang ke naraka.

Namun apa yang dilihatnya kini benar-benar membuat dua bola matanya membulat. Walaupun salah satu tangan buntung, tetap saja itu sebuah pemandangan langka dan sangat mustahil terjadi bagi Luhcinta. Karena menurutnya, kalau tidak sekarat, harusnya lawan mengalami lumpuh total, terbenam ke dalam batu.

"Aku mengadu jiwa dengamu, betina jahanam!"

Bersama teriakannya, Aji Damantra melompat, yang kemudian segera dipapasi oleh Luhcinta.

“Sekarang!” pekik Wanita Bercadar memberi tanda ke teman di belakangnya, sayangnya ketika ia melirik, Luhcinta telah melompat ke arah lain. Ia pun memutuskan untuk menghantam Dinding Cahaya itu sendirian, tapi lagi-lagi tertahan ketika suara orang yang sangat ia kenal terdengar.

"Tahan serangan! Gunakan senjata yang tersimpan di balik pakaianmu."

Dalam kejutnya, Wanita Bercadar sampai menghentikan laju kelebatannya. Ia melihat ke pinggang kirinya di mana senjata rahasia yang selama bertahun-tahun tersimpan rapi, tidak satu manusia pun tahu, bahkan Luhcinta yang belakangan ini menjadi sahabat terdekatnya sekalipun. Padahal keduanya sering tidur berdampingan. Lalu, bagaimana orang tua buta itu bisa tahu ada senjata rahasia di balik pakaiannya? Dan itu dilakukan dalam keadaan si kakek sedang bertarung sengit dengan musuhnya.

"Apa yang kau pikirkan. Aku tahu kamu yang asli dan gadis cantik di dalam sana itu palsu."

Lagi-lagi wanita ini dibuat terkejut dengan pernyataan si kakek.

"Kek, apa maksudmu di dalam sana palsu dan aku asli?"

"Seseorang menyerupai dirimu. Lekas, sudah tidak ada waktu, pemuda itu dalam bahaya."

“Keparat!” Sekali bergerak, tangannya sudah menggenggam gagang pedang, lalu...

"Srekkk!"

Pedang yang tergulung layaknya ular melingkar terjulur kaku. Cahaya putih menyilaukan memancar dari badan pedang, dan seketika udara di tempat sekitar menjadi dingin. Damar Alitan bahkan sampai menggigil, untuk sesaat gerak silatnya kacau tak terarah.

"Bidadari Angin Timur tidak serendah itu, Pendekar Dua Satu Dua!"

Selarik sinar putih menyilaukan menghantam dinding cahaya. Kalau pukulan sakti tidak memberikan dampak apapun, lain halnya dengan pedang yang terbungkus sinar. Dinding cahaya bergetar hebat, lalu banyak letupan terjadi di sepanjang dinding hingga cahaya itu menghilang. Sekilas Wanita Bercadar melihat apa yang terjadi di dalam, membuang muka dan menyimpan kembali pedang yang tergulung ke balik pakaian, lalu melompat ke arah Luhcinta.

Kakek Segala Tahu sendiri yang sedari tadi berada di atas angin karena lawannya mudah dipecundangi dengan ilmu pukulannya sendiri, hawa dingin yang berasal dari kekuatan pedang suci secara tidak langsung semakin mempermudah penaklukan. Saat lawan kacau langkah silatnya, saat itu pula ia melepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi, tepat menghantam jantung Damar Alitan. Pemuda ini menjerit, tapi tubuhnya tidak terpental, bukan karena ia mampu menahan, melainkan salah satu tangannya digenggam erat Kakek Segala Tahu. Orang tua ini memutar tubuh lawan yang sedang berteriak kesakitan, lalu "krak", leher Damar Alitan patah. Tubuh itu ambruk bersama hilangnya suara pekik dari mulutnya.

Menyadari ancaman maut mengintai sahabat mudanya, Kakek Segala Tahu segera melompat ke arah Latampi.

Aji Damantra mendengus ketika beberapa kali pukulan yang mengandung tenaga dalam tinggi gagal mengenai sasaran. Hanya mengandalkan tangan kiri ia cukup kerepotan menghindari serangan gadis cantik yang serangannya mirip ribuan anak panah, menggempur dari berbagai sisi. Walau masih mampu mengimbangi, ia menyadari dalam waktu dekat pasti serangan menggila Luhcinta sampai di tubuhnya. Saat kerepotan itulah musuh baru datang. Aji Damantra menggembor marah, yang oleh Wanita Bercadar disambut gelak tawa.

"Keluarkan seluruh kemampuanmu, bergundal perut bumi. Atau hanya segini saja?"

"Keparat setan alas! Kau mati duluan!"

Dua larik sinar hitam keluar dari matanya. Wanita bercadar menggeser tubuh ke kiri, pukulan lewat setengah langkah di depannya. Hawa panas membakar kulit, tapi ia selamat karena berhasil memapasi serangan lawan dengan Pedang Biru Liang Akhirat.

Disamping rasa terkejutnya karena tidak menyangka lawan mampu menghindari serangan ganas yang berada dekat dengannya, ia juga tidak menyangka kalau wanita buruk rupa itu memiliki ilmu yang cukup mematikan. Dalam situasi seperti itu ia tidak menyadari kalau serangan dari Luhcinta berhasil menghantam tubuhnya tanpa mampu menangkis. Akibatnya, bukan hanya tangan yang tenggelam ke dalam batu, seluruh tubuh Aji Damantra masuk, menjadi satu kesatuan dengan batu. Saat itulah Wiro Sableng datang. Ia menjadi bingung sendiri karena musuh mampu ditaklukan lebih cepat dari dugaan.

"Huh dasar sableng, udah beres baru datang!"

Wiro menggaruk kepala menyengir. "Maaf kedatanganku terlambat. Tapi syukurlah kalian baik-baik saja."

Ia melirik ke arah Wanita Bercadar, yang dilirik melihat ke jurusan lain, sekali berkelebat wanita ini sudah berada di dekat Kakek Segala Tahu.

"Aneh sekali perempuan itu. Aku tidak mengenalnya, tapi bicaranya ketus seakan dia sudah kenal lama denganku. Tapi suara itu...? Ya aku ingat, itu suara yang tadi kudengar dari balik dinding cahaya. Mungkinkah dia yang menolongku? Tapi, bagaimana dia tahu tentang Bidadari Angin Timur?"

"Wiro...."

Wiro Sableng tidak bisa berpikir lama karena saat itu Luhcinta menegur dirinya.

Wiro Sableng tersenyum, menatap paras cantik sahabat lamanya.

"Luhcinta. Lama kita tidak bertemu. Apa kabarmu baik-baik saja?"

Luhcinta membalas senyuman si pemuda, mengangguk perlahan. "Aku baik, Wiro. Kau sendiri?"

"Seperti yang kau lihat," jawab Wiro sambil menggaruk kepalanya. "Aku senang akhirnya Tuhan mempertemukan kita. Ada banyak yang ingin aku bicarakan padamu, Luhcinta."

"Jika yang ingin kau bicarakan soal upacara pernikahan kita, aku sudah tahu, Wiro."

"Kau sudah tahu?" tanya Wiro memastikan.

"Seorang wanita cantik yang mengaku dewi selalu datang dalam mimpiku. Memintaku untuk mencari dirimu, melangsungkan upacara pernikahan agar Kabut Kematian yang disebar orang-orang sesat perut bumi hilang."

Wiro Sableng menarik napas lega. Ternyata Luhcinta sudah tahu semuanya. Ia tidak perlu repot-repot menyampaikan maksud dan tujuan.

"Mungkin yang kau temui dalam mimpimu itu Dewi Asih Gendramani."

"Siapa itu?"

“Dia yang menyelamatkan dirimu dari kematian saat masih bayi. Dia juga yang merawatmu, memberikan nama dan cinta kasih yang selalu kau pancarkan di setiap langkah hidupmu, Luhcinta. Dia juga yang menolong umat manusia dari bencana ini, memberiku Kitab Seribu Bintang.”

“Wahai… yang merawatku sejak bayi hingga sebesar ini—nenek Luhmasigi. Tapi walaupun aku tidak mengerti, aku paham arahnya. Karena pada dasarnya, setiap yang terjadi di dunia ini selalu ada campur tangan para dewa. Itu kan maksudmu, Wiro?”

Wiro tertawa. “Ya, begitulah kira-kira, Luhcinta.”

Kembali menggaruk kepalanya, murid Sinto Gendeng melirik ke arah Kakek Segala Tahu dan yang lainnya. “Kita ke sana,” ajaknya dengan tatapan ke wajah Luhcinta.

Untuk sesaat keduanya terlibat perang pandang. Bagi Wiro, sepasang mata itu begitu indah. Dengan wajah cantik dihias bunga tanjung di kening, sosok gadis tercantik di Latanahsilam tidak dinyana kini kembali dipertemukan.

Sedangkan di sisi lain, beradu pandang itu membuat hati dan jantung Luhcinta berdebar hebat. Ia merasakan gejolak rasa rindu yang menggebu. Ingin sekali rasanya ia menghambur, memeluk pemuda yang selama ini dirindukan. Satu-satunya lelaki yang dicintai.

Berpisah selama itu, ia berharap pertemuan terjadi ketika hanya ada dirinya dan Wiro saja. Lalu percakapan mengalir dengan kenangan-kenangan indah saat berada di Latanahsilam. Mengungkapkan rasa rindu lewat tatap mata yang berakhir dalam dekapan mesra.

Namun, segala keinginan hanya sebatas angan. Dan ia tak harus menyesali. Karena seperti katanya tadi, setiap kejadian yang dialami manusia atau apa pun di dunia ini tak lepas dari kekuasaan para dewa.

“Ayah baik-baik saja?” tanya Luhcinta ketika sampai di hadapan ayahnya. Lelaki ini tersenyum, seraya mengangguk perlahan.

“Berkat pertolongan Kakek Segala Tahu dan kekuasaan para dewa tentunya, ayah baik-baik saja.”

Luhcinta memeluk erat ayahnya. Bulir air mengalir.

“Latampi, kau juga wajib berterima kasih pada putrimu. Berkat bantuannya, menotok beberapa bagian di urat besar dadamu, racun ganas berhasil diperlambat masuk ke jantung.”

“Kau benar, Kek.”

Latampi membalas erat pelukan putrinya. “Kau datang di waktu yang tepat. Makasih banyak, Luhcinta.”

Latampi mengecup kening anaknya. Menatap kedua bola indah sang anak, ia teringat dengan upacara pernikahan. Dan itu adalah hari terakhir ia bisa bersama putrinya.

Tanpa mampu dicegah lagi, air mata mengalir.

“Kenapa ayah menangis?”

Wiro Sableng sendiri cukup terkejut melihat Latampi meneteskan air mata. Tapi sejauh itu ia menduga, mungkin karena rasa haru, meluapkan rasa rindu yang sudah membebani hati dan pikiran selama bertahun-tahun.

Latampi mengusap wajahnya, menggeleng. “Tidak kenapa-kenapa. Aku hanya tidak menyangka bakal bertemu kamu di sini, setelah sekian lama mencari. Kau ingat makhluk aneh tanah liat yang selalu mengikuti ke mana kau pergi, putriku? Sosok itu sangat kau benci karena hampir setiap saat menguntitimu.”

Luhcinta tersenyum kecil. Geli ada, mengingat masa itu. Tapi perih juga ada. Karena berulang kali ia menyumpah kesal.

“Waktu itu aku belum tahu siapa dirimu, Ayah.”

“Benar. Aku juga mengalami hal yang sama, tidak tahu siapa putriku. Tapi firasatku cukup kuat kalau kaulah putriku yang telah lama hilang. Hingga dewa mengizinkan kau kembali dalam pelukanku. Tapi hanya sesaat. Pada akhirnya kita dipisahkan lagi oleh kejadian mengerikan di kediaman Hantu Muka Dua.

Lalu, saat ini kita dipertemukan lagi, yang pada akhirnya...”

Latampi tidak bisa meneruskan kata-katanya. Ia kembali menangis, memeluk anaknya erat sekali seolah tak ingin perpisahan kembali terjadi atas keduanya.

Sampai kapan mereka akan mengalami nasib seperti itu? Dipertemukan dan dipisahkan berulang kali.

Mana kebahagiaan yang didambakan? Berkumpulnya ayah dan anak dalam sebuah keluarga kecil, hidup penuh ketenangan, menyaksikan terbitnya mentari di pagi hari dengan nyanyian burung-burung yang hinggap di ranting pohon.

Apakah semua itu hanya ada dalam angannya?

Hanya sebuah keinginan yang bahkan dewa sekalipun tak mampu mengabulkan?

Hati Latampi menjerit. Ingin sekali ia terbang ke atas langit, menemui para dewa yang mengatur kehidupan manusia, lalu mengajukan ketidaksukaan atas garis takdir dirinya.

Bagaimana mungkin ada dewa sekejam itu? Salah apa dia pada mereka?

Jika itu ujian seperti yang dikatakan kebanyakan orang, lalu apa yang nanti ia dapatkan?

Hampir saja Latampi gelap mata, mengingkari setiap kebaikan yang para dewa berikan untuknya.

Untunglah, sejauh itu ia hanya meluapkan kegundahan hati pada pikirannya sendiri.

Dalam kalut itu ia mampu meredam, membenamkan pikiran-pikiran tidak baik atas penciptanya, menghilangkan hasutan-hasutan busuk setan yang silih berganti keluar masuk hati.

“Pada saatnya kita akan selalu bersama, Ayah. Tidak satu kekuatan pun mampu memisahkan kita, bahkan Dewa Agung atas langit.”

Latampi tersenyum. Kembali ia mengecup kening anaknya. “Aku percaya dan selalu menantikan saat itu, putriku.”

Ia melirik ke arah Kakek Segala Tahu seraya berkata, “Syarat utama upacara terlaksana sudah kita punya, Kek.”

Kakek Segala Tahu kelontrekan kaleng rombengnya. Menatap ke langit lepas. Di atas sana, matahari mulai merangkak naik. “Sebentar lagi matahari sampai ke puncak tertingginya. Kita harus ke sana sekarang. Wiro, kau duluan.”

“Kek, untuk kali ini aku di belakang saja,” tegasnya. Tapi ketika perempuan bercadar merah berkelebat duluan, ia segera mengikuti. Tentu saja sikapnya ini membuat Kakek Segala Tahu, Luhcinta, dan Latampi saling melempar dengan pandangan heran.

“Apa yang terjadi dengan pemuda sableng itu?”

Luhcinta dan Latampi tersenyum.

“Mungkin Wiro ingin kenalan dengan sahabatku, Kek.”

“Oh iya ya, aku lupa. Dia selalu paling pertama kalau soal wanita, hehehe.”

Kakek Segala Tahu terkekeh.

“Luhcinta, kau jalan duluan. Biar tubuh rongsokan ini paling belakang.”

“Baik, Kek.”

Luhcinta berkelebat, diikuti ayahnya, dan kemudian Kakek Segala Tahu.

“Saudari bercadar, kau jangan terlalu cepat. Sahabat lain tertinggal jauh!”

Wiro Sableng yang mengekor wanita bercadar mencoba mengingatkan, karena lari perempuan itu layaknya setan di gelapnya malam.

“Bukannya itu bagus? Itu yang kau inginkan sejak tadi, kan? Terpisah dari rombongan? Agar kau bisa bicara banyak denganku? Kau pikir aku tidak tahu sejak tadi berulang kali kau melihat ke arahku?”

Terlihat jelas betapa besar gelombang kejut menerpa murid Sinto Gendeng. Laju lesatnya sampai tersendat. Beruntung kecepatan larinya kini sudah jauh berada di atas wanita bercadar, hingga dalam waktu singkat ia sudah berada di dekat si gadis.

“Saudari bercadar, kau jangan salah paham. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kau telah menolongku.”

“Siapa yang menolongmu?” tukas wanita bercadar dengan nada ketus.

“Eh, bukannya tadi itu kamu?”

Wiro menggaruk kepala, heran. Dalam lari secepat itu pun ia masih sempat menggaruk kepala.

“Aku atau bukan, setan atau jurig sekalipun tidak ada urusannya denganmu. Yang aku selamatkan dunia persilatan, yang aku tolong umat manusia. Bukan dirimu, Pemuda Sableng mata keranjang!”

Walaupun hatinya kesal karena dikatai mata keranjang, murid Sinto Gendeng tak bisa berbuat apa. Ia hanya tersenyum kecut.

“Apa pun alasanmu, mau mengakui atau tidak, tetap aku berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada kamu, Saudari Bercadar.”

“Terserah kamu, aku sudah tidak peduli. Yang jelas, keselamatan dunia persilatan ada padamu. Jangan kau berani mengacau.”

“Saudari, kata-katamu seolah aku melakukan itu dengan sengaja. Dengar, saudari, aku tidak seburuk seperti yang kau bayangkan.”

Lari wanita bercadar terhenti. Menatap sesaat wajah Wiro Sableng, yang ditatap menggaruk kepala. Ledakan tawa terdengar dari balik cadar.

Eh, apa yang terjadi dengan perempuan aneh ini? Apa dia kesurupan demit? batin Wiro.

“Kau bilang apa barusan?”

“Yang mana?”

“Katamu kau tidak melakukan itu dengan sengaja, benar begitu?”

“Memang begitu adanya.”

Lagi-lagi tawa meledak dari bibir manusia bercadar.

Setan alas! Wiro hanya bisa memaki dalam hati.

“Bagaimana mungkin ada dua manusia berduaan di atas ranjang yang indah dan salah satunya telanjang tanpa sehelai benang menutupi hanya sebuah kebetulan? Kau bilang tidak sengaja tapi bajumu berserakan di lantai? Mungkin beberapa saat kemudian di dalam ruangan itu ada dua manusia telanjang, siapa bisa menduga? Itu yang kamu bilang tidak sengaja?”

Wiro terdiam. Menelan ludah rasanya lebih sulit dari godokan daun sambiloto yang pahitnya terasa mencekik.

“Kenapa diam? Tadi kau mengejar aku untuk membicarakan ini, sekarang kenapa kau membisu? Apa setan gagu sudah merasukimu?”

“Saudari, kau sudah keterlaluan. Aku melakukan itu bukan karena keinginan sendiri, tapi karena dorongan untuk menyelamatkan dunia. Apa yang dikatakannya sangat masuk akal, karena itulah aku percaya penuh atas apa yang dikatakan.”

“Kau percaya pada ceritanya bukan karena sandiwara dia hebat, tapi karena kau tolol!”

Kedua mata murid Sinto Gendeng membelalak lebar.

“Kenapa? Kamu tidak terima aku katakan tolol? Sebagai seorang pendekar besar harusnya menyadari, setiap langkah dan perbuatan selalu berdampak pada dunia persilatan. Sudah berapa kali kau hampir mati akibat ketololanmu. Kau lupa kejadian di Puri Pelebur Kutuk? Setiap saat nyawamu terancam karena kebodohanmu sendiri? Dan karena ulahmu itu, dunia persilatan hampir mengalami malapetaka yang sangat besar.”

“Saudari, kau tahu banyak tentang aku. Siapa sebenarnya dirimu?”

Seakan baru menyadari kalau ia terlalu jauh mengungkit masa lalu, wanita bercadar ini mengalihkan pandangan ke jurusan lain.

“Sudah saatnya kita lanjutkan perjalanan.” Ia melirik ke arah belakang. Di sana, Kakek Segala Tahu, Luhcinta, dan Latampi baru datang.

“Sahabat Wiro, kau jangan terlalu cepat. Aku masih belum sembuh sempurna,” pinta Latampi ketika sampai di hadapan Wiro dan wanita bercadar. Sementara Kakek Segala Tahu merontengkan kaleng rombengnya.

“Agar Latampi tidak tertinggal, kau duluan.”

Latampi mengangguk sebagai sahutan Kakek Segala Tahu. Berlari lebih dulu, diikuti Luhcinta dan kemudian wanita bercadar, lalu Wiro Sableng, dan terakhir Kakek Segala Tahu.

Wiro Sableng memperlambat larinya, akibatnya tubuhnya tertabrak Kakek Segala Tahu.

“Bocah geblek! Tadi kau lari kayak dikejar setan, sekarang kayak kambing mau beranak.”

“Maaf, Kek. Aku hanya mau menanyakan sesuatu sama kamu.”

“Hmmm…”

“Kau mengenal wanita itu?”

“Wanita yang mana? Nanya yang jelas.”

“Yang bercadar merah.”

“Hah, emang ada wanita bercadar merah di sini? Kenapa aku tidak tahu ya? Oh, aku lupa, mataku buta, hihihihi... Anak Sableng, mungkin kau nanya orang yang salah.”

“Jangan main-main, Kek. Aku rasa-rasanya belum pernah bertemu dia. Bahkan selama malang melintang di dunia persilatan belum pernah mendengar ada pendekar seperti itu. Tapi anehnya aku seperti merasa dekat dengan dia. Bukan itu saja, dia juga tahu banyak tentang aku, Kek.”

“Apa anehnya orang tahu banyak tentang kamu, Wiro. Apa kau lupa musuh-musuhmu selama ini yang tidak kau kenal tahu sekali dirimu?”

“Memang benar, Kek. Lalu soal aku yang merasa dekat dengannya?”

“Itu juga tidak aneh. Bukankah kau selalu dekat dengan wanita? Bahkan dalam perjalanan ke sini, Luhcinta sedikit cerita kalau di Latanahsilam kau diperebutkan seluruh perempuan di sana. Edan! Apa tidak ada lelaki di negeri itu sampai memperebutkan dirimu, hehehe…”

Wiro menggaruk kepalanya habis-habisan. Sepertinya soal perempuan itu ia harus cari tahu sendiri. Yang membuat Wiro penasaran ialah ilmu larinya. Selama ini tidak pernah ia mengenal tokoh sakti yang memiliki ilmu lari secepat Bidadari Angin Timur. Karena itulah ia penasaran sekali. Mungkinkah perempuan bercadar itu Bidadari Angin Timur? Gadis cantik yang selama ini dicari-cari keberadaannya? Tapi…

Wiro teringat dengan wajah mengerikan di balik cadar itu. Menghitam, penuh luka, dan ada lelehan nanah yang cukup membuat tubuh bergidik ngeri.

“Ada lagi yang ingin kau tanyakan, pemuda sableng?”

“Menurutmu, apakah wanita bercadar itu Bidadari Angin Timur, Kek?”

Kakek Segala Tahu terkekeh lalu merontengkan kaleng rombengnya.

“Yang kutahu, Bidadari Angin Timur mengenakan pakaian biru tipis, bau harum semerbak. Kali ini, walaupun baunya harum, tapi berbeda. Dan dia tidak pernah pakai cadar, juga tidak pakai senjata pedang di punggung.”

“Iya kau benar kek,” sahut Wiro pasrah.

“Kau yang kenal dekat dengan gadis berambut pirang itu. Dan kau juga tidak buta. Apa kau melihat ada banyak kesamaan dari wanita bercadar itu? Dari pakaian, rambut, bau harum, dan kebiasaan?”

Wiro mengamati. Dan seakan baru tersadar kalau wanita bercadar itu memiliki rambut hitam pekat yang terlihat ujungnya kala berlari. Ia menepuk kening.

Tolol! Kenapa aku tidak sejeli itu? hardiknya dalam hati. Lalu pada Kakek Segala Tahu ia berkata, “Kau benar, Kek, tidak ada satu pun yang mirip dengan Bidadari Angin Timur. Jelas perempuan bercadar itu bukan Bidadari Angin Timur.”

Kakek Segala Tahu kembali terkekeh. “Jika kau sudah memastikan, cepatlah tambah larimu. Kita sudah tertinggal jauh dari rombongan.”

Wiro mengangguk, siap menambah kecepatan lari, tapi di belakang, Kakek Segala Tahu mencekal bajunya.

“Juga jangan terlalu cepat, pemuda tolol! Kau mau meninggalkan tubuh rongsokan ini?”

Wiro Sableng tertawa lalu menyambar tubuh reot itu, memanggulnya hingga si kakek terkekeh sambil merontengkan kaleng rombeng tiada henti.

*

Tepat ketika matahari sampai di puncak tertingginya, mereka sampai di Tanah Perjanjian. Hempasan angin yang mendorong jauh Kabut Buta yang menutupi tempat sekitar menjadikan semua orang membeliak tak percaya. Menatap penuh kekaguman pada pendekar dua satu dua. Dan mereka semua baru menyadari kalau di tempat mereka berada nyatanya sudah dipenuhi ribuan orang. Lapangan seluas mata memandang yang terlihat kepala manusia, para prajurit kerajaan, dan tokoh-tokoh sakti golongan putih. Rombongan dari seberang yang dipimpin Senopati Jayarendra telah berada di sana. Juga rombongan-rombongan lain dari kerajaan di Pulau Jawa bagian timur dan bagian tengah. Bahkan dari luar Pulau Jawa, semisal Pulau Dewata, Tanah Bugis, Tenggarong, dan pulau-pulau lainnya. Perbedaan pulau dan kerajaan tak menyurutkan api persatuan. Mereka bersatu padu membentuk barisan guna meratakan musuh yang sama: Kerajaan Perut Bumi.

Karena Kabut Buta telah hilang, terdorong jauh, maka terlihatlah wajah-wajah yang sebelumnya hanya samar. Yang paling mengejutkan bagi tokoh-tokoh sakti, terutama para dedengkot golongan putih, adalah wajah Kakek Segala Tahu. Bahkan Sinto Gendeng sampai membeliak tak percaya. Dewa Tuak tersedak tuak kayangan. Sukat Tandika geleng-geleng kepala. Apa yang mereka lihat dari Kakek Segala Tahu?

"Ilmu setan apa yang tengah kau mainkan, orang tua buta?" hardik Sinto Gendeng. "Kenapa banyak sekali dirimu di sana? Satu, dua, tiga..." Nenek bau pesing ini menghitung jumlah Kakek Segala Tahu.

"Semuanya ada tujuh, Kek," memberitahu Naga Kuning.

"Beneran tujuh?" timpal Setan Ngompol. "Kau salah menghitung kali. Coba ulang."

"Kek, kamu pikir mataku jereng sampai salah ngitung segala? Jelas-jelas ada tujuh. Hitung aja sendiri."

"Coba kau datangi, barangkali ada yang lagi sembunyi di sebelah tengah barisan."

"Dasar kakek bau pesing. Cukup matamu saja yang jereng, otakmu jangan. Perlu apa kakek buta itu sembunyi segala. Dikira lagi main petak umpet?"

"Ya siapa tahu dari sekian ribu orang di sini ada satu kekasih masa lalunya. Dia merasa malu, hihihi..."

Naga Kuning ikutan tertawa, beberapa orang yang tidak mendengar percakapan mereka menatap heran.

"Mana yang asli?" Sinto Gendeng yang masih penasaran kembali mengajukan pertanyaan.

"Yang baru datang ini yang asli, Sinto. Apa kau sudah tidak mengenaliku?" Kakek Segala Tahu yang berdiri di samping Wiro Sableng kelontrengkan kaleng rombengnya. "Kau kenal suara ini, kan?"

Sinto Gendeng mengangguk cepat. Tapi sejauh sepuluh tombak di barisan sana, Kakek Segala Tahu yang lainnya teriak, "Jangan kau percaya dia, Sinto! Aku yang asli! Aku juga punya kaleng rombeng!" Kakek ini pun kelontrengkan kalengnya. Suara berdentring terdengar nyaring. "Jika kamu masih tidak percaya, apa kamu juga lupa kalau di Telaga Kediaman Kiai Gede Tapa Pemangkas kau pernah mengencingi... hihihi!" Kakek Segala Tahu terkekeh, yang kemudian diikuti semua orang.

Merah padam muka Sinto Gendeng, tapi ia malah ikutan tertawa sambil menunjuk kakek di baris tengah. "Hihihi... dia benar, aku pernah ngencingi kediaman guruku sendiri. Berarti dia yang asli!"

Jauh di sebelahnya, Kakek Segala Tahu ketiga tidak mau kalah. Ia juga teriak, "Jangan percaya, Sinto! Dua orang kakek itu palsu! Aku yang asli! Apa kamu lupa, kau pernah membangunkan si Raja Penidur dengan anumu! Atas ide muridmu! Kau masih ingat itu, kan, Sinto?"

Semua orang tertawa. Kali ini Sinto Gendeng tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

"Setan alas! Jadi yang asli yang mana sebenarnya?"

"Aku yang asli, Sinto!" tujuh Kakek Segala Tahu mengacung dan menjawab serempak.

"Kurang ajar! Kalian mau aku gebuk satu per satu?!"

Sinto Gendeng masih mengomel, sementara sebagian orang tertawa. Naga Kuning bahkan sampai mengeluarkan air mata.

"Orang tua buta, cepat jelaskan, pertunjukan apa ini sebenarnya? Kau seperti punya kembaran tujuh! Aku tahu banyak ilmu sihir dan mampu merubah wujud jadi sepuluh, seratus, bahkan seribu. Tapi yang kulihat dari dirimu berbeda. Kau seperti punya pemikiran lain. Diri yang lain!"

Kakek Segala Tahu terkekeh. "Kau benar, Sinto. Yang kau temui selama ini bukan diriku yang sebenarnya. Dan tujuh salinanku baru aku lepas saat Kerajaan Perut Bumi muncul demi mengemban tugas penting."

"Aku sudah menangkap dari ucapanmu, Kakek Buta," menyahut Dewa Tuak. "Jika kau bilang ada tujuh salinan, berarti ada satu salinan yang asli. Dan mungkin satu itu tidak di sini, benar begitu orang tua?"

"Hehehe... kau benar, Dewa Tuak."

"Dan tugas penting yang kau emban apalagi kalau bukan mengumpulkan semua orang dari berbagai kerajaan di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa."

"Tanpa beliau, pertemuan tidak akan terjadi," menyahut Wiro Sableng.

"Juga beberapa kerajaan dia yang ngawal, hingga mereka selamat sampai sini.” Tua gila ikut menyahuti. “Dunia persilatan berutang besar sama kakek bermata buta ini."

"Ah, kalian terlalu berlebihan. Aku hanya menjalankan apa yang dititahkan para dewa."

"Kek, mau mengakui atau tidak, kita semua tahu, tanpa bantuanmu dan ilmu aneh yang kau miliki, kita tidak bisa melakukan apa-apa."

Semua orang mengangguk setuju atas apa yang barusan Wiro katakan. Sinto Gendeng menatap dirinya dengan sorot mata menyelidik.

"Anak Setan, aku tidak melihat istrimu? Kau tinggalkan di mana? Harusnya hari ini dia melahirkan."

Untuk sesaat Wiro terdiam. Tidak mau membuat gurunya curiga dan yang lainnya berpikir aneh-aneh, ia cepat menjawab, "Dia berada di tempat yang aman, Eyang. Hari ini memang hari kelahiran anakku. Karena itu sengaja aku menitipkan istriku ke seseorang."

"Hmmm... begitu." Sinto Gendeng manggut-manggut. "Kali ini kau cerdik, anak setan!" Sinto Gendeng melirik ke arah Kakek Segala Tahu. "Matahari sudah berada di atas kepala. Apa lagi yang kau tunggu, orang tua buta?"

Kakek Segala Tahu menengadah. Cahaya matahari menyapu habis wajah keriputnya. Ia mengajak Wiro dan Luhcinta ke tengah lapang. Disaksikan puluhan ribu pasang mata, Kakek Segala Tahu memulai upacara pemusnahan Kabut Buta.

Bab 20

Tanah Perjanjian

“Tanah Perjanjian, menjadi tempat hukuman abadi bagi salah satu dewa terkutuk. Di bawah tanah itulah pimpinan tertinggi Kerajaan Perut Bumi mendapat ganjaran dari perbuatannya—dari kekacauan yang pernah dilakukan di Kerajaan Para Dewa. Tapi sebelum masa hukuman selesai, dia justru membuat keonaran baru.

“Di bawah tanah itu juga awal mula dibangunnya Kerajaan Perut Bumi. Tempat yang berada di Ujung Kulon, Pulau Jawa, menjadi titik utama Kerajaan Dewa Sesat. Dan di tanah itu pula kalian, para manusia, akan disatukan. Pertikaian yang sering terjadi, memperebutkan harta dan wilayah kekuasaan, akan sirna. Karena setiap diri dari kalian akan menyadari bahwa musuh terbesar umat manusia adalah orang-orang Perut Bumi. Sampai di sini, ada yang ingin kau tanyakan, orang tua bercaping bambu?”

"Mohon maafmu, Dewi, orang tua yang bodoh ini bukan bermaksud lancang mencoba menyangkal atau meremehkan setiap kalimat yang kau titahkan. Tapi jika boleh mengemukakan pendapat, kenapa tidak di tengah Pulau Jawa saja? Kenapa harus jauh-jauh ke Ujung Kulon? Bukankah, seperti yang telah kau katakan tadi, ada banyak pintu rahasia, yakni seribu pintu yang tersebar di berbagai tempat di Pulau Jawa, untuk bisa masuk ke dalam Kerajaan Perut Bumi?"

"Kau benar, orang tua. Seperti yang kujelaskan di awal, ada seribu pintu yang tersebar di seluruh Pulau Jawa. Tapi hanya di Ujung Kulon lah pintu utama Kerajaan Perut Bumi. Walau bukan itu alasan mengapa para dewa memilih Ujung Kulon, Pulau Jawa, sebagai satu-satunya tempat untuk mengadakan upacara pemusnahan kabut. Pada saatnya kau akan tahu mengapa kami meminta kalian semua melakukan perjalanan jauh ke Tanah Perjanjian. Untuk saat ini aku belum bisa memberi tahu kepadamu, orang tua bercaping."

Kakek Segala Tahu terdiam.

"Kau kecewa, orang tua bercaping?"

Orang tua ini cepat menggeleng. "Sama sekali tidak, Dewi."

"Kau siap menjalankan tugas besar ini?"

"Saya... saya siap, Dewi."

"Baik. Sudah saatnya kau gunakan ilmu Seribu Raga Seribu Sukma. Hanya kaulah satu-satunya orang yang bisa kami andalkan untuk bisa menyatukan seluruh kerajaan di Nusantara. Orang tua bercaping, jika tidak ada lagi yang ingin kau tanyakan, kau boleh terjaga dari tidurmu."

Kalimat yang paling Kakek Segala Tahu ingat ketika bertemu dengan suara tanpa wujud dalam mimpinya ialah: "Pada saatnya kau akan tahu mengapa kami meminta kalian melakukan perjalanan jauh ke Tanah Perjanjian."

Apa yang ada di tanah ini, selain dataran luas, seluas mata memandang, dan tebing batu yang menjulang tinggi di belakangnya?

Sebelum Kabut Buta terdorong jauh, yang semua orang bayangkan ketika sampai di Tanah Perjanjian ialah hanya tanah lapang yang telah ditempati ribuan manusia. Akan tetapi, kala Kabut Buta terdorong jauh, semua orang tercengang tak percaya. Nyatanya, pasukan yang berkumpul jauh dari apa yang pernah mereka bayangkan. Jika seseorang berdiri di sisi lain dan melihat ke ujung sebelahnya, maka yang mereka saksikan adalah barisan pasukan kerajaan sebesar jari kelingking. Mereka semua tidak mengira kalau ada pasukan sebanyak ini.

"Kau mengenal gadis cantik itu?" Pandansuri, dari kelompok seberang yang berada di bagian tengah barisan—satu garis lurus dengan tebing batu yang menjulang tinggi di kejauhan, juga terlampau jauh dari rombongan Sinto Gendeng dan Wiro Sableng—mengajukan pertanyaan. Pandang matanya tiada henti meneliti sosok gadis yang sedang berjalan beriringan dengan Wiro Sableng menuju tengah lapang. Dari jarak sejauh itu sebenarnya sulit bagi siapa pun, termasuk dirinya, untuk melihat wajah seseorang, tapi ia meyakini kalau gadis berpakaian biru muda itu memiliki paras cantik nan rupawan. Terlebih ketika kulit putih wajah dan kedua lengannya seakan bersinar kala cahaya mentari menerpa.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau gadis itu memiliki wajah cantik?" balik bertanya Anggini yang berada di sebelahnya. Seperti saudari seperguruannya, sorot mata gadis ini pun tak mau lepas dari yang terjadi di tengah lapang.

"Potongan dan bentuk tubuh yang indah, tinggi semampai, cara berjalan yang anggun, juga kulit putih mulus—semua itu sudah lebih dari cukup untuk siapa pun bisa menilai secantik apa wajahnya." Ada nada kecemburuan dari suara Pandansuri. Sekilas ia melirik ke arah Anggini. "Kau belum menjawab pertanyaanku tadi, Anggini."

Tanpa mengalihkan pandangan, gadis ini menggeleng perlahan. "Aku tidak tahu, bahkan melihatnya saja baru sekarang. Tapi menurut para sahabat yang dulu tersesat bersama Wiro, ada banyak gadis cantik di Negeri Latanahsilam. Mungkin dia salah satunya."

Pandansuri memandang sekeliling. Ke sisi kiri, di mana rombongan Sinto Gendeng berada, lalu ke sisi kanan. Jauh di ujung sana, rombongan pasukan baru datang.

"Aku pikir kita datang paling terlambat. Nyatanya, masih ada saja yang baru datang."

Anggini melirik ke arah kanan, ke mana saudari seperguruannya melihat.

"Anggini, aku tidak melihat sahabat berambut pirang yang sering kau ceritakan."

"Bidadari Angin Timur?"

"Ya, itu dia."

Anggini memandang sekeliling. Sedikit tersenyum ia menjawab, "Dalam lautan manusia seperti ini, aneh rasanya kita bisa mengetahui siapa saja yang ada di sini. Aku yakin sahabatku hadir bersama kita. Hanya saja, dia berada di baris mana, kita tidak mungkin tahu."

Pandansuri mengangguk setuju.

"Orang tua, apa yang tengah mereka lakukan di tengah lapang sana?" Senopati Jayarendra, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya mengajukan pertanyaan.

Anggini, Pandansuri, Mahesa Kelud—sama penasarannya, hingga ketiganya menunggu dengan sabar jawaban orang tua buta berjubah biru, tanpa lengan, tanpa kaki.

"Aku sendiri tidak tahu. Tapi menurut orang tua sakti itu, di tempat inilah serangkaian upacara akan dilakukan. Seperti yang kau katakan tadi, Kabut Buta terdorong jauh, tapi tidak hilang. Mungkin upacara ini ada kaitannya dengan itu."

"Menghilangkan kabut?" tanya Jayarendra memastikan.

"Kurasa begitu," jawab Nyanyuk Amber singkat.

Senopati Jayarendra mengangguk. "Lalu selanjutnya? Setelah kabut hilang, apa yang kita lakukan? Di tempat ini hanya ada lapangan luas dan tebing batu. Mana orang-orang Perut Bumi? Musuh yang kita cari?"

Nyanyuk Amber tersenyum. "Tugas kita hanya menepati janji untuk datang ke Tanah Perjanjian ini. Selanjutnya kita serahkan kepada mereka semua. Kita doakan saja semoga upacara pemusnahan kabut berjalan sempurna."

Rombongan yang baru datang, yang sempat menjadi ejekan Pandansuri, adalah serombongan dari Kesultanan Cirebon. Mereka datang terlambat karena memilih jalan memutar dari jalan yang ditempuh para rombongan lain. Ini dilakukan atas perintah pimpinan yang mendapat saran dari Tubagus Kesumaputra, kepala pasukan Kesultanan Cirebon alias Jatilandak. Dan berkatnya, ia berhasil membawa pasukan tanpa banyak korban jiwa. Berbanding terbalik dari rombongan lain yang banyak memakan korban, bahkan ada yang sampai seperempat pasukan gugur sebelum mereka sampai di Tanah Perjanjian.

Jatilandak alias Tubagus Kesumaputra terkejut ketika tidak jauh dari rombongannya ia melihat dua orang yang sangat dikenal sedang memperhatikan dirinya.

"Wahai... sepertinya aku mengenal dirimu, manusia berkulit kuning. Tapi ada yang aneh. Kau banyak berubah. Agaknya Tanah Jawa membawa berkah bagimu."

Jatilandak tersenyum. Sekali melompat dari kuda yang ditungganginya, ia telah sampai di hadapan dua orang yang berasal dari negeri yang sama dengan dirinya.

"Sahabat cantik, Luhjelita, banyak orang mengatakan hal yang sama terhadap perubahan diriku. Padahal aku masih seperti yang dulu, manusia buruk rupa penuh duri hingga dunia persilatan Latanahsilam menjulukiku Jatilandak."

Gadis cantik yang memang Luhjelita adanya tertawa.

"Ah, selain penampilanmu berubah, cara bicaramu juga jauh berbeda, Jatilandak. Benar dugaanku, Tanah Jawa membawa banyak keberkahan bagimu."

Jatilandak terdiam hingga membuat Luhjelita merasa tidak enak. Mungkinkah pemuda yang dulu buruk rupa ini merasa tersinggung? Ia melirik ke lelaki tinggi gagah di sampingnya sesaat, lalu kembali melihat ke arah Jatilandak.

"Wahai... kamu jangan salah menduga, Jatilandak. Aku turut bahagia melihat perubahan atas dirimu."

Jatilandak tersenyum.

"Kau tidak perlu khawatir, sahabat cantik. Aku tidak merasa tersinggung sedikit pun. Justru aku bahagia, akhirnya Gusti Allah kembali mempertemukan kita."

“Gusti Allah?” Lagi-lagi Luhjelita melirik ke sisi kirinya. Yang dilirik berdehem.

"Gusti Allah tuhannya saudara angkatku, Luhjelita."

"Aku tahu. Yang aku tanyakan dan cukup membingungkan, apakah sahabat kita yang satu ini sudah ikut-ikutan seperti mereka? Orang-orang dari Tanah Jawa? Menyembah Gusti Allah?"

"Memang apa salahnya mengikuti apa yang mereka sembah, Luhjelita?"

Luhjelita hanya mengangkat bahu.

"Kau sendiri beberapa kali pernah menyebut nama itu. Apa kau lupa, saat bertarung melawan salah satu pimpinan tertinggi dari Perut Bumi, kau hampir celaka. Lalu tiba-tiba kau memanggil nama itu. Menyebut Gusti Allah."

Luhjelita terkikik.

"Mungkin hanya kebetulan."

"Sahabat gagah," kata Jatilandak kemudian pada sosok tinggi besar di sebelah Luhjelita setelah beberapa saat hanya terdiam, "apa kau sudah bertemu saudara angkatmu? Si bocah nakal Naga Kuning, Kakek Bau Pesing Setan Ngompol, dan Wiro Sableng?"

Lelaki tinggi besar yang bukan lain Lakasipo menggeleng.

"Hingga di Tanah Perjanjian ini aku belum bertemu mereka. Maksudnya, bertegur sapa. Berharap ada kesempatan untuk bisa memeluk ketiga saudari angkatku itu sebelum perang besar terjadi."

Jatilandak melihat ke arah tengah lapang, sosok tiga manusia yang terlihat kecil karena saking jauhnya — itulah saudara angkat yang dimaksud. Ia paham, dalam situasi seperti ini tidak mungkin bagi Lakasipo untuk berkelebat ke sana. Atau ke ujung satunya, di mana Naga Kuning dan Kakek Bau Pesing berada.

"Jatilandak," Luhjelita melirik terlebih dahulu ke pasukan yang datang bersama Jatilandak barusan. Hampir seluruh mata rombongan itu memandang ke arahnya. Entah mengagumi kecantikan dirinya atau karena hal lain. Merasa aneh karena ia kenal dekat dengan kepala pasukan kesultanan. “Selain keberuntungan berupa hilangnya duri-duri di tubuhmu, sepertinya kamu juga menjadi orang yang sangat penting di Tanah Jawa ini."

"Melihat dari pakaian yang kau kenakan, pangkatmu cukup tinggi dalam sebuah pasukan," Lakasipo menyambung ucapan Luhjelita.

Jatilandak tersenyum.

"Pasukan itu dari Kesultanan Cirebon. Kebetulan dulu aku pernah menolong salah satu rombongan dari kesultanan itu dan mendapat tawaran baik."

"Hmmm, begitu. Cerita hidup yang indah."

"Ah, tidak juga." Hampir saja Jatilandak keceplosan bicara soal keburukan hidup tentang percintaannya di Tanah Jawa ini. Beruntung ia menyadari terlebih dahulu sebelum kisah memalukan sekaligus memilukan meluncur tak terkendali dari bibirnya.

"Wahai... aku melihat ada raut kepedihan di wajahmu. Apa yang terjadi denganmu, Jatilandak? Kau mengalami banyak masalah?"

Jatilandak cepat menggeleng. Sambil mengulum senyum, ia berusaha menutupi perasaan tidak nyaman yang mulai merasuki hati.

Tidak jauh dari rombongan mereka, di sebelah kiri, terjadi keributan. Lebih tepatnya pertikaian pendapat. Jatilandak, Luhjelita, dan Lakasipo bahkan sampai melirik ke samping.

"Kita sudah dari kemarin di sini. Sampai saat ini kita belum melihat adanya tanda-tanda Kerajaan Perut Bumi. Bahkan satu potong bergundal jahanam pun tidak terlihat. Jangan-jangan kita berada di tempat yang salah. Lalu apa yang mereka lakukan di tengah lapangan sana?"

Pemuda berusia 28 tahun ini menatap dalam-dalam lelaki berjanggut lebat yang menjadi lawan bicaranya. Dari pakaian yang dikenakan, semua orang yang melihat akan langsung mengetahui kalau pemuda ini tentulah seorang pangeran. Dan memang dugaan itu benar. Pangeran Aryo Boyo, nama pemuda ini, salah satu putra kerajaan di Magelang dari seorang selir.

"Kau kenal pemuda itu?" tanya Luhjelita pada Jatilandak, yang kemudian langsung dijawab dengan gelengan kepala.

"Cukup gagah, tapi sayangnya dia bodoh."

Lelaki bercambang bawuk yang sejak tadi melihat ke arah lapang melirik sesaat.

"Aku tahu kau sudah tidak sabar ingin segera membalaskan sakit hatimu pada para bergundal Perut Bumi itu, Pangeran. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu."

"Persetan dengan orang-orang dunia persilatan. Mereka seakan merasa paling hebat dari manusia lain. Mengambil keputusan hanya berdasarkan kelompok mereka saja. Bahkan pihak kerajaan yang sangat berwenang tidak pernah dilibatkan. Apa yang mereka lakukan sekarang di tempat celaka ini pun, kita orang-orang kerajaan tidak diberi tahu. Keparat! Kalau bukan karena dendam kesumat, peduli setan! Sampai kiamat aku tidak mau ikut-ikutan menjadi orang-orang tolol mengadakan perjalanan jauh ke tempat ini."

Lelaki ini tidak menyahuti, hanya menarik napas berat dan panjang. Walaupun sang pangeran tampak congkak dan urakan, tapi ia tidak bisa menyalahkan apa yang diucapkannya. Semua yang dikatakan itu benar. Orang-orang dunia persilatan menurutnya terlalu memandang remeh para kerajaan di seluruh Nusantara. Sampai saat ini mereka tidak diberi tahu, upacara macam apa yang hendak dilakukan. Juga soal Kerajaan Perut Bumi yang mengancam kehidupan, mereka tak pernah tahu di mana beradanya.

"Kalau sampai perjalananku hanya membawa kesia-siaan, lihat saja, tua bangka buta bercaping itu harus menerima akibatnya. Manusia buruk itu bakal menjadi tempat pelampiasan dendam kesumatku. Bangsat!"

Ia memejamkan mata. Teringat kejadian beberapa bulan lalu, bagaimana ibundanya mengalami kematian yang sangat mengerikan. Diperkosa bergiliran oleh manusia-manusia bertupung, lalu dibunuh secara keji. Dan mayatnya dikirim ke istana kerajaan dalam keadaan tubuh penuh cupangan. Benar-benar terkutuk! Kalau bukan karena larangan keras ayahandanya, tentu saat itu juga ia sudah melesat pergi mengejar para bajingan itu.

"Ibunda, Dinda Nawangsari kekasihku, bersabarlah. Pengadilan atas kebejatan mereka akan tiba waktunya. Para jahanam itu harus menerima ganjaran atas apa yang sudah mereka perbuat. Kerajaan Perut Bumi akan aku ratakan dengan tanganku sendiri!"

Ia teringat dengan senyum manis Nawangsari, gadis cantik yang sangat dicintai.

"Walaupun kecil dan penuh kemustahilan, sampai saat ini aku berharap kau masih hidup, Dinda Nawangsari."

Tidak jauh di sisi kiri rombongan Anggini, tepatnya sepuluh tombak dari rombongannya, seorang perempuan muda mengenakan pakaian hijau tipis berbahan sutra. Kepala perempuan ini dihias dengan mahkota yang terbuat dari perak. Sejak pertama kedatangannya bersama empat teman lainnya, ia cukup mendapat perhatian. Terlebih orang yang berada paling dekat. Bukan tentang pakaian kain sutra halus yang dikenakan, juga bukan tentang wajah cantiknya yang tertutupi cadar hijau menerawang. Tapi tentang seberapa tipis pakaian yang dikenakan. Beberapa pasang mata sampai melotot seakan mau melompat keluar dari rongga.

Dan perlakuan itu semakin menjadi-jadi ketika Kabut Buta menghilang dari pandangan. Hampir semua orang, terlebih para lelaki baik dari kalangan para prajurit sampai pemilik jabatan tertinggi kerajaan, bola-bola mata mereka nyaris terlepas sempurna. Suatu pemandangan indah yang sulit untuk dibiarkan begitu saja. Tubuh elok dengan tinggi semampai itu boleh dikatakan telanjang, mengingat celana bagian dalam saja perempuan ini tidak mengenakan.

"Gila," maki Anggini yang tidak sengaja melihat penampilan seronok perempuan bercadar hijau menerawang. "Aku sering menemukan banyak perempuan tolol dengan murahnya mereka mengobral tubuh, cara berpakaian seronok, tapi sejauh yang kutahu tidak seberani perempuan bercadar itu."

Pandansuri yang mendengar umpatan kesal sahabatnya melongok, mengikuti sorot pandang Anggini. Dan air muka terkejut pun tampak jelas di sana.

"Bahkan dari jarak sejauh ini kita bisa lihat bagaimana tubuh mulus indah perempuan itu. Ya Tuhan... apa dunia sudah gila. Aku salah lihat atau bagaimana, Anggini? Dia tidak pakai celana dalam."

"Justru itulah mengapa tadi aku katakan dia terlalu berani."

Seketika orang yang sedang jadi bahan omongan menengok ke arahnya dengan melayangkan senyuman manis. Anggini dan Pandansuri menjadi terkesiap. Buru-buru keduanya memalingkan muka ke jurusan lain.

"Apa dia mendengar pembicaraan kita?" tanya Pandansuri yang menjadi tidak enak hati.

"Mungkin. Jika benar, berarti dia bukan perempuan sembarangan." Sekilas Anggini kembali melihat perempuan tadi, masih dengan senyumnya lalu pandangan wanita bercadar di sana beralih ke tengah lapang. "Tapi siapa pun dia, dan jika memiliki ilmu setinggi itu, kita patut bersyukur. Paling tidak kita berada di pihak yang sama."

"Kau benar," sahut Pandansuri cepat.

Siapa perempuan cantik yang mengenakan pakaian tapi telanjang? Dia bukan lain Kunti Ambiri. Di masa lalu ia dikenal sebagai Dewi Ular. Dan karena kejahatannya ia harus tewas dengan cara yang mengerikan, dikeroyok beberapa tokoh sakti, salah satunya Pendekar 212.

Dalam kekacauan Kerajaan Mataram Kuno, ia dibangkitkan kembali oleh Sinuhun Merah, Penghisap Arwah. Namun berbeda dengan Pangeran Matahari yang tetap menjadi makhluk terkutuk, Kunti Ambiri mengalami perubahan sikap dan perilaku yang bertolak belakang. Dari yang sebelumnya jahat terkutuk, berubah menjadi baik. Menurut patung Nyi Loro Jonggrang, Kunti Ambiri mendapat berkah dari air Telaga Banyu Raden. Telaga ajaib itu mampu mengubah sifat seseorang, menjernihkan hati dan pikiran. Tentu saja semua itu diawali dari rasa sakit hati Dewi Ular sendiri karena merasa dihinakan dan direndahkan oleh Sinuhun Muda, menganggap kalau Dewi Ular tidak mempunyai kemampuan apa-apa.

Dikisahkan, setelah berakhirnya bencana yang melanda Mataram Kuno yang diciptakan Sinuhun, pemilik nyawa kembar yang dibantu Dirga Purana. Wiro Sableng, ketika berhasil menyembuhkan gurunya dari penganut ilmu pencuci otak Sinuhun, keduanya berpamitan ke Raja Mataram Kuno, Raka Kayuwangi Dyah Lokapala. Murid dan guru ini kembali ke Tanah Jawa di masanya dengan mengendarai kuda lumping penembus waktu. Tentu saja itu membuat semua orang sedih karena perpisahan dengan Ksatria Panggilan. Terlebih kelima perempuan cantik yakni Kunti Ambiri, Jaka Pesolek, Ratu Randang, Dewi Kaki Tunggal alias Sakuntaladewi, dan Ken Parantili. Walau begitu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, mengingat jarak waktu hidup yang terlampau jauh. Tidak mungkin bagi Wiro tetap hidup di zamannya. Semua orang termasuk empat perempuan itu menerima, kecuali Kunti Ambiri. Ia yang juga datang dari dunia yang sama dengan Wiro Sableng, mencari cara untuk bisa kembali ke Tanah Jawa.

Bagaimanapun buruk dirinya di masa lalu, ia tidak mau menghabiskan masa hidup kedua kalinya di tanah orang. Bagaimanapun, ia harus kembali ke zamannya.

Setelah melakukan pencarian panjang yang dibantu keempat teman lainnya, akhirnya ia menemukan cara. Lewat Peti Mati milik Empat Mayat Aneh.

Awalnya ia meminta bantuan ke Kakek Sakti Kumara Gendamayana. Karena hampir semua tokoh Mataram tahu, kalau kakek ini mampu melakukan perjalanan waktu. Sayangnya, ia tidak bisa membawa seseorang. Hanya melakukan perjalanan seorang diri. Karena itulah, Peti Mati milik Empat Mayat Aneh menjadi pilihan terakhir.

Lucunya, keempat teman lainnya justru memilih ikut Kunti Ambiri. Dan dua peti besar berisi lima sosok manusia terbang menembus langit.

Di sebelah Kunti Ambiri ada Jaka Pesolek, Sakuntaladewi, dan Ken Parantili. Ke mana Ratu Randang? Dan keempat perempuan ini pun sebenarnya sejak tadi sedang menunggu Ratu Randang, seorang wanita berparas cantik layaknya perempuan berusia 30-an. Padahal usianya sudah setengah abad lebih.

"Siapa gadis berpakaian warna biru itu? Sepertinya dia dekat sekali dengan Wiro." Sakuntaladewi langsung mengajukan pertanyaan ketika pertama kali Wiro dan kawan-kawan datang. "Kunti, kau hidup di dunia yang sama dengan Wiro, tentunya tahu siapa dia kan?"

Kunti Ambiri menggeleng cepat. "Walaupun jarak terlalu jauh untuk mengetahui siapa adanya gadis itu, tapi aku bisa memastikan kalau aku tidak mengenalnya. Selain para tokoh sakti, hanya gadis berbaju ungu di sebelah sana yang kutahu."

Sakuntaladewi melirik ke sisi berlawanan dari yang dilihat Kunti Ambiri di mana Anggini berada. Gadis cantik ini berdecak kesal. "Mana yang ditanyakan, mana yang ditunjuk."

"Aku datang ke Tanah Jawa ini untuk menepati kaulku. Wiro telah menyelamatkanku dari kematian akibat ulah sihir Sinuhun keparat, kalian semua tahu kan?"

Kunti Ambiri melirik ke arah Ken Parantili. Yang dilirik hanya mengangkat bahu. Sementara Jaka Pesolek senyum-senyum sambil berkata, "Sudah kubilang, kalau Wiro menolak, ada aku yang siap menggantikan. Hihihi... kau tidak perlu khawatir, aku bisa berubah menjadi laki-laki atau perempuan. Sesuai kebutuhan."

Kunti Ambiri menggigit bibir menahan ketawa, sementara Ken Parantili melihat ke jurusan lain berpura-pura tidak mendengar.

Sakuntaladewi alias Dewi Berkaki Tunggal? Jangan ditanya, gadis cantik ini langsung menjewer pipi sahabatnya. "Berani sekali lagi bicara ngaco, aku potong lidahmu ya."

"Ah, jahatnya. Orang menawarkan kebaikan, kenapa dibalas keburukan?"

Jauh di tempat mereka berada, ia melihat ketiga orang mulai melangkah ke tengah lapangan.

"Aku harus menemui Wiro." Sakuntaladewi siap berlari guna memapasi Wiro, tapi Kunti Ambiri segera mencegah.

"Jangan sekarang. Apa kamu tidak dengar perkataan guru Wiro kalau mereka akan melakukan upacara?"

"Harusnya aku tidak ikut bersamamu. Tetap di negeri 800 tahun silam. Rasanya aku tidak kuat menyaksikan dia mempersunting gadis cantik itu."

"Kau tidak kalah cantik dengan dia," Ken Parantili mencoba menghibur Sakuntaladewi. "Jika hatimu merasa terluka, dadamu seketika menjadi sesak, percayalah kamu tidak sendirian. Kau tahu, kami semua mengasihi pemuda itu."

Sekilas ia teringat dengan kejadian ketika Wiro datang di puri ke satu, ruang kediaman para selir Raja Atas Langit, guna menyelamatkan dirinya dari ancaman kematian. Di dalam kamar, di atas ranjang yang indah, berdua bersama pemuda itu, betapa kenangan itu sulit dilupakan. Ia selalu mengharapkan adanya pengulangan dari kejadian paling bahagia dalam hidupnya. Mungkinkah bisa terulang?

Di sisi lain, jauh di sebelah barat, seorang gadis cantik berpakaian biru, berambut indah sepunggung, tampak menatap kosong ke depan. Tidak seperti kebanyakan orang yang menyaksikan apa yang sedang terjadi dengan ketiga manusia di tengah lapang sana, gadis ini tampak melamun. Padahal ketika pertama kali datang ke tempat ini ia begitu antusias mencari-cari. Terlebih ketika Kabut Buta mulai terhalau, pandang matanya menyapu habis seluruh wajah di kejauhan.

"Mungkin dia tidak ke sini," keluhnya putus asa. Gadis ini sepanjang pengembarannya tidak pernah memperkenalkan nama. Tapi orang-orang menjulukinya dengan Dewi Dua Musim. Dan orang yang dicari bukan lain adalah Panji Ateleng, seorang pemuda yang tidak sengaja ditemui kala ia menunggu seseorang di Bukit Manoreh. Pertemuan pertama dan juga terakhir itu seakan membekas di hati si gadis. Entah apa sebabnya—karena rasa rindu atau rasa terima kasih yang begitu besar—mengingat dalam pertemuan pertama pemuda itu memberi sebuah mutiara merah. Yang oleh Dewi Dua Musim baru diketahui ternyata benda itu, selain langka, juga penuh keajaiban. Selain ia terlindungi dari racun jahat, ia juga bisa mengobati luka dalam hanya dengan menempelkan telapak tangan kanan, di mana mutiara merah itu terbenam.

Sejak pertama diberikan sebenarnya ia merasa sungkan, bahkan bisa dikatakan tidak berani menerima, karena ia tahu, mutiara merah adalah benda langka dan mungkin hanya ada satu-satunya di dunia. Hingga akhirnya ia terpaksa menerima karena si pemilik barang memaksa. Sejauh itu yang ia tahu hanya sebatas langka dan berharga saja. Sampai akhirnya ia menyadari kalau benda itu nyatanya memiliki kesaktian dan kekuatan yang mampu memusnahkan racun jahat, menyembuhkan luka dalam, bahkan mengobati luka luar. Sejak tahu betapa luar biasanya mutiara merah itulah, ia makin merasa tidak layak menerima. Pencarian atas nama pemuda itu pun dilakukan. Tujuannya satu, mengembalikan benda itu. Tapi, berbilang bulan hingga berbilang tahun, sosok yang dicari tidak ditemui. Sampai akhirnya kekacauan yang dibuat orang-orang Perut Bumi menimpa Tanah Jawa. Dan ia menyirap kabar kalau pertemuan besar akan terjadi di Ujung Kulon Pulau Jawa. Ia berharap pemuda itu datang ke Tanah Perjanjian. Sayangnya, sejak pertama kali datang kemarin sore, sang pemberi mutiara merah tidak terlihat batang hidungnya.

Sejauh lima belas tombak dari Sinto Gendeng dan kawan-kawan adalah rombongan dari Kesultanan Banten. Dipimpin oleh Hamangkubumi Tubagus Aji Darmawangsa, pasukan sampai ke Tanah Perjanjian tanpa kendala yang berarti. Selain tempat ini adalah wilayah kekuasaannya dan ia tahu betul seluk-beluknya, mereka juga mendapat bantuan dari Pangeran Aji Triyasa. Rombongan memulai perjalanan di malam hari, sementara siang hari mereka memilih istirahat, saling berjaga-jaga.

Untuk pertama kali ketika sampai di tempat, Aji Triyasa mendapat tatapan aneh dari semua orang. Terutama mereka yang kenal dekat dengan Wiro Sableng. Terlebih saat Kabut Buta mulai menghilang, Naga Kuning langsung menyikut rusuk si kakek tukang ngompol.

"Apa kataku, Kek, yang duduk di atas kuda sana wajahnya mirip Wiro. Tapi benar katamu, kulit pemuda itu terlalu mulus untuk ukuran lelaki. Dan tampangnya tidak tolol seperti pemuda sableng sahabat kita. Juga pakaiannya mirip seperti seorang pangeran. Aku yakin bau tubuhnya harum, tidak seperti si sableng itu. Kecut, bau ketek, hihihi...."

"Kadang juga bau kencing gurunya, hahaha...” menyahuti Setan Ngompol. Genderuwo Patah Hati yang ada di sebelahnya menyenggol si bocah.

"Mataku yang salah lihat atau memang tempat ini dipenuhi jin penunggu tebing?"

"Ada apa, Nek?" tanya Naga Kuning keheranan.

"Lihat. Ada banyak kakek segala tahu."

"Astaga... kau benar," menyahuti Setan Ngompol. "Coba kau hitung, Naga Kuning. Ada berapa manusia tua buta itu?"

Sementara semua orang geger, Pangeran Aji Triyasa justru menatap tak berkedip ke wanita bercadar merah. Ia tersenyum seraya menganggukkan kepala yang kemudian dibalas dengan lemparan muka ke arah lain.

"Akhirnya kutemukan juga dia. Benar dugaanku, ia datang ke Tanah Perjanjian ini, meninggalkan kediamannya di Pulau Cingkuk."

Semua tokoh hadir. Para pendekar yang pernah ditemui Wiro termasuk si Pemusnah Iblis dan menantunya, Panji Kenanga. Sementara muridnya, Lestari, tidak kelihatan. Mungkin memilih di rumah, menjaga anak kesayangan.

Kakek Segala Tahu membawa Wiro dan Luhcinta ke tengah lapangan, di mana ada sebuah batu pipih sebesar pembaringan orang dewasa. Ia meminta keduanya untuk duduk menghadap tebing, membelakangi semua orang. Kakek ini sendiri berdiri di hadapan mereka berdua.

"Wiro Saksana, kau sudah siap melaksanakan upacara pemusnahan kabut?" tanya kakek ini dengan menyebut nama asli Pendekar 212. Yang ditanya segera menganggukkan kepala.

"Sudah, Kek."

"Ikhlas tanpa keterpaksaan sedikit pun?"

"Atas nama dunia persilatan, keselamatan umat manusia juga kehancuran manusia laknat Perut Bumi, aku ikhlas dan ridho."

Kakek Segala Tahu mengangguk perlahan. Lalu, seolah melihat, ia berpaling ke sebelah kiri Wiro, di mana Luhcinta berada.

"Gadis cantik, dari negeri seribu dua ratus tahun silam, yang memiliki nama indah, Luhcinta, pemberian seorang dewi pemilik welas asih, apakah kau sudah siap melangsungkan upacara pemusnahan kabut?"

Sebelum menjawab, gadis cantik ini melirik terlebih dahulu ke Wiro. Orang yang dilirik tersenyum manis, mengangguk perlahan.

"Saya... saya siap, Kek," jawabnya dengan suara bergetar, menandakan gejolak hebat terjadi di dadanya. Tidak tahu pasti apa penyebab debaran jantung itu—tidak menyangka karena pada akhirnya ia menikah dengan pemuda yang sangat dicintai, atau justru karena ia menyadari secara penuh, kalau ini adalah akhir dari hidupnya. Akhir dari perjalanan panjang langkahnya menelusuri dunia.

"Ikhlas tanpa keterpaksaan sedikit pun?" Kakek Segala Tahu mengulang pertanyaan yang sebelumnya ditanyakan kepada Wiro Sableng.

"Ikhlas, Kek," jawab Luhcinta singkat saja. Lagi, ia melirik ke arah Wiro. Mengira si gadis merasa gugup dan kaku, Wiro menggenggam jemari si gadis yang kala itu saling bertumpangan di atas pahanya. Meremas perlahan seraya berbisik, "Tenanglah, Luhcinta. Semua akan baik-baik saja."

Mendapat remasan dan bisikan mesra, hati Luhcinta merasakan sejuta kebahagiaan. Ia menatap jemari yang kini masih dalam remasan pemuda yang sangat disayangi. Bukankah ini yang ia impikan sejak dulu? Menikah dengan orang yang sangat dicintai? Sangat disayangi? Remasan itu, wahai para dewa dan para dewi di kayangan, inikah yang namanya cinta? Namanya kebahagiaan? Aku tidak tahu apakah dia sama mencintaiku atau tidak, tapi yang pasti, untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasa bahagia. Aku tidak peduli walau ini hanya berlangsung singkat.

“Wiro!”

Suara orang menegur dari belakang. Dalam kejutnya, Wiro berpaling, diikuti Luhcinta. Di sana, sejauh lima langkah, berdiri seorang gadis cantik yang sangat Wiro kenal. Tampak air mata menggenangi pipinya. Di kejauhan, dua lainnya terlihat sedang mendatangi.

“Dewi Kaki Tunggal?”

Walaupun si gadis sudah sembuh dari kutukan, dari ilmu sihir Sinuhun yang menyatukan kaki Sakuntaladewi, Wiro Sableng masih memanggilnya dengan sebutan itu.

“Aku tidak menyangka kau ikut ke Tanah Jawa ini, Dewi.”

Dewi Kaki Tunggal tersenyum getir.

“Lebih tidak menyangka aku berhasil memergokimu di sini, kan? Sedang melangsungkan perkawinan?”

Ia menatap ke wajah cantik Luhcinta.

“Pantas kau menolak aku, Wiro. Nyatanya gadis yang hendak kau nikahi lebih cantik dariku.”

“Dewi, sebelumnya kita sudah bicarakan ini. Dan aku pikir segala urusan kita, tentang kaulmu, sudah selesai di Negeri Mataram Kuno.”

“Kau tahu, Wiro, selain karena kaulku, hati dan perasaanku juga menjadi dorongan kuat hingga akhirnya aku memutuskan untuk menemuimu di tanah asing ini. Memalukannya, jauh-jauh aku datang ke negeri asalmu hanya untuk menyaksikan pernikahanmu.”

Wiro Sableng melirik ke arah Luhcinta yang sampai saat itu hanya diam terpaku.

“Dewi, pernikahan ini…”

Wiro Sableng hendak mengatakan kalau pernikahan ini terjadi bukan atas kemauannya, bukan atas dasar cinta, tapi demi keselamatan dunia persilatan, demi keselamatan umat manusia. Ia tidak berani meneruskan kalimatnya karena tidak mau Luhcinta tahu, dan merasa sedih karena nyatanya kebesaran cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

Sayangnya, meskipun Wiro tidak melanjutkan kalimat menyakitkan itu, Luhcinta mampu menerka ke mana kelanjutan kata yang terputus. Baru saja ia merasakan kebahagiaan, baru saja ia mengucap syukur atas karunia para dewa, meski ia tahu akan terjadi begitu singkat. Dan baru saja ia mengatakan dalam hatinya dengan ketegasan, andaipun kebesaran cintanya tidak berbalas, ia tidak peduli. Andaipun hanya bertepuk sebelah tangan, ia tetap bahagia. Kini, setelah tahu kebenarannya, mengapa ia merasakan sakit sekali? Mengapa tiba-tiba hatinya merasa perih dan seperti terkoyak-koyak? Seketika ia merasakan ada jutaan bara api yang membakar habis taman indah yang baru saja tersemai rimbunan bunga.

“Kenapa kau tidak meneruskan? Apa yang mau kau katakan, Wiro? Kau mau menikahinya karena…”

“Dewi, cukup,” potong Wiro. Ia kembali melirik ke arah Luhcinta. Dan betapa terkejutnya murid Sinto Gendeng ketika dilihatnya wajah cantik itu telah basah oleh air mata.

“Luhcinta, kau menangis?”

Seakan tidak peduli pada pertanyaan Wiro Sableng, Luhcinta menatap wajah cantik di depannya. Senyum kecil mengiringi butiran air mata yang berjatuhan.

“Wahai sahabat berwajah cantik, dia tidak perlu meneruskan ucapannya,” tegasnya.

“Karena itu tidak penting. Kau tahu alasannya, sahabat? Semua orang yang hadir di sini, orang yang aku kenal, bahkan mereka yang tidak mengenalku, para dewa dan dewi di atas langit juga orang-orang terlaknat dari perut bumi, mereka semua tahu kalau pernikahan ini terjadi bukan karena keinginan Wiro.”

“Luhcinta…” Wiro mencoba memotong. Ia menjadi semakin tidak enak dan merasa bersalah karena telah salah berucap.

“Sahabat berwajah cantik,” kata Luhcinta lagi, tak mempedulikan ucapan Wiro,

“Aku tidak tahu ada hubungan apa kamu dan Wiro di negerimu. Tapi mendengar ucapan yang barusan kau katakan, aku menduga kalian punya hubungan yang sangat dekat. Menyangkut kaulmu, yang kuyakini pasti persoalan tentang pernikahan kalian berdua, kamu tidak perlu khawatir, sahabat cantik. Pernikahan yang kami jalani tidak akan berlangsung lama. Karena ketika janji suci terucap, ijab qabul meluncur, aku sudah tidak di dunia ini lagi. Kau bisa lakukan apa pun terhadap mantan suamiku.”

Kalau Kakek Segala Tahu, Latampi, dan wanita bercadar merah tidak merasa terkejut dengan kalimat terakhir yang diucapkan Luhcinta, lain halnya dengan semua orang. Terlebih Wiro Sableng sendiri. Pendekar ini sampai terlonjak berdiri. Apa yang didengarnya barusan seperti ribuan gelegar guntur yang menyambar telinganya.

“Luhcinta, kau pasti bergurau, kan?”

Luhcinta menatap heran ke arah Wiro Sableng, lalu berpaling ke Kakek Segala Tahu.

“Apa kau belum tahu, Wiro?”

“Tahu apa? Katakan padaku kalau apa yang barusan kau bicarakan itu hanya gurauan.”

“Wiro, dalam keadaan seperti ini, mana mungkin aku berani bergurau. Apa Kakek Segala Tahu tidak memberitahumu? Dewi yang kau temui di atas langit apa tidak menjelaskan?”

“Gusti Allah….”

Wiro Sableng tersungkur berlutut, mengusap wajahnya yang terasa panas. Selama ini dirinya memang tidak tahu. Dewi Asih Gendramani tidak pernah menyinggung soal apa yang terjadi dengan Luhcinta setelahnya. Ratu penguasa kerajaan para dewi itu hanya menjelaskan tentang pemusnahan kabut. Ia sendiri pun tidak bertanya, karena tidak memikirkan sampai sejauh itu, apalagi mengetahui pernikahannya dengan Ratu Duyung kala itu baik-baik saja.

Raut muka berkalung duka kini terlihat jelas pada semua orang. Bahkan wanita bercadar, perempuan yang paling dalam cintanya terhadap si pemuda, yang dulu merasakan sakit hati teramat sangat ketika menyaksikan dengan mata kepala sendiri pernikahan Wiro dan Ratu Duyung, kini, yang dirasakan bukan rasa cemburu. Bukan sakit hati teriris perih seperti dulu. Jika ada air mata membanjir deras, itu karena sejak awal perjalanan menuju Tanah Perjanjian, ia sudah tahu apa yang akan terjadi dengan sahabat seperjalanannya setelah menikah. Luhcinta beberapa kali menjelaskan tentang mimpinya yang bertemu dengan seorang dewi.

Memang saat pertama kali cerita, hatinya seolah terbakar, apalagi ketika mendengar gadis cantik dari Latanahsilam itu akan melangsungkan pernikahan. Hampir saja ia memutuskan untuk tidak mau melanjutkan perjalanan. Kalaupun harus, ia lebih memilih berjalan sendiri-sendiri.

“Aku tidak memberitahu karena aku mengira dia sudah tahu,” menegaskan Kakek Segala Tahu.

“Aku pikir dewi di kayangan menjelaskan secara rinci. Di samping itu, pertemuan aku dan Wiro Sableng terlalu singkat, aku tidak punya waktu untuk menjelaskan.”

“Ini tidak bisa terjadi.”

Wiro Sableng berdiri melangkah ke arah Kakek Segala Tahu.

“Pasti ada cara lain. Kek, aku bisa kembali ke atas langit, meminta ke Dewi Asih Gendramani. Dia pasti punya cara lain.”

Kakek Segala Tahu terdiam. Sementara Luhcinta terbelalak. Ia tidak menyangka kalau pemuda itu akan mengatakan pemikiran yang aneh menurutnya. Setelah sekian lama merencanakan apa yang akan terjadi hari ini, ketika segala syarat sudah terpenuhi, ia mau mengulang dari awal?

“Wiro, apa kau sadar dengan yang kau ucapkan?”

“Aku sadar dan sangat sadar, Luhcinta. Aku yakin banyak cara untuk memusnahkan kabut sialan ini tanpa harus mengorbankan dirimu.” Wiro Sableng melihat ke arah Kakek Segala Tahu. "Kek, jawab aku, jangan kau diam saja."

Kakek Segala Tahu menggeleng lemah. "Jikapun itu ada, maka sudah aku lakukan. Wiro... apa kau lupa janji yang sudah kau ucapkan? Bukankah kau ikhlas menjalani ritual ini?"

"Aku berani berjanji karena aku pikir setelah pernikahan tidak terjadi apa-apa seperti halnya ketika kau menikahkanku dengan Ratu Duyung."

"Wiro, sadarlah. Harusnya kau tahu alasan mengapa tidak terjadi apa-apa dengan Ratu Duyung, karena memang bukan dia yang dikehendaki para dewa."

Wiro menggigit rahangnya kuat-kuat. Ingin sekali rasanya ia menjerit, berteriak bahkan mengamuk, melepaskan segala ilmu kesaktian untuk meluapkan amarah dan kekesalan hatinya. Baru saja ia merasakan perihnya kehilangan seorang istri, kini ia akan kembali mengulangi kejadian itu. Ia tahu, selama ini perasaannya terhadap gadis cantik dari Latanahsilam itu hanya sebatas suka akan kebaikan sikapnya, sebatas mengagumi budi pekertinya. Kalaupun harus menikah, meskipun tidak didasari dengan cinta, paling tidak ia akan merasakan bahagia, karena mampu menolong semua orang, mampu membuat orang yang sangat mencintai dirinya bahagia. Bukankah itu perbuatan yang sangat luhur?

Namun kenyataannya jauh dari yang pernah dibayangkan. Gadis itu, wajah cantik yang kini menatap sendu ke arahnya, dia akan mengorbankan hidupnya demi kebaikan dunia? Kenapa harus Luhcinta? Kenapa harus kematian? Kenapa tidak hilangnya seluruh kesaktian dirinya saja? Ia bisa mudah menerima dan sangat rela.

“Wiro,” Luhcinta yang kini telah berdiri di samping Wiro menggenggam kedua tangan pemuda itu. "Lakukanlah. Tepati janjimu, Wiro."

"Tidak. Demi apa pun aku tidak mau. Kau berhak hidup, Luhcinta. Kau berhak bahagia."

Luhcinta tersenyum. "Aku akan tetap hidup, dan pastinya aku akan bahagia, Wiro."

Wiro Sableng menggeleng.

"Semakin lama kau berpikir, semakin sedikit waktu yang kita punya, Wiro."

Wiro membisu.

"Seperti yang aku katakan tadi, aku ikhlas melakukan ini. Ikhlas berkorban demi keselamatan umat manusia. Wiro, kau harus tahu, aku tercipta dari cinta kasih para dewi. Kau tidak harus merasa bersalah karena memang ini sudah takdirku. Kau juga tidak harus bersedih, karena di atas sana, aku akan melihat kalian semua dengan senyum bahagia." Luhcinta meremas jemari si pemuda. "Wiro, lakukanlah."

Walau terasa berat, pada akhirnya Wiro mengikuti langkah kaki Luhcinta yang membawanya menuju batu pipih panjang. Keduanya kembali duduk. Di tengah lapang, yang kini dihujani tatapan sendu semua orang, upacara yang sempat tertunda kembali dilangsungkan. Dewi Kaki Tunggal sendiri telah kembali ke tempat semula. Kalau sebelumnya ia terbakar cemburu, kini ia merasa kasihan, bahkan iba yang teramat dalam. Diam-diam ia merasa menyesal kenapa harus melakukan hal bodoh, mengganggu jalannya upacara suci yang sedang berlangsung.

Sebelum memulai ritualnya, seperti tadi Kakek Segala Tahu mengulang pertanyaan. Setelah Luhcinta menjawab dengan mantap, kakek ini memulai membacakan janji suci yang diikuti Wiro Sableng. Mengulang hingga tiga kali, lalu mengambil tusuk konde dari balik pakaian lusuh yang sebelumnya dipinjam dari Sinto Gendeng.

"Kalian saling berhadapan dan letakkan telapak tangan kalian di atas paha," Kakek Segala Tahu berdiri. Setelah keduanya mengikuti apa yang diperintahkan, dengan tusuk konde ia membuat guratan pada masing-masing telapak tangan.

Rettt retttt retttt rettt

Empat kali guratan. Darah bermunculan, mengikuti jejak goresan.

“Kekuatan bunga tanjung dari taman para dewi. Kebesaran cinta seorang gadis, ketulusan kasih dari hati yang suci. Hanya cinta murni yang mampu memusnahkan Kabut Buta ciptaan orang-orang Kerajaan Perut Bumi.”

Wiro terkesiap ketika mendengar kata-kata yang diucapkan Kakek Segala Tahu. Ia ingat betul, dulu Dewi Asih Gendramani juga mengucapkan kalimat yang sama.

“Satukan tangan kalian. Jika cahaya putih telah keluar, maka pengantin perempuan berbaring di atas batu yang kalian duduki.”

Wiro Sableng dan Luhcinta mengikuti apa yang diperintahkan Kakek Segala Tahu. Ketika empat telapak tangan saling bertemu, Wiro merasakan hawa sejuk mengalir ke dalam tubuhnya. Sementara hawa hangat merasuki tubuh Luhcinta. Persis seperti apa yang dikatakan Kakek Segala Tahu, tidak butuh waktu lama, cahaya putih mulai keluar dari telapak tangan keduanya. Wiro Sableng turun dari batu pipih dan membantu Luhcinta berbaring. Ia menunggu, melihat tanpa mengedip apa yang akan terjadi dengan istrinya.

Cahaya putih dari telapak tangan Luhcinta merambat perlahan menuju lengan, bahu, kepala, lalu turun membungkus tubuh. Ketika tubuh Luhcinta terbungkus sempurna, Wiro yang mengkhawatirkan istrinya langsung jongkok.

"Luhcinta, apa yang kau rasakan? Jika sakit, katakan. Semua rangkaian ini masih bisa kita batalkan."

Luhcinta tersenyum. "Terima kasih kau mau mengkhawatirkanku, Wiro. Yang kurasakan adalah kelapangan hati, ketenangan jiwa."

Gadis cantik dari Latanahsilam ini memejamkan mata. Cahaya putih sudah membungkus sempurna. Tepat dari arah jantung keluar cahaya putih, pertama sekali hanya sebesar asap rokok, meliuk-liuk dan berputar satu tombak di atas tubuh Luhcinta membentuk sebuah bunga tanjung. Semakin lama, cahaya itu semakin membesar, dan putaran bunga tanjung di atas tubuh Luhcinta semakin kencang. Ketika cahaya di tubuh Luhcinta hilang sempurna, putaran bunga tanjung yang terbuat dari cahaya semakin kencang. Dan saat itu juga kabut buta yang terdorong jauh tersedot ke dalam putaran.

Semua orang melihat dengan tatapan tak percaya. Kabut yang membentang jauh melesat kencang, layaknya pusaran air yang memasuki lubang raksasa dan dalam.

Kabut buta yang menghantui Pulau Jawa, Pulau Andalas, Pulau Dewata serta pulau-pulau lainnya mulai terkikis. Semakin lama semakin tipis. Hingga kerumunan di beberapa tempat terjadi. Orang-orang yang sebelumnya memilih mendekam di dalam rumah, dipaksa keluar, kala riuh ramai orang-orang menarik perhatiannya. Dan ketika mereka melihat ke atas, langit biru cerah terlihat indah. Ini untuk pertama kali dalam beberapa tahun terakhir akhirnya mereka melihat kembali pemandangan yang indah. Sebuah sinar sang surya dikelilingi arakan awan dalam bentangan warna biru yang luas.

Semakin banyak kabut yang masuk ke dalam bunga tanjung, semakin pucat warna dan kulit tubuh Luhcinta. Sosok tubuh yang sebelumnya memancarkan aura kecantikan, kulit putih mulus bercahaya, kini berubah menjadi putih pucat layaknya mayat. Wiro Sableng yang melihat perubahan itu segera mendekap istrinya. Dingin! Luhcinta merasakan sekujur tubuhnya seakan tenggelam ke dasar salju yang teramat dalam.

"Wiro, suamiku..." lirihnya. Bibirnya tampak gemetar, mengikuti gigil tubuh yang tak tertahankan. "Dingin sekali..." Gadis ini berusaha membuka matanya. Tapi kelopak itu terasa berat.

Wiro memeluk erat sosok istrinya. Air mata berjatuhan membanjir deras. Ia kecup kening Luhcinta. Sekuat tenaga gadis itu berusaha tersenyum.

"Wiro, ketika pertama kali bertemu denganmu, saat itu kau sosok yang kecil..."

Wiro memejamkan mata. Bukan untuk mengingat kejadian itu, tapi karena tak kuasa melihat keadaan Luhcinta yang hampir sebagian tubuhnya telah membeku. Kakek Segala Tahu menundukkan kepala. Banyak pasang mata yang mengalihkan pandangan, melihat ke jurusan lain karena tak tega dengan keadaan Luhcinta. Sementara Latampi, ayah dari gadis ini, sejak pertama tadi sosoknya telah berhambur ke barisan belakang, menangis pilu hingga setan ngompol dan Naga Kuning menemani khawatir sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Anggini dan Pandansuri saling berpelukan. Seperti halnya Dewi Berkaki Tunggal, keduanya pun merasa menyesal karena sebelumnya telah memperlihatkan kecemburuan.

Jauh di ujung sana, Lakasipo, Luhjelita, dan Jatilandak tenggelam dalam linangan air mata. Terbayang senyum indah gadis itu ketika pertemuan terjadi di antara mereka di negeri asalnya. Teringat bagaimana kata-kata penuh kasih selalu menjadi hiasan setiap langkah dalam hidupnya.

"Wiro... su... suamiku, kau mendengarku?"

"Aku mendengarmu, istriku. Aku ingat semuanya."

Luhcinta tersenyum. Senyum yang teramat berat.

"Aku bahagia kau masih mengingatnya, Wiro. Kau tahu, sejak pertemuan itu, aku suka tersenyum sendirian. Membayangkan bagaimana rupamu ketika nanti sebesar orang-orang di negeriku. Sampai akhirnya keajaiban datang. Kau menjadi besar sepertiku. Dan kau tahu, Wiro...."

Luhcinta merasakan lidahnya kelu. Pembekuan telah sampai jantungnya.

Wiro Sableng memeluk erat, lalu mendekatkan telinganya ke bibir Luhcinta.

"Katakan, apa yang ingin kau ucapkan?"

"Aku... a... aku mencintaimu, Wi... Wiro. Ci...."

Wiro Sableng menjerit, lalu secepat yang ia mampu, bibir beku Luhcinta dicium seperti yang diinginkan istrinya. Tapi sayangnya, gadis cantik dari Latanahsilam itu sudah tidak ada. Wiro Sableng menyesal, di permintaan terakhir dalam hidup Luhcinta, ia tak bisa memenuhi. Ia kembali mendekap istrinya, menciumi kening dan bibir yang sudah tak bernyawa.

Kabut sudah semakin tipis. Ketika Kabut Buta hilang sempurna, bunga tanjung meledak. Tapi bukan percikan api yang terlihat, melainkan ribuan kupu-kupu yang bertebangan mengitari sosok kaku Luhcinta. Seperti yang terjadi pada bunga tanjung, sosok beku Luhcinta juga meledak, ribuan kupu-kupu beterbangan. Seketika bau harum memenuhi Tanah Perjanjian. Harum bunga tanjung, tapi bukan yang ada di bumi, melainkan bunga tanjung yang ada di taman para dewi. Ribuan kupu-kupu perubahan ujud dari tubuh Luhcinta ikut berputar lalu melesat ke langit lepas.

Bab 21

Cukup lama Wiro Sableng terduduk di tempatnya. Terlihat air mata masih mengalir deras. Pandangan matanya menatap kosong ke batu pipih, tempat sebelumnya sosok Luhcinta tergeletak dengan rintih rasa sakit. Masih tampak di pelupuk ingatan, bagaimana tubuh dalam dekapannya menggigil kedinginan. Bagaimana perlahan-lahan hawa dingin merambat, membuat beku kaki hingga seluruh tubuh. Getar bibir kala ingin mengucapkan sesuatu. Sampai akhirnya, sebuah kata yang ingin Luhcinta ucapkan tak tersampaikan. Mengingat semua itu, Wiro Sableng merasa menyesal. Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa rangkaian pemusnahan kabut harus mengorbankan Luhcinta? Dia gadis yang sangat baik. Setiap kata yang meluncur dari sepasang bibirnya selalu membawa kesejukan, ketenangan hati. Dan tidak melangkah kecuali kebaikan yang dibawanya. Mengapa para dewa begitu tega hingga harus mengorbankan Luhcinta?

"Ci... cium aku, Wiro..."

Kalimat terakhir sebelum Luhcinta menutup mata untuk selamanya. Ia tahu itu kata yang ingin Luhcinta sampaikan sebelum akhirnya nyawanya menghilang. Sayangnya, sebagai seorang suami ia terlambat untuk memenuhi keinginan terakhir dalam hidup istrinya.

Wiro Sableng memejamkan mata. Air mata semakin deras mengalir. Bau harum masih memenuhi Tanah Perjanjian. Wiro merasakan remasan di bahu kirinya.

"Sudah waktunya kita melanjutkan apa yang sudah kita mulai, Wiro." Suara Kakek Segala Tahu. "Kita tidak bisa terus seperti ini. Kehilangan orang yang sangat dikasihi memang menyakitkan. Tapi, lebih menyakitkan lagi ketika pengorbanan itu hanya membawa kesia-siaan lantaran diri kita lalai dan terlalu larut dalam kesedihan."

Wiro Sableng membuka mata. Ia melirik ke arah Kakek Segala Tahu yang berdiri di sampingnya.

"Apakah salah jika seseorang menangisi kepergian orang yang sangat berarti bagi dunia ini?"

Kakek Segala Tahu tersenyum.

"Tidak ada yang salah, Wiro. Tapi kau harus tahu, kepergian Luhcinta bukti dari cinta kasihnya yang begitu besar pada kita semua. Pada dunia ini. Ia rela mengorbankan diri demi keberlangsungan umat manusia. Karena itulah, mengapa tadi aku katakan, jangan sampai pengorbanan yang dia lakukan, yang begitu besar, hanya menjadi kesia-siaan saja." Kakek Segala Tahu menatap ke semua orang.

"Kau lihat mereka semua, menangis pilu, dirundung kepedihan yang terlalu dalam. Jika pertempuran besar dengan orang-orang Perut Bumi terjadi, sementara mereka masih diselimuti duka, maka celakalah kita. Pasukan Perut Bumi bisa dengan mudah meluluhlantakkan kita semua. Itu yang kumaksud bahwa kita telah menyia-nyiakan pengorbanan yang telah Luhcinta lakukan. Kau harus bangkit. Tunjukkan kepada mereka semua, bahwa perjalanan masih panjang. Inti dari rangkaian yang telah kita lakukan baru akan dimulai."

Wiro Sableng terkesiap. Seakan baru menyadari kesalahannya, murid Sinto Gendeng berdiri. Memandang seluruh wajah yang tertunduk lesu. Tanpa berpaling ke arah Kakek Segala Tahu ia berkata,

"Kau benar, Kek. Pertempuran maha dahsyat tidak bisa dilakukan dalam keadaan seperti ini. Melawan orang-orang Perut Bumi harus dengan perhatian penuh. Tidak bisa pikiran kita bercabang, apalagi mengalami guncangan hebat karena kehilangan."

Wiro Sableng menarik napas dalam-dalam. "Hentikan tangisan kalian!"

Suaranya biasa saja. Tidak ada bentakan, apalagi teriakan. Namun, gelombang suara melesat jauh hingga baris paling belakang. Jarak antara dirinya dan baris paling ujung terbentang ratusan tombak, tapi mereka yang ada di sana merasa seolah Wiro Sableng berada di depannya. Hanya satu langkah saja. Padahal sebelumnya, para prajurit tidak mendengar suara apa pun dari depan. Bahkan kegaduhan yang terjadi atau serangkaian pemusnahan kabut tak pernah mereka tahu. Yang mereka pahami hanya mengikuti perintah dari pimpinan masing-masing. Karenanya, begitu suara Wiro Sableng terdengar, semua prajurit di bagian ujung ini sibuk mencari-cari, siapa yang barusan bicara. Ada suara, tapi tidak ada orangnya.

Pengiriman suara dengan mempergunakan tenaga dalam ini tidak menyakiti para pendengar, karena memang bukan ditujukan untuk penyerangan. Semua orang tetap nyaman mendengar suaranya.

"Aku tahu, kalian semua merasa kehilangan. Jangankan bagi mereka yang kenal dekat dengan Luhcinta, yang baru mengetahui hari ini saja akan merasakan keperihan yang sama. Tapi ingat tujuan kita berada di sini. Bersatu untuk membumihanguskan Kerajaan Perut Bumi. Karena itu, hilangkan kesedihan, pusatkan perhatian pada satu titik: memusnahkan Kamaswara dan seluruh pengikutnya."

"Astaga... tenaga dalam si Sableng itu besar sekali," Naga Kuning menyikut rusuk si Setan Ngompol. "Kiai Gede Tapa Pamungkas kurasa tidak akan sanggup mengalahkannya."

Setan Ngompol menjitak kepala Jabrik si bocah. "Ngomong jangan sembarangan. Orangnya nongol bisa tahu rasa kamu."

Naga Kuning hanya menyeringai, tapi ketika melihat kekasihnya yang berada di sisi sebelahnya, seketika cengiran hilang, berganti dengan raut kecemasan.

"Mati kau, hahahaha..." Setan Ngompol menekap mulutnya agar tawanya tidak meledak hingga terdengar orang-orang di sekelilingnya.

"Nek, jangan marah, aku cuma becanda," Naga Kuning merengek ketika kekasihnya, Genderuwo Patah Hati, masih memperlihatkan tatapan tidak senang ke arahnya.

"Siapa yang marah?"

Pertanyaan Ning Intan Lestari membuat Naga Kuning mengerutkan kening.

"Bukannya kamu tidak suka aku membanding-bandingkan si Sableng itu dengan Kiai Gede?"

"Aku hanya tidak suka kau bicara tidak penting ketika Pemuda Sableng itu menyampaikan pidatonya."

"Astaga... jadi si Sableng itu sedang pidato?" Naga Kuning menekap mulutnya. Di sebelahnya, Setan Ngompol berbisik, "Sepertinya sedang ceramah."

Naga Kuning dan Setan Ngompol terkikik. Sementara Ning Intan Lestari menarik napas panjang seraya menggelengkan kepala, lalu dengan gemas dan kesal ia menjewer telinga si bocah.

"Cuhhh!!!" Pangeran Aryo Boyo meludah. "Pemuda tolol itu terlalu banyak bicara. Apa dia tidak tahu kalau kedua tanganku sudah gatal ingin segera mencabik-cabik para bergundal Perut Bumi?"

Tanpa mempedulikan pimpinan di pasukannya, ia menggebrak kuda, menuju ke tengah lapangan. Semua orang kini memandang heran ke arahnya. Raut tanda tanya terlihat jelas.

"Aku tahu kau orang yang bergelar dengan nama hebat. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro Sableng. Asal kau tahu, Pemuda Sableng, sudah lebih dari satu hari aku menunggu di tanah sialan ini. Tapi sampai sekarang, orang-orang Perut Bumi belum kelihatan. Jika kalian tahu caranya masuk ke kerajaan keparat itu, tunjukkan sekarang! Aku dan kita semua tidak butuh petuahmu. Yang kuinginkan sekarang adalah pertemuan dengan Raja Perut Bumi. Aku sendiri yang akan memenggal batang lehernya!"

"Buset! Sombong sekali kunyuk berkuda itu. Ada yang mengenal dia?"

Ning Intan Lestari, Kakek Setan Ngompol, dan juga Latampi menggeleng serempak.

"Tapi dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia bukan orang sembarangan," ujar Ning Intan Lestari menebak-nebak.

"Maksudmu dia jago di atas jago, begitu, Nek?"

Si nenek bermuka setan terkikik. “Penilaianku menitikberatkan kepada pakaiannya, bukan ilmu silatnya.”

“Orang muda, harap maafkan jika kau menunggu terlalu lama. Tapi untuk sampai ke Kerajaan Perut Bumi, aku, orang tua reot ini, sampai saat ini belum tahu caranya.”

Mendapat penjelasan yang memang sebelumnya sudah menjadi syak wasangkanya, pemuda ini melompat dari atas kudanya.

“Apa kau bilang, Kakek Buta? Kau tidak tahu cara masuk ke dalam Kerajaan Perut Bumi? Lalu tujuanmu mengumpulkan kami semua ke sini, jauh-jauh dari tengah Pulau Jawa ke Ujung Kulon hanya untuk menyaksikan omong kosong Pemuda Sableng itu?” Pangeran Aryo Boyo dengan tangan kirinya menunjuk lekat-lekat ke wajah Wiro Sableng.

“Pangeran, tenanglah,” Wiro Sableng menyebut kebesaran pemuda itu karena memang sejak pertama melihat ia sudah mengetahui lewat pakaian yang dikenakan. Selain itu, ia berharap orang yang dimaksud merasa tersanjung, merasa dihormati, hingga bisa menghargai lawan bicaranya. Sayangnya, dugaan murid Sinto Gendeng salah besar. Alih-alih membalas penghormatan orang, pemuda ini semakin besar kepala.

“Kalian semua dengar sendiri, kan? Tua bangka buta ini tidak tahu cara masuk ke dalam Kerajaan Perut Bumi. Kita semua hanya didustai di sini. Kalian semua sudah ditipu!”

Kasak-kusuk tidak mengenakkan kini terjadi di berbagai kelompok dalam beberapa pasukan kerajaan. Bagi mereka yang percaya sepenuhnya kepada tokoh-tokoh dunia persilatan, para pimpinan tertinggi langsung memberi arahan agar tetap tenang dan tidak membuat gaduh. Sementara mereka yang sedari awal perjalanan tidak percaya sepenuhnya, begitu tahu kalau kedatangannya ke tanah ini hanya sebuah kedustaan, maka beberapa kelompok dari berbagai kerajaan maju serempak.

“Orang tua, jadi benar yang dia katakan pemuda itu, kalau kau menipu kami?” Salah seorang pimpinan dari Tanah Bugis mengajukan pertanyaan.

“Orang muda, dengarlah.” Yang menjawab memang Kakek Segala Tahu, tapi bukan yang berada di tengah lapangan, melainkan yang ada di barisan tidak jauh dari rombongan ini.

“Tidak ada niatan sedikit pun untuk membohongi kalian semua. Aku hanya diperintahkan mengundang kalian untuk sampai ke tanah ini. Mengenai jalan masuk ke Kerajaan Perut Bumi, benar yang dikatakan pemuda berkuda itu, aku memang tidak tahu. Tapi....”

“Tapi apa?” potong Pangeran Aryo Boyo dengan suara lantang. “Tapi kamu tidak tahu apa-apa? Tapi kamu bukan pendusta? Dalam undangan yang kau katakan tertulis jelas, kalau di tanah ini kita akan bersatu dengan seluruh kerajaan yang ada di Nusantara. Kau menegaskan kalau pusat Kerajaan Perut Bumi ada di Ujung Kulon Pulau Jawa Ini. Mana? Mana kerajaannya? Di tanah ini hanya ada dataran luas tak berujung. Apa itu bukan suatu penipuan? Kau masih berani mengelak dan mengatakan kalau semua ini bukan dusta?”

“Saudara, kau sudah keterlaluan.” Wiro Sableng sedikit membentak. Kalau sebelumnya ia masih mau menaruh hormat pada pangeran muda ini, tidak untuk sekarang. Dalam bentakan itu, ia sengaja mengaliri tenaga dalam yang dipusatkan untuk satu orang saja, yakni lawan bicaranya. Akibatnya, Pangeran Aryo Boyo menjerit kesakitan. Darah mengucur deras dari kedua lubang telinganya. Mereka yang tidak tahu-menahu apa yang terjadi dengan pangeran pongah itu hanya terkesiap dan saling menatap heran.

“Wahai... kukira dia memiliki ilmu silat yang diandalkan, nyatanya hanya dengan serangan suara saja dia sudah kelabakan.” Luhjelita tertawa melihat kejadian di tengah lapang sana.

Latampi yang juga kesal dengan sikap pongah pangeran itu menyahuti, “Pertama kali menginjak kaki di Tanah Jawa ini, aku mendengar pepatah, air beriak tanda tak dalam. Selama pengembaraan aku tidak tahu apa arti pepatah itu. Sampai akhirnya kali ini aku diperlihatkan langsung. Memang benar-benar hebat orang yang membuat pepatah itu.”

Di tengah lapangan sana, Pangeran Aryo Boyo melompat ke hadapan Wiro Sableng.

“Sebagai seorang pendekar besar yang memiliki nama baik di delapan penjuru angin, aku menyesal karena mengetahui nyatanya seorang tokoh besar sepertimu hanya berani menggunakan cara-cara pengecut untuk menaklukkan lawan. Apa yang kau lakukan terhadapku barusan, bagian dari perlawanan untuk kerajaan. Setelah urusan memuakkan di tempat ini selesai, kau akan mendapat perhitungan dari ayahku!”

Wiro Sableng tidak menyahuti karena Pangeran Aryo Boyo telah membalikkan badan, lalu dengan lantang pada pasukannya, juga ditujukan pada semua orang, ia teriak,

“Tidak ada gunanya berada lebih lama di tempat ini. Orang yang memberi undangan jelas menipu kita semua. Mari kita tinggalkan tempat keparat ini!”

Lebih dari seperdelapan pasukan di tempat itu setuju. Mereka menggebrakkan tongkat secara serempak ke tanah hingga suara menggema terdengar di tanah perjanjian. Mereka siap pergi, tapi sebelum kaki para prajurit itu melangkah, salah seorang berteriak:

“Lihat, ada orang keluar dari tebing batu!”

Semua mata kini memandang ke arah tebing batu, tidak terkecuali pangeran pengacau tadi.

Dari tebing itu keluar satu sosok wanita berusia lebih dari setengah abad, tapi wajahnya masih tampak ayu, layaknya perempuan berusia di bawah 30-an. Ilmu aneh yang digunakan wanita ini iyalah Menunggang Kabut Menembus Batu. Dengan ilmu itu dulu ia membawa Wiro Sableng masuk ke dalam candi, bersembunyi dari Sinuhun.

“Hmmm... wanita gatel itu rupanya.”

“Kau kenal dia, Sinto?” tanya Dewa Tuak dengan sorot mata tak berkedip memperhatikan paras cantik yang tiada henti mengulum senyum.

“Ratu Randang,” Wiro Sableng menggaruk kepalanya. “Nek, sejak kapan kau berada di dalam sana?”

Sebelum menjawab, wanita ini memandang ke atas langit.

“Bhatara Agung, akhirnya aku bisa melihat matahari lagi di negeri ini.”

Matahari telah condong ke barat.

“Sinto, kau belum menjawab pertanyaanku,” Dewa Tuak kembali mengulang pertanyaannya. “Siapa nama wanita berparas ayu itu?”

“Peduli setan dengan namanya. Yang aku tahu, dia salah satu dari sekian banyak perempuan yang tergila-gila dengan anak setan itu. Puh....” Sinto Gendeng membuang susur yang sejak tadi dikunyah.

Ratu Randang melambaikan tangannya ke arah Wiro.

“Tinggal 342 lagi. Tentunya kau masih mengingat itu, Wiro. Hihihi....”

“Ah,” Wiro terpekik. “Nenek satu ini masih mengingat itu rupanya,” batinnya. Pada Ratu Randang ia berkata, “Kau belum menjawab pertanyaanku, Nek. Sejak kapan kau berada di dalam sana dan apa yang kau lakukan?”

“Sesaat sebelum kau datang.” Ratu Randang melangkah lebih dekat. “Aku sudah lihat keadaan di dalam, Wiro. Dan memang ada pintu rahasia yang bisa membawa kita masuk ke dalam Kerajaan Perut Bumi. Tapi tidak mudah.”

Wiro ingat dengan ucapan Bidadari Angin Timur palsu. Meskipun ia tidak yakin akan kebenaran ucapan gadis itu, tapi setelah mengetahui penjelasan Ratu Randang, dirinya kini mulai mempercayai kalau yang dikatakan gadis itu benar adanya.

“Apakah ada sebuah lempeng batu?”

Ratu Randang menautkan alisnya. “Kau tahu, Wiro?”

Wiro Sableng mengangguk cepat. “Seseorang memberitahuku. Persis seperti yang kau katakan, Nek, tidak mudah masuk ke sana. Dan kalaupun kita bisa masuk, hanya akan mengantar nyawa.”

“Wanita yang baru datang!” teriak salah seorang pemimpin pasukan. Dia salah satu yang tadi hendak membawa pasukannya pergi.

“Kami semua butuh penjelasanmu mengenai yang kau lihat di dalam sana. Aku tidak peduli apakah kau dari bangsa jin hingga bisa menembus dinding batu. Yang kuinginkan sekarang, terangkan, apa yang kau lihat. Dan bagaimana cara kita masuk ke dalam Kerajaan Perut Bumi.”

Ratu Randang menatap tajam orang itu. Senyum manis menyeruak di sela-sela bibir merahnya.

“Jika itu maumu, baiklah.”

Ia melompat ke sisi lapangan, lebih dekat ke barisan pasukan. Lalu kaki menekuk, tangan direntangkan, kemudian memukul ke depan. Ratu Randang mengeluarkan ilmu Sang Pencipta Berbuat Penuh Kuasa. Dalam sekejapan mata, tanah yang sebelumnya hanya hamparan tandus warna putih berubah menjadi warna gelap, layaknya dalam sebuah goa.

Semua mata tercengang, tidak terkecuali Dewa Tuak yang kala itu sedang menenggak tuak harumnya, hingga cairan berceceran membasahi sebagian wajahnya. “Sialan!” Pandangan mata penuh kekaguman terlihat jelas pada diri kakek tua ini.

“Luar biasa. Ilmu hebat, ilmu ajaib.”

“Puah... hanya ilmu sihir picisan begitu, apa sulitnya.” Sinto Gendeng kembali memasukkan susur baru ke dalam mulutnya?

Orang-orang di tengah lapangan seolah berada dalam goa. Pada umumnya, goa dipenuhi dengan lumut, tumbuhan merambat, juga kotoran kelelawar atau hewan melata. Tapi yang mereka saksikan benar-benar sulit dipercaya. Goa itu memiliki atap yang sangat tinggi. Ada banyak obor tergantung di dinding. Lantai bersih layaknya sebuah rumah yang terurus. Lima tombak di depan sana ada batu pipih melingkar. Wiro, lewat ilmu ajaib milik Bidadari Angin Timur palsu, pernah melihat batu pipih ini. Menurut gadis berambut pirang itu, batu ini muat hingga lima puluh orang sekali jalan.

Wiro melompat ke arah batu pipih itu. Ratu Randang mengikuti.

“Batu ini bisa menampung lima puluh orang dalam sekali jalan.”

Ratu Randang menatap tak percaya. “Kau tahu banyak tentang peralatan Kerajaan Perut Bumi, Wiro.”

“Tapi masalahnya, apa aman menaiki batu pipih ini? Kuyakin sumur menuju lantai dasar cukup dalam.” Dari sela batu, Wiro melongok, warna hitam pekat menjadi pemandangan yang tidak bisa terlihat, dan sulit memastikan sedalam apa lubang ini? Lubang itu seolah tidak memiliki dasar.

Blup!

Pertunjukan hilang. Keadaan kembali seperti semula.

“Aku tidak bisa lama-lama. Penciptaan terlalu banyak menguras tenaga.”

“Aku mengerti, Nek.” Wiro Sableng memandang ke lelaki yang berteriak tadi. “Saudara kau sudah puas?”

Lelaki ini tertawa. “Pertanyaan bodoh macam apa itu? Aku baru puas setelah perempuan di sampingmu itu bisa membawa kami semua ke dalam perut bumi.”

“Saudara, kita semua di sini sedang mencari jalan keluarnya.”

“Yang kulihat sejak tadi kau hanya bengong kayak orang linglung, dan kakek yang dijuluki Kakek Segala Tahu itu nyatanya tidak tahu apa-apa.”

“Sobat, omonganmu keren amat.”

Lelaki ini melirik ke sisi kirinya, di mana suara orang terdengar. Betapa terkejutnya Panglima Besar ini. Ia tahu betul lelaki gemuk dengan baju terbalik itu sebelumnya tidak ada dalam baris pasukannya. Mengapa kini tahu-tahu berada dekat sekali di sampingnya? Lebih mengejutkannya, ia tidak merasakan kehadiran si gendut. Sejak kapan manusia berkupluk ini ada di sini?

Lelaki gendut yang bukan lain adalah Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti mengedipkan matanya. Lalu ia melambai ke arah Wiro Sableng dan memberi banyak kedipan kepada Ratu Randang. Hingga wanita paruh baya berparas ayu ini bergidik ngeri dibuatnya.

“Siapa namamu, Sobat?” Ia melirik ke pasukan yang dibawa lawan bicaranya. “Pasukanmu cukup banyak. Mungkin sekitar lima ribu. Tapi percayalah, Sobat, ada pasukan yang jauh lebih banyak dari berbagai belahan bumi di Nusantara. Tapi mereka tidak secerewet kalian. Kata-katamu terlalu merendahkan Kakek Buta itu. Apa kau pikir tanpanya kau bisa berada di sini? Bukankah pasukan yang kau pimpin bisa sampai ke tanah ini berkat pertolongannya? Berkat kawalannya? Mengapa kau begitu mudah melupakan jasa seseorang?”

Lelaki ini teresiap. Bagaimana manusia bertubuh gemuk ini bisa tahu kalau mereka datang bersama salah satu salinan dari Kakek Buta itu? Dalam perjalanan pun kelompok ini paling banyak bertanya. Bahkan ketika perintah untuk melakukan siasat sebagai perlawanan saat pertempuran terjadi pun mereka tidak segera melaksanakan, padahal kala itu pasukannya mengalami kekacauan hebat akibat serangan gila yang dilancarkan orang-orang perut bumi.

“Bagaimana kau bisa tahu, orang muda?”

Bujang Gila Tapak Sakti terkekeh. “Kalau pernyataanku saja bisa membuat kamu heran, bagaimana mungkin kau berani meremehkan Kakek Buta itu? Aneh sekali dunia ini. Ah... aku tidak kuat. Aku ingin mandi. Hari ini panas sekali.” Bujang Gila Tapak Sakti kibaskan kipasnya perlahan saja. Saat itu juga, lelaki ini terdorong lima langkah, hingga sosoknya terbanting. Bersamaan dengan itu, puluhan prajurit terpental dan jatuh bergedubukan.

“Eh, apa yang kalian lakukan? Mengapa kalian tiduran di sini?”

Semua orang, kecuali mereka yang tadi hendak membelot, tertawa melihat kekacauan para prajurit. Bujang Gila Tapak Sakti melipat kipasnya, lalu membantu berdiri pimpinan tadi.

“Orang muda, kau telah memberikan pelajaran berharga pada kami semua, terutama kepadaku. Aku mengutarakan banyak terima kasih. Namaku Jati Lawangsa. Siapakah namamu, pemuda gagah?” Lelaki ini sedikit membungkuk.

“Orang-orang memanggilku Pendekar Berkipas Sakti,” jawab Santiko sambil cengengesan.

“Kerbau Bunting namanya, Saudara,” sela Wiro.

“Wiro, kau jangan merusak suasana.” Santiko merengut tapi bibirnya senyum-senyum. Sementara lelaki yang mengaku bernama Jati Lawangsa hanya bisa terperangah.

“Sesuai dengan bentuk tubuhnya,” menyahuti Ratu Randang yang jelas saja kata-katanya itu membuat Bujang Gila Tapak Sakti semakin melotot ke arah Wiro Sableng.

“Ah, gara-gara Si Sableng, wanita incaranku jadi tahu nama burukku.” Bujang Gila Tapak Sakti berkelebat ke barisan lain, di mana sebelumnya ia berada. Wiro dan Ratu Randang saling melempar pandang dengan bibir mengulum senyum.

Wiro Sableng melangkah ke arah Kakek Segala Tahu. “Apa yang kita lakukan selanjutnya, Kek?”

Baru saja Wiro bertanya begitu, suara retakan terjadi di dinding batu. Kepulan debu mengikuti retakan yang membentuk garis lurus ke atas. Tanah yang dipijak bergetar halus.

“Wiro, ceritakan apa yang terjadi?” Kakek Segala Tahu yang sebenarnya mengetahui apa yang terjadi, mengajukan pertanyaan pada Wiro Sableng.

Drakk!

“Dinding itu retak, Kek. Dan sepertinya akan terbuka.”

Seperti apa yang dikatakan Wiro Sableng, tebing batu di ujung sana bergetar hebat. Kepulan debu dari retakan semakin banyak. Lalu, seperti kedua pintu yang ditarik menyamping, dinding batu itu terbuka perlahan, semakin lama semakin lebar. Kemudian terlihatlah sebuah goa yang keadaannya sama persis seperti yang digambarkan Ratu Randang sebelumnya.

“Para tamu kehormatan, kedatangan kalian sudah ditunggu. Silakan masuk dan selamat datang di Kerajaan Perut Bumi.”

Suara dari dalam dinding menggema di seluruh Tanah Perjanjian. Hempasan gelombang menusuk tajam ke telinga. Para prajurit yang tidak memiliki tenaga dalam untuk membendung serangan lewat suara menjerit kesakitan. Tanah Perjanjian kini dipenuhi hiruk-pikuk dan jerit mengerikan. Beruntung itu hanya terjadi sesaat saja. Karena setelah Wiro Sableng melepas serangan balasan, dinding batu bergemuruh, lalu rasa sakit yang menyerang banyak telinga musnah seketika.

“Meskipun sebuah undangan, kita tidak bisa masuk lewat pintu itu, Kek.”

“Kau benar, Wiro,” sahut Kakek Segala Tahu. “Pintu itu tak lebih hanya sebuah perangkap untuk kita semua.”

“Apa yang kalian tunggu? Bukankah pintu sudah terbuka, undangan sudah diberikan? Suara tadi jelas berasal dari dalam perut bumi.”

Pangeran Aryo Boyo melompat ke atas kudanya, siap menggebrak kuda, tapi tertahan karena bentakan seseorang.

“Cecunguk penunggang kuda! Jika kau datang ke sini hanya untuk mencari mati, silakan masuk ke pintu itu!”

Pangeran Aryo Boyo melihat ke arah suara. Di sebuah barisan, seorang lelaki seusianya melangkah ke baris depan. Walau jarak sejauh itu, ia mengetahui dari pakaian yang dikenakan—kain sutra, ikat pinggang berlapis emas, dan kalung kebesaran yang juga dari emas—tentulah pemuda itu sama tinggi derajatnya seperti dirinya. Seorang pangeran dari sebuah kerajaan. Bahkan, jika diperhatikan lebih saksama, pemuda ini seorang pangeran bukan dari selir, seperti halnya dirinya. Dengan kata lain, derajat pemuda yang membentak dan menyebut dirinya dengan perkataan tidak sopan itu lebih tinggi.

“Aku tahu kau datang untuk menuntut balas. Kehilangan orang yang kau sayang—entah bunda, saudara, kakak, adik, atau bahkan kekasih. Aku tahu perasaanmu. Tapi apa kau tidak mengerti bahwa kami juga mengalami keadaan yang sama? Kami datang untuk menuntut balas atas kematian orang yang kami sayang. Apa kamu merasa paling istimewa karena sebagai seorang pangeran kau berani datang ke tempat ini? Coba buka matamu lebar-lebar. Selain dirimu, ada banyak pangeran yang datang ke tempat ini demi membalas kematian orang-orang yang dicinta. Jangan kau pikir hanya dirimu yang berani menginjakkan kaki di Tanah Perjanjian ini!”

Merah mengelam wajah Pangeran Aryo Boyo. Seolah baru terbuka matanya, kini ia bisa melihat—nyatanya di tempat itu ada banyak sekali pangeran dalam pasukan kerajaan. Memang, sebelumnya ia mengira hanya dirinyalah yang berani terang-terangan datang ke sarang pembunuh bunda dan kekasihnya. Nyatanya, pangeran lain pun berani melakukan hal yang sama. Seketika, ia merasa malu yang teramat sangat. Semua orang menatap dingin ke arahnya, tapi di matanya, seluruh wajah itu terlihat seperti raut ejekan, lalu tawa hinaan, hingga ia tak tahan berdiri mendapat hujan tatapan. Sekali gebrak, pangeran ini kembali masuk ke dalam barisan di mana kelompoknya berada.

“Tolol. Dikiranya dia seorang-satunya pangeran yang berani datang ke sini.” Bujang Gila Tapak Sakti melirik ke arah gadis cantik berbaju biru muda.

“Sobat cantik, sejak tadi kulihat kau memandang ke sana kemari seperti sedang mencari sesuatu. Apakah dugaanku benar?”

Gadis cantik beralis indah seperti bulan sabit ini melirik sekilas kepada orang yang bertanya. Senyum manis terkembang di bibir, membuat Bujang Gila Tapak Sakti salah tingkah.

“Ditanya kok hanya tersenyum. Apa mungkin dia bisu?” pikir Bujang Gila. Pada gadis cantik, ia kembali bertanya namun dengan gerakan tangan orang bisu.

Yang ditanya terkikik. “Kamu lucu sekali.” Gadis ini memperhatikan tubuh Bujang Gila Tapak Sakti dari bawah hingga ke atas. “Aku memang sedang mencari seseorang, tapi sepertinya dia tidak ada di sini.”

Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum senang. Dugaannya tidak meleset. “Kalau boleh tahu, orang yang Sobat Cantik cari ini lelaki atau perempuan?”

“Lelaki.”

“Masih muda atau sudah tua?”

“Masih muda.”

“Jangan-jangan kekasihnya?” Pada gadis berbaju biru ia bertanya lagi, “Sobat Cantik tahu namanya?”

“Tentu.”

“Siapa namanya?”

“Panji Ateleng.”

“Panji Ateleng?” mengulang Bujang Gila Tapak Sakti.

Dua alis indah si gadis berjingkrak, mengikuti beliakan matanya. Terlihat jelas betapa terkejut juga senang gadis ini, mengira orang tahu lelaki yang sedang dicari.

“Sahabat berpakaian terbalik tahu?”

Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng. “Tidak.”

Gadis ini cemberut. Ia mengalihkan pandangan ke jurusan lain.

“Sobat Cantik, kau marah padaku?”

“Tidak.”

“Nanti aku bantu cari pemuda bernama Panji Ateleng itu.”

“Memangnya kamu tahu ciri-cirinya?”

“Tidak. Hehehe.” Bujang Gila Tapak Sakti terkekeh.

“Selain pakaianmu yang aneh, ternyata cara berpikirmu juga aneh.” Sekali berkelebat, tubuh gadis cantik itu sudah berada jauh di barisan lain.

“Padahal merpati sudah ada dalam genggaman. Lepas lagi. Sial betul. Sekalinya dapat gadis yang tidak kenal si Sableng, nyatanya tidak mudah didekati. Sayang aku tidak kenal dengan pemuda yang memiliki nama aneh itu. Panji Ateleng. Tidak pernah terdengar namanya.” Bujang Gila Tapak Sakti membuka kipasnya. “Gila, panas banget, aku merasa seperti terbakar. Tubuhku sampai mandi keringat begini.” Ia kebut-kebutkan kipas pada tubuhnya. Keringat membanjir deras karena panas matahari menyengat ganas. Tapi tidak berlangsung lama, karena berikutnya matahari itu terhalang oleh bayangan.

“Eh, bayangan apa itu? Banyak amat?”

Bujang Gila Tapak Sakti—juga semua orang yang merasakan keanehan yang sama—melihat ke atas. Di atas sana, ada ribuan sosok makhluk seperti manusia, tapi anehnya mereka bisa terbang.

“Jin atau demit penunggu tempat inikah itu?”

Pertanyaan Bujang Gila Tapak Sakti segera terjawab. Ketika ribuan sosok itu sampai di tanah, Wiro Sableng segera membungkuk hormat pada salah satunya. Semua orang segera mengetahui bahwa rombongan yang baru datang ini adalah para dewa dari kayangan.

Ada dua golongan yang mengalami keterkejutan besar. Golongan pertama adalah sebagian tokoh sakti yang sebelumnya tidak mempercayai adanya kehidupan para dewa. Karena selama ini mereka belum pernah sekalipun melihat dengan mata kepala sendiri sosok dewa di dunia ini, atau salah satu dari mereka melihat secara langsung alam para dewa. Golongan kedua ialah orang-orang kerajaan beserta para prajuritnya. Sebagian dari mereka bahkan menganggap apa yang disaksikan saat ini sebagai bagian dari mimpi.

“Kek, kau datang di waktu yang tepat. Kami di sini mengalami kebuntuan berpikir.”

Resi Saptuning Jagat tersenyum ke arah Wiro. Seluruh mata dewa lainnya juga memandang ke arahnya. Jika Wiro tidak mengenal satu-satu para dewa itu, lain halnya dengan mereka semua. Semua dewa di atas langit dalam lingkup Kerajaan Ramanda mengenal betul siapa dirinya. Sejak kekacauan yang terjadi di atas langit, semua dewa di segala pelosok negeri membicarakan dirinya. Wiro Sableng benar-benar menjadi buah bibir di kalangan para dewa.

Resi Saptuning Jagat berpaling ke arah Kakek Segala Tahu. “Orang tua bijak, tugasmu sudah selesai. Untuk selanjutnya, biar kami para dewa yang mengakhiri.”

Kelontreng kaleng rombeng terdengar. Bukan hanya satu sosok Kakek Segala Tahu, enam lainnya melakukan hal yang sama. Akibatnya, Tanah Perjanjian menjadi ramai. Pada akhirnya, setelah upacara pemusnahan kabut, suara kaleng rombeng itu kembali terdengar.

“Seperti yang dikatakan pemuda sableng itu, kami memang mengalami kebuntuan berpikir dan merasa sangat terbantu dengan kedatangan para dewa.”

Resi Saptuning Jagat kembali mengangguk. “Selain itu, Orang Tua Bijak, kami para dewa mengucapkan banyak terima kasih karena kau telah menjalankan tugas sebaik-baiknya. Dan berkatmu pula, juga berkat kalian semua para penduduk bumi, Kabut Kematian akhirnya musnah. Dengan begitu, kami para dewa bisa turun ke bumi. Upacara Penyingkap Tabir akan segera kami jalankan, tapi masih menunggu sahabat yang belum datang.”

Wiro Sableng yang merasa heran hendak bertanya, siapakah gerangan yang sedang ditunggu kakek mahasakti itu? Ramanda? Raja Agung atas Langit? Atau Dewi Asih Gendramani? Untuk yang terakhir, ia menyangkal keras dugaannya. Tidak mungkin sang dewi turun ke bumi yang penuh dengan kotoran dari dosa manusia.

Wiro Sableng tidak perlu bertanya, karena saat itu juga orang yang ditunggu datang. Didahului dengan suara gemerincing, kereta kencana milik Nyi Roro Kidul terdengar. Semua mata memandang ke arah datangnya suara. Kereta itu seperti berjalan di udara, diiringi ratusan prajurit yang semuanya perempuan. Pakaian yang dikenakan begitu tipis, nyaris memperlihatkan bentuk tubuh, ditambah dengan belahan di bagian paha kanan kirinya. Semua mata memandang melotot melihat kemulusan tubuh dan kecantikan wajah para prajurit Nyi Roro Kidul, lebih-lebih ratunya sendiri. Andai saja sebelumnya Tanah Perjanjian tidak dipenuhi bau harum dari Luhcinta, tentu, saat ini bau harum dari kedatangan Nyi Roro Kidul dan pasukan akan meneylimuti Tanah Perjanjian.

“Aha.... hilang satu tumbuh seribu. Pepatah itu tepat menggambarkan keadaanku saat ini. Satu merpati lepas, seribu burung lainnya datang. Hehehe... Gusti Allah memang adil.” Sambil mesem-mesem, Bujang Gila Tapak Sakti mengipasi tubuhnya yang kembali membanjir deras.

Nyi Roro Kidul turun dari tempat duduk kebesarannya, membungkuk hormat pada Resi Saptuning Jagat.

"Orang tua, maaf jika kedatanganku terlambat." Ia melihat ke segala arah. "Hmmm... nyatanya aku bukan satu-satunya yang datang paling akhir."

Resi Saptuning Jagat tersenyum. Wiro Sableng sendiri sudah mulai menduga-duga siapa orang yang dimaksud, yang bukan lain adalah Ratu Laut Utara. Karena jika Nyi Roro Kidul saja datang ke tempat ini, mustahil Ratu Laut Utara tidak. Dan dugaan murid Sinto Gendeng benar. Tidak butuh waktu lama, rombongan dari Laut Utara sampai. Tanah Perjanjian menjadi penuh sesak dengan pasukan.

"Semua sudah datang. Saatnya kita melakukan upacara Pengyingkapan Tabir." Resi Saptuning Jagat melayang ke arah tebing batu. Meraba tebing itu, tidak sampai menyentuh—lebih tepatnya satu jengkal dari tebing. Seketika cahaya putih kebiruan terlihat merambat, membentuk dinding yang seakan menjadi pagar antara mereka dan tebing batu. Semua orang membelalak tak percaya. Lebih-lebih Ratu Randang yang sebelumnya melewati dinding itu tanpa merasakan apa pun, juga tidak mengetahui adanya dinding cahaya.

"Orang Tua Bijak, kau pernah menanyakan mengapa kami para dewa memilih tempat ini waktu itu. Inilah alasannya. Ujung Kulon satu-satunya tempat di muka bumi ini yang menjadi pusat atau titik pertemuan tiga alam sekaligus: alam manusia, alam dewa, dan alam jin. Selain tiga alam itu, lewat dinding ini pula kalian bisa melakukan perjalanan waktu—ke masa lalu atau ke masa mendatang. Juga ke tempat-tempat yang sulit terjangkau, termasuk ke Kerajaan Perut Bumi. Tentu tidak semua orang mampu melakukannya."

Naga Kuning menyenggol siku Kakek Setan Ngompol. "Kau ingat ketika kita terpesat ke negeri Latanahsilam, Kek? Waktu itu Kiai Gede Tapa Pamungkas bisa melakukan perjalanan tanpa menggunakan Batu Pembalik Waktu. Mungkinkah orang tua itu menggunakan dinding cahaya di sana?"

"Mungkin saja," jawab Setan Ngompol tanpa mengalihkan pandangan. "Orang tua di sana bilang tidak semua orang mampu melakukannya. Mungkin maksudnya hanya para dewa, atau orang yang sudah menjadi setengah dewa, yang bisa melakukan itu. Seperti halnya Kiai Gede Tapa Pamungkas."

Naga Kuning manggut-manggut, sementara kekasihnya tidak memberikan reaksi apa pun. Sorot matanya tak berkedip memandang ke depan.

Resi Saptuning Jagat memberi tanda kepada seluruh dewa. Mengerti maksud pimpinannya, semua dewa itu menyebar ke dinding cahaya. Seperti halnya Resi Saptuning Jagat, para dewa itu juga menempelkan telapak tangannya ke dinding cahaya.

"Pejamkan mata kalian. Jangan sekali-kali membuka sebelum aku memerintahkan. Lakukan sekarang!"

Semua orang mengikuti. Mereka tidak merasakan apa pun, kecuali hempasan angin lembut yang mengenai tubuh.

"Kalian boleh membuka mata."

Ketika semua orang membuka mata, betapa terkejutnya mereka. Langit yang sebelumnya berwarna biru cerah, dihiasi arakan awan dengan matahari bersinar terik, kini yang terlihat di atas sana berwarna jingga kekuningan. Jauh di sudut kanan dan kiri tampak cahaya yang sangat besar. Semua orang tahu dua cahaya besar itu bukan matahari. Memandang ke depan, ratusan bangunan megah menjulang tinggi. Wiro Sableng pernah melihat istana-istana ini lewat ilmu aneh Bidadari Angin Timur palsu. Dan yang paling jauh di atas sana, juga paling besar, itulah Istana Kerajaan milik Kamaswara.

Tidak jauh dari rombongan mereka, terbentang tiga puluh tombak pasukan dari Kerajaan Perut Bumi telah siap siaga. Melihat betapa banyaknya pasukan musuh, hampir sebagian prajurit menggigil ketakutan. Tidak sedikit yang sampai terkencing-kencing di celana.

Yang membuat gemetar karena musuhnya kini bukan hanya dari golongan manusia, melainkan bangsa jin. Lebih dari separuh pasukan itu dipenuhi bangsa jin yang tingginya dua kali tinggi manusia. Sementara pemimpinnya, yakni Buto Kantolo, memiliki tinggi tiga kali manusia.

"Pangeran! Pangeran Aryo Boyo tidak ada!" Lelaki berjanggut yang sejak tadi tidak pernah turun dari kudanya teriak panik. Semua orang di dekatnya memandang sekeliling mencari-cari. Bahkan Luhjelita, Lakasipo, dan Jatilandak dibuat heran dengan kejadian itu.

"Para prajuritku juga tidak ada!" Tidak jauh dari rombongan tadi, salah seorang teriak. Ia Panglima Jati Lawangsa.

Ketika semua tokoh dibuat heran, Resi Saptuning Jagat menjelaskan tanpa berpaling ke arah belakang.

"Itu akibatnya tidak mau menaati aturan. Orang-orang yang hilang itu tentu melanggar, membuka mata. Mereka tidak tahu, kalau sekali aturan dilanggar, nyawa taruhannya. Tubuh mereka terbakar hangus menjadi debu."

Lelaki yang menjadi pimpinan merasakan lemas pada tubuhnya ketika mendengar keterangan si orang tua. Ia telah berjanji pada rajanya akan melindungi anak itu dengan segenap kemampuan yang dimiliki. Tapi, di hadapannya, tanpa mampu berbuat apa-apa, anak itu telah pergi. Tujuannya untuk membalas dendam bukan hanya tidak pernah kesampaian, jauh dari itu, ia bahkan mati sebelum kakinya menginjak kerajaan terkutuk yang selalu dimaki-makinya. Meninggal tanpa tahu siapa orang yang telah membunuh, memperkosa bundanya, serta menculik kekasihnya.

"Maafkan aku, Pangeran," lirih lelaki ini penuh penyesalan.

Dengan Ilmu Menembus Pandang, Wiro Sableng mampu melihat dengan jelas wajah-wajah di seberang sana. Walaupun tidak tahu berapa banyak jumlahnya, Wiro Sableng mampu memperkirakan sedikitnya berjumlah dua kali pasukan yang dipimpin dirinya. Pasukan itu berbaris mengikuti warna pakaian yang dikenakan. Warna hitam dan mengenakan tupung yang juga hitam paling banyak. Bagaikan lautan manusia, mereka ini yang sering disebut Cabang Enam, Tujuh, dan seterusnya. Di depan manusia bertupung berbaris rapi dengan pakaian warna merah. Orang-orang bertupung ini sering disebut Cabang Lima. Jumlahnya selalu seribu. Karena jika ada kelompok Cabang Lima yang mati, maka akan ada pemilihan anggota baru dari Cabang Enam yang layak menggantikan.

Di depannya berbaris Cabang Empat. Pakaian yang dikenakan berwarna hijau bergaris cokelat kehitaman. Jumlah mereka separuh dari Cabang Lima. Pembeda dari cabang-cabang sebelumnya, di Cabang Empat hingga Cabang Satu, tupung sudah tak lagi digunakan.

Lalu ada Cabang Tiga. Barisan di mana Gayatri Wigura dan Pendekar Seribu Bayangan berada. Mengenakan pakaian warna ungu bergaris hitam. Jumlah pasukan ini ada tiga ratus orang.

Cabang Dua adalah kelompok yang sebelumnya mendatangi Wiro, dalam pimpinan Bidadari Angin Timur palsu, memiliki jumlah dua ratus orang.

Cabang Satu yang berada pada baris paling depan mengenakan pakaian berwarna biru tua bergaris hijau, berjumlah seratus orang.

Dan yang paling mengejutkan, Sri Dewi Maharta berada di baris Cabang Satu. Mungkinkah kekuatan orang-orang di Cabang Satu sedahsyat Sri Dewi Maharta? Padahal satu manusia ini saja mampu memporak-porandakan banyak tokoh sakti golongan putih. Tidak terbayangkan jika seratus orang lainnya memiliki kekuatan yang sama.

Terakhir kali murid Sinto Gendeng melihat ke arah Raja Agung Kamaswara. Ini untuk pertama kalinya ia beradu tatap sedekat itu. Lelaki berparas gagah dengan tatapan tajam tersenyum ke arahnya. Wiro sampai tersurut satu langkah ke belakang. Raja agung itu nyatanya tahu apa yang sedang ia lakukan. Harusnya sejak awal ia menyadari, tidak ada penolakan sedikit pun atas penerapan ilmu penembus pandangnya. Itu artinya, pemilik kekuasaan Perut Bumi memang sengaja membiarkan semua ini terjadi. Lalu untuk apa? Memperlihatkan kekuasaannya? Kebesaran pasukan yang dipimpin?

Pandangan Wiro Sableng kembali mengarah ke baris Cabang Tiga, di mana Pendekar Seribu Bayangan berada. Melihat wajah manusia satu itu, ia teringat dengan kematian istrinya, Ratu Duyung. Manusia inilah penyebabnya. Seketika darah murid Sinto Gendeng mendidih. Sekali berkelebat, ia telah sampai dua langkah di depan barisan musuh. Wiro Sableng telah mengeluarkan Ilmu Seribu Langkah Dewa, salah satu ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Seribu Bintang.

Dua kelompok pasukan yang berseberangan berseru tegang. Kelompok pertama tentu saja dari pasukannya sendiri. Begitu cepatnya gerak lesat yang dilakukan Wiro Sableng, mereka semua baru menyadari ketika sosok Wiro telah berdiri di ujung sana. Hampir semua tokoh sakti leletkan lidah penuh kekaguman. Demikian pula dengan baris yang didatangi. Seketika kelompok ini geger. Belum hilang rasa kejutnya, Pendekar Seribu Bayangan yang ada di baris Cabang Tiga terbetot ke depan. Teriakan cemas dan ketakutan terdengar, lalu—

Hekkk!

Teriakan dipaksa menghilang ketika tubuhnya tergantung dengan leher tercekik. Melejang-lejang, lelaki ini berusaha melepaskan diri, sayangnya, cekikan tangan kanan Wiro Sableng layaknya jepitan baja raksasa. Jangankan hanya satu manusia Seribu Bayangan, seratus manusia dengan kekuatan sama seperti dirinya pun belum tentu mampu melepaskan.

Cabang Tiga, Dua, dan Satu yang ada di dekat situ siap membantu, tapi tidak jadi ketika melihat gerakan Raja Kamaswara yang melarangnya.

Dalam cekikan, Pendekar Seribu Bayangan mencoba melepas pukulan lewat tangan kiri dan kanan, tapi seolah terbendung, tenaga dalam tak mampu dialirkan. Hingga lejangan tubuh berhenti, menandakan nyawanya telah minggat ke neraka. Semua orang membeliak ngeri melihat kejadian yang teramat singkat dan cepat itu.

Wiro Sableng melempar sosok tak bernyawa itu ke arah Raja Kamaswara. Semua orang berteriak marah, tapi raja mengangkat tangan menandakan perlakuan pemuda itu tidak perlu dirisaukan. Sekali kibas, perlahan saja, sosok mayat Pendekar Seribu Bayangan terpental berbalik arah. Saat sampai di pertengahan, mayat itu meledak. Wiro Sableng merasakan hempasan tenaga dalam yang sangat kuat sekali. Padahal lambaian tangan raja itu acuh tak acuh.

Kala semua orang terperangah melihat kejadian luar biasa di depan mereka, jerit kesakitan terdengar menggila di bagian belakang. Wiro Sableng sendiri sampai melirik ke pasukannya. Di baris paling ujung, lebih dari seribu pasukan yang dipimpin Wiro Sableng terkubur hidup-hidup. Jeritan hilang ketika bumi yang tiba-tiba terkuak menelan seribu orang lalu menutup kembali.

Semua orang yang ada di situ gempar. Para tokoh sakti sampai harus berjaga-jaga kalau-kalau serangan mengerikan tadi kembali terulang.

Cabang Satu, Dua, dan Tiga tertawa mengejek melihat pasukan lawannya kocar-kacir tak karuan. Tentu saja Wiro Sableng tidak mau kalah dengan gertakan orang-orang Perut Bumi. Sekali tumit kaki menginjak tanah—

Retttttt!

Tanah terbelah. Wiro Sableng telah mengeluarkan Ilmu Membelah Bumi Menyedot Arwah yang didapatnya dari Luhrembulan, alias Hantu Santet Laknat.

Wiro Sableng sudah berulangkali menggunakan ilmu aneh itu, dan ia tahu dampaknya seperti apa. Tapi yang ia tidak tahu, ilmu itu digunakan ketika dirinya telah menguasai Kitab Seribu Bintang. Akibat dari goresan tumitnya, tanah terbelah, yang membuat Wiro ini terbelalak tak percaya. Belahan tanah itu melebar jauh hingga ke tengah barisan. Bukan itu saja, tarikan yang terjadi juga sangat mengerikan. Kalau sebelumnya hanya mampu menarik puluhan orang sebelum tanah itu kembali tertutup, kini yang tersedot puluhan kali lipat lebih banyak. Tanah itu juga tidak langsung menutup seperti sebelumnya. Orang-orang dari Cabang Satu, Cabang Dua Cabang Tiga dan Empat memang berhasil selamat tapi tidak degan Cabang Lima ke atas. Mereka tersedot beberapa orang menolong, menarik paksa agar orang yang tersedot bisa kembali keluar dari lubang, celakanya, mereka yang menolong pun ikut tertarik. Kekuatan dahsyat dari Kitab Seribu Bintang menjadikan setiap kesaktian yang dimiliki Pendekar 212 berlipat-lipat lebih mengerikan dari sebelumnya. Kamaswara sampai harus turun tangan untuk menghentikan kegilaan tanah yang menguak besar.

Des!

Tanah tertutup rapat, tapi lebih dari seribu pasukannya mati sia-sia. Semua orang termasuk juga Raja Kamaswara tidak menyangka kalau pemuda sableng itu memiliki ilmu mengerikan yang mampu mengubur hidup-hidup lebih dari seribu orang hanya dalam sekali gebrakan. Kalau kuakan tanah terus dibiarkan, tentu kehilangan pasukan bisa lebih banyak lagi.

Wiro Sableng kembali ke tempat semula. Kalau sebelumnya orang-orang Perut Bumi yang tertawa bergelak dengan mimik muka penuh ejekan, kini yang terjadi sebaliknya. Ledakan tawa terdengar dari pasukan Wiro Sableng.

Bab 22

Panji Argo Manik yang dikenal juga dengan Singa Gurun Bromo meleletkan lidah ketika melihat keganasan ilmu aneh yang dimainkan kawan lamanya. Kepala menggeleng dengan tatapan penuh kekaguman.

"Aku tahu sahabat kita yang satu itu memiliki ilmu silat dan tenaga dalam sangat tinggi. Tapi terakhir kali aku melihatnya, masih berada dua atau tiga tingkat di atasku. Sekarang, sulit kubayangkan setinggi apa tenaga dalam sahabat kita yang satu ini."

Di sebelahnya, Andana, salah satu pendekar muda dari tanah seberang, mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan sahabat barunya dalam perjalanan menuju tanah perjanjian.

"Dari kabar yang kudengar, dia telah berhasil mendapatkan kitab langka dari para dewa."

"Kitab Seribu Bintang."

Panji Argomanik dan Andana melirik ke arah samping mereka, di mana sosok Sandaka, alias Manusia Paku, berada.

"Kau tahu riwayat kitab itu?" tanya Panji Argomanik. Sandaka mengangguk pelan.

"Istriku pernah cerita soal kitab itu. Dalam mimpinya, ia melihat Wiro berhasil mendapatkan kitab maha sakti dari dewa. Sebelumnya aku mengira hanya bunga tidur saja. Sampai seorang kakek dari tanah seberang memintaku melakukan perjalanan jauh ke sini. Tokoh-tokoh golongan putih sangat membutuhkan kehadiran para pendekar muda seperti kita."

"Kau kenal kakek yang mendatangimu?"

"Tidak cukup dekat. Hanya tahu kalau kakek itu salah satu guru sahabat kita, Wiro. Beliau juga yang dulu menolong istriku dan anaknya."

Panji Argomanik dan Andana mengangguk-angguk. Keduanya kembali memandang ke depan, di mana rombongan lawan membelalak ke arah Wiro Sableng dengan tatapan tidak percaya. Tergambar jelas betapa besar keterkejutan yang menimpa mereka semua. Begitu pun dengan Raja Agung Kamaswara sendiri. Lelaki berparas gagah ini sampai sedikit ternganga, meski kemudian senyum tipis menyeruak di bibirnya yang tidak berkumis.

Berbeda dengan semua orang yang melihat kejadian mengerikan dengan sedikit dana berdebar, perempuan cantik bermahkota, berpakaian serba merah dari kain sutra yang berdiri di baris depan justru mengalami hal sebaliknya. Kala kegilaan terjadi di pihaknya, ia berdecak dengan gelengan kepala. Tatapan penuh kekaguman juga hasrat yang menggebu terlihat jelas di raut wajah mulusnya.

"Luar biasa. Gagah, berotot, berilmu tinggi. Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan pemuda itu. Aku harus berhasil menidurinya. Tidak terbayang, sebesar apa kekuatanku nanti." Bibir merah basah tersenyum manis dengan sorot mata tiada henti menatap ke wajah lelaki yang dikagumi.

Wiro Sableng terkesiap ketika menyadari kalau di baris depan, tidak jauh dari Raja Agung Kamaswara, ada seorang kakek bermuka bopeng. Salah satu matanya ditutup kain hitam yang diikat ke kepala. Kepalanya sendiri bisa dikatakan botak bagian atasnya, meski ada helaian rambut panjang berwarna putih yang menjalar ke tubuh, bersatu padu dengan warna senada jenggot yang juga panjang menjela ke pusar.

Bukan muka bopeng atau mata picak yang membuat Wiro sedikit terkesiap. Juga bukan pakaian bagusnya yang terasa aneh lantaran jomplang dengan wajah serta bentuk tubuhnya, melainkan, kakek bermata picak ini memiliki kembaran. Ada dua kakek aneh yang sama di sisi kanan Kamaswara.

"Kek, kau mengenal kakek botak berambut panjang itu?" bisik Wiro pada Kakek Segala Tahu, yang kontan saja terkekeh.

"Orang gila macam mana yang menanyakan hal gila pada tua bangka yang juga gila ini? Sebenarnya dia botak atau gondrong?"

Wiro terhenyak. Menggaruk kepala lalu tertawa sendiri ketika menyadari keanehan pertanyaannya.

"Astaga, aku baru sadar, Kek," katanya masih sambil tertawa. "Maksud aku, kepala dia botak bagian atasnya tapi rambut putih bagian samping panjang sampai ke pinggang. Dia seusia kamu, Kek. Hmm... tidak, tidak. Kutaksir dia lebih tua satu atau dua tahun di atasmu, Kek."

Kakek Segala Tahu mengerinyitkan kening. Wiro Sableng melihat ada raut ketegangan di sana.

"Kau mengenalnya, Kek? Aku melihat kau sedikit terkejut."

"Bisa kau sebutkan ciri-cirinya lebih terperinci, Wiro?"

Wiro Sableng menambah aliran tenaga dalam ke matanya. Sampai saat ini ia masih menggunakan ilmu pemberian mendiang istrinya, Ratu Duyung.

"Kepala atas botak, rambut putih panjang menjela punggung dan tubuh. Muka bopeng, salah satu matanya bagian kiri ditutup dengan kain. Ia mengenakan kain bagus warna merah...."

Sepasang mata buta Kakek Segala Tahu terbuka nyalang, mulut ternganga. Raut kekhawatiran terlihat jelas di sana. Hal itu juga diketahui Wiro hingga ia tak melanjutkan keterangan.

"Bramanta Dwipala," desis Kakek Segala Tahu.

Wiro Sableng mengerutkan kening. "Kau menyebut nama seseorang, Kek?"

"Wiro, coba kau lihat di bagian lehernya apakah ada sebuah kalung yang terbuat dari tulang jari-jari manusia yang dibikin rantai?" Suara Kakek Segala Tahu tampak gemetar, jelas ini diketahui oleh murid Sinto Gendeng. Melihat sikap aneh Kakek Segala Tahu, diam-diam hatinya mulai tidak nyaman.

Wiro Sableng mengikuti perintah Kakek Segala Tahu. Ditelitinya bagian leher kakek berpenampilan aneh di kejauhan sana. Dan benar, di leher lelaki tua itu tergantung kalung rantai yang terbuat dari jari-jari manusia.

“Selain rantai dari tulang, di kalung itu juga tergantung sebuah guci sebesar ibu jari terbuat dari tembaga murni.”

"Celaka!" Kakek Segala Tahu mengusap wajahnya yang tampak pucat. "Wiro, selain Raja Jahanam, para dewa sesat, dan juga perempuan yang sebelumnya hampir menguras kesaktianmu, kakek satu itu juga termasuk orang paling berbahaya di kerajaan ini."

"Sepertinya kau sangat mengenal betul kakek tua aneh itu, Kek?"

Kakek Segala Tahu mengangguk lemah.

"Ketahuilah, Wiro, di masa mudaku dia dikenal sebagai Pendekar Seribu Sukma dari Lembah Neraka. Karena keganasan sepak terjangnya, akhirnya seorang resi mahasakti mengunci semua ilmu kesaktiannya. Hingga kemudian tersiar kabar kalau dia mati bunuh diri karena tidak kuat menjalani hidup tanpa kepandaian. Jika hari ini dia ada di sini, artinya, berita kematiannya dahulu hanya angin lalu. Tentunya orang-orang Perut Bumi itulah yang membebaskan kuncian kesaktian pada tubuhnya. Dia datang dengan sejuta dendam."

Wiro Sableng ingat dengan kembaran kakek sakti itu.

"Menurutmu, Kek, yang sebelah mana yang namanya Bramanta Dwipala?"

"Dua-duanya."

"Maksudmu dua-duanya, Kek? Bukankah setiap orang kembar tetap memiliki nama berbeda meskipun sama persis?"

"Wiro, apakah menurutmu setiap sosok diriku di sini memiliki nama lain?"

Mendapat pertanyaan balik, Wiro Sableng membeliak lebar.

"Jadi...." Wiro tidak mampu meneruskan kata-katanya, karena saat itu dilihatnya Kakek Segala Tahu mengangguk.

"Kau benar, anak muda. Dia memiliki ilmu Seribu Raga Seribu Sukma seperti halnya diriku. Jika hanya ada dua sosok yang terlihat di sini, kemungkinan besar sisanya menjadi pagar untuk sosoknya yang asli."

"Tidak mungkin!" Wiro Sableng menggeleng tidak percaya.

"Apa yang tidak mungkin, pemuda sableng?"

"Kek, sebelumnya aku mengira hanya kaulah satu-satunya yang memiliki ilmu luar biasa itu."

Kakek Segala Tahu menengadahkan wajahnya.

"Celakanya aku juga memikirkan hal yang sama. Setelah tersiar kabar kalau dia menemui ajal, hanya tua bangka rongsokan inilah satu-satunya pemilik ilmu Seribu Raga Seribu Sukma. Karena sejak aku turun gunung, guru menghilang dari dunia ini dan tidak lagi ikut campur urusan dunia persilatan. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah kepergiannya waktu itu didasari usia yang sudah sangat sepuh, atau karena termakan sumpahnya sendiri."

"Sumpah? Maksudmu termakan sumpah bagaimana, Kek?"

“Dia melanggar sumpahnya untuk tidak ikut campur urusan dunia setelah seluruh kesaktian diwariskan kepada kedua muridnya. Dia terpaksa melakukan pelanggaran itu karena tidak satu manusia pun sanggup menghentikan keganasan Bramanta Dwipala.

"Gusti Allah... jadi kakek aneh itu saudara seperguruanmu, Kek?"

Kakek Segala Tahu mengangguk lemah. "Dia kakak seperguruanku. Kau harus hati-hati, Wiro. Seperti julukannya, Pendekar Seribu Sukma. Salah satu kesaktian yang paling mengerikan yang dimilikinya adalah Ilmu Pejerat Sukma. Dia mampu menjerat puluhan bahkan ratusan sukma orang yang sudah mati atau yang masih hidup."

Kedua alis Wiro Sableng meninggi. Ingatannya langsung terbang jauh ke pertemuan dengan Dewi Asih Gendramani beberapa waktu lalu.

"Jadi dia manusianya yang menyekap Bunga?"

"Bukan hanya Bunga, kekasihmu dari alam roh itu. Selama dia masih hidup, kau jangan sekali-kali mempergunakan Ilmu Merogoh Sukmo."

"Aku akan ingat baik-baik pesanmu, Kek." Wiro Sableng mengepalkan kedua tangannya. "Mungkin pertama kali aku harus membunuh dia sebelum Raja Sesat sialan itu."

Seakan tahu apa yang dipikirkan Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu kembali berkata, "Mengenai Bramanta Dwipala, biar menjadi tanggung jawabku, Wiro."

"Tapi, Kek...."

Kakek Segala Tahu cepat menggeleng. "Tidak satu kekuatan pun yang sanggup membunuh salinan dari ilmu Seribu Raga Seribu Sukma. Bahkan kekuatan seribu dewa tidak akan mampu."

Untuk kesekian kalinya, Wiro Sableng terbelalak. "Jika sedahsyat itu, lalu bagaimana cara kau mengalahkannya, Kek?"

"Ilmu itu baru akan hilang jika pemilik aslinya mati. Seperti halnya orang tua buruk rupa yang kau kenal ini, Wiro. Apa kau tidak tahu, sebenarnya aku sudah mengalami banyak sekali kematian dalam pengembaraan di dunia yang sangat membosankan ini, hehehe.... Tapi selama diriku yang asli terlindungi dari ancaman, maka selama itu pula kematian bagiku hanya seperti tidur di siang hari."

"Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Bagaimana kau bisa menyembunyikan kegilaan itu selama ini, Kek?"

"Kau tidak harus memikirkan hal itu, anak muda. Perhatianmu harus tertuju pada satu titik: membunuh Raja Sesat, penyebab kekacauan yang terjadi di dunia ini."

Wiro Sableng melirik ke arah Kamaswara. Dilihatnya Raja Sesat itu sedang berbicara pada delapan dewa lainnya, juga kaki tangannya, termasuk kakek aneh bermata picak.

"Selama Batu Keabadian tersimpan di dalam tubuhnya, Kamaswara tidak bisa dibunuh, Kek. Menurut Dewi Asih Gendramani, hanya ilmu Merogoh Sukmo yang bisa mengambil batu itu dari tubuhnya."

"Itulah mengapa dia sengaja membebaskan kuncian kesakitan yang ada pada tubuh Bramanta Dwipala. Karena selama Bramanta Dwipala berada di pihaknya, kau tidak akan berani mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu Merogoh Sukmo. Dengan kata lain, kau dan kita semua benar-benar kesulitan untuk mengalahkannya. Cerdas dan juga licik sekali akal dewa sesat satu itu."

"Dia benar-benar sudah mempersiapkan segalanya."

Wiro Sableng berpaling ke arah kawan-kawannya. Dilihatnya mereka semua sedang berbicara ke kawan-kawan lain. Atau mungkin sedang merencanakan sesuatu?

"Kek, aku akan mencoba mencari di mana beradanya sosok asli dari Bramanta Dwipala."

Karena tidak ada sahutan dari Kakek Segala Tahu, Wiro Sableng mengaliri tenaga dalam lebih banyak ke arah matanya. Sorot pandang semakin terang. Wajah-wajah di baris paling ujung terlihat jelas olehnya. Ia mengedip, maksudnya untuk menambah jangkauan agar jarak pandang semakin jauh, tapi yang dilihatnya hanya sebatas pasukan di bagian paling belakang, bangunan tinggi menjulang, dan keadaan di sekitaran.

Merasa heran, Wiro Sableng menambah kekuatan tenaga dalam pada matanya. Sama. Sorot pandangnya tidak lebih jauh dari para pasukan musuh. Masih penasaran, ia tambah lebih banyak lagi, keringat mulai bermunculan di kening, tengkuk, hingga leher. Tetap saja. Pandangan tidak bisa lebih jauh walau hanya satu jengkal dari sebelumnya.

"Gila! Aku tidak bisa melihat lebih jauh dari keberadaan pasukan jahanam itu, Kek."

Kakek Segala Tahu yang memang telah mengetahui hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.

"Kek, kunci kemenangan kita ada pada kakek seperguruanmu. Sayang aku tidak berhasil menemukannya."

Kakek Segala Tahu kelontrengkan kaleng rombengnya.

"Wiro, kau tidak harus berkecil hati. Biar orang tua satu itu menjadi urusanku. Walau aku tidak tahu di mana dia bersembunyi, tapi aku yakin bisa segera menemukannya."

Wiro Sableng hendak menyahuti ucapan Kakek Segala Tahu, tapi tidak jadi karena salah satu lawannya di depan sana, yakni kakek sakti Bramanta Dwipala, berteriak menyebut nama seseorang. Nama yang sangat asing bagi mereka semua, baik bagi golongan hitam maupun golongan putih.

"Raden Arya Wiralaksa! Setelah puluhan tahun aku tidak melihatmu, akhirnya Iblis Penguasa Neraka mempertemukan kita. Bagaimana kabarmu, apakah kau baik-baik saja? Hahaha... kulihat matamu masih buta seperti dulu ketika terakhir sebelum akhirnya kita berpisah."

Semua orang saling pandang, saling mencari-cari, siapa orang yang dimaksud kakek tua aneh itu.

"Siapa yang diajak bicara oleh tua bangka berpakaian tak karuan itu?"

Sinto Gendeng menatap tajam ke arah Bramanta Dwipala. Nenek tua ini mengernyit ketika sorot mata kakek di kejauhan sana memandang ke jurusan di mana Kakek Segala Tahu berada.

"Mungkinkah kakek buta itu?"

"Sinto, apa yang kau maksudkan?" Dewa Tuak mengajukan pertanyaan, tapi oleh Sinto Gendeng segera diberi tanda agar kakek berkalung bumbung bambu ini diam.

"Hehehe..." Kakek Segala Tahu tertawa. "Bramanta Dwipala, tentu saja aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat, Bramanta Dwipala, aku tidak kurang suatu apa. Sehat walafiat. Aku bisa berdiri, jongkok, bahkan jungkir balik. Nih lihat!"

Kakek Segala Tahu memperagakan apa yang disebutkan. Setelah semua diperagakan dengan gaya mengejek sambil tertawa, kakek ini kembali berkata,

"Aku juga sekarang punya mainan baru, Bramanta Dwipala. Kamu mau lihat, mau dengar?" Kakek ini menggoncangkan kaleng rombengnya.

Sengaja ia kirim serangan lewat goyangan kaleng rombeng dengan mengalirkan lebih dari separuh tenaga dalam yang dimiliki.

Gelombang angin tak terlihat melesat jauh, menusuk telinga seiring kelontrengan kaleng rombeng si kakek. Jerit kesakitan terdengar bergemuruh di baris pasukan lawan. Beberapa, terutama mereka yang tingkat tenaga dalamnya hanya sekelas manusia-manusia bertupung dari Cabang Enam ke atas, sampai berguling-guling karena tidak tahan merasakan penyiksaan lewat lubang telinganya.

"Memamerkan ilmu picisan di hadapan kami. Memalukan sekali."

Kakek ini kibaskan tangan kanannya. Seketika serangan Kakek Segala Tahu musnah, bersama musnahnya jerit kesakitan puluhan ribu orang dari pasukannya.

"Apa-apaan ini?"

Sinto Gendeng mengetukan tongkat bututnya ke tanah dengan raut muka penuh kekesalan.

"Rahasia apa lagi yang bakal kita lihat dari kakek buta itu? Raden Arya Wiralaksa? Wong edan! Keren amat nama tua bangka buta itu! Siapa sebenarnya kakek sialan kawan kita ini? Lalu, siapa pula kakek bermata picak itu sebenarnya? Sepertinya mereka saling mengenal."

"Astaga, Sinto! Aku yang baru menyadari atau memang mataku yang sudah lamur?"

Tua Gila mengucak kedua matanya, mengedip-ngedipkan seolah apa yang dilihatnya hanya bayangan semata.

"Apa... apa yang kau lihat, Tua Gila? Jangan buat aku penasaran!"

"Coba kau lihat, kakek bermata picak itu punya kembaran."

Sinto Gendeng, Dewa Tuak, juga semua orang yang ada di sekitar situ, yang seakan baru menyadari, langsung terperangah. Apa yang dilihat Tua Gila berhasil membuat semua orang membeliak tak percaya.

“Keparat jahanam! Kalau satu kakek sialan itu kesaktiannya setingkat Segala Tahu, tidak bisa dibayangkan bagaimana keduanya.”

"Dewa Tuak, sepertinya kau lupa, kakek buta sahabat kita punya tujuh kembaran di sini. Kau jangan berkecil hati, hehehehe..."

Dewa Tuak manggut-manggut. "Kau benar, Tua Gila. Aku hampir lupa dengan sosok-sosok lain dari si tua buta itu, hehehe... ahhh minum dulu. Sejak tadi aku belum minum.” Dewa Tuak menuang cairan harum ke tabung bambu yang dipegang lalu, gluk gluk gluk... “Kau mau, Tua Gila?" Dewa Tuak menyodorkan potongan bambu yang menyisakan cairan berbau harum, hanya tinggal seperempatnya saja.

"Dikasih gratis siapa yang mau menolak, hihihi... gluk gluk gluk... tuakmu memang paling nikmat di dunia ini, Dewa Tuak. Tambah lagi tambah lagi...."

"Kalian tua bangka tidak tahu aturan! Dalam keadaan seperti ini, menghadapi antara hidup dan mati, masih sempat-sempatnya mabuk sempoyongan!"

"Sinto, kalau kau mau bilang saja. Tuak kayangan milik Dewa Tuak tidak ada lawan, tidak ada duanya, hahaha...."

"Benar, Sinto. Daripada ngomel tidak karuan, mending kita minum bersama... gluk gluk gluk..." Wajah Dewa Tuak sampai memerah karena terlalu banyak menengguk cairan harum kesayangannya.

"Dasar dua tua bangka tolol! Kena gebuk orang baru tahu rasa kalian."

"Kalau kena gebuk ya tinggal kita gebuk lagi, Sinto, hahahaha..."

"Setan alas! Diam kalian!" Sinto Gendeng melihat kembali ke arah depan.

"Resi Saptuning Jagat!" suara berat menggema. Seperti Kakek Segala Tahu tadi, Raja Agung Kamaswara juga memberi serangan lewat suaranya. Hempasan angin tajam menusuk ke lubang telinga, puluhan ribu prajurit menjerit-jerit kesakitan. Darah segar mengucur deras, beberapa sampai tumbang, melejang-lejang lalu sosoknya diam tak berkutik tanda nyawanya telah hilang.

Lebih dari seratus tokoh sakti yang melihat itu segera mengambil tindakan, memberikan serangan balasan untuk memusnahkan, sayangnya terlalu kuat. Jerit kesakitan terus berlanjut hingga tujuh Kakek Segala Tahu, yang dibantu banyak tokoh lainnya, memusnahkan serangan suara Raja Agung Kamaswara.

"Hahahaha... mudah bagiku untuk meratakan kalian semua."

Kamaswara menatap tajam ke arah Resi Saptuning Jagat.

"Kau terlalu sembrono mengandalkan kecoak-kecoak busuk ini untuk menghadapi pasukanku, orang tua."

"Keparat jahanam! Sombong sekali manusia terkutuk satu itu!" Mahesa Edan melihat ke arah kaki Raja Kamaswara. Senyum terukir di bibir pemuda ini. Rokok kawung yang baru berpindah ke jemari kembali terselip di sela bibirnya.

Resi Saptuning Jagat mengelus jenggot putihnya yang menjela sampai dada.

"Kau yang terlalu gegabah menyebut kami semua kecoa, Dewa Sesat. Hmmm.... walau begitu tidak mengapa. Tidak jadi masalah. Persoalannya apa kau tidak mengerti, mengapa adikmu hanya mengutus kami para kecoa yang kau sebutkan barusan? Tidak lain karena untuk menghabisimu tidak membutuhkan tangan manusia. Cukup segerombolan kecoa! Itu menandakan betapa rendah dan hinanya dirimu. Harusnya kau malu, Kamaswara. Sayang kau tidak punya akal untuk berpikir, karena kepala yang ada pada tubuhmu hanya menjadi pajangan semata."

Para dewa dalam pimpinan Resi Saptuning Jagat tertawa, diikuti semua orang yang ada di barisannya. Sementara Raja Agung Kamaswara, kelam menghitam wajahnya. Amarah telah memuncak, namun lelaki gagah ini masih mampu menguasai diri. Ia tersenyum seakan hinaan barusan tidak berdampak sedikit pun atas dirinya.

"Selain menjadi anjing raja keparat itu, nyatanya sekarang kau juga menjadi kacung yang pandai bermain kata-kata, Saptuning Jagat."

"Ah, aku jadi bingung sendiri. Sebenarnya kami ini sebangsa kecoa atau anjing?" Saptuning Jagat sengaja mengejek.

Kamaswara tidak pedulikan ucapan lawan bicaranya. "Walau sebenarnya aku tahu kedatangan kamu dan kalian semua ke istanaku hanya untuk mengantarkan nyawa, tapi sebagai sahabat baikmu di masa lalu, aku mau menawarkan sebuah keuntungan besar buat kalian para dewa."

"Hmmm... sepertinya itu memang menggiurkan. Coba katakan, penawaran apa yang ingin kau sampaikan pada kami, Kamaswara."

"Kebangkitan raja agung atas langit yang sesungguhnya. Akulah raja dari segala raja di alam para dewa. Kau dan seluruh dewa pasukanmu bergabung bersamaku, dan kita gulingkan Raja terkutuk Ramandha di atas langit sana."

"Lalu keuntungannya untukku dan penduduk bumi?"

Raja Agung Kamaswara tersenyum.

"Kau akan kuberikan pangkat tertinggi di istanaku nanti. Dan untuk para penduduk bumi, kalian akan aku bebaskan dari kematian."

"Hmmm... kesepakatan yang bagus dan sangat menggiurkan. Siapa orangnya yang tidak menginginkan jabatan tertinggi di kerajaan atas langit?"

"Artinya kau menyetujui kesepakatan ini, orang tua?"

"Sayangnya aku menolak." Resi Saptuning Jagat tersenyum dengan seringai mengejek.

"Kau memang pantas mati seribu kali. Aku kasih penawaran dengan segudang kebaikan, tapi justru kau memilih mati."

"Hai Dewa Sesaat, tidak ada yang memilih mati di sini. Sepertinya kamu salah menangkap ucapanku. Ahh, aku lupa, padahal barusan aku sendiri yang bilang kalau kepalamu hanya hiasan semata, tidak ada isinya. Tentunya kau tidak mampu berfikir untuk bisa mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku.”

Kilatan warna merah terlihat jelas di kedua mata Kamaswara. Dewa Sesat ini siap melepaskan serangan mematikan lewat pancaran cahaya dari kedua bola matanya, tapi tertahan, ketika dari bawah kakinya ia merasakan getaran.

Serangan bawah tanah!

Diketahui, senjata aneh milik Mahesa Edan, yakni berupa papan nisan, selain bentuknya yang aneh dari kebanyakan senjata lain, kedahsyatan senjata itu juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak musuh atau tokoh golongan hitam yang langsung terbelah putus tubuhnya saat senjata andalan itu dikeluarkan.

Senjata itu disimpan secara gaib dan bisa dipanggil di tempat mana pun, termasuk di bawah kaki lawan. Karena itulah, sekali keluar, tubuh lawan akan terbelah putus.

Saat melihat posisi berdiri Raja Kamaswara, Mahesa Edan memiliki rencana besar: memanggil senjata itu lalu sekali melesat, maka akan terbelahlah tubuh Kamaswara yang saat itu sedang terlibat adu mulut dengan Resi Saptuning Jagat.

Mahesa Edan merapal ajian untuk memanggil senjata sakti itu keluar. Pertama ia merasakan getaran hebat pada tangan kanannya, lalu terasa sekali ada bendungan yang mencoba menghalangi. Ia tidak menyerah, mencoba melipatgandakan tenaga dalam.

Hal ini menjadi perlakuan langka baginya, karena biasanya sekali ia membaca mantra, senjata sakti itu akan melesat. Kini, sampai ketiga kali ia melipatgandakan tenaga dalam, senjata tak kunjung mau keluar. Sampai tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya senjata yang tidak mau keluar, di kejauhan sana Kamaswara sepertinya telah tahu kalau dirinyalah yang melakukan penyerangan gelap.

Raja Agung di barisan sana tersenyum. Senyum ejekan yang membuat keringat dingin bermunculan di sekujur tubuh Mahesa Edan.

“Apa yang terjadi dengan dirimu, Mahesa?” Naga Kuning dan Setan Ngompol yang melihat keanehan tubuh Mahesa Edan, bergetar hebat tak terkendali mencoba membantu. Tapi baru saja kedua orang itu menempelkan telapak tangan di punggung Mahesa Edan, pemuda ini menjerit keras. Tubuhnya terpental, menabrak Naga Kuning dan Setan Ngompol hingga ketiganya bergedubukan tak karuan.

Keributan itu menarik perhatian Sinto Gendeng, Dewa Tuak, juga Tua Gila.

"Apa yang terjadi dengan orang-orang tolol itu?" Sinto Gendeng berkelebat. "Anak setan, apa yang barusan kau lakukan?"

Mahesa Edan terbatuk-batuk. Darah hitam kental keluar dari mulutnya.

"Luka dalam! Benar-benar tolol! Kau terlalu gegabah dalam mengambil keputusan." Sinto Gendeng menempelkan ujung tongkat bututnya di bagian punggung Mahesa Edan. Aliran hawa sakti masuk ke tubuh si pemuda. Lagi-lagi muntahan darah keluar dari mulut Mahesa Edan. Hingga tiga kali. Muntahan terakhir darah yang keluar berwarna merah.

"Aku tahu namamu Edan seperti halnya nama muridku, Sableng. Tapi aku tidak sampai mengira kalau selain edan, nyatanya kau pemuda tolol dan bodoh yang pernah aku temui di dunia ini!" Sinto Gendeng memasukkan sebutir pil hitam ke mulut Mahesa Edan. "Telan!"

"Bau nek..."

"Setan alas! Bau apa?"

"Bau Pesing!"

Naga Kuning dan kakek Setan Ngompol tertawa. Sementara yang lainnya menutup mulut, ada yang membuang muka ke jurusan lain karena takut si nenek marah tidak terima.

"Mau aku pecahkan kepalamu?"

"Ampun, Nek," Mahesa Edan mengelus dadanya yang sudah terasa lega. Sesak yang sebelumnya menyulitkan dirinya bahkan hanya untuk menarik napas kini telah hilang.

Sinto Gendeng berpaling ke arah Dewa Tuak.

"Dewa Tuak, pesan berantai dariku sudah sampai mana?"

Dewa Tuak melongok ke sisi kanannya. Jauh di bagian tengah sana, sangat kecil, seseorang sedang membisikkan sesuatu.

"Baru sampai tengah, Sinto."

Tengah barisan yang sedang membisikkan pesan berantai bukan lain adalah Mahesa Kelud. Ia berbisik kepada Nyanyuk Amber sebuah pesan tersirat dari Sinto Gendeng.

Nyanyuk Amber mengangguk mengerti. Kemudian Pandansuri meneruskan ke baris berikutnya hingga pesan itu berlanjut menuju ke baris paling ujung.

"Orang tua, kau pernah mempercundangi Nenek Sakti dari Lembah Anai hanya dengan pikiranmu. Aku tahu nenek menyeramkan itu bukan orang sembarangan, tapi bagimu tidak lebih hanya sebatas mainan. Mungkinkah kau bisa melakukan hal yang sama dengan raja jahanam itu?"

Mendapat pertanyaan dari Senopati Jayarendra, Nyanyuk Amber terbatuk beberapa kali. "Penerapan ilmu itu tidak semudah memainkan jurus silat Orang Muda. Ada banyak syarat yang harus kulalui terlebih dahulu sebelum mulai menggunakan."

"Apakah aku atau kita semua bisa membantu memenuhi syarat-syarat itu, orang tua?" Senopati Jayarendra mengepalkan kedua tangannya, berharap si orang tua mengangguk lalu memulai pelaksanaan penyerangan seperti waktu itu. Betapa luar biasanya andai raja sesat itu mengalami nasib yang sama seperti halnya Nenek Sakti dari Lembah Anai, mati dalam keadaan mengenaskan, termakan pukulannya sendiri.

"Bantuan bisa datang dari luar, tapi hanya sebagian kecil. Kecil sekali. Seperti halnya yang pernah kalian lakukan untuk melindungi tubuhku dari serangan agar aku tetap dalam keadaan tenang, pemusatan pada satu titik tidak terganggu."

"Hanya itu bantuan yang bisa kita lakukan, orang tua?"

"Hanya itu," tegas Nyanyuk Amber dengan nada suara sedikit putus asa.

"Lalu sisa lainnya? Syarat apa saja yang harus kau penuhi?"

Nyanyuk Amber menarik napas dalam-dalam. Anggini, Pandansuri, dan juga Mahesa Kelud memperhatikan, menunggu jawaban si orang tua.

"Pertama, aku harus tahu dulu setinggi apa tenaga dalamnya. Caranya seperti yang kalian lihat waktu itu. Batas yang boleh dimainkan tidak lebih dari satu tingkat di bawahku. Lebih tinggi dari itu, apalagi sampai menyamai tenaga dalam yang kumiliki, maka celaka bagiku. Dia bisa menyerang balik dengan mudah, meledakkan kepala tua bangka rongsokan ini."

Anggini dan Pandansuri saling pandang. Raut wajah penuh kecemasan terlihat jelas di keduanya.

"Kalau begitu, kau tidak perlu pergunakan ilmu itu, Kek," jelas sekali Pandansuri mengkhawatirkan keselamatan gurunya.

"Benar, Kek," sambung Anggini. "Biar mereka jadi urusanku dan semua orang yang ada di sini."

Suiiittttttttttt!! Suiiiiiiiiiiiitttttttttttt.....!!!

Suitan nyaring dan panjang terdengar dari ujung sebelah kanan. Melihat itu, Pandansuri dan yang lainnya siap siaga.

“Pesan berantai sudah sampai ujung.” Ia melirik ke arah Anggini. Dilihatnya gadis cantik berpakaian serba ungu mengangguk perlahan. Kedua tangan gemetar halus pertanda tenaga dalam penuh mulai dialirkan.

Sementara itu, di sebrang barisan yakni barisan para musuh tampak heran juga kebingungan mendengar suitan aneh dari ujung barisan lawan. Raja Kamaswara sendiri hanya sempat melihat nenek buruk rupa dengan kepala ditusuki konde teriak:

"Kalian yang berada di baris depan, merunduklah!"

Teriakan Sinto Gendeng menggema hingga ke baris paling ujung lawan. Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu yang ada di tengah lapangan, juga rombongan Nyi Roro Kidul serta Ratu Laut Utara, termasuk juga para dewa yang tidak mengetahui rencana apa yang sedang diterapkan para tokoh sakti di bagian belakang mereka, tidak menunggu lama. Ketika suara teriakan si nenek terdengar, semua orang yang ada di baris depan berjongkok, hingga barisan lawan terlihat jelas di depan sana.

Wus!!!

Ratusan pukulan sakti dilepas secara bersamaan mengarah kepada satu titik, yakni Raja Agung Kamaswara.

Hawa luar biasa panas laksana di dalam neraka lewat tiga jengkal di atas kepala orang-orang yang sedang berjongkok.

Di bagian lawan, kelompok dari Cabang Satu yang berada di baris paling depan terkejut bukan kepalang. Mereka hendak menangkis serangan mendadak yang mengarah kepada satu titik, sang paduka raja, tapi terlambat. Kalaupun ada yang nekat melakukan pastinya hanya untuk mencari mati karena ratusan pukulan sakti menghantam lebih dulu. Ledakan mengerikan terlihat jelas. Beberapa Cabang Satu yang berada dekat dan tidak berhasil menyelamatkan diri terpanggang hidup-hidup. Gumpalan api raksasa membumbung tinggi hingga lima tombak.

"Mampus!"

"Raja sesat tamatlah riwayatmu!"

"Berakhir sudah kehidupan dewa jahanam itu."

“Semudah itukah?”

Beberapa mulut mengumpat ketika dilihatnya raja sesat terbakar habis dan mungkin telah berubah menjadi abu.

"Sinto, sepertinya rencanamu berjalan sempurna," memuji Dewa Tuak ketika dilihatnya beberapa tokoh besar golongan hitam ikut terpanggang. Berguling guling, melejang-lejang dalam kobaran api yang menggila.

Api mulai mengecil. Sosok Raja Agung Kamaswara tidak terlihat lagi di sana. Semua orang bersorak sorai. Teriakan kemenangan menggema di seluruh kawasan Kerajaan Perut Bumi.

"Keparat jahanam itu benar-benar telah pergi ke neraka!"

"Sinto, nyatanya bukan hanya bagian bawahmu saja yang encer, bagian atas di dalam kepalamu juga," kata Dewa Tuak.

"Sialan kau, Dewa Tuak! Saat memuji saja masih bisa menghina. Jangan salahkan aku kalau mukamu aku guyur dengan air kencing hihihi...."

"Owalahhh..... Tobat aku Sinto. Hahahaha....." Dewa Tuak berpaling ke arah barisan lawan. Dengan pengerahan tenaga dalam ia berteriak, "Orang-orang terkutuk Perut Bumi, raja sesat pembawa malapetaka kalian sudah minggat ke neraka! Saatnya kalian menggorok leher masing-masing atau kalian lebih suka mendapat bantuan dari kami?"

Kalau Cabang Lima ke atas cukup terpengaruh dengan teriakan Dewa Tuak, bahkan Cabang Sepuluh hingga cabang terakhir sampai terkencing-kencing, lain halnya dengan Cabang Empat ke bawah. Mereka tetap tenang, terlebih ketika delapan dewa memberi tanda kalau semua akan baik-baik saja.

Bramanta Dwipala dan juga Sri Dewi Maharta tertawa cukup keras hingga bumi yang dipijak Wiro Sableng yang berada di tengah lapangan bergetar halus.

"Benar-benar tindakan memalukan! Seorang tokoh yang katanya menjunjung tinggi peradatan dunia persilatan melakukan tindakan pengecut!"

"Orang tua bermata picak!" teriak Sinto Gendeng. "Kami menyerang raja sesatmu dari arah depan, di bagian mana yang pengecut?"

"Dengan melakukan pengeroyokan saat Sri Baginda Raja Agung bicara? Sungguh, binatang lebih beradab dari yang kalian lakukan!"

"Bramanta Dwipala, cukup sudah bermain-mainnya. Saatnya kita tunjukkan jalan ke neraka kepada mereka semua."

Suara berat menggema. Bukan tenaga dalamnya yang berhasil membuat ribuan orang menjerit karena tak kuat menahan tusukan besi panas yang merobek telinga, melainkan karena suara itu sangat mereka kenal. Air muka kekhawatiran juga ketidakpercayaan terlihat jelas pada semua orang, terlebih para tokoh yang barusan melepas pukulan sakti bersama-sama.

Tepat di mana sebelumnya Raja Agung Kamaswara berdiri, menyisakan asap ledakan, kini terlihat kepulan asap putih tipis, meliuk-liuk membentuk manusia. Samar terlihat sosok yang sebelumnya terbakar hebat. Lalu tubuh yang disangka telah menjadi abu terlihat jelas. Raja Agung Kamaswara tertawa bergelak diikuti delapan dewa, Cabang Satu hingga Cabang Empat.

"Tidak mungkin," desis Tua Gila. "Kalaupun dia dari kalangan dewa, harusnya tetap mati, mengingat seluruh tubuh terbakar habis menjadi abu."

"Anak-anakku, ratakan mereka semua!"

Gemuruh pasukan Kamaswara mengiringi komando sang raja. Lautan manusia berlari, melompat, bahkan dari bangsa jin beterbangan menyongsong pasukan lawan.

Dari sisi lain, para dewa yang dipimpin Resi Saptuning Jagat tidak mau kalah. Dalam komandonya, pasukan gabungan dari seluruh kerajaan di Nusantara, Kerajaan Dua Ratu, juga para dewa, berteriak lantang. Gema suara seakan meruntuhkan Kerajaan Perut Bumi. Ribuan pukulan sakti layaknya hujan gumpalan api di langit malam terlihat mengerikan. Dari rombongan para dewa melesat ribuan ilmu serangan yang sama: Sepasang Pedang Dewa. Andai saja kala itu Wiro Sableng sedang tidak disibukkan dengan pertarungan sengitnya melawan Raja Agung Kamaswara, tentu ia akan terperangah melihat ilmu yang hanya bisa digunakan dua kali dalam setahun kini terlepas dari banyak pasang mata dan mampu digunakan berulangkali sesuka hati.

Dentuman beradunya berbagai macam pukulan sakti terjadi di berbagai tempat. Teriakan kesakitan dan jerit kematian terdengar di mana-mana. Suara tebasan senjata tajam yang memenggal leher, tangan, dan segala macam anggota tubuh memenuhi setiap tempat. Dalam waktu singkat, puluhan ribu telah menjadi mayat. Genangan darah mengalir deras dari berbagai arah.

Wanita Bercadar merah mengamuk membabi buta. Sekali pedang hijau yang digenggamnya bergerak, maka terputuslah bagian tubuh anggota lawan, para manusia bertupung hitam. Mereka bukan hanya tidak mampu melawan, bahkan untuk mengeluarkan ilmu andalan, yakni Lima Kutuk dari Perut Bumi, saja tidak sempat. Sebelum tangan terangkat, sebelum mantra tercucap, nyawa mereka telah minggat.

Di sisi lain, tidak jauh dari amukan menggila Perempuan Bercadar merah, Aji Tryasa melakukan hal yang sama. Dengan mengandalkan keris sakti warisan ayahnya, bernama Keris Tumbal Wilayuda, dalam sekejap mata puluhan manusia bertupung hitam bertumbangan. Ia memutar keris sakti itu dengan sebat, cahaya merah angker melesat dari badan keris. Bersama lesatan itu, jerit kematian di sepanjang putaran terjadi. Tapi serangan datang layaknya ombak yang menerpa karang, bertubi-tubi tiada henti. Puluhan orang bergelimpangan menjadi mayat, puluhan lainnya datang menerjang.

Bruttttt!!!

“Hahaha.... mana lagi, ayok sini, sini.”

Brutttt!!!

Dewa Tuak menyembur berulang-ulang cairan harum kesayangannya. Sekali semburan keluar, puluhan orang menjerit-jerit terbakar. Berlarian ke sana kemari, ada yang berguling-guling berusaha untuk mematikan api, tapi percuma saja. Kobaran api makin menggila di tubuh mereka semua.

Dewa Tuak tertawa, menunjuk-nunjuk para manusia bertupung yang kelojotan.

Di sudut lain, tawa menggila terus terdengar tiada putusnya. Pecutan cambuk menghantam, seiring jeritan manusia-manusia bertupung hitam morat-marit karena pakaian dn tubuhnya terkoyak, menyisakan kepulan asap bekas cambukan.

“Hahahahaha.... kenapa kalian lari? Ayok sobat kecilku, kejar mereka semua!” Lelaki bertubuh gemuk ini usap leher keledainya. Seperti memahami tuannya, binatang itu berlari mengejar para manusia bertupung hitam yang saling berserabut dalam pelarian tak tentu arah.

Jauh di ujung sana, Lakasipo menghantam lawan-lawannya dengan kedua kakinya yang terbungkus batu. Ada yang aneh dari kaki manusia berjuluk Hantu Kaki Batu ini. Kalau sebelumnya batu itu membulat, kini meruncing mirip kukusan terbalik. Akibatnya, sekali kaki menghantam, maka jebol tubuh manusia bertupung. Jeroan berceceran di mana-mana, mengiringi pekik jerit kesakitan orang-orang.

Sementara semua orang sibuk menggempur lawan-lawannya, Kakek Segala Tahu yang berjumlah tujuh salinan berlari menuju istana kerajaan. Seperti yang sudah disepakati dengan Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu harus segera menemukan tubuh asli dari kakak seperguruannya, Bramanta Dwipala. Hanya dengan membunuh yang asli, ilmu langka Seribu Raga Seribu Sukma baru bisa dimusnahkan. Dengan begitu, Wiro Sableng bisa secepat mungkin menyelesaikan pertarungan. Mempergunakan ilmu Merogoh Sukmo guna merenggut Batu Keabadian yang ada di tubuh Kamaswara, sekaligus membawa serta nyawanya. Sayangnya, apa yang direncanakan kakek ini sepertinya sudah diketahui para musuhnya, terutama mereka dari Cabang Satu dan Cabang Dua.

Anggini, yang sejak awal perjalanan terutama ketika kekasih hatinya gugur sebelum sampai tujuan, menyimpan dendam kesumat yang tersemat dalam hati dan seluruh aliran darah. Karenanya, begitu perang pecah dimulai, setelah melepas banyak pukulan sakti dan banyak memakan korban dari pihak lawan, ia segera berlari menuju orang yang sejak tadi diincarnya. Siapa lagi kalau bukan Iblis Api Perut Bumi, si pembunuh kekasihnya, Panji.

"Sampai neraka pun akan kukejar kau, nenek keparat!" Anggini melompat dan sesekali menghantam manusia-manusia bertupung hitam hingga tubuh orang-orang itu terental dan jerit kesakitan terdengar dari mulut-mulut mereka.

Jauh di ujung sana, Iblis Api Perut Bumi sudah terlihat. Puluhan nyawa telah melayang. Kematian mereka sama persis seperti yang dialami Panji: tubuh bagian perut robek besar, usus membusai, darah mengucur deras dari robekan itu. Jerit mengerikan seakan menjadi nyanyian yang menyenangkan bagi nenek ini.

Dalam kekacauan itu, hiruk-pikuk pertarungan, terjadi hal lucu bagi salah satu perempuan. Dialah Gayatri Wigura. Perempuan cantik yang sebelumnya mengalami luka dalam sangat parah akibat hantaman pukulan dari Wiro Sableng, berlari ke sana kemari. Bukan takut karena lawan lebih tinggi ilmunya, melainkan karena kesialannya dalam mengambil posisi. Pertama menyerang, yang dihadapi sudah Bujang Gila Tapak Sakti. Wanita cantik ini langsung bergidik ngeri ketika baru saja lawannya merapal mantra pukulan. Baru saja hawa dingin terasa menyambar, ia langsung lari terbirit-birit ke arah lain. Jelas saja hal itu membuat Bujang Gila Tapak Sakti terbengong bingung.

"Eh, perasaan wajahku tidak buruk-buruk amat. Setan-setan yang beterbangan di sana jauh lebih menyeramkan dari mukaku, kenapa cewek cantik tadi lari ketakutan? Huh, aku harus cari lawan lain." Kedua tangan berkelebat ke sana kemari, dalam sesaat manusia-manusia bertupung hitam menjadi sasaran empuk.

"Babi gendut buruk rupa, akulah lawanmu!"

Bujang Gila Tapak Sakti berpaling ke arah kanannya. Seorang kakek bermata picak bertolak pinggang menatap tajam ke arah dirinya.

"Bramanta Dwipala," desis Bujang Gila Tapak Sakti dengan suara bergetar.

"Bagus, kau masih mengingat namaku. Sekarang, bersiaplah untuk mati!"

Tidak tahu kapan kakek berpakaian aneh itu bergerak, tahu-tahu Bujang Gila Tapak Sakti telah merasakan pukulan mematikan sampai di wajahnya.

Sri Dewi Maharta tertawa cekikikan. Ratusan prajurit kerajaan tergeletak saling tumpang-tindih dengan tubuh gosong dan beberapa bagian tubuh tercabik-cabik.

"Ayok, siapa lagi yang mau aku kirim ke neraka? Silakan maju. Atau aku yang mendatangi kalian. Hihihi...."

Sekali ia bergerak, telah sampai di hadapan rombongan para prajurit yang memang saat itu gemetar ketakutan.

Wus!

Gelombang angin panas menerpa wajah. Jerit kesakitan terdengar di mana-mana. Sri Dewi Maharta tertawa lalu tubuh indahnya berputar layaknya penari, pertama lemah gemulai tapi seketika berubah menjadi putaran kencang layaknya gasing. Dari putaran itu melesat ratusan bulatan api sebesar kepalan tangan, menghantam para prajurit kerajaan. Jerit kematian menggila di sepanjang lingkaran. Satu kali gebrakan itu membawa kematian hingga seratus orang.

"Iblis keparat! Kamilah lawanmu!"

Delapan orang berkelebat! Enam orang pemuda, dua lainnya perempuan berparas ayu.

Sri Dewi Maharta menatap satu per satu orang-orang itu. Senyum manis terkembang di bibir merah basahnya.

"Pemuda-pemuda gagah. Kau tidak salah, aku memang lawan yang pantas buat kalian. Tapi, aku bingung, mau bermain di mana dulu? Di atas ranjang atau di kolam air, hihihi."

"Iblis mesum keparat! Jangan bicara ngaco! Kematian sudah ditentukan hari ini buat kamu. Dosamu setinggi gunung selangit tembus! Kau layak menerima kematian dengan tubuh tercabik-cabik pedang-pedang kami!"

"Ohhh... mengerikan sekali," Sri Dewi Maharta memperagakan tubuh menggigil layaknya ketakutan. "Tapi tunggu dulu, apa kalian dari satu perguruan atau bagaimana? Sebab pakaian yang dikenakan dua perempuan ini berbeda."

"Aku datang dari tempat yang berbeda tapi memiliki tujuan yang sama, yakni membalaskan dendam atas kebejatan dirimu yang membunuh guruku."

"Gurumu?" Sri Dewi Maharta mengerutkan kening.

"Kau jangan pura-pura tolol!" Perempuan cantik berwajah bulat ini melempar sebuah kain ke arah Sri Dewi Maharta. Tentu saja lemparan itu disertai tenaga dalam, mengarah ke wajah sang dewi. Andai saja menganai sasaran, maka bukan hanya lebam seperti halnya terkena tinju orang dewasa, wajah cantik berkulit mulus itu akan rengkah, tengkorak wajah melesak dengan dua bola mata meletus. Sayangnya, yang mereka hadapi bukan manusia sembarangan. Hanya butuh menggeser sedikit tumit kakinya, serangan lewat seujung kuku dari wajah sang dewi. Melihat ini harusnya semua orang menyadari, setinggi apa ilmu kesaktian Sri Dewi Maharta. Tapi, dendam menutup jalan pikiran, memupuk keberanian.

"Dengan cara biadab kau membunuh guruku, menyedot habis tenaga dalam hingga yang tersisa tengkorak dan kulit gosong terbakar. Jahanam! Kau masih berani menyangkal?"

"Hai gadis cantik. Sejak tadi aku tidak menyangkal. Aku hanya menanyakan siapa gurumu yang telah aku makan hidup-hidup, hahahaha..."

"Keparat jahanam! Mati kau perempuan sundal!" Dua larik sinar merah terlepas dari kedua tangan sekaligus.

"Hmmm... aku kenal pukulan itu. Yang kau mainkan belum sempurna, anakku. Sini aku ajari, hahaha..." Sri Dewi Maharta melepas pukulan yang sama. Bedanya, ia hanya menggunakan satu tangan kiri. Walau satu pukulan, sinar yang terpancar lebih terang dan besar, pertanda selain tenaga dalam yang mumpuni, pukulan yang dilepas benar-benar telah sempurna. Tentu saja, karena ilmu pukulan yang dilepas Sri Dewi Maharta dari penciptanya langsung, yaitu guru dari dua gadis cantik ini. Sekali dua pukulan beradu, jerit kematian langsung mengiringi ledakan. Perempuan yang sebelumnya cantik berkulit putih mulus kini berubah gosong dengan pakaian terbakar di mana-mana. Saudari seperguruannya menjerit, sosoknya berhambur ke mayat yang tergeletak. Sementara enam pemuda saling pandang. Ada getar di hati masing-masing, tapi ketika teringat dengan kematian gurunya, amarah membakar keberaniannya yang hampir padam. Sekali teriak, enam orang menyerang Sri Dewi Maharta yang disambut dengan tawa bahagia.

Bab 22

Panji Argo Manik yang dikenal juga dengan Singa Gurun Bromo meleletkan lidah ketika melihat keganasan ilmu aneh yang dimainkan kawan lamanya. Kepala menggeleng dengan tatapan penuh kekaguman.

"Aku tahu sahabat kita yang satu itu memiliki ilmu silat dan tenaga dalam sangat tinggi. Tapi terakhir kali aku melihatnya, masih berada dua atau tiga tingkat di atasku. Sekarang, sulit kubayangkan setinggi apa tenaga dalam sahabat kita yang satu ini."

Di sebelahnya, Andana, salah satu pendekar muda dari tanah seberang, mengangguk, membenarkan apa yang dikatakan sahabat barunya dalam perjalanan menuju tanah perjanjian.

"Dari kabar yang kudengar, dia telah berhasil mendapatkan kitab langka dari para dewa."

"Kitab Seribu Bintang."

Panji Argomanik dan Andana melirik ke arah samping mereka, di mana sosok Sandaka, alias Manusia Paku, berada.

"Kau tahu riwayat kitab itu?" tanya Panji Argomanik. Sandaka mengangguk pelan.

"Istriku pernah cerita soal kitab itu. Dalam mimpinya, ia melihat Wiro berhasil mendapatkan kitab maha sakti dari dewa. Sebelumnya aku mengira hanya bunga tidur saja. Sampai seorang kakek dari tanah seberang memintaku melakukan perjalanan jauh ke sini. Tokoh-tokoh golongan putih sangat membutuhkan kehadiran para pendekar muda seperti kita."

"Kau kenal kakek yang mendatangimu?"

"Tidak cukup dekat. Hanya tahu kalau kakek itu salah satu guru sahabat kita, Wiro. Beliau juga yang dulu menolong istriku dan anaknya."

Panji Argomanik dan Andana mengangguk-angguk. Keduanya kembali memandang ke depan, di mana rombongan lawan membelalak ke arah Wiro Sableng dengan tatapan tidak percaya. Tergambar jelas betapa besar keterkejutan yang menimpa mereka semua. Begitu pun dengan Raja Agung Kamaswara sendiri. Lelaki berparas gagah ini sampai sedikit ternganga, meski kemudian senyum tipis menyeruak di bibirnya yang tidak berkumis.

Berbeda dengan semua orang yang melihat kejadian mengerikan dengan sedikit dana berdebar, perempuan cantik bermahkota, berpakaian serba merah dari kain sutra yang berdiri di baris depan justru mengalami hal sebaliknya. Kala kegilaan terjadi di pihaknya, ia berdecak dengan gelengan kepala. Tatapan penuh kekaguman juga hasrat yang menggebu terlihat jelas di raut wajah mulusnya.

"Luar biasa. Gagah, berotot, berilmu tinggi. Bagaimanapun caranya aku harus mendapatkan pemuda itu. Aku harus berhasil menidurinya. Tidak terbayang, sebesar apa kekuatanku nanti." Bibir merah basah tersenyum manis dengan sorot mata tiada henti menatap ke wajah lelaki yang dikagumi.

Wiro Sableng terkesiap ketika menyadari kalau di baris depan, tidak jauh dari Raja Agung Kamaswara, ada seorang kakek bermuka bopeng. Salah satu matanya ditutup kain hitam yang diikat ke kepala. Kepalanya sendiri bisa dikatakan botak bagian atasnya, meski ada helaian rambut panjang berwarna putih yang menjalar ke tubuh, bersatu padu dengan warna senada jenggot yang juga panjang menjela ke pusar.

Bukan muka bopeng atau mata picak yang membuat Wiro sedikit terkesiap. Juga bukan pakaian bagusnya yang terasa aneh lantaran jomplang dengan wajah serta bentuk tubuhnya, melainkan, kakek bermata picak ini memiliki kembaran. Ada dua kakek aneh yang sama di sisi kanan Kamaswara.

"Kek, kau mengenal kakek botak berambut panjang itu?" bisik Wiro pada Kakek Segala Tahu, yang kontan saja terkekeh.

"Orang gila macam mana yang menanyakan hal gila pada tua bangka yang juga gila ini? Sebenarnya dia botak atau gondrong?"

Wiro terhenyak. Menggaruk kepala lalu tertawa sendiri ketika menyadari keanehan pertanyaannya.

"Astaga, aku baru sadar, Kek," katanya masih sambil tertawa. "Maksud aku, kepala dia botak bagian atasnya tapi rambut putih bagian samping panjang sampai ke pinggang. Dia seusia kamu, Kek. Hmm... tidak, tidak. Kutaksir dia lebih tua satu atau dua tahun di atasmu, Kek."

Kakek Segala Tahu mengerinyitkan kening. Wiro Sableng melihat ada raut ketegangan di sana.

"Kau mengenalnya, Kek? Aku melihat kau sedikit terkejut."

"Bisa kau sebutkan ciri-cirinya lebih terperinci, Wiro?"

Wiro Sableng menambah aliran tenaga dalam ke matanya. Sampai saat ini ia masih menggunakan ilmu pemberian mendiang istrinya, Ratu Duyung.

"Kepala atas botak, rambut putih panjang menjela punggung dan tubuh. Muka bopeng, salah satu matanya bagian kiri ditutup dengan kain. Ia mengenakan kain bagus warna merah...."

Sepasang mata buta Kakek Segala Tahu terbuka nyalang, mulut ternganga. Raut kekhawatiran terlihat jelas di sana. Hal itu juga diketahui Wiro hingga ia tak melanjutkan keterangan.

"Bramanta Dwipala," desis Kakek Segala Tahu.

Wiro Sableng mengerutkan kening. "Kau menyebut nama seseorang, Kek?"

"Wiro, coba kau lihat di bagian lehernya apakah ada sebuah kalung yang terbuat dari tulang jari-jari manusia yang dibikin rantai?" Suara Kakek Segala Tahu tampak gemetar, jelas ini diketahui oleh murid Sinto Gendeng. Melihat sikap aneh Kakek Segala Tahu, diam-diam hatinya mulai tidak nyaman.

Wiro Sableng mengikuti perintah Kakek Segala Tahu. Ditelitinya bagian leher kakek berpenampilan aneh di kejauhan sana. Dan benar, di leher lelaki tua itu tergantung kalung rantai yang terbuat dari jari-jari manusia.

“Selain rantai dari tulang, di kalung itu juga tergantung sebuah guci sebesar ibu jari terbuat dari tembaga murni.”

"Celaka!" Kakek Segala Tahu mengusap wajahnya yang tampak pucat. "Wiro, selain Raja Jahanam, para dewa sesat, dan juga perempuan yang sebelumnya hampir menguras kesaktianmu, kakek satu itu juga termasuk orang paling berbahaya di kerajaan ini."

"Sepertinya kau sangat mengenal betul kakek tua aneh itu, Kek?"

Kakek Segala Tahu mengangguk lemah.

"Ketahuilah, Wiro, di masa mudaku dia dikenal sebagai Pendekar Seribu Sukma dari Lembah Neraka. Karena keganasan sepak terjangnya, akhirnya seorang resi mahasakti mengunci semua ilmu kesaktiannya. Hingga kemudian tersiar kabar kalau dia mati bunuh diri karena tidak kuat menjalani hidup tanpa kepandaian. Jika hari ini dia ada di sini, artinya, berita kematiannya dahulu hanya angin lalu. Tentunya orang-orang Perut Bumi itulah yang membebaskan kuncian kesaktian pada tubuhnya. Dia datang dengan sejuta dendam."

Wiro Sableng ingat dengan kembaran kakek sakti itu.

"Menurutmu, Kek, yang sebelah mana yang namanya Bramanta Dwipala?"

"Dua-duanya."

"Maksudmu dua-duanya, Kek? Bukankah setiap orang kembar tetap memiliki nama berbeda meskipun sama persis?"

"Wiro, apakah menurutmu setiap sosok diriku di sini memiliki nama lain?"

Mendapat pertanyaan balik, Wiro Sableng membeliak lebar.

"Jadi...." Wiro tidak mampu meneruskan kata-katanya, karena saat itu dilihatnya Kakek Segala Tahu mengangguk.

"Kau benar, anak muda. Dia memiliki ilmu Seribu Raga Seribu Sukma seperti halnya diriku. Jika hanya ada dua sosok yang terlihat di sini, kemungkinan besar sisanya menjadi pagar untuk sosoknya yang asli."

"Tidak mungkin!" Wiro Sableng menggeleng tidak percaya.

"Apa yang tidak mungkin, pemuda sableng?"

"Kek, sebelumnya aku mengira hanya kaulah satu-satunya yang memiliki ilmu luar biasa itu."

Kakek Segala Tahu menengadahkan wajahnya.

"Celakanya aku juga memikirkan hal yang sama. Setelah tersiar kabar kalau dia menemui ajal, hanya tua bangka rongsokan inilah satu-satunya pemilik ilmu Seribu Raga Seribu Sukma. Karena sejak aku turun gunung, guru menghilang dari dunia ini dan tidak lagi ikut campur urusan dunia persilatan. Sampai saat ini aku tidak tahu apakah kepergiannya waktu itu didasari usia yang sudah sangat sepuh, atau karena termakan sumpahnya sendiri."

"Sumpah? Maksudmu termakan sumpah bagaimana, Kek?"

“Dia melanggar sumpahnya untuk tidak ikut campur urusan dunia setelah seluruh kesaktian diwariskan kepada kedua muridnya. Dia terpaksa melakukan pelanggaran itu karena tidak satu manusia pun sanggup menghentikan keganasan Bramanta Dwipala.

"Gusti Allah... jadi kakek aneh itu saudara seperguruanmu, Kek?"

Kakek Segala Tahu mengangguk lemah. "Dia kakak seperguruanku. Kau harus hati-hati, Wiro. Seperti julukannya, Pendekar Seribu Sukma. Salah satu kesaktian yang paling mengerikan yang dimilikinya adalah Ilmu Pejerat Sukma. Dia mampu menjerat puluhan bahkan ratusan sukma orang yang sudah mati atau yang masih hidup."

Kedua alis Wiro Sableng meninggi. Ingatannya langsung terbang jauh ke pertemuan dengan Dewi Asih Gendramani beberapa waktu lalu.

"Jadi dia manusianya yang menyekap Bunga?"

"Bukan hanya Bunga, kekasihmu dari alam roh itu. Selama dia masih hidup, kau jangan sekali-kali mempergunakan Ilmu Merogoh Sukmo."

"Aku akan ingat baik-baik pesanmu, Kek." Wiro Sableng mengepalkan kedua tangannya. "Mungkin pertama kali aku harus membunuh dia sebelum Raja Sesat sialan itu."

Seakan tahu apa yang dipikirkan Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu kembali berkata, "Mengenai Bramanta Dwipala, biar menjadi tanggung jawabku, Wiro."

"Tapi, Kek...."

Kakek Segala Tahu cepat menggeleng. "Tidak satu kekuatan pun yang sanggup membunuh salinan dari ilmu Seribu Raga Seribu Sukma. Bahkan kekuatan seribu dewa tidak akan mampu."

Untuk kesekian kalinya, Wiro Sableng terbelalak. "Jika sedahsyat itu, lalu bagaimana cara kau mengalahkannya, Kek?"

"Ilmu itu baru akan hilang jika pemilik aslinya mati. Seperti halnya orang tua buruk rupa yang kau kenal ini, Wiro. Apa kau tidak tahu, sebenarnya aku sudah mengalami banyak sekali kematian dalam pengembaraan di dunia yang sangat membosankan ini, hehehe.... Tapi selama diriku yang asli terlindungi dari ancaman, maka selama itu pula kematian bagiku hanya seperti tidur di siang hari."

"Luar biasa. Benar-benar luar biasa. Bagaimana kau bisa menyembunyikan kegilaan itu selama ini, Kek?"

"Kau tidak harus memikirkan hal itu, anak muda. Perhatianmu harus tertuju pada satu titik: membunuh Raja Sesat, penyebab kekacauan yang terjadi di dunia ini."

Wiro Sableng melirik ke arah Kamaswara. Dilihatnya Raja Sesat itu sedang berbicara pada delapan dewa lainnya, juga kaki tangannya, termasuk kakek aneh bermata picak.

"Selama Batu Keabadian tersimpan di dalam tubuhnya, Kamaswara tidak bisa dibunuh, Kek. Menurut Dewi Asih Gendramani, hanya ilmu Merogoh Sukmo yang bisa mengambil batu itu dari tubuhnya."

"Itulah mengapa dia sengaja membebaskan kuncian kesakitan yang ada pada tubuh Bramanta Dwipala. Karena selama Bramanta Dwipala berada di pihaknya, kau tidak akan berani mengambil keputusan untuk mempergunakan ilmu Merogoh Sukmo. Dengan kata lain, kau dan kita semua benar-benar kesulitan untuk mengalahkannya. Cerdas dan juga licik sekali akal dewa sesat satu itu."

"Dia benar-benar sudah mempersiapkan segalanya."

Wiro Sableng berpaling ke arah kawan-kawannya. Dilihatnya mereka semua sedang berbicara ke kawan-kawan lain. Atau mungkin sedang merencanakan sesuatu?

"Kek, aku akan mencoba mencari di mana beradanya sosok asli dari Bramanta Dwipala."

Karena tidak ada sahutan dari Kakek Segala Tahu, Wiro Sableng mengaliri tenaga dalam lebih banyak ke arah matanya. Sorot pandang semakin terang. Wajah-wajah di baris paling ujung terlihat jelas olehnya. Ia mengedip, maksudnya untuk menambah jangkauan agar jarak pandang semakin jauh, tapi yang dilihatnya hanya sebatas pasukan di bagian paling belakang, bangunan tinggi menjulang, dan keadaan di sekitaran.

Merasa heran, Wiro Sableng menambah kekuatan tenaga dalam pada matanya. Sama. Sorot pandangnya tidak lebih jauh dari para pasukan musuh. Masih penasaran, ia tambah lebih banyak lagi, keringat mulai bermunculan di kening, tengkuk, hingga leher. Tetap saja. Pandangan tidak bisa lebih jauh walau hanya satu jengkal dari sebelumnya.

"Gila! Aku tidak bisa melihat lebih jauh dari keberadaan pasukan jahanam itu, Kek."

Kakek Segala Tahu yang memang telah mengetahui hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala.

"Kek, kunci kemenangan kita ada pada kakek seperguruanmu. Sayang aku tidak berhasil menemukannya."

Kakek Segala Tahu kelontrengkan kaleng rombengnya.

"Wiro, kau tidak harus berkecil hati. Biar orang tua satu itu menjadi urusanku. Walau aku tidak tahu di mana dia bersembunyi, tapi aku yakin bisa segera menemukannya."

Wiro Sableng hendak menyahuti ucapan Kakek Segala Tahu, tapi tidak jadi karena salah satu lawannya di depan sana, yakni kakek sakti Bramanta Dwipala, berteriak menyebut nama seseorang. Nama yang sangat asing bagi mereka semua, baik bagi golongan hitam maupun golongan putih.

"Raden Arya Wiralaksa! Setelah puluhan tahun aku tidak melihatmu, akhirnya Iblis Penguasa Neraka mempertemukan kita. Bagaimana kabarmu, apakah kau baik-baik saja? Hahaha... kulihat matamu masih buta seperti dulu ketika terakhir sebelum akhirnya kita berpisah."

Semua orang saling pandang, saling mencari-cari, siapa orang yang dimaksud kakek tua aneh itu.

"Siapa yang diajak bicara oleh tua bangka berpakaian tak karuan itu?"

Sinto Gendeng menatap tajam ke arah Bramanta Dwipala. Nenek tua ini mengernyit ketika sorot mata kakek di kejauhan sana memandang ke jurusan di mana Kakek Segala Tahu berada.

"Mungkinkah kakek buta itu?"

"Sinto, apa yang kau maksudkan?" Dewa Tuak mengajukan pertanyaan, tapi oleh Sinto Gendeng segera diberi tanda agar kakek berkalung bumbung bambu ini diam.

"Hehehe..." Kakek Segala Tahu tertawa. "Bramanta Dwipala, tentu saja aku baik-baik saja. Seperti yang kau lihat, Bramanta Dwipala, aku tidak kurang suatu apa. Sehat walafiat. Aku bisa berdiri, jongkok, bahkan jungkir balik. Nih lihat!"

Kakek Segala Tahu memperagakan apa yang disebutkan. Setelah semua diperagakan dengan gaya mengejek sambil tertawa, kakek ini kembali berkata,

"Aku juga sekarang punya mainan baru, Bramanta Dwipala. Kamu mau lihat, mau dengar?" Kakek ini menggoncangkan kaleng rombengnya.

Sengaja ia kirim serangan lewat goyangan kaleng rombeng dengan mengalirkan lebih dari separuh tenaga dalam yang dimiliki.

Gelombang angin tak terlihat melesat jauh, menusuk telinga seiring kelontrengan kaleng rombeng si kakek. Jerit kesakitan terdengar bergemuruh di baris pasukan lawan. Beberapa, terutama mereka yang tingkat tenaga dalamnya hanya sekelas manusia-manusia bertupung dari Cabang Enam ke atas, sampai berguling-guling karena tidak tahan merasakan penyiksaan lewat lubang telinganya.

"Memamerkan ilmu picisan di hadapan kami. Memalukan sekali."

Kakek ini kibaskan tangan kanannya. Seketika serangan Kakek Segala Tahu musnah, bersama musnahnya jerit kesakitan puluhan ribu orang dari pasukannya.

"Apa-apaan ini?"

Sinto Gendeng mengetukan tongkat bututnya ke tanah dengan raut muka penuh kekesalan.

"Rahasia apa lagi yang bakal kita lihat dari kakek buta itu? Raden Arya Wiralaksa? Wong edan! Keren amat nama tua bangka buta itu! Siapa sebenarnya kakek sialan kawan kita ini? Lalu, siapa pula kakek bermata picak itu sebenarnya? Sepertinya mereka saling mengenal."

"Astaga, Sinto! Aku yang baru menyadari atau memang mataku yang sudah lamur?"

Tua Gila mengucak kedua matanya, mengedip-ngedipkan seolah apa yang dilihatnya hanya bayangan semata.

"Apa... apa yang kau lihat, Tua Gila? Jangan buat aku penasaran!"

"Coba kau lihat, kakek bermata picak itu punya kembaran."

Sinto Gendeng, Dewa Tuak, juga semua orang yang ada di sekitar situ, yang seakan baru menyadari, langsung terperangah. Apa yang dilihat Tua Gila berhasil membuat semua orang membeliak tak percaya.

“Keparat jahanam! Kalau satu kakek sialan itu kesaktiannya setingkat Segala Tahu, tidak bisa dibayangkan bagaimana keduanya.”

"Dewa Tuak, sepertinya kau lupa, kakek buta sahabat kita punya tujuh kembaran di sini. Kau jangan berkecil hati, hehehehe..."

Dewa Tuak manggut-manggut. "Kau benar, Tua Gila. Aku hampir lupa dengan sosok-sosok lain dari si tua buta itu, hehehe... ahhh minum dulu. Sejak tadi aku belum minum.” Dewa Tuak menuang cairan harum ke tabung bambu yang dipegang lalu, gluk gluk gluk... “Kau mau, Tua Gila?" Dewa Tuak menyodorkan potongan bambu yang menyisakan cairan berbau harum, hanya tinggal seperempatnya saja.

"Dikasih gratis siapa yang mau menolak, hihihi... gluk gluk gluk... tuakmu memang paling nikmat di dunia ini, Dewa Tuak. Tambah lagi tambah lagi...."

"Kalian tua bangka tidak tahu aturan! Dalam keadaan seperti ini, menghadapi antara hidup dan mati, masih sempat-sempatnya mabuk sempoyongan!"

"Sinto, kalau kau mau bilang saja. Tuak kayangan milik Dewa Tuak tidak ada lawan, tidak ada duanya, hahaha...."

"Benar, Sinto. Daripada ngomel tidak karuan, mending kita minum bersama... gluk gluk gluk..." Wajah Dewa Tuak sampai memerah karena terlalu banyak menengguk cairan harum kesayangannya.

"Dasar dua tua bangka tolol! Kena gebuk orang baru tahu rasa kalian."

"Kalau kena gebuk ya tinggal kita gebuk lagi, Sinto, hahahaha..."

"Setan alas! Diam kalian!" Sinto Gendeng melihat kembali ke arah depan.

"Resi Saptuning Jagat!" suara berat menggema. Seperti Kakek Segala Tahu tadi, Raja Agung Kamaswara juga memberi serangan lewat suaranya. Hempasan angin tajam menusuk ke lubang telinga, puluhan ribu prajurit menjerit-jerit kesakitan. Darah segar mengucur deras, beberapa sampai tumbang, melejang-lejang lalu sosoknya diam tak berkutik tanda nyawanya telah hilang.

Lebih dari seratus tokoh sakti yang melihat itu segera mengambil tindakan, memberikan serangan balasan untuk memusnahkan, sayangnya terlalu kuat. Jerit kesakitan terus berlanjut hingga tujuh Kakek Segala Tahu, yang dibantu banyak tokoh lainnya, memusnahkan serangan suara Raja Agung Kamaswara.

"Hahahaha... mudah bagiku untuk meratakan kalian semua."

Kamaswara menatap tajam ke arah Resi Saptuning Jagat.

"Kau terlalu sembrono mengandalkan kecoak-kecoak busuk ini untuk menghadapi pasukanku, orang tua."

"Keparat jahanam! Sombong sekali manusia terkutuk satu itu!" Mahesa Edan melihat ke arah kaki Raja Kamaswara. Senyum terukir di bibir pemuda ini. Rokok kawung yang baru berpindah ke jemari kembali terselip di sela bibirnya.

Resi Saptuning Jagat mengelus jenggot putihnya yang menjela sampai dada.

"Kau yang terlalu gegabah menyebut kami semua kecoa, Dewa Sesat. Hmmm.... walau begitu tidak mengapa. Tidak jadi masalah. Persoalannya apa kau tidak mengerti, mengapa adikmu hanya mengutus kami para kecoa yang kau sebutkan barusan? Tidak lain karena untuk menghabisimu tidak membutuhkan tangan manusia. Cukup segerombolan kecoa! Itu menandakan betapa rendah dan hinanya dirimu. Harusnya kau malu, Kamaswara. Sayang kau tidak punya akal untuk berpikir, karena kepala yang ada pada tubuhmu hanya menjadi pajangan semata."

Para dewa dalam pimpinan Resi Saptuning Jagat tertawa, diikuti semua orang yang ada di barisannya. Sementara Raja Agung Kamaswara, kelam menghitam wajahnya. Amarah telah memuncak, namun lelaki gagah ini masih mampu menguasai diri. Ia tersenyum seakan hinaan barusan tidak berdampak sedikit pun atas dirinya.

"Selain menjadi anjing raja keparat itu, nyatanya sekarang kau juga menjadi kacung yang pandai bermain kata-kata, Saptuning Jagat."

"Ah, aku jadi bingung sendiri. Sebenarnya kami ini sebangsa kecoa atau anjing?" Saptuning Jagat sengaja mengejek.

Kamaswara tidak pedulikan ucapan lawan bicaranya. "Walau sebenarnya aku tahu kedatangan kamu dan kalian semua ke istanaku hanya untuk mengantarkan nyawa, tapi sebagai sahabat baikmu di masa lalu, aku mau menawarkan sebuah keuntungan besar buat kalian para dewa."

"Hmmm... sepertinya itu memang menggiurkan. Coba katakan, penawaran apa yang ingin kau sampaikan pada kami, Kamaswara."

"Kebangkitan raja agung atas langit yang sesungguhnya. Akulah raja dari segala raja di alam para dewa. Kau dan seluruh dewa pasukanmu bergabung bersamaku, dan kita gulingkan Raja terkutuk Ramandha di atas langit sana."

"Lalu keuntungannya untukku dan penduduk bumi?"

Raja Agung Kamaswara tersenyum.

"Kau akan kuberikan pangkat tertinggi di istanaku nanti. Dan untuk para penduduk bumi, kalian akan aku bebaskan dari kematian."

"Hmmm... kesepakatan yang bagus dan sangat menggiurkan. Siapa orangnya yang tidak menginginkan jabatan tertinggi di kerajaan atas langit?"

"Artinya kau menyetujui kesepakatan ini, orang tua?"

"Sayangnya aku menolak." Resi Saptuning Jagat tersenyum dengan seringai mengejek.

"Kau memang pantas mati seribu kali. Aku kasih penawaran dengan segudang kebaikan, tapi justru kau memilih mati."

"Hai Dewa Sesaat, tidak ada yang memilih mati di sini. Sepertinya kamu salah menangkap ucapanku. Ahh, aku lupa, padahal barusan aku sendiri yang bilang kalau kepalamu hanya hiasan semata, tidak ada isinya. Tentunya kau tidak mampu berfikir untuk bisa mencerna setiap kata yang keluar dari mulutku.”

Kilatan warna merah terlihat jelas di kedua mata Kamaswara. Dewa Sesat ini siap melepaskan serangan mematikan lewat pancaran cahaya dari kedua bola matanya, tapi tertahan, ketika dari bawah kakinya ia merasakan getaran.

Serangan bawah tanah!

Diketahui, senjata aneh milik Mahesa Edan, yakni berupa papan nisan, selain bentuknya yang aneh dari kebanyakan senjata lain, kedahsyatan senjata itu juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak musuh atau tokoh golongan hitam yang langsung terbelah putus tubuhnya saat senjata andalan itu dikeluarkan.

Senjata itu disimpan secara gaib dan bisa dipanggil di tempat mana pun, termasuk di bawah kaki lawan. Karena itulah, sekali keluar, tubuh lawan akan terbelah putus.

Saat melihat posisi berdiri Raja Kamaswara, Mahesa Edan memiliki rencana besar: memanggil senjata itu lalu sekali melesat, maka akan terbelahlah tubuh Kamaswara yang saat itu sedang terlibat adu mulut dengan Resi Saptuning Jagat.

Mahesa Edan merapal ajian untuk memanggil senjata sakti itu keluar. Pertama ia merasakan getaran hebat pada tangan kanannya, lalu terasa sekali ada bendungan yang mencoba menghalangi. Ia tidak menyerah, mencoba melipatgandakan tenaga dalam.

Hal ini menjadi perlakuan langka baginya, karena biasanya sekali ia membaca mantra, senjata sakti itu akan melesat. Kini, sampai ketiga kali ia melipatgandakan tenaga dalam, senjata tak kunjung mau keluar. Sampai tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya senjata yang tidak mau keluar, di kejauhan sana Kamaswara sepertinya telah tahu kalau dirinyalah yang melakukan penyerangan gelap.

Raja Agung di barisan sana tersenyum. Senyum ejekan yang membuat keringat dingin bermunculan di sekujur tubuh Mahesa Edan.

“Apa yang terjadi dengan dirimu, Mahesa?” Naga Kuning dan Setan Ngompol yang melihat keanehan tubuh Mahesa Edan, bergetar hebat tak terkendali mencoba membantu. Tapi baru saja kedua orang itu menempelkan telapak tangan di punggung Mahesa Edan, pemuda ini menjerit keras. Tubuhnya terpental, menabrak Naga Kuning dan Setan Ngompol hingga ketiganya bergedubukan tak karuan.

Keributan itu menarik perhatian Sinto Gendeng, Dewa Tuak, juga Tua Gila.

"Apa yang terjadi dengan orang-orang tolol itu?" Sinto Gendeng berkelebat. "Anak setan, apa yang barusan kau lakukan?"

Mahesa Edan terbatuk-batuk. Darah hitam kental keluar dari mulutnya.

"Luka dalam! Benar-benar tolol! Kau terlalu gegabah dalam mengambil keputusan." Sinto Gendeng menempelkan ujung tongkat bututnya di bagian punggung Mahesa Edan. Aliran hawa sakti masuk ke tubuh si pemuda. Lagi-lagi muntahan darah keluar dari mulut Mahesa Edan. Hingga tiga kali. Muntahan terakhir darah yang keluar berwarna merah.

"Aku tahu namamu Edan seperti halnya nama muridku, Sableng. Tapi aku tidak sampai mengira kalau selain edan, nyatanya kau pemuda tolol dan bodoh yang pernah aku temui di dunia ini!" Sinto Gendeng memasukkan sebutir pil hitam ke mulut Mahesa Edan. "Telan!"

"Bau nek..."

"Setan alas! Bau apa?"

"Bau Pesing!"

Naga Kuning dan kakek Setan Ngompol tertawa. Sementara yang lainnya menutup mulut, ada yang membuang muka ke jurusan lain karena takut si nenek marah tidak terima.

"Mau aku pecahkan kepalamu?"

"Ampun, Nek," Mahesa Edan mengelus dadanya yang sudah terasa lega. Sesak yang sebelumnya menyulitkan dirinya bahkan hanya untuk menarik napas kini telah hilang.

Sinto Gendeng berpaling ke arah Dewa Tuak.

"Dewa Tuak, pesan berantai dariku sudah sampai mana?"

Dewa Tuak melongok ke sisi kanannya. Jauh di bagian tengah sana, sangat kecil, seseorang sedang membisikkan sesuatu.

"Baru sampai tengah, Sinto."

Tengah barisan yang sedang membisikkan pesan berantai bukan lain adalah Mahesa Kelud. Ia berbisik kepada Nyanyuk Amber sebuah pesan tersirat dari Sinto Gendeng.

Nyanyuk Amber mengangguk mengerti. Kemudian Pandansuri meneruskan ke baris berikutnya hingga pesan itu berlanjut menuju ke baris paling ujung.

"Orang tua, kau pernah mempercundangi Nenek Sakti dari Lembah Anai hanya dengan pikiranmu. Aku tahu nenek menyeramkan itu bukan orang sembarangan, tapi bagimu tidak lebih hanya sebatas mainan. Mungkinkah kau bisa melakukan hal yang sama dengan raja jahanam itu?"

Mendapat pertanyaan dari Senopati Jayarendra, Nyanyuk Amber terbatuk beberapa kali. "Penerapan ilmu itu tidak semudah memainkan jurus silat Orang Muda. Ada banyak syarat yang harus kulalui terlebih dahulu sebelum mulai menggunakan."

"Apakah aku atau kita semua bisa membantu memenuhi syarat-syarat itu, orang tua?" Senopati Jayarendra mengepalkan kedua tangannya, berharap si orang tua mengangguk lalu memulai pelaksanaan penyerangan seperti waktu itu. Betapa luar biasanya andai raja sesat itu mengalami nasib yang sama seperti halnya Nenek Sakti dari Lembah Anai, mati dalam keadaan mengenaskan, termakan pukulannya sendiri.

"Bantuan bisa datang dari luar, tapi hanya sebagian kecil. Kecil sekali. Seperti halnya yang pernah kalian lakukan untuk melindungi tubuhku dari serangan agar aku tetap dalam keadaan tenang, pemusatan pada satu titik tidak terganggu."

"Hanya itu bantuan yang bisa kita lakukan, orang tua?"

"Hanya itu," tegas Nyanyuk Amber dengan nada suara sedikit putus asa.

"Lalu sisa lainnya? Syarat apa saja yang harus kau penuhi?"

Nyanyuk Amber menarik napas dalam-dalam. Anggini, Pandansuri, dan juga Mahesa Kelud memperhatikan, menunggu jawaban si orang tua.

"Pertama, aku harus tahu dulu setinggi apa tenaga dalamnya. Caranya seperti yang kalian lihat waktu itu. Batas yang boleh dimainkan tidak lebih dari satu tingkat di bawahku. Lebih tinggi dari itu, apalagi sampai menyamai tenaga dalam yang kumiliki, maka celaka bagiku. Dia bisa menyerang balik dengan mudah, meledakkan kepala tua bangka rongsokan ini."

Anggini dan Pandansuri saling pandang. Raut wajah penuh kecemasan terlihat jelas di keduanya.

"Kalau begitu, kau tidak perlu pergunakan ilmu itu, Kek," jelas sekali Pandansuri mengkhawatirkan keselamatan gurunya.

"Benar, Kek," sambung Anggini. "Biar mereka jadi urusanku dan semua orang yang ada di sini."

Suiiittttttttttt!! Suiiiiiiiiiiiitttttttttttt.....!!!

Suitan nyaring dan panjang terdengar dari ujung sebelah kanan. Melihat itu, Pandansuri dan yang lainnya siap siaga.

“Pesan berantai sudah sampai ujung.” Ia melirik ke arah Anggini. Dilihatnya gadis cantik berpakaian serba ungu mengangguk perlahan. Kedua tangan gemetar halus pertanda tenaga dalam penuh mulai dialirkan.

Sementara itu, di sebrang barisan yakni barisan para musuh tampak heran juga kebingungan mendengar suitan aneh dari ujung barisan lawan. Raja Kamaswara sendiri hanya sempat melihat nenek buruk rupa dengan kepala ditusuki konde teriak:

"Kalian yang berada di baris depan, merunduklah!"

Teriakan Sinto Gendeng menggema hingga ke baris paling ujung lawan. Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu yang ada di tengah lapangan, juga rombongan Nyi Roro Kidul serta Ratu Laut Utara, termasuk juga para dewa yang tidak mengetahui rencana apa yang sedang diterapkan para tokoh sakti di bagian belakang mereka, tidak menunggu lama. Ketika suara teriakan si nenek terdengar, semua orang yang ada di baris depan berjongkok, hingga barisan lawan terlihat jelas di depan sana.

Wus!!!

Ratusan pukulan sakti dilepas secara bersamaan mengarah kepada satu titik, yakni Raja Agung Kamaswara.

Hawa luar biasa panas laksana di dalam neraka lewat tiga jengkal di atas kepala orang-orang yang sedang berjongkok.

Di bagian lawan, kelompok dari Cabang Satu yang berada di baris paling depan terkejut bukan kepalang. Mereka hendak menangkis serangan mendadak yang mengarah kepada satu titik, sang paduka raja, tapi terlambat. Kalaupun ada yang nekat melakukan pastinya hanya untuk mencari mati karena ratusan pukulan sakti menghantam lebih dulu. Ledakan mengerikan terlihat jelas. Beberapa Cabang Satu yang berada dekat dan tidak berhasil menyelamatkan diri terpanggang hidup-hidup. Gumpalan api raksasa membumbung tinggi hingga lima tombak.

"Mampus!"

"Raja sesat tamatlah riwayatmu!"

"Berakhir sudah kehidupan dewa jahanam itu."

“Semudah itukah?”

Beberapa mulut mengumpat ketika dilihatnya raja sesat terbakar habis dan mungkin telah berubah menjadi abu.

"Sinto, sepertinya rencanamu berjalan sempurna," memuji Dewa Tuak ketika dilihatnya beberapa tokoh besar golongan hitam ikut terpanggang. Berguling guling, melejang-lejang dalam kobaran api yang menggila.

Api mulai mengecil. Sosok Raja Agung Kamaswara tidak terlihat lagi di sana. Semua orang bersorak sorai. Teriakan kemenangan menggema di seluruh kawasan Kerajaan Perut Bumi.

"Keparat jahanam itu benar-benar telah pergi ke neraka!"

"Sinto, nyatanya bukan hanya bagian bawahmu saja yang encer, bagian atas di dalam kepalamu juga," kata Dewa Tuak.

"Sialan kau, Dewa Tuak! Saat memuji saja masih bisa menghina. Jangan salahkan aku kalau mukamu aku guyur dengan air kencing hihihi...."

"Owalahhh..... Tobat aku Sinto. Hahahaha....." Dewa Tuak berpaling ke arah barisan lawan. Dengan pengerahan tenaga dalam ia berteriak, "Orang-orang terkutuk Perut Bumi, raja sesat pembawa malapetaka kalian sudah minggat ke neraka! Saatnya kalian menggorok leher masing-masing atau kalian lebih suka mendapat bantuan dari kami?"

Kalau Cabang Lima ke atas cukup terpengaruh dengan teriakan Dewa Tuak, bahkan Cabang Sepuluh hingga cabang terakhir sampai terkencing-kencing, lain halnya dengan Cabang Empat ke bawah. Mereka tetap tenang, terlebih ketika delapan dewa memberi tanda kalau semua akan baik-baik saja.

Bramanta Dwipala dan juga Sri Dewi Maharta tertawa cukup keras hingga bumi yang dipijak Wiro Sableng yang berada di tengah lapangan bergetar halus.

"Benar-benar tindakan memalukan! Seorang tokoh yang katanya menjunjung tinggi peradatan dunia persilatan melakukan tindakan pengecut!"

"Orang tua bermata picak!" teriak Sinto Gendeng. "Kami menyerang raja sesatmu dari arah depan, di bagian mana yang pengecut?"

"Dengan melakukan pengeroyokan saat Sri Baginda Raja Agung bicara? Sungguh, binatang lebih beradab dari yang kalian lakukan!"

"Bramanta Dwipala, cukup sudah bermain-mainnya. Saatnya kita tunjukkan jalan ke neraka kepada mereka semua."

Suara berat menggema. Bukan tenaga dalamnya yang berhasil membuat ribuan orang menjerit karena tak kuat menahan tusukan besi panas yang merobek telinga, melainkan karena suara itu sangat mereka kenal. Air muka kekhawatiran juga ketidakpercayaan terlihat jelas pada semua orang, terlebih para tokoh yang barusan melepas pukulan sakti bersama-sama.

Tepat di mana sebelumnya Raja Agung Kamaswara berdiri, menyisakan asap ledakan, kini terlihat kepulan asap putih tipis, meliuk-liuk membentuk manusia. Samar terlihat sosok yang sebelumnya terbakar hebat. Lalu tubuh yang disangka telah menjadi abu terlihat jelas. Raja Agung Kamaswara tertawa bergelak diikuti delapan dewa, Cabang Satu hingga Cabang Empat.

"Tidak mungkin," desis Tua Gila. "Kalaupun dia dari kalangan dewa, harusnya tetap mati, mengingat seluruh tubuh terbakar habis menjadi abu."

"Anak-anakku, ratakan mereka semua!"

Gemuruh pasukan Kamaswara mengiringi komando sang raja. Lautan manusia berlari, melompat, bahkan dari bangsa jin beterbangan menyongsong pasukan lawan.

Dari sisi lain, para dewa yang dipimpin Resi Saptuning Jagat tidak mau kalah. Dalam komandonya, pasukan gabungan dari seluruh kerajaan di Nusantara, Kerajaan Dua Ratu, juga para dewa, berteriak lantang. Gema suara seakan meruntuhkan Kerajaan Perut Bumi. Ribuan pukulan sakti layaknya hujan gumpalan api di langit malam terlihat mengerikan. Dari rombongan para dewa melesat ribuan ilmu serangan yang sama: Sepasang Pedang Dewa. Andai saja kala itu Wiro Sableng sedang tidak disibukkan dengan pertarungan sengitnya melawan Raja Agung Kamaswara, tentu ia akan terperangah melihat ilmu yang hanya bisa digunakan dua kali dalam setahun kini terlepas dari banyak pasang mata dan mampu digunakan berulangkali sesuka hati.

Dentuman beradunya berbagai macam pukulan sakti terjadi di berbagai tempat. Teriakan kesakitan dan jerit kematian terdengar di mana-mana. Suara tebasan senjata tajam yang memenggal leher, tangan, dan segala macam anggota tubuh memenuhi setiap tempat. Dalam waktu singkat, puluhan ribu telah menjadi mayat. Genangan darah mengalir deras dari berbagai arah.

Wanita Bercadar merah mengamuk membabi buta. Sekali pedang hijau yang digenggamnya bergerak, maka terputuslah bagian tubuh anggota lawan, para manusia bertupung hitam. Mereka bukan hanya tidak mampu melawan, bahkan untuk mengeluarkan ilmu andalan, yakni Lima Kutuk dari Perut Bumi, saja tidak sempat. Sebelum tangan terangkat, sebelum mantra tercucap, nyawa mereka telah minggat.

Di sisi lain, tidak jauh dari amukan menggila Perempuan Bercadar merah, Aji Tryasa melakukan hal yang sama. Dengan mengandalkan keris sakti warisan ayahnya, bernama Keris Tumbal Wilayuda, dalam sekejap mata puluhan manusia bertupung hitam bertumbangan. Ia memutar keris sakti itu dengan sebat, cahaya merah angker melesat dari badan keris. Bersama lesatan itu, jerit kematian di sepanjang putaran terjadi. Tapi serangan datang layaknya ombak yang menerpa karang, bertubi-tubi tiada henti. Puluhan orang bergelimpangan menjadi mayat, puluhan lainnya datang menerjang.

Bruttttt!!!

“Hahaha.... mana lagi, ayok sini, sini.”

Brutttt!!!

Dewa Tuak menyembur berulang-ulang cairan harum kesayangannya. Sekali semburan keluar, puluhan orang menjerit-jerit terbakar. Berlarian ke sana kemari, ada yang berguling-guling berusaha untuk mematikan api, tapi percuma saja. Kobaran api makin menggila di tubuh mereka semua.

Dewa Tuak tertawa, menunjuk-nunjuk para manusia bertupung yang kelojotan.

Di sudut lain, tawa menggila terus terdengar tiada putusnya. Pecutan cambuk menghantam, seiring jeritan manusia-manusia bertupung hitam morat-marit karena pakaian dn tubuhnya terkoyak, menyisakan kepulan asap bekas cambukan.

“Hahahahaha.... kenapa kalian lari? Ayok sobat kecilku, kejar mereka semua!” Lelaki bertubuh gemuk ini usap leher keledainya. Seperti memahami tuannya, binatang itu berlari mengejar para manusia bertupung hitam yang saling berserabut dalam pelarian tak tentu arah.

Jauh di ujung sana, Lakasipo menghantam lawan-lawannya dengan kedua kakinya yang terbungkus batu. Ada yang aneh dari kaki manusia berjuluk Hantu Kaki Batu ini. Kalau sebelumnya batu itu membulat, kini meruncing mirip kukusan terbalik. Akibatnya, sekali kaki menghantam, maka jebol tubuh manusia bertupung. Jeroan berceceran di mana-mana, mengiringi pekik jerit kesakitan orang-orang.

Sementara semua orang sibuk menggempur lawan-lawannya, Kakek Segala Tahu yang berjumlah tujuh salinan berlari menuju istana kerajaan. Seperti yang sudah disepakati dengan Wiro Sableng, Kakek Segala Tahu harus segera menemukan tubuh asli dari kakak seperguruannya, Bramanta Dwipala. Hanya dengan membunuh yang asli, ilmu langka Seribu Raga Seribu Sukma baru bisa dimusnahkan. Dengan begitu, Wiro Sableng bisa secepat mungkin menyelesaikan pertarungan. Mempergunakan ilmu Merogoh Sukmo guna merenggut Batu Keabadian yang ada di tubuh Kamaswara, sekaligus membawa serta nyawanya. Sayangnya, apa yang direncanakan kakek ini sepertinya sudah diketahui para musuhnya, terutama mereka dari Cabang Satu dan Cabang Dua.

Anggini, yang sejak awal perjalanan terutama ketika kekasih hatinya gugur sebelum sampai tujuan, menyimpan dendam kesumat yang tersemat dalam hati dan seluruh aliran darah. Karenanya, begitu perang pecah dimulai, setelah melepas banyak pukulan sakti dan banyak memakan korban dari pihak lawan, ia segera berlari menuju orang yang sejak tadi diincarnya. Siapa lagi kalau bukan Iblis Api Perut Bumi, si pembunuh kekasihnya, Panji.

"Sampai neraka pun akan kukejar kau, nenek keparat!" Anggini melompat dan sesekali menghantam manusia-manusia bertupung hitam hingga tubuh orang-orang itu terental dan jerit kesakitan terdengar dari mulut-mulut mereka.

Jauh di ujung sana, Iblis Api Perut Bumi sudah terlihat. Puluhan nyawa telah melayang. Kematian mereka sama persis seperti yang dialami Panji: tubuh bagian perut robek besar, usus membusai, darah mengucur deras dari robekan itu. Jerit mengerikan seakan menjadi nyanyian yang menyenangkan bagi nenek ini.

Dalam kekacauan itu, hiruk-pikuk pertarungan, terjadi hal lucu bagi salah satu perempuan. Dialah Gayatri Wigura. Perempuan cantik yang sebelumnya mengalami luka dalam sangat parah akibat hantaman pukulan dari Wiro Sableng, berlari ke sana kemari. Bukan takut karena lawan lebih tinggi ilmunya, melainkan karena kesialannya dalam mengambil posisi. Pertama menyerang, yang dihadapi sudah Bujang Gila Tapak Sakti. Wanita cantik ini langsung bergidik ngeri ketika baru saja lawannya merapal mantra pukulan. Baru saja hawa dingin terasa menyambar, ia langsung lari terbirit-birit ke arah lain. Jelas saja hal itu membuat Bujang Gila Tapak Sakti terbengong bingung.

"Eh, perasaan wajahku tidak buruk-buruk amat. Setan-setan yang beterbangan di sana jauh lebih menyeramkan dari mukaku, kenapa cewek cantik tadi lari ketakutan? Huh, aku harus cari lawan lain." Kedua tangan berkelebat ke sana kemari, dalam sesaat manusia-manusia bertupung hitam menjadi sasaran empuk.

"Babi gendut buruk rupa, akulah lawanmu!"

Bujang Gila Tapak Sakti berpaling ke arah kanannya. Seorang kakek bermata picak bertolak pinggang menatap tajam ke arah dirinya.

"Bramanta Dwipala," desis Bujang Gila Tapak Sakti dengan suara bergetar.

"Bagus, kau masih mengingat namaku. Sekarang, bersiaplah untuk mati!"

Tidak tahu kapan kakek berpakaian aneh itu bergerak, tahu-tahu Bujang Gila Tapak Sakti telah merasakan pukulan mematikan sampai di wajahnya.

Sri Dewi Maharta tertawa cekikikan. Ratusan prajurit kerajaan tergeletak saling tumpang-tindih dengan tubuh gosong dan beberapa bagian tubuh tercabik-cabik.

"Ayok, siapa lagi yang mau aku kirim ke neraka? Silakan maju. Atau aku yang mendatangi kalian. Hihihi...."

Sekali ia bergerak, telah sampai di hadapan rombongan para prajurit yang memang saat itu gemetar ketakutan.

Wus!

Gelombang angin panas menerpa wajah. Jerit kesakitan terdengar di mana-mana. Sri Dewi Maharta tertawa lalu tubuh indahnya berputar layaknya penari, pertama lemah gemulai tapi seketika berubah menjadi putaran kencang layaknya gasing. Dari putaran itu melesat ratusan bulatan api sebesar kepalan tangan, menghantam para prajurit kerajaan. Jerit kematian menggila di sepanjang lingkaran. Satu kali gebrakan itu membawa kematian hingga seratus orang.

"Iblis keparat! Kamilah lawanmu!"

Delapan orang berkelebat! Enam orang pemuda, dua lainnya perempuan berparas ayu.

Sri Dewi Maharta menatap satu per satu orang-orang itu. Senyum manis terkembang di bibir merah basahnya.

"Pemuda-pemuda gagah. Kau tidak salah, aku memang lawan yang pantas buat kalian. Tapi, aku bingung, mau bermain di mana dulu? Di atas ranjang atau di kolam air, hihihi."

"Iblis mesum keparat! Jangan bicara ngaco! Kematian sudah ditentukan hari ini buat kamu. Dosamu setinggi gunung selangit tembus! Kau layak menerima kematian dengan tubuh tercabik-cabik pedang-pedang kami!"

"Ohhh... mengerikan sekali," Sri Dewi Maharta memperagakan tubuh menggigil layaknya ketakutan. "Tapi tunggu dulu, apa kalian dari satu perguruan atau bagaimana? Sebab pakaian yang dikenakan dua perempuan ini berbeda."

"Aku datang dari tempat yang berbeda tapi memiliki tujuan yang sama, yakni membalaskan dendam atas kebejatan dirimu yang membunuh guruku."

"Gurumu?" Sri Dewi Maharta mengerutkan kening.

"Kau jangan pura-pura tolol!" Perempuan cantik berwajah bulat ini melempar sebuah kain ke arah Sri Dewi Maharta. Tentu saja lemparan itu disertai tenaga dalam, mengarah ke wajah sang dewi. Andai saja menganai sasaran, maka bukan hanya lebam seperti halnya terkena tinju orang dewasa, wajah cantik berkulit mulus itu akan rengkah, tengkorak wajah melesak dengan dua bola mata meletus. Sayangnya, yang mereka hadapi bukan manusia sembarangan. Hanya butuh menggeser sedikit tumit kakinya, serangan lewat seujung kuku dari wajah sang dewi. Melihat ini harusnya semua orang menyadari, setinggi apa ilmu kesaktian Sri Dewi Maharta. Tapi, dendam menutup jalan pikiran, memupuk keberanian.

"Dengan cara biadab kau membunuh guruku, menyedot habis tenaga dalam hingga yang tersisa tengkorak dan kulit gosong terbakar. Jahanam! Kau masih berani menyangkal?"

"Hai gadis cantik. Sejak tadi aku tidak menyangkal. Aku hanya menanyakan siapa gurumu yang telah aku makan hidup-hidup, hahahaha..."

"Keparat jahanam! Mati kau perempuan sundal!" Dua larik sinar merah terlepas dari kedua tangan sekaligus.

"Hmmm... aku kenal pukulan itu. Yang kau mainkan belum sempurna, anakku. Sini aku ajari, hahaha..." Sri Dewi Maharta melepas pukulan yang sama. Bedanya, ia hanya menggunakan satu tangan kiri. Walau satu pukulan, sinar yang terpancar lebih terang dan besar, pertanda selain tenaga dalam yang mumpuni, pukulan yang dilepas benar-benar telah sempurna. Tentu saja, karena ilmu pukulan yang dilepas Sri Dewi Maharta dari penciptanya langsung, yaitu guru dari dua gadis cantik ini. Sekali dua pukulan beradu, jerit kematian langsung mengiringi ledakan. Perempuan yang sebelumnya cantik berkulit putih mulus kini berubah gosong dengan pakaian terbakar di mana-mana. Saudari seperguruannya menjerit, sosoknya berhambur ke mayat yang tergeletak. Sementara enam pemuda saling pandang. Ada getar di hati masing-masing, tapi ketika teringat dengan kematian gurunya, amarah membakar keberaniannya yang hampir padam. Sekali teriak, enam orang menyerang Sri Dewi Maharta yang disambut dengan tawa bahagia.

"Ah, diajak main di atas ranjang kalian malah meminta ditunjukkan jalan ke neraka! Sayang sekali. Apa kalian tidak tergiur melihat kecantikan wajahku, keindahan tubuhku?”

"Ah, diajak main di atas ranjang kalian malah meminta ditunjukkan jalan ke neraka! Sayang sekali. Apa kalian tidak tergiur melihat kecantikan wajahku, keindahan tubuhku?”

Bab 23

Serangan dari keenam pemuda itu sebenarnya cukup mematikan. Jurus-jurus silat yang dimainkan juga bukan jenis ilmu silat picisan. Hanya saja, yang menjadi lawan mereka bukan perempuan sembarangan. Karena itulah, sejak gempuran pertama dimulai sampai tiga puluh jurus berlalu dengan cepat, keenam pemuda ini tidak mendapat apa pun. Jangankan mengenai sasaran, mampu menyentuh sehelai rambut lawannya saja sampai saat ini tidak bisa. Setiap serangan yang dibuat, bagaimanapun cepat dan mematikannya, sepertinya sia-sia. Semua kepandaian mereka tak memiliki arti apa pun. Di hadapan Sri Dewi Maharta, kesaktian mereka tak ubahnya tangisan bayi yang baru lahir. Jika mau, dan tidak berniat untuk bermain-main, sudah sejak serangan pertama, ia bisa dengan mudah mengirim keenam pemuda itu ke alam barzah.

“Ah, membosankan sekali. Padahal dari tadi aku sengaja berikan pinggul buat kalian tendang, tapi hanya tempat kosong yang kalian ambil. Aku juga memberikan buah dadaku untuk kalian remas, tapi anehnya tangan-tangan jahil kalian tidak sampai-sampai, padahal kalian sudah mengeluarkan jurus silat terbaik dari guru kalian. Hihihi... benar-benar ilmu silat picisan. Tidak berguna.”

“Berhenti mengoceh, perempuan sundal keparat!”

Srekk!

Salah seorang pemuda mencabut pedang. Keringat membanjir deras di sekujur tubuhnya. Dibandingkan saudara seperguruannya yang lain, dia memang paling jago memainkan pedang. Gurunya berulangkali memuji kelihaiannya ini.

“Hmm... jurus silat baru, kah?”

Sri Dewi Maharta berkata begitu karena ia melihat perubahan jurus silat yang dimainkan pemuda ini. Juga, ia tidak mengenali permainan silat yang sedang digunakan. Mungkin pemuda ini berguru dari orang yang berbeda.

Wutt!!!

Sabetan pedang menghantam ke arah pinggang. Lima penyerang lainnya, bahkan gadis cantik yang sejak tadi mengamati jalannya perkelahian, memastikan kalau serangan pedang yang sangat ganas kali ini pasti mengenai sasaran. Paling tidak, pinggang perempuan itu robek besar, darah mengucur deras. Sayangnya, untuk kesekian kali, mereka semua dibuat kecewa, sekaligus mengagumi ketinggian ilmu silat lawannya.

Sri Dewi Maharta bergerak lincah menghindari serangan yang datang dari berbagai arah. Pukulan, tendangan, dan sabetan pedang dengan mudah dielakkan tanpa mau membalas serangan sekalipun.

“Ah, membosankan sekali! Jurus-jurus kalian tidak ada yang berguna satu pun. Betapa bodohnya peri gendut itu, mengambil kepandaian dari orang rendahan seperti kalian.”

Sri Dewi Maharta memutar tubuhnya dengan sebat. Hempasan angin melesat seiring dengan jerit kematian keenam pemuda pengeroyoknya.

Perempuan yang sejak tadi menyaksikan jalannya pertempuran sampai tercekat. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat tulang-belulang di tubuhnya seolah berubah menjadi lunak, bersatu padu dengan daging pembungkusnya. Sosoknya ambruk dengan kedua mata terbelalak.

Apa yang disaksikannya sungguh mengerikan. Sesaat setelah putaran terjadi, seperti terkena pedang raksasa, tubuh keenam pemuda itu terputus menjadi dua bagian. Darah mengucur deras dari pinggang, sementara tubuh bagian atas jatuh begedebukan. Tidak ada ledakan atau percikan api seperti sebelumnya, hanya hempasan angin yang terlihat. Keenam potongan tubuh bagian bawah terjatuh satu per satu, bergetar beberapa saat lalu diam, menandakan nyawa mereka telah menghilang.

Sri Dewi Maharta tersenyum. Seolah-olah tidak terjadi apa pun, ia melangkah anggun, mendatangi gadis cantik yang masih menjelepok di dekat mayat saudarinya.

“Sayang sekali wajah cantikmu akan berakhir saat ini. Tentunya, kau belum merasakan kenikmatan dunia bersama seorang lelaki, kan? Tapi tenanglah. Aku akan menghabisimu dengan cepat, agar kau tidak merasakan sakit yang berkepanjangan.”

Sri Dewi Maharta mengangkat tangannya. Percikan cahaya merah angker bermunculan dari kepalan tangan. Sesaat lagi pukulan sakti itu terlepas, teriakan si gadis menghentikan gerakan tangannya.

“Tunggu!”

“Hmmm... ada yang ingin kau sampaikan untuk terakhir kali, gadis cantik?”

Yang ditanya mengangguk cepat. “Aku hanya ingin,” gadis ini terdiam menunduk, “menghabisimu, keparat!”

Sri Dewi Maharta tidak terkejut dengan tipuan yang dilancarkan lawannya, bahkan ia menyambut serangan itu dengan tawa.

“Cukup cerdik,” pujinya. “Tapi sayangnya itu hanya sia-sia, anakku.”

Sri Dewi Maharta menggerakkan tangan kanannya. Serangkum angin sebagai perlindungan diri berdesir membentuk benteng kokoh, pukulan mematikan tertahan dua jengkal di depan tubuhnya. Lalu, tanpa diduga, si gadis, pukulan miliknya berbalik arah, mengincar nyawanya.

“Celaka!”

Sekuat tenaga ia bergulingan menjauh. Ledakan terjadi di dekat jenazah saudarinya. Gumpalan api bercampur asap tebal, juga debu membuntal bersatu padu dengan hancuran jenazah saudarinya. Sesaat kemudian, bau daging terbakar terasa santer menusuk hidung. Gadis ini menjerit ketika menyadari jenazah saudarinya hancur berhamburan.

“Jahanam! Kau merusak jenazah saudariku!”

“Hahaha... aneh sekali. Bukannya itu ilmu pukulanmu sendiri? Bagaimana bisa kau menyalahkanku, anak manis? Atau akalmu sudah hilang karena ajal sudah di depan mata?”

Sri Dewi Maharta melangkah perlahan ke arah lawannya. Ditatapnya dalam-dalam gadis itu. Senyum manis mengukir indah di bibir merahnya.

“Pergilah dengan tenang, anakku!”

Ia kembali mengangkat tangan kanan, sementara tangan kiri bertolak pinggang. Kalau sebelumnya gadis ini masih bisa mengulur waktu, tidak untuk kali ini. Sekali pukulan Sri Dewi terlepas, maka hancur leburlah tubuhnya. Ia sangat menyadari itu. Sekalipun dirinya membalas serangan, semuanya hanya sia-sia. Tapi, berdiam diri kala kematian mendatangi, itu suatu pantangan besar bagi seorang pendekar. Karena itulah, meskipun tahu balasannya tidak memiliki arti apa-apa, gadis cantik ini tetap memberi perlawanan.

“Mau lari ke mana kau, perempuan terkutuk!”

Gayatri Wigura yang sedang berlari menjauh dari Bujang Gila Tapak Sakti terhenti. Berpaling ke arah kanan. Lima orang berdiri menatap tajam ke arahnya. Dari kelima itu, salah satunya mengenakan pakaian berbahan sutra. Dari penampilannya, Gayatri Wigura tahu kalau pemuda ini tentunya seorang pangeran, dan empat lainnya pemimpin tertinggi di sebuah pasukan.

“Kau yakin, Paman Jaka Wardaya, ini manusianya yang telah membunuh guru?”

Sebelum menjawab, lelaki berwajah garang ini menatap sekali lagi wajah cantik di hadapannya.

“Aku yakin sekali, Pangeran. Dia membunuh dengan cara biadab dan keji.”

Rahang pangeran muda menggembung. Di depannya, Gayatri Wigura justru mengulas senyum.

“Jadi kalian datang untuk membalas dendam?”

“Aku datang untuk mencincang tubuhmu, keparat!”

Gayatri Wigura tertawa. “Hebat,” ejeknya. “Di tengah kekacauan ini, di mana ribuan pukulan sakti saling bertemu tanpa memikirkan kepentingan sendiri, kalian justru melakukan itu? Memalukan! Tapi tidak mengapa. Dendam kesumat memang harus dilampiaskan. Karena jika tidak, sampai kau terkubur di liang lahat, roh busuk kalian tidak akan tenang. Akan terus gentayangan sampai dunia kiamat!”

“Kedatanganku ke tempat keparat ini hanya satu, merobek jantung pembunuh guruku! Kau sudah siap mati, betina terkutuk?”

“Hahaha... tentu, tentu, Pangeran. Ayo kita selesaikan secepatnya. Tapi apa aku boleh bicara satu hal sebelum memulai pertempuran?” Gayatri Wigura menatap dalam-dalam wajah tampan di hadapannya. Yang ditatap merasa jengah.

“Katakan!”

Gayatri Wigura tersenyum.

“Aku melihat banyak ketidakadilan di kehidupanmu, Pangeran.”

“Keparat! Apa maksudmu?” bentak Pangeran.

“Sebagai seorang pangeran, tentunya kau mendambakan takhta kerajaan. Memiliki kekuasaan penuh atas istana raja. Memerintah dan menjadi kebanggaan bagi rakyatnya. Sayangnya, mimpi besarmu terkubur karena kendala yang sulit kau tangani. Kerajaan hanya memihak kepada pewaris tertua—kakakmu. Ya, kau merasa itu tidak adil, aku tahu itu, Pangeran. Kau ingin berontak, mengemukakan isi hatimu, tapi apa daya, kau hanya anak kedua. Sekali lagi, kau tidak memiliki kekuatan apa pun untuk menolak ketidakadilan.”

“Jangan berharap aku akan terhasut oleh kata-kata busukmu, betina keparat!”

“Hahahaha... Tidak ada yang menghasutmu, Pangeran. Aku hanya mengatakan kebenaran yang selama ini terpendam di lubuk hati terdalammu. Aku tidak peduli sebesar apa kau menyangkal, yang jelas, apa yang barusan aku katakan, itulah yang kau alami selama ini.”

Pangeran muda ini melirik ke arah Panglima Besar Kerajaan. Mengamati wajah lelaki itu, juga ketiga lainnya. Ada raut keterkejutan di sana. Tentunya, mereka semua tidak mengira kalau selama ini dirinya memendam keinginan untuk memiliki kekuasaan atas kerajaan yang tidak lama lagi akan diberikan kepada kakaknya.

“Paman, kau jangan terhasut oleh ucapan iblis ini. Dia sengaja mengadu domba kita.”

“Hahaha... Untuk apa mengadu domba kalian? Tanpa perantara aku sekalipun, kerajaan kalian akan runtuh dengan sendirinya. Kau tahu, Pangeran, hal yang paling menyakitkan dari putra raja ialah ketika keberadaannya tidak terlihat, kata-katanya tidak didengar, dan segala sikap serta kebaikan yang kau lakukan tidak dipedulikan.”

“Hentikan kata-katamu, keparat!”

Bukan hanya rahangnya yang menggembung, seluruh tubuh pemuda ini bergetar hebat, menandakan ledakan amarah dalam tubuhnya sudah tidak mampu lagi dikendalikan.

“Pangeran, ingat pesanku, jangan tatap matanya.” Jaka Wardaya mengingatkan, ketika menyadari apa yang terjadi atas Pangeran muda ini pernah dialami oleh Guru Besar Istana, Mpu Saloka. Orang tua itu bernasib malang mati dalam hanya dalam satu gebrakan mengerikan beberapa bulan lalu.

Saat itu, Mpu Saloka terlibat adu pandang dengan Gayatri Wigura, lalu seketika amarah membuncah tak terkendali. Sejak itulah ia menilai kalau pusat serangan wanita ini berada pada tatapannya. Selama adu pandang tidak terjadi, hal mengerikan tidak menghampiri. Sayangnya, ia salah besar. Ilmu Penebar Bahala Pengikat Jiwa yang sedang dilancarkan Gayatri Wigura bukan berpusat lewat pandang mata. Tapi langsung meembus hati, mengaduk-aduk perasaan. Walaupun kini Pangeran muda telah mengalihkan pandangan ke jurusan lain, tetap saja, gelombang api amarah telah membakar habis hatinya.

“Mungkin saat ini kau masih bisa menerima, tapi bagaimana tahun-tahun mendatang, ketika untuk pertama kali kau melihat kakakmu mengenakan kebesaran sebagai seorang raja? Semua orang di istana kerajaan, para pemimpin pasukan, bahkan rakyat jelata sekalipun tidak sudi menganggap dirimu orang penting di kerajaan! Kau akan merasakan kesendirian yang berkepanjangan, Pangeran. Kau tersisih, terbuang dari kemegahan dunia, kebesaran kerajaan.”

“Tutup mulutmu, keparat!” Pangeran muda berteriak keras. Getar tubuhnya semakin menggila. Pusat kekuatan terhimpun dalam pusar, lalu melesat bersama hentakan kedua tangannya.

Dua gumpalan pukulan sebesar kepala kerbau melesat ke arah Gayatri Wigura. Yang diserang tertawa menggila. Dalam sekejap mata, tubuh perempuan itu akan tercerai-berai terkena hantaman dua pukulan yang paling diandalkan oleh Pangeran. Tapi anehnya, wanita ini tidak bergerak untuk menghindar, bahkan membalas untuk memapasi serangan lawan pun tidak. Masih dengan tawanya ia mengangkat tangan kanan, lalu,

“Musnah,” titahnya.

Seolah pukulan sakti itu miliknya sendiri, serangan lawan hilang tak tersisa.

Jaka Wardaya dan ketiga lainnya sampai terbelalak melihat kegilaan itu. Lelaki berwajah garang ini teringat dengan Mpu Saloka, tubuh tua berbalut kain putih itu ambruk begitu saja setelah melepas kesaktian yang dimiliki. Gelisah bercampur rasa cemas, ia segera mendatangi Pangeran, tubuh pemuda itu masih berdiri, tapi tidak ada pergerakan sedikit pun.

“Pangeran...” ia menyentuh tubuh si pemuda.

Bluk.

Sosoknya ambruk, mirip seperti bangunan tinggi yang kehilangan penopangnya. Jaka Wardaya menjerit melihat keponakannya mengalami nasib yang sama seperti Mpu Saloka.

“Cincang keparat itu!”

Tiga orang segera melompat. Ketiganya juga tidak segan-segan mengeluarkan senjata masing-masing.

Jaka Wardaya menepuk-nepuk wajah Pangeran. Tidak ada gerakan apa pun. Hanya kedua matanya yang melotot dengan mulut terbuka.

“Pangeran, Paman tahu kau masih di sana. Katakan sesuatu, Pangeran.”

Lelaki ini mengangkat tangan si pemuda. Lembek! Lengan itu seperti telah kehilangan tulangnya. Ia dekatkan kepala ke dada Pangeran, detak jantung masih terdengar, tapi lemah. Pangeran sedang sekarat. Ia berusaha memberi tambahan tenaga dalam walau ia tahu semua perbuatannya itu hanya sia-sia, karena dalam beberapa tarikan napas, nyawa Pangeran telah terlepas.

Jaka Wardaya menjerit. Ia cabut pedang yang tergantung di punggungnya. Sekali bergerak, ia telah bergabung bersama tiga anak buah lainnya. Nyatanya, para petinggi pasukan kerajaan ini memiliki ilmu silat yang tidak bisa dianggap remeh. Gayatri Wigura cukup kerepotan menghadapi ketiganya, ditambah lagi ketika Jaka Wardaya ikut membantu. Semakin sibuk wanita ini menghindari serangan ganas mematikan dari permainan silat lawan.

Gayatri Wigura berteriak lantang, sosoknya berkelit ke sana kemari menghindari sabetan pedang yang datang dari berbagai arah. Jika terus seperti ini, cepat atau lambat, salah satu mata pedang itu akan membabat tubuhnya. Karena itulah, ketika serangan ganas untuk kesekian kalinya datang, ia melompat setinggi dua tombak. Dari atas, ia hantamkan pukulan dengan dua tangan sekaligus.

Jaka Wardaya tersenyum mengejek. Sepertinya ini memang keadaan yang sudah ditunggu-tunggu.

“Mampus kau, betina keparat!”

Ia mengangguk kepada ketiga lainnya. Mengerti maksud pimpinannya, ketiga orang ini mengikuti. Serangkum angin pukulan menderu, diikuti gumpalan cahaya yang keluar dari kepalan tangan masing-masing. Gayatri Wigura yang tidak mengira akan mendapat serangan balasan dari empat orang sekaligus hanya bisa teriak, dan merasakan hempasan gelombang ledakan yang seperti lesatan batu sebesar rumah mengenai tubuhnya. Karena ia berada di udara, di mana pusat kekuatan tidak mempunyai pegangan, akibatnya, tubuh itu terlempar jauh, berputar-putar layaknya daun kering yang terbang terbawa angin.

Gayatri Wigura terhempas ke pasukan kerajaan yang sedang bertarung melawan segerombolan dari bangsa jin. Melihat tubuh perempuan terjatuh, para prajurit ini segera menghantam dengan tombak dan kelewang. Beruntungnya, Gayatri Wigura tidak sampai jatuh pingsan. Dalam keadaan babak belur seperti itu, ia masih sanggup melindungi diri dari gempuran para prajurit. Sekali kedua tangannya berkelebat ke sana kemari, jerit kematian terdengar dari mulut-mulut para prajurit.

Walaupun luka dalam cukup parah, ia bisa dengan mudah menghindari serangan dari para prajurit kerajaan. Tapi masalahnya, ia tidak punya waktu untuk menyembuhkan. Sementara para musuhnya di kejauhan sana sudah mulai bangkit, dari mengatur jalan darah untuk menyembuhkan luka dalam akibat bentrokan.

Celaka! keluh Gayatri Wigura ketika serangan datang bagaikan banjir bandang yang tiada habisnya.

“Kalau terus begini, selain luka dalamku semakin parah, aku hanya akan jadi bulan-bulanan para keparat! Itu juga kalau aku tidak mampus lebih dulu.”

Gayatri Wigura lagi-lagi menghalau serangan para prajurit itu dengan pukulan-pukulan sakti. Akibatnya, luka dalamnya semakin memburuk. Ia harus segera kabur dari sini, paling tidak sampai cara pengobatan ajaib dirinya selesai tanpa gangguan.

Untuk kesekian kalinya ia melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Jerit kematian para prajurit terdengar di hadapannya. Celah untuk melarikan diri tercipta. Didahului dengan muntahan darah segar yang keluar dari mulutnya, ia segera melompat ke celah itu. Sayangnya, Jaka Wardaya yang sudah membaca niatannya segera memapasi.

“Mau lari ke mana kau, betina terkutuk? Tidak ada tempat lagi di dunia ini buat manusia bejat seperti kamu!”

Gayatri Wigura terbatuk-batuk. Untuk kesekian kalinya darah keluar dari mulutnya. Jelas, ia sudah tak mampu untuk meneruskan pertarungan, kecuali jika ingin mempercepat kematiannya.

“Orang gagah, dengar….”

“Kau tidak punya hak untuk bicara!” potong Jaka Wardaya dengan suara membentak. Ia tidak ingin kejadian mengerikan yang dialami Pangeran kembali terulang. “Bunuh dia sekarang juga!”

Bersama teriakannya, ketiga bawahannya mengikuti dirinya yang kembali menggempur Gayatri Wigura. Sementara para prajurit yang sebelumnya tiada henti menyerang, memberi lingkaran penjagaan. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena salah satu bagian lingkaran dari mereka terkena muntahan pukulan sakti dari pertarungan sengit tokoh-tokoh lain. Ditambah lagi, orang-orang bertupung hitam mulai berdatangan. Gerombolan dari bangsa jin sendiri menyerang ganas. Ada yang mencekik, merobek perut prajurit dengan kuku-kuku panjangnya. Banyak juga dari mereka yang memutar kepala lawan hingga putus. Tidak sedikit yang membawa terbang setinggi mungkin lalu menjatuhkan tanpa ampun, hingga para prajurit itu mengalami ketakutan yang teramat sangat sebelum kematian datang saat kepala rengkah menghantam tanah.

Gayatri Wigura mendengus ketika pukulan ganas Jaka Wardaya hampir saja mematahkan tulang hidungnya. Luka dalam yang diderita membuat ia bergerak lamban, hingga dalam waktu singkat ia terdesak hebat.

Buk!

Tendangan keras menghantam perutnya. Gayatri Wigura menjerit, tubuhnya terpental dua tombak. Berguling-guling hingga sosoknya terhenti dengan sendirinya. Darah kembali keluar dari mulut perempuan cantik ini. Perutnya sendiri terasa seperti meledak, setiap gerakan yang dibuat hanya membawa keperihan yang semakin besar. Ia berusaha bangkit tapi tidak bisa. Tubuhnya ambruk menjelepok di tanah.

“Tamatlah riwayatmu, betina keji!”

Jaka Wardaya, sang panglima pasukan kerajaan, merentangkan kakinya. Tangan kanan diangkat tinggi-tinggi. Tubuh lelaki ini bergetar hebat, menandakan tenaga dalam dikerahkan sepenuhnya. Ia siap melepas pukulan, tapi Gayatri Wigura lebih dulu. Yang diserang bagian kaki.

“Keparat!” Lelaki ini melompat menjauh. Ledakan di mana sebelumnya berdiri terjadi. Kepulan debu membumbung tinggi menutupi pemandangan.

“Pengecut!” teriak lagi Jaka Wardaya. “Jangan biarkan dia kabur!”

Tiga orang bawahan siap bergerak tapi tertahan ketika di balik gumpalan debu yang mulai menipis terdengar suara lawannya,

“Siapa yang mau kabur? Kau terlalu meremehkanku, cecunguk kerajaan!”

Jaka Wardaya menyipit, menajamkan penglihatannya yang terhalang debu ledakan. Di sana, samar-samar ia melihat Gayatri Wigura yang sebelumnya mengalami luka dalam yang sangat mengerikan, berdiri dengan kaki terkembang, membentuk kuda-kuda sejajar. Mulutnya berkomat-kamit, sementara kedua tangannya memutar seperti titiran. Apa yang sedang dia lakukan?

Lelaki ini tidak bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Karena saat itu ia mulai merasakan angin yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba mengurung dirinya. Semakin lama semakin besar.

“Tidak disangka, nyatanya wanita durjana itu masih punya ilmu simpanan.”

Ia melompat menjauh. Pusaran angin semakin membesar. Suara gemuruh bagaikan badai yang siap menenggelamkan kapal terdengar mengerikan. Puluhan mayat dari para prajurit kerajaan, juga orang-orang bertupung, terbawa pusaran angin yang bergulung-gulung siap menghantam Jaka Wardaya dan tiga lainnya.

“Hantam sekarang wanita itu!” Jaka Wardaya memberi perintah. Empat pukulan sakti melesat, satu mengarah ke kepala, dua ke bagian dada, terakhir ke arah kaki. Kaget bukan main keempat lelaki ini ketika melihat pukulan saktinya ikut tenggelam dalam pusaran angin yang makin menggila. Puluhan mayat terombang-ambing ke sana kemari. Mayat yang berada di pusat pusaran bahkan sampai tercerai berai.

Wus!!

Gelombang angin raksasa melesat ke arah Jaka Wardaya dan anak buahnya. Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, ia hanya mengikuti naluri sebagai seorang komandan pasukan. Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang. Jika kau unggul, taklukkan lebih dulu. Jika terdesak, maka bertahanlah semampu yang bisa kau lakukan. Empat pukulan menyongsong keganasan serangan lawan. Seperti sebelumnya, pukulan sakti milik mereka tenggelam dalam gelombang angin yang maha dahsyat. Tubuhnya sendiri tersapu dan ikut terbang bersama mayat-mayat yang berputar liar ke sana kemari. Ketika tubuhnya ambruk ke tanah, keempat manusia ini merasakan dadanya sesak. Ia mencoba menarik napas sebanyak mungkin. Sulit! Tubuhnya seakan tenggelam ke dasar samudra. Mereka mengalami keadaan seperti yang pernah terjadi atas Ratu Duyung. Kalau wanita dari dasar samudra kala itu mampu selamat karena mendapat pertolongan dari Kakek Segala Tahu, maka keempat lelaki ini hanya bisa menunggu ajalnya datang. Melejang-lejang tubuhnya mirip orang tenggelam. Kulit yang sebelumnya kuning, coklat kehitaman, berubah menjadi biru lebam, lalu—

Hekkk!

Tubuh para pemimpin tertinggi pasukan itu diam dengan mata membelalak nyalang, mulut terbuka lebar.

“Aku harus cari tempat aman untuk pemulihan luka dalam.” Gayatri Wigura memegang perutnya yang masih terasa sakit. Ia memandang sekeliling. Ratusan ribu manusia sedang bertarung, pukulan-pukulan sakti melesat di berbagai tempat, tidak ada tempat untuk sembunyi, kecuali jika ia mampu berlari sejauh ratusan tombak ke atas sana, di salah satu istana kerajaan. Masalahnya, apakah ia sanggup melakukan perjalanan sejauh itu dalam keadaan separah ini?

“Ratu Penguasa Angin, kau memerlukan bantuan kami?”

Sepuluh orang manusia bertupung merah berkelebat, mengurung Gayatri Wigura. Wanita ini menyipit, tatapannya seakan menembus dua lubang yang mengarah ke mata.

“Sepuluh Iblis Kembar!” suara Gayatri Wigura bergetar. Para manusia bertopeng tertawa.

“Senang kau bisa mengetahui siapa kami, Ratu Penguasa Angin. Bagaimana, kau membutuhkan bantuan kami? Luka dalammu sangat parah. Jika tidak segera disembuhkan, dalam waktu singkat nyawamu tidak tertolong lagi.”

Gayatri Wigura terdiam. Raut kekhawatiran terlihat jelas di wajahnya. Aneh memang, harusnya ia senang mendapat pertolongan dari sesamanya, dengan begitu ia tidak perlu susah payah melakukan perjalanan jauh ke atas sana. Tapi yang terlihat justru keragu-raguan.

“Apa yang kau tunggu, Ratu? Lekaslah, lakukan penyembuhan.”

“Ka-kalian tidak mengharapkan imbalan dariku, kan?” Terlihat sekali betapa hebat ia menahan gejolak di tubuhnya, meski semuanya sia-sia. Para manusia bertopeng itu menyambut gemetar suara Gayatri dengan tawa.

“Lihatlah saudara-saudaraku, wanita cantik yang selalu angkuh itu kini seperti seekor kucing yang tak berdaya. Memohon pertolongan tapi takut dengan imbalan yang diminta.”

“Hahaha... mungkin dia takut dengan keganasan kita,” sahut lelaki bertupung di sebelahnya.

“Atau diam-diam dia sedang membayangkan, bagaimana nikmatnya satu orang melawan sepuluh manusia kembar, hihihi...”

Semua orang tertawa. Gayatri Wigura mendengus. Meski ia merasa muak dan ingin sekali melakukan pembalasan hinaan manusia kembar ini dengan merobek mulut-mulut mereka, tapi, keadaan memaksanya untuk tetap diam.

“Kau tidak punya waktu. Jika tidak ingin kami bantu, aku dan sembilan kembaranku akan pergi.” Salah satu manusia bertupung yang menjadi pimpinan dari saudara lainnya memberi tanda setelah cukup lama menunggu Gayatri Wigura tetap diam membisu.

“Kita tinggalkan rongsokan tak berguna ini, saudara-saudaraku.”

Sembilan orang mengangguk. Lalu semuanya siap berkelebat pergi, tapi Gayatri menahan gerakan mereka semua dengan suara.

“Tunggu.”

“Hmmm... kau mau menerima bantuan dari kami, wanita cantik?”

Gayatri Wigura mengangguk.

"Lakukanlah cepat. Soal keamanan serangan dari luar, percayakan pada kami."

Gayatri Wigura segera bersila, memusatkan tenaga dalam dari perut. Bibir merahnya tampak berkomat-kamit merapal mantra. Cahaya kuning kebiruan muncul dari arah kepala, menyebar ke seluruh tubuh, lalu melesat masuk ke dalam tanah. Ketika seluruh cahaya yang menyelubungi tubuhnya musnah, maka musnah pula luka dalam yang sangat menyiksa dirinya. Gayatri Wigura menarik napas dalam-dalam. Ringan, lega, tidak ada rasa sakit sedikit pun. Ia melompat berdiri.

“Penyembuhan tenaga dalam yang luar biasa.” Salah satu manusia bertupung menggeleng-gelengkan kepala mengagumi.

"Ingat perjanjiannya, kan, cantik?"

Gayatri Wigura tersenyum.

"Aku tidak mungkin melupakan kebaikan kalian. Apa pun yang kalian inginkan akan aku kabulkan. Tapi nanti, setelah pertempuran gila ini berakhir."

Gayatri mencoba peruntungan, berharap manusia-manusia bertupung itu mengabulkan permintaannya. Sampai pertempuran ini selesai, ia yakin, sepuluh manusia mesum ini tidak akan selamat.

Mendengar ucapan Gayatri Wigura, kedelapan orang ini saling pandang, lalu tawa menggila meledak.

"Selain cantik, kau juga cerdik. Itu yang selama ini membuat aku dan saudara-saudaraku belingsatan saat membayangkan bersatu badan denganmu."

Ingin sekali rasanya Gayatri Wigura menerjang guna merobek mulut lelaki yang barusan bicara. Tapi, lagi-lagi keadaan memaksanya untuk tetap diam. Menahan sekuat-kuatnya amarah yang telah membakar hatinya.

"Tapi sayangnya, kami bukan manusia bodoh yang mudah dikibuli. Menurutmu, apa pertempuran gila ini bisa selesai dalam tiga hari? Kita tidak tahu sampai kapan berakhirnya. Juga, kami tidak tahu apakah nanti kau masih hidup atau sudah jadi bangkai. Lekas, ikuti kami. Kau tidak bisa membantah, apalagi berani menolak keinginan kami. Selain karena hutang budi, kami juga tahu kelemahanmu."

Lelaki bertupung merah memutar kedua tangannya. Hawa dingin mulai terasa, semakin lama semakin santar. Gayatri Wigura sampai tersurut tiga langkah ke belakang.

"Sekali telapak tangan ini menghantam tubuhmu, kau tidak bisa melihat dunia ini lagi, Ratu Penguasa Angin."

Pucat pasi wajah Gayatri. Walau permintaan manusia-manusia bertupung ini teramat berat, pada akhirnya ia mengangguk juga.

"Hahaha... begitu, kan, bagus. Kenapa tidak dari tadi saja? Ikuti aku!"

Ia berlari ke arah bangunan yang berada jauh di ujung sana. Gayatri Wigura dan sembilan manusia bertupung lainnya mengikuti. Sesekali mereka menghindar dari pusat ledakan akibat bentrokan, dan untuk bisa berjalan mereka juga kadang harus menghantam pasukan—tidak peduli itu dari pihaknya atau pihak lawan.

Pertempuran semakin mengerikan. Jerit kematian terdengar di mana-mana. Bau daging terpanggang hampir memenuhi segala penjuru. Para prajurit yang dibawa terbang lalu dihempaskan terjadi berulang-ulang. Entah sudah berapa banyak nyawa yang hilang. Jika terus seperti itu dan tidak ada yang menghentikan, maka dalam waktu singkat para prajurit kerajaan akan hilang sepenuhnya. Beruntunglah pasukan dari dasar laut samudra menghadang mereka. Mengetahui siapa penghadangnya, para jin itu menggembor marah. Pertempuran di udara pun terjadi tapi tidak bisa berlangsung lama karena padukan dari dasar samudra tidak bisa terbang selama yang mereka inginkan. Bersenjatakan tongkat trisula, pasukan dari dasar samudra menghantam gerombolan dari bangsa jin. Tidak mudah mengalahkan mereka, terlebih sosoknya dua kali lebih besar dari tubuh manusia. Selain itu, bau busuk dari hembusan napas para jin itu menjadi rintangan tersendiri bagi gadis-gadis cantik ini.

Dalam kekacauan itu, di mana ribuan mayat berserakan, bau anyir darah memenuhi setiap sisi gelanggang pertempuran, seketika, bau bunga kenanga menusuk hidung semua orang. Wiro Sableng bahkan sempat terpecah perhatiannya karena mengira orang yang selama ini dirindukan telah datang dari alam roh.

"Bunga!"

"Wiro, awas!"

Wiro Sableng yang saat ini sedang bertarung sengit melawan Raja Agung Kamaswara, dibantu Nyi Roro Kidul dan Ayu Lestari, juga gurunya Sinto Gendeng beserta Mahesa Edan, mengalami sedikit pemecahan pemusatan perhatian karena terkejut merasakan bau bunga kenanga yang biasa menjadi pengiring kemunculan kekasihnya dari alam roh. Bagi Kamaswara, itu sudah lebih dari cukup untuk mendaratkan pukulan telak ke tubuh lawan.

Serangan menggila menghantam kepala Pendekar 212. Setinggi apa pun ilmu murid Sinto Gendeng, tidak mungkin mampu menerima pukulan dahsyat dari salah satu dewa tertinggi di Kerajaan Langit.

BUMM!!!

Ledakan maha dahsyat mengguncang tempat sekitar. Wiro Sableng terlempar sejauh lima tombak. Sementara Sinto Gendeng, Nyi Roro Kidul, dan Ayu Lestari terpental sejauh sepuluh tombak. Tubuh ketiga perempuan ini terbanting berguling-guling hingga langkah kaki seseorang yang sedang bertarung menghentikan sosoknya. Yang paling parah tentu saja Mahesa Edan. Karena di antara yang lainnya, dia yang paling rendah tenaga dalamnya. Lelaki ini, selain terpental jauh, juga mengalami luka dalam yang sangat mengkhawatirkan. Beruntung ia terlindungi dengan keris sakti dan senjata aneh miliknya berupa papan nisan. Jika tidak, tentu nyawanya tidak bisa terselamatkan.

"Eyang!" pekik Wiro ketika dilihatnya Sinto Gendeng terkapar dan siap mendapat hantaman beruntun dari orang-orang perut bumi secara pengecut.

"Kau tidak perlu pedulikan aku, anak setan! Lihatlah keadaan pemuda edan itu! Dia butuh pertolonganmu!"

Wiro Sableng yang hendak menolong gurunya menjadi tertahan. Pandangannya tertuju ke arah Mahesa Edan. Secepat angin berhembus, sosoknya telah sampai di samping si pemuda.

"Wiro, kemampuanku jauh di bawah bangsat itu! Tenaga dalamnya tinggi sekali, benar-benar tidak terukur."

"Mahesa, tenanglah. Tegakkan tubuhmu."

Wiro Sableng memberi bantuan lewat punggung si pemuda. Aliran hawa sakti masuk. Mahesa Edan merasakan tubuhnya bagian dalam terbakar hebat. Pemuda ini menjerit, lalu darah hitam kental menyembur dari mulutnya.

"Kau masih menyimpan obat pemberian Eyang Sinto Gendeng?"

"Tai kambing itu?"

"Tolol! Itu obat luka dalam paling mujarab. Cepat telan!"

Mahesa Edan mengambil obat dari balik kantung perbekalannya, menelan, mengatur napas. Lalu perlahan-lahan, luka dalam mulai memudar.

"Kamaswara salah satu dewa tertinggi di Kerajaan Langit. Jangankan dirimu, Mahesa, Kakek Resi Saptuning Jagat sekalipun tidak mampu mengalahkannya."

"Celaka! Jika ilmu keparat itu setinggi langit tembus, lalu apa artinya perlawanan ini? Kita hanya menunggu kematian saja."

"Karena itulah aku harus segera merebut Batu Keabadian yang ada dalam tubuh jahanam itu."

"Batu Keabadian?"

Wiro Sableng dan Mahesa Edan terkejut ketika mendengar ribuan orang menjerit-jerit lalu lenyap. Kedua pemuda ini dan semua orang terperangah ketika melihat kejadian sebelumnya kini kembali terulang. Para prajurit tenggelam ke dasar tanah, mereka terbenam hidup-hidup.

"Keparat!"

Wiro Sableng melesat. Mahesa Edan hanya merasakan hempasan angin, lalu kemudian sosok Wiro telah kembali bertempur dengan Raja Agung Kamaswara. Nyi Roro Kidul dan Ratu Ayu Lestari saling pandang. Keduanya kembali melesat, bergabung membantu Wiro Sableng.

Bab 24

“Babi gendut buruk rupa, akulah lawanmu!”

Bujang Gila Tapak Sakti berpaling ke arah kanannya. Seorang kakek bermata picak bertolak pinggang menatap tajam ke arahnya.

“Bramanta Dwipala,” desis Bujang Gila Tapak Sakti dengan suara bergetar.

“Bagus, kau masih mengingat namaku. Sekarang, bersiaplah untuk mati!”

Tidak tahu kapan kakek berpakaian aneh itu bergerak, tahu-tahu Bujang Gila Tapak Sakti telah merasakan pukulan mematikan sampai di wajahnya. Hempasan anginnya begitu kuat. Baju terbalik yang dikenakan berkibar-kibar, rambut melambai-lambai. Topi kupluk terbang jauh dan menghilang dalam kekacauan perang.

Dalam keterkejutannya, Bujang Gila Tapak Sakti hanya menggerakkan tangan, tapi sayangnya itu sudah terlambat. Pukulan yang datang jauh lebih cepat bahkan dari kedipan matanya. Pemuda bertubuh gendut ini hanya bisa pasrah, menerima serangan mematikan dalam satu gebrakan. Saat itulah ia merasakan ada hempasan angin kecil dari samping kanannya.

Pukulan mematikan terhenti tepat seujung kuku di depan hidungnya. Bujang Gila Tapak Sakti tersurut satu langkah ke belakang. Tubuhnya menggigil, padahal di sekitaran, api ledakan membuncah di mana-mana.

Jahanam apa yang terjadi dengan tanganku?

Bramanta Dwipala menggenggam lengan kanannya dengan tangan kiri, sulit! Tangannya sebatas siku telah berubah menjadi batu. Tapi yang paling mengherankan, bukan hanya perubahannya saja—tangan itu seolah telah menyatu dengan dinding tak terlihat, menggantung di udara dengan jemari terkepal. Bagaimanapun Bramanta Dwipala berusaha untuk melepaskan, menarik, menurunkan—semuanya sia-sia.

“Keparat! Makhluk jahanam mana yang berani bermain-main denganku?”

Lelaki tua ini berpaling ke arah kirinya, di mana tadi ia merasakan hempasan angin datang. Sementara Bujang Gila Tapak Sakti sendiri sudah tahu siapa orangnya yang telah menyelamatkan dirinya dari serangan gelap lawan.

“Eh, bukannya itu gadis cantik yang mengaku sedang mencari seseorang?”

Sepuluh langkah di depan sana, gadis cantik berpakaian warna biru yang bukan lain Dewi Dua Musim melangkah mendekat. Rambut hitam indah tergerai, bergoyang mengikuti langkah kaki. Bujang Gila Tapak Sakti segera menghampiri.

“Sahabat cantik, kaukah yang telah menolongku?” Bujang Gila sedikit membungkukkan tubuhnya. “Aku....”

“Sahabat Gendut Berpakaian Terbalik, bukan saatnya sekarang untuk melakukan peradatan. Aku tahu kau mampu menahan keganasan serangan kakek aneh itu, tapi aku tidak suka cara dia memulai pertarungan.”

“Betina keparat! Jadi kau bangsatnya?”

Dewi Dua Musim tersenyum.

“Kakek tua, maaf jika aku mengganggu kesenanganmu. Tapi, selama ketidakadilan terlihat oleh mataku, sekecil apa pun itu, maka aku tidak akan tinggal diam.”

“Cuh! Lagumu sudah kayak pendekar besar saja! Kau tidak tahu siapa aku, betina keparat? Kau akan menyesali perbuatanmu sampai ke liang kubur!”

Karena si gadis berada di samping kiri, satu garis lurus dengannya, mudah bagi kakek ini untuk kembali melancarkan serangan seperti yang tadi dilakukan kepada Bujang Gila Tapak Sakti. Dengan tangan kirinya, kakek ini hantamkan pukulan mematikan ke arah si gadis. Sayangnya Dewi Dua Musim sudah menduga akan hal itu. Ia segera meniup. Seperti tadi, Bramanta Dwipala merasakan tangannya kebas, lalu seperti ada ribuan semut yang merayap di sepanjang lengan hingga ke ketiak.

Bujang Gila Tapak Sakti sendiri melihat dengan kedua mata melotot. Tangan itu dari ujung jemari berubah membatu, merambat sampai ke pangkal lengan.

“Ilmu aneh luar biasa.” Bujang Gila menggeleng, mengagumi kelihaian si gadis. Sebelumnya, walau dirinya tidak pernah meremehkan siapa pun, termasuk gadis ini, setidaknya ia beranggapan kalau kemampuan gadis ini hanya sebatas pendekar wanita biasa seperti sahabat-sahabat yang lain. Setelah melihat kejadian ini, ia benar-benar dipaksa untuk mengubah sudut pandangnya. Mengubah penilaiannya.

Bujang Gila Tapak Sakti menyeringai saat melihat tubuh kakek itu yang menjadi lucu karena tangannya terbentang membentuk huruf L.

“Aku tidak pernah lihat ada patung model begini... hihihi....” Bujang Gila Tapak Sakti mulai mengipasi tubuhnya yang banjir keringat.

“Puaskan tawamu, Babi Gendut! Karena saat aku terlepas, kau tidak bisa lagi berlaga di hadapanku!”

“Kau sepertinya sudah tidak sabaran untuk meneruskan pertarungan, kakek aneh.” Dewi Dua Musim menatap tajam si kakek.

“Keparat! Jangan kau kira aku tidak mampu untuk melepaskan ilmu murahanmu ini, Betina Sundal!”

Bramanta Dwipala memejamkan mata. Tubuhnya bergetar hebat, menandakan ia sedang memusatkan seluruh tenaga dalam untuk menghancurkan ilmu aneh yang menjerat kedua tangannya. Kakinya melesak ke dalam tanah hingga sebatas betis. Dengan tenaga dalam sebesar itu, ilmu totokan jenis apa pun akan musnah tanpa hambatan berarti. Tapi yang terjadi kepada kedua tangannya kini benar-benar membuat kakek ini terperangah. Sampai seluruh tubuhnya membanjir deras, baju yang dikenakan hampir basah karena keringatnya. Jangankan bisa terlepas, mampu untuk menggerakkan sedikit saja nyatanya tidak bisa.

“Jahanam!”

“Bahkan dengan gabungan seluruh kembaranmu, kau tidak akan mampu membebaskan kedua tanganmu, Kek.”

“Keparat! Siapa kau sebenarnya, Betina Sundal?”

“Aih, sudah lama berbicara, kau baru menanyakan namaku. Padahal aku mengenal baik dirimu, orang tua.”

Dewi Dua Musim tersenyum.

“Bukankah serangan pembuka yang kau gunakan bernama Menutup Pancaindra Merenggut Nyawa? Pemilik ilmu itu seorang kakek sakti yang telah meninggal seratus tahun silam. Sukmanya gentayangan karena dendam kesumat yang belum terbalaskan, lalu kau memanfaatkan itu?”

Andai saja kedua tangannya tidak terkunci rapat, tentu tubuh kakek ini akan terjajar beberapa langkah ke belakang saking terkejutnya. Kedua mata orang tua ini nyaris terlepas dari rongganya. Raut ketidakpercayaan terlihat jelas di kulit wajah keriputnya. Bagaimana mungkin gadis sebelia ini tahu banyak tentang kakek sakti itu, juga mengenai dirinya? Siapa sebenarnya gadis ini?

“Hebat! Di usiamu yang seumur jagung ini, kau tahu banyak tentang para tokoh sakti di masa lalu. Saat para dedengkot dunia persilatan Tanah Jawa tidak ada yang mengenaliku—kecuali kakek buta itu—kau justru tahu banyak mengenai riwayatku. Sekarang, jelaskan siapa dirimu adanya dan dari mana kau tahu semua ini?”

“Sayangnya aku tidak diperkenankan untuk memperkenalkan nama.”

“Setan alas! Kalau begitu, lepaskan ilmu keparatmu ini, lalu kita bertarung sampai seribu jurus!”

Dewi Dua Musim tertawa berderai.

“Seribu jurus sepertinya seru. Tapi sayangnya lawanmu seorang pemuda gendut yang berusia lebih dari delapan puluh tahun dan tidak suka dengan pertarungan yang memakan waktu lama.”

Kalau sebelumnya Bramanta Dwipala yang terkejut, kini Bujang Gila Tapak Sakti. Pemuda bertubuh gendut ini sampai terbelalak. Tidak banyak manusia yang tahu mengenai siapa sebenarnya dirinya. Jauh dari itu, bahkan gadis ini sampai tahu sifatnya yang memang lebih suka mengakhiri pertarungan secepat mungkin.

“Benar-benar gadis ajaib. Siapa sebenarnya gadis cantik ini? Kalau Bramanta Dwipala bisa dibuat tak berdaya begini rupa, jelas kepandaiannya tidak lebih rendah dari dedengkot persilatan Tanah Jawa.”

“Orang tua, beruntung saat ini sudah masuk ke musim penghujan.”

“Apa yang kau katakan, keparat?”

Dewi Dua Musim tidak menanggapi. Ia berpaling ke arah Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kau sudah siap, sahabat gendut berpakaian terbalik?”

Sambil mesem-mesem, Bujang Gila Tapak Sakti menjawab, “Aku sudah siap, sahabat cantik.”

“Baik. Lanjutkanlah.” Setelah meniup, ia berkelebat pergi. Kejap itu juga kedua tangan Bramanta Dwipala yang membatu terbebas setelah lebih dulu kepulan debu keluar dari kedua lengannya.

Tanpa berkata sepatah kata pun, kakek ini segera menyerang lawannya. Masih dengan ilmu yang sama, Menutup Panca Indra Merenggut Nyawa. Tapi kali ini Bujang Gila Tapak Sakti telah siap siaga. Begitu serangan datang, ia kibaskan kipas saktinya. Serangkum angin membentuk dinding pertahanan. Pukulan si kakek mengambang, seolah membentur dinding tebal tak terlihat. Ia lipatgandakan tenaga dalam. Akibatnya, Bujang Gila Tapak Sakti terdorong jauh, menciptakan dua garis bekas kaki di tanah. Ia berkelit, melepaskan pukulan dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri kembali mengibaskan kipas sakti. Gelombang angin menerjang. Tempat sekitar yang sebelumnya panas membara karena banyak terjadi ledakan dan gumpalan api di mana-mana mendadak menjadi dingin. Beberapa kelompok yang sedang bertarung di dekat pertempuran Bujang Gila Tapak Sakti melawan Kakek Bramanta Dwipala terhenti, mereka memilih melompat menjauh karena gigil tubuh tak tertahankan.

Sementara Bramanta Dwipala sendiri tersenyum mengejek melihat serangan lawannya.

“Nyatanya kau tidak lebih rendah dari dugaanku, babi gendut. Kau cukup punya ilmu yang bisa diandalkan.”

“Sayangnya ini baru awal, orang tua,” Bujang Gila Tapak Sakti terkekeh lalu lipatgandakan tenaga dalam. Pusaran angin dingin semakin menggila. Bramanta Dwipala yang sebelumnya mampu membendung dengan tenaga dalam yang menciptakan kehangatan pada tubuh, kini seperti mendapat dobrakan hebat. Tubuhnya bergetar, hawa dingin mulai merangsek masuk. Pertama sekali ia merasakan di telapak kaki, merambat cepat ke betis hingga paha.

“Keparat! Lama-lama tubuhku bisa kaku,” umpat kakek ini dalam hati lalu melompat menjauh. Sebelum gelombang hawa sangat dingin membungkus tubuhnya, ia hantam dengan dua pukulan sekaligus. Dua larik sinar merah memapasi gelombang angin dingin, benturan kekuatan yang berseberangan pusat intinya beradu, menciptakan ledakan yang sangat mengerikan. Tanah yang dipijak bergetar hebat. Gumpalan api membumbung tinggi. Debu beterbangan menutupi pemandangan sekitar. Hempasan panas bercampur dingin melesat ke berbagai arah. Di kejauhan, beberapa kelompok yang sedang bertarung dan tidak sempat menghindar mengalami nasib yang sangat mengerikan. Bagian atas hangus terbakar, sementara bagian bawah membeku. Orang-orang ini mati tanpa tahu siapa pembunuhnya.

Beradunya tenaga dalam tinggi membuat Bujang Gila Tapak Sakti terpental jauh. Tubuh gendut berbobot ratusan kati itu seolah berubah menjadi daun kering yang terhempas angin.

Bluk!

Tubuhnya terbanting dan membentur beberapa pasang kaki manusia bertupung hitam. Melihat lawan tidak berdaya, mereka segera melepas pukulan andalan yang dimiliki, Lima Kutuk dari Perut Bumi. Tapi sebelum itu terjadi, hempasan angin dari kipas sakti si gendut membuat orang-orang ini terpental, melesat ke sana kemari. Jerit kesakitan mengiringi suara terjatuhnya tubuh mereka.

“Ilmu picisan kalian tidak berlaku lagi di hadapanku,” Bujang Gila Tapak Sakti menyeka bibirnya. Darah! “Ah, sialnya aku luka dalam.” Ia segera duduk bersila, mengatur jalan darah. Seperti diketahui, salah satu kedahsyatan ilmu pemuda ini yakni mampu menyembuhkan berbagai penyakit atau luka, termasuk juga luka dalam. Pada orang lain, penggunaan Tangan Dewa Mengusap Bumi memerlukan telapak tangannya, untuk mengirim hawa sakti, namun untuk dirinya sendiri Bujang Gila cukup memusatkan hawa dingin penyembuhan ke titik luka. Sebentar kemudian ia telah menyelesaikan ritual. Pemuda gemuk ini berdiri. Di kejauhan sana, lawannya telah menunggu dengan merangkapkan tangan di depan dada.

“Sudah selesai?” tanya kakek itu dengan seringai mengejek. Bujang Gila Tapak Sakti terkesiap. Mustahil kakek itu tidak mengalami luka dalam sedikit pun. Ia meneliti tempat di mana kakek itu berdiri. Memang tidak ada bekas muntahan darah.

“Tua bangka keparat ini memang tidak bisa dianggap remeh.”

“Babi gendut, bisa kita lanjutkan permainannya?”

Bujang Gila Tapak Sakti terkekeh. Mengusap kepalanya, maksudnya hendak membenarkan topi kupluknya yang selalu bertengger di kepala. Ia lupa kalau topi itu telah hilang entah ke mana. “Sialan! Topi kesayanganku hilang. Apes bener.”

Bujang Gila Tapak Sakti kebutkan kipas saktinya pada tubuh seraya berkata, “Justru sejak tadi aku sedang menunggu seranganmu, orang tua. Ilmu tadi apa namanya aku lupa? Si Indra meminta nyawa... eh, bukan, bukan... Menutup Indra Merenggut Nyawa—iya benar. Namanya keren, hehehe, aku suka. Ayok keluarkan lagi, atau kamu mau pakai ilmu lain, misal Menutup Mata Hati Mengambil Cinta, uhh romantis sekali, hehehe... atau ada yang lebih syahdu dari itu?”

“Orang yang sudah mau mati memang suka bicara ngaco.” Bramanta Dwipala sedikit membungkukkan tubuhnya. Diiringi bentakan keras ia hantamkan tangan kanan ke depan. Bersama dengan itu, melesat lima benda kuning mengarah ke lima titik di tubuh Santiko. Pemuda bertubuh gendut ini terperangah. Bukan hanya karena serangan mematikan pada tubuhnya, jauh dari itu ia juga tahu betul benda apa yang melesat ganas ke arahnya.

Bunga kenanga! Seketika tempat sekitar dipenuhi bau bunga kenanga. Dan bau ini pula yang hampir saja membuat Wiro Sableng terbunuh karena pecahnya pemusatan saat menghadapi Raja Agung Kamaswara.

“Celaka! Bukankah ini senjata andalan sahabat cantik dari alam roh? Bagaimana tua bangka sialan itu bisa mendapatkan senjata rahasia gadis alam gaib itu?” Bujang Gila Tapak Sakti kibaskan kipas saktinya. Tiga bunga kenanga yang mengarah ke tiga titik di tubuhnya—leher, jantung, perut—berhasil dimentahkan. Sementara dua lainnya berhasil menerobos, satu ke arah selangkangan, satu lagi ke paha kanan.

“Sial!” Bujang Gila Tapak Sakti hempaskan tangan kanan, angin dingin menderu dari telapak tangan terbuka, dua senjata andalan bunga hancur berkeping-keping. Pemuda bertubuh gemuk ini selamat. Namun ia tidak tahu, kalau semua serangan ganas mematikan itu tak lebih hanya sebatas tipuan, untuk pengalihan. Selagi pusat perhatian lawannya terganggu, kakek ini kirimkan serangan sesungguhnya. Salah satu mata orang tua ini membersit kilatan cahaya, kaki kanan dihentakkan ke tanah. Dari tanah mencuat cahaya merah, menjalar ke sekujur tubuh hingga ke kepala, lalu wus! Dari salah satu mata, cahaya itu melesat ke Bujang Gila Tapak Sakti yang saat itu baru saja mementahkan senjata andalan lawan. Ia tidak menyangka akan ada serangan susulan secepat itu.

Ilmu serangan yang dilepas Bramanta Dwipala saat ini ialah salah satu ilmu andalan milik Dewi Bunga Mayat, yang memiliki nama asli Suci dan oleh Wiro Sableng diberi nama Bunga. Dengan ilmu ini pula dulu Ratu Duyung dibuat babak belur karena hanya mengandalkan cermin saktinya. Kala itu keduanya terlibat perseteruan memperebutkan sosok Pendekar 212 yang nyaris terbunuh tokoh-tokoh golongan hitam lantaran kehilangan kesaktian. Ratu Duyung sendiri mengalami luka dalam yang cukup parah. Sebab itulah ia memilih mengandalkan cermin sakti daripada membalas serangan dengan pukulan. Akibatnya, ia mengalami kekalahan telak.

Lalu, bagaimana dengan senjata berbentuk kipas milik Bujang Gila Tapak Sakti? Keadaan memaksa pemuda gendut ini hanya mengandalkan kipas sebagai benteng pertahanan. Ledakan besar terjadi. Kipas di tangan terlepas, terbang jauh ke riuh pertempuran di belakangnya. Bujang Gila Tapak Sakti sendiri terpental. Hampir seluruh tubuh diselimuti debu ledakan. Rambut awut-awutan, baju terbaliknya hangus terbakar di beberapa tempat. Tangan kiri yang selalu digunakan memegang kipas biru menghitam.

Santiko terbatuk-batuk. Darah hitam keluar dari mulutnya. Ia menarik napas. Sulit! Luka dalam teramat parah dialami pemuda ini.

“Saatnya untuk mengakhiri riwayatmu, babi gendut bermuka jelek!”

Belum sempat Bujang Gila Tapak Sakti memperbaiki duduknya, lawannya sudah berdiri lima langkah dengan kaki terkembang, siap melepas pukulan untuk mengakhiri hidupnya. Pemuda ini bergulingan, meringkuk, ia memeluk kaki si kakek.

“Keparat! Apa yang kau lakukan?” Bramanta Dwipala meronta, berusaha melepaskan kakinya, tapi tidak bisa. Gelungan Bujang Gila layaknya seekor naga yang membelit bukit, benar-benar kencang. Ditambah lagi kakinya mulai terasa membeku.

“Bangsat haram jadah! Lepaskan!” Kakek ini menghantamkan pukulan tangan kanan ke arah lawan. Buk! Layaknya memukul dinding es, jemarinya terasa memar, lalu pembekuan terjadi. Semakin sering ia menghantam tubuh Bujang Gila Tapak Sakti, semakin banyak pembekuan pada kepalan tangannya. Di tempat lain, bagian kaki, pembekuan telah sampai pinggang. Kakek ini menggigil, tarikan napas sudah sulit dilakukan. Ia kerahkan seluruh tenaga dalamnya, percuma! Pembekuan semakin meninggi, mencapai dada, merambat ke atas hingga tubuh Bramanta Dwipala berubah menjadi patung es. Bujang Gila Tapak Sakti melepas gelungan pada kaki si kakek. Terbaring telentang menghadap ke atas.

“Gila! Hanya untuk membunuh satu orang saja aku harus mengeluarkan seluruh kemampuan. Benar-benar tidak masuk akal. Kipas, mana kipasku?” Bujang Gila Tapak Sakti melompat berdiri. Saat itulah ia merasakan sakit yang teramat sangat pada tubuhnya. Banyak bekas pukulan di punggungnya. Beruntung tadi ia menelusupkan kepalanya ke selangkangan si kakek hingga orang tua sakti itu tidak memiliki kesempatan untuk mengincar kepala.

“Pukulan kakek itu hampir saja membunuhku. Luka dalamku terlalu parah. Aku harus segera mengobati.” Baru saja Bujang Gila Tapak Sakti duduk bersila, patung Bramanta Dwipala berderak, retakan banyak terjadi di sekujur tubuh patung es. Cahaya merah menyala keluar dari retakan. Kejap berikutnya, patung itu meledak berkeping-keping. Dari dalam ledakan melesat sebuah benda warna ungu sebesar lingkaran ibu jari dan telunjuk.

“Eh, apa itu? Seperti buah gandaria tapi kok warna ungu? Setahu aku yang warna ungu hanya bijinya.”

Benda itu terjatuh ke tanah, kepulan asap warna ungu menyembur. Bujang Gila Tapak Sakti melompat menjauh, khawatir kalau-kalau asap ungu tebal itu mengandung racun jahat.

Asap ungu semakin banyak, membentuk sosok manusia. Ketika semburan asap habis dari benda warna ungu, perlahan-lahan gumpalan asap seperti memadat. Bujang Gila Tapak Sakti terus memperhatikan, hingga ia mulai menyadari kalau sosok itu mirip kakek aneh yang baru saja dibunuhnya.

“Tidak mungkin. Aku pasti salah lihat.” Bujang Gila Tapak Sakti mengucek kedua matanya berulang kali. Gumpalan asap yang telah memadat membentuk tubuh. Kaki mulai terlihat, pakaian yang dikenakan hingga seringai muka mengejek menatap rendah ke arahnya.

“Gila! Apa-apaan tua bangka aneh itu? Kenapa dia bisa hidup lagi?”

“Babi gendut! Jangan kau berpikir telah mengalahkanku! Jangankan hanya dirimu, seribu dewa tidak bisa membunuhku! Hahahahahaha...!”

Bujang Gila Tapak Sakti mundur tiga langkah. Dadanya berdenyut sakit. Ia belum sempat menyembuhkan luka dalamnya, kini harus kembali melanjutkan pertarungan. Padahal tubuh bagian dalam dan luar rasanya remuk redam. Setiap gerak tubuh yang dilakukan hanya menambah rasa sakit yang menyiksa.

“Ah, sialan sekali. Belum pernah aku merasakan tubuh sesakit ini.” Ia teringat dengan pernyataan si kakek. “Apa katanya barusan? Seribu dewa tidak bisa membunuhnya?” Gemetar pada suaranya begitu kentara. Bahkan Bramanta Dwipala bisa melihat dengan jelas. “Aku tidak percaya ada manusia sekuat itu,” desisnya yang nyaris tidak terdengar.

“ tidak percaya dengan ucapanku, babi gendut?” Seakan mendengar apa yang dikatakan Bujang Gila Tapak Sakti, kakek ini tertawa bergelak. “Kau mengira ucapanku main-main? Lihat baik-baik dengan kedua mata jelekmu, babi gendut!” Gumpalan cahaya merah angker keluar dari tangan kanannya. Lalu prak! Kepala Bramanta Dwipala hancur berantakan. Tidak ada jeritan, karena mulut tidak punya kesempatan untuk teriak sebelum darah bercampur otak muncrat ke mana-mana. Tubuh tanpa kepala tersungkur ke tanah, mengejang-ngejang mirip kerbau disembelih lalu diam, pertanda nyawa telah minggat. Seperti sebelumnya, dari tubuh Bramanta Dwipala tampak retakan, cahaya merah terpancar, dan ledakan kembali terjadi. Persis apa yang terjadi tadi kini terulang, dalam ledakan melesat benda warna ungu, dan menyemburkan asap dengan warna yang senada kala benda itu menyentuh tanah. Lalu serangkaian yang telah dilihat Bujang Gila Tapak Sakti kini kembali terulang.

“Tidak masuk akal. Ini benar-benar mustahil. Edan! Bangsa jin sekalipun mengalami kematian, bagaimana mungkin tua bangka berpakaian aneh ini tidak bisa mati? Celaka! Benar-benar celaka!”

Bramanta Dwipala kembali tertawa bergelak. “Kau sudah percaya, babi gendut? Atau mau aku ulang lagi?”

Bujang Gila Tapak Sakti menelan ludah. Ia segera menyahuti ucapan orang, “Aku belum percaya. Coba ulang lagi.” Tujuannya, ketika si kakek mengulang serangkaian ilmu anehnya, ia punya kesempatan untuk menyembuhkan luka dalam yang diderita. Akan tetapi, kakek ini sudah tahu apa yang akan dilakukan lawannya.

“Baik, aku akan mengulang, tapi aku lebih suka kau yang melakukan pengulangan.” Kakek ini berkelebat. Bujang Gila Tapak Sakti hanya bisa menghindar, napas sesak, seluruh tubuh terasa remuk, membuat gerakannya melambat. Akibatnya dalam waktu singkat ia terdesak hebat. Untuk membalas serangan tentu tidak mungkin, kecuali jika ingin memperparah luka dalam yang diderita.

Dengan mempergunakan Seribu Langkah Dewa, salah satu kesaktian yang ada di dalam Kitab Seribu Bintang, Pendekar 212 menghadapi Raja Agung Kamaswara. Tubuhnya benar-benar tidak terlihat oleh mata kebanyakan manusia. Bahkan, Mahesa Edan sendiri hanya mampu melihat bayang-bayang, sulit menerka mana Wiro, mana Kamaswara. Hempasan angin, ledakan-ledakan pukulan sakti dan gumpalan debu beterbangan, membuntal-buntal mengikuti pusaran angin akibat pergerakan yang teramat sangat cepat.

“Kitab Seribu Bintang!” Mahesa Edan menggeleng dengan decak penuh kekaguman. “Kitab hebat luar biasa. Mungkin itu satu-satunya kitab tertinggi yang diciptakan para dewa. Tidak bisa kubayangkan apa yang terjadi pada dunia ini kalau kitab maha sakti itu jatuh ke tangan orang yang salah.” Ia menggerakkan tangan kanannya. Wut! Senjata aneh berbentuk papan nisan yang tergeletak di tanah tersedot, tergenggam sempurna dalam jemarinya. Ia hendak kembali masuk ke dalam pertarungan Wiro Sableng dan Raja Agung Kamaswara, namun, gerak langkahnya tertahan ketika sudut matanya menangkap salah satu sahabat dari golongan putih membutuhkan pertolongan. Untuk sesaat, ia pun memilih membantu orang itu terlebih dahulu.

Tidak terhitung sudah berapa pukulan yang Wiro Sableng keluarkan untuk membungkam ejekan Kamaswara. Pukulan Sinar Matahari, Benteng Topan Melanda Samudra, Segulung Ombak Menerpa Karang, Dewa Topan Menghusr Gunung, semua kesaktian yang didapat dari berbagai tokoh terkemuka dunia persilatan, termasuk juga ilmu kesaktian dari Kitab Putih Wasiat Dewa bahkan Kitab Wasiat Malaikat, yang sebelumnya memiliki keganasan mengerikan saat berada di alam para dewa, kini, menghadapi Kamaswara semua kesaktian pukulan itu cukup mudah dimentahkan. Padahal, sejak ia menguasai Kitab Seribu Bintang, segala kesaktian yang dimiliki menjadi berlipat-lipat lebih dahsyat dari sebelumnya. Anak buah Kamaswara dari Cabang Tiga dan Cabang Dua telah merasakan keganasan pukulan-pukulan miliknya. Semua kedahsyatan itu benar-benar tidak berarti di hadapan Dewa Sesat ini.

Wiro Sableng sampai saat ini masih sanggup mengimbangi Kamaswara juga karena sedari awal ia mempergunakan Seribu Langkah Dewa. Andai tidak, mungkin sejak pertempuran pertama ia hanya akan menjadi bulan-bulanan lawan. Dan tentunya, hanya dalam sekali gebrakan, nyawanya dipaksa minggat ke alam baka.

"Masih ada lagi ilmu simpananmu, pemuda tolol? Ilmu yang sangat kau andalkan dari Kitab Seribu Bintang, pemberian dari dewi bodoh Gendramani itu? Aku belum melihatnya selain Seribu Kaki Dewa, hahahaha... Apa yang kau tunggu? Gunakanlah!"

Sambil terus menghindar dan menyerang lawan, Wiro Sableng kertakkan rahang. Menurutnya, Kamaswara sudah jauh melampaui batas. Bukan hanya soal kerusakan yang dibuatnya di muka bumi ini, tapi perangai yang jauh dari kata terpuji. Bagaimana mungkin ia berani mengatakan pimpinan dewi tertinggi atas langit dengan kata-kata tidak pantas, padahal tingkatan dia dan Dewi Asih Gendramani sangat jauh—lima tingkatan di kalangan para dewa.

Ia bisa saja mengeluarkan ilmu yang memang sangat diandalkan saat ini. Masalahnya, Batu Keabadian masih tertanam di tubuh Kamaswara. Selain penggunaan ilmu dari Kitab Seribu Bintang itu hanya membawa kesia-siaan, ia juga khawatir akan membawa dampak buruk bagi yang lain.

Wut!

Hampir saja kepalanya remuk kena hantaman pukulan lawan. Wiro Sableng membeliak lebar. Bulu kuduk meremang. Tengkuk tiba-tiba terasa dingin. Belum hilang keterkejutannya, serangan lawan kembali datang. Tendangan secepat kilat mengarah ke perut dan dada kirinya, diincar tusukan jari mematikan.

"Keparat!" Wiro Sableng kertakkan rahang. Agar bisa menghindari kedua serangan secepat itu, ia dipaksa untuk merobah gerak silatnya. Masalahnya, jika itu ia lakukan, lawan bisa dengan mudah memberi serangan susulan. Tentunya, ia tidak punya kesempatan untuk menghindar, apalagi membalas guna menangkis. Tapi, jika tetap dalam posisi yang sama, ia harus merelakan salah satu serangan lawan mengenai dirinya. Dalam bimbangnya, ia memilih langkah kedua. Ancaman hilang. Pukulan selanjutnya pasti mengarah ke kepala dari sisi kiri. Sayangnya, ia kecele. Tawa Kamaswara meledak.

"Hahaha... Itu serangan mudah, pemuda tolol! Aku tidak mungkin menghabisimu dari kepala. Lihatlah!"

Drak!

Tanah di mana Wiro berdiri terkuak, seketika kaki Wiro Sableng amblas hingga sebatas betis. Ia merasakan ada kekuatan dahsyat tak terlihat yang menarik kakinya, juga menekan dari atas kepalanya. Pemuda ini sampai harus mengeluarkan lebih dari separuh tenaga dalam agar tubuhnya tidak amblas masuk ke bumi. Terlihat kakinya perlahan mulai terangkat, tapi sekejap kemudian kembali tertarik ke dalam.

Ini bukan ilmu yang Kamaswara gunakan untuk membenamkan ribuan prajurit dalam satu gerakan tangan kirinya. Walaupun tidak tahu namanya, tapi Pendekar 212 bisa mengenali perbedaan dari kedua ilmu mengerikan itu. Dan apa yang diduga Wiro Sableng benar adanya. Ilmu mengerikan yang tengah dilancarkan lawannya kini bernama Ilmu Penghimpit Roh.

Ilmu ini diciptakan bertujuan untuk menghukum para dewa yang membangkang, mereka yang mempunyai kesalahan yang melampaui batas. Di kerajaan langit, di hadapan ayahandanya sendiri, Kamaswara pernah merasakan bagaimana ganasnya Ilmu Penghimpit Roh. Ia dijebloskan ke dalam tanah, lalu seketika tanah merapat. Remukan tulang dan hancuran tubuh terdengar mengerikan. Kamaswara, sebagai dewa sekalipun, merasakan sakit yang teramat sangat. Kalau ia tidak melawan, tentu sampai dunia kiamat dirinya akan terus mengalami kejadian serupa—tubuh remuk terjepit, lalu menyatu lagi, terjepit lagi—terus menerus seperti itu sampai masa hukuman untuknya berakhir.

Beruntungnya, ia memiliki kemampuan untuk bisa melawan dari amukan adiknya, Ramanda. Lalu bagaimana dengan Wiro Sableng? Ia bukan dari golongan dewa. Tentu saja, sekali tubuhnya terbenam dan bumi merapat, maka remukan tulang-belulang akan menjadi akhir bagi hidupnya. Dan murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede menyadari akan hal itu.

Perlu diingat, tidak semua dewa memiliki ilmu ini. Di kerajaan atas langit, hanya mereka dari kalangan istana yang memilikinya. Itu juga yang sudah mempunyai tenaga dalam sangat tinggi dan layak menerima, menurut penilaian Raja Agung Atas Langit.

Wiro Sableng teriak. Keringat membanjir deras dari sekujur tubuhnya. Tarikan pada kakinya makin menggila. Ia merasakan betotan dari tangan raksasa dan himpitan bongkahan batu sebesar gunung di atas kepalanya.

Srett!

Kaki Wiro Sableng melesak hingga sedalam lutut. Ia tambah tenaga dalam. Kakinya mulai terangkat, tapi hanya sedikit. Berikutnya, betotan keras menambah dalam kakinya terbenam. Kini telah sampai sebatas paha.

"Celaka!" keluh Pendekar 212. Di depannya, Kamaswara tertawa.

"Masuklah lebih dalam, pemuda sableng! Masuk!" teriak Kamaswara. Ia melipatgandakan tenaga dalamnya dan—wut!—sosok Wiro Sableng amblas sampai pinggang. Tidak mau terbenam hidup-hidup, ia mempergunakan seluruh tenaga dalam yang dimiliki. Tubuhnya kembali terangkat, sayangnya hanya sebatas pertengahan paha. Jika kali ini Kamaswara menambah tenaga dalamnya, bisa dipastikan tubuhnya terbenam sempurna tanpa mampu dirinya memberi perlawanan.

Wus!

Dua larik sinar keluar dari matanya. Wiro Sableng melepas Sepasang Pedang Dewa guna mengacau pemusatan Raja Agung Kamaswara. Memang itu sedikit berhasil. Tubuhnya terangkat hingga sebatas lutut. Persoalannya, karena penggunaan ilmu itu, titik pemusatan atas dirinya pun berkurang. Akibatnya, ia kembali terbenam dan bahkan lebih dalam hingga sebatas pinggang.

“Tamat riwayatku!”

"Pergilah ke neraka, pemuda sableng!" Kamaswara tertawa bergelak. Ia kembali menambah tenaga dalamnya. Tapi sebelum itu terjadi, dua larik sinar merah cukup mengejutkan dirinya.

"Betina-betina keparat!" Kamaswara papasi serangan yang datang dari samping kiri dengan tangannya. Dentuman untuk sekian kali terdengar di tempat itu. Hempasan api bercampur debu melesat ke segala arah. Lubang besar terkuak di dekat Kamaswara. Dua pukulan dapat dimentahkan dengan mudah. Berbeda dengan dirinya yang tidak mengalami luka apa pun, dua penyerangnya justru terpental satu tombak. Salah satunya bahkan hingga tiga tombak.

Wiro Sableng yang telah terbebas dari kematian segera melesat ke dua orang penyelamatnya.

"Ratu, kalian tidak apa-apa?"

"Aku baik-baik saja, Wiro. Jangan mengkhawatirkanku," yang menjawab Ratu Laut Utara, Ayu Lestari. Padahal keadaan perempuan ini lebih parah dari yang dialami Ratu Laut Selatan, Nyi Roro Kidul.

Karena Nyi Roro Kidul tidak sampai terbanting, Wiro membantu Ayu Lestari berdiri.

"Kau jangan sampai terperangkap Ilmu Penghimpit Roh, Wiro."

"Ilmu Penghimpit Roh?" Wiro Sableng mengulang. Nyi Roro Kidul yang sebelumnya bicara mengangguk.

"Sekali tubuhmu amblas ke dalam tanah, tamat riwayatmu. Para dewa sekalipun tidak ada yang selamat dari ilmu mengerikan itu."

Seketika terbayang kembali bagaimana dahsyatnya betotan Ilmu Penghimpit Roh. Mengingat semua itu, detak jantungnya meningkat. Walaupun dirinya tidak takut mati, tapi membayangkan tubuh remuk tergencet bumi rasanya terlalu mengerikan. Sadar nyawanya telah diselamatkan kedua ratu itu, Wiro Sableng segera membungkuk hormat.

"Aku berutang budi dan nyawa pada kalian berdua. Aku menghaturkan ribuan terima kasih. Tanpa pertolongan kalian, tentunya aku sudah tidak di sini lagi."

Nyi Roro Kidul tersenyum kecil, mengangguk perlahan.

"Di tempat ini, setiap kita berkewajiban saling menolong, bahu membahu untuk saling melindungi."

Kau tidak perlu berterima kasih, Wiro,” sahut Ayu Lestari. “Jasamu pada kerajaan laut, terutama kerajaan Laut Utara, sangat banyak. Kau banyak menanam budi pada kami. Jadi, sudah seharusnya kami membalasnya. Dan apa yang dikatakan Nyi Roro Kidul benar, kita di sini memang sudah seharusnya saling melindungi.”

Wiro Sableng menggaruk kepala. “Kalian benar.” Ia melirik ke arah Raja Agung Kamaswara. Dilihatnya dewa sesat itu sedang merapal mantra, mata terpejam, cahaya kuning kemerahan membungkus tubuhnya. “Apa yang tengah dilakukan dewa keparat itu?”

Nyi Roro Kidul terkesiap. “Jangan-jangan...” Ia tidak bisa meneruskan ucapannya, karena di depan sana jawabannya telah terlihat. Dua sosok bayangan muncul dari tubuh utama. Raja Agung Kamaswara menggandakan diri.

“Celaka!” keluh Nyi Roro Kidul. Sementara Ayu Lestari mengangkat tangan kanannya. Cahaya perak memanjang membentuk tombak trisula keluar dari tangan. Inilah senjata pusaka milik kerajaan Ratu Laut Utara.

“Ratu, di Kitab Wasiat Malaikat, ada salah satu ilmu semacam ini, tapi menurut Kakek Resi Saptuning Jagat, penggunaannya terbatas di alam manusia. Aku tidak mungkin menggunakan ilmu kesaktian dari Kitab Wasiat Malaikat untuk menghadapi Kamaswara. Tapi di Kitab Seribu Bintang juga ada ilmu yang sama. Aku bisa menggandakan diri menjadi tidak terbatas. Apakah sekarang saatnya?”

“Jangan!” Seperti Ayu Lestari, Ratu Laut Selatan juga melakukan hal yang sama. Cahaya kuning keemasan keluar dari genggaman tangan kanannya. Sebuah tombak emas, senjata pusaka milik Kerajaan Laut Selatan, kini telah dikeluarkan. “Ilmu menggandakan diri hanya akan mengurangi kekuatan tenaga dalammu, karena terbagi ke setiap salinan. Kalau lawannya hanya sebangsa kecoa busuk bawahan raja sesat itu, tidak masalah. Tapi makhluk terkutuk itu memiliki tenaga dalam tak terbatas. Pemusatan penuh harus selalu kau lakukan sepanjang pertempuran.”

“Apakah pembagian itu juga berlaku pada semua makhluk, termasuk dewa sesat itu, Ratu?”

“Harusnya begitu. Masalahnya, dia memiliki Batu Keabadian, yang memiliki kekuatan tak terbatas. Aku khawatir pembagian tidak berlaku atas dirinya.”

“Celaka,” keluh sang pendekar. Di depan sana dua bayangan telah berubah sempurna menjadi sosok tubuh Raja Agung Kamaswara. Kalau tidak melihat rangkaian penerapan ilmu itu, tentu siapa pun sulit membedakan mana yang asli, mana yang hanya salinan. Tapi, Wiro mengetahui di tempat mana sosok asli raja sesat itu.

“Kalian tahu, sejak tadi aku hanya main-main saja. Dan sekarang, inilah akhir dari hidup kalian.”

“Begitu?” Wiro Sableng melesat, yang menjadi incarannya sosok yang di tengah. Inilah yang asli. Pertarungan sengit kembali terjadi. Dalam waktu singkat, karena kecepatan gerak mereka dalam bertarung, telah digunakan dua puluh jurus. Jika pendekar biasa, tentu itu membutuhkan waktu yang lama.

“Kau bisa lebih cepat dari ini?”

Wiro Sableng terbelalak ketika tiba-tiba sosok Kamaswara menghilang dari pandangannya. Ia hanya merasakan serangan datang dari arah kiri, disusul dari sebelah kanan, lalu depan. Bertubi-tubi serangan datang dari berbagai arah tanpa ia bisa melihat di mana sosok lawan sebenarnya. Jika terus seperti ini, dalam waktu singkat ia akan mendapat hadiah mematikan dari Kamaswara.

“Keparat!” Wiro Sableng menambah kecepatan geraknya. Sosok Kamaswara terlihat, tapi masih samar. Ia kembali melipatgandakan kecepatan hingga dewa sesat itu mulai terlihat seperti sedia kala.

“Hebat,” memuji Kamaswara, tapi raut ejekan terlihat jelas di wajahnya. “Tambah lagi.” Katanya lalu wus! Seperti tadi, sosoknya kembali menghilang. Tidak mau menjadi bulan-bulanan lawan, Wiro Sableng kembali menambah kecepatan. Akibatnya, pusaran angin puting beliung terlihat mengerikan di tempat sekitar. Mereka yang sedang bertarung dengan lawan masing-masing terperangah, dan yang berada di dekat gelanggang pertempuran Wiro Sableng dan Raja Agung Kamaswara dipaksa menghindar sebelum sosoknya terbetot ke pusaran angin puting beliung yang menggila. Mayat-mayat beterbangan, berputar-putar lalu tercabik-cabik karena saling hantam dan hancur akibat kecepatan. Debu dan bongkahan batu tidak mau ketinggalan. Mereka ikut andil dalam pusaran yang semakin tak terkendali. Ledakan-ledakan beradunya pukulan terjadi di dalam sana. Beberapa melesat keluar dan menghantam orang-orang yang sedang bertarung di kejauhan. Puluhan muntahan pukulan itu merenggut banyak nyawa, tidak peduli apakah itu kawan atau lawan.

Ratu Laut Selatan, Nyi Roro Kidul, yang berada paling dekat dengan pertarungan Wiro Sableng melawan Kamaswara asli, dipaksa melompat menjauh, keluar dari gelanggang pertarungan. Di sana, Kamaswara salinan tertawa bergelak.

“Kenapa lari? Apa kau tidak tahu kalau aku juga bisa berbuat demikian? Tapi sebagai dewa yang baik, aku tidak akan melakukan hal semacam itu. Untuk menghabisimu, cukup dengan satu jentikan jari saja.”

Drak!

Tanah di sekitar Nyi Roro Kidul terkuak, mengurung dirinya membentuk kotak. Dalam sekejapan mata, tanah itu meninggi. Nyi Roro Kidul melompat setinggi lima tombak, maksudnya agar terbebas dari kurungan, tapi baru setengah jalan seperti ada kekuatan mahadahsyat tak terlihat yang menekan kuat dirinya. Ia terbanting ke tanah. Saat melihat ke atas, dinding itu telah mengurung dirinya.

“Ilmu setan apa lagi yang digunakan keparat jahanam itu!” Ia hantamkan tongkat emas ke tanah. Gelombang kekuatan terhempas, membentur dinding. Itulah Pukulan Ganda Pusaka dari Dasar Samudra. Hantaman itu mampu membalikkan laut hingga menciptakan gelombang raksasa yang siap meluluhlantakkan daratan. Dan jika itu dilakukan di daratan, gempa mahadahsyat akan mengguncang seluruh kota raja. Karena keganasannya, tak pernah sekalipun ia mengeluarkan ilmu ini. Lagi pula, selama ini kerajaannya tidak memiliki ancaman yang berarti dari pihak manapun.

Guncangan dahsyat memang terjadi, tapi hanya berlaku di dalam dinding saja. Mereka yang di luar tidak merasakan apa pun. Bahkan, Ayu Lestari yang kini tengah sibuk melawan salinan Kamaswara ketiga dibuat heran, mengapa Ratu Laut Selatan tak kunjung keluar? Apa yang tengah dilakukan di dalam sana?

Pecahan pemusatan itu membuat dirinya lengah. Ini sudah lebih dari cukup buat Kamaswara mengirimkan satu jotosan ke dada Ayu Lestari.

Buk!

Tubuh Ayu Lestari terpental jauh. Tombak Pusaka Kerajaan berwarna perak di tangan terlepas. Ia terbanting keras berguling-guling sejauh lima tombak. Darah segar mengucur deras dari muntahan mulutnya. Ia menarik napas. Sesak! Untuk menggerakkan tubuh pun rasanya sulit.

“Ratu!”

Lima orang berkelebat. Mereka anak buahnya. Kelima gadis ini membantu ratunya berdiri yang nyaris lumpuh. Susah payah ia paksakan tubuhnya agar bisa tegak berdiri. Salah satu segera memberikan senjata pusaka kerajaan. Kala tongkat trisula itu tergenggam, hawa sejuk merangsek masuk ke dalam tubuhnya. Napas yang sebelumnya sesak perlahan-lahan mulai menghilang. Tubuh yang sebelumnya sempoyongan kini mampu berdiri tegak tanpa topangan. Tapi, untuk kembali melanjutkan pertarungan dengan salinan ketiga Raja Agung Kamaswara, ia belum mampu.

“Ratu, kau istirahatlah, pulihkan tenagamu. Biar raja keparat itu aku yang hadapi.”

Ratu Ayu Lestari menggeleng cepat. “Tidak. Menghadapinya, kalian hanya akan mengantarkan nyawa.”

“Aku siap mati demi melindungimu, Ratu.” Gadis cantik ini membungkuk. “Izinkan aku menghadapi raja itu.” Gadis ini siap bergerak, tapi langkahnya tertahan ketika larangan datang dari ratunya.

“Tetap di tempatmu, Kemani!”

"Hamba mematuhi titah Sang Ratu," gadis bernama Kemani membungkukkan badan.

"Aku sudah pulih. Terima kasih. Tenaga kalian diperlukan di tempat lain. Kembalilah ke pertempuran kalian."

Kemani dan keempat kawannya saling pandang, melirik ke tempat di mana sebelumnya ia berada. Di sana bangsa jin bertarung dengan membabi buta. Setelah kelimanya membungkuk, mereka segera melesat kembali, membantu teman-temannya yang kini tampak terdesak hebat oleh keganasan bangsa jin.

"Bisa kita lanjutkan?"

Ratu Laut Utara melihat ke arah suara. Jauh di depan sana, Kamaswara bertolak pinggang. Tawa mengejek mengiringi jerit kematian dari ribuan orang.

"Atau kau masih memerlukan waktu untuk memulihkan tenaga dalammu?"

"Keparat jahanam! Matilah dan segera pergi ke neraka!" Ratu Ayu Lestari melesat. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun itu tidak berlangsung lama. Dalam waktu singkat ia sudah terdesak hebat. Berbagai serangan yang dilancarkan Raja Agung Kamaswara nyaris mengenai tubuhnya. Saat ini ia dipaksa bertahan mati-matian agar pukulan ganas lawan tidak kembali bersarang.

Bayangkan kekuatan mahadahsyat yang mampu membalikkan laut, menciptakan gelombang tinggi menyapu daratan, atau gempa besar yang sanggup meluluhlantakkan seluruh kota, dipadatkan menjadi ruang lingkup yang sangat kecil tanpa mengurangi kekuatan. Tentunya, tidak bisa dibayangkan kehancuran seperti apa yang akan terjadi di dalamnya. Itulah yang dialami Nyi Roro Kidul. Kekuatan sebesar itu dipadatkan dalam ruang lingkup yang mengurung dirinya.

Andai saja yang di dalam sini tubuh manusia biasa, tentu tulang-belulang telah berubah menjadi remukan halus bersatu padu dengan daging pembungkusnya. Walaupun Nyi Roro Kidul tidak mengalami itu, keadaannya sekarang tidak lebih baik dari yang dialami Ayu Lestari. Kekuatan mengerikan miliknya menghantam balik. Dalam dinding kotak itu, ia seperti kerikil yang dimasukkan ke dalam kaleng rombeng lalu diguncang dengan tenaga dalam penuh. Memar biru lebam memenuhi seluruh tubuhnya. Rambut yang sebelumnya tertata rapi, dihias mahkota kebesaran dari kerang, kini awut-awutan. Mahkotanya sendiri terlepas dan hancur berkeping-keping, berserakan di tanah kurungan. Darah bekas muntahan berceceran di mana-mana.

Ratu Laut Selatan tergolek lemas di dinding ruangan. Tubuhnya seolah-olah telah berubah menjadi seonggok daging tak bertulang. Jangankan untuk bisa berdiri, menggerakkan tangan saja rasanya sakit tak tertahankan. Ia mencoba menggapai, mengambil senjata pusaka miliknya yang tergeletak di sudut ruangan. Sulit! Tangannya terasa berat! Kalau saja senjata pusaka itu mampu tergenggam, maka luka dalam dan luar yang menyiksa perlahan-lahan akan sirna. Seperti yang barusan terjadi pada Ratu Laut Utara. Sayangnya, ia tidak seberuntung ratu satu itu yang mendapat bantuan dari anak buahnya.

Dreg!

Dinding yang mengurung dirinya menyempit. Kelopak mata Nyi Roro Kidul bergerak.

"Apa yang harus aku lakukan?"

Lagi, ia mencoba menggerakkan tangannya untuk bisa menggapai tongkat pusaka. Gagal! Ia hanya mampu menggerakkan jemari saja.

Dregggg!

Dinding ini semakin menyempit. Kakinya sudah merasakan tekanan, itu artinya dinding telah menyusut tiga kali lebih kecil dari sebelumnya.

"Aku harus segera keluar dari dinding ini sebelum tubuhku tergencet gepeng!"

Dreggg!!!

Tubuh Nyi Roro Kidul tertekuk. Tiga kali lagi, dirinya benar-benar tidak akan bisa bergerak dalam keadaan berdiri. Kalau tetap terbaring seperti ini, tulang penyangga tubuhnya akan remuk lebih dulu.

Dreggg!!!

Tubuh Nyi Roro Kidul terlipat. Untuk bernapas kini ia benar-benar kesulitan. Tapi beruntungnya, tombak pusaka kerajaan tersentuh jemarinya. Sekuat tenaga ia gapai tongkat itu. Kala senjata pusaka masuk ke dalam genggaman, aliran hawa sakti merasuki tubuhnya. Sama halnya seperti yang dialami Ratu Laut Utara, rasa sakit yang menyiksa Nyi Roro Kidul berangsur-angsur sirna. Kini ia mampu berdiri. Dinding Kematian kembali menyempit. Keadaan di dalam sini hanya mampu menampung dua orang berdiri. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Nyi Roro Kidul mengalami kebingungan yang teramat besar. Apa yang harus ia lakukan kini sama sekali tidak tahu. Menghantam dinding ini dengan kekuatan sakti hanya akan membunuh dirinya. Tapi jika tidak melakukan apa-apa, dinding ini yang akan merenggut nyawanya.

Dregg!!!

Dinding telah menyusut hingga untuk bergerak saja ia tidak mampu. Sekali penyusutan lagi, maka tubuhnya akan tergencet gepeng.

"Gusti Allah, apa yang harus aku lakukan?" lirih Nyi Roro Kidul. Selintas ia teringat dengan ilmu Merogoh Sukmo. Ilmu itu mampu menembus apa pun, mungkin juga termasuk dinding ini. Dan memang apa yang dipikirkan Nyi Roro Kidul benar. Dulu, ketika mengalami nasib yang sama, Wiro Sableng juga menggunakan ilmu Merogoh Sukmo hingga akhirnya terbebas dari Dinding Kematian ciptaan Dewa Wisnu.

Karena yakin dengan kemampuan itu, akhirnya Nyi Roro Kidul memutuskan untuk mengeluarkan ilmu Merogoh Sukmo. Tapi sebelum ia keluarkan, suara teriakan menghentikan niatnya.

"Jangan keluarkan Merogoh Sukmo!"

"Wiro!"

Dinding mulai bergetar, pertanda penyusutan kembali datang. Ratu Laut Selatan mengalami dilema besar. Wiro melarang keras menggunakan ilmu itu, karena sekali sukmanya keluar, maka ilmu Penjerat Sukma milik kakek sakti Bramanta Dwipala akan menjeratnya. Tentu saja ini bahaya besar bagi barisan golongan putih.

Namun, jika ia mengikuti permintaan Wiro Sableng, kurang dari satu kali tarikan napas, tubuhnya akan berubah menjadi daging gepeng dengan suara remukan tulang yang melempar nyawanya ke alam baka.

Bab 25

Latampi alias si Penolong Budiman menyerang dengan membabi buta. Tatapannya menusuk. Pukulan-pukulan datang dari berbagai arah, mengincar titik mematikan para pengeroyoknya. Tidak seperti yang lainnya, kala musuh datang, mereka meladeni adu mulut, adu makian, sebelum baku hantam atau adu kekuatan terjadi. Bagi lelaki yang berusia lebih dari setengah abad ini, ia langsung menerjang bahkan ketika manusia-manusia bertopeng merah baru saja membuka suara. Alhasil, manusia dari Cabang Lima ini hanya bisa mengumpat karena mereka merasa direndahkan.

Seperti yang sudah diketahui, manusia dari Cabang Lima bukan lawan yang patut diremehkan. Kelompok ini telah mengobrak-abrik rombongan Anggini dan salah satu tokoh penting dalam barisan itu, yakni Panji, telah gugur dalam perjalanan. Kejadian itu cukup membuktikan betapa ganas dan mengerikannya kelompok dari Cabang Lima. Beberapa tokoh Golongan Putih harus hati-hati menghadapi salah satu dari mereka, terlebih jika keduanya maju bersama—dengan kata lain, mengeroyok secara pengecut. Seperti yang dilakukan Nenek Sakti Iblis Api dari Perut Bumi dan Jagat Satria hingga akhirnya berhasil menewaskan kekasih Anggini. Akan tetapi, di hadapan Latampi, orang-orang ini seperti kehilangan kebuasannya. Perangai yang sebelumnya garang seperti gerombolan singa lapar yang siap mencabik-cabik mangsanya, kini dipaksa berubah menjadi kumpulan kucing kampung yang telah kehilangan taring dan kuku tajamnya.

Dalam perjalanan menuju ke sini, Latampi telah menghadapi banyak tingkatan dari Perut Bumi. Terakhir kali ia menghadapi kelompok dari Cabang Dua—Aji Damantra. Walau kala itu ia kalah telak, tapi sampai saat ini ia belum mengeluarkan seluruh kemampuannya. Jika Cabang Dua mampu ia hadapi seorang diri meskipun dengan tubuh babak belur, apa sulitnya menghadapi manusia terkutuk dari Cabang Lima ini? Ditambah lagi, kebenciannya terhadap orang-orang Perut Bumi semakin menggunung, mengakar kuat, dan terlarut dalam setiap aliran darahnya. Kala kedua mata sembabnya menyaksikan kematian putri tunggalnya, beriring gemeretak geraham, bersama kepalan tangan, ia bersumpah atas nama dewa: setiap jiwa dari Perut Bumi harus mati di tangannya. Tidak peduli seberapa besar risiko yang harus ditanggung. Mengingat, pertarungan dengan pikiran kacau seperti ini terlalu berbahaya. Musuh bisa dengan mudah membaca kelemahan gerak langkah yang dimainkan. Tapi sekali lagi, Latampi tidak peduli.

Apa yang ia takutkan kini? Tembusnya pertahanan? Kekalahan? Atau bahkan kematian? Sejak putri tersayangnya meninggal di depan matanya tanpa ia mampu melakukan apa pun, kehidupannya pun seakan telah sirna. Baginya, dapat membunuh sebanyak yang bisa ia lakukan adalah tujuan satu-satunya. Perkara dirinya akan celaka, itu urusan nanti. Para bedebah jahanam ini harus mati sebelum ia kembali menemui putri tercintanya.

“Iblis bajingan ini sepertinya tidak memberikan kita napas sedikit pun!”

Baru saja salah satu manusia bertupung merah menggerutu kesal karena lawannya menyerang seperti kesetanan, tangan kirinya terbetot keras ke depan. Lebih cepat dari kedipan mata, ia merasakan tangan itu dipuntir, lalu—krak! Jeritan setinggi langit keluar dari mulutnya. Ketika melihat ke depan, tangan kirinya patah. Dagingnya terkoyak patahan tulang. Darah mengucur deras. Belum hilang gema jeritannya, sosok bayangan hitam berkelebat, lalu benda keras dan kuat terasa menggepit lehernya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, kecuali merasakan hentakan kuat pada batang leher hingga pandangannya menjadi gelap.

Keempat lainnya melompat menjauh, keluar dari kalangan perkelahian. Melihat salah satu temannya mati dengan keadaan tubuh yang sangat mengerikan—tangan patah, kepala terpuntir hampir terlepas dari tubuh—mereka saling pandang.

"Bangsat satu ini bukan orang sembarangan."

"Kita harus hati-hati. Ilmu silatnya aneh. Itu yang menyulitkan penyerangan."

Orang ini melirik ke arah lawannya. Sejauh tiga tombak, lelaki di depan sana menatap dengan sorot mata tajam.

"Bangsat terkutuk, kau telah membunuh salah satu temanku. Kau har—"

"Setan! Dia benar-benar cari mati!"

Lelaki ini hanya bisa memaki karena sebelum kalimatnya selesai diucapkan, Latampi telah kembali menerjang.

Seperti yang dikatakan salah satu manusia bertupung ini, permainan silat Latampi terasa asing bagi mereka. Karena itu, dalam waktu singkat keempat manusia ini kembali terdesak hebat. Mereka bukan hanya kesulitan membuka ruang untuk membalas serangan—jauh dari itu—dalam membentengi diri mereka pun harus mati-matian agar serangan-serangan menggila yang dilancarkan lawannya tidak mengenai tubuh masing-masing.

Buk!!!

Salah satu manusia bertupung menjerit. Tubuh terpental sejauh dua tombak. Dada bagian kiri jebol. Andai saja mukanya tidak tertutupi, tentu beliakan mata kesakitan dan semburan darah segar akan terlihat. Tubuh itu melejang-lejang beberapa saat sebelum akhirnya diam, tanda nyawanya telah melayang.

"Keparat bajingan! Kau telah membunuh dua temanku!"

Salah satu manusia bertupung teriak marah. Diikuti kedua temannya, ia lipatgandakan penyerangan. Untuk sesaat memang bisa mengimbangi keganasan ilmu silat Latampi, tapi sebentar kemudian keadaan sebelumnya kembali datang. Mereka mengalami desakan hebat. Jika terus seperti ini, cepat atau lambat, apa yang dialami kedua temannya akan terjadi kepada mereka bertiga.

"Kartaji, kita harus lakukan sesuatu. Jika terus begini, dalam lima jurus di muka kita akan mengalami nasib yang sama."

Wutt!

Hampir saja tendangan ganas Latampi mengenai selangkangannya.

"Setan alas! Kartaji! Hantam anjing gila ini dengan Asap Hitam dari Neraka!"

Ketiga manusia bertupung melompat keluar dari kalangan pertempuran. Latampi yang tidak mau memberi kesempatan sedikit pun, bahkan hanya sekadar untuk bernapas, segera kembali menerjang. Akan tetapi, di tengah jalan, laju lesatnya terhenti ketika belasan benda hitam sebesar tangan bayi melesat menghadangnya.

Dess dess dess!

Letupan-letupan terjadi di sekeliling Latampi. Asap hitam mendesis keluar dari letupan. Dalam sekejap, tempat di mana Latampi berdiri dipenuhi asap hitam pekat. Mengira mengandung racun, ia segera menutup jalan pernapasan. Segera melompat keluar dari kurungan asap hitam tebal.

Wutt!

Ia merasakan serangan datang menghantam kepalanya. Latampi berkelit, mundur. Dari belakang juga merasakan sambaran-sambaran senjata tajam.

"Hahahaha... Tidak ada yang bisa keluar dari asap hitam ini, manusia keparat! Kecuali nyawa busukmu!"

Serangan-serangan senjata tajam datang dari berbagai arah. Latampi hanya bisa bertahan. Sesekali ia membalas dengan pukulan sakti. Walaupun ia tahu pelepasan pukulan sakti dalam keadaan seperti ini hanya sia-sia saja, tetap ia lakukan demi membendung serangan lawan yang makin menggila. Jika ia hanya mengandalkan jurus-jurus silatnya saja, dalam waktu singkat tubuhnya akan terkutung-kutung.

"Kawan-kawan. Mari kita akhiri pertunjukan ini! Hahahaha..."

Suara tawa terdengar dari sisi kirinya. Latampi segera melepas Pukulan Menebar Budi Hari ke Empat. Pancaran cahaya merah menyala melesat, tapi seperti dugaannya, pukulan itu hanya mengenai tempat kosong. Ledakan terjadi di kejauhan. Dan tawa penuh dengan ejekan terdengar di sekelilingnya.

"Keluarkan seluruh ilmumu, keparat! Sampai tubuhmu kering, satu pukulan pun tidak akan mengenai kami!"

"Kartaji, lakukan tugasmu!"

Belum hilang gema suara yang terdengar di depannya, suara berdesing datang dari arah kiri. Latampi merundukkan kepala, tapi ketika lehernya kembali tegak, sebuah benda telah melingkar. Betotan ganas siap memotong kepalanya. Dengan kedua tangan, ia menahan betotan itu. Sebuah rantai bergerigi runcing berada dalam genggaman. Latampi meringis kesakitan. Cucuran darah mengalir keluar. Semakin kuat Latampi menahan, semakin terkoyak telapak tangannya. Walau begitu, ia tidak punya pilihan. Karena sekali genggaman terlepas, maka putuslah lehernya.

Wut!

Serangan kembali datang dari arah depan, mengincar perut dan kejantanannya. Lelaki ini benar-benar dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Melepas tangan guna menghalau senjata tajam yang mengincar perut dan selangkangan, ia harus merelakan kepalanya terpisah dari badan. Kematian tidak bisa dihindari. Sementara jika ia mempertahankan kepalanya, perutnya akan robek besar, usus berhamburan, dan alat kelamin hancur tak tersisa. Dan itu juga membawa kepada kematian.

Dalam bingungnya, Latampi memutuskan untuk menangkis serangan dengan salah satu kakinya. Tindakan ini bisa menyelamatkan, sayangnya hanya salah satu saja. Selain itu, ia juga harus mengorbankan kakinya. Terbabat putus. Karena tidak punya pilihan lain, ia putuskan untuk menghantam senjata tajam berdesing itu dengan kaki kirinya. Namun baru saja kakinya terangkat, jerit kesakitan terdengar dari depan. Latampi yang menyadari seseorang telah menolong dirinya, dengan sekuat tenaga ia membetot rantai. Ia mengeluh saat merasakan telapak tangannya terkoyak hancur. Di depan sana, manusia bertupung merah terbetot ke depan. Belum tahu apa yang terjadi dengan kedua temannya, selarik sinar merah menghantam tubuhnya. Manusia bertupung ini mencelat jauh dengan tubuh terbakar.

Dari balik kepulan asap hitam, Latampi melesat keluar. Tubuhnya jatuh berlutut. Air mata keperihan mengalir dari sudut matanya. Lelaki ini menggeleng tak percaya ketika menyaksikan betapa hancur telapak tangannya kini. Darah mengalir deras dari luka terkoyak. Tulang telapak dan jemari tangan terlihat mengerikan. Bahkan orang yang menolong dirinya sampai bergidik ngeri melihat apa yang dialami Latampi.

“Saudara, dengan keadaan tanganmu seperti ini, kau tidak bisa melanjutkan pertarungan.” Lelaki ini berjongkok. Latampi yang sampai saat itu masih menatap telapak tangannya mengangkat kepala. Seorang pemuda berpakaian putih menatap iba ke arahnya.

“Terima kasih atas pertolonganmu, sahabat gagah.”

Pemuda yang menolong tertawa. “Kau berlebihan, saudara. Aku tidak gagah. Tapi kalau edan, orang-orang memang suka memanggil aku seperti itu.”

“Wahai... jadi kau orangnya yang bernama Mahesa Edan?”

“Hmmm... kau tahu namaku, saudara?”

Latampi mengangguk. Ia melirik ke arah pertarungan aneh di kejauhan sana. “Dua sahabat di sana yang memberi tahu.”

Mahesa Edan tersenyum, melirik kembali ke telapak tangan Latampi. “Seperti kataku tadi, kau tidak bisa melanjutkan pertarungan dengan telapak tangan seperti ini.”

Sejujurnya Latampi sendiri membenarkan apa yang dikatakan Mahesa Edan. Jangankan untuk melanjutkan pertarungan, melepas pukulan tadi saja ia harus menggigit bibirnya agar jeritan tidak keluar dari mulut. Pukulan yang dilepas seakan membakar tubuhnya sendiri. Telapak tangan yang terkoyak membuat pelepasan tidak sempurna. Jika sekali dua kali mungkin tidak mengapa, tapi andai itu terus dilakukan, akibatnya bisa berbahaya. Telapak tangan bisa terbakar hangus, belum lagi kalau pukulan lawan mampu mengimbangi.

“Tapi kamu tenang saja,” kata Mahesa Edan seraya berdiri. “Aku akan mencari sahabat gendut. Dia pasti bisa mengobati lukamu.” Mahesa Edan memandang sekeliling. Ribuan pertarungan terjadi di mana-mana. Yang ia cari adalah sebuah tempat aman untuk Latampi menunggu sampai orang yang dicari ketemu, namun tidak ada tempat aman di sini. Hanya ada lapangan luas yang dipenuhi dengan ratusan ribu manusia. Berlari ke ujung sana di mana lempeng batu berada tentu tidak mungkin. Itu terlalu jauh. Ke atas, di mana benteng istana kerajaan juga mustahil. Sebelum sahabatnya sampai, tubuhnya sudah terkutung-kutung, mengingat betapa ganas dan mengerikannya serangan orang-orang di sana.

“Saudara, kau tetap di sini. Hindari sebisa mungkin perkelahian. Tunggu aku.” Mahesa Edan berkelebat pergi. Latampi berdiri. Seakan baru menyadari, apa yang terjadi dengan penyerang di arah depannya. Salah satu tubuh manusia bertupung itu terbelah dari selangkangan hingga ke kepala. Sementara yang satunya kepala hancur. Latampi mendekat. Meneliti tubuh mayat yang terbelah.

“Mayat ini bukan terbelah akibat sabetan pedang. Lalu senjata apa yang digunakan pemuda tadi? Aku melihat tangannya tidak memegang apa pun.”

Ia teringat dengan rantai bergerigi tajam yang mengoyak telapak tangannya. Dengan tangan kiri, ia memungut senjata dari mayat itu. Gagangnya terbuat dari baja sepanjang dua jengkal, lalu rantai yang juga dari bahan yang sama sepanjang satu setengah tombak. Di ujungnya ada sejenis pisau melengkung bermata tiga, mirip shuriken yang digunakan ninja. Bedanya, ini jauh lebih besar. Satu mata pisaunya memiliki panjang satu jengkal.

Latampi meneliti pada bagian rantai. Seperti dugaannya, rantai itu memiliki gerigi yang sangat tajam. Andai pengerahan tenaga dalamnya berada di bawah manusia bertupung itu, telapak tangannya bukan hanya terkoyak, tapi putus bersama terlepasnya kepala dari badan.

Senjata aneh dan mengerikan.” Latampi tersenyum.

“Berhenti berlari, bocah keparat!” Lelaki kurus tinggi berpakaian warna biru tua bergaris hijau membentak. Sudah berapa kali pukulan dilepas untuk menghantam si bocah dan si kakek tukang ngompol yang menjadi lawannya. Satu pukulan pun tidak mengenai sasaran karena lawan-lawannya tidak bisa diam. Berlari ke sana-kemari tiada henti.

“Ini semua gara-gara kamu, bocah geblek sialan!” maki Setan Ngompol sambil melompat ke sana kemari menghindari pukulan-pukulan mematikan. Sekali sosoknya kena hantam, bukan hanya terpental, tubuh kurus bau pesing itu pastilah akan tercabik-cabik hancur tak berbentuk.

“Enak saja kau nyalahin aku, Kakek bau pesing!”

“Berani tidak mau ngaku kamu? Kalau dekat, sudah aku potes kepalamu.”

“Bukannya aku tidak mau ngaku, Kek. Tapi aku kan hanya memberi usulan, keputusan ada di tanganmu. Kalau kamu menolak untuk tidak melawan manusia kurus kerempeng ini, ya aku juga tidak akan memaksa. Aku bisa saja mengikuti pilihanmu yang lain.”

“Ah, banyak alasan banyak mengelak. Sekali salah ya salah. Apa susahnya mengakui? Kalau sudah begini kita mau sampai kapan berlari-lari begini? Lama-lama tulang-tulangku pada berlepasan.”

“Aku juga tidak tahu, Kek. Mungkin sampai kegilaan ini berakhir. Atau kita tunggu saja sampai ada seseorang yang mau menolong kita.”

“Bocah geblek! Kamu pikir ini pertempuran antar kampung satu dengan kampung lain? Sekali gebrak bisa langsung kelar. Tujuh hari tujuh malam juga belum tentu kelar. Kamu mau mengharapkan pertolongan kawan-kawan? Bagaimana kalau mereka juga sedang mengharapkan hal yang sama? Kamu bisa berpikir sejauh itu, bocah sialan?”

“Tidak bisa, Kek. Otakku sedang berpusat pada serangan gila manusia cungkring ini. Sekali lengah, tamat riwayat kita.”

“Apes, apes...”

Saat pertama kali memulai pertempuran, Naga Kuning dan Setan Ngompol menghantam rombongan manusia-manusia bertupung hitam yang tentunya mereka dari kalangan kelas paling rendahan. Cabang Tujuh ke atas. Naga Kuning dan Setan Ngompol bisa dengan mudah meratakan mereka semua. Sambil tertawa-tawa, kedua manusia tengil ini melompat ke sana kemari mengirim pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dalam kekacauan itu mereka telah berhasil membunuh lebih dari seratus orang. Mayat manusia-manusia bertupung bergeletakan di mana-mana. Melihat itu, mereka yang masih hidup tampak ketakutan. Dari kejauhan, Naga Kuning bisa melihat kalau tubuh manusia bertupung itu gemetar. Bahkan tidak sedikit yang sampai keluar air kencingnya.

“Hahahaha... akhirnya kau banyak temannya, Kek.”

Setan Ngompol merengut. "Apa maksudmu, Naga Kuning?"

"Lihat di sebelah sana, Kek. Banyak dari mereka yang sampai terkencing di celana. Hahaha! Bukankah itu sama denganmu?"

"Setan! Berani kamu ngatain aku lagi, kujewer kupingmu!" Setan Ngompol memandang sekeliling. "Menurutmu, tinggal berapa manusia-manusia salah kaprah ini?"

"Sekitar lima puluhan."

"Kalau begitu kita habisi mereka, terus kita hajar gerombolan di depan sana."

"Aku sih nurut saja sama orang tua jelek bau pesing seperti kamu, Kek."

"Berhenti mengejek aku, bocah sialan!"

Bersama, mereka kembali melancarkan serangan-serangan ke para gerombolan manusia bertupung hitam. Kurang dari sepeminuman teh, lima puluh orang yang tersisa telah dikirim ke neraka. Tinggallah manusia bertupung dengan warna merah, berkelompok-kelompok.

"Bangsat bertupung merah, kenapa kau diam saja? Maju sini! Apa kalian nunggu kami yang ke sana?!" teriak Naga Kuning, sementara Setan Ngompol mengamati.

"Kuning, aku melihat ada keanehan dari sikap mereka," Setan Ngompol melirik si bocah. Dilihatnya si bocah berpaling ke arahnya.

"Aneh gimana, Kek?"

"Rombongan tadi jelas ketakutan setengah mati melihat kita. Tapi orang-orang ini seperti tidak merasakan apa pun. Jangan-jangan…"

"Jangan-jangan apa, Kek? Kau jangan nakutin aku."

"Jangan-jangan mereka juga sedang kencing di celana. Hahahaha…."

"Serrrhhhhh!!!"

"Kakek sialan! Kau yang kencing di celana. Kena tubuhku, aku babat putus terong busukmu!"

Setan Ngompol segera menekap terong busuk kesayangannya. "Berani kau ya…."

"Dua manusia putung neraka, apa kalian sudah siap menemui teman-temanmu di sana?"

Salah satu manusia bertupung merah membentak. Karena jarak mereka tidak terlalu jauh, bentakan yang dialiri tenaga dalam itu berhasil menggetarkan tanah di sekitar. Naga Kuning dan Setan Ngompol yang merasa getaran di kaki, juga dengungan serangan di telinga, saling pandang.

"Celaka, orang-orang ini bukan manusia sembarangan, Ning. Aku merasakan tenaga dalam yang sangat tinggi."

Naga Kuning menelan ludah. "Terus bagaimana, Kek? Tidak mungkin kita menolak pertarungan dengan mereka, apalagi memilih kabur. Mau ditaruh di mana muka jelekmu, Kek?"

"Setan alas! Dalam keadaan begini kau masih bisa bergurau." Setan Ngompol mengamati orang-orang di depan sana. Lima orang bertupung merah, empat lainnya tidak mengenakan apa pun, lalu ada beberapa kelompok yang mengenakan warna berbeda-beda. "Siapa bilang aku memilih kabur?" Setan Ngompol lanjutkan ucapannya.

"Lalu?" tanya Naga Kuning heran, membuat Setan Ngompol terkekeh.

"Kau lihat di sana, masih banyak lawan yang bisa kita pilih. Orang-orang bertupung ini jelas tenaga dalamnya tinggi, mereka sengaja menyembunyikannya di balik tupung. Tapi yang lain, banyak yang tidak memakai tupung. Kita bisa pilih mereka. Melihat dari tampangnya, aku yakin tingkat tenaga dalamnya tidak lebih tinggi dari kamu."

Sambil cengengesan Naga Kuning mengangguk senang. "Kau benar, Kek. Cerdas juga kau ya."

"Jelas lah. Siapa dulu." Setan Ngompol menepuk dada. "Tentukan pilihanmu, Naga Kuning."

"Bentar, Kek." Naga Kuning mengamati. Sorot matanya jatuh pada sosok tinggi kurus yang mengenakan baju warna biru tua bergaris hijau. Orang ini satu-satunya yang mengenakan pakaian warna itu seorang diri.

"Kau lihat manusia bertampang bloon yang mengenakan pakaian biru tua bergaris hijau itu?"

Setan Ngompol mempertajam penglihatannya. "Yang kurus jangkung itu?" tanyanya meyakinkan. Naga Kuning mengangguk.

"Benar, Kek. Aku pilih orang itu."

"Kau tidak salah pilih, kan, bocah sialan?"

"Tidak, Kek. Dari tampangnya, dia mirip orang tolol pelangapelongo tidak karuan rupa. Jelas dia orang bodoh tak punya wibawa. Aku yakin tidak ada ilmu silat yang diandalkan. Tuh, lihat Kek, dia garuk pantat… astaga, malah menciumnya pula. Cuh! Benar-benar tolol!"

"Tapi Ning, bukankah teman kita si Sableng itu juga wajahnya tolol? Tua Gila, mirip orang bodoh, apalagi kalau sudah tertawa. Dan masih banyak lagi orang-orang tolol di tanah Jawa ini tapi ilmu silatnya tidak terukur."

"Kau jangan menyamakan mereka dengan sahabat-sahabat kita, Kek. Aneh kau ini. Kalau sahabat kita melakukan itu karena memang pura-pura, tujuannya untuk menutupi ketinggian ilmunya. Kalau mereka, apa matamu buta sampai tidak bisa membedakan?"

Cukup lama Setan Ngompol mengamati sampai akhirnya kalimatnya keluar. "Kau benar, Ning. Aku melihat banyak perbedaan dari ketololan orang-orang ini. Tapi firasatku mengatakan lain. Dia cukup berbahaya."

"Begini saja, Kakek sialan," Naga Kuning yang mulai kesal mengumpat. "Kalau memang orang kerempeng itu berbahaya, apa menurutmu yang lain tidak? Aku memilih dia karena tidak ada pilihan lain. Manusia kurus mungkin benar berbahaya, tapi yang lain aku pastikan lebih bahaya, Kek."

"Kau yakin, Ning?" Setan Ngompol yang belum sepenuhnya percaya hanya bisa pasrah ketika dilihatnya si bocah menganggukkan kepala.

"Aku yakin, Kek. Wajah tolol, tubuh kurus kerempeng, sekali tempeleng dia langsung terpental, melayang-layang mirip bulu angsa."

"Jika kamu seyakin itu, baiklah." Pada manusia tinggi kurus, Setan Ngompol menunjuk. "Bangsat kurus berbaju biru bergaris hijau, majulah. Kau yang pertama akan kukirim ke neraka."

Kelima manusia bertupung dari Cabang Lima, Cabang Empat, dan Cabang Dua saling pandang. Dari raut mukanya terlihat betapa tidak percayanya mereka dengan pilihan dua manusia putung neraka itu.

Manusia kerempeng menunjuk dirinya sendiri, seolah mengatakan, Benaran kau memilih diriku?

"Iya, kamu manusia kurus kerempeng! Ah, malah pakai berlaga segala. Kedua tanganku udah tidak sabar ingin segera menjebol tubuh kurusmu itu."

Sambil tersenyum, lelaki kerempeng ini melangkah mendekat. Lima langkah di depan Naga Kuning dan Setan Ngompol, orang ini berhenti.

"Kau sudah siap, manusia kurus kerempeng?"

"Aku sudah siap,” jawabnya santai saja.

"Kurang ajar! Dia nantangin kita, Kek!" Naga Kuning memberi tanda untuk segera menyerang. Mengerti maksud teman kecilnya, Setan Ngompol menerjang. Setengah serangan, ia melompat ke arah kiri, yang diincar kepala lawan. Dalam waktu yang sama, Naga Kuning melompat setinggi dua tombak. Dari atas, ia hantamkan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi. Dalam posisi ini, kalau lawan berhasil mengelak dari serangan tipuan yang dilakukan Setan Ngompol, maka tugas dirinya untuk mengakhiri. Dari atas, ia bisa dengan mudah menghantam bagian tubuh yang paling mematikan. Beberapa tokoh golongan hitam telah merasakan serangan gabungan kedua manusia ini, dan semuanya tidak memiliki kesempatan untuk hidup.

Namun, yang mereka hadapi kini adalah salah satu manusia yang memiliki pangkat tertinggi di Kerajaan Perut Bumi. Serangan pembuka yang dilancarkan dua manusia aneh hanya cukup diberi satu gerakan tangan saja, maka dalam sekejap dua penyerangnya terbanting jauh hingga tiga tombak.

Naga Kuning muntah darah. Kedua mata anak ini membeliak lebar. Ia menatap tak percaya lawannya. Seketika bulu kuduknya berdiri. Senyuman manusia kerempeng yang disebut tolol itu seolah berubah menjadi seringaian mengerikan dari malaikat maut.

Di sisi lain, Kakek Setan Ngompol menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Seperti Naga Kuning, dirinya pun mengalami luka dalam yang cukup parah. Kakek bau pesing ini berdiri. Ditatapnya lawan yang kini bersendekap sambil tersenyum mengejek ke arahnya. Naga Kuning melompat mendatangi dirinya.

Apa yang ingin kau katakan, bocah geblek sialan? Harusnya kau mendengar peringatanku. Firasatku tidak salah, kan? Bangsat satu ini bukan orang sembarangan.”

Naga Kuning belum sempat menjawab, di depan sana lawannya sudah bicara, “Aku tahu kalian menyesal telah salah memilih lawan. Tapi sebagai ksatria, aku ingin berbaik hati menjelaskan tingkatan yang ada di Kerajaan Perut Bumi. Aku yakin kalian belum tahu, hingga pilihan membawa kalian pada kematian.”

“Apa yang hendak dikatakan kerempeng jahanam ini? Tingkatan apa maksudnya?” Naga Kuning mengumpat. Setan Ngompol tidak pedulikan, tatapannya kini tertuju pada lawannya.

“Kalian harus tahu, orang-orang yang kalian kalahkan itu hanya kecoa tidak berguna di hadapanku. Satu jentik jariku saja bisa membunuh seribu orang dari mereka. Dan soal tingkatan yang aku katakan tadi, pakaian yang kukenakan kini melambangkan tingkatan tertinggi dalam Kerajaan Perut Bumi. Kalian salah besar telah memilihku. Dalam serangan pembuka aku bisa mengirimmu ke neraka, tapi aku tidak sekejam itu. Aku tidak mau kalian mati penasaran dan tidak tenang saat menjalani siksaan di neraka sana, hahahahaha... karena itulah aku berbaik hati menjelaskan terlebih dahulu sebelum membunuh kalian berdua.”

“Tingkatan tertinggi?” Getar pada suara Naga Kuning diikuti oleh guyuran suara kencing Setan Ngompol.

“Semua salahmu, bocah geblek!” Setan Ngompol mengumpat kesal. “Coba kau mengikuti firasatku.”

Naga Kuning tidak pedulikan ucapan teman di sebelahnya. Ia justru maju satu langkah. “Orang gagah berwajah tidak tolol—“

“Setan! Apa maksudmu berwajah tidak tolol?”

Naga Kuning segera menekap mulutnya. Ia telah kelepasan bicara. “Hehe, jangan marah. Aku tidak bermaksud begitu. Wajahmu memang tidak tolol, harusnya kamu tidak marah. Benar, kan, orang gagah?”

“Bocah, sepertinya kau banyak bicara. Apa kau tahu, semakin banyak omong, semakin mempercepat kematian?”

Naga Kuning menelan ludah. “Aku setuju apa yang kau katakan, orang gagah. Tapi kalau kamu mau membunuh kami berdua, dahulukan kakek bau pesing itu. Bukankah dia yang tadi menantang kamu? Dia yang banyak omong. Sejak tadi aku diam saja.”

“Bocah geblek! Berani kau menumbalkanku!” Setan Ngompol hendak menjitak tapi Naga Kuning lebih dulu melesat.

“Lari, Kek!” teriak si bocah dari kejauhan. Karena tidak mau mati dalam satu kali gebrakan, Setan Ngompol mengikuti. Ia berlari jigjig, melompat ke sana kemari untuk menghindari pukulan-pukulan yang dilancarkan lawan.

Cukup lama mereka melakukan itu, hingga kesabaran manusia kurus kerempeng hilang seluruhnya.

“Sudah saatnya kalian mati, monyet-monyet keparat!” Lelaki ini menggerakkan tangannya memberi tanda kepada manusia Bercabang Lima, Empat yang tadi bersamanya. Mengerti maksud tuannya, orang-orang ini melesat ke berbagai arah. Naga Kuning dan Setan Ngompol yang sudah menyadari maksud dari tujuan orang-orang itu segera melompat ke sisi lain, tapi sebelum sampai lima tombak, langkahnya terhenti kala di depannya manusia-manusia bertupung telah datang menghadang. Tidak putus asa, ia lari ke sisi lain, sama, di sana juga ada banyak orang yang menghadang. Orang-orang itu melangkah hingga kurungan semakin mengecil. Di depan sana, manusia kurus kerempeng tertawa bergelak.

“Hanya ada dua cara untuk kalian bisa kabur, monyet-monyet neraka! Menggorok leher kalian sendiri atau nekat mengadu jiwa denganku!”

Naga Kuning melirik ke arah Setan Ngompol. Yang dilihat hanya diam termangu, menatap tajam ke lelaki kurus kerempeng.

“Kalian belum menentukan pilihan,” serunya lalu tatapannya beralih pada Setan Ngompol. “Orang tua tukang ngompol, apa pendapatmu?”

“Aku lebih memilih mengadu jiwa denganmu, keparat!”

“Hahahaha... bagus. Pilihan yang tepat.” Ia berpaling ke Naga Kuning. “Sekarang giliranmu, bocah nakal!”

“Kalaupun harus mati, paling tidak salah satu dari kalian harus ikut.” Naga Kuning melepas pukulan mematikan ke arah pengurungnya. Sinar panas berwarna kuning melesat, menghantam salah satu manusia bertupung merah. Karena ia tidak siap menerima serangan mendadak, tubuh lelaki ini terpental seiring ledakan hebat. Melihat sahabatnya mati, keempat lainnya siap menerjang, namun gerakan tangan dari lelaki kurus menghentikan langkah mereka semua.

“Bagus. Kau sudah membawa salah satu anak buahku menuju ke neraka. Sekarang pergilah dengan tenang monyet monyet kesasar.”

Tangan kanan mengacung tinggi. Dari kepalan terlihat dua cahaya berpendar, merah dan kuning. Dari cahayanya yang sangat angker, dua sahabat ini tahu seberapa mengerikan pukulan itu.

“Sampai bertemu di neraka, Kek,” suara Naga Kuning bergetar hebat, mengikuti gemetar pada tubuhnya. Setan Ngompol melompat lebih dekat ke si bocah.

“Kalaupun kita harus mati, aku ingin selalu dekat denganmu, Ning.”

“Meskipun nanti di neraka aku ejek kamu terus, Kek?” Naga Kuning tersenyum hambar sambil memulai pemusatan tenaga dalam pada pusarnya. Pancaran cahaya mulai keluar dari kedua tangan si bocah. Di sisi sebelah nya, kakek Setan Ngompol juga telah melakukan hal yang sama.

“Paling tidak, ketika malaikat Zabaniah mencambuk tubuhku, aku bisa membalas menjenggut kepalamu.”

“Sialan, kenapa aku?”

“Memangnya ada yang berani membalas malaikat Zabaniah, Ning?”

Wuss!

Empat pukulan bertenaga dalam tinggi telah terlepas dari dua sahabat ini, menyongsong pukulan mematikan dari lawannya. Sebelum tenaga dalam itu saling bentrok, dari dada Naga Kuning memancarkan cahaya kuning temaram. Kedua orang ini tidak tahu apa yang terjadi, karena kejapan berikutnya, ledakan dahsyat mengguncang tempat sekitar, dan tubuh dua manusia ini terpental jauh hingga sepuluh tombak. Itu juga sosoknya masih terbanting berguling-guling. Manusia kurus kerempeng terkejut ketika menyadari tubuh lawannya masih utuh. Harusnya tercerai-berai, paling tidak, terkutung-kutung menjadi beberapa bagian. Yang dilihat kedua matanya kini hanya kobaran api yang membakar tubuh keduanya.

“Tidak mungkin,” desisnya. Salah seorang berkelebat mendekat.

“Tadi aku lihat ada cahaya kuning bergambar naga yang keluar dari tubuh bocah itu. Aku yakin naga itu yang melindungi keduanya.”

“Jahanam! Jadi mereka punya ilmu andalan? Akan kita lihat sampai di mana naga sialan itu mampu melindungi mereka berdua!” Lelaki ini berkelebat ke arah Naga Kuning dan Setan Ngompol yang terkapar.

Kita kembali ke perkelahian Bujang Gila Tapak Sakti melawan Bramanta Dwipala.

Diketahui keadaan Bujang Gila Tapak Sakti sangat tidak menguntungkan. Tubuhnya yang terasa remuk membuatnya bergerak lamban, hingga beberapa kali pukulan si kakek bermata picak nyaris mengenai tubuhnya. Rasa sakit yang begitu menyiksa membuat pemuda bertubuh gemuk ini sering melenguh, rintih kesakitan selalu terdengar sepanjang perkelahian.

"Terus bertahan sampai malaikat maut bosan melihat tampangmu yang buruk rupa itu, hehehehee..." Bramanta Dwipala terkekeh. Serangan bertubi-tubi datang bagaikan amukan badai yang menerjang kapal di tengah lautan. Dalam waktu singkat, kapal kecil di luasnya samudra yang terombang-ambing pasti akan tenggelam. Itulah yang dirasakan Bujang Gila Tapak Sakti. Ia tidak punya pilihan lain, selain bertahan mati-matian sampai tubuhnya tidak bisa digerakkan lagi. Hanya menunggu waktu, hingga ajal datang menjemputnya.

"Cukup sudah main-mainnya, babi bunting! Lihat seranganku!" Bramanta Dwipala menghantamkan tangan kanan ke depan. Serangkum angin kencang menerjang sosok gemuk Bujang Gila Tapak Sakti. Andai ia tidak mengalami luka dalam yang sangat mengerikan, bisa dengan mudah ia membalas serangan itu. Alhasil, karena dirinya memilih menghindar, tubuhnya terdorong keras hingga terpelanting. Belum mampu mengimbangi diri, Bramanta Dwipala telah kembali menyusul serangan berikutnya. Inikah akhir dari hidup Bujang Gila Tapak Sakti?

Cahaya merah angker sebesar kepala kerbau menghantam dengan lesatan sangat tinggi. Pemuda gendut ini menyadari, tubuhnya akan hancur berkeping-keping jika ia menerima pukulan orang bulat-bulat tanpa membentengi diri, karenanya, walau luka dalam bisa merenggut nyawanya saat ini, ia tetap harus membalas serangan dahsyat lawannya. Tubuhnya gemetar hebat ketika dipaksa untuk mengeluarkan tenaga dalam. Rasa sakit benar-benar tak tertahankan. Jika perumpamaan seonggok daging yang digencet dengan batu sebesar gunung hingga gumpalan itu berubah menjadi gepeng menghitam, maka apa yang dirasakan Bujang Gila Tapak Sakti lebih mengerikan dari itu. Darah mengucur deras dari hidung, telinga, bahkan semburan keluar dari mulutnya bercampur menjadi satu dengan keringat. Untuk terakhir kali sebelum ajalnya datang, ia berhasil membentengi diri dari pukulan mengerikan Bramanta Dwipala.

Ledakan membuat tubuh Bujang Gila Tapak Sakti terpental jauh. Saat sosoknya terbanting dan berguling-guling ia seperti kehilangan tulang-belulangnya. Tubuhnya memang selamat dari kehancuran, tapi apakah dia bisa selamat dari kematian? Mengingat Bramanta Dwipala yang menyadari lawannya belum mati segera melesat mendatangi.

"Hebat! Aku benar-benar tidak menyangka babi gendut buruk rupa sepertimu begitu gigih dalam mempertahankan nyawa. Tapi sedikit pecutan ini, apakah nyawamu masih bisa bertahan?" Bramanta Dwipala mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Pancaran sinar hitam mulai bermunculan. Ledakan mahadahsyat terdengar mengerikan, bersama dengan itu teriakan keras yang dipenuhi tenaga dalam terdengar nyaring.

"Merunduk...!!!!"

Bramanta Dwipala yang saat itu hendak menghantam pukulan untuk mengakhiri hidup Bujang Gila Tapak Sakti tercekat. Belum hilang kejutnya, kepalanya sebatas bahu meledak, darah muncrat ke mana-mana. Bahkan tubuh dan wajah Bujang Gila Tapak Sakti yang tergolek lemas penuh dengan hancuran daging bercampur otak yang berbusaian.

Apa yang terjadi?

Bujang Gila Tapak Sakti tidak perlu memikirkan itu, tidak perlu mencari tahu penyebab kehancuran kepala dan separuh tubuh Bramanta Dwipala. Yang harus ia lakukan adalah segera memulihkan diri sebelum sosok baru Bramanta Dwipala hidup kembali.

Jauh dari tempat perkelahian Bujang Gila Tapak Sakti, Sri Dewi Maharta yang kala itu hendak melepas nyawa seorang gadis mengalami nasib yang sama. Ledakan dahsyat mengejutkan perempuan cantik bermahkota ini. Yang membedakan, kalau Bramanta Dwipala tidak sanggup menahan lesatan gelombang kejut, perempuan cantik ini memapasi muntahan kekuatan itu dengan ilmu membentengi diri. Ia memang selamat, tapi bukan berarti baik-baik saja. Tubuh gemulainya terpental jauh. Sebagian pakaian yang dikenakan terbakar hangus. Darah segar keluar dari mulutnya. Wajah yang sebelumnya cantik berseri, berkulit putih halus, kini yang terlihat adalah raut kesakitan. Debu ledakan menutupi hampir seluruh wajah dan tubuhnya.

Susah payah ia berusaha bangun. Di mana dirinya berada cukup jauh dari pusat ledakan, tapi, hantaman yang menerpa tubuhnya seolah berada sangat dekat. Ia memandang sekeliling. Beberapa orang tidak seberuntung dirinya. Mereka mengalami nasib yang sama seperti yang terjadi dengan Bramanta Dwipala.

"Inikah kekuatan dewa?" Sri Dewi Maharta terbatuk. Darah kembali menyembur dari mulutnya. "Aku luka parah. Harus segera disembuhkan." Ia duduk bersila. Ia lupa dengan gadis cantik yang hendak dihabisi. Atau kalau pun ingat, ia sudah tidak peduli. Kesembuhan jauh lebih penting dari mengincar kematian lawan.

Kalau Bujang Gila Tapak Sakti hanya terciprat darah, daging bercampur ledakan kepala hanya di bagian wajah dan tubuhnya saja, berbeda dengan Naga Kuning. Anak ini bisa dikatakan tenggelam dengan semburan darah, hancuran daging, dan ledakan kepala manusia kurus kerempeng. Kedua matanya membelalak, jeritan ketakutan bercampur tangis meluncur tak terkendali dari mulutnya. Apa yang terjadi dengannya? Setan Ngompol yang melihat itu langsung memeluk Naga Kuning, keduanya menangis sejadi-jadinya. Bukan, bukan sosok manusia kurus kerempeng itu yang mereka tangisi, juga bukan hancuran kepala manusia-manusia bertupung atau para pengurungnya, tapi sosok tubuh yang mereka kenal.

"Kek, aku tidak mau lihat, tidak mau lihat!" Anak ini menenggelamkan wajahnya ke lipatan lutut. Kakek Setan Ngompol merapatkan pelukan pada tubuh si bocah.

"Semua sudah diatur oleh Gusti Allah, Ning. Kita harus ikhlas, kita harus terima takdir dari-Nya." Setan Ngompol mencoba menenangkan kekacauan yang sedang melanda hati si bocah. Seolah dirinya kuat, padahal melihat keadaan sahabatnya kini hatinya menjerit. Jika kejadian ini sebuah takdir, sungguh kejam takdir yang ditentukan Tuhan untuk sahabat masa lalunya.

"Gusti Allah... kematian memang tidak bisa dihindarkan di tempat celaka ini, tapi kenapa sahabatku Latampi mengalami nasib semengerikan ini?" Setan Ngompol melangkah gontai ke sosok tubuh buntung. Yang tersisa dari tubuh itu dari dada ke bawah, bagian atas hilang tak tersisa. Sejata berbenntuk rantai yang tadi berhasil menolongnya dari kematian hilang entah ke mana. Setan Ngompol mengambil mayat Latampi, memeluknya erat.

"Swargaloka pantas kau dapatkan, sahabat. Pergilah dengan damai. Temui putri tunggal dan istrimu. Di kehidupan itu, aku yakin kalian bertiga hidup bahagia."

Wiro Sableng terkejut ketika sekilas ia melihat Nyi Roro Kidul terkurung hidup-hidup dalam Dinding Kematian. Ia telah merasakan keganasan dinding mengerikan itu. Di depannya, Kamaswara yang seakan tahu apa yang dipikirkan tertawa bergelak.

"Sepertinya kau mengenal ilmu yang dikeluarkan kembaranku, pemuda sableng. Dan kau tahu akibatnya, kan? Hahahaha... tidak ada satu kekuatan pun yang bisa membebaskan diri dari Dinding Kematian kecuali ilmu Merogoh Sukmo. Tapi, apakah perempuan sundal itu berani mengadu nasib dengan ilmu itu? Ah, sungguh pilihan yang sulit."

Wiro Sableng tidak menanggapi ejekan lawannya, pikirannya terpecah menjadi beberapa bagian, sebagian berpusat pada pertarungan yang mengakibatkan pergerakannya menjadi lambat, sebagian sisanya memeras otak mencari cara untuk bisa menyelamatkan Nyi Roro Kidul.

Wiro Sableng melompat keluar dari kalangan pertempuran. Melihat ke sisi kanannya, Dinding Kematian sudah mulai mengecil. Wiro memperkirakan di dalam ruangan sana hanya muat untuk tiga orang. Itu artinya, tiga penyusutan lagi Nyi Roro Kidul tidak tertolong.

"Tidak ada pilihan lain," desis murid Sinto Gendeng. Ia merentangkan kakinya, tangan kanan diangkat setengah tiang, cahaya putih kebiruan mulai terpancar dari seluruh tubuhnya. Drak! Kedua kakainya melesak sedalam betis. Semakin lama, semakin terang, hingga pancaran cahayanya menusuk mata, bahkan boleh dikatakan membutakan mata orang yang melihat. Kamaswara sendiri harus membentengi diri dengan tenaga dalam untuk melindungi kebutaan pada matanya.

“Seribu Inti Bintang.” Kamaswara mengenali pukulan yang hendak dilepaskan lawannya. "Pemuda keparat ini telah menguasai sepenuhnya kitab celaka itu!" Walaupun dirinya tidak gentar sedikit pun, ia sangat menyayangkan, mengapa umat manusia yang tergolong ke dalam makhluk rendahan mampu mewarisi kitab yang paling didambakan di kalangan para dewa.

Kamaswara menyiapkan ilmu Laskar Matahari yang cara penggunaannya mirip dengan Sepasang Pedang Dewa. Melesatkan cahaya ganas menyilang membentuk pedang. Tapi yang membedakan, kedahsyatan ilmu ini ratusan kali lebih mengerikan dari ilmu Sepasang Pedang Dewa. Ramanda pernah merasakan keganasannya. Walau telah dibantu Raja Agung, ayahnya sendiri, Dewa Ramanda tak mampu menahan kedahsyatannya. Pemuda itu langsung terkapar pingsan, dan butuh bertahun-tahun hingga mampu disadarkan dan baru pulih sempurna setelah satu windu. Bagaimana jika tidak dibantu Raja Agung? Tentu tubuh dewa itu akan hancur menjadi debu, dan keabadian musnah dari tubuhnya, mengingat tidak ada satu bagian tubuh pun yang sanggup menampung keabadian.

“Jangan keluarkan Merogoh Sukmo!” Bersama teriakannya, Pendekar 212 menghantamkan tangan kanan ke arah Kamaswara. Cahaya putih kebiruan yang sangat menyilaukan dan membutakan mata melesat, menyongsong Laskar Matahari yang telah dilepas Kamaswara. Dentuman yang sangat dahsyat terdengar mengerikan. Kerajaan Perut Bumi bergetar hebat, tanah yang dipijak bergoncang seperti dihantam gempa. Mereka yang berada dekat di lokasi ledakan langsung terbabat hancur. Gumpalan api raksasa membumbung setinggi puluhan tombak. Api besar menggila, mirip seperti jamur raksasa. Gelombang kejut dari ledakan melesat, meledakkan kepala dan separuh tubuh manusia yang terdampak.

Sinto Gendeng yang melihat keganasan itu langsung berteriak, mengingatkan,

“Merunduk...!!!”

Hempasan gelombang melesat ganas. Ratusan kepala yang terlambat meratakan diri dengan tanah meledak. Hancuran otak bercampur darah dan sebagian tubuh menjadi pemandangan yang sangat mengerikan. Tidak ada jeritan, karena sebelum mulut terbuka, nyawa mereka telah minggat ke neraka. Puluhan Lempeng Batu yang berada jauh di ujung sana berderak hancur, mengikuti runtuhnya dinding rongga bumi. Bahkan, pagar-pagar istana di atas sana ambruk, bersama runtuhnya beberapa istana kerajaan.

Apa yang terjadi dengan Wiro Sableng? Tubuh Pendekar 212 terlempar jauh, berguling-guling tanpa satu tangan pun yang berani menghentikan. Bara panas memenuhi sekujur tubuhnya. Ratu Ayu Lestari yang telah melesat paling pertama hendak menolong, mencoba menyentuh tubuh si pemuda yang secara diam-diam sangat dicintainya. Tapi sebelum jemari si gadis mengenai tubuh Wiro Sableng, teriakan Nyi Roro Kidul menghentikannya.

“Jangan sentuh!” Suara itu terdengar dari kejauhan. Namun begitu Ratu Ayu Lestari berpaling, sosok Nyi Roro Kidul telah berada di sisinya.

“Bara racun yang terkandung dari pukulan keduanya sangat berbahaya. Tanganmu akan membusuk sebelum akhirnya jantung di tubuhmu meledak.”

Ratu Ayu Lestari terjajar satu langkah ke belakang. Kalau racun seganas itu, lalu bagaimana dengan keadaan Wiro sendiri yang mengalami keracunan pada seluruh tubuhnya?

Seperti tahu apa yang dipikirkan sahabatnya, Nyi Roro Kidul hanya bisa menundukkan kepala.

“Kita tidak bisa lakukan apa pun. Kita hanya bisa berharap pertolongan dari Gusti Allah.”

Ratu Ayu Lestari mengerjapkan matanya. Butiran air mengalir. Wiro dalam keadaan sekarat dan dia tidak bisa berbuat apa pun untuk menolongnya.

“Yang harus kita lakukan adalah menjaga tubuh Wiro. Dalam keadaan seperti ini, bukan mustahil mereka mengambil kesempatan, menyerang tubuh Wiro yang sedang tidak berdaya.”

Ratu Ayu Lestari mengangguk perlahan.

Bersambung....