Hasil Negosiasi Tarif AS: Peluang Baru untuk Indonesia
Satu minggu yang lalu, pada tanggal 15 Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan tarif dari kesepakatan yang dibuat dengan pemerintah Indonesia sebesar 19%. Banyak orang mempertanyakan, apakah Indonesia meraih keuntungan atau justru menderita kerugian? Artikel ini menekankan pencapaian penting dalam diplomasi ekonomi oleh pihak Indonesia.
Karena pada bulan April lalu, Indonesia menerapkan pajak sebesar 32%, salah satu tingkatan terbesar di dunia. Berkat kemampuan presiden Prabowo, Chief Negotiator Menteri Perdagangan Airlangga Hartarto beserta seluruh tim diplomatik ekonomi negara kita saat ini menghadapi pajak sebesar 19%, yaitu tingkat terendah di kawasan ASEAN (selain Singapura). Tingkatan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan Vietnam dan Filipina (20%), Malaysia (25%), Thailand dan Kambodia (36%), maupun Lao PDR dan Myanma (40%).
Pada level internasional, pajak sebesar 19% jauh lebih kecil dibandingkan tarif yang berlaku untuk Jepang, Korea Selatan, serta Meksiko (25%), India (27%), Afrika Selatan (30%), Bangladesh (35%), dan Cina (55%). Bahkan beberapa negara mengalami kenaikan bea cukai yang lebih besar dari yang telah diumumkan pada April 2025 setelah melakukan pembicaraan.
Mengapa Pasar Konsumen Amerika Serikat Masih Berpengaruh?
Pasaran konsumen Amerika Serikat adalah pasaran terbesar serta paling berkembang di seluruh dunia. Berkat jumlah penduduk sekitar 340 juta orang dan kemampuan pembelian per kapita yang sangat besar—pendapatan nasional bruto per capita melampaui USD60.000 dalam nilai nominal—Amerika Serikat berkontribusi lebih dari 25 persen pengeluaran konsumsi global, yaitu kisaran USD18 miliar tiap tahunnya.
- Beberapa komoditas impor Amerika Serikat telah memiliki tarif sebesar 0% sebelum kesepakatan dengan Trump.
- Tarif Presiden, Potongan Harga, atau Jebakan Ketergantungan?
- Prabowo Beri Sinyal Tetap Negosiasi dengan Trump: Puas Kalau Tarifnya 0%
Bila dibandingkan dengan pasar konsumen besar lainnya, misalnya Uni Eropa, Tiongkok, serta India, Amerika Serikat mempunyai keuntungan strategis. Meski Uni Eropa adalah kawasan ekonomi yang luas dengan pengeluaran mencapai lebih dari 10 triliun dolar AS, wilayah ini terdiri atas 27 negara yang memiliki preferensi, bahasa, dan aturan yang bervariasi.
China, sebagai pasar ke dua terbesar di dunia, memberikan peluang pertumbuhan pesat dan para pengguna muda yang mahir dalam teknologi digital, tetapi menghadapi tantangan berupa perbedaan bahasa, budaya, serta perlindungan pemerintah yang ketat, ditambah persaingan yang sangat sengit dari barang-barang lokal. India, walaupun memiliki populasi sebanding dengan China, kemampuan pembelian konsumen masih cukup rendah, sedangkan sistem logistik maupun aturan daerah masih kurang stabil.
Indonesia dan AS Saling Membutuhkan
Dengan latar belakang ini, AS menonjol sebagai mitra dagang yang penting bagi Indonesia. Bukan hanya karena ukuran pasarnya yang besar dan daya belinya yang tinggi, tetapi juga karena struktur produksinya yang tidak bersaing secara langsung dengan produk Indonesia.
Konsumen AS mencari produk-produk tropis, garmen, alas kaki, furnitur, makanan olahan, dan barang-barang manufaktur ringan—segmen di mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Produk-produk ini juga padat karya; sektor garmen sendiri mempekerjakan 2,92 juta pekerja di tahun 2024, sedangkan alas kaki sekitar 800 ribu sampai satu juta pekerja.
Di sisi lain, barang-barang yang impor ke Indonesia dari Amerika Serikat seperti kacang kedelai, biji gandum, gas alam cair, pesawat udara, serta peralatan teknologi maju adalah jenis produk bernilai tambah tinggi yang belum diproduksi dalam skala besar oleh negara sendiri. Dengan kata lain, risiko langsung bagi pengusaha lokal relatif sedikit. Malahan para konsumen Tanah Air merasakan manfaat berupa kemungkinan membeli barang buatan AS tanpa dikenakan bea cukai, sehingga membuat harga barang tersebut menjadi lebih rendah.
Pernyataan Presiden Trump yang menyebutkan bahwa Indonesia seharusnya mengimpor minyak bumi, hasil pertanian, serta pesawat udara dari Amerika Serikat tidak berarti Indonesia wajib meningkatkan jumlah impornya, lantaran kita tetap memerlukan pengadaan barang-barang ini. Yang diperlukan hanyalah mengganti sumber impor dari negara-negara lain menjadi Amerika Serikat. Dengan kondisi harga sesuai pasaran, tentu saja tidak akan lebih tinggi.
Karena dua negara tersebut memiliki profil produksi yang berlainan serta saling melengkapi, perjanjian ini menghasilkan kondisi win-win Industri Indonesia berkembang, masyarakat Amerika Serikat dan Indonesia sama-sama memperoleh berbagai alternatif yang lebih luas, serta hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat semakin meningkat dalam aspek ekonomi maupun strategis.
Analisis Produk Andalan Indonesia untuk Pasar Amerika Serikat
Di tengah tarif sebesar 19% yang diberikan Amerika Serikat kepada Indonesia — angka yang lebih murah dibandingkan negara-negara pesaing kami — Indonesia mendapatkan daya saing yang kuat dalam pasar AS. Tarif yang lebih rendah ini memberi kesempatan besar untuk menambah jumlah dan nilai ekspor.
Sampai saat ini, barang-barang yang diekspor dari Indonesia ke Amerika Serikat dengan angka terbesar mencakup pakaian jadi (sekitar US$4,6 miliar pada tahun 2024), elektronik (US$4,2 miliar), sepatu (US$2,4 miliar), hasil laut seperti ikan dan udang (US$1,9 miliar), minyak tumbuhan termasuk kelapa sawit (US$1,8 miliar), produk karet (US$1,7 miliar), serta furniture kayu (US$1,4 miliar).
Berdasarkan produk unggulan Indonesia, tarif impor ke Indonesia sebesar 19% lebih murah dibandingkan tarif yang berlaku bagi negara-negara kompetitor kami. Dalam hal tekstil, Indonesia menghadapi persaingan dari Vietnam (tarif 20%), Bangladesh (35%), serta Tiongkok (55%). Sementara itu, dalam industri elektronika, pesaing utama adalah Vietnam (20%), Malaysia (25%), Meksiko (25%), dan Thailand (36%). Untuk sektor alas kaki, perbandingannya melibatkan Vietnam (20%), India (27%), Kambuja (36%), serta Tiongkok (55%).
Perbedaan harga tariff tersebut membawa keunggulan kompetitif bagi barang-barang dari Indonesia. Dengan kata lain, hal ini menjadi peluang istimewa bag kami dalam memperbesar kapasitas produksi. Daripada mengakhiri hubungan kerja, sebaliknya industri-industri tertentu memiliki kesempatan untuk menambah jumlah tenaga kerja. Pasti saja jika didukung oleh lingkungan usaha serta investasi yang kondusif.
Mengapa Pajak 19% Amerika Serikat Dianggap sebagai Kinerja Terbaik Sekarang?
Jauh sebelum masa Trump 2.0, pasar Amerika Serikat memang cukup ramah terhadap barang-barang yang diimpor, terutama produk berkualitas tinggi dengan harga kompetitif. Tarif rata-rata yang diberlakukan oleh AS terhadap berbagai negara dan jenis produk biasanya tidak melebihi 5%.
Namun masa tersebut kini telah berlalu. Dunia saat ini tengah menghadapi proses deglobalisasi. Berbagai negara sedang berupaya untuk membentuk kekuatan sendiri atau resilience -Masing-masing. Hal ini wajar, mengingat situasi geopolitik global yang masih belum stabil. Pada masa tahun 1930-an, ketika suasana dunia memanas antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, Amerika Serikat memberlakukan pajak rata-rata sekitar 60% terhadap banyak barang dari negara-negara lain.
Kita mungkin dapat mengecam situasi sekarang. Atau kita juga bisa bersikap fleksibel serta siap menyongsong sistem dunia yang baru. Dengan terus meningkatkan kemampuan industri dan kompetitifnya produk lokal. Sehingga ketika dunia kembali membuka peluang dagang dengan lebih luas, Indonesia telah siap dalam posisi yang jauh lebih tangguh.
Gabung dalam percakapan