Perang Israel-Iran Dorong Harga Minyak Naik, Ancam Stagflasi dan Kegagalan Target Ekonomi RI

KMI NEWS, JAKARTA - Konflik antara Israel dan Iran mempengaruhi ekonomi dunia secara keseluruhan, termasuk dampaknya terhadap Indonesia.

Ekonom dan Ahli Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyampaikan bahwa permasalahan tidak terbatas pada konflik lokal saja, tetapi juga ancaman krisis ekonomi global yang signifikan.

"Kita tahu bahwa gejolak di satu titik dunia, apalagi di wilayah sentral seperti Timur Tengah, akan memicu efek domino yang merambat ke seluruh penjuru," ujar Achmad dikutip Rabu (18/6/2025).

Menurut dia, tak lama usai intensifikasi konfrontasi antara Israel dan Iran, nilai minyak mentah tipe Brent langsung meningkat sebesar 5%, sementara itu angka kenaikan pada kontrak berjangka minyak mencapai lebih dari 13%.

Pada saat yang sama, harga minyak mentah WTI melonjak di atas level US$ 73 per barel, meningkat lebih dari 6%.

Kenaikan tersebut merupakan hasil langsung dari ketakutan tentang kemungkinan gangguan suplai di wilayah Timur Tengah.

Dia menekankan bahwa peningkatan harga minyak kali ini tidak hanya sebatas angka di papan bursa saham. Hal itu berarti tambahan beban biaya produksi untuk nyaris seluruh sektor industri, meningkatnya tarif pengangkutan, serta pada gilirannya, kenaikan harga produk dan layanan yang bakal menghantam kemampuan konsumen dalam pembelian.

"Inflasi yang telah menjadi masalah dunia ini bakal memburuk, sementara skenario stagflasi—di mana terjadi inflasi tinggi sekaligus perlambatan pertumbuhan ekonomi—akan menjelma sebagai realitas mengerikan. Apalagi jika harga minyak berpotensi mencapai lebih dari $100 per barel, maka gangguan stagflasi bisa jadi ancaman serius," ungkap Achmad.

Dampak Khusus Bagi Indonesia

Achmad menyampaikan, Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari perekonomian global, badai ini datang pada saat yang tidak tepat, sebab sedang berjuang mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang menantang.

"Proyeksi perekonomian Indonesia pada tahun 2025 telah diperkirakan sebesar 4,7% dan diyakini akan turun menjadi 4,5%. Kemungkinan besar tidak bisa melewati angka tersebut dan justru kemungkinannya merosot hingga ke kisaran 4,0 persen," terangnya.

Menurut dia, jumlah tersebut sebenarnya telah menjadi suatu tantangan dalam menghadapi proses pascapandemi serta tekanan inflasi global. Kondisi itu kini tambah diperparah oleh goncangan luar negeri akibat konflik di wilayah Timur Tengah.

Achmad berpendapat, bayangkan perekonomian Indonesia seperti sebuah rumah tangga. Penghasilan keluarga sangat tergantung pada kestabilan pekerjaan serta harga barang dan jasa yang masuk akal di pasaran.

Apabila biaya-biaya dasar naik pesat disebabkan oleh peningkatan harga bahan bakar, kemampuan membeli rumah tangga akan berkurang drastis, tingkat inflasi dalam negeri pun akan meroket, serta tekanan kehidupan warganya juga bertambah cukup banyak.

Saat aliran modal asing langsung (FDI), yang sebelumnya mendorong perkembangan ekonomi, tertahan akibat ketidakstabilan dunia yang semakin bertambah dan para investor lebih memilih untuk menghentikan proyek perluasan usaha mereka, hal ini dapat menyebabkan jumlah pekerjaan baru yang diciptakan menjadi berkurang.

Pemasukan negeri dari penjualan barang-barang, yang pernah menyelamatkan situasi pada masa krisis sebelumnya, bisa ikut berkurang apabila kebutuhan dunia merosot atau rangkaian pasokan terhambat karena tarif transportasi naik drastis serta gangguan dalam pengiriman produk.

"Kantor pemerintah perlu mempersiapkan serangkaian langkah antisipatif menyeluruh guna merespons kenaikan harga bahan bakar serta barang-barang lainnya, bisa jadi melalui subsidi yang tepat sasaran atau kebijakan pajak yang dapat menyesuaikan dengan fluktuasi situasi di pasaran. Selanjutnya adalah melakukan keragaman portofolio dan penyesuaian strategi," ungkapnya.

"Kami harus tetap berupaya menemukan sumber daya energi yang dapat diperbaharui, meningkatkan jaringan suplai dalam negeri guna mengurangi ketergantungan pada barang impor, serta mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang lebih tahan terhadap goncangan luar biasa, seperti ekonomi digital atau industri manufaktur bernilai tinggi," ungkap Achamad.