Arkeolog Tangkap Makna Nyata di Stairlift Borobudur: Di Balik Jargon Pembangunan Berkelanjutan

KMI News , Jakarta - Pemasangan stairlift atau alat untuk memudahkan naik-turun tangga di Candi Borobudur Beberapa waktu yang lalu, tindakan tersebut dilaksanakan tanpa adanya analisis dampak atau jelasnya prosedur. Seharusnya, Candi Borobudur sebagai situs warisan dunia dikendalikan dengan ketat oleh UNESCO.

Seperti diketahui, stairlift Tempat ditempatkan guna menyambut kedatangan Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron beberapa waktu yang lalu tanggal 29 Mei 2025. Topik tersebut menjadi fokus lagi dalam seminar online bertajuk 'Analisis Dampak Warisan Budaya (HIA) dalam Penggunaan Situs Warisan Dunia', diadakan oleh Perhimpunan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) pada hari Selasa, 17 Juni 2025.

"Kendala utama yang kami hadapi sebagai pemelihara adalah terkadang potensial pengguna dalam menggunakan Candi Borobudur begitu cepat, sedangkan tim pemelihara maju perlahan dan hati-hati," ungkap arkeolog sekaligus Ketua Umum IAAI Marsis Sutopo pada acara tersebut.

Marsis menjelaskan, pada dasarnya, tentang pemasangan fasilitas semacam itu sebagai berikut: stairlift Harus melewati tinjauan yang mendalam seperti studi pengaruhnya pada warisan budaya tersebut. Penelitian ini termasuk mempertimbangkan potensi efek serta tindakan pencegahan sebelum proyek dimulai.

Perspektif yang sama juga diungkapkan oleh ahli arkeologi dan aktivis kebudayaan Daud Aris Tanudirjo. Ia mengkritisi absennya Analisis Mengenai Dampak pada Cagar Budaya (AMCD) atau istilah setara lainnya seperti Himpunan Implikasi Arkeologis (HIA), yaitu instrumen semacam AMDAL namun dirancang spesifik untuk proyek-proyek konstruksi yang berpotensi bertabrakan dengan situs-situs warisan budaya—hal ini dalam konteks pemasangan tersebut. stairlift "Maka aturan-aturan tersebut sebenarnya tidak terlalu dipertimbangkan, namun lebih condong ke arah keinginan," jelasnya.

Daud mengamati bahwa keinginan itu belum didahului oleh analisis mendalam tentang realisasinya. Dia percaya hal ini menjadi alasan utama kenapa upaya pembangunan berkelanjutan hingga saat ini masih terkesan seperti slogan belaka. "Banyak sekali peraturan yang ada cuma dalam bentuk dokumen saja, misalnya rencana tata ruang dan lain-lain, tetapi pelaksanaannya kurang serius."

Ditegaskan oleh arkheolog sebelumnya adalah dosen dari UGM dan saat ini menjadi ketua Dewan Penasehat Pelestarian Warisan Budaya DI Yogyakarta, yaitu bahwa Inventarisasi Dampak Arsitektur (HIA) tidak diciptakan guna mencegah proyek-proyek konstruksi, tetapi lebih kepada sebagai alat perancangan yang memperhitungkan aspek-aspek pembangunan jangka panjang. "Usaha untuk mengidentifikasi serta menilai efek-efek potensial yang bisa timbul karena aktivitas konstruksi atau perkembangan, juga mencakup bagaimana pemanfaatan mereka," ungkapnya.

Hasil akhir dari proses ini adalah menyusun tindakan pengurangan risiko supaya efek negatif dapat diminimalkan atau ditiadakan, dengan demikian pembangunan masih bisa terus dilanjutkan.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa indikator keberhasilan pelestarian warisan budaya ditentukan oleh beberapa faktor utama. Empat penyebab yang paling dominan ialah bencana alam, proses alami, kebijakan pelestarian yang kurang tepat atau manajemen yang buruk, serta aktivitas pembangunan yang tidak terkendali.