Prospek Kinerja Emiten Nikel Pasca Wacana Larangan Ekspor Filipina

RB NEWS.CO.ID - JAKARTA. Perusahaan-perusahaan yang beroperasi dalam bidang industri nikel terus mengalami kesulitan akibat pergerakan harga nikel dan adanya wacana pelarangan ekspor barang ini oleh negara Filipina.

Berdasarkan data dari situs Trading Economics, harga nikel di pangsa pasaran dunia berada pada posisi US$ 15.622 per ton pada hari Selasa (13/5) jam 18:10 Waktu Indonesia Bagian Barat, yang mana ini menunjukkan kenaikan sebesar 0,46% jika dibandingkan dengan nilai sehari sebelumnya. Meskipun demikian, bila kita bandingkan dengan periode setahun ke belakang, harga nikel justru telah turun sebanyak 18,02%. year on year (yoy).

Di awal bulan April yang lalu, nilai dari bahan mentah tersebut turun hingga mencapai sekitar US$ 14.000 per ton saat Amerika Serikat (AS) menyatakan akan menerapkan bea masuk terhadap negara-negara partner perdagangan mereka.

Di tengah risiko koreksi harga nikel, sejumlah pelaku industri dan pengamat mendesak pemerintah untuk mengendalikan produksi nikel di dalam negeri. Sebab, produksi nikel yang berlebih di tengah permintaan yang lemah, terutama dari China sebagai pangsa pasar ekspor terbesar Indonesia, hanya akan memperparah tekanan harga dan merugikan produsen di sektor hulu.

Tantangan kembali muncul dari kebijakan terbaru Pemerintah Filipina yang akan melarang ekspor mineral mentah seperti nikel mulai Juni 2025. Di atas kertas, larangan ekspor ini akan berpengaruh pada ketersediaan nikel di pasar global yang nantinya berimplikasi pada harga komoditas di kemudian hari, sehingga perlu diantisipasi oleh setiap produsen.

Investment Analyst Edvisor Provina Visindo Indy Naila menilai, emiten-emiten nikel memang harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan kinerjanya di tengah ketidakpastian pasar. Dia menyebut, jika pemerintah benar-benar menjalankan kebijakan pengendalian produksi nikel, maka isu kelebihan pasokan nikel di pasar dapat mereda.

Hal ini diharapkan dapat mendukung perbaikan harga nikel di pasar global yang pada akhirnya dapat menguntungkan bagi emiten produsen nikel, mengingat margin mereka berpotensi tumbuh.

Emiten nikel juga berpotensi merasakan dampak jangka pendek jika harga nikel bergerak naik ketika larangan ekspor oleh Filipina diberlakukan. Namun, bagi emiten nikel yang turut mengoperasikan smelter, kebijakan ini bisa jadi alarm tanda bahaya. Sebab, Indonesia cukup aktif mengimpor nikel dari Filipina sebagai bahan baku smelter. Apalagi, Filipina mampu menghasilkan nikel berkadar tinggi yang mulai langka di dalam negeri.

“Beberapa emiten yang mengimpor bijih nikel dari Filipina memiliki risiko kenaikan biaya produksi dan dapat menekan margin,” tutur dia, Selasa (13/5).

Dalam berita sebelumnya, Indonesia mengimpor 10,29 miliar kilogram nikel atau setara 10,26 juta ton nikel ore dan konsentrat pada Januari—November 2024. Volume terbesar berasal dari Filipina yakni 10 miliar kg atau setara 10 juta ton nikel ore dan konsentrat.

Senior Market Analyst dari Mirae Asset Sekuritas, Nafan Aji Gusta menyebutkan bahwa hingga saat ini, harga nikel masih berada di bawah nilai rata-ratanya dan semakin dekat dengan batas bawah. Fenomena tersebut sebagian besar disebabkan oleh kurangnya permintaan nikel dari China, negara yang perekonomiannya sedang melambat. Lebih lanjut, industri mobil listrik di negeri itu pun telah mulai mencari sumber material baterai lain selain nikel, sehingga kebutuhannya akan barang ini menjadi lebih rendah.

Nafan beranggapan, wacana intervensi produksi nikel dalam negeri dan larangan ekspor nikel oleh Filipina sebenarnya bisa menjadi angin segar bagi emiten produsen nikel, sekalipun risiko di balik kebijakan tersebut tetap patut diwaspadai.

“Setidaknya itu bisa memperbaiki average selling price (ASP) serta Pendapatan Emiten Nikel," katanya, Selasa (13/5).

Nafan tidak memberi rekomendasi saham untuk emiten-emiten nikel. Sementara Indy merekomendasikan beli saham PT Aneka Tambang Tbk ( ANTM dengan sasaran harga Rp 2.800 untuk setiap saham.

Dalam riset tertanggal 11 Maret 2025 lalu, Analis BRI Danareksa Sekuritas Timothy Wijaya dan Naura Reyhan Muchlis menyematkan rating netral untuk sektor industri logam dasar, termasuk nikel. Selain volatilitas harga, emiten di sektor ini juga terpapar efek kebijakan penyesuaian tarif royalti minerba yang diberlakukan pemerintah.