Premanisme Menyentrik: Dampak Nyata bagi Dunia Usaha, Kata Apindo
Jakarta, IDN Times Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani mengungkapkan bahwa keselamatan dalam menjalankan bisnis tetap menjadi hambatan besar yang dialami oleh para pebisnis.
Dia menyatakan bahwa gangguan yang berasal dari pihak-pihak di luar sistem peradilan sering kali mempersulit proses pembuatan produk dan pengiriman barang, sehingga menimbulkan ketidakstabilan pada kegiatan usaha.
"Kemananan proyek ini sungguh krusial, apalagi bagi para investor serta proses produksi dan distribusinya sering kali terhalang oleh sebagian pihak tidak bertanggung jawab," ujar Shinta saat memberikan paparan pers di Jakarta, Rabu (13/5/2025).
1. Gangguan masih terjadi di area lapangan

Shinta menjelaskan bahwa kasus perampokkan sudah dilaporkan ke pihak berwenang. Ia pun memuji tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mendirikan Satuan Tugas Perampokkan, termasuk upaya pengendalian pada level pemda.
Meski begitu, dia mengatakan bahwa situasi di lapangan masih memerlukan pengawasan ketat. Apindo tetap mendapatkanlaporan tentang hambatan yang dihadapi oleh para pebisnis, walaupun tindakan penyelesaian telah dimulai.
"Sekarang pun kita masih mendapatkan berbagai laporan. Meskipun hal tersebut telah terjadi, tetap harus dimonitor dengan baik karena sebenarnya masih banyak insiden yang terjadi di tempat nyata," katanya.
2. Beberapa permasalahan struktural di luar keamanan juga menjadi fokus

Selain keamanan berusaha, Apindo juga menyoroti tantangan struktural yang dinilai menghambat daya saing industri nasional. Pertama, hambatan regulasi masih menjadi perhatian utama pelaku usaha.
"Kita juga ini dasarnya kita ada roadmap perekonomian Apindo yang mengadakan survey lebih dari 2 ribu perusahaan Apindo. Di situ kita lihat 43 persen dunia usaha masih menilai regulasi yang ada belum mendukung tenaga produksi atau penjualan," ujarnya.
Kedua, mahalnya biaya usaha menjadi hambatan besar. Biaya logistik di Indonesia menyentuh angka 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), yang lebih tinggi daripada Malaysia, Tionghoa, dan Singapura.
Tarif suku bunga yang berkisar antara 8-14% ditambah peningkatan gaji minimal rata-rata 8% setiap tahun dianggap tak sesuai dengan ketahanan industri berbasis tenaga kerja. Bobot operasional pun menjadi lebih memberatkan karena adanya birokrasi yang kurang efektif dan perlindungan hukum yang lemah.
Selanjutnya, mutu sumber daya manusia dirasakan belum mencukupi. Produktivitas pekerja di Indonesia ditunjukkan sekitar 23,87 dolar AS ribu, tetap dibawah purata wilayah ASEAN. Terdapat pula 36,54% dari jumlah pekerja memiliki pendidikan sekolah dasar atau kurang, sedangkan hanya 12,66% saja yang telah menyelesaikan studi di institusi perkuliahan.
3. Penurunan sektor manufaktur menjadi pertanda waspada

Apindo menggarisbawahi penurunan tajam dalam sektor industri manufaktur Indonesia sesuai dengan data Indeks Manajer Pembelian (PMI) untuk bulan April tahun 2025, yang jatuh hingga mencapai angka 46,7. Ini adalah penurunan cukup besar dibandingkan nilai 52,4 di bulan Maret 2025 dan merupakan tingkat kontrak paling parah sejak Agustus 2021.
Keadaan itu mengindikasikan penurunan permintaan konsumen dan beban tambahan pada harga produksi akibat ketidaktentuan dalam pasar internasional.
Penurunan yang mirip pun tampak dalam Indeks Keyakinan Sektor Manufaktur (IKSM) milik Kementerian Perindustrian. Data menunjukkan bahwa IKSM di bulan April 2025 adalah 51,90, mengalami penurunan dibandingkan dengan angka sebelumnya yaitu 52,98 pada Maret 2025 serta lebih rendah daripada nilai tahun lalu yakni 52,30 pada April 2024.
Mengingat bahwa struktur ekonomi negara ini tetap dipimpin oleh sektor berbasis tenaga kerja, Apindo menyarankan kepada pemerintah agar mengutamakan kebijakan yang dapat meningkatkan pembuatan lapangan pekerjaan.
Gabung dalam percakapan