OPINI: AI vs Manusia - Bisakah Teknologi Merampas Pekerjaan Kita di Indonesia?

AI vs Manusia - Bisakah Teknologi Merampas Pekerjaan Kita diIndonesia

RB NEWS
Dalam zaman digital sekarang, artificial intelligence (AI), atau kecerdasan buatan, kerap dianggap sebagai "mesin pintar" karena mampunya menyelesaikan berbagai tugas, bahkan melebihi kemampuan manusia.

Sebagai contoh mendiagnosis penyakit, mengemudi mobil tanpa sopir, dan masih banyak lagi. Sehingga muncul kekhawatiran: apakah pekerjaan manusia akan digantikan oleh teknologi?

Akan tetapi, sebelumnya marilah kita teliti dengan cermat, adakah kebenaran dalam klaim bahwa AI akan merebut seluruh pekerjaan manusia?

Saat ini teknologi Artificial Intelligence telah diterapkan secara luas di beragam bidang. Di industri perbankan dan finansial, algoritme digunakan untuk mengidentifikasi transaksi yang meragukan hanya dalam hitungan detik.

Pada bidang kesehatan, AI digunakan untuk membaca sebuah hasil rontgen lebih cepat. Dan bahkan, terdapat beberapa portal berita yang menggunakan AI sebagai penulis laporan keuangan.

Tetapi, pada laporan dari McKinsey Global Institute (2017), mengatakan bahwa hanya sekitar 5 persen pekerjaan yang bisa diotomatisasi sepenuhnya.

Kemudian sisanya? Masih membutuhkan bantuan dari manusia. AI sangat bagus digunakan pada pekerjaan yang berbasis data, namun ia tidak memahami konteks social, berempati atau berinovasi seperti manusia.

Terdapat banyak ketakutan akan kehilangan pekerjaan karena robot. Namun pada kenyataannya, AI itu lebih banyak mengubah cara kerja, bukan menghapusnya.

Misalnya saja, layanan pelanggan sekarang didukung oleh asisten virtual; namun bila masalah yang dihadapi lebih kompleks, para pengguna masih mengharapkan untuk berbicara langsung dengan orang sungguhan.

Dalam laporannya pada tahun 2020, World Economic Forum mengindikasikan bahwa walaupun sebanyak 85 juta pekerjaan dapat dipengaruhi oleh otomatisasi, tetapi secara bersamaan hingga 97 juta lapangan kerja lainnya bakal bermunculan, seperti contohnya ahli kecerdasan buatan, pakar data, dan perantara digital. Oleh karena itu, fokus utamanya tidaklah soal hilangnya profesi tertentu, melainkan lebih kepada transformasi jenis-jenis pekerjaan tersebut.

Bayangkan jika seorang guru menggunakannya AI untuk memodifikasi bahan pembelajaran, namun semangat dan kepedulian masih berasal dari sang guru sendiri.

Di sektor kreatif juga, AI bisa mendukung dalam pembuatan gambar atau musik, tetapi bukan menghasilkan inspirasi asli yang berasal dari pengalaman manusia.

Akibatnya, demikianlah fungsi kecerdasan buatan sebagai pendukung, dan bukannya penerus penggantinya. Kehadiran manusia masih sangat diperlukan, khususnya untuk aspek-aspek yang tak bisa direncanakan seperti nilai-nilai moral, insting, serta belas kasihan.

Selanjutnya, apa langkah yang perlu kita ambil? Inti dari hal tersebut adalah memperbaiki kemampuan untuk terus up-to-date dengan perkembangan teknologi pada zaman digital sekarang.

Lembaga pendidikan serta pemerintah perlu menjamin bahwa setiap individu memiliki peluang untuk mengikuti pembelajaran kembali, terlebih lagi bagi kelompok yang lebih mungkin terpengaruh oleh otomatisasi.

Dan kita pun harus mengerti tentang etika saat menggunakan teknologi dan sekaligus meningkatkan peranan manusia pada proses pengambilan keputusan.

Sebab, meskipun teknologi sangat canggih, ia tetaplah netral, dan apa yang menetapkan pengaruhnya adalah cara manusia memanfaatkannya.

Pengembangan teknologi seperti kecerdasan buatan, takkan mampu meniadakan sepenuhnya fungsi dan peranan manusia.

Justru di tengah perkembangan teknologi, kualitas unik milik manusia seperti kreativitas, empati, dan nilai-nilai etis menjadi semakin berharga.

Oleh karena itu, tugas kita sebagai manusia bukanlah untuk bertarung dengan mesin, tetapi justru mengadopsi dan bekerjasama dengannya.

Oleh karena itu, jangan sekali-kali khawatir terhadap AI, tetapi pelajarilah bagaimana berkolaborasi dengan teknologi ini.

Karena, di masa depan, yang diperlukan bukan hanya orang yang mengerti tentang teknologi, melainkan mereka yang memahami cara untuk tetap menjadi diri sendiri dalam zaman serba otomasi.

Penulis opini merupakan seorang mahasiswi atau mahasiswa jurusan Jurnalisme tahun 2022 di Universitas Bengkulu.