Menyimak Arah Pasar Saham Positif Pasca Reda Perang Dagang AS-China

RB NEWS.CO.ID - JAKARTA. Konflik perdagangan diantara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok nampak mulai meredam usai keduanya menyepakati pengurangan bea masuk.
Perjanjian ini dicapai lewat pembicaraan panjang yang berlangsung selama dua hari di Jenewa, Swiss, mulai Sabtu (10/5) sampai Minggu (11/5).
Dalam kesepakatan tersebut, AS menyetujui penurunan tarif produk impor dari China dari 145% menjadi 30%. Sebagai respons, China juga menurunkan tarif untuk berbagai produk asal AS menjadi 10% dari sebelumnya 125%.
Kedua negara juga sepakat memberlakukan tarif impor sebesar 10% selama 90 hari ke depan.
Menanggapi situasi tersebut, sebagian besar pasar saham di Asia mengalami kenaikan dan berada dalam posisi hijau saat tutup trading pada hari Selasa (13/5).
Sebagai contoh, Indeks Nikkei di Tokyo naik sebesar 1,43% hingga mencapai angka 38.183,30, sedangkan Indeks Shanghai Composite di Shanghai bertambah 0,17% menjadi berada pada posisi 3.374,87. Di samping itu, Indeks Kospi yang ada di Seoul menguat tipis sebanyak 0,04%, yaitu sampai dengan tingkat 2.608,42 dan Indeks Straits Times dari Singapura juga menanjak sekitar 0,13% sehingga meraih titik 3.881,05. Akan tetapi, Indeks Hang Seng yang berasal dari Hong Kong justru turun sebesar 1,87% menuju ketinggian 23.108,26.
Sementara itu, untuk Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG Masih dalam masa istirahat untuk perayaan Hari Raya Waisak. Di akhir sesi trading pada hari Jumat (9/5), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyelesaikan perdagangannya dengan kenaikan halus sebesar 0,07%, yaitu di posisi 6.832,80. Selama minggu bertransaksi ini, investor asing telah menjual bersih senilai Rp 2,57 triliun.
Menurut Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, penurunan ketegangan dalam perdagangan antar kedua negara itu dapat memberikan efek menguntungkan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dia memperkirakan bahwa IHSG mungkin akan berusaha menyentuh tingkatan 7.000 karena didorong oleh atmosfer optimis yang berasal dari kestabilan perdagangan dunia.
"Pasar saham di AS diproyeksikan memiliki dampak yang jauh lebih positif daripada pasar saham di Indonesia. Oleh karena itu, agar tetap menjaga momentum positif ini perlu adanya pelaksanaan APBN serta efektivitas dari berbagai kebijakan pemerintah," ujar Fakhrul saat ditemui oleh RB NEWS pada hari Selasa, 13 Mei.
Fakhrul juga menjelaskan bahwa berkat adanya perjanjian itu, nantinya akan terjadi pergantian besar dalam transaksi pembelian mata uang asing. emerging market dan perak ke pasaran Saham AS.
Sebaliknya, di tingkat global, Fakhrul menggarisbawahi penguatan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang mungkin terjadi. Ini ditunjukkan oleh peningkatan harga minyak, yang merupakan salah satu tanda pulihnya permintaan internasional.
Akan tetapi, situasi tersebut dapat memberi tantangan tersendiri untuk Indonesia. Ketika harga bahan bakar naik, hal itu mungkin membesarkan kekurangan dalam neraca transaksi berjalan.
Jika kondisi resesi dunia tak terwujud, kemungkinan The Fed meredaikan tingkat suku bunganya akan berkurang. Ini bisa membatasi aliran dana asing ke dalam pasar modal di Indonesia.
Di samping itu, peningkatan indeks dolar serta yield obligasi AS juga mempengaruhi. treasury bills cenderung akan menekan nilai tukar rupiah secara singkat, menyusul peningkatan kuatnya selama dua minggu terakhir.
"Penguatan hingga ke tingkat Rp 16.600 merupakan sesuatu yang biasa, namun belum saatnya membeli dolar, sebab dari segi Fundamental, rupiah memiliki potensi untuk semakin kuat mendekati akhir tahun," terang Fakhrul.
Dia menggarisbawahi, salah satu faktor pendukung terkuat untuk rupiah tahun ini adalah penerbitan global. bond Pemerintah Indonesia. Apabila pemerintah menaikkan penawaran di pasar global, bond Baik itu dalam dolar AS atau pun mata uang asing lainnya, ini bisa memperkokoh cadangan devisa.
Sementara itu, Kepala Riset & Ekonom Utama Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, mengatakan bahwa kesepakatan perdagangan atau dengan kata lain de-escalasi sementara antara Amerika Serikat dan Tiongkok bisa berdampak positif terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pasca liburan yang cukup lama.
"IHSG kemungkinan akan berfluktuasi di antara level 6.800 hingga 7.100," ungkap Rully kepada RB NEWS, pada hari Selasa (13/5).
Rully pun menyebut bahwa keadaan tersebut dapat memacu para investor agar lebih berani dalam menghadapi tantangan, misalnya dengan berinvestasi di pasar negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia.
Akan tetapi, Rully menegaskan bahwa dari segi dasar Bursa domestik, khususnya menghadapi kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang melambat di masa mendatang, risiko belum berkurang.
Analis pasar modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, mengungkapkan bahwa adanya persetujuan untuk menurunkan tariff antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dijamin bakal berdampak baik terhadap bursa efek Indonesia.
Walau ada potensi untuk terjadinya demonstrasi net sell dari investor asing yang mengalihkan dana ke pasar saham AS, Budi meyakini aksi beli dari investor domestik akan meningkat seiring dengan tercapainya kesepakatan tersebut.
"Efek net sell asing untuk dialihkan ke pasar AS juga mungkin ada, tetapi aksi beli domestik akan meningkat dengan adanya kesepakatan ini," terang Budi kepada RB NEWS, Selasa (13/5).
Gabung dalam percakapan