Kesadaran akan Kesehatan Mental: Mengapa Pendidikan di Sekolah Sangat Dibutuhkan

Oleh: Arief Azizy - Meningkatkan Pemahaman Buku dalam Jaringan GusDURian Kediri

SEKOLAH Seharusnya menjadi area pengembangan, bukannya cuma tempat mempelajari aspek intelektual saja. Di era yang semakin terkoneksi melalui jalur digital tapi merasa jauh dalam hal perasaan, masalah kesejahteraan mental pada mahasiswa semakin menuntut untuk didiskusikan dengan serius. Kesehatan mental tak hanya tanggung jawab para ahli psikologi atau fasilitas rawat inap jiwa. Ini merupakan elemen esensial dari proses pembelajaran yang harus diberi prioritas setara seperti matematika dan bahasa.

Zaman digital sudah merombak bagaimana anak-anak dan pemuda bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Sebuah sisi, perkembangan ini membawa manfaat seperti mudahnya mendapatkan data serta membangun jaringan pertemanan secara online. Sementara itu, hal tersebut juga menciptakan tantangan baru yaitu persaingan sosial, ketagihan akan penghargaan virtual, penindasan daring, dan rasa kesepian yang tak kelihatan dari luarnya. Berbagai siswa nampak tampil prima saat berada di sekolah, namun dibalik skrin telepon genggam mereka tersimpan trauma emosi yang serius.

Dalam bukunya Digital Minimalism , Cal Newport menjelaskan betapa merusaknya dampak paparan berlebihan terhadap media sosial pada kesejahteraan mental individu, terutama bagi kalangan remaja. Menurut tulisannya, generasi yang berkembang bersama media sosial mengalami lonjakan masalah kecemasan serta depresi yang cukup besar dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Dia menyatakan pentingnya membangun batasan aman antara kita dan gadget untuk membantu orang kembali fokus pada pengenalan diri mereka sendiri tanpa adanya gangguan kontinu dari internet.

Fenomena tersebut juga tampak dari statistik serta pengamatan sehari-hari para guru. Banyak di antara mereka melaporkan peningkatan jumlah pelajar yang mengalami stres, cemas secara sosial, hingga ada yang bercita-cita merugikan diri sendiri. Akan tetapi, ironisnya, tak seluruh institusi mempunyai tenaga profesional BK dengan kompetensi atau pun metode pembelajaran tentang kesejahteraan psikologis murid-murid. Sebenarnya, kurang siapnya aspek emosional anak-anak dalam menavigasi beban kehidupan bisa memberi dampak jauh lebih parah daripada hanya skor belajarmu saja yang rendah.

Dalam buku The Whole-Brain Child karya Daniel J. Siegel dan Tina Payne Bryson, disebutkan bahwa perkembangan otak anak sangat dipengaruhi oleh interaksi emosional dan dukungan psikologis di lingkungan belajar. Ketika sekolah mampu menjadi ruang yang aman secara emosional, anak akan lebih mudah mengembangkan kapasitas kognitifnya. Artinya, pendidikan kesehatan mental bukan hanya soal menyelamatkan anak dari gangguan jiwa, tetapi juga tentang menciptakan suasana belajar yang sehat dan produktif.

Kurikulum nasional sekarang sudah mengenali kebutuhan pendidikan karakter, tetapi belum secara jelas mencadangkan tempat resmi bagi pembelajaran tentang kesehatan jiwa. Program semacam konseling masih cenderung menekankan pada tindakan disipliner dan orientasi karier, daripada dukungan psikologis komprehensif. Sehingga, murid-murid yang memiliki tantangan dalam diri mereka sendiri sering kali terabaikan atau dilihat sebagai individu "bermasalah" tanpa ada pengertian mendalam.

Sebenarnya, mendidik anak tentang kesehatan mental dapat dilakukan melalui berbagai hal mudah seperti pengajian soal emosi mendasar, teknik menangani tekanan, kepentingan mencari dukungan, serta caranya menjadi pendengar yang baik. Selain itu, guru dan orangtua harus pula dipersiapkan dengan pengetahuan dasar terkait kesejahteraan mental untuk mencegah sikap cuek ataupun tindakan yang malah merugikan bagi situasi si anak yang tengah menghadapi masalah.

Penting bagi pendidikan kesehatan mental untuk ditingkatkan dalam era modern ini di mana tantangannya semakin rumit. Anak-anak kita berada dalam lingkungan yang dipenuhi ketidakjelasan, perkembangan pesat, serta persaingan intensif. Tanpa perlindungan psikologis yang kuat, mereka bisa sangat terpengaruh, rentan menyerah, dan dapat merusak masa depan mereka sebelum mencapai tahapan dewasa.

Pemerintah perlu hadir secara lebih konkret dalam isu ini. Kemendikbudristek sudah memulai program Merdeka Belajar yang membuka ruang kreativitas dan fleksibilitas dalam kurikulum. Inisiatif ini bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat materi kesehatan mental dalam kurikulum sekolah dasar hingga menengah. Bukan dalam bentuk teori psikologi berat, tetapi lewat pendekatan yang kontekstual, menyenangkan, dan relevan dengan dunia siswa.

Selain itu, sekolah tidak mampu beroperasi secara mandiri. Kerjasama diantara guru, orangtua, konselor, psikolog, serta komunitas amat diperlukan dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang mendukung. Jangan membiarkan sekolah hanya difungsikan sebagai tempat evaluasi akademis saja. Sekolah seharusnya menjadi seperti rumah kedua bagi para siswa, suatu tempat yang peduli terhadap perkembangan fisik, mental, maupun emosi mereka.

Tentu saja, ada hambatan. Stereotip tentang masalah kesejahteraan jiwa masih sangat dominan di kalangan publik. Ada juga para orangtua yang ragu untuk mengaku bahwa putra atau putrinya memiliki gangguan kejiwaan. Di sisi lain, banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan cukup guna memahami aspek-aspek emosi murid-murid mereka dengan baik. Akan tetapi, tepatlah karena adanya rintangan-rintangan tersebut kita harus mulai merencanakan kurikulum kesehatan mental sedini mungkin. Sebab semakin lama dibiarkan, akan semakin banyak generasi penerus yang menjadi korban akibat minimnya pengetahuan serta apatis masyarakat.

Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga generasi yang utuh: yang tahu cara berpikir sekaligus tahu cara merasa. Kesehatan mental bukan bonus dari pendidikan, tetapi fondasinya. Tanpa kesehatan mental, belajar menjadi beban. Tanpa kesehatan mental, potensi tidak berkembang. Tanpa kesehatan mental, sekolah kehilangan maknanya.

Hari ini, ketika ruang kelas telah bersisian dengan ruang digital, dan anak-anak kita hidup di dua dunia—fisik dan virtual—pendidikan kesehatan mental tidak bisa lagi ditunda. Inilah saatnya kita berani mengubah paradigma: bahwa sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi tempat menjadi manusia seutuhnya. (*)