Kebudayaan Batalkan di Indonesia: Dampaknya pada Kesehatan Mental

Kebudayaan pembatalan dalam konteks digital tidak hanya mengganggu republikasi individu saja, melainkan juga memiliki dampak besar pada kondisi psikologis seluruh masyarakat. Fenomena menyeret orang keluar dari komunitas atau hubungan mereka gara-gara melakukan kesalahan atau menyampaikan pendapat kontroversial, biasanya tanpa ada upaya untuk mendapatkan klarifikasi, bisa memperburuk stres sosio-psikologis seperti cemas bersama-sama, ketidakberdayaan untuk berkomentar, serta meningkatnya ancaman masalah jiwa bagi para aktor, korban, bahkan penonton acara tersebut. Berdasarkan perspektif ilmu psikiatri publik, kebudayaan bermusuhan ini menciptakan iklim sosial yang kurang mendukung, penuh dengan tuduhan, dan sedikit memberi ruang bagi perkembangan emosi positif. Makalah ini akan membincangkan pentingnya merancang ekosistem online yang jauh lebih damai, simpatik, dan fokus kepada penyembuhan daripada sekedar hukuman sosial guna melestarikan stabilitas mental masyarakat kita yang semakin saling tersambung tapi sangat rawan.
Fenomena cancel culture, yang pada awalnya muncul di negara-negara barat, kini mulai tampak jejaknya juga di tanah air kita sendiri. Lewat platform-media sosial, orang-orang bisa langsung menjatuhkan hukuman atas individu tertentu hanya karena suatu kesalahan atau insiden kontroversial. Tulisan ini akan membahas apakah fenomena tersebut memang telah melanda negeri kita, memberikan penjelasan tentang apa itu cancel culture beserta beberapa ilustrasi kasus-kasus nyata dari kehidupan sehari hari kita. Selain itu, kami juga ingin mendalam lebih lanjut soal efek-efeknya, terlebih kepada mereka-mereka seperti pelaku-pelaku seni dan pencipta-cipta ide. Di bagian akhir, artikel ini turut mengundang Anda semua untuk berpikir secara cermat dan bersama-sama mencari cara tepat supaya budaya 'menghapus' atau ‘membatalkan’ ini tak sampai meruntuhkan prinsip-prinsip dasar demokratis seperti rasa adil, bebas ekspresi, dan kemampuan diri untuk selalu belajar tumbuh.
Cancel culture bukan lagi istilah asing di era digital saat ini. Berawal dari budaya populer dan aktivisme daring di Barat, cancel culture kini merambah ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ia hadir dalam bentuk tagar viral, kampanye boikot, atau pembatalan dukungan terhadap seseorang yang dianggap melakukan kesalahan, baik dalam ucapan, perilaku, maupun karya. Yang menarik, fenomena ini tak hanya menyasar publik figur, tetapi juga akademisi, seniman, bahkan tokoh keagamaan.
Diskusi mengenai legitimasi atau ketidaklegitimasan dari budaya pembatalan (cancel culture) sangat relevan lantaran menyinggung aspek-etika, moral, serta keadilan dalam masyarakat. Tindakan yang dilihat sebagai kesalahan oleh kelompok tertentu dapat dipandang secara berbeda oleh pihak lain. Ini menjadikan budaya pembatalan sebagai hal yang memiliki dampak ganda. Dari sudut pandang positif, itu bisa menjadi sarana untuk membatasi penyalahgunaan kuasa dan perilaku tak terpuji. Akan tetapi, dari segi negatif, situasinya bisa berbalik menjadi tindakan hukuman massa tanpa melalui mekanisme persidangan yang adil. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah: bisakah ini hanya disebut sebagai fenomena singkat atau malah merupakan permulaan transformasi sosial yang lebih luas?
Apa Itu Cancel Culture?
Singkatnya, budaya membatakan merupakan perilaku dalam komunitas tempat seseorang atau sekelompok orang dikucilkan atau ditinggalkan karena disebut-sebut sudah bertindak tak sesuai aturan, melampaui batasan sopan santun, atau mengabaikan norma-norma moral masyarakat. Kegiatan ini biasanya bermula dan berkembang pesat lewat platform media sosial; pada umumnya berawal dengan pemberian kritikan daring hingga akhirnya menjelma menjadi gerakan besar untuk meminta pemotongan hubungan dukungan kepada si pelaku atau hasil kerja mereka.
Kebiasaan ini muncul dari niat meningkatkan pertangangan publik—yang mengatakan seseorang seharusnya bertanggung jawab akan perkataan, tindakan mereka serta konsekuensinya. Akan tetapi, dalam penerapan nyatanya, budaya pembatalan sering kali tak lagi memberikan peluang bagi proses klarifikasi, permintaan maaf, ataupun upaya peningkatan diri. Sebuah kekeliruan di masa lampau bisa jadi alasan utama untuk meniadai semua catatan prestasi baik individunya tersebut.
Dalam konteks ini, batas antara keadilan sosial dan penghakiman massa menjadi kabur. Apakah seseorang pantas "dibatalkan" karena satu kesalahan? Bagaimana jika ia telah meminta maaf atau telah berubah? Inilah dilema moral yang membuat cancel culture menjadi isu kompleks dan kontroversial.
Cancel Culture dalam Kehidupan Sehari-hari
Di Indonesia, salah satu contoh nyata cancel culture adalah ketika seorang selebritas atau influencer menyampaikan opini yang dinilai menyinggung suku, agama, atau minoritas, lalu mendadak dihujani komentar negatif, kehilangan endorse, hingga diboikot karyanya. Misalnya, beberapa komedian atau pembuat konten mengalami penurunan karier akibat candaan masa lalu yang viral kembali dan dinilai tidak pantas oleh warganet saat ini.
Contoh lainnya adalah pencopotan dukungan kepada musisi atau seniman dikarenakan adanya tuduhan kekerasan seksual, walaupun bukti legalnya belum muncul. Gerakan pemboikotan juga semakin marak, yang mengakibatkan karyanya lenyap dari media-platform, pertunjukan di-cancel dan para mitra profesional mulai menjaga jarak. Hal ini mencerminkan betapa besarnya pengaruh opini publik dapat memengaruhi jalannya karir seseorang, bahkan sebelum persidangan dimulai.
Di luar dunia hiburan, cancel culture juga merambah ranah akademik. Beberapa dosen atau peneliti kehilangan posisi atau kredibilitas karena pernyataan kontroversial di media sosial, yang kadang diambil di luar konteks. Padahal, ruang akademik semestinya menjadi wadah diskusi dan perdebatan terbuka. Fenomena ini menegaskan bahwa siapa pun bisa menjadi korban cancel culture. Tak ada yang kebal: dari tokoh besar hingga individu biasa. Ini menimbulkan ketakutan kolektif untuk bersuara jujur, karena takut disalahpahami dan langsung "dibatalkan" oleh publik.
Menurut Kesehatan Psikologis Masyarakat
Kebudayaan pembatalan, apabila diamati dari perspektif kesejahteraan psikologis masyarakat, bisa menghasilkan beban mental bersama yang signifikan. Saat publik terbiasa untuk 'menjatuhi' secara masal melalui platform-media sosial, hal tersebut membentuk tendensi sikap responsif cepat, spontanitas tanpa pertimbangan matang serta perasaan emosi negatif. Ini meracuni suasana sosial dengan tingkat stres berlebihan, prasangka satu sama lain, dan kurangnya simpati. Kekhawatan dirinya menjadi subjek kritikan atau target pembatalan juga dapat menyebabkan cemas sosial, lebih-lebih bagi mereka-mereka yang rajin menggunakan media sosial.
Untuk mereka yang menjadi sasaran dari budaya pembatalan, pengaruhnya dapat sangat memberatkan secara emosional. Risikonya mencakup masalah stres, perasaan malu mendalam, penurunan martabat, hingga kondisi depresi. Ada banyak contoh tempat para korbannya merasa ditinggalkan oleh komunitas sekitarnya, hilang pekerjaan, serta menanggung luka batin dalam waktu lama. Secara keseluruhan, kelompok yang sering kali terpajan pada fenomena tersebut cenderung kurang peduli atas derita sesamanya dan lebih toleran terhadap tindakan kekerasan verbal maupun bullying daring.
Sebaliknya, bagi publik umum, budaya pembatalan justru membentuk lingkungan yang membuat orang enggan mengutarakan pikiran mereka. Mereka cenderung menyimpan opini demi menjaga keamanan, ragu-ragu saat bicara, serta merasa wajib sempurna pada setiap ucapan. Tentunya hal ini kurang baik untuk perkembangan mental bersama-sama dalam masyarakat. Sebaiknya ditekankan ruang diskusi yang terbuka dan saling memahami supaya masyarakat dapat tumbuh dengan sehat secara psikologi tanpa rasa takut akan penilaian atau keraguan dalam mengeksplorasi identitas dan belajar dari kesalahan.
Dampak Buruk Cancel Culture
Efek paling jelas ialah kurangnya area bagi individu untuk membenarkan kesilapan mereka. Gaya budaya "cancel" lebih condong kepada permintaan sempurnaannya, sedangkan manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang mendapatkan ilmu melalui pelbagai pengalaman salah. Melalui pemotongan seseorang daripada arena umum sama sekali, kita membantah proses perkembangan serta pembelajaran. Budaya semacam itu boleh membuat kerjaya sesetengah orang binasa dengan cepat. Orang-orang seperti penulis, penyedia filem, ataupun artis sering kali hadapi ancaman batal kontrak, tarikan balik hasil kreatif dari pasaran, sehingga hilang pekerjaan hanya disebabkan oleh masalah yang tersebar luas secara digital. Hal ini timbul soalan etika: adakah produk patut turut ditindih atas dosa penciptanya? Budaya cancel ini dapat menghasilkan rasa takut dalam ekspresi diri. Ramai orang akhirnya bertimbun pandangan sendiri, melakukan sensorship atas idea-idea mereka, atau malah enggan bicara di tempat awam demi elakkan status 'dibuang'. Isteri hal ini boleh merosakkan kebebasan memberi fikiran dan mutunya dialog sosial yang sihat. Sistem ini mudah diperalat-peralat. Individu tertentu boleh menggunakan gaya budaya cancel ini sebagai cara menjatuhkan saingan, membayar balasan luka hati, atau pun merebut kontrol terhadap pendapat ramai tanpa ada asas kukuh. Kuasa banyak netizen di dunia maya sanggup menjadi senjata baru setanding bahayanya dengan alat-alat tradisional lain. Akibat psikologi para mangsa dari sistem cancel ini amatlah sukar diderita. Beribu-ribu merana stres, depression, sampai kepada hilang identiti dirinya. Di situasi tertentu, mereka telah dikucilsukan daripada komuniti sosial dan famili mereka. Ini tunjukkan bahawa budaya cancel bukan saja berkaitan nilai-nilai moral tetapi juga tentang kemanusiaan.Pengaruh pada Kondisi Jiwa Masyarakat
Kehadiran fenomena cancel culture atau budaya "memboikot" orang sekarang tidak hanya menjadi masalah di negeri-negeri Barat, tapi sudah semakin umum ditemukan pula di Indonesia. Dengan bantuan dari jejaring sosial, individu dapat secara mendadak jadi target amarah massa akibat suatu kesalahan, entah itu pernyataan, tingkah laku, atau bagian dari riwayat digital mereka yang kembali populer. Masyarakat langsung menggerakkan diri untuk melakukan boikot, pemecatan hingga isolasi tanpa mau melihat lebih dalam tentang situasi tersebut atau memberikan peluang kepada siapa pun untuk menjelaskan posisi mereka sendiri. Keadaan seperti ini membentuk tekanan sosial yang sulit disadar oleh mata biasa dan memiliki dampak signifikan pada kondisi mental bersama-sama masyarakat kita.
Dalam perspektif psikologi kesehatan masyarakat, budaya pembatalan (cancel culture) membentuk iklim sosial yang dipenuhi oleh stres dan ketakutan. Orang-orang jadi sangat khawatir dan merasa perlu untuk selalu sempurna baik dalam perkataan maupun tindakan mereka demi menghindari pembatalan tersebut. Kecemasan, ketidaknyamanan saat berbicara, serta lelah emosi menjadi hal biasa dalam kehidupan digital setiap hari. Sebagai akibatnya, banyak orang lebih memilih untuk mundur dari percakapan umum atau menyembunyikan pendapat mereka sendiri, sehingga ini pada gilirannya dapat mengancam kesejahteraan mental dan kesempatan bereksplorasi pemikiran dengan bebas.
Untuk orang-orang yang mengalaminya sebagai pihak yang dibatalkan dalam fenomena cancel culture, beban emosionalnya cukup besar. Mereka bisa jadi stres, cemas, hilang rasa percaya diri, hingga depresi akibat penilaian publik yang individualistik dan tak seimbang. Apalagi di tengah masyarakat kita yang kuat akan konsep malu serta norma sosial kolaboratif, hal tersebut dapat menyebabkannya merasa totaliter ditinggalkan dan kehilangan jati diri. Kondisi itu pun semakin menambah potensi masalah mental dan berpotensi sampai kepada tingkat ekstrem apabila kurang adanya bantuan psikososial yang mencukupi.
Apabila tidak diatur dengan baik melalui kontrol dan pembelajaran digital yang sesuai, budaya "cancel" bisa menciptakan suatu masyarakat yang cepat menghakimkan tetapi kurang bersedia berusaha memahami. Fenomena tersebut merusak rasa simpati, menghilangkan peluang belajar dari kesalahan serta perkembangan emosi seseorang. Karena itu, perspektif ilmu keilmuan tentang perilaku manusia sangat menekankan pada perlu adanya lingkungan komunikasi yang lebih positif—di mana ada tempat bagi pencerahan diri, pengetahuan baru, dan penyembuhan dibanding hanya hukuman sosial saja; hal terakhir justru akan melemahkan bakat setiap orang dan semakin mempersulit kondisi kesejahteraan jiwa dalam masyarakat secara umum.
Bagaimana Kita Menyikapinya?
Sangat vital untuk memisahkan antara kritikan dan fenomena cancel culture. Kritikan merupakan elemen dalam dialog positif, tetapi cancel culture cenderung menuju ke arah penilaian serta boikot mutlak tanpa memberikan peluang bagi penebusan dosa. Oleh karena itu, kita harus merangsang pembentukan budaya kritis yang bermanfaat, bukan merusak.Budayakan rasa hormat kepada sistem hukum dan asas praduga tak bersalah. Bukan seluruh tudingan tersebut valid, demikian pula tidak setiap kesalahan pantas mendapat sanksi abadi. Area untuk penyataan klaim dan mekanisme adil wajib dipertimbangkan sehingga kami tidak menjelma menjadi hakim didorong oleh emosi.Pendidikan digital memiliki posisi sentral. Penguasaan literasi media, norma-norma komentar sopan, dan kapabilitas selektivitas data harus dimulai sedari awal. Generasi muda sebagai kelompok mayoritas pengguna platform-media sosial patut menyadarinya; rekaman virtual dapat berubah menjadi senjata yang membawa luka—mungkin termasuk diri mereka sendiri.Mendampingi para korban cancellation yang niatnya akan melakukan transformasi sangatlah esensial. Kami bisa menstimulus mereka supaya meningkatkan standarnya, belajar, dan menciptakan prestasi lagi dengan paradigma moral yang telah diperbarui. Penyelesaian perselisihan ini adalah solusi inklusif dibanding isolasi.Self-refleksi. Harus ada kedewasaan dalam menerima kritik apabila sewaktu-waktu kita membuat blunder. Menyediakan lingkaran solidaritas empati dan maafan bakal membangun fondasi masyarakat sehat. Sebab kalau hal ini dilewatkan, siapa saja bisa jadi target berikutnya.Pada zaman serbuan digital ini, budaya pembatalan dapat terjadi sewaktu-waktu pada siapa pun. Tetapi, adakah niat kita untuk menciptakan suatu masyarakat yang saling hapus atau sebaliknya saling maafkan? Inilah momen pentingnya: ketika pilihan dibuat antara menjudi orang lain versus berusaha memahaminya. Keceriaan sempurna tak selalu diperlukan bagi setiap insan. Sebenarnya dari kesalahan dan proses penyempurnaan itulah pertumbuhan bermula. Bila budaya pembatalan merupakan wujud kegelapan, marilah kita menjadi penyebar cahaya: sebagai petunjuk, bukannya penghangat api; pemenggal ingatan, bukan pencabut eksistensi.
Gabung dalam percakapan