Peran Amerika dalam Serangan Terbaru Israel di Gaza: Kisah yang Tak Terduga
RB NEWS, GAZA - Serangan keras yang kembali dijalankan oleh Israel ke Jalur Gaza tidak bisa lepas dari dukungan Amerika Serikat. Dukungan berupa bantuan senjata, persetujuan dari Gedung Putih, serta serangan AS di Yaman ikut menyertai ofensif pada awal hari ini yang sudah mengambil korban lebih dari 400 jiwa, sebagian besar adalah anak-anak dan wanita.
Hamas menyatakan bahwa Amerika Serikat 'bertanggung jawab sepenuhnya' untuk terus berlanjutnya 'penggenasan' di Gaza yang diprakarsa oleh Israel sejak hari Selasa. Dalam laporan tersebut, AS telah mendapatkan informasi tentang serangan yang menyalahi gencatan senjata dan ternyata memberikan dukungan total.
Hamas mengklaim bahwa AS sudah mendapatkan pemberitahuan tentang hal ini sebagai pengokoh "kerjasama mereka secara langsung dalam perang genosida melawan rakyat kami". Penegakan oleh Gedung Putih bahwa mereka telah berdiskusi sebelum serangan tersebut "menunjukkan partisipasi dan kecenderungan pro-Israel dari Amerika", menurut Hamas.
Dengan dukungan tak terbatasnya pada pendudukan dalam hal kebijakan dan militer, Washington sepenuhnya bertanggung jawab atas penumpasan dan penganiayaan wanita serta anak-anak di Gaza," demikian lanjutan pernyataan dari Gaza.
Karoline Leavitt, Sekretaris Pers dari Gedung Putih, menyampaikan bahwa "Pemerintah Trump dan Gedung Putih sudah berdiskusi dengan Israel terkait serangan yang dilancarkan oleh mereka ke Gaza pada malam hari ini."
"Sebagaimana sudah diterangkan oleh Presiden Trump, Hamas, Houthi, dan Iran - seluruh kelompok yang mencoba menakuti bukan saja Israel namun juga Amerika Serikat - bakal mendapat dampak yang patut mereka tanggung: semuanya akan merugi," imbuh Leavitt dalam keterangannya. Fox News pada Senin malam.
Penyerangan yang dilancarkan oleh Israel terjadi tak lama setelah serbuan Amerika Serikat mengebom Yaman. Tindakan militer AS ini berkaitan dengan ancaman dari kelompok Houthi yang berencana memblokir kapal-kapal yang menuju Israel di Laut Merah sebagai respons atas pemblokiran wilayah Gaza oleh Israel.
Seiring dengan peningkatan jumlah korban jiwa akibat serangan Amerika Serikat di Gaza, Gedung Putih belum memberikan pernyataan terbaru. Meskipun demikian, tampaknya pemerintah menganggap hal tersebut sebagai kesalahan dari Hamas.
Ini adalah sebuah pesan yang selalu muncul saat Steve Witkoff, duta besar Amerika Serikat untuk Timur Tengah, meninggalkan Doha—tempat dia berupaya menyepakati kesepakatan gencatan senjata. Dia menjelaskan bahwa Hamas lah penyebab kebuntuan dalam situasi tersebut.
Faktanya, adalah Israel yang telah berkali-kali mengingkari kesepakatan gencatan senjata. Setelah periode awal gencatan senjata selesai, Israel ragu untuk beralih ke tahap selanjutnya yang memerlukan penarikan pasukannya dari wilayah Gaza.

Sebaliknya, Israel secara brutal menghalangi bantuan masuk ke Gaza dan mencabut pasokan listrik sebagai cara tekanan pada Hamas agar melepaskan semua tawanan mereka. Meski Hamas bersedia melanjutkan kesepakatan tersebut asalkan tahap dua gencatan senjata dapat dijalankan sepenuhnya, Israel tetap saja tidak mau bernegosiasi.
Israel sudah memperingatkan bahwa mereka siap melakukan serangan berkepanjangan. Pejabat-pejabat dari pihak Israel menjelaskan bahwa sasarannya adalah para pemimpin Hamas, yang baru-baru ini bangkit lagi kekuatan untuk merebut kendali atas Gaza, dan hal itu bisa membuat semakin banyak tebusan orang dibebaskan. Namun, sejumlah besar keluarga penyandera di Israel tidak setuju dengan pernyataan tersebut.
SecARA praktis, Israel saat ini mempunyai kapabilitas yang belum lama ini tidak mereka miliki. Persediaan amunisi sudah terisi ulang - sebagian berkat pasokan dari Amerika Serikat - dan sasaran baru potensial di antara para pemimpin Hamas telah ditentukan. Pesawat serta peralatan lainnya pun sudah diperbaiki. Tentara juga telah mendapatkan waktu istirahat.
Pada akhir bulan Februari kemarin, pemerintahan Trump sudah setuju dengan transaksi pengiriman senjata bernilai mendekati 3 miliar dolar AS kepada Israel. Keputusan ini dilakukan tanpa melalui prosedur ulasan kongres biasa agar bisa menyediakan lebih banyak bom berbobot satu ton bagi negara tersebut—jenis bom yang sama pernah dipergunakan saat serangan terhadap wilayah Gaza. Melalui beberapa dokumen resmi yang disampaikan kepada Konggres, Departemen Luar Negeri menyebut bahwa mereka telah tanda tanggung pada pembelian ribuan unit bom jenis MK 84 dan BLU-117 bersamaan dengan ratusan rudal hulu ledak Predator senilai total 2,04 miliar dolar AS.

The Guardian Menurut laporan tersebut, kritikan terhadap Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, mengusulkan adanya alasan alternatif untuk serangan yang baru saja terjadi – atau paling tidak, tentang pemilihan waktunya. Satu hal lainnya ialah bahwa Netanyahu tak pernah bermaksud untuk meneruskan gencatan senjata fase dua, yaitu penarikan pasukan Israel dari Gaza, yang mengakibatkan Hamas menjadi pemerintahan fakta. Kelompok perjuangan Palestina itu sudah memastikan kontrolnya kembali dalam beberapa minggu terakhir ini, sesuai laporan petugas kemanusiaan setempat; pegawai sipil kini telah kembali ke posisi semula sedangkan bagian militer mereka yang tertimpa kerugian telah merekrut ribuan anggota baru.
Sebab kedua ini berkaitan dengan fakta bahwa Israel menerima dukungan total dari pemerintah Trump dalam melakukan serangan baru terhadap Hamas. Pada postingan di media sosial pada awal Maret, Trump menyatakan bahwa akan terjadi "konsekuensi yang harus ditanggung" apabila para tahanan tidak dilepaskan. Namun dia tak menjelaskan lebih lanjut tentang bentuk bantuan yang diberikannya ke Israel. Dia menambahkan, "Lepas kan semua tawanan saat ini tanpa penundaan, dan serahkan kembali tubuh setiap individu yang telah Anda akhiri nyawa mereka secara langsung."
Untuk para pemimpin, saat ini merupakan kesempatan bagi kalian untuk pergi dari Gaza." Dia pun sepertinya memberikan ancaman tambahan. "Selain itu, kepada warga Gaza: Masa depan yang cerah telah disiapkan, tetapi hal tersebut tak akan terwujud jika kamu merengkau kebebasan mereka. Bila memaksakan diri, nasibmu sudah ditentukan—MATI!
Kemudian terdapat aspek politik internal negara tersebut, hal ini sering disebut-sebut oleh kritikus-kritikus perdana menteri Israel. Netanyahu mengharapkan bantuan dari aliansi sayap kanan guna meraih suara vital di parlemen Israel pada beberapa hari dan pekan yang akan datang, serta demi menjaga kedaulatan dirinya.
Para sekutu tersebut kuatir dengan penyelesaian konflik yang berkelanjutan di Gaza, dan seorang di antara mereka mundur dari posisi menteri sebagai bentuk protes terhadap gencatan senjata pada Januari lalu. Sekarang dukungan utama ini telah stabil—setidaknya untuk sementara waktu.
Netanyahu didakwa atas kasus suap. Apabila dinyatakan bersalah, ia dapat menerima hukuman kurungan penjara. Menurut laporan media Israel, pada hari Selasa, hakim telah menyepakati permohonan Netanyahu agar tidak harus datang ke persidangan tersebut "karena konflik yang masih berlangsung", dikarenakan perang saat itu.
Minggu lalu, Netanyahu menyatakan niatnya untuk mencopot pemimpin badan intelijen dalam negeri Israel. Tindakan itu diartikan sebagai langkah tambahan guna menyingkirkan kendali demokratik di negara tersebut, dengan prediksi adanya demonstrasi massal yang akan pecah akhir minggu ini.
Ini kini bisa disebut sebagai perilaku yang kurang nasionalis oleh para pengikut Netanyahu. Survei terbaru memperlihatkan bahwa warga Israel dengan besar hati mendukung gencatan senjata di Gaza agar mereka dapat membawa pulang 59 sandera yang masih tertinggal di lokasi tersebut, walau demikian, dukungan bagi operasi militer hingga mencapai "keberhasilan lengkap" melawan Hamas tetap tinggi.

Realitas pahit ialah bahwa gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang bertahan selama dua bulan akhirnya usai. Kemungkinannya tampak amat kecil untuk mencapai suatu perjanjian yang bisa menuntaskan serbuan militer Israel terbaru dalam waktu singkat.
Pejabat-pejabat Israel mengatakan bahwa serangan itu hanya awalan dari operasi militer yang mungkin lebih besar dan akan tetap dilanjutkan sampai Hamas melepaskan 59 sandera Israel yang saat ini dikurung di Gaza, dengan perkiraan separuh atau lebih sudah meninggal dunia. Ini tanpa ragu akan menimbulkan jumlah korban sipil yang signifikan di wilayah tersebut, peningkatan lagi dalam aliran para pengungsi, serta kerusakan semakin parah.
Krisis kemanusiaan di Gaza dapat ditangani secara parsial dengan pemasukan dukungan skala besar selama gencatan senjata dimulai akhir bulan Januari kemarin. Pekan lalu, Israel menerapkan embargo lengkap atas daerah itu, menyebut Hamas menggunakan bantuan untuk tujuan mereka sendiri dan sudah melanggar kesepakatan tersebut. Namun, hal ini dituduh balik oleh Hamas. Menurut petugas kemanusiaan, stok barang-barang esensial dari organisasi-organisasi penggalangan dana serta toko-toko lokal di Gaza cuma cukup hingga tiga minggu mendatang saja, tetapi konflik belakangan ini bakal semakin mempersulit proses pendistribusionya.
Gabung dalam percakapan