Nasib Ahok di Kasus Korupsi Pertamina? Eks Komisaris Utama Sudah Siap
Bagaimana nasib Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kasus korupsi di Pertamina?
Ahok dinyatakan berpotensi diadili Kejaksaan Agung atas kasus korupsi di Pertamina.
Ahok adalah mantan Komisaris Utama Pertamina dan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan).
Ahok kemungkinan diminta memberikan keterangan setelah terbongkar korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.
Politikus PDIP Mohammad Guntur Romli mengatakan, Ahok menyatakan kesiapannya untuk memberikan keterangan jika dipanggil oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Ahok sudah memberikan komentar bahwa beliau sangat senang jika dipanggil oleh Jaksa Agung untuk memberikan keterangan dan penjelasan," kata Guntur ketika dihubungi, Jumat (28/2/2025).

Tapi Guntur berpendapat ada upaya untuk mempengaruhi opini publik yang menuding Ahok dan PDIP, terutama di media sosial.
"Tetapi kami menangkap ada upaya penggiringan opini, terutama di medsos, yang berusaha menyerang Pak Ahok dan PDIP dengan isu ini," kata Guntur.
Guntur juga bertanya-tanya mengapa opini publik lebih banyak dipusatkan pada Ahok dan PDIP.
"Pertama, Patra Niaga punya komisaris dan direktur yang berbeda dari Pertamina. Bahkan, ada komisaris yang istri dari Tim Prabowo - Gibran di Pilpres 2024. Tapi mengapa harus diarahkan ke Pak Ahok dan PDIP?", ucapnya.
Dia berharap Kejaksaan Agung dapat mengusut kasus ini dengan profesional dan transparan tanpa ada intervensi politik.
"Kami berharap kasus ini benar-benar ditangani dan terungkap sebagai kasus hukum, bukan dibelokkan menjadi alat politisasi," ucap Guntur.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengatakan bahwa pihaknya tidak menutup kemungkinan akan mengadakan penyelidikan terhadap Ahok.
Dia menegaskan bahwa semua pihak yang diduga terlibat dalam perkara tersebut akan dilakukan pemeriksaan.
"Siapa pun yang terlibat dalam perkara ini baik berdasarkan keterangan saksi, maupun berdasarkan dokumen atau alat bukti lain, pasti akan dipanggil untuk dimintai keterangan," kata Qohar dalam konferensi pers, Rabu (26/02/2025).
Peran 9 Tersangka Pembuat Bom Pertamax
Berikut adalah sosok dan peran sembilan tersangka yang terlibat dalam kasus oplos Pertalite menjadi Pertamax hingga korupsi Pertamina sebesar Rp968,5 triliun.
Terakhir ini sembilan orang telah diketahui menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan minyak dan produksi kilang PT Pertamina Patra Niaga.
Sembilan tersangka, termasuk beberapa petinggi Pertamina, melakukan penyulingan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan minyak yang kualitasnya lebih rendah.
Akibatnya, negara kehilangan Rp968,5 triliun selama 2018 hingga 2023.
Saat ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang PT Pertamina Patra Niaga.
Terbaru, ada dua orang yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung.
Mereka adalah Maya Kusmaya (MK) sebagai Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, dan Edward Corne (EC) sebagai Wakil Presiden Operasional Niaga.
Keduanya terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama dengan tujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya.
Berikut ini adalah daftar lengkap sembilan tersangka:
1. Riva Siahaan (RS) sebagai Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
2. Sani Dinar Saifuddin (SDS) sebagai Direktur Pengembangan Bahan Baku dan Optimalisasi Produk PT Pertamina International
3. Yoki Firnandi (YF) sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
4. Bapak Agus Purwono (AP) sebagai Wakil Presiden (VP) Pengelolaan Bahan Baku PT Kilang Pertamina International
5. Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) sebagai Pemilik Manfaat PT Navigator Katulistiwa
6. Dimas Werhaspati (DW) sebagai Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
7. Gading Ramadhan Joedo (GRJ) sebagai Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
8. Maya Kusmaya (MK) sebagai Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga
9. Edward Corne (EC) sebagai Wakil Presiden Operasional Perdagangan Pertamina Patra Niaga
Sebelumnya, Kepala Badan Penyelidikan dan Pengembangan Khusus Mahkamah Agung, Abdul Qohar menjelaskan bahwa Rumah Sakit bersama SDS dan AP berhasil menangkap DMUT/penyelundup minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan dengan melawan hukum.
Sementara itu, terduga DW dan terduga GRJ berkomunikasi dengan terduga AP untuk mendapatkan harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.
Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Rumah Sakit kemudian melakukan pembelian untuk bensin Pertamax (Bensin 92).
Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau yang lebih rendah. Lalu, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92.
Padahal, hal tersebut tidak boleh dilakukan.
Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya bunga kontrak pelayanan angkutan yang dilakukan Yoki Firnandi sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Dalam hal ini, pemerintah mengeluarkan biaya sebesar 13 hingga 15 persen secara ilegal, sehingga pelaku MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
Ketika kebutuhan minyak dalam negeri sebagian besar didapatkan dari impor secara ilegal, maka komponen harga dasar yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi.
Jadi menjadi dasar untuk memberikan kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari anggaran negara.
Karena beberapa tindakan ilegal, negara mengalami kerugian sekitar Rp 193,7 triliun, yang berasal dari beberapa sumber, seperti yang dibeberkan oleh Qohar, sebagaimana dikutip dari Kejagung.go.id, Senin (24/2/2025).
Sementara itu, dua tersangka baru, yaitu Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan dari Direktur Utama atau Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.
“Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk mencampur (blending) produk kilang pada jenis bensin RON 88 (Premium) dengan bensin RON 92 agar dapat menghasilkan bensin RON 92,” kata Qohar, Rabu (26/2/2025), seperti dilansir Kompas.com.
Pembelian tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga yang mahal dan tidak sesuai dengan kualitas barang.
“Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” jelasnya.
Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang dengan menggunakan cara spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu.
Tindakan tersebut membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usahanya.
Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan dengan cara pembayaran term atau pembayaran langsung dengan periode waktu untuk mendapatkan harga yang adil.
Tak hanya itu saja, Qohar juga menjelaskan bahwa Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap penandaan harga dalam kontrak pengangkutan yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) sebagai Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan biaya tambahan 13–15 persen secara melawan hukum.
“Bayaran itu diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) sebagai pemilik utama PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) sebagai komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” kata Qohar.
Sosok Pembongkar
Sosok pembongkar korupsi besar-besaran di Pertamina yang merugikan negara hingga Rp968,5 triliun terbongkar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Sirega menjelaskan awal mula pengungkapan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina Patra Niaga pada tahun 2018-2023.
Dari fakta tersebut terungkaplah siapa sebenarnya sosok pertama yang berhasil membongkar korupsi besar-besaran di dalam perusahaan BUMN tersebut.
Laporan atau keluhan warga merupakan awal dari terjadinya hal tersebut.
Harli mengatakan kasus korupsi besar-besaran ini dimulai dari adanya temuan terkait keluhan masyarakat di beberapa daerah tentang kualitas BBM jenis Pertamax yang dianggap buruk.
Jika Anda ingat, di beberapa peristiwa, ada di Papua dan Palembang terkait dugaan penemuan minyak yang dikatakan tidak bernilai.
"Kami pernah menerima tanggapan luas dari masyarakat mengapa kandungan Pertamax misalnya dinilai begitu jelek," ujarnya, seperti dikutip Tribun-medan.com dari TribunJatim.com, Kamis (27/2/2025).
Setelah temuan tersebut ditemukan, Harli mengatakan bahwa pihaknya langsung melakukan pengamatan lanjutan dan pengumpulan data.
Ternyata, kata Harli, keluhan masyarakat itu berbanding lurus dengan temuan tentang peningkatan harga bensin Pertamax dan subsidi pemerintah yang diberikan secara besar-besaran dan dirasa tidak perlu diberikan.
Sampai pada akhirnya ada keterkaitan dengan hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait, seperti misalnya mengapa harga BBM harus meningkat.
"Iya, ternyata ada beban-beban pemerintah yang tidak seharusnya ada," katanya.
Harli menyebutkan temuan-temuan tersebut bermuara pada dugaan korupsi dalam pengelolaan minyak mentah di Pertamina Patra Niaga.
"Karena ada sindikasi yang dilakukan oleh para tersangka ini, akhirnya negara harus menanggung biaya kompensasi dan subsidi yang sangat besar," jelasnya.
Deretan Keluhan Konsumen Pertamax
Berikut pengakuan konsumen Pertamax terkait kasus korupsi Pertamina.
1. Merasa Dirugikan
Seorang warga Cipayung, Jakarta Timur, Bachtiar (27) mengaku kaget ketika mengetahui kabar tersebut.
"Tentu ada kekhawatiran, karena niat kita pengendara mau beli Pertamax untuk mesin lebih bagus. Tapi kalau kenyataannya gini mah, rugi dong," ucapnya kepada Tribunnews.com, Rabu (26/2/2025).
Bachtiar mengaku telah menggunakan Pertamax sejak tahun 2019 lalu.
Tetapi, kini dirinya merasa dimanfaatkan setelah kasus korupsi tersebut terbongkar.
Dia mengatakan bahwa dengan adanya insiden tersebut, berarti selama ini kendaraan yang digunakan tidak sepenuhnya menggunakan Pertamax.
Masih banyak sekali masalah dalam pengelolaan BBM oleh Pertamina, bukan hanya ini saja.
"Jadi saya makin ragu, seperti membeli Pertamax sama membeli Pertalite, cuma bedanya tidak perlu menunggu saja," ujarnya.
2. Perbuatan Keji
Orang warga yang bernama Iman Kurniawan (46) juga mengungkapkan hal yang sama.
Iman mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh oknum Pertamina ini adalah perbuatan yang sangat tidak pantas.
Dia merasa tertipu selama menggunakan Pertamax sebagai bahan bakar untuk kendaraannya.
Padahal, dia mengganti bahan bakar kendaraannya dari Premium ke Pertamax karena dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan subsidi.
"Saya pikir itu sangat merugikan masyarakat banget. Apalagi itu dilakukan sama petinggi Pertamina itu sendiri. Itu udah sangat sangat keji kalau saya bilang," ucap Iman.
3. Akan Berhenti Menggunakan Produk Pertamina Lagi
Seorang warga bernama Samsudhuha Wildandyah (30) mengancam tidak akan menggunakan produk Pertamina lagi setelah terjadinya kasus ini.
Suku penduduk Kota Bekasi ini mengatakan menggunakan Pertamax karena merasa tidak layak untuk mendapatkan BBM bersubsidi.
"Iya, saya tidak terlalu berharap. Ini menggunakan bensin Pertamax, harap-harap saja mesin kita kuat. Jika begitu, saya akan mempertimbangkan untuk pindah ke yang lain," katanya kepada Tribunnews.com, Rabu.
4. Perhatikan Isi BBM di SPBU Swasta
Seorang warga bernama Putra (32) mengatakan dia tidak pernah membeli Pertamax, dan mempertimbangkan untuk mengisi bahan bakar di SPBU swasta.
"Saya sangat senang (beli Pertamax), kalau brand swasta SPBU-nya lebih luas lagi jaringannya seperti Pertamina, saya lebih memilih brand lain yang memiliki oktan sama dengan Pertamax," ujarnya di Koja, Jakarta Utara, Rabu, sebagaimana dilansung Kompas.com.
"Menimbulkan trauma juga kalau harus bayar Pertamax, tapi diberikan Pertalite yang bensin campurannya," kata Putra.
Putra menyebutkan bahwa mungkin ia bisa membeli BBM dengan kualitas lebih baik, seperti Pertamax Turbo, yang harganya lebih mahal.
Tapi, ia takut itu terjadi kembali.
"Saya bisa menggunakan Pertamax Turbo, tapi aku tidak tahu pasti apakah nanti akan diarahkan untuk keuntungan pribadi oknum yang menjabat di Pertamina atau tidak," katanya.
5. Mengaku Kapok
Warga lain bernama Mario Anwar (35) juga mengaku tidak mau membeli Pertamax.
Meskipun demikian, Mario enggan beralih ke Pertalite karena antrian pembeli di SPBU biasanya panjang.
"Sejauh ini tidak masalah. Tapi, dibanding harus antri lama, lebih baik gunakan bensin yang memiliki oktan lebih tinggi," jelasnya.
Sebagian artikel sudah terbit di tribunnews.com
Gabung dalam percakapan