Mengeksplor Strategi Negosiasi Donald Trump: Perspektif Psikologi

RB NEWS , Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump Merupakan figur yang kerap mendapat perhatian global lantaran dianggap memicu polemik dalam beragam aspek, termasuk keputusan politiknya, komentarnya mengenai pelbagai masalah, serta gaya negosiasinya yang kadang cukup mengejutkan bagi sebagian besar orang.

Gaya negosiasinya yang unik ini kerap menimbulkan diskusi, dan jika kita mengurai strategi-strategi yang kelihatannya tak terduga, sesungguhnya ada aspek psikologis di belakangnya. Apa alasannya?

Sebagai seorang ahli dalam bernegosiasi, Presiden Donald Trump sering kali menimbulkan diskusi—apakah dia seorang negosiator yang efektif atau tidak mungkin sulit untuk dipastikan, namun tampaknya banyak pihak setuju bahwa gaya negosiasinya unik.

Baru-baru ini, contohnya, seluruh dunia heboh mengulas tentang pembicaraan antara Trump dengan perwakilan dari Ukraina yang dilakukan di depan umum. Acara tersebut menarik banyak perhatian karena sangat langka melihat proses diplomasi berjalan secara transparan, langsung, serta dalam suasana yang sungguh mendebarkan.

Pada hari Selasa, tanggal 4 Maret, Donald Trump mengungkapkan bahwa ia telah mendapatkan pesan dari Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy. Surat tersebut menunjukkan kesediaan Ukraina dalam membahas konflik antara Rusia dan Ukraina.

"Ukraina sudah bersiap untuk segera duduk di meja perundingan demi mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan. Tak ada pihak yang lebih memendam harapan akan kedamaian selain rakyat Ukraina," ujar Trump saat menyampaikan pidato kepada Kongres, dengan menyinggung konten surat seperti ditulis oleh media tersebut. Reuters Dia juga menyebutkan bahwa dia sudah melaksanakan "perbincangan mendalam dengan Rusia" dan "menangkap tanda-tanda jelas bahwa mereka bersedia untuk mencapai perdamaian".

Merujuk pada laman Psychology Today , strategi utama Trump dalam bernegosiasi adalah "berpikir besar" dan meminta sesuatu yang jauh lebih besar dari yang sebenarnya ia inginkan dalam negosiasi.

Di bidang psikologi sosial serta dalam upaya mempengaruhi orang lain, strategi ini disebut "door in the face" (DITF). Cara ini cukup berhasil untuk membujuk pihak lain; namun sebaliknya, hal itu mungkin menyebabkan individu merasa dipaksa atau terinjak-injak, dampaknya berpotensi mengganggu interaksi antar kedua belah pihak.

Sebelum terpilih jadi presiden, Trump telah dikenal sebagai orang yang sangat percaya diri serta berani. Di dalam bukunya The Art of The Deal (1987), dia menguraikan cara penggunaan karakteristik dirinya dalam negosiasi serta di bidang usaha. Berbagai taktik yang dipropagandakan dalam karyanya tersebut antara lain: memiliki visi luas, menyusun alternatif sebanyak mungkin, memaksimalkan keuntungan saat bernegosiasi, bertindak dengan keras apabila ditekan, dan merasa senang pada keseluruhan perjalanannya.

Memahami Konsep Teknik Door in the Face

Jauh sebelum Donald Trump Menuliskannya dalam buku, metode meyakinkan yang digunakannya telah diketahui oleh Robert Cialdini dan kelompok penelitinya sebagai Door in the Face (DITF) (Cialdini dkk., 1975). Cara kerja teknik ini melibatkan pengajuan tuntutan yang besar terlebih dahulu—yang cenderung ditolak karena dianggap sangat berlebihan. Kemudian, sang negosiator menyodorkan tuntutan yang lebih rendah, yang pada dasarnya merupakan tujuannya dari awal. Sebab tuntutan pertama gagal dipenuhi, maka tuntutan kedua tampak lebih wajar, membuatnya lebih mudah untuk mendapat persetujuan. Akibatnya, strategi ini pun sering disebut "penolakan-lalu-pengurangan" atau "tolak-tegas-balik."

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump (di sebelah kiri) mengadakan pertemuan dengan Raja Abdullah II dari Yordania di gedung White House, Washington DC pada tanggal 11 Februari 2025. Foto oleh Reuters/Kevin Lamarque.

Dalam buku Influence Edisi paling baru, Cialdini (2021) mengungkapkan bahwa metode tersebut sungguh-sunguh amat efisien berkat sejumlah alasan seperti di antaranya:

1. Apabila ada banyak permintaan yang terpenuhi, sang negosiator akan menerima hasil melebihi ekspektasinya.

2. Bila suatu permintaan besar di tolak, pihak yang melakukan penolakan tersebut umumnya akan merasakan rasa bersalah dan menjadi lebih cenderung untuk mengiyulkan sebuah permintaan tambahan yang ukurannya lebih kecil (prinsip ini dikenal sebagai Resiprokal Konzessions).

3. Setelah menolak tawaran awal, individu mungkin mengasumsikan tanggung jawab terhadap pilihan finalnya. Hal ini dapat meningkatkan probabilitas mereka untuk memenuhi komitmennya dan melaksanakan permintaan yang sudah disetujuinya.

Secara singkat, menggunakan metode ini, seorang negosiator dapat berhasil dalam dua skenario: baik ketika tuntutan yang besar disetujui atau bahkan jika tuntutan yang lebih rendah dimaklumkan setelah penolakan awal.

Kelemahan Teknik "Rejection-Then-Retreat"

Meskipun memiliki efektivitas tersendiri, metode ini tetap memiliki potensi risiko serta keterbatasan. Salah satunya adalah ketika tuntutan awal terlalu tinggi, hal tersebut dapat dipandang sebagai penghinaan atau paksaan oleh pihak lain.

Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Schwarzwald, Raz, dan Zvibel pada tahun 1979 mengindikasikan bahwa metode DITF dapat berbalik menjadi negatif bila terdapat kriteria spesifik dalam mengevaluasi apakah suatu tuntutan awal rasional atau tidak. Singkatnya, jika individu tersebut sadar bahwa tuntutannya sangat tinggi sampai-sampai tak masuk akal, dia mungkin akan merasa tersinggung dan justru menolak tawaran tambahan yang lebih rendah.

Kesuksesan metode ini tergantung pada individu yang melakukan negosiasi dan orang yang menerima tawaran tersebut, selain itu juga dipengaruhi oleh maksud di balik permintaan pertama-tama yaitu apakah bertujuan untuk kebaikan bersama (prososial) atau semata-mata demi untung diri sendiri (egois). Singkatnya, pendekatan ini membutuhkan—dan dapat pula merusak—keyakinan serta iklim kerjasama positif antar kedua belah pihak.

Temuan yang dihasilkan oleh Tusing dan Dillard (2000) mengungkapkan bahwa individu yang menerapkan metode tersebut cenderung memandang interaksi itu sebagai bentuk saling membantu, daripada sebuah perundingan atau bernegosiasi. Analisis keseluruhan yang dilakukan Fealy, Anker, dan Aloei tahun 2012 semakin mendukung hasil temuan ini.

Secara keseluruhan, metode DITF berjalan efektif apabila terdapat rasa percaya di antara kedua belah pihak, tuntutan awal tetap wajar, serta setiap peserta berniat baik. Namun, bila tuntutan pertama kali sangat keras atau penegosiasi tampak egois, pendekatan tersebut dapat menghasilkan kegagalan lengkap. Pada situasi demikian, kepercayaan bisa retak, yang membuat proses negosiasi selanjutnya menjadi semakin rumit untuk mencapai sukses.

Negosiasi vs Pengelolaan Hubungan

Berikut itu, individu dapat lebih memahami alasan mengapa Donald Trump dikenal sebagai figur yang kontroversial. Meskipun dia terbukti menjadi seorang penegosiasi handal dan pasti berhasil dalam mencapai kesepakatan, namun ketika berperan sebagai duta besar, cara penyampaian pesannya cenderung merusak hubungan dibandingkan dengan membina.

Oleh karena itu, para pendukung yang berhaluan konservatif menyambut baik kesuksesan tersebut. Donald Trump Dalam konteks ekonomi, kelompok liberal merasa risih terhadap aspek-aspek sosialnya. Namun, kedua pihak ini sebenarnya sedang memandangi bagian yang sama dari masalah tersebut, lantaran keduanya cuma menumpukan perhatianannya pada efek-efek berbeda dari metode DITF yang digunakan oleh individu itu.

Faktor lain yang sama pentingnya untuk dipertimbangkan adalah bahwa bergantung pada hanya satu metode seperti door-in-the-face seringkali kurang efisien, entah itu dalam konteks politik, hubungan romantis, atau kehidupan sehari-hari. Meskipun cara ini dapat memecahkan permasalahan terkini, hal tersebut berpotensi merangsang tantangan baru di kemudian hari.

Oleh karena itu, sangatlah krusial untuk menggunakan pendekatan yang seimbang dan bijak saat melakukan persuasi, ini tidak hanya berdampak pada kesuksesan individu tetapi juga dalam pembentukan hubungan jangka panjang.