Kejagung Temukan Bukti Baru yang Lebih Parah,Premium Disulap Seharga Pertamax

Para tersangka kasus korupsi dalam pengelolaan minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga dari tahun 2018 hingga 2023 menyebabkan kerugian besar bagi negara.

Bukan hanya negara yang dirugikan, konsumen BBM juga merasa tertipu dan mungkin akan mengalami dampak negatif pada mesin kendaraannya karena BBM yang digunakan ternyata tidak sesuai dengan RON yang sebenarnya.

Para tersangka juga dicurigai melakukan pengoplosan bahan bakar lainnya, seperti Pertalite yang diubah menjadi Pertamax dan kemudian dijual dengan harga Pertamax.

Para peneliti tim Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan bahwa Premium dioplos dengan Pertamax. Hasil oplosannya kemudian dijual dengan harga Pertamax.

Pengumuman baru ini disampaikan oleh Kepala Penyidikan Satuan Penyidikan Kejahatan Khusus (Jampidsus) Kementerian Hukum dan HAM, Abdul Qohar dalam rilis penetapan 2 tersangka baru dalam kasus yang sebelumnya melibatkan 7 orang, termasuk nama Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.

Dua tersangka baru yang diumumkan adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan Wakil Presiden (VP) Operasional Perdagangan PT Pertamina Patra Niaga, Edward Cone.

Dalam penunjukkan tersangka ini, Kejaksaan Agung memaparkan fakta baru terkait peran mereka.

Abdul Qohar mengatakan Maya dan Edward melakukan pembelian bensin RON 90 (Pertalite) atau bensin dengan tingkat oktan lebih rendah dengan harga bensin RON 92 (Pertamax) setelah adanya perintah dari Riva Siahaan.

Diketahui, Riva Siahaan merupakan Direktur PT Pertamina Patra Niaga yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Saksi MK dan EC atas kesepakatan tersangka RS untuk membeli RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (27/2/2025).

"Mengakibatkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang," tambahnya.

Selanjutnya, Maya memerintahkan Edward untuk melakukan blending (mengcampur) dengan menggunakan bensin RON 88 (Premium) dan RON 92 (Pertamax).

Pengusaha asal Cilegon, Qohar, menyatakan bahwa pengoplosan tersebut dilakukan di terminal PT Orbit Terminal Merak.

Atas kemudian ditetapkan dua orang tersangka yaitu Muhammad Keery Andrianto Riza dan Gading Ramadan Joede.

"Saatnya tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKER dan GRJ atau yang dijual dengan RON 92," kata Qohar.

Qohar mengatakan model bisnis seperti itu tidak sesuai dan melanggar hukum.

Dia menjelaskan bahwa Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang dengan menggunakan term (pemilihan langsung) dalam jangka waktu yang lama.

Namun, metode itu tidak dilakukan oleh Maya dan Edward sehingga membuat PT Patra Niaga harus membeli minyak mentah dengan harga tinggi.

"Tetapi dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot (penunjukkan langsung) harga yang berlaku saat itu sehingga PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha atau DMUT," jelasnya.

Tak hanya itu, Maya dan Edward juga menyelesaikan persetujuan terkait kontrak pengiriman (shipping) yang diminta oleh Presiden Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi.

Persetujuan ini, kata Qohar, membuat subholding PT Pertamina itu harus membayar fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum.

"Uang pembayaran itu diberikan kepada MKAR sebagai pemilik utama PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka DW sebagai komisaris PT Navigator Khatulistiwa," jelasnya.

Cara licik dari para terdakwa ini membuat negara harus mengalami kerugian hingga Rp193,7 triliun.

"Tindakan para tersangka bertentangan dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-15/MBU/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri BUMN Nomor: PER-05/MBU/2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Milik Negara," kata Qohar.

"Kemudian bertentangan dengan TKO Nomor B03-006/PNC400000/2022-S9 tanggal 5 Agustus 2022 tentang Perencanaan Material Balance dan Penjadwalan Impor Produk Bahan Bakar Minyak," lanjutnya.

Akibat perbuatannya, Maya dan Edward dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 bersamaan dengan Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersamaan dengan Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Kedua tersangka itu kini telah ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari mulai tanggal 26 Februari hingga 17 Maret 2025.

Pertamina Bantah Pertamax Dioplos

Sebelumnya, PT Pertamina Patra Niaga menyangkal bahwa Pertamax yang dijual di SPBU telah dicampur dengan Pertalite.

Mars Ega Legowo Putra, Pelaksana Tugas Harian (PTH) Dirut Pertamina Patra Niaga, menyatakan bahwa produk BBM seperti Pertamax telah memenuhi spesifikasi yang ditetapkan.

"Dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang berlangsung, izin kami menjelaskan isu yang berkembang di masyarakat, terutama tentang kualitas BBM RON 90 dan RON 92," kata Ega dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI di Gedung DPR RI, Rabu (26/2/2025).

"Kami berkomitmen dan kami berusaha memastikan bahwa yang dijual di SPBU untuk RON 92 sesuai dengan RON 92, yang RON 90 sesuai dengan RON 90," katanya.

Ega mengatakan pihaknya menerima pasokan BBM dari dua sumber, yaitu kilang domestik dan impor dari luar negeri.

Sumber tersebut menyatakan bahwa pasokan tersebut telah diterima dalam bentuk akhir tanpa perlu dilakukan pengolahan tambahan dan sudah memenuhi standar yang telah ditetapkan.

"Kami menerima itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak dalam bentuk RON lainnya. Jadi, untuk Pertalite kita sudah menerima produk, baik dari kilang maupun dari luar negeri, itu adalah bentuk RON 90," kata Ega.

"Untuk 92 juga sudah dalam bentuk RON 92, baik dari kilang Pertamina maupun impor dari luar negeri," tambahnya.

Kendati demikian, Ega mengakui bahwa pihaknya melakukan proses tambahan berupa pemberian zat aditif pada BBM jenis Pertamax.

Selain itu, tambahannya, juga ada proses penambahan warna untuk membedakan setiap jenis BBM yang dijual di SPBU.

Di Patra Niaga, kita menerima di terminal itu dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON.

"Tapi untuk Pertamax, kita menambahkan aditif. Jadi di sana ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna," ujar Ega.

Dia menegaskan proses tambahan tersebut adalah hal biasa yang dilakukan dalam industri minyak dan gas untuk meningkatkan nilai produk dari produk aslinya bukan meningkatkan kandungannya.

Proses ini adalah proses injeksi pengadukan. Proses pengadukan ini adalah proses yang umum dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair.

"Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuan kami adalah untuk meningkatkan nilai dari produk tersebut," ujar Ega.

Konsumen Kecewa

Polemik tentang bahan bakar minyak (BBM) Pertamax yang dicampur dengan Pertalite membuat beberapa konsumennya kecewa.

Bachtiar (27), salah satu warga Cipayung, Jakarta Timur, mengaku kaget ketika mendengar kabar tersebut.

"Sudah pasti ada kekhawatiran, karena niat kita pengendara mau beli Pertamax untuk mesin lebih bagus. Tapi kalau kenyataannya seperti ini, sudah rugi," ujar Bachtiar kepada Tribunnews.com, Rabu (26/2/2025).

Dia mengatakan dengan adanya insiden ini, artinya selama ini kendaraan yang digunakan tidak sepenuhnya menggunakan bahan bakar Pertamax.

"Sudah banyak sekali masalah dalam pengelolaan BBM oleh Pertamina bukan hanya ini saja. Jadi saya merasa makin kurang percaya, seperti membeli Pertamax sama saja dengan membeli Pertalite, cuman bedanya tidak perlu menunggu antrian saja," ucapnya.

Bachtiar mengaku telah menggunakan Pertamax sejak tahun 2019. Namun, hal ini membuat dirinya menjadi korban dari kasus yang diungkap.

"Menurut saya, Pertamina harus mengambil sikap tidak hanya berbicara biasa-biasa saja. Misalnya ganti rugi, karena masalah ini melibatkan hak konsumen yang ternyata telah dirugikan akibat permainan para koruptor ini," ujarnya.

Ia juga mengatakan hal yang sama dengan Iman Kurniawan (46). Dia menyebut apa yang dilakukan oleh oknum Pertamina ini merupakan perbuatan yang keji.

Dia merasa tertipu selama menggunakan Pertamax sebagai bahan bakar untuk kendaraannya.

Padahal, katanya, dia mengganti bensin kendaraannya dari Premium ke Pertamax karena merasa tidak pantas untuk mendapatkan subsidi.

"Saya pikir itu sangat merugikan masyarakat sekali. Apalagi itu dilakukan oleh orang nomor satu Pertamina sendiri. Itu sudah sangat sangat keji kalau saya katakan," ujarnya.

Masyarakat Bisa Menggugat

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengatakan, masyarakat Indonesia yang merupakan konsumen dari PT Pertamina bisa menggugat dan meminta ganti rugi jika Pertamax yang beredar terbukti adalah Pertalite hasil oplosan.

Hal ini terkait dengan temuan dan dugaan sementara dari Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada tahun 2018-2023.

"Konsumen atau masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam perundang-undangan, salah satunya dapat secara bersama-sama karena mengalami kerugian yang sama," kata Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (26/2/2025).

Mufti menyampaikan, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pemerintah atau instansi terkait juga harus turut serta melakukan tuntutan ganti rugi karena kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit.

Menurutnya, jika dugaan oplosan ini benar maka para tersangka telah menghilangkan hak konsumen, yaitu hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan.

"Konsumen dijanjikan bensin RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, tapi malah mendapatkan bensin RON 90 Pertalite yang lebih rendah," kata Mufti.

Tindakan para tersangka juga diduga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

“Dalam kasus ini, diduga konsumen telah mendapatkan informasi yang palsu dan menyesatkan karena label RON 92 pertamax yang dibayarkan, tetapi ternyata mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah,” ujarnya.

Untuk mengikuti siasatannya, BPKN akan segera mengundang Direktur Utama Pertamina untuk memberikan klarifikasi atas dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi. Selanjutnya, BPKN juga akan segera melakukan pengujian sampling terhadap Pertamax yang saat ini beredar di SPBU.

“BPKN bersama Pemerintah (Kementerian ESDM dan BUMN) akan membentuk tim kerja bersama yang melibatkan stakeholder terkait untuk melakukan mitigasi, penyuluhan informasi kepada masyarakat dan aktivasi mekanisme pengaduan konsumen bagi yang mengalami kendala akibat kejadian ini,” kata Mufli.

(RB News) (Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti) (Kompas.com/Shela Octavia, Novianti Setuningsih)