Penolakan MBG di Papua Pegunungan Meluas, Ini Alasannya
RB News, JAYAWIJAYA – Aksi protes menolak program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di Papua Pegunungan. Kali ini, protes ini disampaikan oleh siswa sekolah dari berbagai tingkatan untuk mewakili delapan kabupaten di Wamena, Jayawijaya, ibu kota Provinsi Papua Pegunungan.
Saksi mata mengatakan kepada Republika bahwa aksi dimulai di depan Istana Bupati Jayawijaya pada Senin pagi waktu setempat. Dari lokasi itu, para peserta aksi yang terdiri dari ratusan siswa dari SD hingga perguruan tinggi dikawal keamanan bergerak ke Istana Gubernur Papua Pegunungan.
Peserta aksi dikatakan mewakili delapan wilayah di Papua Pegunungan, yaitu Jayawijaya, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Nduga, Pegunungan Bintang, Tolikara, Yalimo, dan Yahukimo. Meski demikian, ada juga kejadian penolakan program Bantuan Langsung Masyarakat (MBG) di beberapa wilayah tersebut.
“Intinya mereka menyatakan menolak makanan gratis dan membutuhkan pendidikan gratis untuk masa depan anak-anak Papua,” kata Theo Hesegem, aktivis HAM senior Papua. Para pengunjuk rasa kemudian diterima Gubernur Papua Pegunungan.
“Gubernur menyatakan akan membawa aspirasi murid di Papua Pegunungan ke pemerintah pusat,” kata Theo. Menurutnya, aspirasi itu akan dikawal Majelis Rakyat Papua (MRP), serta DPR di kabupaten dan provinsi Papua Pegunungan. “Saya juga nanti dari LSM dan aktivis HAM akan mengawal aspirasi tersebut.
Aksi kemarin yang keempat kalinya dilakukan di Papua Pegunungan. Wilayah tersebut adalah salah satu pusat konflik bersenjata di Papua antara kelompok separatis dan TNI-Polri. Beberapa pekan lalu, ratusan pelajar melakukan aksi unjuk rasa di Yahukimo.
Dalam seruannya, orator pada unjuk rasa tersebut memprotes bahwa sekolah seharusnya mengutamakan pendidikan. “Sekolah bukan warung makan.” ujar salah satu pengunjuk rasa. Dalam spanduk yang dibentangkan, tertulis bahwa aksi unjuk rasa dilakukan “Aliansi Pelajar Yahukimo”. Ada juga bentangan spanduk dengan tulisan “Gratis Makan, Mati Gratis”.
Orang yang berbicara juga meminta penyempurnaan pendidikan di Pegunungan Papua sebelum program MBG dijalankan. Tidak rahasia lagi, kualitas sekolah-sekolah di kebanyakan wilayah di Papua pedalaman jauh tertinggal dengan sekolah-sekolah di wilayah lain di Indonesia.
Theo Hesegem menilai penolakan itu ada benarnya. "Mereka (penolak) berpikir lebih baik sekolah gratis dari pada makan gratis," katanya.
Ia menyatakan bahwa biaya sekolah di Papua di pegunungan tidak murah. Ia juga menjelaskan bahwa kondisi ekonomi di Jawa jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi ekonomi di pedalaman Papua untuk menerapkan program makan gratis. “Di sini Rp 15 ribu tidak cukup, tidak bisa memenuhi apa-apa,” kata Theo. Makanan bergizi di Jawa mungkin tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak Papua.
Kebijakan MBG juga ia pastikan memicu ketidakadilan dan kecemburuan di Papua. “Di wilayah Papua ini, wilayah yang sulit dijangkau. Makanan gratis hanya berlaku di kota. Jika di wilayah terpencil tidak mungkin.”
Ia mencontohkan, di Yahukimo ada 51 distrik dengan 517 kampung. Untuk bepergian dari satu kampung ke kampung lainnya seringkali harus menggunakan pesawat. "Jadi, jika Pemkab Yahukimo memiliki pesawat pribadi, mungkin baru bisa."
Salah satu isu lainnya adalah implementasi di daerah konflik. Di beberapa wilayah yang terlibat konflik, bahkan anak-anak tidak bisa masuk sekolah. “Di Nduga semua sudah mengungsi keluar, sekolah tidak berjalan dan aksesnya sulit. Banyak yang sudah di Wamena.” “Pertama-tama selamatkan dahulu baru melaksanakan program makanan gratis. Masih banyak anak-anak yang mengungsi.”
Persoalan selanjutnya, selama ini yang melaksanakan program MBG adalah personel TNI-Polri. “Jika TNI-Polri yang mengelola, anak-anak di daerah konflik akan merasakan trauma. Kecuali jika orang-orang yang benar-benar independen yang mengelola program makanan gratis atau sekolah yang mengelola bisa.”
Akhirnya kata Theo, penolakan MBG ini terkait dengan kurangnya komunikasi antara pusat dan aktor-aktor di daerah. "Pertemuan harus banyak dilakukan dengan warga setempat. Tanya masyarakat, mahasiswa mau seperti apa. Mungkin karena tidak ada sosialisasi, pemahaman tidak disampaikan sehingga mereka menolak," ujar direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua tersebut.
Gabung dalam percakapan