Cerita di Balik Lukisan "Siti Maryam", Hadiah Megawati untuk Paus Fransiskus

Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, memberikan hadiah istimewa untuk Paus Fransiskus, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Dunia.
Hadiah berupa lukisan berjudul "Siti Maryam" diserahkan saat Megawati dan Paus bertemu di Istana Apostolik, Vatikan, Jumat (7/2/2025) sore waktu setempat.
Megawati dan Paus Fransiskus hadir dalam forum Summit Pemimpin Dunia untuk Hak Anak di Vatikan.
Lukisan berukuran 90x145 cm itu menampilkan Bunda Maria dalam pakaian kebaya berwarna merah, kain jarik berwarna coklat, serta kerudung putih.
Bunda Maria yang menempatkan tangan di samping dan menaikkan telapak tangan ke atas tampak berdiri di atas bunga melati.
Di atas kepala Bunda Maria tampak ada lingkaran halo, simbol keilahian dan kesucian yang dilambangkan dengan cahaya terang yang melingkar di atas kepala orang suci.
Lukisan "Siti Maryam" merupakan karya F Sigit Santoso, seorang pelukis asal Ngawi, Jawa Timur yang sekarang tinggal di Yogyakarta.
Lantas, apa makna yang terkandung dalam karya seni tersebut?
Proses pembuatan lukisan "Siti Maryam"
Sigit Santoso menjelaskan bahwa proses pembuatan lukisan "Siti Maryam" itu tergolong sangat singkat.
"Karya mendadak, tanpa persiapan juga. Total waktu pengerjaan tidak sampai 2 minggu" ujarnya kepada Kompas.com via sambungan telepon, Senin (10/2/2025).
Awalnya Sigit merasa ragu, apakah mampu menyelesaikan pesanan itu dalam waktu yang begitu singkat.
Karena setiap kali menerima pesanan lukisan, dia biasanya membuat sketsa gambar digital terlebih dahulu. Ide itu kemudian disampaikan ke si pemesan untuk mendapatkan persetujuannya.
Menggambar di atas kanvas menggunakan cat air.
Diketahui bahwa cat minyak memiliki kecenderungan mengering lebih lama dibandingkan dengan cat akrilik yang banyak digunakan oleh perupa modern.
Makna di balik baju kebaya merah dan kerudung putih
Sigit menggambar Bunda Maria berkebaya merah, mengambil inspirasi dari lukisan Bunda Maria Jawa milik Basoeki Abdullah.
"Tapi saya terbiasa melukis dengan membuat tanda-tanda khas, itulah yang saya jadikan pembeda dari karya Basoeki Abdullah," katanya.
Bunda Maria diberi kerudung, penutup kepala yang menurut Sigit merupakan akulturasi penutup kepala yang digunakan oleh umat Muslim, juga yang digunakan oleh para suster di masa lalu.
"Mereka lebih nasionalis," ucap dia.
Karena Megawati menuntut lukisan ini "berbau" Jawa, maka kerudung seperti itu dipadankan Sigit dengan kebaya kutu baru, busana yang biasanya dikenakan wanita Jawa pada zaman dulu.
"Karena yang ingin saya tunjukkan adalah masalah-masalah yang terkait dengan Indonesia, jadilah perpaduan warna merah dan putih (kerudung dan kebaya). Di mana orang Jawa menyebutnya 'gulo-klopo', kerudung putih adalah simbol kesucian, dan baju merah bagian dari ketegasan dan keberanian," ujar Sigit.
Menonjolkan cinta kasih
Di depan dada Bunda Maria, diletakkan sebuah simbol hati yang suci, yang merupakan lambang kasih, meski terluka.
Hal yang menarik di lukisan ini adalah perubahan motif kain jarik yang ada.
Pertama-tama, Sigit memilihkan motif parang. Namun, Megawati tidak ingin sesuatu yang terlalu menggambarkan perlawanan atau perang, seperti yang tampak pada motif parang.
Hingga motif jarik pun diubah menjadi truntum corak kontemporer, yang melambangkan kasih sayang dan cinta yang melindungi dan selalu tumbuh.
"Ibu Megawati lebih memilih lukisan yang menceritakan soal cinta kasih," ujar Sigit.
Jadi selain mengganti corak kaos kaki, Sigit juga mengganti simbol ular di bawah kaki Bunda Maria menjadi kuntum-kuntum melati.
Jika kaki di atas ular melambangkan keberanian melawan kebatilan, bunga melati lebih menggambarkan perasaan cinta.
Selain itu, bunga melati juga melambangkan penghormatan kepada perempuan, selain menjadi bunga yang khas di Indonesia.
"Melati juga simbol negara, berbau sangat nusantara, jadi saya memilih melati dibandingkan dengan bunga-bunga lain yang juga bisa mewakili Bunda Maria," ungkap Sigit.
Secara keseluruhan, lukisan "Siti Maryam" diharapkan dapat menyampaikan cinta kasih yang terus-menerus tumbuh meskipun menghadapi kesedihan, seperti yang tercermin dalam sosok Bunda Maria.
Sigit berkata, "Maria Jawa harus diawali dengan kata Siti," pungkasnya.
Biografi F Sigit Santoso
Pelukis beraliran realis ini lahir di Ngawi pada tahun 1964. Pada tahun 1993, ia melanjutkan pendidikannya di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta.
Sigit Santoso aktif dalam pameran bersama dan telah menggelar dua kali pameran tunggal.
Di Edwin's Gallery, Jakarta pada tahun 2023, dan di galeri yang sama pada tahun 2005.
Beberapa penghargaan sudah diraih Sigit Santoso, di antaranya adalah:
Gabung dalam percakapan