Perusahaan milik Keuskupan Maumere gusur ratusan rumah warga adat– 'Kami tidak menyangka gereja bisa melakukan ini'

Ratusan keluarga dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai memilih tetap tinggal di atas reruntuhan bangunan yang hancur yang dibongkar oleh PT Kristus Raja Maumere pada beberapa waktu lalu.

Mereka mendirikan "rumah darurat" yang terbuat dari seng dan atap terpal untuk melindungi tanah ulayat mereka.

"Saya masih tinggal diungsian rumah itu, kami bertahan, karena kami pantai nan hak ulayat, kami tidak takut bila preman itu kembali mendatangi kami," ujar Kepala Suku Soge, Ignasius Nasi.

Penggusuran ini merupakan konsekuensi dari sengketa lahannya yang berlangsung selama beberapa tahun antara masyarakat adat dan pihak Keuskupan Maumere.

Direktur Utama PT Kristus Raja Maumere, Romo Epy Rimo, mengibarakannya sebagai "pembersihan" sebab pihaknya telah menguasai hak mengelola lahan tersebut untuk pengembangan perkebunan kelapa.

Upaya 'pembersihan' itu, katanya, akan terus dilakukan dalam waktu dekat.

Mengulas persoalan ini, Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau, Konferensi Waligereja Indonesia, Bapak Marten Jenarut, mengatakan prinsip bisnis dalam gereja harus tetap diatur di dalam kerangka mendukung martabat gereja sebagai lembaga agama.

"Pada dasarnya ajaran sosial gereja menempatkan keadilan, kesejahteraan sosial, solidaritas, martabat manusia, dan keutuhan ciptaan pada posisi yang tinggi," ujar Romo Marten.

Kita terkejut gereja bisa melakukan hal ini'

Jejak penggusuran yang terjadi di Desa Nangahale pada Selasa (22/01) lalu masih terasa terasa menyakitkan bagi ratusan keluarga dari Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai.

Rumah yang mereka bangun dengan banyak penderitaan selama bertahun-tahun hancur runtuh oleh beberapa mesin excavator secara tak berbelas kasihan.

Demikian pula kebun yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Kepala Suku Soge Natarmage, Ignasius Nasi, mengatakan sekitar ratusan penduduk—lebih banyak para ibu—telah sempat melihat alat berat yang rencananya akan menghancurkan rumah-rumah mereka.

Mereka mencegah excavator datang mendekat sambil melawan keras dan berteriak: "Apakah ini apa yang mereka lakukan?"

Namun apa daya, kekuatan, dan jumlah mereka sangat jauh di bawah.

Karena ada bukan hanya alat berat yang datang, tetapi juga ratusan orang yang diduga dari PT Kristus Raja Maumere membawa ikat kepala sambil membawa parang, palu, dan linggis.

Sejumlah orang yang tidak jelas identitas memaksa warga keluar dari rumah dan mengambil benda-benda dari kebun mereka dengan paksa.

Menurut Ignasius, para petugas dari TNI-Polri dan Satpol PP juga berada di lokasi untuk mengawal proses penggusuran.

Sekitar seminggu setelah peristiwa itu, lebih dari ratusan keluarga masih tinggal di tempat yang sama, tapi kali ini di antara sisa-sisa hunian yang hancur.

Mereka mendirikan 'rumah darurat' yang terbuat dari seng dan dimuliakan dengan terpal untuk melindungi tanah warisan mereka.

Ignasius berkata, "Kami masih tinggal di rumah yang dulunya sudah dibebaskan oleh kami, kami bisa bertahan karena kami memiliki tanah adat kami, kami tidak pernah merasa takut meski preman akan datang kembali.

Saat BBC News Indonesia tiba di lokasi, sejumlah warga tampak tanpa keberatan menggali barang-barang yang masih bisa digunakan, sementara sebagian lagi sedang memasak di dekat rumah yang telah hancur.

Ignasius mengatakan ratusan keluarga itu telah tinggal di lokasi bekas HGU tersebut sejak tahun 2014, tepatnya saat kontrak HGU yang dimiliki Keuskupan Agung Ende berakhir.

Karena mereka menganggaplah tanah itu sebagai warisan dari leluhur mereka.

"Itu merupakan tanah warisan leluhur dari turun-temurun, sehingga kami kembali tinggal di sini," jelas Ignasius.

Mereka mendirikan rumah dan menanam berkebun di lahan yang ada di Desa Nangahale ini.

Jumlah kepala keluarga mencapai 150 yang bekerja sebagai petani.

Konflik mulai terjadi ketika PT Kristus Raja Maumere, sebuah perusahaan yang dimiliki oleh Keuskupan Maumere, ingin melanjutkan kontrak penggunaan tanah yang sudah telah mereka terima.

Menurut ingatan Ignasius, sejak Desember tahun 2023 telah ada sekitar tiga kali upaya untuk mengusir dan penolakan dari penduduk lokal terhadap setiap upaya tersebut telah terjadi.

Penggusuran terakhir mereka Minggu lalu adalah puncak kekecewaan mereka.

Imbasnya hubungan warga dengan gereja semakin renggang. Bahkan masyarakat setempat merasa tidak nyaman untuk beribadah di gereja.

Ada perasaan sesal dan sakit hati karena "Yesus Kristus tidak pernah mengajarkan perbuatan seperti ini," ujar Ignasius.

Tidak terduga, kami kaget karena gereja mampu melakukan ini. Bangunan rumah kami rusak, tanaman terusak, dan sumur air tertutup semua.

Kami tidak bisa pergi ke gereja saat ini, tapi kami tidak bisa melepaskan diri dari ajaran agama.

Anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka, John Bala, mengatakan penggusaran pekan lalu itu memang terjadi di beberapa tempat: dua rumah di Utan Wair, lebih dari seratus unit di Pedan, Desa Nangahale dan lima unit lainnya di Wair Hek, Desa Likong Gete.

Jika dijumlahkan maka ada 450 orang yang terdampak.

Bagaimana silsilah tanah ini?

John Bala, Anggota Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Sikka, mengatakan bahwa masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai sudah tinggal di wilayah Desa Nangahale dan sekitarnya sebelum bangsa Belanda menguasai daerah tersebut pada tahun 1912.

Hal itu membuktikan beberapa catatan sejarah dari gereja Katolik di NTT dan Maumere.

Dokumen tersebut menyebutkan ada tiga stasi utama dalam Misi Dominikan di daerah Maumere, yaitu Sikka, Paga, dan Krowe.

Dalam Peta Stasi Misi dari zaman Dominikan yang dibuat oleh B.J.J. Visser, Stasi Krowe ditempatkan di sekitar Nangalili –sekarang adalah lokasi konflik HGU dengan PT Kristus Raja Maumere.

"Jadi keyakinan sudah ada bahwa itu adalah tanah leluhur suku Soge dan Goban Runut," ujar John Bala kepada BBC News Indonesia, Senin (27/01).

"Dan semestinya mereka menerima tanah itu sebagai kewajiban pemerintah untuk mengabdi bagi kepentingan komunitas adat dan petani yang tidak memiliki tanah," katanya.

John kemudian merujuk pada dokumen permohonan pengajuan HGU yang diajukan oleh PT Kristus Raja Maumere tanggal 3 November 2013.

Terdapat pernyataan pada situs itu, pada tahun 1912 terbitlah keputusan resmi dari pemerintah kolonial Belanda yang memberikan ijin kepada perusahaan Amsterdam Soenda Compagny—yang berada di Amsterdam—to hijaukan 1.438 hektare untuk tanaman kapas dan kelapa.

Namun perusahaan ini dikabarkan terus berkekurangan uang karena ladang kapasnya sering dibakar oleh penduduk.

Karena situasinya seperti itu, pada tahun 1926 perkebunan tersebut dijual oleh perusahaan Belanda kepada Vicariat Apostolik Besikendonu Hilir atau Keuskupan Agung Ende seharga 22.500 gulden.

Pada tanggal 10 Mei 1926, Perjanjian Jual Beli dibuat dengan akte penyerahan di hadapan Asisten Residen Flores, Karel Christian van Haaster.

Selanjutnya pada tahun 1956, Keuskupan Agung Ende mengajukan permohonan kepada pemerintah Sikka untuk mengembalikan kembali sebagian tanah yang dikonsesikan sepanjang 783 hektare di Nangahale dengan alasan: telah diduduki dan dimanfaatkan oleh rakyat.

Tapi sisa apsarinya masih dikelola oleh Keuskupan Agung Ende.

Seusai kemerdekaan, berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria, pemerintah menetapkan perkebunan tersebut sebagai Hak Guna Usaha (HGU) melalui Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan nomor 4/HGU/89 tanggal 5 Januari 1989.

Uskup Agung Ende kemudian mengajukan pertanahan Hak Guna Usaha (HGU) atas perkebunan Nangahale seluas 879 hektare, dan permohonannya disetujui.

Penerima HGU ini adalah perusahaan yang didirikan Keuskupan Agung Ende, yaitu PT Perkebunan Kelapa Dioses Agung Ende, dengan waktu yang berlangsung selama 25 tahun dan akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2013.

Ketika Keuskupan Maumere memutuskan untuk berpisah dari Keuskupan Agung Ende, hak konsesi PT Perkebunan Kelapa Dien ini diwajibkan kepada PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) di bawah naungan Keuskupan Maumere.

Pada tahun 2013—sebelum masa HGU PT Diag berakhir—PT Kristus Raja Maumere mengajukan permohonan pengajuan ulang HGU kepada Kementerian ATR/BPN.

Tapi, usulan itu ditunda karena adanya keberatan dari masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut yang menegaskan bahwa mereka telah menguasai lahan tersebut.

"Menurut silsilah itu, tanah HGU PT Kristus Raja Maumere berasal dari tanah masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut. Tanah ini diambil oleh Belanda dahulu kemudian disewakan kepada perusahaan Belanda," kata John.

dan kemudian dijual kepada misi gereja Katolik pada saat itu.

Kala itu, hukum kolonial Belanda diberlakukan dengan tidak mengakui sama sekali hak-hak masyarakat setempat.

Perjuangan merebut tanah adat

Merebut kembali daratan Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai merupakan momentum yang apresiatif dari perjalanan masyarakat adat mereka.

Pertandageh peralawanan telah ada sejak tahun 1912.

tanah HGU di Nangahale.

Setelah satu bulan, terdapat tujuh warga yang ditangkap karena didakwa mencuri asam di sebuah petempatan HGU. Namun beberapa hari kemudian mereka bebas karena dorongan masyarakat secara massal dan LSM.

Tahun-tahun setelah itu, masyarakat Soge Natarmage bergabung dengan masyarakat Tana Ai dan komunitas lain untuk melaksanakan aksi demonstrasi di DPRD Kabupaten Sikka.

Mereka tidak gentar atas larangan dari pemerintah daerah maupun keuskupan yang melarang pembukaan ladang di dalam kawasan hak guna usaha.

Pada November 2015, perwakilan dari masyarakat adat Soge Natarmage dan Goban Runut berangkat ke Jakarta untuk bertemu pejabat dari Kementerian ATR/BPN. Tujuan mereka adalah untuk memberitahu nasib mereka dan menuntut hak-hak sebagai penghuni asli tersebut.

John Bala mengatakan mengenai perjalanan lima hari itu yang ia jalani dengan biaya sendiri.

Sesampainya di Jakarta, mereka bertemu dengan pihak tim LSM dan departemen eksekutif. Pejabat tersebut menyampaikan permohonan untuk melakukan audit ulang Status Gunawan Usaha Penelitian PT Kristus Raja Maumere.

Kementerian menurut klaim John, juga memerintahkan Kepala Kantor BPN Provinsi NTT untuk mengadakan investigasi kembali lahan bekas Hak Guna Usaha yang diajukan PT Kristus Raja Maumere.

Berkata, meminta kembali pertemuan dengan perusahaan dari kayu.

"Namun, dialog itu tidak pernah dilakukan sampai ada penerbitan izin hak guna usaha," kata John.

Kedatangan penduduk modern tidak berhasil mengakhiri perlawanan masyarakat adat.

Bermacam-macam kali mereka menghalangi aparatur dan Satpol PP untuk melakukan pengukuran dan pemasangan tiang penanda batas oleh PT Kristus Raja Maumere bersama petugas kementerian ATR/BPN di lokasi.

Mereka juga memblokir pejabat Badan Pertanahan Nasional NTT yang hendak melakukan pemeriksaan tanah sebagai syarat keluarnya HGU.

Meskipun penerbitan HGU baru untuk PT Kristus Raja Maumere akhirnya tetap keluar pada 20 Juli 2023 dengan luas 325.682 hektare.

Pada 29 Juli 2024, masyarakat menentang kebijakan pembersihan lahan dengan cara merusak plang yang berukiran 'Tanah ini Milik PT Krisrama, Keuskupan Maumere'.

Dipelaporan tersebut, sembilan orang diidentifikasi oleh kepolisian sebagai tersangka.

Prosedur persidangan masih berlangsung hingga saat ini di Pengadilan Negeri Maumere.

Sialnya, ungkap John, di pengadilan yang berlangsung pada Selasa (22/01), dengan agenda membaca eksepsi kedelapan terdakwa, perusahaan menggusur rumah-rumah penduduk.

"Kampanye untuk menghentikan penggusuran itu agak tertentu kelambat karena sebagian besar penduduk datang ke pengadilan untuk memberikan dukungan," kata John.

Mereka baru bisa melakukan perlawanan agar efisien pada sore hari, ketika mereka kembali ke desa mereka yang berjarak 30 kilometer.

Sementara itu yang tinggal di kampung, hanya jalan kaki, adalah orang tua, istrinya, dan anak-anaknya.

Apa yang akan dilakukan oleh masyarakat?

Masyarakat adat Suku Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai, menurut John Bala, mengatakan bahwa SK HGU Nomor 01/BPN.53/7/2023 tentang Pembaharuan HGU PT Krisrama di Nangahale "salah secara administratif" karena tidak memenuhi syarat.

"Pertama, pihak Jalan Tol Sergaruntak meminta pihak weh presenting,.dtgsatau lazim disebut kontraktor, menyampaikanrestrial,dtgs yang ditunjuk untuk mengerjakan proyek mereka ini," jelasnya.

Oleh karena itu, lanjut sapa warga, mereka akan tetap tinggal di lokasi sementara menempuh langkah-langkah selanjutnya.

Salah satu contoh, mengajukan keberatan terhadap Kementerian ATR/BPN yang telah mengeluarkan Surat Keterangan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Krisrama.

Apabila atas tanah yang diberikan HGU (Hak Guna Usaha) terdapat masalah, kepemilikan, penguasaan pihak lain kemudian maka PT Krisrama wajib menyelesaikan masalah tersebut menurut ketentuan yang berlaku.

Lalu, diktum sepuluh menyebutkan "pejabat yang berwenang dapat mencabut izin HGU bila pemegang hak tidak memenuhi syarat yang ditetapkan dalam diktum keenam".

Untuk membuktikan ada masalah dalam HGU, kata John, mereka akan mengungkapkan semua kejadian yang telah terjadi, termasuk upaya untuk meminta seseorang驱alih ke tempat lain.

Pembersihan atau penggusuran tidak dilakukan melalui mekanisme peraturan yang berlaku. Penggusuran hanya bisa dilakukan setelah ada perintah eksplisit dari pengadilan setelah proses perdata.

Jadi enggak bisa digusur karena sudah diberikan peringatan di gereja, pemberitahuan oleh pemerintah daerah, dan surat peringatan lainnya.

Ia berharap bahwa dengan bukti-bukti tersebut, pemerintah akan menyatakan Keluarnya Surat Keterangan Hak Guna Tanah.

Adapun upaya itu akan dilaksanakan dalam waktu dekat sementara mengumpulkan data-data di lokasi tersebut.

Apa kata perusahaan dan Komisi Wikileaks Indonesia.

Direktur Utama PT Kristus Raja Maumere, Frater Epy Rimo, menyebut penggusuran itu sebagai "pembersihan" karena pihaknya telah mendapatkan hak untuk mengelola tanah tersebut untuk pengembangan perkebunan kelapa seluas 325 hektare yang ditandai dengan penerbitan sepuluh sertifikat tanah eks HGU.

Sehingga kata dia, usaha 'pembersihan' itu akan terus dilakukan dalam waktu dekat.

Kemudian ada satu hal yang perlu kita lakukan adalah membersihkan lokasi untuk agar bisa melakukan renovasi, karena kelapa-kelapa yang ada di sini sekarang itu, usianya sudah di atas...

"Karena itu, kita butuh revitalisasi sesuai dengan bagian dari rencana strategi pemanfaatan sumber daya alam untuk kemudian kita bisa mengembangkan kembali usaha perkebunan kelapa," prediksi Pdt. Epy.

Direktur PT Pelaksana PT Kristus Raja Maumere, Romo Robertus Yan Faroka, juga mengatakan bahwa 'pembersihan' itu telah melalui prosedur yang berlaku.

Proses tersebut dimulai dari pengumuman di gereja, pengumuman oleh pemerintah daerah, kontak pribadi, dan penyitaan identitas.

Tapi sekelompok warga yang disebut 'okupan' melupakannya. Beberapa warga, katanya, secara sukarela mengosongkan rumah-rumah mereka.

Menghadapi masalah konflik lahan ini, Majelis Uskup Katolik Indonesia (KWI) merekomendasikan masyarakat adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut-Tana Ai untuk mengajukan gugatan ke pengadilan apabila mereka rasa peruntukan lahan HGU yang diberikan kepada PT Kristus Raja Maumere atau Krisrama berada pada tingkat administrasi yang tidak valid.

Sekretaris Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau KWI, Romo Marten Jenarut, menyampaikan bahwa pilihan lain yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional agar membatalkan Hak Guna Usaha (HGU) tersebut.

Tetapi dalam hal ini, ia seperti menyiratkan bahwa KWI tidak memiliki hak apa pun.

KWI bukan atasannya Keuskupan Maumere atau Keuskupan Maumere bukan mendapatkan instruksi dari KWI itu sendiri. KWI hanya menjadi koordinator program-program tingkat keuskupan di seluruh wilayah Indonesia...

"Pihak-pihak yang terkait masalah ini adalah PT Krisrama bersama beberapa masyarakat adat. Bentuk-bentuk pilihan penyelesaian masalah selalu diawali dengan dialog dan musyawarah," kata Romo Marten Jenarut kepada BBC News Indonesia (27/01).

Meski begitu, dia menyatakan prinsip bisnis dalam gereja harus tetap dalam kerangka mendukung marwah gereja sebagai lembaga keagamaan.

"Pada prinsipnya, ajaran sosial gereja menempatkan keadilan, kesejahteraan sosial, solidaritas, martabat manusia, dan keutuhan ciptaan dalam posisi yang sangat tinggi," kata Romo Marten.

Sementara itu, Kepala Suku Soge, Ignasius Nasi, berharap pemerintah lebih berpihak pada masyarakat adat, bukan gereja atau perusahaan. Menurutnya, tugas negara adalah sebagai penjaga perlindungan bagi penduduknya.

Wartawan Arnold Welianto di NTT berkontribusi pada laporan ini.