Gembok Awan dan Pagar Laut, Ide Kreatif yang Kelewat Batas

Kadang, pagar laut tidak hanya melindungi dari abrasi, tapi juga menguji kebijaksanaan kita. Jangan biarkan ide gila menjadi penghalang impian besar kita.
Di sebuah desa pantai, pagi hari ini terasa beda. Bukan karena matahari terbit di arah barat, tetapi karena sebuah pagar dari kayu damar laut yang kini berjalan di sepanjang bibir pantai. Pagar laut! "Mungkin ini filosofi baru," pikir seorang nelayan tua, "bahwa kebebasan alam ternyata hanya sebatas garis biaya."
Diperkirakan, biaya pagar laut sangat menguras dompet karena mahalnya bahan baku yang digunakan. Bahan utamanya adalah kayu mewah, yaitu jawawut, lain pulalah bahan dari kayu ulin, meranti, dan damar laut.
Seorang nelayan muda yang sedang mengganti jaringnya berkata, "Rupanya ini untuk mencegah abrasi. Namun bagaimana mungkin, sih, yang hilang malah isi perut kita?" Semua lelaki sexteru tertawa ringan, walaupun wajah-wajah mereka sedikit gelisah.
Seorang pejabat desa datang dengan wajah berseri, seolah-olah matahari pagi yang cerah tapi hanya tampak di luar. "Pagar ini simbol modernisasi," katanya sambil menunjuk pagar yang kokoh. Salah satu nelayan dengan santai melawannya, "Modernisasi itu apa, Pak? Apa itu batasan baru untuk keadilan yang makin sempit?"
Pejabat itu hanya tersenyum selembut kertas, sebelum seorang nenek nelayan memotong, "Jika ini memang proyek besar, di mana dokumen penilaiannya? Jangan-jangan objeknya hanya 'Amandemen untuk Dominasi Laut, bukan untuk Nelayan.'" Iri hati pecah di tengah rapat itu, tapi pejabat tetap berdiri berdiam-diam seperti pohon kelapa yang menunggu dirontoknya dedaunnya.
Sore itu, para nelayan berkumpul di warung kopi. Mereka mulai membuat teori-teori tidak masuk akal. Mereka bingung harus sekadar ke mana saja untuk berbicara. "Pagar ini seperti feed Instagram," celetuk seorang anak muda, "Kelihatan estetik, tapi menyebabkan kita terlempar dari feed kehidupan." Yang lain tertawa keras.
"Mungkin, pagar ini proyek rahasia untuk membuat kolam renang terbesar di dunia, atau spesies ikan duyung langka," kata salah satu dari mereka. "Meskipun demikian, sayangnya, nelaya kita tidak dapat masuk!" Semua tawa makin keras. Bahkan penjual kopi terdekat hampir menewaskan gelasnya karena tertawa.
Di tengah tawa, seorang nelayan tua berdiri tenang, seperti sosok bijak. "Anak-anak," katanya, "laut itu seperti panggung drama pada satu waktu. Namun bisa jadi panggung sandiwara pada waktu lainnya. Kami, nelayan hanya figuran. Pemodal besar sutradaranya, dan penonton... yaitu kami pula. Jadi, jika negara dibelenggu pagar laut, maka ini merupakan komedi filosofis di pantai kehidupan", katanya sambil bersungut-seruni. Orang-orang di sana terkejut, tak paham apa maksudnya mereka. Mereka berpikir, bagaimana ini.
Belum pula terjawab pertanyaan itu, nelayan tua yang sangat dihormati itu melanjutkan, "Tapi jangan lupa, siapa yang menulis skripnya ini? Ingat, Tuhan tidak pernah tidur! Jadi jangan takut, cerita ini belum selesai."
Semua berhenti sejenak. Namun, seorang pemuda ceria kemudian berteriak, "Kalau begitu, marilah kita tunggu episode berikutnya: pengadaan gembok awan, supaya hujan pun bisa diatur!" Dan tertawa-tawa pun kembali memenuhi sore itu dengan suara gembira di tengah-n tenga ironi kehidupan.
Tidak ada akhirnya? Pagar mungkin tetap terletak, hanya ditahan, tidak dirusak. Tapi semangat mereka lebih kokoh dari baja. Karena hidup, bagaimanapun peliknya, masih bisa diterima dengan tawa. Dengan akal, bukan dengan perasaan.
Gabung dalam percakapan