Rahasia Hutan Larangan

Harimau Singgalang
Rahasia Hutan Larangan

Karya: Andre G Andana

 

1

                Malam itu Hujan turun sangat deras mengguyur desa Kalawa, guntur sahut menyahut diangkasa. Sesekali kilat menerangi alam, udara sangat dingin mencucuk tulang. Karena derasnya hujan air sungai Kahayan meluap membanjiri desa Kalawa. Dibawah lebatnya hujan dan cahaya kilat tampak seekor Ular hitam berukuran sebesar pohon Kelapa merayap perlahan menuju desa yang sunyi senyap sebab para penduduknya sedang terlelap tidur. Ular raksasa itu menyelinap diantara pepohonan besar menuju Kandang ternak milik penduduk, Lidahnya yang bercabang menjulur keluar berulang kali, dengan merayap perlahan Ular besar itu menuju pintu kandang. Terdengar suara mengembik berulang kali dari dalam kandang lalu senyap. Ular Hitam besar itu keluar dari kandang dengan menggigit dua ekor kambing di taringnya yang tajam. Ular itu membawa mangsanya menyusuri pinggiran sungai Kahayan, merayap di atas derasnya banjir lalu perlahan2 tubuhnya lenyap masuk ke dalam sungai bersama dua ekor Kambing hasil tangkapannya. 

Pagi2 sekali Pak Liang sudah bangun, ia berencana hendak pergi ke sawah untuk melihat apakah sawah dan ladangnya rusak akibat banjir semalam. Istrinya Nyai Amban membuat sarapan serta menyiapkan bekal untuk suaminya. 

“Hujan cukup deras semalam, aku berharap ladang kita baik2 saja bu” kata Pak Liang kepada istrinya yang sedang menyiapkan perbekalan makanan untuk suaminya. 

“Mudah2an saja tidak ada yang rusak dari tanaman padi kita pak, jika Ranying menghendaki bulan purnama depan kita bisa memanennya” jawab Nyai Amban 

“mudah2an saja bisa panen bu, aku sudah meminta beberapa orang desa untuk memanennya”

Sementara menunggu bekal siap pak Liang bersantai di teras rumah kayunya dan Seperti biasa sebelum berangkat ke ladang Pak Liang selalu mengeluarkan ternaknya dari kandang terlebih dahulu untuk diberikan makanan rumput disekitar hutan Kalawa. Namun Betapa terkejutnya Pak Liang ketika menemukan ternak miliknya telah hilang sementara pintu Kandang dibobol, ia meneliti keadaan sekitar kandang terlihat jejak besar seperti alur seekor Ular. Dengan berteriak ia memanggil istrinya 

“Ibu !! lekas kemari !! Kambing kita hilang semua “ 

Mendengar panggilan suaminya Nyai Ambun segera mendatangi “ada apa amai (Bapak) ? 

“Kambing kita dikumai basiak ? (Kambing Kita dimakan Binatang Buas)” menjelaskan Pak Liang kepada istrinya yang mendatangi dengan tergopoh2. Nyai Amban ikut terkejut melihat pintu kandang Kambing mereka telah rusak.

 

“siapa yang merusak kandang dan mengambil ternak kita pak ?” tanya istrinya. 

“Kuat dugaanku ternak kita di makan Lohi besar (Ular besar) bu, lihatlah disekitar kandang terdapat jejak2 dengan alur sebesar pohon kelapa” menjelaskan Pak Liang sambil menunjuk jejak2 di tanah. 

“hal ini harus kita laporkan kepada ketua adat pak, jika tidak akan banyak ternak desa menjadi korban seperti ternak kita” 

“Betul bu, Amai berangkat dulu ke Ladang sekalian mampir ke tempat Ketua adat memberitahukan kejadian yang menimpa kita ini” Kata Pak Liang sambil berjalan meninggalkan istrinya. 

Kabar serangan Ular yang memangsa ternak Pak Liang menyebar ke seluruh penjuru desa, setiap harinya selalu saja ada ternak milik penduduk yang hilang, beberapa tetua kampung menyangka Ular itu adalah penunggu hutan Larangan. Orang2 dari empat desa di tepi sungai Kahayan berkumpul mengadakan pertemuan di balai adat. Tetua kampung menyarankan beberapa orang sakti dari tiap kampung mewakili penduduk untuk mencari keberadaan Ular itu serta menangkapnya, apabila perlu langsung di habisi ditempat. Akhirnya diputuskan setiap kampung mengirim satu perwakilannya guna mencari Ular yang sudah sangat meresahkan keberadaannya itu

 ***

Empat orang terlihat mendayung Jukung menyusuri sungan Kahayan yang membelah Hutan Kalawa, keempat orang ini terlihat gagah dengan pakaian kulit kayu mereka yang berwarna serba hitam. Di kepala mereka memakai Sampa Hangang, di Pinggang mereka tergantung Mandau Panjang. Dibahu salah seorang dari mereka bertengger seekor burung Elang berbulu putih bagian lehernya.  Keempat orang itu adalah pendekar2 dari empat desa. Mereka mendapat tugas dari ketua Adat dari desa masing2 untuk mencari keberadaan Ular besar yang belakangan ini mengganggu dan memangsa banyak hewan ternak penduduk. Menurut perkiraan mereka Ular besar itu bersarang di Sungai Kahayan yang membelah lebatnya Hutan Kalawa. 

Matahari sudah sedikit condong ke barat ketika mereka berempat sampai di hulu sungai yang di tumbuhi pepohonan sangat rapat dan besar2. Air sungai terlihat berputar deras, suasana di tempat itu dingin dan sunyi.  Hanya terdengar suara arus sungai yang mengalir deras , sesekali ditimpali suara siulan burung dicabang pepohonan, salah seorang dari mereka mengangkat tangan memberi tanda agar berhenti. 

Melihat isyarat kawannya salah seorang dari mereka yang membawa burung Elang di bahunya melemparkan batu besar ke sungai, batu besar yang diikatkan dengan tali akar ke Jukung digunakan sebagai jangkar agar Jukung tak hanyut ke hilir, setelah melemparkan Batu besar orang ini bertanya,  tubuhnya kekar,  di lengannya penuh dengan rajah bergambar hewan buas. Dia adalah Etan, pendekar dari desa Buntoi. 

“Ada apa Bungai ? mengapa kau memberi isyarat untuk berhenti” tanya Etan sambil mengusap2 kepala Burung Elang Putih yang bertengger dibahunya, hatinya mendadak merasa tak enak. Burung Elangnya mengeluarkan suara menguik berulang kali pertanda akan terjadi sesuatu. 

“aku merasakan sesuatu bergerak di bawah Sungai ini, sesuatu yang sangat besar” menjelaskan Bungai, pandangan matanya berputar ke arus sungai disekitarnya serta ke rimbunnya pepohonan ditepi sungai. Sementara dua kawannya yang lain saling berpandangan. 

“Sesuatu apa itu Bungai ? mungkin hanya perasaanmu saja” tanya Etan lagi, Burung Elang yang bertengger dibahunya terus mengeluarkan suara menguik berulang kali, Etan kembali mengelus2 kepala burung ini agar tenang. 

“sesuatu yang bergerak kencang sekali, mungkin ular raksasa itu telah mengetahui dan menyambut kedatangan kita kawan2” jawab Bungai. 

“Tidakkah kalian merasa aneh dengan potongan ruas bambu Betung yang berputar2 di arus sungai itu ?” Tanya Bungai kepada ketiga temannya. 

“keanehan macam apa yang kau maksudkan itu Bungai ? aku rasa itu Ruas Bambu biasa” tanya salah seorang Kawannya yang bernama Kiwang, orang ini bertubuh tegap dengan kedua mata sipit seperti orang Tionghoa. 

“Ruas Bambu itu selalu muncul di hadapan kita semenjak kita memasuki bagian hulu Sungai tadi, benar2 aneh bagaimana bambu itu bisa hanyut melawan arus” menjelaskan Bungai

“bagaimana kalau kita ambil, kita belah dan melihat apa isi yang terkandung di ruas Bambu itu” menyarankan salah seorang dari mereka yang dari tadi diam, orang ini bernama Sintang. 

“aku rasa itu bambu biasa saja Bungai, mengapa harus dipersoalkan, namun jika kalian penasaran aku akan mengambilnya” Etan memberi isyarat kepada Burung Elang yang bertengger dibahunya, melihat isyarat tuannya Burung itu seperti mengerti dan terbang ke udara, di ketinggian tiga tombak ia menukik, kakinya yang berkuku tajam mencengkram Ruas Bambu Betung yang terapung2 di arus Sungai Kahayan. Burung Elang milik Etan membawa Ruas Bambu itu di cakarnya dan menjatuhkan ke arah Etan. Dengan sigap Etan menangkap ruas Bambu yang dilepaskan burung Elang peliharaannya. 

Etan pandangi wajah kawan2nya terlebih dahulu lalu cabut Mandau yang tersampir di pinggangnya.

Dengan Mandaunya ia membelah bambu ditangannya. Ketiga kawannya mendekat ingin melihat isi Bambu. Mereka empat terperanjat begitu melihat isi dari Bambu betung di tangan Etan. Empat bongkah Emas berkilauan diterpa sinar mentari senja. 

“Kita kaya kawan2 !! kita kaya, ini emas murni” berteriak Etan kegirangan. Ketiga kawannya pun turut merasa kegirangan. 

“akan kita apakan empat bongkah emas besar ini kawan2” tanya Bungai.

“Kita tukar ke tukang emas di Pangkalan Bun, pasti kita kan mendapat barang2 bagus sebagai tukarannya” menyarankan Sintang. 

“aku yang menemukan emas ini dan yang mengambilnya burung Elangku, jadi aku yang berhak mendapatkan jatah lebih banyak” Etan menyeletuk ucapan Sintang. 

“tapi kita semua yang menemukannya Etan, aku juga yang menemukannya pertama kali” menjawab Bungai dengan nada ketus mendengar ucapan Etan yang dinilainya serakah. 

“betul itu Bungai, kita semua datang kemari bersama2, emas ini harus dibagi rata” ikut menyeletuk Sintang menyetujui perkataan Bungai. 

“Sudah sudah !! jangan bertengkar kawan2, kita sebaiknya bagi rata emas itu, kita semua yang menemukannya, kita semua jangan lupa tugas utama kita mencari Ular Raksasa pemangsa ” Kiwang menengahi kawan2nya yang bersitegang karena emas temuan dalam ruas Bambu betung itu. 

“aku tidak suka dengan ucapanmu Etan, mengapa dengan kawan2 sendiri kau berkata begitu !!” Bungai berkata dengan nada kesal. 

“sudah sudah sebaiknya kita mencari Ular Pemangsa ternak penduduk sebelum malam tiba, setahuku Hutan Kalawa ini terlarang dimasuki pada malam hari” Kiwang memperingatkan ketiga kawannya yang sedari tadi ribut karena emas temua itu, jauh di dalam hati kecilnya Kawang merasa aneh dengan Ruas Bambu berisi Bongkahan emas, bagaimana mungkin emas bisa berada dalam bambu sedemikian rupa dan bambunya tak tenggelam ke dasar sungai, dia sudah lama mendengar cerita harta karun hutan larangan. Namun mengingatkan kawan2nya yang sedang dibutakan emas temuan itu, nasihat sama sekali tak berguna bagi mereka. 

“kalian tadi hanya menganggap ini bambu biasa, Burung Elangku mengambilnya di sungai dan aku yang membelah bambunya, kalian hanya berdiam diri di atas Jukung” teriak Etan membela diri dari hujatan Bungai dan Sintang. 

“tapi kita datang bersama2 kemari, sudah selayaknya kami juga mendapatkan bagian yang sama, jadi ini caramu sebagai kawan, lupa dan buta karena harta, kawanmu hanya bernilai jika engkau memiliki kepentingan, jika kau senang kawan2mu ini kau lupakan” Teriak Bungai dengan menepuk dadanya. 

“sudahlah aku tak ingin berdebat lagi Bungai, kalian bertiga akan mendapatkan jatah juga tapi aku yang akan menentukan besarannya, jika kalian tak suka tidak apa2 malah lebih baik” teriak Etan dengan nada kasar. Mereka bertiga terus berdebat tentang emas temuan itu, hanya Kiwang yang berdiam diri, hatinya sama sekali tak merasa tertarik dengan emas bongkahan yang diperebutkan kawan2nya. Ia menyesali sikap kawan2nya yang lupa tujuan utama datang ke hulu sungai itu. 

“Keparat kau Etan !! rupanya ini maksud hatimu ikut berburu Ular Pemangsa !! jangan2 kau sudah mengetahui rahasia emas di sungai ini” Bungai berkata dengan mata berapi2. 

“jadi apa maumu sekarang Bungai ? kau ingin menguasai emas ini sendirian hah !”  

“aku ingin kau mati sekarang pengkhianat !!” Bungai loloskan mandau nya dari sarung di pinggangnya. Ia hunus Mandau panjangnya di depan Etan. 

sementara Sintang hanya menonton dua orang yang bersitegang itu, dalam hatinya ia berkata “Biarkan saja mereka berbunuhan, jika keduanya mati maka aku akan mnguasai emas itu sendirian”  “mari kita bertempur secara kesatria !! siapa yang menang berhak memiliki bongkahan emas itu” teriak Etan, ia cabut Mandaunya. 

Tanpa disadari oleh mereka berempat yang sedang bersitegang, sesuatu bergerak dibawah arus sungai, mendekati Kiwang dan keempat kawannya. Sesuatu itu muncul ke permukaan sungai dengan suara menggemuruh dan membuat terkejut Kiwang dan keempat kawannya. Etan dan ketiga kawannya memandang ke depan dengan mulut ternganga, seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat, Seekor Ular Hitam sebesar pohon Kelapa muncul di belakang Etan. Ular itu menegakkan kepala dan badannya setinggi tigak tombak di atas permukaan air sungai Kahayan. Etan yang berada dekat sekali dengan ular itu tergagap tak bisa berbicara, belum pernah ia melihat Ular sebesar itu sebelumnya, saking takutnya bongkahan emas ditangannya jatuh ke lantai Jukung. 

Ular hitam besar itu dengan gerakan kilat menukikkan mulutnya yang bertaring besar ke arah Etan.

Etan hanya melihat kelebatan kepala ular hitam sesaat. Tubuhnya langsung disambar Ular Hitam, Etan menjerit2 dalam rahang Sang Ular raksasa, jeritannya lenyap ketika tubuhnya ditelan bulat oleh ular raksasa itu. Ketiga kawannya hanya terbengong, nyawa mereka seakan terbang melihat nasib yang menimpa Etan. Seketika mereka sadar lalu ketiganya berhamburan melompat ke sungai dan berusaha berenang mencapai tepian. 

Akan tetapi gerakan Ular hitam raksasa itu jauh lebih cepat dari ketiganya. Dalam waktu sekejap Bungai dan Sintang sudah dalam lilitan Ular besar. Mereka menjerit2 minta tolong dan sesuatu hal mengerikan terjadi “Krekkk krekk” lilitan Ular raksasa mematahkan tulang belulang keduanya. Seperti menyantap kerupuk Ular Hitam besar itu menelan keduanya. Kiwang berenang laksana dikejar setan, ia berhasil selamat mencapai tepian dan lari terbirit2 masuk jauh ke dalam hutan. 

Kiwang terus berlari tunggang langgang melewati semak belukar dan pepohonan rapat  di hadapannya, ia tak peduli kakinya luka dan beret terkena duri dan ranting kayu yang ada dipikirannya hanyalah menyelamatkan diri.  Ular raksasa itu merayap cepat mengejar Kiwang, ia memandang Kiwang dengan sepasang matanya yang merah. Dari mulutnya keluar suara mendesis.

sepeminuman teh Kiwang berlari, tubuhnya terasa sangat letih dengan tubuh penuh luka tergores ranting kayu, kakinya robek terkena patahan cabang. Kiwang terjatuh tak sadarkan diri dengan tubuh lemas kehabisan tenaga di balik sebuah batu besar di tengah hutan. Hal ini membuat tubuhnya tersembunyi dari pemandangan Ular raksasa yang mengejarnya. Ular Raksasa kehilangan jejak mangsanya, dengan mengeluarkan suara mendengus ia putar tubuhnya kembali ke Hulu Sungai Kahayan, perlahan2 tubuh ular itu tenggelam ke dasar sungai lalu lenyap dari pemandangan, hanya terdengar deru arus sungai dan suara alam yang menggidikan menaungi tempat itu... 

 

 

2

Desa Gohong di tepi sungai Kahayan gempar, seekor Ular Hitam raksasa mereka dapatkan sedang memangsa seekor Kerbau milik salah seorang penduduk desa. Para penduduk desa Gohong beramai2 menyerang Ular raksasa itu dengan Sipet (Sumpit), Lonjo (Tombak) dan Mandau. Ular sebesar pohon kelapa itu seperti tak merasakan apa2 ketika senjata para penduduk mengenai tubuhnya, para penduduk merasakan senjata2 mereka membal seperti mengenai karet. Sebaliknya Ular Raksasa itu kembali mengamuk dan menyebatkan ekor panjangnya berulang kali. Beberapa penduduk terpental dengan tulang Iga patah. Para penduduk semakin ramai menyerang Ular yang memangsa ternak mereka selama ini. 

“Bantai Ular itu !! jangan dikasih ampun saudara2 “ teriak Pak Liang dari desa Kalawa. Ia merasa sangat kesal atas kehilangan dua ekor kambing miliknya. Ditangannya tergenggam Lonjo panjang, dengan Lonjo itu ia turut menyerbu.

“kawan2 kalian hadang dari jurusan timur !! jangan biarkan ia masuk ke dalam sungai !! salah seorang penduduk memberi perintah kepada pemuda2 desa. 

Para penduduk tua muda terus menyerangi Ular besar itu, tak ada jalan lain bagi si Ular untuk melarikan diri. 

Melihat serangan penduduk yang datang laksana hujan Ular raksasa itu sebatkan kembali ekornya ke depan, sementara dari mulutnya berhembus racun berwarna hijau. 

“awas serangan ekor dan racunnya !! hadapi dari jauh !! “ teriak seorang kakek berpakaian Kulit kayu berwarna cokelat tua, dibagian luarnya ia memakai sejenis mantel terbuat dari bulu Harimau. Kakek ini adalah Amai Raja ketua Adat yang mengepalai beberapa suku Dayak di Klemanthan tengah. 

“Amai awas !! Ular itu menyerangmu “ teriak seorang pemuda kepada Amai Raja, Ular raksasa berputar, kepalanya mematuk ke arah Amai Raja. Melihat serangan ini Amai raja melompat dua kali ke udara, patukan Ular raksasa itu hanya mengenai tempat kosong. Dari udara Amai Raja lemparkan Lonjonya ke arah Ular yang kembali hendak menyerangnya. Lonjo Amai Raja melesat ke depan, Lonjo Amai Raja tepat mengenai pinggiran mata Ular raksasa. Ular hitam raksasa tu mendengus kesakitan, dari pinggiran matanya mengucur darah. Dengan penuh amarah ular itu mengamuk ke arah penduduk, beberapa dari penduduk kembali menjadi korban sebatan ekor dan racunnya. Para penduduk yang mendengar adanya serangan Ular raksasa dikampung sebelah ramai berdatangan untuk membantu. Melihat begitu ramai manusia Ular raksasa itu  melarikan diri, ia sebatkan ekornya ke arah penduduk yang menghalangi jalannya menuju sungai. Namun pengurungan begitu rapat, ular raksasa itu berhasil menerobos pengurungan sebelah barat dan berhasil kabur ke dalam lebatnya hutan Kalawa, para penduduk terus mengejar ke arah lenyapnya Ular tersebut... 

***

Hutan Kalawa selain lebat dengan pepohonan raksasa juga angker karena di huni banyak makhluk halus, Hutan ini merupakan hutan adat dan jarang dimasuki manusia. Namun adalah aneh jika di tengah rimba belantara seperti itu terlihat seorang Dara sedang memainkan SampeQ (Kecapi Dayak), ia memakai pakaian Kulit kayu yang panjang terus ke bawah dan  bagian atasnya berbentuk rompi berwarna hitam dengan hiasan berupa susunan manik-manik beraneka warna berbentuk bunga2an. Di kepalanya ia memakai penutup kepala berbentuk mahkota kecil yang juga dihiasi manik2. Dara ini berambut panjang sepinggang, wajahnya cantik sekali dengan kulit halus mulus, jari2 tangannya begitu lentik memainkan sampeQ, dari bibirnya yang merah mereka terdengar bait2 lagu tentang cinta, tentang rasa jatuh cinta terhadap seorang kekasih : 

 

 

Jaka dia haranan ranggau..

Dia manjadi sarangan antang...

Jaka dia haranan ikau.. 

Dia bakal ateiku pusang..

 

Kadue telu dia katana..

Gantung uru je bara parei..

Kadue telu dia hasupa..

Angat bagetu je jantung atei..

 

Kai angat buah karuhei..

Bilak tahu imbit pampatei.. pakaruk kurang..

Mangenang uluh je eka huang..

 

Hakayah indang hakayah apang..

Aku dia tau batiruh.. 

Angat bereng je huyung hayang.. Gulung ketun hakumbang auh..

 

 

 

 

 

 

Artinya : 

Kalau tidak ada ranting

Tidak akan menjadi sarang burung antang

Kalau tidak karena kamu

Tidak bakal hatiku putus asa

 

Dua tiga hari tidak pergi ke ladang

Tinggi rumput dari padi

Dua tiga hari tidak bertemu

Terasa Luluh di Jantung Hati

 

Inikah Rasanya jatuh cinta

Sepertinya bisa membawa kematian

Makan pun serasa tak mau

Karena mengenang orang yang diinginkan

 

Aduh bapak aduh ibu

Aku tidak bisa tidur

Rasa badanku Melayang-layang

Cepatlah kalian membicarakan hubungan ini.

 

Sang dara terus memainkan SampeQ nya dengan bernyanyi merdu menghayati setiap bait yang dinyanyiannya, suaranya menggema di hutan belantara Kalawa, burung2 bersiul di dahan pepohonan seakan ikut bernyanyi mengiringi petikan SampeQ gadis Dayak itu. namun sesaat kemudian gadis itu hentikan permainan SampeQ nya, ia mendadak merasakan sesuatu disekitarnya.

Tiba2 semak belukar di belakangnya tersibak disertai suara menggereng . Dara itu segera berbalik, Nyawanya seperti lepas ketika hanya terpaut sepuluh langkah di belakangnya, di antara semak belukar dekat sebatang pohon besar tegak merunduk tiga ekor harimau besar hitam belang kuning. 

Tiga ekor Harimau sebesar anak sapi itu tiba-tiba mengaum. Aumannya laksana guntur. Jantung dara itu seperti mau copot. Segera ia palangkan SampeQ nya di depan dada membentuk kuda2 menjaga kemungkinan serangan tiga ekor Harimau itu. tiga ekor harimau maju perlahan mendekati dara cantik itu dan disertai auman dahsyat tiga ekor Harimau itu menerkam ke depan secara serempak. Dua kaki depan mereka yang berkuku tajam siap membeset ke arah dada sedang mulutnya yang terbuka lebar mencari sasaran di leher sang dara. 

Melihat serangan dahsyat tiga ekor Harimau yang mengarah dada dan lehernya, sang dara melompat ke udara sambil petik senar SampeQ nya dengan mengerahkan tenaga dalam. “wusss” tiga larik sinar panas berkiblat. Anehnya tiga ekor Harimau itu seperti tahu akan bahaya, ketiganya melompat ke belakang, sinar panas dari petikan SampeQ hanya menghantam tanah di depannya hingga berlubang besar. Dara cantik itu merutuk dalam hati melihat serangannya luput, Harimau2 itu kembali menyerang sang dara ketika kedua kakinya menginjak tanah. 


Dan kesemua binatang itu sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek atau menerkam tubuh dara cantik itu !! sang dara kembali petik sampeQnya ke depan, larik sinar putih panas kembali berkiblat ke depan. Dua sinar panas menghantam telak dua ekor Harimau hingga terpental dengan tubuh gosong, akan tetapi serangan cakar Harimau ke tiga dekat sekali ke wajahnya yang cantik mulus, sang dara coba memetik SampeQ nya, namun serangan cakar Harimau itu sudah sangat dekat dan tak mungkin lagi menghindar. 

Disaat genting seperti itu satu suitan keras menggema di udara disertai kelebatan bayangan putih, satu sambaran angin sangat deras menghantam tubuh harimau yang mencoba mencakar wajah sang darah hingga terpental beberapa tombak, terkapar di tanah, Harimau besar itu bangun terhuyunghuyung. Kepalanya digeleng - gelengkan. terdengar aumannya yang menggetarkan rimba belantara. Untuk beberapa saat lamanya binatang ini hanya mengaum saja. Rupanya hantaman angin keras tadi walau tidak mendatangkan cidera tapi cukup membuatnya nanar. 

“Harimau gagah pergilah, carilah makan di tempat lain” seorang pemuda berompi dan berdestar putih berkata dengan lantang, dibelakangnya berjalan santai seorang kawannya sambil meneguk air aren dari guci tanahnya, orang ini berpakaian lebar warna warni. Mendengar bentakan sang pemuda Harimau itu malah menerkam ke depan. Sementara dara cantik itu hanya terduduk di tanah dengan wajah pucat, ia tak mampu berkata2. 

“Onde mak !! Harimau gilo, kau benar2 inginkan jiwaku.. ” pemuda berompi putih itu keluarkan jurus Sayap Elang membelah angkasa, serangan cakar dan terkaman raja hutan itu mengenai tempat kosong. Pemuda berompi putih itu yang tak lain Andana Harimau Singgalang rundukkan tubuhnya ketika harimau itu kembali menerkam lalu tinju kanannya menderu ke arah muka Harimau“Bukkk”, Harimau itu terpental ke belakang, pandangannya nanar dengan terhuyung2 harimau itu bangun, Andana siapkan pukulan tangan kosong bersiaga jika Harimau itu akan kembali menyerangnya, namun harimau itu mundur dengan suara menggereng ia tinggalkan tempat itu. 

Andana dekati dara bersenjata SampeQ itu dan membantunya berdiri “kau tak apa2 adik ? tanya Andana. Peramal Sinting turut mendekat sambil betulkan letak topi tarbusnya yang miring. Mendengar pertanyaan Andana Dara berwajah cantik itu tersenyum lalu sambil merunduk ia menjawab “aku tak apa2 kakak , terima kasih atas pertolongannya” dalam hati dara itu mengagumi ketampanan dan kegagahan Andana. Ada rasa damai dan bahagia menyelubungi relungnya yang terdalam, entah mengapa ia merasa tertarik dengan wajah gagah pemuda dihadapannya. 

“nama adik siapa ? mengapa bersunyi diri di rimba belantara ini ?” tanya Andana pula. 

“namaku Pandan Kirana kakak, aku tinggal disekitar sini bersama guruku, kakak siapa ?” 

“namaku Andana dan kawanku berbaju warna warni seperti pelangi ini Peramal Sinting, kami terpesat kemari mencoba mencari jalan pulang” menjelaskan Andana. 

“aku Peramal Sinting, pemuda gagah yang pandai peramal” Peramal Sinting mengenalkan dirinya sambil menyodorkan tangannya, matanya dikedip2kan kepada Pandan Kirana. Sang dara menyambut tangan Peramal Sinting dan menjabatnya. 

Setelah berjabat tangan Peramal Sinting berbisik pada Andana “tangannya halus dan lembut sob, wangi lagi, hi..hi..hi” Peramal Sinting cium tangannya yang tadi berjabat dengan tangan dara bernama Pandan Kirana itu. 

“iya kah ting, boleh aku mencium bau tangannya” bisik Andana di telinga Peramal Sinting. 

“Boleh saja Andana boleh !!” tanpa sepengetahuan Andana dengan gerakan kilat Peramal Sinting usapkan tangannya ke ketiak kanannya yang basah oleh keringat. Lalu di tempelkan ke hidung Harimau Singgalang. 

“Puahhhhhhh tanganmu bau ketek ting !! “ Andana meludah berulang kali. Dari mulutnya keluar suara seperti mau muntah. 

“Ha..ha..ha wangikan Andana !!” Peramal Sinting tertawa terpingkal pingkal. 

“Wangi Gundulmu ting !!” teriak Andana sambil seka mulutnya yang terasa mual. Sementara Pandan Kirana hanya terbengong2 melihat tingkah laku kedua pemuda yang baru dikenalnya itu, ada rasa geli dihatinya melihat tingkah laku kedua pemuda itu. 

“aku berhutang nyawa kepada kalian, jika kalian tidak datang entah apa jadinya diriku ini” berkata Pandan Kirana sambil tersenyum kepada Andana, pandangan matanya terlihat mesra. 

“Kami kebetulan lewat sini Pandan, merdunya suara kecapi yang kau mainkan itu terbawa angin ke telingaku, membuat hatiku menjadi sahdu lagi berbunga2” berkata Peramal Sinting, tangan kanannya diangkat ke depan seperti sedang membaca puisi. 

“Pretttt !! kata2mu seperti penyair agung saja ting !!” Andana monyongkan bibirnya ke depan. 

“ha..ha..ha siapa dulu Peramal Sinting !!” menjawab Peramal Sinting dengan menepuk dada. 

“Halahhh Sinting saja bangga, minum obat biar waras ting” kata Andana. Lalu ia berpaling kepada

Pandan Kirana dan bertanya “ mengapa adik sendirian di hutan belantara seperti ini ?” 

“aku kabur dari goa kediaman guru, dia memarahiku karena aku belum juga menguasai jurus Menahan Ombak memutar arah angin yang diajarkannya, aku ingin kembali tapi takut beliau akan tambah marah” 

“hmm.. seorang guru ingin muridnya cepat pandai, ia sangat menyayangimu makanya ia menginginkan kau cepat menguasai jurus itu Pandan”  kata Andana. 

“iya kakak aku tahu hal itu tapi jurus itu jurus terakhir yang hendak diajarkan guru, tapi sangat sulit sekali gerakannya, itu membuatku sedikit bosan mempelajarinya” menjelaskan Pandan Kirana. 

“Ahhh Jurus menahan ombak memutar arah angin !! aku bisa melakukannya, lihat gerakanku Pandan” seru Peramal Sinting. Ia melemparkan Guci tanahnya dua tombak ke udara, guci itu jatuh kembali ke bawah, Peramal Sinting tangkap Guci tanah itu memutar tutupnya dan “Glukk glukkk” ia teguk isinya dengan suara menyiprak. 

“Dasar Wong edan kowe ting !! itu Jurus memutar tutup guci meneguk isinya” seru Andana dengan nada jengkel, Pandan Kirana tertawa cekikikan melihat pertunjukkan Peramal Sinting. 

“Ha..ha..ha.. itu Jurus yang hebat Andana, banyak pendekar golongan hitam sudah modar karenanya” 

Andana pura2 tak mendengar perkataan Peramal Sinting, ia berpaling kepada Pandan Kirana “Bagaimana kalau kami mengantarmu pulang Pandan, aku akan jelaskan kepada gurumu mudah2an ia mau mengerti” tanya Andana, matanya menatap wajah cantik dihadapannya. Pandan Kirana tatap mata Andana, tapi hanya sebentar ia tak tahan beradu pandang dengan pemuda gagah itu,  dara itu tundukkan kepalanya sembari Jari2 tangannya yang halus memetik dan memainkan senar SampeQ. 

“tempat kediamanku hanya sebuah pondok buruk di tengah Hutan Larangan ini kakak, kakak mau mampir ke sana ? ” 

“aku malah tak ada tempat tinggal Pandan, setiap tempat akan menjadi indah jika kita menebar kebaikan di tempat itu” jawab Andana sambil tersenyum. 

“Kata2 yang indah Kakak, aku sangat suka sekali mendengarnya, jika kakak berkenan mari kita menemui guruku, mudah2an guru mau memaafkan diriku” 

“Silahkan jalan duluan Pandan, kami akan mengikutimu dari belakang” Andana mempersilahkan Pandan Kirana. Pandan Kirana kembali tersenyum mesra dengan Andana lalu ia berkelebat tinggalkan tempat itu diikuti Andana dan Peramal Sinting. Betapapun dara itu mempercepat larinya Andana dan Peramal Sinting tetap berada pada jarak yang sama dibelakangnya, diam2 gadis cantik itu semakin menyukai Andana dan kagum akan kecepatan lari kedua pemuda dibelakangnya itu. 

“Heii Harimau Singgalang !! jika aku perhatikan gadis itu selalu tersenyum dan menatap mesra dirimu, sepertinya kau ini merasa orang paling ganteng dijagad raya ini” kata Peramal Sinting disela2 berlari mengikuti Pandan Kirana. 

“Mana aku tahu ting, dia yang punya mata. mungkin matanya jadi sepat jika menatapmu ha..ha..ha ” Andana menjawab dengan tertawa lebar. 

“Sompret kowe Andana !! tahukah kau mengapa hutan ini dinamakan hutan larangan ?” tanya Peramal Sinting pula. 

“mungkin karena banyak makhluk halusnya ting” jawab Andana. 

“salah, dinamakan hutan larangan karena terlarang bercinta2an disini apalagi sampai main anu2an” 

“Ahh kau hanya iri karena gadis itu lebih perhatian kepadaku” goda Andana. 

“kenapa aku harus iri sob, wajahku juga tampan dan gagah “ seru Peramal Sinting. 

“Iya kau akan terlihat tampan ting jika kau dioles dengan wewangian seperti ini” Andana Harimau Singgalang poleskan tangannya ke mulut dan hidung peramal sinting. 

“Puahhhhh bau ketek !! Peramal Sinting meludah berulang kali. 

“Satu sama ting !! Ha..ha..ha..ha” Andana percepat larinya sambil tertawa terbahak2, meninggalkan Peramal Sinting yang mengomel panjang pendek dengan mulut terasa mual... 

3

Pondok Kayu kediaman Pandan Kirana terletak di tepi Kali kecil berair jernih di tengah lebatnya Hutan Kalawa, Pondok itu terlihat sepi ketika Pandan Kirana, Andana dan Peramal Sinting sampai di tempat itu. Andana memandang berkeliling, menurutnya Pondok itu terlihat sangat bersih terbuat dari kayu Ulin mengkilat dengan halaman yang cukup luas. Di halaman depan Pondok terdapat tiang kayu tinggi sebesar pemelukan orang dewasa, disetiap sisi tiang kayu tersebut terdapat ukiran yang indah berbentuk manusia, binatang dan pepohonan. 

“Guru !! saya pulang, apakah guru ada di dalam ?” seru Pandan Kirana, ia berjalan perlahan menuju pintu Pondok. Dalam hati gadis ini tersirat rasa takut kepada gurunya. 

“bagus !! masih ingat pulang juga kau murid nakal, tapi sayangnya kau membawa dua keroco bersamamu” satu suara terdengar dari dalam goa batu. Lalu satu bayangan putih berkelebat dari Pintu pondok. Bayangan putih itu berdiri di hadapan Pandan Kirana, Harimau Singgalang dan

Peramal Sinting. Seorang kakek berjanggut putih berpakaian dan berikat kepala terbuat kulit Harimau. Ditangannya tergenggam tongkat kayu.  Tubuhnya sudah bungkuk pertanda telah banyak memakan asam garam sepanjang hidupnya. Dengan suara menggema ia bertanya 

“darimana saja kau Pandan ? aku menyuruhmu berlatih bukan keluyuran dengan dua pemuda ini, siapa mereka ?”

“aku hanya berjalan2 mencari udara segar guru, dua pemuda ini sahabatku” menjelaskan Pandan Kirana dengan suara gugup. 

“apa katamu kau mencari angin segar, bagus !! ternyata kau telah berani berdusta kepadaku, katakan sejujurnya dimana kau temukan dua pemuda ini ?” desak kakek berpakaian kulit Harimau. 

Ditanya gurunya seperti itu Pandan Kirana bingung, jika ia ceritakan bahwa ia diserang Harimau tentu gurunya akan memberi hukuman berat. Melihat Pandan Kirana hanya terdiam Andana maju tiga langkah ke hadapan kakek berpakaian Kulit Harimau lalu berkata “maaf kek, saya Andana dan kawanku ini Peramal Sinting kami bertemu Pandan Kirana sendirian di hutan dan mengantarnya pulang”

“kau sama berdustanya dengan muridku anak muda, kalian pikir aku tak tahu tentang tiga ekor Harimau yang menyerang muridku Pandan, tubuhku mungkin bersemedi di goa tapi aku tahu semua  yang terjadi di Hutan Larangan ini” Kakek itu berkata dengan nada dingin. 

“Maafkan aku guru, aku berjanji tak akan mengulangi hal ini lagi, pemuda bernama Andana ini telah menyelamatkanku dari serangan Harimau, jika ia tak datang entah apa yang akan terjadi dengan diri murid” Ujar Pandan Kirana sambil berlutut di depan gurunya. 

“kau telah berani melanggar perintahku untuk tetap berlatih disini dan kau pemuda bernama Andana dan Peramal Sinting, dari mana kalian berasal, logat Kalian bukan Logat pulau Klemanthan ini” tanya sang kakek. 

“aku berasal dari Pulau Andalas kek di sebuah negeri bernama Minangkabau, kawanku ini berasal dari Pulau Jawa sebelah Barat, Di negeri Pasundan” menerangkan Andana. 

“hmm Minangkabau !! negeri yang indah dan memiliki banyak tokoh silat hebat. Tanah Sunda, Majapahit pun tak mampu menaklukkannya. Apa yang kalian kerjakan di Pulau ini ?” tanya kakek berpakaian Kulit Harimau pula. 

“Kami tersesat kek, kami sedang mencari jalan pulang ke negeri masing2” menerangkan Peramal Sinting yang sedari tadi bungkam. 

“hmmm.. begitu !! tapi apapun penjelasan kalian itu tak berarti bagiku anak muda, kalian telah melanggar adat Dayak untuk tidak berduaan dengan seorang gadis ditempat sepi karena itu kalian akan mendapatkan hukuman” 

“tapi kami bertigaan kek tidak berduaan” menyeletuk Andana Harimau Singgalang. 

“Sama saja, nah bersiaplah menerima hukuman anak muda” Kakek berpakaian kulit Harimau itu siapkan satu pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi.  

Melihat gurunya merapal ajian “Tombak Dewa” Pandan Kirana memohon dan berlutut memohon kepada gurunya “Guru maafkan mereka !! murid yang membawa mereka kemari, maka murid saja yang menerima hukuman” tapi Kakek itu tak pedulikan ucapan muridnya, dengan bentakan keras ia hantamkan Pukulan “Tombak Dewa” ke arah Andana dan Peramal Sinting. Satu cahaya kuning berbentuk tombak berkiblat ke depan. 

“alamakk, Modar kita Andana !! teriak Peramal Sinting sambil pegangi kepalanya.

Melihat serangan hebat ini Andana hantamkan Pukulan Angin Limbubuh ke depan, sementara

Peramal Sinting hantamkan Pukulan tangan kosong dalam jurus “Orang Sinting memutar guci”

Pukulan Angin Limbubuh dan pukulan tangan kosong Peramal Sinting beradu dengan Pukulan Tombak Dewa. Dentuman keras terdengar menggetarkan tempat itu. Andana tersurut dua langkah, dadanya terasa sesak. Peramal Sinting terduduk di tanah dengan muka pucat, kakek berpakaian Kulit Harimau berkata dengan suara mengekeh “Jauh2 dari tanah seberang hanya mengandalkan ilmu picisan seperti itu” 

Mendengar ucapan kakek itu Andana merasa jengkel sekali, kembali ia buka serangan dengan jurus “Sayap Elang membelah angkasa”. Dua telapak tangannya membentuk kepakan dua sayap Elang yang mencari sasaran di leher sang kakek. Kakek itu hanya tersenyum melihat jurus yang dimainkan Andana, dengan santai ia tarik kepalanya ke belakang. Kepakan tangan Andana lewat dua jari di depan lehernya lalu tangannya bergerak menggelung ke arah pinggang Harimau Singgalang. Melihat serangan tangan yang menelikung pinggangnya Andana geser kakinya dua langkah ke samping menghindari telikungan tangan kakek berjanggut putih itu. 

“Lihat serangan ranting anak muda !!” seru kakek itu ditangannya tergenggam sebatang ranting kering. Ranting di tangan sang kakek laksana puluhan buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa buah tusukan dalam satu jurus serangan!! 

Andana lipat gandakan tenaga dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya menghindari serangan ranting yang mencari sasaran disetiap jengkal tubuhnya ! Tubuh Andana lenyap ditelan oleh gerakannya sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang! Andana mengeluarkan jurus "Titiran Dewa" maka kedua tangannya kiri kanan memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang deras menghantam ke arah sang kakek. Debu dan pasir serta batu-batu kerikil beterbangan. Semak belukar bergoyang-goyang!

“Ahh hanya jurus Titiran Dewa !! siapa takutkan itu” teriak kakek berpakaian kulit Harimau. Kakek itu putarkan rantingnya berulang kali. Angin yang keluar dari tangan Andana tertahan oleh putaran ranting di tangan sang Kakek. Andana terkejut bukan main kakek itu mengenali jurus yang dimainkannya. Hal ini membuatnya sedikit lengah, satu sabetan ranting mengenai dadanya hingga tergurat luka mengucurkan darah. 

“ha..ha..ha baru kena ranting saja kau sudah kalang kabut anak muda, belum diserang pakai senjata tajam, keluarkan semua kemampuanmu anak muda, mana jurus “Silek Kumango”, mana pukulan “Telapak Halilintar dan Pukulan Badai Topan Puncak Singgalang” mana jurus2mu yang lain” 

“Siapa kau sebenarnya kek ? mengapa mengenali semua jurus2 Silatku” tanya Andana penasaran sekali. Peramal Sinting terbengong2 dan Pandan Kirana kerenyitkan kening mengetahui gurunya memahami setiap nama jurus yang dikeluarkan Andana. 

“ha..ha..ha aku hanya tua bangka buruk yang sebentar lagi masuk kubur anak muda !! keluarkan Pukulan Telapak Halilintarmu, sudah lama aku tak merasakan panasnya” seru si kakek. 

“Kek jangan main2 dengan pukulan itu, kau bisa celaka” seru Andana Harimau Singgalang. 

“dulu aku sering menghadapi pukulan itu, coba aku mau lihat pukulan itu dari tanganmu” kata si kakek pula. 

“Tapi kek.. aku..” Andana tak teruskan ucapannya, ia melirik ke Peramal Sinting dan Pandan. 

“sudah jangan banyak bicara bocah tengil, pukulanmu itu hanya akan kukipas2 saja” 

Mendengar ucapan kakek berpakaian kulit harimau itu Andana jadi kesal, lalu dengan berteriak keras dia berkata “Kek kau terlalu merendahkanku, aku sebenarnya tak ingin melawanmu, tapi apa boleh buat kau yang memintanya sendiri. Jangan salahkan aku jika terjadi apa2 denganmu” dengan tenaga dalam penuh Andana Harimau Singgalang rapal ajian “Pukulan Telapak Halilintar”, telapaknya sebatas pergelangan menjadi putih terang. Andana hantamkan pukulan saktinya ke depan. Hawa panas menghampar ditempat itu menderu2 ke arah si Kakek. 

Kakek itu nampak tenang sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, ia hanya tersenyum menatap pukulan Andana padahal dapat dibayangkan tubuhnya akan hangus gosong jika terkena hantaman pukulan Telapak Halilintar. Sesaat lagi Pukulan Telapak Halilintar akan menghantam tubuhnya, Kakek bungkuk berpakaian Kulit Harimau itu angkat tangannya lalu hantamkan tangannya ke depan menyambuti Pukulan Andana Harimau Singgalang,  cahaya putih redup berbentuk kipas mengandung hawa sangat dingin menderu. Pukulan Telapak Halilintar tertahan begitu Pukulan berbentuk Kipas berhawa dingin yang dilepaskan sang kakek beradu. Luar biasanya Pukulan Andana perlahan berubah menjadi beku lalu luruh ke tanah dan pecah berkeping2 ketika menyentuh tanah. 

Andana terkejut bukan main melihat pukulan yang sangat diandalkannya itu dapat dengan mudah dimentahkan si kakek, penasaran bercampur heran berkecamuk dalam diri pemuda ini. Ingin rasanya ia menghadapi si kakek beberapa jurus lagi. 

“Kau telah mengeluarkan semua jurus dan kesaktianmu anak muda ? sekarang coba hadapi jurus “Menahan Ombak Memutar Arah Angin” ini, kakek itu berkelebat ke depan tubuhnya berubah menjadi bayangan, saking cepatnya Andana hanya melihat  bayangan samar lalu tahu2 tangan si kakek telah memegang tangan kirinya, memutar tubuhnya dan menempelkan tangan kirinya ke tiang kayu tinggi berukir yang ada di halaman Pondok. Andana Harimau merasakan tangannya menempel ke tiang Kayu itu. ia tak bisa menarik tangan kirinya betapapun ia mencoba menarik tangannya berulang kali dengan mengerahkan tenaga dalam penuh. Keringat memercik dikeningnya. Semakin Andana berusaha menarik tangannya semakin lekat tangannya di tiang kayu berukir itu. dan “hekk” totokan si kakek membuat Harimau Singgalang terdiam kaku.

“Itu hukumanmu anak muda karena berani mendekati muridku, dan kau yang membawa guci kau juga akan mendapatkan hukumanmu” kata si kakek. Tanpa suara kakek itu totok Peramal Sinting dari jauh hingga diam tak bersuara, hanya matanya saja yang bergerak menatap si kakek dengan dongkol.

“Guru !! kakak Andana tak bersalah, ia telah membantuku dari serangan Harimau, setega inikah guru menghukum orang yang telah menolong murid, maafkan kakak Andana” Pandan Kirana memohon kepada gurunya berulang kali. Ia mendekati Harimau Singgalang berusaha melepaskan tangan pemuda itu dari tiang kayu.

“Jika kau merasa berhutang budi terhadap pemuda itu, maka temanilah ia” kakek itu hantamkan totokan jarak jauh. Pandan Kirana tertegun kaku di hadapan Andana, wajah keduanya terpaut satu  kilan. Berhadapan seperti itu membuat Pandan Kirana dapat melihat lebih jelas ketampanan dan kegagahan Harimau Singgalang, sebaliknya Andana dapat pula melihat kecantikan Gadis Dayak itu. dua mata beradu pandang. Pandan Kirana merasa bahagia sekali bisa sedekat itu dengan Andana, entah mengapa hatinya begitu teduh jika berada didekat pemuda itu. andai tubuhnya tidak kaku sudah dari tadi dia memeluk pemuda yang menarik hatinya itu, ia merasakan sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang membuatnya bahagia, sesuatu yang membuat damai... CINTA !! Kakek berpakaian Kulit Harimau itu dekati tiang kayu berukir dimana Andana berdiri dengan tangan terpantek, kakek itu tempelkan telapak tangannya ke tiang itu. hawa dingin membersit, tiang itu ditutupi asap putih dingin, rasa dingin menggerayangi telapak tangan kiri Harimau Singgalang. Perlahan2 karena hawa dingin yang membersit dari tangan sang kakek tiang kayu perlahan2 membeku dan diselubungi es. Andana menggigil kedinginan, gerahamannya bergemeletukan. 

“Guru kenapa hukuman yang kau berikan kepada Kak Andana bertambah berat ?” Tanya Pandan Kirana dengan nada tidak suka.  “kau murid nakal jangan banyak tanya !! terima hukuman kalian dengan lapang dada” kata si kakek gurunya Pandan Kirana sambil berlalu tinggalkan tempat itu. 

***

Sudah dua hari Andana merasa kedinginan melekat ke tiang kayu, tangannya yang menempel erat ke tiang kayu terasa beku tak mampu di gerakkan lagi. Pandan Kirana dengan suara sedih berkata kepada Andana “kakak maafkan aku, jika bukan karena aku kakak tak akan mendapatkan hukuman seperti ini dari guru” 

“tidak apa2 Pandan, asalkan selalu berada dekatmu aku selalu merasakan kehangatan” seru Harimau Singgalang dengan tertawa. 

“Ihhh pemuda nakal, dalam keadaan seperti ini masih saja menggodaiku” kata Pandan dengan wajah tersenyum, wajahnya yang cantik kelihatan letih. 

“tapi dirimu sukakan berada dekat2 dengan diriku Pandan ?” goda Andana lagi. 

“hmm kakak terlalu percaya diri, tapi iya juga gadis mana yang tidak suka berada dekat kakak” 

“ahhh aku ini pemuda gunung jelek Pandan, belum dekat saja gadis2 sudah pada kabur” kata Andana dengan tersenyum lebar. 

“tapi aku suka berada didekat kakak, aku merasa damai, aku....” kata2 Pandan Kirana terputus begitu melihat Gurunya mendatangi mereka. Dengan tersenyum kakek ini berkata 

“Bagaimana pemuda tak tahu diri ? kau menyerah dengan hukumanku” 

“kek tak ada rumus menyerah dalam hidupku, biar mati berkalang tanah dari pada harus menyerah jika aku berada dalam kebenaran” menjawab Andana. 

“ha..ha..ha begitu anak begitu !! kau sama sekali tak berbeda dengan gurumu Datuk Perpatih Alam Sati, betulkan itu gurumu ?” tanya si kakek dengan tertawa lebar. 

“Darimana kau tahu nama guruku kek ? apakah kau pernah bertemu dengannya ?” tanya Andana dengan penasaran. Pemuda ini semakin heran dengan kakek dihadapannya. 

“Bukan lagi bertemu Andana, tapi dia pernah bersamaku selama dua belas purnama di tempat ini, kini muridnya kembali bertemu denganku, sungguh suatu jodoh dari yang maha kuasa” 

“apa katamu kek ?? guruku pernah disini selama dua belas purnama, kau tidak mengada2 kek ?” tanya Harimau Singgalang dengan nada terkejut. Kakek itu tidak menjawab, ia tempelkan tangannya ke tiang kayu lalu merapal sesuatu, hawa hangat menyebar, es yang menyelubungi tiang kayu meleleh cair. Andana merasakan tangan kirinya hangat bercampur sejuk. Kakek itu lepaskan totokan Andana kemudian muridnya lalu Peramal Sinting. Andana mencoba mencabut tangannya yang tertempel di tiang kayu dan berhasil. Rasa dingin lenyap dari tangannya sama sekali. Andana putar2 telapak tangannya menghilangkan rasa pegal. 

“kalian telah aku lepaskan dari hukuman, dan kau Andana ada sesuatu yang akan kusampaikan kepadamu, datanglah ke goaku bersama temanmu itu” sang kakek melangkah menuju pondoknya. 

Pandan Kirana, Peramal Sinting dan Andana berjalan mengikuti sang kakek. Disela berjalan sambil meminum air Aren dalam gucinya Peramal Sinting bertanya 

“bagaimana rasanya tanganmu dipendam ditiang Es sob ? 

“beku ting rasanya seluruh tubuhku, mau berkatapun lidah rasanya keluh, dasar kakek edan” menjawab Andana dengan nada sedikit kesal. 

“ha..ha..ha.. tapi dirimu enak berada dekat2 gadis cantik bernama Pandan itu jadi hangat, lha aku habis digigit nyamuk hutan berdiri sendirian kena totok kakek berpakaian harimau itu”

“itu rezekiku ting, setiap manusia pasti mendapatkan kesenangan dibalik kesusahannya” menjawab Andana dengan tersenyum. 

“iya itu dirimu, sedangkan aku selalu ketiban nasib sial. Tapi aku senang karena kakek itu menyalurkan hawa dingin ke tiang itu sob ?” kata Peramal Sinting pula. 

“Kenapa kau senang ting, senang melihat kawanmu ini susah, haaa” kata Andana dengan mengerenyitkan dahinya. 

“aku senang karena meskipun berdiri sangat dekat dengan gadis itu namun anumu tak bisa bergerak karena dingin hingga tak bisa anu2an dengan gadis itu.. Beku... Kuyu.. Layu.. Ha...ha..ha” si Peramal Sinting tertawa lebar sambil melendotkan jari telunjuknya ke bawah. 

“Wong edan !! tapi aku lebih senang dari pada digigit nyamuk sepertimu” kata Andana. 

Andana dan Peramal Sinting sampai di dalam Pondok yang cukup luas dan bersih, pondok itu memiliki  dua kamar, kamar sebelah kiri adalah tempat istirahat sang Kakek sedangkan kamar sebelah kanan merupakan tempat tidur Pandan Kirana. Andana dan Peramal Sinting dipersilahkan duduk oleh sang kakek. Andana dan Peramal Sinting duduk dilantai pondok yang dilapisi tikar terbuat dari anyaman rotan. 

“Kalian pasti lapar dua hari tidak makan, karena itu kalian akan kujamu” kata si kakek berpakaian

Kulit Harimau, ia duduk di atas kursi rotan. Kakek itu memanggil muridnya, tak lama kemudian

Pandan Kirana muncul membawa makanan. Nasi putih hangat, Sangan (ikan bumbu), Juhu Kujang (Gulai Keladi diberi santan kelapa), serta Juhu Singkah (Kuah Rotan Muda) terhidang di hadapan Andana dan Peramal Sinting. 

“Makanlah makanan Khas Dayak yang sederhana ini, semoga kalian menyukainya” Kata Sang kakek. Ia pun turun dari kursinya dan bergabung makan dengan Andana dan Peramal Sinting. Melihat sang kakek telah memberikan izin, Andana dan Peramal Sinting segera menyantap makanan dihadapan mereka dengan lahap, disela2 makan Andana bertanya 

“Kek sebenarnya dirimu ini siapa. Mengapa tahu semua tentang guruku dan ilmunya ?”

“He..he..he kau anak muda yang cerdas Andana, penasaran dan ingin mengetahui segala hal, anak muda sepertimu ini susah dicari” kata si kakek sambil melahap sepotong Sangan besar. Ia kunyah nasi dimulutnya lalu melanjutkan kata2nya 

 

“Kira2 beberapa puluh tahun yang lalu ketika gurumu Datuk Perpatih Alam Sati masih seorang pemuda ia pernah bertemu denganku di Pegunungan Meratus Klemanthan bagian Selatan, saat itu ia ikut bertanding adu kesaktian mewakili Pulau Andalas, dalam adu tanding itu ia berhasil menumbangkan banyak musuh2nya. Musuh terberat gurumu bernama Lahong, seorang pendekar sakti dari tanah Paser. Gurumu dan Lahong bertempur sampai delapan puluh jurus, kesaktian Lahong yang sangat ditakuti para pendekar dunia persilatan nusantara adalah Parang Maya, yakni sebuah ajian sakti yang mampu membunuh lawan dengan tebasan telapak tangan. Parang dalam bahasa Klemanthan berarti golok sedangkan maya berarti tidak kelihatan. Artinya ajian ini adalah golok yang tak kelihatan namun mampu menebas lawan. 

“aku beberapa waktu lalu pernah menghadapi Parang Maya kek, saat melawan Ratu Buaya sungai Sangatta, ilmu itu benar2 merepotkanku” menyeletuk Andana. 

“Betul kek, kawanku Andana sampai pontang panting dibuatnya, untung tidak kencing di celana, hik hik hik” Peramal Sinting tertawa cekikikan. Pandan Kirana yang duduk tak jauh dari tempat itu tersenyum geli. Andana sikut perut Peramal Sinting lalu berbisik “Jangan buat aku malu ting” 

“he..he..he kesaktian Parang Maya Ratu Buaya memang cukup tinggi, namun belum bisa menyamai kemampuan Lahong dari Tanah Paser, nama asli gurumu Datuk Perpatih Alam Sati adalah Sakai Lesmana, seorang pemuda pemberani dan selalu membela kebenaran. 

“Jadi kek nama guruku yang asli adalah Sakai Lesmana ? beliau tak pernah memberi tahuku nama aslinya selama ini” kata Andana. Kakek itu anggukan kepalanya lalu teruskan ceritanya.

“Gatra Lesmana dan Lahong menyudahi perkelahian dengan berimbang, tak ada yang menang dan kalah. Dari perkelahian itu aku tahu semua nama jurus dan kesaktian yang ia miliki. Aku saat itu berumur sekitar enam puluh tahun kagum akan kemampuan gurumu, aku menjajalnya dengan mengajak bertarung beberapa bulan dimuka, aku berhasil mengalahkannya pada jurus ke lima puluh tiga. Gurumu meski Masih sangat muda namun memiliki ilmu yang tinggi. Aku mengajaknya kemari dan mengajarinya beberapa ilmu kesaktian salah satunya ilmu Titiran Dewa dan aku juga mewariskan kepadanya sebilah Mandau milik Panglima Sempung bernama Mandau Elang Putih, dengan Mandau itu ia berhasil mengalahkan Lahong, akhirnya tanah Para Dayak ini tentram kembali dengan kematian tokoh jahat yang sangat ditakuti itu”  

“Jadi kakek adalah salah satu guru dari guruku, maafkan kelancanganku kemarin kek pantas saja aku tak mampu menyentuh tubuhmu apalagi mengalahkanmu, berarti kakek adalah Panglima Awang Long ? Panglima besar tanah Dayak yang ilmu kesaktiannya tak terukur” tanya Andana dengan suara bergetar. Peramal Sinting dan Pandan Kirana terkejut mendengar keterangan Kakek berpakaian kulit Harimau Itu. (Mengenai Awang Long dapat dibaca di serial pertama “Pendekar Puncak Singgalang”)

“he..he..he Awang Long adalah namaku, namun gelar Panglima hanya dibesar2kan saja oleh para pendekar2 tanah Klemanthan ini.” Menjawab kakek bernama Awang Long itu. 

“kek aku benar2 tak menyangka akan bertemu denganmu di sini, aku benar2 bersyukur bisa menyapa dan bercakap2 dengan tokoh Utama persilatan Tanah Dayak” kata Andana. 

“tak ada ilmu yang paling tinggi selain ilmu yang maha pengasih anak muda, ilmu yang kita miliki hanya tetesan Air dari luasnya lautan Ilmu yang maha kuasa” jawab si kakek.

“coba kau ceritakan bagaimana kau dan kawanmu itu bisa sampai ke pulau ini Andana” pinta Awang Long pula. Ia meneguk air putih dalam kendi tanah dihadapannya. Andana lalu menceritakan bagaimana ia dan Peramal Sinting bisa sampai ke Pulau Klemanthan dan juga menceritakan bagaimana mereka menghadapi Ratu Buaya Sungai Sangatta. 

“satu kejahatan berhasil kalian tumpas, tetaplah berada dijalan kebenaran Andana. Aku yakin kau akan mampu menegakkan kebenaran seperti gurumu” 

“Dengan izin yang maha kuasa aku akan berusaha menegakkan kebenaran di atas kejahatan di muka bumi ini kek, guruku pernah berkata kepadaku Jika Tuhan berada dipihak kita lalu siapa yang berada dipihak musuh” Ujar pemuda dari puncak Singgalang ini. 

“Tentunya setan yang berada dipihak musuh, setan berwujud manusia he..he..he” Awang Long terkekeh. Lalu ia kembali berkata 

“Aku yakin kau akan menjadi pendekar besar yng ditakuti musuh2mu, Klemanthan penuh dengan orang2 sakti, jadi jangan sekali2 kau merendahkan lawanmu Andana, jadilah padi yang semakin berisi semakin merunduk”

“aku sama sekali tak pernah merendahkan lawan2ku kek, bahkan aku merasa ilmu yang aku miliki masih sangat jauh dibawah orang2 persilatan” 

“kau pintar merendahkan diri anak muda, gurumu terkenal akan kesaktiannya yang sangat tinggi dan dirimu telah mewarisi seluruh ilmu kesaktiannya. Aku tahu pukulan Telapak Halilintar sangat ditakuti lawan. Pukulan itu bersumber dari hawa Panas, karena dalam dirimu telah ada hawa panas maka aku mengimbanginya dengan Hawa dingin, ketahuilah aku menghukummu selama dua hari di tiang Kayu itu bukan untuk menyakitimu namun tiada lain untuk menurunkan salah satu ilmu kesaktianku bernama pukulan “Telapak Es ”, kini kau telah menguasai ilmu itu, pergunakanlah untuk kebaikan” 

Andana terlonjak kaget dari duduknya, penuh rasa tidak percaya ia bertanya “kek.. aku... tak menyangka kau menurunkan ilmu Pukulan Telapak Es kepadaku”

“itu kenang2an dariku Andana, coba kau himpun tenaga dalam dan salurkan ke telapak tanganmu” perintah Awang Long. Andana Himpun tenaga dalam ke tangan kanannya seketika itu tangan kanannya diselimuti cahaya putih redup dan dingin. Andana berdecak kagum melihat tangannya

“Jika kau hantamkan ke musuhmu, cahaya putih redup berbentuk kipas berhawa sangat dingin akan menderu ke arah musuhmu. Musuhmu akan menggigil dan membeku. Kau juga bisa gunakan pukulan itu dengan menempelkan telapak tanganmu ke tanah, es akan menjalar dan menyerang musuhmu serta membekukan apapu yang dilaluinya” menerangkan Awang Long. 

“Kek !! aku benar2 tak percaya ini. Aku mengucapkan banyak2 terima kasih atas budi baikmu” Harimau Singgalang mengucapkan terima kasih berulang kali. 

“”berterima kasihlah dengan tuhan anak muda. Ilmu yang kita miliki bersumber dari ilmunya. Dan untukmu Peramal Sinting karena engkau orangnya suka jahil aku akan menurunkan kepadamu sebuah senjata sakti,  Awang Long masuk ke kamarnya. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa sebatang Sumpit terbuat dari bambu Betung sepanjang setengah tombak. Sumpit ini bernama Sumpit Jagad Kalawa karena aku membuatnya sendiri dari Bambu Hutan Kalawa, boleh aku pinjam guci tanahmu” 

Peramal Sinting menyerahkan gucinya ke Awang Long. Kakek itu masukkan ujung Sumpit ke dalam guci sedot Air Aren didalamnya. Awang long menuju pintu Pondok diikuti Peramal Sinting dan Andana. Awang Long semburkan air aren dari mulutnya lewat Sumpit. Semburan disertai tenaga dalam itu membuat Air Aren berhembus ke depan dan menghantam sebuah batu besar di halaman pondok, “Bummm” batu itu hancur berkeping2. Andana berdecak kagum, Peramal Sinting leletkan lidahnya melihat kemampuan Sumpit Jagad Kalawa itu. 

“Sumpit ini memiliki banyak kesaktian lainnya dan bisa juga dijadikan senjata, terimalah ini Peramal Sinting. Mengapa namamu Peramal Sinting ? apakah kau pandai meramal ? 

Peramal Sinting menyambuti Sumpit Jagad Kalawa lalu menjawab “ terima kasih atas pemberianmu ini kek, aku akan menjaganya seperti menjaga nyawaku. Aku disebut Peramal Sinting karena aku memang bisa meramal kek. Dengan izin yang maha kuasa melalui guci ini aku bisa melihat kejadian2 yang akan terjadi” 

“ohh begitu semoga ilmu meramalmu berguna untuk orang banyak orang muda” 

“Kek kami mengucapkan banyak terima kasih atas semua yang kau berikan, kami akan mempergunakannya untuk kebaikan umat manusia, kami sudah berapa hari berada ditempatmu. Karena itu kami mohon pamit meneruskan perjalanan” berkata Andana. 

“jika itu keinginan kalian aku tidak bisa menahan. Semoga kalian menemukan jalan pulang dan jangan lupa Sampaikan salamku untuk gurumu di Puncak Singgalang” menjawab Awang Long. Ia mengantar Andana dan Peramal Sinting menuju Pintu Pondok. Mendengar Andana dan Peramal

Sinting akan pergi Pandan Kirana berlari menghampiri Andana yang saat itu sedang menuruni tangga Pondok. Melihat Pandan menghampirinya Andana menggandeng tangan gadis itu ke pinggir kali dekat Pondok.  

“Kakak secepat ini kah kau hendak meninggalkanku ?” tanya gadis itu dengan nada sedih. 

“aku berjanji akan mampir kesini lagi Pandan, jika waktu membawa kakiku kemari lagi” 

“ janji kakak ? jujur aku tak ingin kehilanganmu” mata gadis cantik itu berlinang air mata. 

“Selama Hutan Kalawa ini masih menghijau, selama matahari masih terbit dari timur kita kan bertemu lagi” berkata Andana sambil mengusap rambut gadis Dayak itu. 

“Kakak !! aku mencintaimu sepenuh hati.. aku tak ingin kehilanganmu” Pandan Kirana pejamkan matanya, air mata mengalir dari sela2 kelopak matanya membasahi pipinya. Andana merasa terharu dengan ucapan gadis itu. dipeluknya tubuh gadis itu dengan berbagai perasaan lalu dikecupnya bibir merah Pandan Kirana. Pandan Kirana masih pejamkan matanya meski Andana telah tinggalkan tempat itu. gadis itu merasakan sesuatu yang hilang dari hidupnya, air matanya kembali deras mengalir, dalam hatinya ia meratap “Tuhan !! mengapa kau pertemukan aku dengan orang yang datang dan pergi begitu cepat, tuhan aku mengasihinya.. sangat mengasihinya” 

 

 4

Andana dan Peramal Sinting berjalan menelusuri lebatnya hutan Kalawa, matahari sudah mulai condong ke barat ketika Mereka akhirnya sampai di tepi sungai Kahayan. Andana merasakan sesuatu yang aneh dengan pergerakan arus sungai itu, seperti ada sesuatu yang bersembunyi dibalik arusnya yang mengalir tak terlalu deras dan sedikit berputar. 

“Ting mari kita seberangi sungai ini, mudah2an diseberangnya ada kampung penduduk” kata Andana, Harimau Singgalang dan Peramal Sinting baru saja hendak menyeberang ketika puluhan orang mengurung mereka, mereka membawa Mandau, Tombak dan Sumpit. Andana merasa akan terjadi pertempuran di tempat itu namun dengan ramah Harimau Singgalang menyapa 

“maaf Para dunsanak sekalian kami hendak menyeberang sungai ini, sudihlah para dunsanak sekalian meberi kami izin lewat”

“Amai Raja !! kami yakin mereka berdua adalah jelmaan Ular Siluman penunggu sungai Kahayan ini, bukankah ular raksasa itu lenyap secara tiba2 di tempat ini kemudian muncul dua pemuda yang aneh ini, lihat saja pakaian mereka berbeda dengan kita semua” seru salah seorang dari mereka. Mendengar seruan itu orang yang dipanggil Amai Raja maju . Dengan pandangan dingin dia menatap Andana dan Peramal Sinting yang berdiri terpaut di depannya. 

“Kalian orang asing sebutkan nama sebelum kepala kalian terpisah dari badan” Teriak Amai Raja. Seperti dituturkan dalam bab ke dua Amai Raja dan para penduduk memburu dan mengejar ular raksasa yang memakan ternak penduduk di desa Gohong. 

“Walah ting kepala kita ingin di tebas pakai mandau, modar kita” bisik Andana ke Peramal Sinting. 

“Memang kita Sapi sob mau ditebas leher, para penduduk ini salah sangka” jawab Peramal Sinting. Andana maju dua langkah ke depan dengan lantang ia berseru “Ketahuilah para penduduk kami bukan jelmaan Ular, kami manusia biasa seperti kalian, namaku Andana dan Kawanku ini Peramal Sinting. Kami tersesaat di hutan ini dan sedang mencari jalan keluar” 

“Kau jangan berdusta orang muda !! jelas2 kalian berada di tempat Ular besar itu hilang. Kalian akan kami tangkap dan akan kami berikan hukuman setimpal” 

Peramal Sinting jadi jengkel dituduh sebagai siluman Ular, dia berseru dengan mengerahkan tenaga Dalam menggetarkan tempat itu

“Kek !! kami ini manusia biasa sepertimu, lihat kaki kami menginjak bumi, wajah kami hidung kami sama sepertimu, hanya saja hidungmu pesek sedangkan hidung kami mancung. Rambutmu putih kami hitam. Kalau Ular kadut ya kami punya hik..hik..hik..” 

“Ya ular Kadut di bawah perut , bedanya ular kami masih licin berkilat sedangkan punyamu sudah peot kek” menimpali Andana, keduanya tertawa terbahak2. 

“lihat kek kulit kami tak bersisik seperti kulit Ular, tapi pantatku saja yang sedikit burik” lalu enak saja Peramal Sinting pelorotkan celananya dan menunggingkan pantatnya ke arah Amai Raja.

“Kurang Ajar !! para penduduk tangkap kedua orang mencurigakan ini, bunuh jika melawan” perintah Amai Raja dengan wajah membesi karena menahan amarah. Mendengar perintah Amai Raja serentak para penduduk bersirabutan menghujamkan senjata mereka ke arah Andana dan Harimau Singgalang. Melihat begitu banyaknya serangan Andana himpun tenaga dalamnya lalu hantamkan Pukulan Angin Limbubu. Serangkum angin kencang laksana badai menderu ditempat itu dan menghantam para penduduk yang berusaha menusuk dan menebaskan senjata mereka.

Sepuluh orang terpental tunggang langgang diterjang angin Pukulan yang dilepaskan Harimau Singgalang. Sementara Peramal Sinting putar Sumpit yang didapatnya dari Panglima Awang Long. Angin kencang berkelebat kedepan. Delapan penduduk mental muntahkan darah. Peramal Sinting terkagum2 dengan senjata barunya itu. 

Melihat kawan2 mereka roboh, para penduduk tiup Sumpit mereka. Puluhan peluruh Damek meluncur deras mencari sasaran di beberapa bagian tubuh Andana dan Peramal Sinting. Dengan berseru keras Andana hantamkan Pukulan Badai Topan Puncak Singgalang. Angin luar biasa kencang disertai deru yang menggidikkan menyapu belasan Damek yang menyerang Harimau Singgalang. Peramal Sinting semburkan Air Aren yang ia sedot dengan Sumpit, belasan Damek pecah berantakan dihantamkan semburan yang disertai tenaga dalam. Belasan Damek kembali diruntuhkan oleh Andana dengan memutar Mandau Elang Putih yang ia cabut dari sarungnya. Para penduduk melotot tak percaya melihat serangan mereka begitu mudah dimentahkan oleh orang asing. Amai Raja pun terkejut tak percaya

“kalian benar2 bukan manusia, kalian siluman yang menggunakan sihir. Hanya siluman yang bisa mengeluarkan angin kencang  dari tangan mereka” teriak Amai Raja. 

“Kek terserah kau mau bilang apa. Kami ini manusia bukan siluman, kami hanya lewat guna mencari jalan keluar dari hutan” menjelaskan Andana. 

“Tidak bisa !! kalian tidak boleh pergi sebelum kalian menyerahkan diri untuk ditangkap” Amai Raja menjawab dengan suara lantang. 

“silahkan tangkap kalau kalian bisa. Aku capek menjelaskan semuanya kek” kata Andana. 

“Serang mereka !! kenapa kalian diam saja seperti sapi bengong” Hardik Amai Raja. Mendengar perintah Kepala Adat mereka kembali para penduduk serang Andana Harimau Singgalang. Tiba2 air sungai Kahayan bergemuruh menyusul suara mendesis. Bau amis menyebar. Semua orang ditempat itu terkejut dengan mata melotot. Andana dan Peramal Sinting bergidik ngerik melihat apa yang ada dihadapan mereka. Sesosok Ular Raksasa sebesar pohon Kelapa berwarna hitam Pekat berdiri dengan lidah bercabang terjulur berulang kali. Desisannya menegakkan bulu roma, bagaimanakah dan Ular apakah sebenarnya itu ???? mari kita ikuti kisah yang terjadi kira2 dua belas Purnama yang lalu sebelum Ular Raksasa itu memangsa dan menteror ternak2 Penduduk... 

 

***

Dua Belas Purnama yang lalu... 

Sang Surya bersinar terik berpadu dengan hijaunya hutan Kalawa di bumi Klemanthan bagian tengah, lebatnya daun pepohonan menghalangi teriknya sinar sang surya dan meneduhkan Dua orang yang sedang menebang sebatang pohon Meranti sebesar dua pelukan orang dewasa. Peluh membasahi wajah dan badan keduanya, batang Meranti itu baru terpotong sampai bagian tengahnya namun tangan kedua orang tersebut yang memegang kapak sudah sangat licin karena peluh, disela mengambil napas karena kelelahan salah seorang dari mereka bertanya, dia seorang pemuda gagah berpakaian merah terbuat dari Kulit Pohon Erau, di kepalanya ia memakai Sampa Hangang (Topi Rotan yang dihiasi Bulu2 Burung dibagian belakangnya) 

“Ayah !! sebaiknya kita istirahat dulu, pohon sebesar ini akan dirobohkan ke arah mana ?”

“Nampit !! sebaiknya kita selesaikan dulu menebang pohon ini baru kita beristirahat, kalau menurut ayah sebaiknya kita robohkan ke arah timur agar tidak merusak pepohonan lain disekitarnya” menjawab seorang laki2 tua yang ternyata adalah ayah dari pemuda bernama Nampit itu. Laki2 separuh baya ini bernama Kawang, ia memakai pakaian dari kulit pohon Siren yang diberi Jerenang (Getah) berwarna biru, di kepalanya ia memakai Tanggui Uei (Tutup kepala sejenis Caping yang dibuat dari Bambu/Rotan di Anyam diberi hiasan manik2 atau bulu Binatang)

“tapi Matahari sudah tepat di atas kepala, apakah ayah belum merasa lapar? ” tanya pemuda bernama Nampit itu lagi. 

“Apakah kau tak lupa memasukkan bekal makanan kita ke dalam keranjang Rotan ?” pak Kawang balik bertanya kepada anaknya. 

“Sudah ayah !! bekal makanan kita cukup sampai satu minggu, nanti sore aku juga akan masuk ke dalam hutan mencari hewan buruan dan buah2an” menjelaskan Nampit kepada ayahnya. 

“baiklah kita istirahat dulu, sebaiknya kita segera menyiapkan Nasi beserta lauk pauknya” perintah Pak Kawang kepada anaknya. Ia mengambil sebatang rokok daun dari saku pakaian kulit kayunya, dengan menggesekkan dua bongkah batu ia menyalakan api untuk membakar ujung rokok daunnya lalu ia juga menggesekkan dua bongkah batu itu untuk membuat perapian guna memasak air, nasi dan memanggang daging Payau (Rusa) yang mereka bawa dari rumah. Sementara Nampit menciduk air di sungai Kahayan dengan menggunakan potongan buah Labu hutan yang dibelah dua dan diberi tali akar pohon di setiap sisinya untuk memudahkan membawa air. 

Nampit memanggang daging Payau (Rusa) diatas perapian, sesekali ia mengipasi perapian dengan daun lebar yang pohonnya banyak tumbuh di pinggir sungai Kahayan. Asap mengepul disertai bau daging panggang menyerbak di udara. Tak lama berselang Nasi dan Daging Payau panggang telah siap. Kawang dan Nampit pun segera mengisi perut mereka yang sedari tadi keroncongan. 

“Ayah berapa lama kita akan membuat Jukung (Perahu yang dibuat dari batang pohon yang dikeruk bagian tengahnya) ? tanya Nampit sembari mengunyah daging Payau dimulutnya. 

“perlu waktu sepuluh harian nak !! itulah sebabnya ayah menyuruhmu mempersiapkan bekal makanan yang banyak agar kita tak kelaparan” jawab Pak Kawang sambil menyuapkan nasi putih ke dalam mulutnya. 

“untungnya aku banyak membawa bekal ayah, oh ya bolehkah aku bertanya sesuatu kepada ayah ? tanya Nampit kepada ayahnya yang sedang menikmati makanan dengan menyandar ke sebatang pohon besar. 

“hal apakah itu Nampit ?” tanya pak Kawang. 

“apakah betul hutan Kalawa ini larangan bagi siapapun yang hendak mengambil emasnya, bukankah sungai Kahayan in terkandung banyak emas dan harta karun nenek Moyang ?” 

Mendengar pertanyaan anaknya raut wajah Pak Kawang berubah, seketika ia hentikan makannya. Dengan menghembuskan napas panjang ia menjawab “Jangan tanyakan hal itu anakku, itu pantangan besar bagi kita, harta itu mengandung kutukan, siapa saja yang mengambilnya maka emas yang ia ambil itu akan digunakan untuk upacara Tiwah nya ( Upacara Kematian) sendiri” 

“Maafkan aku ayah, aku hanya sekedar bertanya saja ” jawab Nampit. Setelah makan siang Pak Kawang dan Nampit kembali melanjutkan menebang pohon Meranti. Mereka berharap sebelum senja batang itu akan berhasil dirobohkan. 

“Nampit kau pegang tali itu kencang2, berusahalah agar pohon tumbang ke arah timur” perintah Pak Kawang kepada Nampit. Mendengar perintah ayahnya Nampit segera pegang Tali yang mengikat bagian atas pohon Meranti itu erat2. Dengan sisa tenaganya pak Kawang ayunkan kembali kapaknya, akhirnya ayunan terakhir Pak Kawang berhasil menebang pohon Meranti besar itu hingga tumbang bergemuruh, dengan sigap Nampit mengendalikan arah robohnya pohon agar tak tumbang mengenai pepohonan disekitarnya, bagi Orang Dayak Pohon memiliki jiwa yang menunggunya, maka pohon dan alam harus di sayangi sebagaimana alam mengasihi mereka dengan hasilnya. 

Pak Nawang menyeka keringat yang membajiri tubuhnya, ia mengambil bumbung bambu berisi air  yang tergantung di ranting pohon dekatnya berdiri lalu meneguk isinya. Ia seka mulutnya lalu berkata kepada Nampit “Puji Ranying !! kita berhasil menebang pohon Meranti besar ini, dengan pohon sebesar ini kita bisa membuat dua buah Jukung yang besar2” 

“betul ayah, dengan Jukung yang besar kita bisa membawa banyak hasil hutan dan perkebunan untuk ditukarkan ke pasar” 

“Karena hari telah senja sebaiknya kita beristirahat kembali ke pondok, besok pagi kita bisa melanjutkan kembali mengeruk batang pohon” ajak Pak Nawang kepada Nampit. 

“Baiklah ayah, aku mau ke sungai dulu membersihkan diri” Nampit pamit kepada ayahnya. 

“Hati2 nak, cepat pulang sebelum malam turun” mengingatkan Pak Kawang. 

Nampit bergegas menuju sungai, ia membawa Lonjo (Tombak) untuk menjaga diri. Sesampainya di sungai Nampit segera hendak mandi namun seekor Payau (Rusa) besar melintas diantara pepohonan lebat dekat sungai, Payau itu bisa menjadi bekal makanan dia dan ayahnya. Nampit segera ambil Lonjonya, dengan Lonjo ditangan ia mengendap2 mendekati Payau besar itu. Jarak antara Nampit dan Payau itu semakin dekat. Pada jarak sekitar sepuluh tombak, Nampit lemparkan Lonjonya.. 

Payau itu seolah mendengar desingan Lonjo yang dilemparkan Nampit,dengan sigap Payau itu melesat menghindari lesatan Lonjo. Nampit penasaran sekali Lonjonya hanya mengenai tempat kosong, dengan geram ia mencabut lonjonya yang tertancap di tanah dan kembali ia mengejar Payau itu. Tanpa terasa hari semakin gelap, rasa penasaran Nampit terus mengejar Payau besar itu sampai jauh ke Hulu Sungai. Ia lupa akan nasihat ayahnya untuk segera pulang sebelum malam turun. 

Ketika malam turun suasana hutan menjadi gelap pekat, Nampit kehilangan jejak Payau besar itu. Ia baru tersadar jika sudah jauh masuk ke dalam rimba Larangan. Rasa lelah dan takut merayapi Pemuda itu, Nampit memutuskan kembali ke Sungai. Ia berjalan sambil mencoba mengingat jalan pulang ke arah sungai namun gelapnya malam membuat perjalanannya terhambat, beruntung Bulan Purnama dan cahaya tubuh kunang2 cukup menerangi keadaan hutan yang ditumbuhi pepohonan rapat. Nampit terus berjalan sambil menggenggam erat Lonjo ditangan kanannya.  diantara kerapatan pepohonan di depannya Nampit melihat seseuatu yang membuat detak jantungnya seakan berhenti, seekor Ular sebesar Pohon Kelapa sedang berusaha menelan Payau Besar yang tadi diburunya. Ular raksasa itu berusaha menelan mangsanya namun selalu gagal sebab ukuran Payau begitu besar. Ular itu mendengus marah  dan memuntahkan Payau itu dari mulutnya, dengan desisan keras kepalanya berputar ke arah Nampit, nyawa Pemuda ini serasa terbang. 

“Kau telah lancang mengintipku memakan Payau ini anak muda, kau harus menanggung akibat perbuatanmu” Ular besar itu mampu berbicara layaknya manusia, perlahan2 tubuh ular itu berubah menjadi seorang kakek berpakaian Kulit kayu berwarna Hitam, ditangannya tergenggam tongkat kayu. 

“maafkan aku kakek, aku sama sekali tak berniat mengintipmu” Nampit jatuhkan dirinya di depan kakek tua bertongkat kayu itu memohon maaf. 

“pantangan bagi siapapun yang melihatku, karena kau telah melanggar pantangan itu maka kau ku kutuk menjadi Ular seperti diriku” seru kakek berongkat itu, jari telunjuk tangan kanannya mengacung tepat ke wajah Nampit, dari telunjuk kakek itu terbersit keluar cahaya berwarna merah. Cahaya itu melesat ke depan dan mengungkupi tubuh Nampit. 

Nampit tersurut mundur mendengar ucapan si kakek, jika siang hari dapat dilihat wajahnya pucat seputih kertas, dengan suara tersendat Pemuda ini memohon “Kek, maafkan kelancanganku aku tak ingin menjadi Ular sepertimu” 

Kakek berwujud ular itu menggelengkan kepalanya lalu berkata “kau telah melanggar pantangan anak muda, kutukan telah terucap, mulai saat ini kau akan berubah menjadi seekor Ular raksasa penunggu Hutan dan Sungai Kahayan ini, penunggu harta pusaka, kau mewarisi ilmu kesaktian dan kutukanku, selamat tinggal anak muda ha..ha..ha” setelah tertawa menyeramkan sosok kakek itu laksana di telan bumi lenyap dari pemandangan... 

 

 

***

Ular Hitam Raksasa itu melesat cepat ke arah Amai Raja, kakek ini tak menyangka mendapat serangan mendadak seperti itu. Para penduduk berseru keras 

“Amai Raja selamatkan dirimu !!” teriak mereka, namun gerakan Ular itu sangat cepat sekali, hanya beberapa kejapan saja ketika Ular itu membuka mulutnya seperti tersedot Tubuh Amai Raja masuk ke dalam mulutnya yang bertaring tajam, sesaat terdengar kakek ini menjerit  setelah itu jeritannya lenyap ketika tubuhnya amblas ditelan ular besar itu. semua orang ditempat itu bergidik ngeri. 

“Kalian lihat itu ular yang kalian cari !! kami bukan Ular Siluman, mari kita serang ular itu bersama2” seru Peramal Sinting. Para penduduk segera lemparkan Lonjo dan tiup Sumpit mereka. Namun Lonjo dan peluru Sumpit yang dilepaskan para penduduk sama sekali tak menciderai binatang besar itu. 

Malah Ular itu mengamuk dan kibaskan ekornya, sepuluh orang terpental dengan tubuh remuk dihajar kibasan ekor Ular itu. Satu labrakan angin tiba2 menghantam kepalanya. Ular hitam besar itu putar tubuhnya, matanya yang merah menyala menatap Andana yang tadi melepaskan Pukulan Angin Limbubu. Dengan gerakan tak terduga ular itu patukkan kepalanya ke arah Harimau Singgalang. Andana jatuhkan dirinya sama rata dengan tanah, patukan Ular lewat diatasnya menghantam sebatang pohon ditepi sungai hingga roboh bergemuruh. 

“Onde Mande mati ambo !! mati dikampuang urang !! teriak Andana. Kepala Ular kembali serang

Andana yang terkapar ditanah. Dengan berguling ke samping Harimau Singgalang hantamkan Pukulan Telapak Halilintar. Cahaya putih panas disertai suara keras seperti petir menggebubu. Ular besar itu seperti tahu bahaya yang akan menghantamnya. Dari mulutnya keluar desisan disertai semburan Racun berwarna hijau, racun Hijau semburan sang ular beradu dengan pukulan sakti telapak halilintar yang dilepaskan Harimau Singgalang. 

“Bummm !! Pukulan Telapak Halilintar Buyar berantakan, tubuh Ular raksasa itu terpental dan terguling ke arah sungai. Air sungai memercik ke udara ketika tubuhnya mengenai air. Ular itu kembali tegakkan kepalanya di atas air sungai lalu dari mulutnya menyembur racun Hijau berulang kali menyerang Andana Harimau Singgalang. Pemuda dari puncak gunung Singgalang ini mainkan jurus “Tititran Dewa”, tubuhnya berputar dan berjingkrak jingkrak menghindari serangan racun Ular. 

“rasakan semburan mautku Ular gelo !!” teriak Peramal Sinting, ia sedot Air Aren dari dalam gucinya dengan Sumpit pemberian Awang Long lalu “Byurrrr” ia semburkan Air aren itu. semburan Peramal Sinting tepat menghantam tubuh Ular Hitam itu. tubuh sang Ular tergontai2 sesaat kemudian kembali mengibaskan ekornya ke depan. Kali ini tubuh Peramal Sinting yang jadi sasaran.  

“Alamakkkk !! abdi teu acan hayang mati euyy !! Peramal Sinting berteriak keras lalu melompat tinggi ke udara, Kibasan Ekor Ular hanya lewat dibawah kakinya. Dari udara kembali Peramal Sinting semburkan Air Aren dari gucinya. Sementara Andana kembali Hantamkan pukulan Telapak Halilintar nya ke depan, kali ini tepat menghantam tubuhnya, ular itu keluarkan desis kesakitan, tubuhnya terpental masuk ke dalam air. Sekian lama ular itu ditunggu tak kunjung muncul ke permukaan  Peramal Sinting dan para penduduk kegirangan mereka menyangka Ular itu pasti telah mati terkutung2 dan hangus dihantam Pukulan Telapak Halilintar. 

“Andana kita berhasil menumpas Ular itu, Pukulan saktimu pasti telah menghanguskan tubuhnya” seru Peramal Sinting dengan kegirangan. 

“Belum tentu ting. Mudah2an binatang itu benar2 mati” menjawab Andana. Harimau Singgalang baru hendak teruskan ucapannya ketika Suara bergemuruh keluar dari dasar sungai disertai cipratan air setinggi empat tombak. Ular itu terlihat marah matanya menyorot nyala, beberapa sisiknya yang keras terlihat mengelupas putih

“Gila ! Ular ini kebal pukulan sakti, Pasti ada kelemahannya pasti” Andana bergumam. Ular Raksasa bergeliat di dalam air sungai menarik kepalanya ke belakang memasang ancang2. Melihat gelagat ini Andana siapkan Pukulan Telapak Halilintar. Tiba2 ekor sang Ular tak terduga melesar keluar dari air

“Wuttttt” serangan ekor Ular itu mengarah ke dada Andana. Harimau Singgalang tarik dadanya ke belakang. Ekor sang Ular raksasa lewat sejengkal dari dada Andana namun ekor yang tadi tidak mengenai serangan berbalik dan menggelung tubuh Harimau Singgalang, begitu cepatnya gelungan Ular itu Tubuh Andana Tertarik ke depan dan masuk dalam gelungan tubuhnya. Harimau Singgalang berseru tertahan. Gelungan Ular terasa kencang seperti hendak meremukkan tubuhnya. Andana kerahkan tenaga dalam mencoba melepaskan gelungan ular raksasa itu tetapi semakin ia mencoba melepaskan diri dari gelungan semakin terasa kencang gelungan ular itu. 

“tuhan napasku terasa sesak !! berikan hamba pertolonganmu” Andana berdoa dalam ketidak berdayaannya. Tubuhnya semakin melemah, tulang2nya terasa remuk. 

“Andana bertahanlah !! aku akan membantumu” teriak Peramal Sinting. Pemuda yang selalu membawa Guci ini semburkan Air Aren dari dalam gucinya berulang kali ke tubuh Ular yang menggelung Andana, seperti merasakan disiram air biasa tubuh Ular itu sama sekali tak bergeming. Malah ia semakin mengencangkan gelungannya. 

Darah mulai meleleh dari hidung dan telinga Harimau Singgalang, pemuda ini mempasrahkan dirinya. Segala kemampuannya sudah tak berguna lagi. Sebaliknya Ular raksasa itu semakin bersemangat menggelung tubuh Andana, orang2 kampung yang mencoba menolong malah terpental tewas dihantam semburan racun Ular Hitam Raksasa itu. 

“Ular Laknat !! kau benar2 inginkan jiwa kawanku, aku mengadu jiwa denganmu” Peramal Sinting melompat setinggi tiga tombak ke udara dalam jurus Orang Sinting memutar guci, ditangannya tergenggam Sumpit pemberian Awang Long. Dengan Sumpit itu ia menyerang dan berusaha menggebuk kepala Ular itu. Ular itu menggereng marah ia semburkan racunnya ke depan, Peramal Sinting putar Sumpitnya, racun Ular tertahan dan terpental kena hantam angin yang keluar dari putaran Sumpit. Dengan kemarahan yang meluap2 Peramal Sinting gebukkan Sumpit bambu itu ke kepala sang Ular. 

Kepala ular itu merunduk ke bawah menghindari gebukan Peramal Sinting. Peramal Sinting masih di udara coba kembali gebukkan Sumpit Bambunya namun Gerakan Ular raksasa datang lebih cepat. Kepalanya yang besar dengan taring tajam menderu ke pinggang Peramal Sinting. Peramal Sinting melengak kaget, menghindar rasanya tak mungkin lagi. Dalam keadaan tak berdaya ia ambil Guci yang tersampir di punggungnya dan melemparkannya ke kepala Ular yang datang begitu cepat. Guci itu melayang dan “Prakkkk” tepat menghantam kepala sang Ular. Guci itu hancur berkeping2, isinya muncrat membasahi kepala dan Mata Ular raksasa itu. Ular itu mendesis keras begitu cairan pohon Aren membasahi matanya. Gelungannya ditubuh Andana Terlepas. Kedua mata ular itu terlihat membengkak buta. Peramal Sinting kini tahu kelemahan Ular itu adalah matanya .

Tubuh Andana Harimau Singgalang jatuh ke dalam air, dengan sisa2 tenaga pemuda ini berenang ke tepian. Ular besar itu merasakan gerakan Andana meski matanya buta. Dengan gerakan cepat ia mematukkan tubuhnya ke arah Andana yang berenang mencapai tepian sungai. 

“Andana Awas !!!” mengingatkan Peramal Sinting. Kepala Ular datang begitu cepat, sesaat lagi tubuh Andana akan ditelan Ular besar itu, Andana himpun tenaga dalamnya ke tangan kanan, tangannya berubah Putih redup. Hawa sangat dingin mengungkupi tempat itu. dengan berteriak keras Andana Hantamkan tangannya ke depan, cahaya redup berbentuk kipas menderu menebar hawa dingin.

Pukulan yang dilepaskan Andana tepat menghantam kepala Ular besar itu. Ular besar itu terbanting ke sungai, air sungai terbelah lebar akibat hempasan tubuhnya. Andana Harimau Singgalang tak lagi memberi kesempatan, ia tempelkan telapak tangannya yang diliputi Cahaya redup putih dan sangat dingin ke permukaan air sungai. Seketika itu air sungai membeku oleh lapisan es dan terus menjalar membekukan tubuh Ular raksasa itu. lalu Harimau Singgalang hantamkan pukulan Telapak Halilintarnya tepat mengenai tubuh Ular yang membeku itu hingga hancur berkeping2, pecahan tubuh Ular raksasa itu bertebaran kemana2 dan dikobari api.... perlahan2 air sungai yang tadi membeku kembali mencair dan mengalir seperti biasa. 

Andana Harimau Singgalang ucapkan rasa syukur kepada tuhan dan atur jalur napas serta aliran darahnya. Peramal Sinting mendekati Andana di ikuti para penduduk. 

“Bagaimana keadaanmu Andana ?  tanya Peramal Sinting. Ia berjongkok disamping Andana yang duduk bersila diatas sebuah batu besar dipinggir Sungai. 

“Pernah lebih baik ting !! tubuhku rasanya seperti ditindih gunung, serasa remuk tulang2ku” Andana menjawab sambil seka darah ayng menetes dari mulutnya. 

“welehhh welehh tapi lumayan enak diurut2 Ular biar pegal2 dibadanmu hilang, hi..hi..hi” Peramal Sinting tertawa hahahihi. 

“Enak gundulmu ting !! aku hampir saja mati, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu” 

“ahhh kita kan sahabat !! sahabat tak boleh meninggalkan sahabatnya yang sedang kesusahan, sahabat harus saling bantu, memang susah mencari sahabat sejati dalam kehidupan ini sebab yang sejatinya banyak ditemukan dalam persahabatan adalah kepentingan, bukan begitu Andana ?” tanya Peramal Sinting pula. 

“Tumben pikiranmu waras ting biasanya selalu sinting” goda Andana dengan tersenyum

“he..he..he sayang guciku pecah berantakan oleh serangan ular itu jika tidak kita sudah bisa minum merayakan kemenangan ini“ 

“Nanti bisa beli lagi ting guci seperti itu banyak jualannya di pasar” jawab Andana menghibur.  “memang banyak jualannya tapi setidaknya guci itu sudah menjadi sahabatku yang selalu menemaniku selama ini” 

Seorang penduduk datang menghampiri Peramal Sinting yang duduk menjelepok di pinggir sungai, ia memberikan Sebuah guci tanah yang bentuknya sama persis dengan yang dimiliki Peramal Sinting 

“Terimalah Guci beserta isinya ini kawan, semoga bisa menghibur kesedihanmu kehilangan guci yang tadi” kata penduduk itu. Peramal Sinting berteriak kegirangan ia ambil dan “Glukkkk Glukkk” ia teguk isinya dengan lahap, air aren segar melepas dahaganya. Dan “cuppp cupppp” ia cium badan guci itu berulang kali. Andana Harimau Singgalang hanya geleng2kan kepalanya melihat tingkah laku sahabatnya itu. dengan gerakan kilat ia sambar guci Peramal Sinting dan “ Glukkk Glukkk” Harimau Singgalang teguk isinya, keduanya terus asyik meneguk Air Aren meski matahari mulai terbenam ke ufuknya dan malam menyelimuti Sungai Kahayan yang mengalir tenang... 

 

TAMAT 

 

 

Segera Terbit episode berikutnya “Harimau

Tanah Dayak”

Buku Lainnya


Komentar :