Kerajaan Perut Bumi
Karya : Hendri Admajaya
Bag 1
Wiro Sableng berlari dengan menggunakan jurus Kaki Angin. Tubuhnya seakan berubah menjadi bayang-bayang. Andai saat itu ada seseorang yang melihat, tentu dirinya akan dianggap setan gentayangan atau paling tidak mahluk jadi-jadian.
Dalam kabut yang begitu pekat sulit bagi siapapun untuk bisa berjalan, apalagi sampai berlari dengan kecepatan setinggi itu. Jangankan manusia biasa, seorang yang sangat sakti mandraguna sekalipun akan kesulitan. Berlari secepat dari yang dilakukan Wiro Sableng saat ini sudah pasti, sosoknya akan menabrak tebing atau benda di depannya karena layaknya dikegelapan malam, kabut putih pekat membutakan mata.
Wiro Sableng sendiri mampu melakukan perjalanan secepat itu bukan karena ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari para pendekar sakti lainnya. Kabut Putih yang dibuat orang-orang Kerajaan Perut Bumi bukan kabut biasa. Menurut Kakek Segala Tahu, jangankan manusia, Dewa sekalipun tak mampu menghilangkan kabut yang beberapa tahun ini memenuhi seluruh dataran Pulau Jawa dan Andalas. Dia mampu melakukan lari secepat angin berkat bantuan dari Kakek Segala Tahu. Orang tua itu memberikan sejenis ramuan pada dua matanya, dibarengi dengan bacaan mantra. Meskipun Wiro Sableng merasa seperti kedua matanya terbakar, tapi itu tidak terlalu lama. Kejapan berikutnya dia merasakan kesejukan dalam rongga matanya. Dan pada saat itu pula, penglihatannya jauh lebih tajam dari sebelumnya.
“Coba kau pergunakan Ilmu Menembus Pandangmu.”
Walaupun sesaat Wiro sempat ragu akhirnya ia ikuti juga apa yang diperintahkan Kakek Segala Tahu. Wiro Sableng alirkan tenaga dalam ke kedua matanya, dalam sepersekian detik, penglihatannya jauh lebih tajam. Pemuda ini terkejut bukan main. Ini kali pertama dia mampu mempergunakan ilmu itu setelah sekian lama dia merasa sia-sia setiap kali mencoba. Ratu Duyung yang sejak tadi memperhatikan raut muka si pemuda tampak cemas. Menunggu keterangan yang keluar dari mulut sang pendekar.
“Ajaib!” pekik Wiro. “Aku bisa pergunakan ilmu ini. Ratu, aku bisa melihat keadaan sekitar. Ya Tuhan .... setelah sekian lama aku merasa tidak berguna, akhirnya ....” Wiro hendak memperbanyak aliran tenaga dalam pada kedua matanya, maksudnya agar jangkauan penglihatannya bisa lebih jauh. Tapi Kakek Segala Tahu cepat menepuk bahu si pemuda.
“Wiro, hentikan! Jangan kau tambah lagi.”
Ratu Duyung yang melihat itu langsung bertanya penasaran. “Kenapa, Kek? Bukankah ini kesempatan kita untuk tahu di mana saja tempat persembunyian para sahabat yang lain. Agar kita bisa menemui mereka semua, merencanakan apa yang harus kita lakukan untuk menghentikan bencana ini?”
Kakek Segala Tahu mendongak ke atas. Menggoyangkan kaleng rombeng yang ada pada tongkatnya. Suara nyaring menggema. Memekakan telinga. Dalam sebuah goa yang hanya di terangi obor kecil dia seakan melihat sesuatu. Padahal, jangankan orang buta, Wiro dan Ratu Duyung yang memiliki mata normal sekalipun tak mampu melihat apa-apa di langit-langit goa, kecuali lempengan batu dan cadas hitam berlumut.
“Aku mendengar ada getaran halus di luar goa ini. Itu pasti Ilmu Laknat milik orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Kalau mereka tahu ada getaran tenaga dalam yang kau pancarkan, celaka kita. Bukan hanya matamu yang akan dibuat buta oleh mereka, kita semua akan dibikin mampus.”
Wiro Sableng mengusap wajahnya. Tengkuknya mendadak terasa dingin. Beruntung tadi ia secepat mungkin memutuskan pengerahan tenaga dalam saat Kakek Segala Tahu memerintahkan untuk menghentikan, kalau terlambat sedikit saja, mata dia bisa buta.
“Ilmu Laknat para Kerajaan Perut Bumi itu bikin seluruh kepandaian kita benar-benar tidak berguna!”
Kakek Segala Tahu terkekeh. “Karena itu, Wiro, aku meminta kau untuk selalu waspada dan hati-hati. Terlambat sedikit saja bukan hanya ilmumu yang gak berguna, dua matamu pun cuma jadi pajangan saja, hihihi....”
“Dasar Tua Bangka geblek! Dalam keadaan begini dia masih bisa tertawa!” Wiro mengumpat dalam hati. Sementara Ratu Duyung hanya bisa menggeleng tak percaya melihat sikap Kakek Segala Tahu.
“Ah, sejak orang-orang Perut Bumi itu bikin kekacauan, kamu seperti kehilangan jati dirimu, Wiro. Kamu mudah tersinggung. Dan sejak pertemuan kita aku tak pernah mendengar kamu tertawa, hahaha .... atau jangan-jangan kekonyolanmu sudah hilang, berganti rasa takut yang berkepanjangan.”
Meskipun si orang tua seakan tahu isi hatinya, Wiro Sableng tidak terkejut. Dia hanya bisa melirik ke arah Ratu Duyung yang sampai saat itu hanya memperhatikan dirinya dan Kakek Segala Tahu.
“Bencana yang menimpa Pulau Jawa dan Pulau Andalas saat ini terlalu banyak mengorbankan jiwa Kek. Aku memang sableng, tapi untuk bisa tertawa dalam situasi genting begini rasanya tidak mungkin aku lakukan. Mengingat sampai saat ini kita masih tidak tahu, apakah tokoh-tokoh silat yang pernah kita kenal masih hidup atau mereka sudah meninggal? Kabar eyang guru saja aku tidak tahu.”
“Ah, soal nenek bau pesing itu kamu gak perlu mengkhawatirkan. Aku punya firasat dia baik-baik saja. Aku yakin dia sedang bersembunyi di suatu tempat bersama beberapa tokoh lain.”
“Kek,” Ratu Duyung yang sejak tadi hanya diam mengemati ikut bicara, “katamu setelah Wiro berhasil mempergunakan Ilmu Penembus Pandang akan ada tugas yang harus segera dia laksanakan.”
“Astaga! Untung kamu mengingatkan. Kalau tidak, semua usaha kita sia-sia.” Seakan melihat kakek ini berpaling ke Wiro Sableng. “Wiro, dengar ucapanku baik-baik. Berlarilah secepat yang kau mampu ke arah utara. Ketika kau sudah melihat puncak gunung tanpa mempergunakan Ilmu Penembus Pandang, maka ambil arah kiri. Sejauh sepeminuman teh kau akan temukan sebuah tebing yang sangat dalam. Di sana kamu akan mendapat pertanda.”
“Lalu apa yang aku lakukan setelah melihat pertanda itu, Kek?”
Kakek Segala Tahu menggeleng. “Aku hanya mendapat petunjuk sebatas itu. Bergegaslah! Waktumu tidak banyak. Ilmu penglihatanmu ada batasnya. Kalau sampai ilmu itu hilang dan kau belum sampai tebing itu, maka celakalah kita semua. Dunia persilatan berada dalam bahaya besar. Penduduk bumi akan mengalami kiamat mengerikan yang dibuat orang-orang laknat Kerajaan Perut Bumi.”
Wiro Sableng sampai membeliak mendengar keterangan si orang tua. Bukan tentang kiamat yang mengerikan itu, tapi tentang ilmu yang kini mampu membuatnya melihat dengan jelas, tanpa terhalang kabut. Dia mengira ilmu itu akan bertahan selama-lamanya seperti halnya ilmu kesaktian lainnya, nyatanya memiliki batas waktu.
“Kek, berapa lama ilmu itu bertahan?” Ratu Duyung yang tampak jelas mencemaskan keselamatan Wiro kembali bertanya.
“Semakin lama dia di sini, semakin sedikit waktu yang dimiliki pemuda sableng kekasihmu.”
“Wiro!” Ratu Duyung memegang lengan sang pendekar ketika dilihatnya hendak pergi.
“Ratu, aku harus cepat. Aku gak mau semua pengorbanan kita selama ini sia-sia.”
“Aku ikut bersamamu!”
Wiro menggeleng cepat. “Tidak! Kau tetap di sini. Lagian kau tahu sendiri kan, seluruh kepandaian yang kita miliki tak ada artinya tanpa mampu melihat.”
“Kalau begitu kau harus berjanji kembali dengan selamat.”
Wiro Sableng tersenyum. “Aku berjanji.”
Ratu Duyung memeluk tubuh kokoh sang pendekar. Wiro Sableng membalas pelukan sang ratu dengan penuh kehangatan. Suara batuk-batuk mengejutkan keduanya. Diiringi dengan senyuman Wiro telah bekelebat keluar dari goa. Dalam sekejap sosoknya telah menghilang di telan kabut yang memenuhi seluruh dinding goa.
Seperti yang dikatakan Kakek Segala Tahu Wiro Sableng menghentikan larinya saat puncak gunung terlihat olehnya tanpa mempergunakan Ilmu Penembus Pandang.
“Kakek itu memintaku untuk mengambil arah kiri.” Wiro terapkan lagi ilmu penembus pandang ke arah kiri. Ia sangat terkeju ketika melihat jalan yang harus dilaluinya ternyata sebuat lereng batu berlumut. Bukan itu saja, di kejauhan juga ia melihat banyak sekali bangkai binatang. Wiro menduga binatang-binatang itu terjatuh akibat salah jalan.
Wiro kerahkan sepertiga tenaga dalam. Ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai titik sempurna berhasil membuat tubuhnya melompat sejauh beberapa tombak dari batu satu ke batu lainnya. Ia harus ekstra hati-hati. Karena sekali ia salah melompat atau hilang sedikit saja keseimbangan tubuhnya maka tak ampun lagi, sosoknya akan terperosok jatuh ke jurang dan nasibnya akan sama seperti bangkai binatang yang ada di bawah sana.
“Tebing!” Wiro berseru tegang ketika sosoknya hampir saja terjatuh ke jurang. “Pasti tebing ini yang dimaksud Kakek Segala Tahu.” Wiro mencoba melihat ke dalam. Tak ada apapun selain warna hitam pekat, menandakan tebing batu itu teramat dalam. Ia bisa saja menambah tenaga dalam ke mata untuk bisa melihat lebih dalam, namun ia teringat dengan ucapan Kakek Segala Tahu agar tidak mempergunakan tenaga dalam melebihi dari batas yang sudah ditentukan.
“Apa yang harus aku lakukan? Mana tanda yang katanya akan muncul?” Wiro memandang sekeliling. Tak ada tanda-tanda apapun yang terlihat. Hanya puluhan bangkai binatang yang membusuk, menyengat pernapasan.
“Sialan! Terlalu lama aku di sini bisa ambrol isi perutku karena bau busuk ini!” Baru saja Wiro Sableng mengumpat, sebuah benda hitam dengan kecepatan tinggi berdesing mengarah ke kepalanya dari belakang. Wiro yang tidak menduga akan mendapat serangan mendadak terkejut bukan main. Dia berteriak dan merundukan kepala. Benda hitam berdesing setengah jengkal di atas kepalanya. Hempasan anginnya saja terasa panas menyengat.
“Pembokong, pengecut!” maki Wiro bersama ledakan keras dari benda hitam yang menghantam batu sebesar gajah. Melihat keganasan senjata rahasia musuh Wiro siap siaga dengan tangan kiri menyiapkan Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera sementara tangan kanan menyiapkan Pukulan Matahari. Diam-diam hati pendekar ini mulai meragukan petunjuk yang diberikan Kakek Segala Tahu. Jangan-jangan orang tua itu salah dan kini dia berada dalam kekuasaan Kerajaan Perut Bumi.
Dari arah serangan tadi melesat tiga sosok berpakaian hitam. Wiro mundur dua langkah dan memperhatikan penuh waspada tiga sosok di depannya. Walaupun ia tidak tahu apakah mahluk yang kini berada di hadapannya sebangsa dedemit penunggu jurang atau manusia terkutuk yang selama ini membuat bencana. Wiro pun tidak bisa mengenali siapa orangnya. Selain ketiga manusia itu mengenakan jubah hitam juga wajahnya ditutupi dengan sejenis kain yang membentuk topeng ala ninja.
“Bangsat bertopeng, siapa kalian? Mengapa membokong aku secara pengecut? Apa kalian salah satu komplotan manusia jahanam dari Kerajaan Perut Bumi?”
Mendapat bentakan keras menggelegar ketiga manusia berjubah hitam ini saling pandang. Kalau tidak terhalang kain tentu akan terlihat dengan jelas, betapa terkejut ketiga manusia ini. Bukan hanya kerena dahsyatnya tenaga dalam yang barusan dikeluarkan Wiro yang mengerahkan hampir separuhnya, tapi juga ketiga manusia ini dikejutkan dengan sikap si pemuda yang tahu persis keadaannya. Dari cara bicaranya jelas sekali kalau pemuda di depan mereka itu dapat melihat dirinya dengan jelas.
“Tidak mungkin pemuda seperti orang bodoh itu bisa melihat kita,” bisik orang di sebelah kiri. “Ajian Kabut Pembuta Mata yang disebarkan Para Iblis dari neraka tidak mampu dimusnahkan oleh dewa. Mustahil pemuda bertampang tolol ini memiliki ilmu lebih tinggi dari Dewa.”
“Tapi melihat dari pengerahan tenaga dalamnya, juga cara dia mampu menghindari Senjata Rahasia Kerajaan Perut Bumi, sepertinya dia bukan orang sembarangan. Dan satu lagi, selama ini tak ada satu manusia pun yang sanggup menghindar dari Braja Mustika. Sekali senjata rahasia keluar, darah dan nyawa bergelimpangan.” Balas membisik orang di samping kirinya. Sementara manusia yang di tengah diam saja. Berdiri mengamati seorang pemuda berpakaian serba putih sejauh tiga tombak di depan.
“Rupanya kalian hanya Setan Bisu penunggu jurang ini! Menyingkirlah! Sebelum aku muak melihat tampang kalian yang tak karuan.”
“Hahahaha.... Sayangnya, bagi para pengabdi sang baginda penguasa tunggal dunia ini tidak ada satu orang pun yang ditemui kecuali dia harus mati! Pemuda Tolol! Sebutkan siapa kau adanya agar para setan di neraka tidak repot menanyai nama burukmu!”
“Hahaha....” Wiro balas tertawa. “Ouh, jadi benar dugaanku, kalian bergundal-bergundal terkutuk itu? Baik, aku gak keberatan menyebutkan nama. Aku adalah Malaikat Maut yang datang untuk merenggut nyawa busuk kalian! Kalian gak perlu repot-repot sebutin nama, karena sebagai malaikat maut aku sudah tahu siapa saja nama kalian.” Wiro menunjuk ke manusia yang paling kiri. “Kau, mahluk yang kelihatannya paling kurus, meskipun pakai jubah, aku tahu namamu, kau terlahir dengan nama Mahani. Mati Hari Ini hahahaha .... Dan kau, yang tengah, aku tahu namamu karena sudah tertulis di neraka Jahanam. Kau bernama Darmika. Modar Minggat ke Neraka! Dan yang terakhir, kalian penasaran?”
Diejek sedemikian rupa, manusia yang dikatain kurus dan diberi nama Mahani bergerak cepat melancarkan serangan. Dua larik sinar hitam menggebu menyerang ganas ke arah kepala dan dada Wiro Sableng. Karena sebelumnya ia sudah siap siaga, Wiro cepat papasi serangan lawan dengan dua pukulan sekaligus. Benteng Topan Melanda Samudera dan Pukulan Matahari. Dua kekuatan beradu dahsyat. Suara gelegar ledakan mengguncang keadaan sekitar. Mahani terlempar ke udara, menjerit keras lantaran tangan kirinya buntung sebatas siku. Kepulan asap dan bau daging terpanggang menguar, memenuhi tempat sekitar.
“Bajingan! Bunuh pemuda itu dengan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi!” Manusia berjubah yang oleh Wiro diberi nama Darmika berteriak memberi perintah pada lelaki di sisinya. Tangan kiri mengacung ke atas sementara tangan kanan bertaut dengan tangan manusia berjubah di sebelahnya. Dari jemari yang teracung keluar membersit lima kilatan. Total sepuluh cahaya kuning sebesar buah jambu biji melesat, mengarah ke sepuluh titik mematikan di tubuh Wiro Sableng.
Wiro sendiri yang kala itu sedang mengatur jalan darah langsung melompat berdiri, kala melihat serangan mengancam nyawanya. Menghindar jelas tidak mungkin ia lakukan. Akhirnya Wiro kembali membalas serangan dengan Pukulan Matahari yang dilepas dari kedua tangannya. Dua larik sinar putih menyilaukan menerangi tempat sekitar. Hawa panas layaknya tembaga meleleh terasa membakar kulit. Ledakan dahsyat terjadi, kala dua pukulan hebat beradu di udara. Dua orang di sebelah sana tertawa bergelak. Wiro sendiri tidak merasakan adanya hempasan tenaga dalam sedikitpun. Ilmu setan jenis apa itu? Dalam bingungnya Wiro melihat kepulan asap putih keluar dari ledakan menyambar dahsyat ke arahnya. Wiro tidak tahu apakah asap itu beracun atau tidak. Tapi sebagai pendekar yang sudah memiliki banyak pengalaman ia segera menutup jalan napasnya, bergerak menjauhi hempasan asap putih tebal.
Suara tawa makin keras terdengar. “Kau lari ke neraka sekalipun Asap Kematian akan memburumu, pemuda tolol!”
“Berakhir sudah riwayatmu! Sayang kau tidak mau menyebutkan nama hingga kau harus mati percuma tanpa ada satu manusia pun yang tahu.”
Selagi Wiro bingung dan juga heran dengan kata-kata dua manusia di depan sana ia merasakan sekujur tubuhnya mendadak lemas. Pertama sekali kakinya terasa seperti kesemutan lalu seperti membal hingga akhirnya mati rasa. Wiro dalam paniknya segera mengerahkan tenaga dalam ke arah kaki yang berpusat di perut. Dan betapa terkejut ia ketika tenaga itu seakan lenyap dari tubuhnya.
“Astaga! Apa yang terjadi dengan diriku?” Wiro kembali mencoba mengerahkan tenaga dalam ke tangan kanan dan hal yang sama terjadi. Tenaga dalamnya seakan sirna dari dirinya. Saat itulah tubuhnya benar-benar mati rasa. Ia jatuh tersungkur. Anehnya, ia tak merasakan rasa sakit sedikitpun. Kini seluruh tubuhnya menjadi membal. Mati rasa. Dan penglihatan yang sebelumnya jelas perlahan menjad kabur, hingga dalam waktu singkat semua yang tampak hanya warna putih kabut. Apakah Ilmu yang diberikan Kakek Segala Tahu telah musnah? Atau memang hilang karena asap dari ilmu yang dilancarkan dua manusia jejadian tadi?
Wiro Sableng tidak bisa brfikir lama. Karena saat itu kesadarannya sudah mulai hilang. Ia hanya mendengar kata-kata terakhir dari manusia jejadian yang mulai mendekat.
“Sepertinya ajalnya sudah datang!”
“Tidak ada satu manusia pun yang sanggup bertahan dari racun mematikan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi! Kalau pun dia sangup bertahan paling hanya sampai sepuluh tarikan napas.”
***
Wiro Sableng membuka mata. Yang dilihatnya pertama kali adalah sebuah langit-langit kamar yang sangat indah. Diterangi dengan sebuah cahaya putih bulat sebesar kepalan tangan. Ada banyak sekali cahaya yang sama memenuhi hampir seluruh langit ruangan. Hingga keadaan tak ubahnya seperti di luar rumah, di bawah terik mentari. Hanya saja ia sedikit pun tidak merasa kepanasan. Bahkan yang ia rasakan udara sejuk seperti halnya di atas pegunungan. Wiro tidak tahu, terbuat dari apa cahaya yang mengambang di langit-langit itu. Ia tak bisa berfikir banyak karena keheranan dan kekaguman, lantaran saat ini ingatannya kembali saat di mana dirinya sebelum pingsan. Dia ingat betul kalimat salah seorang penyerang gelapnya itu. Tidak ada satu manusia pun yang sanggup menahan racun mematikan Pukulan Lima Kutuk dari Perut Bumi. Kalau memang benar, berarti saat ini dia telah meninggal? Berarti sekarang dia sedang di akhirat? Beginikah akhirat? Wiro memandang sekeliling. Ruangan itu luas sekali. Ada banyak perhiasan terbuat dari emas dan berlian. Emas? Astaga, seakan baru dia menyadari ternyata dinding kamar di mana ia berada pun terbuat dari emas. Dihiasi menik-manik di setiap sisinya dengan permata yang sangat indah.
Di mana dia sebenarnya? Apakah di Syurga? Wiro tidak yakin kalau kematiannya akan membawanya ke Syurga, mengingat betapa kotor dirinya atau penuh dosa hidupnya. Kalau di neraka masakan mendapat tempat seindah ini? Jika di neraka enak begini untung sekali manusia-manusia bejat.
Wiro senyum-senyum sendiri. Menarik napas panjang-panjang, aroma harum bunga taman di pagi hari terasa nikmat masuk ke hidung. Wiro melompat dari ranjang. Saat berdiri ia terkejut bukan kepalang. Baru sadar ternyata dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun di balik selimut.
“Celaka! Kelau ada orang liat bagaimana? Tempat seterang ini terongku di bawah tak tertutupi. Sial betul! Untung gak ada perempuan. Eh, jangan-jangan ini kamar perempuan. Setahuku hanya kamar wanita yang memiliki aroma seharum ini.”
Wiro kembali memandang sekeliling. Kedua tangannya digunakan untuk menutupi perabotan miliknya yang bergoyang ke sana kemari mengikuti gerakan tubuhnya. Padahal kalau dia mau bisa saja menyambar selimut yang tergeletak di atas kasur empuk bekas ketidurannya. Tapi bukan Wiro Sableng namanya kalau berfikir layaknya manusia kebanyakan.
“Kau sembuh lebih cepat dari dugaan anak muda.” Suara yang terdengar dekat sekali di belakangnya membuat Wiro sableng melompat ke depan. Di hadapannya kini berdiri orang tua berjenggot panjang sedada dengan jubah putih tersenyum. Wajahnya yang terbalut kulit keriput tampak tenang. Dalam kejutnya Wiro sampai lupa menutupi perabotannya, hingga si orang tua harus melihat kejuruan lain.
“Siapa kau orang tua? Dari mana kau masuk sementara sejak tadi aku meneliti ruangan ini tak ada pintunya.”
“Anak muda,” serunya dengan senyuman tanpa mau melihat ke arah Wiro. “Sebaiknya kau kenakan terlebih dahulu pakaiamu. Aku tidak mau bercakap-cakap dengan orang yang memiliki dua kepala.”
Seakan baru sadar dengan keadaannya, Wiro cepat kembali menutupi perabotannya.
“Sial betul! Kenapa aku bisa seceroboh ini sih? Untung orang tua itu tidak tergiur dengan barangku. Kalau iya, bisa celaka seumur hidup aku.”
“Tidak sepantasnya kau bicara kotor di tempat suci ini anak muda!” meskipun nada bicaranya tidak berubah, tetap tenang berwibawa namun ada sedikit gelombang yang terasa sekali menusuk telinga. Wiro menyadari kalau si orang tua telah mempergunakan tenaga dalam tingkat tinggi yang mampu mengirimkan penekanan lewat suara. Luar biasa. Tentu sosok tua berjubah putih ini bukaan orang sembarangan. Bahkan sekelas Kia Gede Tapa Pemungkas saja ia yakin sekali tidak akan mampu melakukan itu. Siapa gerangan manusia sakti mantraguna ini?
“Apa yang kau tunggu? Lekas kenakan pakaianmu! Dalam waktu dekat ini akan ada pembahasan penting dari seluruh negeri. Kedatanganmu sudah kami tunggu Pendekar 212.”
Dua bola mata Wiro Sableng terbeliak. Bukan saja karena dia terkejut lantaran si orang tua tahu siapa dirinya, tapi juga tentang pertemuan akbar yang tadi di sampaikan. Di mana sebenarnya dia sekarang? Makin banyak keanehan dan beragam pertanyaan kini memenuhi kepalanya.
“Dia bilang kenakan pakaian? Pakaian yang mana?” Wiro memandang sekeliling. Saat pandangan kembali ke sosok di mana orang tua tadi berdiri ia jadi terkejut. Mahluk tua itu tak ada lagi di tempatnya. Penasaran Wiro pun melompat, menyusuri setiap jengkal dinding yang terbuat dari emas bertabur permata, berharap ia menemukan sejenis tombol rahasia sebagai pembuka pintu. Tidak ada. Dinding itu rapi tanpa ada celah sedikitpun. Menurutnya, jangankan manusia yang sebesar dirinya, seekor semut pun tak akan mampu masuk. Lalu dari mana orang tua misterius tadi masuk? Mahluk gaib? Pasti sosok barusan hanya mahluk jejadian atau mungkin dedemit penunggu jurang?
Wiro terus berdikir-fikir sambil memutari seluruh dinding kamar memeriksa kalau-kalau ia menemukan sesuatu. Percuma saja. Dinding itu tak ubahnya sebuah kubus raksasa yang mengurung ketat dirinya.
“Tua Bangka sialan itu meminta aku agar ikut hadir dalam pertemuan besar, tapi anehnya dia tak ngasih tahu di mana pintu keluarnya?! Konyol dangkalan!”
“Sudah aku bilang, jangan berani bicara kotor di tempat suci ini, Pendekar 212!” entah dari mana datangnya suara itu tapi bagi Wiro terasa dekat sekali seakan orang yang bicara berada di depannya. Tapi bukan itu yang membuat Wiro terkejut dan sampai menutup telinganya rapat-rapat, melainkan suara itu seakan memiliki ribuan jarum yang menusuk gendang telinganya. Kalau sebelumnya ia hanya merasakan penekanan pada gendang telinganya, kini Wiro merasakan ribuan jarum panas yang menusuk. Pemuda ini sampai bergetar menahan rasa sakit. Beruntung semua itu terjadi hanya singkat saja. Kalau lebih lama sedikit saja tentu ia tak kuasa untuk tidak berteriak sekeras-kerasnya.
“Luar biasa! Ilmu silat apa yang dimiliki orang tua tadi? Bahkan saat orangnya tak ada sekalipun dia mampu mengirimkan suara dan sekaligus serangan mematikan! Selama seumur hidupku, baru kali ini aku melihat ada ilmu sedahsyat ini. Dan dia juga mampu mendengar suara hatiku. Astaga! Orang tua itu manusia atau ..... Tidak-tidak! Aku gak boleh bicara asal lagi. Salah-salah telingaku bisa pecah! Siala....” Wiro langsung menutup mulutnya. “Hampir saja,” katanya sambil menyengir lalu menggaruk kepalanya.
“Masih untung di tempat ini tidak dilarang untuk menggaruk kepala. Kalau iya, wahh, bisa mati kegatalan aku hahahaha....hup! Di larang ketawa juga gak ya? Eh kurasa nggak. Soalnya tadi aku lihat orang tua itu selalu tersenyum. Senyum kan adiknya ketawa. Jadi aku boleh ketawa sepuasnya hahahahahahaha......”
Setelah puas tertawa dan menggaruk kepala Wiro berpaling ke ranjang di mana sebelumnya ia terbaring. Di sana ia melihat ada setumpuk pakaian. Pemuda ini mengerutkan kening. Tadi ia tidak melihat apapun di situ. Benar-benar tempat penuh dengan kejutan.
“Mungkin orang tua tadi memang jago main sulap.” Wiro Sableng melompat ke dekat ranjang. Mengambil celana dalam warna hitam dan mengenakannya. Saat ia sibuk mengenakan celana dalam itu, tanpa disadari dinding yang sebelumnya menghalangi jarak pandangnya perlahan-lahan menghilang. Mirip seperti riak air, dinding itu bergoyang-goyang dan dalam sekejap sirna. Yang terlihat kini ratusan orang yang berbaris rapi dan tampak terkejut menyaksikan Wiro Sableng yang baru saja selesai mengenakan celana dalam.
Pemuda ini menjadi terkejut ketika mengambil pakaian yang sebelumnya tergeletak di ranjang kini tidak ada. Bahkan ranjangnya pun menghilang entah kemana. Saat telinganya mendengar suara-suara bisikan ia cepat berpaling. Dan betapa dahsyat gelombang kejut yang kini menerpa dirinya.
“Apa-apaan ini?” pekik Wiro dengan tubuh terjajar. Semua mata kini menghujani dirinya. “Bagaimana mungkin?” Ia memandang sekeliling. Sebelumnya berada di kamar, kenapa tiba-tiba dia berada di gedung rapat kerajaan.
Kalau kamar yang sebelumnya sudah membuat dirinya terlena dengan keindahan ukiran, kini lebih gila. Atap ruangan ini seakan tidak memiliki penopang. Bola-bola lampu yang memancarkan cahaya terang namun tidak panas menyilaukan berukuran sepuluh kalilipat lebih besar dari yang ada di kamarnya. Bukan itu saja, lantai yang dipijak, kalau sebelumnya terbuat dari emas maka di tempatnya sekarang berdiri terbuat dari batu permata. Wiro tidak tahu bagaimana cara memahat batu berlian seluas ini tanpa adanya sekat sebagai penyambung. Yang dia lihat lantai itu tampak berkilauan persis seperti batu berlian yang terkena cahaya.
Wiro melihat ke sisi kanan kiri. Di sana berbaris puluhan bahkan ratusan orang tua yang mengenakan jubah warna putih persis seperti orang tua yang menemuinya di kamar tadi. Sejauh lima puluh meter ke depan ia melihat para pemuda seusianya. Tatapannya sama bengis dengan yang dilakukan para orang tua. Kini Wiro pusatkan pandangan ke singasana di mana seharusnya sang raja berdiri. Namun seperti ada kabut, pandang matanya seakan menjadi kabur. Kala ia nekat untuk mempergunakan tenaga dalam, menerapkan Ilmu Penembus Pandang, kepalanya mendadak terasa sakit. Matanya menjadi perih. Semakin ia memaksa, matanya terasa seperti terbakar. Wiro terpekik dan cepat ia mengusap kedua matanya.
“Gila! Tempat macam apa ini sebenarnya? Orang-orang itu? Mengapa tidak ada satu pun yang bicara.”
“Yang Mulia, ijinkan hamba untuk menghukum pemuda terkutuk itu!”
Wiro tahu suara itu jelas memiliki nada pelan dan berada jauh di depan sana, sejarak lebih dari 50 meter tapi anehnya ia mendengar seakan orang yang bicara ada di sampingnya. Belum hilang gema suaranya mendadak Wiro merasakan badannya terasa panas. Semakin lama tubuhnya seperti terbakar. Tidak ada api, tidak ada kepulan asap, tapi dirinya seakan masuk ke dalam kobaran api raksasa.
Wiro menjerit. Melompat kalang kabut ke sana kemari, mencoba mencari air untuk mendinginkan tubuhnya. Sayangnya di tempat itu jangankan kubangan air, setetes pun tidak tersedia.
Pemuda ini bergulingan di lantai permata. Jerit kesakitan terus keluar dari tubuhnya. Ia mencoba mengerahkan hawa sakti ke sekujur tubuh, membentengi diri dengan Pukulan Angin Es berharap tubuhnya menjadi dingin. Yang terjadi justru sebaliknya. Hawa panas semakin menjadi-jadi. Kulitnya seakan hangus terbakar. Otak di kepalanya terasa mendidih.
“Kau pikir ini hukuman dunia yang ada di bumi, bisa dengan mudah kau langgar? Semakin kau melawan, semakin keras rasa sakit yang kau terima.”
“Siapa kalian? Apa salahku sampai kalian menjatuhkan hukuman terhadapku?” Wiro berteriak sambil terus berguling-guling tak kuasa lagi menahan rasa sakit.
“Kau telah melanggar aturan yang paling sakral di kerajaan ini.”
“Persyetan dengan segala macam aturan kalian! Aku gak merasa melanggar dan sedikitpun dari kalian tidak memberi tahu hingga aku menyadari kesalahan dan meminta maaf.”
“Tidak ada kesalahan yang bisa terhapus dengan kata maaf. Ini bukan duniamu. Di sini, siapa yang salah, hukum harus segera ditegakkan. Kau melanggar aturan paling berat, bertelanjang di depan Sri Baginda Raja. Harusnya hukuman yang paling dahsyat kau terima. Tapi Sri Baginda Raja menghendaki lain.”
Paling berat? Mereka pikir apa yang dirasakan Wiro saat ini ringan? Padahal rasanya dia mau mati!
“Kalau memang bertelanjang adalah kesalahan, aku minta maaf. Aku tidak tahu dan lagian itu bukan karena kesengajaan. Atau murni kesalahanku. Mengingat dengan tiba-tiba tempat di mana aku berada berubah menjadi tempat ini. Kalau memang kalian merasa paling tinggi derajatnya dari manusia, harusnya kalian jauh lebih beradap prilakunya. Menghukum orang tanpa tahu sebab kesalahan yang dibuat, apalagi dari ketidak sengajaan. Manusia yang kalian anggap rendah sekalipun tidak begini cara hukum ditegakkan. Kalian ini mahluk jenis apa? Dewa? Kurasa tidak ada dewa yang berprilaku seperti binatang. Melihat kesalahan orang hanya dari satu sudut pandang saja.”
“Benar-benar mahluk rendahan! Tidak punya peradapan, sopan santun!” Terdengar suara jentikan. Detik itu juga Wiro menjerit keras sekali. Hawa panas membungkus tubuhnya semakin menggila. Ia benar-benar sudah tidak tahan menerima penyiksaan sedahsyat itu. Kalau saja dia boleh memilih mati, mungkin sudah ia lakukan demi bisa terbebas dari siksa pedih yang berkepanjangan.
“Aku mengadu jiwa dengan kalian semua! Hentikan hukuman ini! Aku menantang kalian bertarung sampai mati!”
Hening sesaat, lalu gelak tawa memenuhi ruangan seluas mata memandang.
“Kau mau melawanku? Apa yang bisa kau lakukan wahai anak manusia? Mengeluarkan Pukulan Matahari andalanmu? Benteng Topan Melanda Samudra? Atau Tameng Sakti Menerpa Hujan? Pukulan Segulung Ombak Menerpa Karang? Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih, Pukulan Kilat Menyambar Puncak Gunung atau apa?” Kembali ruangan itu dipenuhi suara tawa. Wiro Sableng tidak usah ditanya seperti apa terkejutnya. Dalam rintih kesakitannya pendekar ini sampai terhenyak.
Hempasan angin terasa menyentuh kulitnya. Detik itu juga rasa sakit yang seakan membuat tubuhnya terasa gosong menghitam seketika hilang. Seolah sebelumnya tidak terjadi apa-apa. Wiro melompat berdiri. Diteliti sekujur tubuhnya. Benar-benar ajaib. Tidak ada bekas luka akibat terbakar, apalagi sampai gosong seperti yang disangka sebelumnya.
“Aku sudah membebaskanmu dari hukuman. Sekarang buktikan ucapanmu, anak muda.”
Wiro Sableng meneliti dari mana dan dari siapa suara itu keluar. Tidak bisa. Suara itu meskipun tahu dari jarak jauh di depan sana tapi ia seakan mendengar di samping. Saat kebingungan membungkus diri pendekar, bayang putih muncul di depannya. Wiro membeliak. Bersiap siaga dari berbagai kemungkinan. Lelaki muda berwajah tampan seusia dirinya tersenyum di hadapannya. Pakaian pemuda ini berbeda sekali dari kebanyakan orang tua di situ. Kain sutra yang dikenakan, diberi manik-manik dari intan. Dan sulaman yang terlihat disepanjang kain terbuat dari emas. Inikah sang paduka raja atau pangeran? Wiro tidak bisa berfikir lama karena saat itu si pemuda telah menegur.
“Buktikan ucapanmu, anak muda. Dengan Ilmu apa kau melawanku?”
Suara itu sama. Jadi ini mahluknya yang sejak tadi menyiksa dirinya. Wiro menjadi geram. Sekali mengangkat tangan, kepalan sebatas siku berubah menjadi perak. Hawa panas mengudara. Pemuda gagah yang diserang bukannya bersiap siaga menerima ancaman mematikan justru tertawa mengejek.
“Pukulan Matahari? Mungkin di duniamu Pukulan ini cukup mematikan dan menjadi momok paling menakutkan. Di sini, segalanya berbeda anak muda. Salah kaprah kalau kau sombong hanya karena ilmu silat sampah tak berguna!”
Diejek dan direndahkan di hadapan semua orang Wiro menjadi kalap. Bersama pekikan keras pendekar ini melepas pukulan sakti yang dalam rimba persilatan sekali terlepas maka nyawa melayang.
Sinar putih menyilaukan berkiblat. Hawa panas memenuhi ruangan sekitar. Pemuda yang diserang masih tertawa-tawa. Sedetik lagi pukulan ganas itu akan memanggang sosoknya, pemuda ini sambil berkata meniup. “Dingin!” perlahan saja. Dalam sekejap sinar putih yang mengandung hawa panas luar biasa itu berubah beku. Menjadi es dan yang paling sulit dipercaya bongkahan itu tetap mengambang di udara.
“Kembali ke Tuanmu!”
Seperti memiliki pikiran, bongkahan es itu pecah menjadi ratusan benda pipih yang siap menembusi setiap bagian tubuh yang menjadi sasaran.
Mendapat serangan dari senjata andalannya sendiri Wiro Sableng berteriak garang. Berguling ia menghindari ratusan senjata tajam yang melesat puluhan kalilipat lebih cepat dari anak panah, Wiro Sableng melepaskan Pukulan Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih sebagai benteng dirinya dan sekaligus melepas Pukulan Tangan Dewa Menerpa Karang. Dentuman dahsyat menguncang tempat sekitar. Beradunya tenaga dalam tingkat tinggi dengan ledakan sedahsyat itu harusnya lantai ruangan amblas, atap bangunan roboh, tapi yang terjadi justru di luar akal sehat manusia pada umumnya. Jangankan terjadi separah itu, bergetar saja lantai yang dipijak tidak. Ledakan dahsyat itu langsung hilang tak berbekas begitu saja. Walau demikian bukan berarti akibat dari benturan tenaga dalam tidak memberikan dampak apapun. Justru Wiro Sableng sampai terpental jauh, lebih dari lima tombak. Terguling-guling dia. Terbatuk-batuk hingga darah segar keluar dari mulutnya. Wiro sadar dirinya mengalami luka dalam yang cukup parah. Tidak mungkin baginya mengerahkan tenaga dalam lebih tinggi dari yang barusan ia keluarkan. Secepat mungkin ia menelan pil pemberian Eyang Sinto Gendeng. Duduk bersila mengatur jalan darah. Setelah dirasa sesak di dada hilang, Wiro melompat berdiri.
Lelaki di depan sana dilihatnya tersenyum mengejek. Dia samasekali tak mengalami luka sedikitpun. Jangankan cidera, apalagi sampai luka dalam, bergeser sesenti saja dari tempatnya tidak. Diam-diam Wiro merasa kecut juga melihat seberapa tinggi kekuatan lawan. Mungkin ini pertama kali dalam hidupnya Wiro Sableng merasakan gentar saat menghadapi lawan.
“Mahluk ini sepertinya memang Dewa. Untuk para Jin sekalipun mustahil memiliki tenaga dalam setinggi itu. Aku yakin tadi dia hanya mempergunakan tidak sampai seperduapuluh tenaga dalamnya. Bahkan jauh lebih sedikit dari itu. Tapi dampak yang ditimbulkan benar-benar mematikan.” Selama Wiro membatin Pemuda itu secara tiba-tiba sudah berada di depannya. Entah kapan pemuda ini bergerak, Wiro sendiri tidak melihat.
“Mari kita lanjutkan Anak Muda,” ajaknya sambil tersenyum. “Aku lihat tadi kau mempergunakan separuh dari tenaga dalammu. Sekarang aku mau lihat kau mempergunakan seluruhnya. Selama seumur hidup kau belum perah melakukan itu, kan?”
Wiro Sableng sampai tersurut dua langkah ke belakang. Bukan hanya terkejut karena orang tahu seberapa banyak ia menggunakan tenaga dalam, tapi juga yang lebih mengejutkan baginya lelaki di depannya itu tahu kalau dirinya selama ini memang tak pernah sekalipun mempergunakan seluruh tenaga dalamnya. Karena memang selama melalang ke berbagai penjuru negeri ia belum membutuhkan untuk melakukan itu. Sekarang, di depan ratusan orang ia ditantang untuk mengerahkan seluruhnya. Tapi masalahnya, apakah ia mampu? Mengingat luka dalam yang kini menciderai cukup parah. Kalau menolak, jelas, semua orang yang ada di sini akan semakin merendahkan dirinya.
“Mari kita mulai Anak Muda.” Pemuda Gagah ini mengangkat tangannya tinggi sekali, siap melancarkan serangan mematikan, akan tetapi ia kembali menurunkan tangannya. “Aku lupa. Luka dalammu pasti sangat parah kan. Aku gak mau sedikit sentuhan itu menjadi alasan ketika nanti ajalmu telah datang.” Belum selesai gema suaranya lelaki ini kibaskan tangan kanannya yang tadi diturunkan. Hempasan angin terasa menerpa kulit Pendekar 212. Wiro Sableng tidak dapat menghindar karena hempasan angin terlalu cepat, sulit terlihat oleh mata manusia. Andai itu adalah sebuah serangan, tentu seluruh anggota tubuhnya akan terkutung-kutung kejap itu juga. Beruntungnya, ketika angin itu menyentuh kulit, yang ia rasakan adalah hawa sejuk, mengalir bersama darah menuju ke rongga dalam. Detik itu juga luka yang menyesakan dada hilang tak berbekas. Seakan tak pernah terjadi apapun sebelumnya. Tak pernah ada benturan tenaga dalam dahsyat, bahkan Wiro Merasa seakan tenaganya pulih layaknya orang yang baru terbangun dari tidur lelap. Benar-binar enteng. Cara penyembuhan luar biasa. Sulit diterima akal.
“Keluarkan seluruh kemampuanmu, anak manusia! Buktikan kalau kau memang bukan manusia rendahan seperti katamu sebelumnya!” Pemuda ini gerakan kedua tangannya. Seiring dengan itu, lantai yang dipijak Wiro Sableng berderak, terbongkar membentuk dinding, mengurung dirinya. Wiro Sableng yang sejak tadi telah siap siaga melompat setinggi tiga tombak, maksudnya agar ia mampu melampaui dinding yang terus tumbuh menjulang tinggi. Sayangnya, dinding itu keburu menutup. Wiro menghantam dengan Pukulan Harimau Dewa. Pukulan sakti yang didapatnya dari Kitab Putih Wasiat Dewa ini memiliki kelebihan, selain dahsyat tidak harus menggunakan tenaga dalam sedikitpun. Meski begitu, jangankan hanya dinding batu berlian, yang hanya setebal dua hasta, dinding batu setebal lima tombak pun akan hancur berkeping-keping.
“Buk!!!
Wiro Sableng menjerit setinggi langit. Jangankan jebol apalagi sampai hancur berkeping-keping, bergetar sedikit saja tidak. Dinding itu bahkan jauh lebih keras dari baja.
“Tidak sampai setengah peminuman teh, kau akan terkubur hidup-hidup jika tidak bisa meloloskan diri dari Dinding Kematian, anak manusia! Selamat berjuang, hahaha....”
Wiro Sableng kertakan rahang. Ia hendak menjajal dengan ajian atau pukulan-pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi. Namun, di tempat sesempit itu, hanya akan membahayakan dirinya. Ia tidak sebodoh itu sampai harus melepaskan pukulan yang hanya akan memanggang dirinya sendiri.
Ancaman pemuda di luar sana bukan gertakan semata. Semakin lama kubus yang disebut Dinding Kematian itu semakin mempersempit ruang lingkupnya. Wiro Sableng tidak bisa berfikir lama, kecuali dia ingin mati tergenjet tanpa mampu melakukan apa-apa. Dalam bingungnya pendekar ini berteriak memanggil kapak maut naga geni 212. Dalam sekejap kapak sakti itu telah berada di genggaman tangannya. Dengan mengerahkan separuh tenaga dalam ia hantamkan mata kapak itu ke dinding Kematian.
Tranggg!!!
Bergerat hebat tangan Wiro. Hampir saja senjata sakti yang memancarkan sinar terang itu terlepas dari genggaman.
Dreggggghh!!!!
Dinding itu kembali mempersempit ruang pengurungan. Jaraknya kini hanya mampu diisi dua orang. Udara terasa semakin pengap. Pernapasannya mulai terasa sesak. Keringat dingin dan keringat panas akibat dari sesak mulai bermunculan, bersatu padu mengiringi kepanikan hati sang pendekar.
Dreeggghhhh!!!
Kembali Dinding Kematian menyempit. Ruang itu kini hanya mampu di tempati satu orang. Wiro Sableng semakin panik. Ia masih mencoba menghantam dinding sekeras baja itu dengan dua tangan sekaligus, dan pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Ini adalah kali pertama ia melakukan itu.
Cahaya putih menyilaukan memancar sangat terang dari kapak sakti. Benda tajam itu menghantam dinding.
Tranggg!!! Wiro Sableng tak mampu lagi menahan gagang kapak agar tidak terlepas. Senjata sakti itu terpental menghantam dinding sebelah kirinya dan memantul ke arahnya.
“Celaka!” Wiro tidak mengira kalau senjata yang sangat diandalkannya akan menjadi senjata makan tuan. Dengan kecepatan tinggi ia jatuh duduk dan meratakan tubuhnya dengan kaki yang terlipat. Senjata sakti lewat satu senti di atas kepalanya. Hawa panas terasa menyembar rambut gondrongnya. Bau sangit rambut terbakar terasa memenuhi ruangan yang semakin sempit.
“Selamat!” Wiro mengusap tengkuknya. Menggaruk rambutnya. “Gila! Mimpi apa aku semalam sampai mau mati dibantai senjata sendiri.”
Dregghhhh!!!
“Jahanam!” Wiro mengambil kapak dan lekas melompat berdiri. “Apa yang harus aku lakukan? Dinding keparat ini kebal pukulan dan senjata sakti. Jelas menghancurkan dinding sialan ini tidak mungkin. Hanya membuang-buang waktu. Aku gak mau mati gepeng tergenjet dinding sialan ini! Tapi bagaimana caranya aku keluar?”
Dreggghhhh!!!
Dinding kembali mempersempit ruang lingkup. Kini Wiro samasekali tidak bisa bergerak. Sekali lagi dinding itu bergerak, maka hancurlah tulang rusuknya. Dua kali bergerak, maka remuk seluruh tulang dan daging pembungkus. Dan gerakan terakhir tentu sudah dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi dengan tubuh Wiro. Pendekar sakti itu akan berubah wujud menjadi perkedel yang dicetak gepeng.
“Merogo Sukmo!” Mata Wiro terpejam. Pendekar ini telah mengeluarkan ilmu kesaktian yang di dapatnya dari nenek sakti yang tinggal di kedalaman laut. Salah satu kaki tangan Nyi Roro Kidul. Beruntung dalam saat genting itu pikirannya mampu bekerja cepat, mengambil keputusan tepat, hingga ia bisa selamat dari ancaman maut.
Melihat Wiro berhasil keluar dari Dinding Kematian pemuda ini cukup terkejut juga. Lain halnya dengan Kakek Sakti yang mendatangi Wiro Sableng sebelumnya. Orang tua yang memiliki wajah penuh wibawa ini tersenyum tenang ketika melihat Wiro berhasil lolos dari Ilmu langka milik salah satu kepercayaan paduka raja.
Perlu diketahui, hanya para dewa yang bisa lolos dari keganasan Ilmu Dinding Kematian. Bahkan para jin sekalipun tidak mampu melakukan itu. Hanya mereka yang memiliki ilmu setingkat para dewa atau yang berusia lebih dari 25 ribu tahun.
“Resi Sepitung Jagat, meskipun pemuda yang kau banggakan itu berhasil lolos dari Ilmu langka milik para dewa, bukan berarti dia layak menjadi satu-satunya ksatria yang bisa mengalahkan Kerajaan Perut Bumi. Selama yang dia miliki hanya ilmu sampah tak berguna seperti yang sudah diperlihatkan barusan.”
Orang tua yang sebelumnya mendatangi Wiro Sableng yang ternyata memiliki nama Resi Sepitung Jagat berpaling ke arah datangnya suara. Suara itu cukup jelas terdengar, akan tetapi hanya pada siapa yang dituju saja. Jangankan bagi Wiro yang hanya seorang manusia, bagi para dewa lainnya pun tidak mendesangit
Resi Sepitung Jagat membungkuk hormat pada sosok yang tengah duduk di singa sana. Kalau Wiro Sableng sulit melihat siapa dan bagaimana rupa mahluk yang duduk itu, tidak dengan Resi ini. Orang tua ini dapat melihat dengan jelas paras mahluk yang kini sedang menatap ke arahnya. Ternyata wajah lelaki ini sangat tampan. Usianya sama seperti pemuda yang kini sedang bertarung dengan Wiro Sableng. Namun yang membedakan, pakaian yang dikenakan jauh lebih bagus. Penuh dengan hiasan di sepanjang garis jahitan emas. Di kepalanya ada mahkota yang juga terbuat dari emas, bertabur intan permata. Wajahnya benar-benar tampan. Kalau saja pemuda ini turun ke bumi, tentu seluruh mata wanita di sana akan terpesona dan mungkin rela melakukan apapun demi bisa dekat dengannya.
“Hamba mengerti, Paduka.” Resi Sepitung Jagat membungkuk hormat. Ia teringat degan pertemuannya beberapa waktu lalu, lebih tepatnya dua bulan sebelum hari penjemputan Wiro Sableng dilakukan. Saat itu Paduka Raja meminta menemuinya seorang diri. Di sebuah ruangan yang cukup rahasia.
“Jadi ramalan itu benar? Pemuda itu yang tertulis dalam Gugus Bintang Kehidupan? Hanya dia satu-satunya ksatria yang mampu mengalahkan Raja Perut Bumi?”
“Hamba tidak mungkin berani berkata tanpa adanya kebenaran, Paduka. Kami dan semua para dewa penyidik sudah mengkaji berulang-ulang tentang kasus ini. Dan segalanya merujuk pada pemuda itu.”
“Sebenarnya sampai saat ini aku masih tidak percaya, ada seorang mahluk yang derajatnya jauh lebih rendah terpilih untuk menyelamatkan dunia. Padahal bagi para dewa itu semudah mengembalikan telapak tangan.”
“Hamba tahu itu, Paduka. Tapi jangan lupa, kita sebagai dewa pun mempunyai banyak pantangan yang tidak mungkin bisa dilanggar.”
“Ya, ya .... aku gak akan lupa itu. Baiklah, kapan kau akan menjemput manusia itu?”
“Dua purnama dari sekarang, Paduka.”
“Baik. Tapi seperti kataku, sampai detik ini aku masih tidak percaya dengan ramalan itu. Sebelum aku yakin kalau dia orang yang dimaksud, yang tertulis, jangan harap manusia itu bisa kembali hidup-hidup ke dunia setelah dia melihat alam para dewa.”
“Resi, kau melamun?”
Tersadar dari lamunan Resi ini segera membungkuk. “Harap Maafmu, Paduka Raja. Hamba telah berlaku lalai.”
“Kau benar tidak mendengar apa yang aku katakan barusan?”
Resi Sepitung Jagat menggeleng. “Ampun Paduka, hamba tidak mendengar.”
Pemuda yang duduk di singasana menarik napas panjang. “Kau lihat pemuda kebanggaanmu, sampai saat ini aku masih belum melihat ilmu silat yang bisa diandalkan. Semua kesaktiannya tak lebih hanya sampah di mataku. Apa pendapatmu, Resi?”
Meskipun sekarang Resi bisa melihat Wiro Sableng mampu memberikan perlawanan pada salah satu dewa yang sebelumnya jelas mempecundangi Wiro, untuk dikatakan seimbang masih terlalu jauh. Sukma Wiro dihadapan dewa tak ubahnya anak kecil yang sedang mati-matian melawan pria dewasa. Muntang manting ke sana kemari tanpa bisa memberikan serangan balasan yang berarti.
“Resi Kau terdiam? Kau tersinggung aku katakan semua ilmu silat pemuda itu hanya sebatas sampah di mataku?”
“Ampun, Paduka, hamba....”
“Aku tahu, ada banyak jurus silat dan pukulan yang digunakan anak manusia itu adalah ciptaanmu sendiri. Seperti halnya Pukulan Matahari yang diwariskan oleh muridmu secara turun temurun selama berabad-abad. Tapi ingat, Resi, ilmu yang kau ciptakan, yang kata para penduduk bumi ganas itu tak ubahnya hanya sebatas setitik api bagi para Dewa. Sekali tiup api itu padam tak tersisa. Melihat betapa tidak bergunanya pemuda itu, aku mau mendengar keputusanmu. Kau masih ingat dengan kata-kataku dipertemuan terakhir itu kan?”
“Hamba.... hamba masih mengingatnya, Paduka.”
“Bagus! Sekarang sudah saatnya kita memusnahkan pemuda itu. Aku gak mau dia kembali ke dunia yang penuh dengan dosa dan kedengkian setelah dia melihat alam kita.”
Berdesir darah Resi ini. Bagaimanapun ia merasa tidak tega melihat anak manusia itu mati sia-sia. Apalagi jika ditelusuri lebih jauh, pemuda itu masih satu turunan dari ilmu ciptaannya yang diwariskan lewat muridnya ratusan tahun yang lalu. Sebelum akhirnya sang murid mewariskan juga ke murid selanjutnya yang kini banyak orang mengenalnya dengan nama Kiai Gede Tapa Pamungkas.
Kalau Raja itu menolak mentah-mentah bahkan sangat tidak mempercayai ramalan yang tertulis, berbeda dengan dirinya. Dia justru sangat mempercayai ramalan itu. Bukan! Bukan karena yang terpilih masih terkait dengan dirinya, tapi lebih jauh dari itu, ia selalu bermimpi kalau pemuda itu memiliki kekuatan dahsyat yang para dewa sekalipun takkan sanggup untuk menahannya. Tapi yang dilihatnya sekarang justru berbanding terbalik. Wiro Sableng hanya menjadi bulan-bulanan salah satu dewa yang kekuatannya tidak lebih tinggi dari dirinya. Apa mungkin mimpi itu salah? Atau jauh dari itu ramalan yang sudah tertulis ribuan tahun yang lalu ternyata hanya goresan pena kosong tak bermakna? Tidak mungkin Penguasa Gugus Bintang Kehidupan melakukan sesuatu yang bagi para dewa dengan pangkat terendah sekalipun tak akan berani melanggar. Berdusta adalah pantangan terbesar bagi para dewa. Keabadiannya akan langsung dicabut dan dia akan dihukum sampai milyaran tahun lamanya.
“Sudah kau keluarkan semua jurus-jurus andalanmu, Anak Muda?” tawa mengejek dewa ini membuat Wiro Sableng semakin kalap karena merasa direndahkan. Serangannya melancar bertubi-tubi bagai air bah tapi jangankan sampai menggores kulit pemuda itu, menyentuh selembar benang dari bajunya saja ia tak mampu. Padahal memang seluruh kepandaiannya sudah ia keluarkan dan tenaga dalam yang digunakan hampir mencapai puncaknya. Napas pendekar ini sampai ngos-ngosan. Baru kali ini ia menghadapi lawan yang sulit sekali. Kalau yang menjadi lawannya bukan dari golongan dewa, tentu sejak tadi-tadi ia berhasil mendaratkan pukulan telak, atau bahkan mengakhiri perkelahian.
“Kau menantang aku bertarung sampai mati. Aku mau lihat kau mati kehabisan tenaga, anak muda. Asal kau tahu, sejak tadi aku tida mengeluarkan tenaga dalam sedikitpun untuk mengimbangimu. Sekarang, lihat seranganku dengan sedikit pengerahan tenaga dalam.”
Pergerakan untuk bisa mengimbangi pemuda itu sudah sangat cepat sekali. Tubuhnya sudah berubah seperti bayang-bayang. Kalau manusia yang melihat pertempuran tingkat tinggi ini tentu akan langsung pusing, dan kalau terus memaksakan mereka akan pingsan karena otak tak mampu mencerna dengan kecepatan gerak pertempuran yang dilakukan Wiro dengan dewa. Bagi Wiro sendiri itu adalah pertempuran tertingginya selama seumur hidup. Belum pernah ia melakukan perkelahian secepat ini. Tapi nyatanya, bagi dewa itu pergerakan tanpa mengeluarkan tenaga dalam. Gila! Apa dia salah mendengar? Selagi Wiro mengumpat, tiba-tiba sosok dewa yang sebelumnya masih bisa terlihat gerak serangannya menghilang, dalam seketika hantaman keras mengenai dada Wiro Sableng. Pendekar ini menjerit, terpental dari kalangan pertempuran. Darah segar menyembur seiring dengan batuk, pertanda luka dalam teramat parah kini bersarang di tubuhnya.
“Jangan karena kau tak terkalahkan di bumi, lalu bersikap pongah di hadapan kami! Kau tidak tahu sedang berada di mana anak muda? Kau dengar baik-baik anak muda, kami adalah para dewa yang memberimu kehidupan! Tidak selayaknya kau berani bicara pongah di sini. Kalau aku mau, hanya dengan kedipan mata sudah sejak tadi aku menghanguskan tubuhmu yang lemah itu!”
Walaupun sebelumnya sudah menduga kalau mereka bukan sebangsa manusia, mendengar keterangan barusan, Wiro tetap terkejut. Ia memang pernah bertemu para peri terutama saat ia tersesat di negeri latanahsilam, tapi sungguh, dalam pikirannya tak pernah terbesit sedikitpun kalau para dewa itu benar-benar bisa berinteraksi dengan manusia tanpa harus merubah wujud dalam bentuk kasar seperti halnya yang dilakukan para peri di latanahsilam.
“Kenapa terkejut? Kau masih belum yakin kami para dewa? Bukankah kau telah bertemu beberapa dari kami saat kau tersesat ke negeri latanahsilam dulu?” Pemuda ini kibaskan tangan kirinya. Saat itu terlihatlah dataran luas berbukit. Wiro ingat betul, itu adalah negeri latanah silam. Di lembah sana, tepatnya pinggir hutan ia sedang bersama Lakasipo salah satu kenalannya yang oleh Lakasipo menjadikan dirinya dan Naga Kuning juga Setan Ngompol saudara angkat. Di tempat itu ia pertama kali bertemu dengan Peri Angsa Putih.
Baru saja Wiro mengingat peri cantik bermata biru itu, sebuah kepakan sayap terlihat, memasuki gambar yang tertampil. Ia seakan berada di dalamnya, melihat kejadian dari tempat yang sangat dekat. Peri itu terbang berputar-putar dan lalu menukik turun menemui Lakasipo.
Bag 2
Baru saja Wiro mengingat peri cantik bermata biru itu, sebuah kepakan sayap terlihat, memasuki gambar yang tertampil. Ia seakan berada di dalamnya, melihat kejadian dari tempat yang sangat dekat. Peri itu terbang berputar-putar dan lalu menukik turun menemui Lakasipo. Sayang gambar keburu menghilang. Padahal ia ingin melihat wajah saudara angkatnya setelah sekian lama ia tidak pernah berjumpa. Bahkan kabar dia masih hidup atau sudah mati pun ia tidak tahu.
“Akibat ulah para peri bodoh itu akhirnya langit menjatuhkan hukuman pada para dewa untuk tidak ikut campur urusan dunia. Melihat kebusukan perbuatan kalian, kehancuran dan dosa-dosa betebaran di mana-mana sebenarnya aku atau kami para dewa ingin sekali menjentikan jari memusnahkan kalian semua. Sayangnya, para dewa tidak mungkin dan tidak akan pernah melanggar aturan.” Pemuda ini kembali menggerakan tangannya. Dalam sekejapan mata Wiro kini berada di sebuah arena pelatihan.
“Aku lihat kau beberapa kali mempergunakan Ilmu para dewa. Asal kau tahu, Ilmu yang kau gunakan atau yang kau kuasai itu hanya dasar tingkat terendah di sini. Lihat anak-anak itu baik-baik. Mereka sedang berlatih.”
Wiro berpaling ke sisi kirinya. Di sana ia melihat ada lima anak dewa yang sedang latih tanding. Gila! Wiro bahkan sampai leletkan lidah saking tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Anak-anak beberapa kali mengeluarkan pukulan-pukulan sakti ilmu silat yang bersumber dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Semua kesaktian yang dimiliki nyatanya hanya mainan anak kecil di sini. Ya Tuhan .... pantas saja dia hanya menjadi bulan-bulanan pemuda ini.
“Kau sudah paham anak muda? Hahaha lihat sekali lagi bahkan Sepasang Dewa Pedang yang tadi kau gunakan hanya mainan anak-anak, hahaha.....”
Selarik cahaya biru melesat dari sepasang mata anak itu, mengarah ke arahnya. Wiro berteriak dan siap melompat, tapi terlambat, kecepatan cahaya mematikan itu jauh melebihi yang pernah ia lakukan. Sedetik lagi sinar itu akan membabat putus tubuhnya, hendak menangkis dengan Pukulan Matahari, tapi yang terjadi sungguh membuat Wiro merasa benar-benar menjadi orang paling tolol di situ. Larikan cahaya mematikan itu lewat menembus tubuhnya tanpa melukai sedikitpun. Ia melirik ke belakang, bongkahan batu besar hancur berkeping-keping.
“Sepasang Pedang Dewa!” teriak lagi anak tadi. Yang diarah kini batu lainnya. Ternyata di sini ilmu mengerikan itu bisa dipakai berulang-ulang tanpa dibatasi seperti di dunianya yang hanya bisa digunakan dua kali dalam setahun.
Semua orang di ruangan itu tertawa. Keadaan sudah kembali ke sedia kala. Anak-anak yang sedang latihan itu sudah menghilang entah ke mana. Saat ini, Wiro bukan hanya merasa direndahkan lagi, dia bahkan sudah tidak memiliki harga diri untuk bisa dibanggakan.
Pemuda ini hendak kembali membuka tabir lain, akan tetapi terhenti karena mendengar ucapan yang berdengung keras dalam ruangan itu.
“Wisnu, cukup! Ada yang ingin aku sampaikan pada manusia yang tidak berguna ini.” Suara itu rendah saja, tapi gemanya begitu dahsyat terdengar. Bagi para dewa sekalipun harus menutup pendengaran dengan tenaga dalam. Bagaimana dengan Wiro Sableng? Pemuda ini sampai menyumbat telinganya dengan kedua tangan. Gendang telinganya seakan mau robek.
“Dengar anak manusia! Kami sudah mempunyai perjanjian dengan orang yang membawamu ke mari. Selama pertempuran tadi sesungguhnya kami sedang mengujimu. Ingin tahu apakah kau layak menjadi penentu keselamatan dari kekacauan dunia saat ini, tapi sampai sejauh ini kami tidak melihat sedikitpun dari ilmu silatmu yang berguna. Karena itu, sesuai perjanjian, kami harus memusnahkanmu, karena kau telah melihat alam kami. Alam para Dewa yang terjaga kesuciannya dari keburukan dan kotoran bahkan oleh pandangan manusia.”
Mendengar keterangan itu Wiro terlonjak berdiri. “Perjanjian setan apa itu?!” Wiro teriak dengan mengerahkan seluruh tenaga dalam karena tak kuasa menahan marahnya. Kalau saja itu ia lakukan di dunianya, tentu dampak yang ditimbulkan bukan main-main. Tanah tempat berpijak akan bergoyang-goyang, batu dan tebing akan bergemuruh dan retak berjatuhan. Tapi di sini, di alam para Dewa, teriakan yang dipenuhi tenaga dalam itu tidak memiliki dampak apapun.
“Berani kau membantak di kerajaanku!” Kalau gelegar guntur sudah mampu membuat jantung terlepas, maka bentakan Sri Paduka saat ini ribuan kali lebih mengerikan dari itu. Wiro Sableng sampai terbanting dan kembali memuntahkan darah segar. Ia benar-benar terluka di bagian dalam.
“Wisnu, habisi manusia tidak berguna itu!”
Wisnu mengangkat kedua tangannya. Kalau sebelumnya ia hanya main-main tidak untuk sekarang. Bisa dibayangkan, seganas apa serangan yang akan mendarat pada Wiro Sableng, mengingat tanpa mempergunakan tenaga dalam saja Wiro harus mati-matian agar bisa bertahan.
Tidak tanggung-tanggung, Dewa Wisnu mempergunakan seperempat tenaga dalamnya. Jika tenaga ini dilancarkan ke bumi, maka gempa dahsyat akan meluluh lantahkan seluruh manusia yang ada di atasnya. Serangan segila itu akan ditanggung Wiro seorang diri.
Pusaran udara sedahsyat puting beliung keluar dari kedua tangan Wisnu. Bersamaan dengan itu ledakan kilat terlihat sangat mengerikan. Wiro yang melihat itu tidak mau mati konyol berdiam diri tanpa bisa memberi perlawanan. Tapi, semua kesaktian sudah ia gunakan. Bahkan seluruh ajian miliknya tak lebih hanya dianggap mainan untuk anak kecil. Apa yang harus ia lakukan? Ilmu silat yang didapat dari kitab Wasiat Malaikat! Tiba-tiba ia teringat dengan ilmu kesaktian dari kitab itu. Tapi ia sendiri pun tidak yakin apakah akan mampu menghadapi kehebatan pukulan lawan, mengingat sebelumnya ia pernah pergunakan salah satu ilmu pukulan yang bersumber dari kitab itu. Dan kekuatannya hampir tidak berbeda jauh dari kesaktian yang didapat lewat inti Kitab Putih Wasiat Dewa.
Seperti yang kita tahu, kitab itu didapat Ratu Duyung saat beberapa tokoh memperebutkan Pedang Naga Suci 212 di Telaga Gajah Mungkur tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas. Saat semua orang terpusat pada memperebutkan senjata sakti itu, Ratu Duyung melihat benda melayang yang ternyata adalah Kitab Wasiat Malaikat. Sepanjang perjalanan petualangannya, kitab itu hanya ia simpan dibalik pakaiannya. Walaupun demikian, kitab itu mampu memberi tambahan kekuatan pada tenaga dalam Sang Ratu. Bahkan beberapa kali nyawanya diselamatkan oleh kesaktian kitab itu.
Ratu Duyung sendiri pernah membuka lembaran demi lembaran kitab itu, akan tetapi ia samasekali tidak dapat melihat tulisan di dalamnya. Kitab itu hanya berupa lembaran kosong melompong tanpa goresan pena setitik pun.
Bertahun-tahun ia menyimpan dan hanya dijadikan perlindungan diri di balik pinggangnya, akhirnya ia memberikan pada Wiro. Lebih tepatnya dua bulan setelah Wiro Sableng kembali dari negeri 800 tahun yang silam atau Mataram Kuno. Saat Wiro kembali itulah hampir seluruh Tanah Jawa sudah dipenuhi kabut. Ratusan tokoh persilatan hilang entah ke mana. Ribuan orang meninggal karena kehabisan makanan. Dalam pertemuan pertama itulah Ratu Duyung langsung memberikan Kitab Wasiat Malaikat ke Wiro Sableng. Ajaibnya, kitab yang sebelumnya hanya berisi lembaran kosong, ketika dibuka oleh Wiro, tulisan itu secara ajaib timbul. Ratu Duyung yang tidak percaya itu langsung memberi dugaan kalau kitab itu memang berjodoh pada Wiro. Selama berbulan-bulan Wiro mempelajari isi dari kitab itu. Jika Kitab Putih Wasiat Dewa memiliki delapan inti kekuatan, maka Kitab Wasiat Malaikat mempunyai sepuluh inti kekuatan. Salah satunya yang kini sedang Wiro Sableng gunakan.
“Tiupan Sangkakala!” Wiro menyebut nama ilmu yang dikeluarkan tepat ketika Dewa Wisnu melepaskan pukulan dahsyatnya. Gelegar Guntur dan angin prahara menyambar ganas ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng yang memang sejak tadi sudah merasa kecut dan getar melihat kedahsyatan ilmu lawan, ia pasrah saja andai ilmu pukulan yang didapatnya dari Kitab Wasiat Malaikat tak mampu untuk menangkis serangan. Tapi, betapa terkejutnya pendekar ini saat menyaksikan apa yang terjadi.
Ketika dua kekuatan sakti itu beradu dentuman keras merobek gendang telinga. Kalau sebelumnya pukulan sehebat apapun yang dilepaskan Wiro tidak mampu memberi dampak apapun terhadap bangunan istana, tidak untuk sekarang. Lantai keras yang terbuat dari berlian berderak rengkah. Atap bangunan yang tidak terlihat langit-langitnya lantaran saking tinggi runtuh. Puluhan Dewa yang sejak tadi hanya menjadi penonton keseruan pertandingan pontang panting mencari selamat. Beberapa dari mereka mencoba memapasi angin kesaktian yang dilepaskan Wiro, meskipun dikeluarkan dari mulut, tiupan itu tak ubahnya seperti badai yang siap meluluhlantahkan apa saja yang diterjangnya. Beberapa Dewa yang kekuatannya tidak setara dengan Dewa Wisnu terbanting, ada juga yang sampai terpental jauh. Mereka semua muntah darah. Jelas, luka dalam yang sangat parah kini menimpa para dewa. Yang paling apes dari semua itu tentu saja Wisnu sendiri. Karena dia berada paling dekat dan menjadi sentral pusat kekuatan lawan, ketika bentrokan terjadi, pemuda ini terpental jauh ke arah singasana. Jerit kesakitan tenggelam di telan gemuruh badai prahara. Andai Sri Paduka tidak segera memapasi, tentu tubuhnya akan amblas masuk ke dalam dinding berlian.
Luka Wisnu sangat mengerikan. Hampir seluruh tubuhnya gosong. Sutra kebanggaan istana hangus tak tersisa. Sri Paduka tahu, Dewa kebal dari kematian, namun bukan berarti tidak bisa mengalami penderitaan. Semisal sekarat berkepanjangan. Dan ini terjadi pada salah satu abdinya.
“Beri pertolongan, cepat!” Dua orang bergerak lincah membawa Wisnu menuju ruang penyembuhan. Sementara yang lainnya telah mengurung Wiro Sableng yang saat itu telah kembali ke raganya dan mengenakan pakaian yang tiba-tiba muncul di dekatnya.
Setelah tersadar dari kekaguman ia langsung menyambar raganya yang secara ajaib terbebas dari Dinding Kematian. Dinding itu lenyab bersama terpentalnya Wisnu. Tidak mau membuang waktu ia segera melompat, masuk ke dalam raga. Menyimpan kapak yang tergeletak ke dalam dadanya dan pada saat yang sama pakaian putih miliknya tiba-tiba muncul.
Ia benar-benar merasakan perbedaan pada tubuhnya. Bukan hanya semua rasa sakit itu hilang, musnah tak berbekas, tenaga dalamnya seakan menjadi berlipat-lipat. Kecepatan geraknya sudah setara dengan para dewa. Sulit dipercaya. Ilmu yang sebelumnya ia remehkan nyatanya memiliki kekuatan dahsyat dan mampu menyelamatkannya dari kematian.
Wiro Sableng siap melompat untuk pergi, tapi dalam seketika ia sudah terkurung oleh puluhan dewa yang usianya sama persis dengan Wisnu. Dari pakaian dan ciri khasnya sepertinya mereka memiliki dua, tiga tingkatan lebih tinggi dari Wisnu.
“Hancur leburkan mahluk rendah yang berani mengacau di istana dewa!” Salah seorang memberi perintah. Wiro Sableng hendak berkata, memberi penjelasan kalau cukup sampai di sini perkelahian ini, tapi puluhan pemuda itu telah menggabungkan kekuatan untuk membumi hanguskan dirinya.
“Para Dewa Sialan!” Wiro Sableng pusatkan tenaga dalam ke kedua kakinya. Karena melihat puluhan dewa bergabung menyerangnya, Wiro Sableng tidak mau berlaku ayal. Seluruh tenaga dalam ia pusatkan ke kaki. Ini adalah ilmu ketiga dari sepuluh inti kekuatan yang bersumber dari Kitab Wasiat Malaikat. Di bumi Wiro belum pernah mengeluarkan ilmu ini. Karenanya sedikitpun tidak tahu seperti apa kedahsyatan yang nanti terjadi. Apakah sedahsyat yang tadi dia keluarkan atau justru melebihi.
“Sepasang Kaki Malaikat!” Wiro menyebut nama ilmu yang dikeluarkan dalam hati. Bersamaan dengan itu, dari sekujur tubuhnya keluar cahaya biru.
Krakkk!!!
Kedua kakinya tenggelam sebatas betis ke dalam lantai berlian. Beberapa dewa membeliak menyaksikan itu. Lantai teramat keras, pukulan sakti tak mampu menembus, tapi pemuda itu mampu membobol lantai keras seakan yang diinjak tanah lumpur yang lunak.
“Pendekar 212, hentikan!”
Wiro mendengar seseorang berbisik di telinganya. Ia tahu itu suara orang tua yang datang ke kamarnya. Wiro mau saja menghentikan serangannya, andai para dewa itu mau diajak bicara dan juga membatalkan serangan. Tapi yang dilihatnya justru gemuruh kekuatan dahsyat menerjang ke arahnya. Ia tidak mau mati konyol, mengikuti perintah si orang tua.
Cahaya biru yang memancar dari seluruh tubuh Wiro Sableng menyebar memenuhi seluruh lantai ruangan. Bersamaan dengan itu goncangan dahsyat terjadi. Para Dewa yang menyerang terpekik ketika merasakan gempa melanda lantai yang dipijaknya. Mereka siap terbang, tapi kakinya seakan telah menyatu dengan lantai ruangan.
Wiro Sableng melompat ketika Langit-langit istana gemuruh runtuh menimpa dirinya. Dan ini keterkejutan untuk kesekian kali bagi sang pendekar. Bukan hanya kekuatan ilmu yang dilepaskannya, tapi teryata ia pun kini bisa terbang. Tubuhnya terasa jauh lebih ringan dari udara.
Wiro Sableng melesat keluar istana dengan kecepatan gerak yang setara dengan dewa. Ia menjadi terbelalak ketika menyaksikan apa yang terjadi dari ketinggian. Ia pikir hanya lantai istana yang terkena gempa, nyatanya seluruh kota raja dilanda gempa yang maha dahsyat. Istana megah menjulang tinggi ke langit para dewa runtuh, menimbun ratusan para dewa yang terperangkap di dalamnya. Istana-istana para penduduk kota lebih parah. Seluruhnya hampir rata dengan tanah. Jerit ketakutan terdengar di mana-mana. Ribuan para dewa yang menjadi pendudduk kota morat-marit mencari selamat. Ini untuk pertama kalinya dalam sejarah, selama jutaan tahun baru kali ini alam para dewa mengalami bencana yang sangat mengerikan.
Wiro Sableng yang menyaksikan itu menjadi bingung. Menyesal juga ada. Ia tidak menyangka dampak dari kekuatan yang dikeluarkan akan sedahsyat itu. Tapi, apa yang bisa ia lakukan untuk menghentikan gempa yang maha dahsyat ini? Ia hendak melesat menolong orang-orang, tapi Resi yang tadi memberi peringatan menghadang jalannya.
“Itu ilmu larangan. Tadi aku sudah peringatkan. Kenapa kau nekat melakukannya?”
“Aku gak tahu akan sedahsyat ini, Orang Tua.”
“Kalau tidak segera dihentikan, alam para dewa bisa musnah anak muda.”
Wajah Wiro Sableng menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.
“Keluarkan inti kesaktian yang pertama.”
Wiro Sableng segera melakukan apa yang dikatakan si orang tua. Ia melesat dengan kecepatan tinggi ke bawah. Berjongkok, dengan kedua telapak tangan memegang tanah.
“Tangan Kasih Malaikat!” Wiro Sableng kembali memyebut nama ilmu kesaktian yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat. Dari telapak tangannya menjalar cahaya biru, memenuhi seluruh kota. Dalam sekejap gempa mahadahsyat terhenti. Keadaan sudah tidak bisa dikenali. Seluruh bangunan menjadi sama rata dengan tanah.
“Pendekar 212, cepat, ikuti aku!”
Wiro mendongak ke atas. Orang tua di atas sana terlihat mengangguk, lalu cus!! Sosoknya melesat hilang di ketinggian. Kalau sebelumnya Wiro hanya bisa leletkan lidah karena tak mungkin mampu mengejar, tidak untuk sekarang. Pendekar 212 dalam waktu singkat sudah berada di samping si orang tua. Ternyata kecepatan geraknya melebihi para dewa.
“Orang Tua, kita mau ke mana? Bagaimana dengan kekacauan di kerajaan?”
“Soal Kerajaan biar nanti jadi urusanku dan para dewa lainnya. Sekarang kita harus cepat ke Gugus Bintang Kehidupan. Sudah tidak ada waktu lagi. Dunia tempat tinggalmu dalam bahaya. Terlambat sedikit saja maka kiamat sudah tak bisa dihindari lagi.”
“Aku tidak mengerti.” Kata Wiro sambil menambah kecepatan karena si orang tua melipatgandakan kecepatan lesatnya.
“Apa yang kau tidak mengerti anak muda?”
“Ilmu dari Kitab Wasiat Malaikat yang barusan aku keluarkan. Di duniaku, meskipun itu tergolong ilmu langka dan sangat berbahaya, tapi dampaknya tidak sedahsyat barusan. Bahkan tidak lebih tinggi dari pukulan-pukulan kesaktian yang bersumber dari Kitab Putih Wasiat Dewa.”
Orang tua itu tersenyum. “Seperti halnya ilmu kalian penduduk dunia, anak muda. Sehebat apapun ilmu kalian, di alam kami tidak memiliki arti apa-apa. Kau sudah melihatnya saat melawan Wisnu kan? Semua itu terjadi karena perbedaan dimensi. Dimensi alam para dewa lebih tinggi dari alam dunia. Begitu pula dengan dimensi alam malaikat. Kami para dewa sekalipun tidak tahu di mana alam itu, dan berada di dimensi ke berapa. Yang jelas mereka puluhan kalilipat lebih tinggi dari dimensi alam para dewa. Karenanya, ketika kekuatan yang bersumber dari sana sekecil apapun itu sudah lebih dari cukup untuk membuat bencana di alam para dewa. Begitu pula yang terjadi di dunia. Bagi para dewa, alam kalian bisa hancur dan musnah hanya dengan jentikan tangan saja.
“Nah, kau bertanya mengapa kekuatannya tidak dahsyat ketika dilakukan di bumi? Itu karena keterbatasan fisik. Fisikmu tidak mampu mendukung kedahsyatan kekuatan itu. Sedangkan saat di sini, entah menyadari atau tidak, fisikmu sudah aku ubah menjadi dimensi ke lima, sesuai dengan tingkatan alam para dewa. Kau sudah mengerti anak muda?”
“Dimensi ke lima?” Wiro terbelalak tak percaya.
“Dalam dimensi ini kau bahkan bisa melihat alam jin dengan leluasa tanpa takut ketahuan.”
“Aku tidak percaya.”
Resi Sepitung Jagat Tersenyum. “Nanti kita bicarakan ini. Dan semua yang membuat kamu bingung akan aku jelaskan secara terperinci. Sekarang, tambah kecepatanmu anak muda. Perjalanan kita masih jauh.”
“Orang Tua, tunggu!”
Resi yang hendak menambah kecepatan jadi terhenti. “Apa lagi anak muda?”
“Di istana kerajaan aku melihat kalian mudah merubah tempat dan lokasi, kenapa sekarang tidak kau lakukan?”
“Tidak mudah kau pahami. Peraturannya tidak sesederhana itu. Soal yang satu ini aku sulit menjelaskan karena bagaimanapun kau mahluk dari dimensi terendah dari yang lain. Tapi aku akan menjelaskan secara sederhana.
“Di tempat kalian lokasi dan waktu adalah satu kesatuan yang berbeda. Kau butuh perjalanan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di sini, di alam para dewa justru yang terjadi sebaliknya. Tempat itulah yang kita datangkan ke mana kita suka. Kita bisa menarik lokasi yang kita mau tanpa bergerak sedikitpun. Bahkan dari masa lalu. Tapi tidak semua dewa bisa melakukan itu. Segalanya ada tahapan dan tingkatan. Dewa setingkat aku hanya bisa melakukan ruang lingkup sebatas kerajaan. Ada juga yang seluas langit pertama, kedua dan seterusnya. Sedangkan perjalanan yang kita tempuh terlampau jauh, hanya para dewa tertinggi yang bisa melakukan itu.”
“Aku pikir kalian adalah dewa tertinggi.”
Resi tersenyum. “Kerajaan yang tadi kau hancurkan itu adalah tingkatan terendah bagi para dewa karena dimensinya berada paling dekat dengan manusia.”
“Benar-benar di atas langit masih ada langit.” Wiro Sableng menggeleng berulang-ulang. Kalau ia hanya mendengar cerita lewat orang-orang mengenai tingkatan alam para dewa tentu sedikitpun ia tak percaya. Tapi dia menyaksikan sendiri. Walau sulit diterima akal, itulah kenyataannya.
“Mampu memindah lokasi yang kita mau?” pikir Wiro. “Bagaimana kalau yang dipindahkan itu tempat pemandian. Misalnya banyak gadis-gadis yang sedang mandi. Sedang ganti pakaian di kamar? Atau sedang malam pertama. Eh, enak juga ya jadi dewa. Tapi Dewa boleh nakal gak ya, misal ngintip orang kawin hihihi....” Wiro senyum-senyum membayangkan kekonyolan pikirannya. Resi Sepitung Jagat yang tahu isi benak sang pendekar hanya bisa menggeleng.
“Aku pernah mendengar kekonyolan pemuda ini. Tapi jujur, tidak menyangka kelakuannya segila ini.”
“Aku bisa dengar apa yang kamu pikirkan anak muda!”
Wiro Sableng menyengir dan menggaruk kepala. “Maaf, Orang Tua. Pikiranku memang suka kacau kalau ada sedikit saja celah untuk mengarah ke sana.”
“Aku sudah tahu sifatmu. Sekarang, lipat gandakan kecepatannya, Pendekar 212!”
Wiro Sableng mengangguk. Sosoknya lenyap, seolah meghilang padalah itu efek dari kecepatan terbang yang teramat sangat tinggi. Andai itu dilakukan di langit dunia tentu suara gemuruh ledakan akan terdengar mengerikan karena bergesekan dengan udara. Dan andai sosok Wiro yang bergerak secepat ini di bumi menabrak gunung, maka dalam sekejap, gunung akan hancur. Dan manusia langsung tergeletak berkaparan karena tak kuasa mendengar ledakan yang teramat dahsyat.
Bag 3
Sebelum kita mengikuti perjalanan Wiro Sableng yang sedang menuju Gugus Bintang Kehidupan, mari kita lihat kejadian ribuan tahun yang lalu di alam para dewa.
Kejadian memalukan telah melanda istana kerajaan. Ini untuk pertama kali dalam sejarah alam para dewa. Mereka yang terjaga dari salah dan dosa, baik diri, tempat dan kehidupannya, saat itu larangan terbesar bagi para dewa justru dilanggar. Raja Agung benar-benar murka. Tercoreng sudah nama baik para dewa yang sering diagung-agungkan kala pertemuan akbar di langit dua, tiga tingkat lebih tinggi dari alamnya. Lebih lagi, pelanggaran itu terjadi saat menjelang penobatan mahkota raja yang akan diberlakukan seratus tahun ke depan.
Karena Raja Agung memiliki dua putra mahkota, dalam seratus tahun ia sendiri yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi penggantinya. Anak pertama bernama Bharata Kamaswara. Sedangkan anak kedua bernama Bharata Ramanda. Kedua pemuda ini saling bersaing memperebutkan tahta kerajaan dengan memperlihatkan prestasi, perlakuan baik yang mampu dibanggakan di hadapan raja agung.
Walau jelas terucap kala sidang akbar digelar bahwasannya pemilihan raja ditentukan dari calon pemimpin terbaik, tetap saja, kandidat terkuat ada pada anak pertama. Bagaimanapun baik dan penuh prestasi dirinya, selama anak pertama tidak tertinggal jauh dalam segi prestasi, juga tidak memiliki catatan keburukan, anak kedua memiliki peluang sangat kecil untuk bisa bersaing. Hal itu sudah menjadi lumrah bagi sebuah kerajaan dan menjadi pengetahuan publik. Termasuk bagi anak kedua, Bharata Ramanda itu sendiri. Ia menyadari akan kekalahannya. Pasrah dan ikhlas, mungkin itu yang bisa ia perbuat saat ini. Atau ada cara lain?
Dewa memang terjaga kesuciannya dari sikap buruk yang seringkali kita temui pada manusia. Namun, bukan berarti dewa tidak memiliki hasrat, keinginan kuat dan andai itu menjadi poin utama, tujuan atau bahkan ambisi, maka hal-hal yang dianggap mustahil sekalipun bagi para dewa bisa dilakukan demi tercapainya ambisi itu.
Setelah mempertimbangkan segalanya, selama puluhan tahun, akhirnya Bharata Ramanda memutuskan untuk menjalankan rencana yang dalam sejarah kedewaan tidak pernah terjadi. Dalam rencana besar ini ia meminta istrinya untuk ikut andil. Demi perjuangan dan masa depan katanya.
“Demi Dewa Agung, Yang Maha Tinggi! Yang Maha Tunggal, aku tak pernah terbesit sedikitpun di hati kalau Kakang Ramanda punya pemikiran seperti itu. Bukankah kita para dewa terbebas dari sifat buruk?”
“Dinda, Dewi, dengar, apa yang kita lakukan ini bukan sedang melanggar aturan demi ambisi pribadi. Tapi ini demi kerajaan. Kakang Bharata Kamaswara bukan orang yang layak menggantikan ayahanda. Dia pernah tertuduh melakukan pencurian Batu Keabadian di Gugus Bintang Kehidupan. Apa kau mau melihat kerajaan ini hancur karena dipimpin orang yang salah? Pencuri? Padahal para dewa tidak seharusnya melakukan perbuatan rendahan seperti itu?”
“Tidak pernah terbukti Kakang Kamaswara melakukan itu, Kakang! Lagian kejadian itu sudah lama. Ribuan tahun yang lalu. Kalau memang dia yang mencuri, mustahil Raja Agung berdiam diri.”
“Ayahanda tidak tahu sifat asli Kamaswara, Istriku. Bahkan kau yang pernah menjalin hubungan dengannya sekalipun tidak tahu seperti apa sifat sebenarnya.”
Mendengar kalimat terakhir yang dalam benak pun tak pernah terfikir akan keluar dari mulut suaminya, kedua mata indah Dewi Gandasari sampai membulat. Ada raut kekecewaan di wajah putih cantiknya.
“Aku makin tidak mengerti, kenapa kata-kata itu bisa keluar dari mulutmu, Kakang. Ingat siapa diri kita Kakang. Kata-kata semacam itu harusnya hanya bisa keluar dari mulut manusia, bukan para dewa.”
Ramanda tersenyum. “Jadi kau menolak membantu suamimu dalam perjuangan ini, Dinda Dewi?”
“Aku takut Dewa Agung murka.”
“Dewa Agung tidak akan ikut campur urusan kerajaan kita, Dewi. Aku yakin kau pun sudah tahu batasan-batasan itu. Semua ada aturannya.”
“Dan Kakang dengan sengaja akan melanggar aturan itu?!” Nada suara Dewi Gandasari sudah mulai meninggi. Beruntung ruangan di mana mereka berada telah dipagari dengan Tabir Buta. Jangankan dewa yang ada di kerajaan itu, yang tingkatannya jauh di atas mereka sekalipun tidak mampu melihat. Ilmu kesaktian ini hanya dewa di kalangan istana saja yang memiliki dan itu memang sudah menjadi suatu keharusan, karena setiap diri bagi para dewa yang tergolong penting dalam kerajaan harus punya privasi.
Namun, ini berlaku bagi dewa saja. Untuk para dewi tidak punya hak mempelajari, bahkan ilmu itu sangat terlarang penggunaannya bagi mereka. Itu diberlakukan demi dua ujian sekaligus. Pertama ujian bagi para dewi, apakah mereka sanggup menaati untuk tidak melanggar aturan, mempelajari ilmu Kabut Buta. Yang kedua ujian bagi para dewa. Apakah dia mampu menahan untuk tidak melanggar, melihat ruang para dewi yang tanpa sekat penghalang. Siapa saja yang melanggar, hukumannya hanya dua, tercabutnya keabadian atau dihukum selama milyaran tahun lamanya.
“Berapa kali aku bilang Dinda, ini bukan melanggar aturan, tapi demi kebaikan kerajaan. Kita sedang berjuang, Dewi. Apakah penolakanmu memang benar takut akan larangan, atau karena hal lain?”
Kedua alis Dewi Gandasari mengkerut. “Apa maksud, Kakang?”
Ramanda tersenyum kecut. “Bagi seorang istri, sepelik apapun keputusan yang harus diambil, selagi itu yang dilakukan kebaikan, terlebih kebaikan bagi banyak mahluk, dia akan mendukung perjuangan suaminya meskipun harus mengorbankan harga diri, nama baik, bahkan nyawa sekalipun. Apalagi perjuangan yang aku lakukan demi kerajaan ini. Harusnya kau tidak punya alasan untuk menolak. Tapi apa yang kulihat sekarang? Aku semakin yakin, bukan aturan itu sebenarnya yang kau takutkan, Dewi, melainkan kau tidak rela, kekasih masa lalumu mendapat hukuman yang setimpal akibat perbuatannya. Atau jangan-jangan itu memang sudah jadi rencana kamu? Menjadikan Kakang Kamaswara raja lalu kau meninggalkanku dan menikah dengan dia!?”
Dewi Gandasari sampai harus menjauhkan kepalanya lantaran Ramanda bicara dekat sekali seakan tidak berjarak dengan tatapan menusuk.
“Kau tampak terkejut! Kau juga mendadak bisu! Jadi benar dugaanku kan? Kau mengkhianatiku Dewi?!”
“Demi Dewa Agung tidak pernah aku....”
“Jangan berani-berani kau membawa-bawa nama Dewa Agung demi untuk menutupi kebusukan hatimu, Dewi!” potong Ramanda dengan suara keras membentak. Dewi Gandasari hanya bisa menangis. Ini untuk pertama kali dalam hidupnya mendapat bentakan sekeras itu.
“Dalam mimpi sekalipun aku tidak pernah terlintas sedikitpun untuk berkhianat, Kakang. Urusanku dengan Kakang Kamaswara telah berahir dan tidak memiliki jejak sedikitpun. Setelah kau menjadikanku istri, aku sudah bersumpah atas nama Dewa Agung untuk mengabdi kepadamu.”
“Buktikan kalau kau memang tidak berkhianat kepadaku, Dinda.” Ramanda memegang kedua bahu istrinya. Mengusap air mata perempuan cantik itu secara perlahan. Penuh kasih sayang. “Aku sangat mencintaimu. Kalau ada rasa cemburu, itu wajar, mengingat betapa dekat hubungan kalian di masa lalu. Karena itulah, sebagai pembuktian kalau kau sudah tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya, maka, bantulah perjuangan suamimu.”
Dewi Gandasari tertunduk. Ini pilihan yang sangat sulit yang pernah ia temui selama seumur hidup. Andai ada pilihan lain, tentu ia akan memilih itu sesegera mungkin.
“Kau masih ragu? Jangan biarkan kesempatan yang kuberikan saat ini menjadi sia-sia. Putuskanlah, Dewi.”
Lama tak ada jawaban. Setelah lebih dulu Dewi Gandasari mengusap air matanya, akhirnya ia berkata, “Apa yang harus aku lakukan, Kakang?”
Ramanda tersenyum, mengecup bibir istrinya dengan penuh mesra. “Ajak dia ke kamar ini, Dinda.”
Dewi Gandasari tersurut satu langkah ke belakang.
“Itu pantangan besar Kakang. Raja Agung akan murka.”
“Karenanya setelah dia masuk ke sini langsung kau minta dia untuk mempergunakan Ilmu Kabut Buta. Soal apa yang nanti bakal kalian lakukan di kamar ini, itu terserah kamu. Aku tidak akan cemburu karena aku tahu ini bagian dari rencana. Kau mau buktikan sendiri kan apakah dia mencuri Batu Keabadian itu atau tidak. Saat dia menanggalkan pakaiannya, maka batu itu akan terlihat disekujur tubuhnya yang terbungkus cahaya hitam pekat.”
Dewi Gandasari menatap kedua mata suaminya dalam-dalam. Benarkan apa yang diucapkannya? Bukan-bukan soal Batu Keabadian itu, tapi soal kata yang pertama. Dia tidak akan cemburu apapun yang bakal nanti ia lakukan di sini bersama Kamaswara? Membayangkan berada berdua dalam ruang tertutup, tak ada satu mahluk pun yang tahu bersama lelaki yang dulu sangat dicintainya, dada Dewi Gandasari berdebar lebih kencang. Sudah lama ia tak pernah melihat wajah lelaki tampan itu dalam jarak yang sangat dekat. Bahkan, jangankan untuk melihat, sejak ia dinikahi Ramanda, sejak saat itu pula, segala jenis hubungan dengan Kamaswara menghilang. Tak pernah ada lagi saling sapa. Apalagi sampai berbincang-bincang, berbagi cerita seperti sebelumnya ketika ikatakan pernikahan itu datang.
“Kau melamun, Dinda.” Ramanda tersenyum manis. “Apalagi yang kau pikirkan?”
“Kalau dia menolak?”
“Dia tidak akan bisa menolak permintaan orang yang sangat dicinta.”
Kedua alis Dewi Gandasari meninggi. Melihat keterkejutan itu Ramanda tersenyum bahkan tertawa.
“Kau tidak tahu mengapa sampai saat ini dia belum menikah, Dewi. Itu bukan lain karena sangat mencintaimu.”
Dewi Gandasari menundukkan kepala. Mendadak ia teringat dengan kisah cinta masa lalunya, akan tetapi segera ia menepis lembaran perjalanan cinta mereka yang mulai berdatangan. Ia tidak mau sesuatu yang sudah hilang, telah berlalu kembali datang, mengganggu kehidupan barunya saat ini.
“Maksud aku, bukan tentang penolakan kedatangannya, tapi penolakan dia melakukan untuk menutup pandang dengan Tabir Buta. Karena dia tahu itu pelanggaran besar yang tidak mungkin dilakukan.”
“Kalau dia tidak mau melakukan, kau yang melakukan, Dewi.”
“Aku?”
“Ya.”
Wajah Dewi Gandasari berubah pucat. Kedua bola matanya bergerak liar, seolah tak percaya dengan apa yang didengar. Melangkah perlahan menuju sisi ranjang yang teramat besar.
“Kau tahu apa hukuman yang nanti aku dapatkan, Kakang?” Dewi melihat ke arah suaminya yang kini ikut duduk di sisinya. “Jangankan sampai menggunakan ilmu terlarang itu, ketahuan mempelajari saja hukumannya tidak main-main.”
“Percaya padaku, Dewi. Tidak ada yang akan menghukummu. Karena setelah Kakang Kamaswara ketahuan kelakuan buruknya, ayahanda raja mencabut Kamaswara dari pewaris sah kerajaan. Itu artinya, akulah pewaris tunggal kerajaan ini. Dengan demikian, semua hukum dan keputusan berada di tanganku. Siapapun, termasuk ayahanda sendiri tidak punya hak dan kendali lagi. Lagian kau tidak melanggar karena tidak pernah mempelajari. Aku hanya akan memberimu Ilmu ini sesaat, dan hanya bisa sekali digunakan. Setelah itu hilang tak berbekas. Jangankan ayahanda, dewa dengan tingkatan tertinggi sekalipun tidak akan bisa tahu kalau yang menggunakan ilmu itu adalah kamu.” Ramanda mengangkat dagu istrinya yang kala itu menunduk lesu. “Tanggalkan seluruh pakaianmu, Dewi. Ilmu ini hanya bisa masuk saat seluruh permukaan kulit tidak terhalang oleh apapun.”
Cukup lama kebimbangan menggelayut dalam hati Sang Dewi. Hingga akhirnya anggukan kepala membuat seluruh pakaiannya sirna. Kedua bola matanya terpejam. Bersama rentangan tangannya, dalam keadaan tubuh tanpa sehelai benang pun, sosok Dewi Gandasari mengapung di udara. Setinggi bahu sosok itu terhenti. Dari arah kepala Dewi Gandasari Ramanda merapal sebuah mantra. Cahaya putih menyilaukan keluar dari kedua telapak tangannya yang di tempelkan ke kepala di kedua sisi. Cahaya putih itu merambat ke seluruh tubuh, membungkus tubuh indah telanjang Sang Dewi. Tubuh yang terbungkus kulit halus itu gemetar. Pertama perlahan saja. Semakin lama semakin keras, hingga lenguh kesakitan terdengar dari bibir indah Dewi.
“Bertahanlah Dinda Dewi. Ini tidak akan lama.” Terlihat jelas Ramanda menambah tingkat kekuatan. Dewi Gandasari merasakan tubuhnya terpanggang. Sudah tak kuat lagi ia bertahan. Jerit kesakitan keluar dari bibirnya. Dalam sekejap cahaya putih menyilaukan itu hilang. Dan secara ajaib sosok Dewi kembali berdiri. Sebelum kakinya menginjak lantai, pakaiannya yang tadi hilang kini telah kembali.
“Kau sudah dapatkan ilmu itu. Ingat, pergunakan sebaik mungkin. Tidak ada satu kekuatan pun yang sanggup menembus Tabir Buta yang kau punya. Bahkan aku sendiri tidak akan mampu.”
Dewi Gandasari hanya mengangguk perlahan.
“Kau sudah siap menjalankan rencana?”
Lagi, Dewi Gandasari hanya bisa mengangguk.
“Kau memang istriku yang bisa diandalkan,” ujar Ramanda seraya tersenyum penuh kemenangan.
***
Dalam ruangan, di mana segala kemewahan tertata rapi di setiap sudutnya, seorang pemuda tengah bersemedi. Sekujur tubuhnya terbungkus dengan cahaya hitam pekat. Di depannya ada sebuah belanga besar terbuat dari tembaga murni berukir naga hitam. Di dalamnya berisi cairan yang juga berwarna hitam. Dari cairan itu mengepul asap hitam pekat menyesakkan. Kalau saja yang bersemedi itu bukan pemuda yang memiliki tingkat tenaga dalam tinggi, tentu sudah sejak tadi sosoknya akan terbakar lumer terkena hembusan asap hitam yang menyebar ke mana-mana. Inilah Air Larangan yang paling dan bahkan sangat dihindari bagi para dewa.
Boleh dikatakan ini air kutukan bagi mereka semua. Tidak peduli seberapa tinggi ilmunya, tingkat kekuasaan bahkan seberapa banyak kehidupan yang sudah ditempuh, ribuan tahun, jutaan tahun atau bahkan yang lebih dari itu, sedikit saja terkena cairan ini, maka runtuh sudah keabadiannya. Mereka bukan lagi dewa yang patut diagungkan, bukan lagi dewa yang mampu menjentikan jari hanya untuk menghancurkan dunia, saat itu, mereka lebih lemah dari seekor semut. Sekali potes, remuk seluruh tulang dan persendiannya.
Pemuda ini sendiri berani melakukan hal segila ini bukan tanpa perhitungan, apalagi tindakan konyol tak karuan. Ia sedang melakukan uji coba sebagai pembuktian dari ilmu barunya. Dia telah melakukan beberapa percobaan, menghirup, menyentuh dan sampai saat ini masih baik-baik saja. Semua itu karena dalam tubuhnya tersimpan Batu Puasaka yang ada di Gugus Bintang Kehidupan. Batu Keabadian. Benar apa yang disangka Ramanda, kalau pemuda ini, yang bukan lain Kamaswara telah mencuri Batu Keabadian ribuan tahun lalu.
Bharata Kamaswara membuka matanya. Cahaya hitam pekat yang sejak tadi membungkus tubuhnya perlahan mulai sirna. Lelaki berambut gondrong, berparas tampan ini meniup asap hitam pekat yang tiada henti keluar dari cairan hitam.
“Aku harus pastikan, kalau keabadian benar-benar telah kumiliki.”
Walaupun sudah sering mencoba, tapi hanya sebatas sentuhan. Yang akan dilakukan sekarang ialah jauh lebih gila. Meneguk Air Larangan, sebagai bukti kalau dirinya benar-benar telah abadi.
Perlahan ia masukan tangan kanannya ke dalam cairan itu. Dalam sekejap cahaya hitam keluar dari tubuhnya, kembali membungkus seperti sebelumnya. Itu tanda Batu Keabadian bereaksi dari ancaman luar. Bagaimana kalau ancaman itu dari dalam? Gemetar tangan pemuda ini. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang sangat gila. Sekali ia gagal, maka kejapan itu juga ia akan musnah dari peradapan.
Gluk! Gluk! Glukk!!!
Cairan hitam masuk ke kerongkongan. Ada seacam hawa panas yang menjalar di tubuhnya. Semakin lama semakin menggila. Kamaswara menjerit keras ketika ia merasakan bagian dalam tubuhnya terasa terbakar. Keringat membuncah. Kepala terasa mau pecah.
Brakkk!!!
Tubuhnya terpental menghantam meja. Benda yang terbuat dari batu permata hancur berkeping-keping. Berbagai pernik perhiasan berhamburan. Kamaswara menjerit keras, berguling-guling ke sana kemari menghantam apapun yang ada di ruangan itu. Cahaya hitam pekat mulai menyusut. Ketika cahaya itu hilang sempurna, rasa sakit yang seakan hampir membunuhnya pun sirna. Benar-benar ajaib! Seakan tidak terjadi apapun, Kamaswara melompat berdiri.
“Aku abadi!” teriaknya penuh rasa tak percaya. Ia melihat ke lantai ruangan. Betapa kacau balau kamarnya saat ini. Beruntung tubuhnya tidak terbanting ke belanga. Kalau sampai tumpah dan lantai itu terinjak dewa selain dirinya, tentu petaka besar akan menimpa.
Kamaswara menggerakan kedua tangannya. Cahaya putih kebiruan menjalar memenuhi ruangan. Dalam sekejap seluruh kekacauan tersusun kembali seperti semula. Kamaswara jentikan jarinya. Pakaian yang kini dikenakan menghilang, berganti dengan yang masih baru. Kain sutra warna hijau bergaris kuning kecoklatan bersulang emas menjadi nilai tambah bagi ketampanannya.
“Sampai saat ini aku masih tidak percaya, kalau kekuatan langit telah menjadi milikku. Aku dewa pertama di kerajaan ini, atau bahkan di tingkatan dua, tiga lebih tinggi yang menjadi abadi. Akulah raja selanjutnya yang takkan pernah tergantikan oleh siapapun. Selamanya, hahaha......”
Belum hilang gema suaranya, telinga Kamaswara mendengar suara perempuan. Suara itu sangat tidak asing di telinganya. Tapi terdengar sangat jauh. Kalau bukan dewa setingkat dia tentu takkan sanggup mendengar. Itu terjadi karena Tabir Buta yang mengurung kamarnya. Pemuda tampan ini kibaskan tangan kanan. Saat itulah cahaya putih yang sejak tadi mengurung dirinya hilang. Dalam waktu yang sama, suara perempuan yang sebelumnya terdengar kecil dan jauh berubah menjadi dekat, seolah yang bicara berada di sampingnya.
“Kakang Kamaswara, kau mendengar aku? Kakang, kenapa kau diam saja?”
Kamaswara memejamkan mata untuk memulai sambung rasa.
“Ada apa Dinda Dewi Gandasari?”
“Kakang, benarkah ini kau?”
“Benar Dinda Dewi. Apakah kau sudah tidak mengenaliku lagi?”
Terdengar desahan napas berat di sebrang sana. Juga terdengaar sedikit terisak.
“Dinda, kau menangis? Apa yang terjadi dengan dirimu?”
Lama tak ada jawaban, hingga akhirnya Kamaswara tidak sabar untuk menunggu. “Dinda, kau baik-baik saja?”
“Aku....” suara Dinda terasa sekali ada getar keperihan. “Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan sama kamu, Kakang. Sudah lama saat seperti ini ingin aku lakukan, tapi rasanya aku seperti tidak punya muka untuk menghubungimu.”
“Apa yang terjadi, Dinda?”
“Tidak mungkin kita bicara berlama-lama dengan posisi sambung rasa seperti ini, Kakang.”
“Kau ingin kita bertemu? Aku gak mau Adinda Ramanda jadi salah paham.”
Tak ada jawaban dari seberang sana. Akan tetapi Kamaswara merasakan ruangannya bergetar. Pemuda ini tahu, Dewi Gandasari sedang memindahkan ruangannya ke tempat dirinya. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman yang memang sejak dulu dihindari. Ia juga tidak mau kalau salah menempatkan diri. Bagaimana kalau Dewi sedang berada di kamarnya? Masuk ke dalam kamar perempuan adalah pelanggaran besar bagi para dewa. Apalagi perempuan itu sudah bersuami. Karena itulah Kamaswara menolak dengan gerakan halus perlahan saja. Seketika kemudian getaran dalam ruangan itu hilang.
“Kakang, kenapa kau menolak untuk bertemu? Apa kau membenciku hingga merasa jijik untuk bertemu denganku?”
“Tidak begitu Dinda Dewi. Tapi .... ini gak pantas kita lakukan.”
“Kalau bukan karena ada hal penting, tidak mungkin aku mau merendahkan diri menghubungimu, Kakang.”
Kamaswara terdiam. Berfikir, menimbang-nimbang.
“Baiklah Kakang. Maaf kalau aku mengganggu kedamaianmu. Lupakan semua yang pernah kita bicarakan hari ini. Anggap saja aku tak pernah melakukan sambung rasa dengan dirimu.”
Dewi hendak memutus sambung rasa, akan tetapi Kamaswara cepat memanggil.
“Baiklah, Dinda. Tapi apakah keadaan cukup baik hingga tak ada udara yang jadi mata-mata?”
“Semua sudah aku kondisikan Kakang. Mana mungkin aku berani melakukan sambung rasa denganmu tanpa mengamankan keadaan terlebih dahulu.”
“Baik. Lakukanlah!”
Dinding ruangan kembali bergetar halus. Mirip seperti riak air yang terkena tetesan dari daun keladi hutan, dinding yang terbuat dari emas bermanik-manik intan permata bergoyang-goyang. Dan dalam sekejap telah berubah menjadi kamar si pemanggil.
Kamaswara terkejut bukan main. Bukan tentang ke mana ia dibawa, juga bukan tentang betapa rindu dirinya selama ini yang tak pernah bertatap muka dengan orang yang dicinta, tapi tentang raut muka cantik itu, yang kini tenggelam dengan air mata. Gadis cantik yang dulu sangat dicintainya, selalu dibuat tersenyum, kini tertekuk kusut. Tampak sekali beban derita menghantui kehidupannya.
“Kakang!” pekik Dewi ketika Kamaswara telah berdiri di depannya. Berhambur ia memeluk, melepas rindu. Kamaswara yang belum mampu menguasai rasa kejut kini terhennyak, tidak menyangka perempuan itu akan memeluk dirinya. Ingin ia lepaskan, tapi, hasrat cinta terpendam seakan menyuruhnya untuk diam. Menikmati momen hangat yang telah lama lenyap.
“Dinda, hentikan! Aku gak mau ada yang lihat.”
“Kalau tidak ada, Kakang?” tantang Dewi. Kamaswara mengerut heran.
“Kenapa kamu berubah gini, Dinda? Apa yang terjadi dengan dirimu?”
“Kau belum menjawab pertanyaanku, Kakang. Kalau tidak ada yang melihat bagaimana?”
“Aku .....”
“Lakukanlah, Kakang. Keluarkan Ilmu Tabir Buta.”
“Tidak Dinda. Aku gak mungkin mengkhianati adikku sendiri.”
“Bukankah kau ke sini pun sudah termasuk pengkhianatan, Kakang. Kau tahu andai Kakang Ramanda, adikmu tahu apa yang kau lakukan sekarang, tentu kiamat bagi kita berdua. Karena itu, ada baiknya, kau keluarkan Ilmu Tabir Buta segera, Kakang. Agar dinding dan udara tidak menjadi mata-mata.”
“Dinda lepaskan pelukanmu.” Kamaswara mencoba melepaskan Dewi Gandasari. Sulit! Bukan karena teramat kuat pelukan perempuan cantik itu, melainkan kecilnya usaha yang dilakukan. Dewi pun bukannya tidak tahu. Wanita cantik ini tersenyum. Ditatapnya dalam-dalam pemuda tampan kekasih masa lalunya. Ciuman mesra mengandung sejuta rindu mendarat di bibir si pemuda. Bersamaan dengan itu cahaya merah keluar dari telapak tangan Dewi. Menyebar memenuhi ruangan. Dalam sekejap ruangan itu sudah terkurung oleh cahaya merah menyala.
Kamaswara yang menyadari itu menjadi terkejut. Tersurut ia sampai dua langkah ke belakang. Ciuman mesra penuh gelora terlepas dengan sendirinya.
“Dinda Dewi, kau mempelajari ilmu larangan untuk para wanita? Demi Dewa Agung, kau telah melanggar aturan, Dinda Dewi. Kau tahu, hukuman apa yang akan kau dapatkan andai ayahanda tahu?”
“Karena itu jangan biarkan ayahada tahu, Kakang.” Dewi tersenyum penuh pesona. Debaran dada semakin menggila. Kamaswara ingin berpaling, sekedar membuang muka untuk bisa menghindari kedahsyatan daya tarik sang dewi. Tapi sulit. Semakin ia berusaha untuk menolak, semakin kuat dorongan agar dia terus balas menatap wajah cantik itu.
“Aku rela melanggar aturan agar bisa berdua bersama kamu, Kakang. Jujur, selama ribuan tahun aku menikah dengan adikmu, aku .... sedikitpun aku tak pernah merasakan kebahagiaan. Aku menyesal telah memilih dia Kakang. Aku menyesal telah terpedaya oleh bisikan yang mengatakan kalau kau bukan lelaki setia. Kau banyak menjalin cinta dengan dewi-dewi yang lain. Andai dulu aku percaya kamu, mungkin saat ini aku hidup bahagia.”
“Semua sudah berlalu Dinda. Tidak ada yang perlu disesali. Lalu jika kau tidak bahagia, terus selama ini yang kudengar kebohongan?”
Raut wajah Dewi Gandasari berubah. Ada sorot kebencian di kedua matanya. “Semua hanya sandiwara yang diciptakan Kakang Ramanda! Dia yang mengatur segalanya. Kehidupanku, kabahagiaan, senyuman, tawa, dan semacamnya tak lebih hanya kepalsuan semata. Aku tertekan, Kakang! Aku menderita! Andai aku bisa memilih, aku lebih baik hidup jadi manusia. Meskipun singkat, mereka bisa menentukan nasib hidupnya sendiri. Mereka bisa dengan mudah melanggar aturan tanpa takut hukuman yang mengancam. Kami para dewi hanya bisa pasrah menerima nasib yang telah digariskan.
“Kakang, ijinkan aku untuk bisa berbahagia bersamamu. Meskipun hanya singkat, itu sudah lebih dari cukup untuk bisa mengobati luka derita selama ini.”
“Apa yang bisa aku lakukan Dinda?” belum selesai kalimat tanya Kamaswara, pakaian yang dikenakan Dewi Gandasari tiba-tiba menghilang. Tubuh indah terlihat sempurna tanpa sehelai benang pun yang menghalangi. Kamaswara membuang muka ke arah kiri. Walau demikian ia telah melihat semuanya. Darah mendesir, memenuhi kepala. Detak jantung menari-nari dalam tempo liuk gerakan yang sangat cepat.
“Kakang, tunggu apalagi?” pelukan hangat terasa menyentuh punggung Kamaswara. Dua bukit indah milik sang dewi terasa menempel rapat. “Lepaskan pakaianmu, Kakang.” Kedua tangan lentik berkulit lembut menjelajah ke setiap jengkal dadanya. Kamaswara menggeliat. Gelegar nafsunya sudah tak terbendung. Sekali berbalik pakaian yang dikenakan menghilang. Dalam ruangan yang terkunci rapat oleh ilmu kesaktian sepasang kekasih sedang memadu cinta, tanpa satu mahlukpun yang tahu. Bahkan dinding tidak bisa melihat, udara tidak bisa mendengar.
Brakk!!!
“Terkituk! Iblis kalian berdua!”
Kamaswara melompat dari ranjang. Tubuh telanjangnya secara cepat terbungkus pakaian yang sebelumnya hilang sesaat setelah kakinya menginjak lantai.
“Adinda Ramanda, ini tidak seperti yang kau lihat. Aku bisa jelaskan semuanya.”
Di depan sana, berdiri Ramanda dengan tatapan mata penuh amarah. Puluhan dewa lainnya berada di belakang. Kutuk sarapah terdengar lewat mulut masing-masing. Walau itu tak lebih dari dengungan suara tawon.
Dewi Gandasari yang saat itu telah berpakaian rapi warna biru muda, berlari ke arah Ramanda. Pecahan benda yang berserakan yang tadi di hantam dengan pukulan sakti dilewati tanpa takut kaki mulusnya tergores.
“Kakang.”
“Diam kau pelacur! Jangan melangkah lebih dekat lagi!”
Terlihat sekali betapa terkejutnya perempuan ini. Ia tidak tahu apakah amarah yang terlihat itu hanya sebatas sandiwara atau betulan. Kalau memang sandiwara harusnya suaminya tidak setega itu menyebut dirinya pelacur di depan banyak orang.
“Bawa Pelacur ini ke ruang tanahan!”
Dua dewa berkelebat. Dewi Gandasari hendak memberontak, akan tetapi ilmunya berada jauh dibawah dua dewa itu. Ia hanya bisa membeliak. Tubuh kaku itu sudah dibawa paksa. Kamaswara yang melihat itu tidak tinggal diam. Dia hendak menolong, sayangnya, Ramanda cepat menghadang geraknya.
“Adinda, aku bisa jelakan semuanya.”
“Kau jelaskan nanti dihadapan ayahanda!”
“Ayahanda tidak perlu tahu masalah ini.”
“Kau takut?” senyum penuh ejekan terlihat di bibir Ramanda. “Kalau kau merasa benar harusnya ini tidak jadi masalah besar buat kamu kan?”
Kamaswara terdiam. Bersama anggukan kepalanya seperti yang terjadi saat di kamar tadi, dinding kamar indah berubah menjadi tempat pertemuan para pembesar kerajaan. Semua dewa yang hadir di situ sama heran melihat dua pangeran yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah rapat kerajaan. Sedangkan Raja Agung sendiri tenang-tenang saja. Tentu saja dia tahu akan kedatangan putranya karena sebelum memindah lokasi Ramanda ijin terlebih dahulu pada ayahnya. Yang ia tidak tahu ada gerangan apa putranya meminta dalam kondisi yang tidak biasa.
“Ampun ayahanda. Ada keadaan yang memaksa ananda untuk bertemu.”
“Apa yang membawamu sampai melakukan itu? Bukankah kau tahu aturannya? Hanya urusan yang sangat pelik, dan mendesak saja yang boleh mengganggu berlangsungnya pertemuan besar?”
Ramanda memandang sekeliling. Semua orang kini menghujani dirinya dengan tatapan. Kamaswara sendiri sejak tadi hanya berdiri menundukan kepala.
“Perkara yang ananda bawa lebih besar dari yang pernah terbayangkan, Ayahanda Prabu.”
Raja Agung menatap dalam-dalam paras anaknya. Menunggu sang pangeran untuk melanjutkan.
“Biar saya yang menjelaskan,” bisik Kamaswara. Seakan tidak mendengar perkataan kakaknya Ramanda membungkuk kepada ayahandanya.
“Mohon ijin membuka tabir.” Belum sempat mendapat restu, tidak peduli dengan kakaknya yang berusaha untuk melarang, Ramanda kibaskan tangan kanannya. Mendadak ruang rapat berubah menjadi kamar Dewi Gandasari. Semua orang bertanya-tanya. Apa yang kini sedang dilakukan sang pangeran.
Blup!!!
Tiba-tiba tabir tertutup kembali. Kamaswara telah memberi dinding penghalang, atau menutup akses dengan tenaga dalamnya. Semua mata kini tertuju pada Kamaswara.
“Aku bisa jelaskan secara kalimah tanpa harus mempertontonkan apa yang sudah terjadi, Dinda Ramanda!” Tampak sekali Kamaswara menekan kuat-kuat suaranya. Pemuda ini sedikit pun tidak menyangka kalau dirinya akan ditelanjangi di hadapan para dewa.
“Ayahanda dan kami semua tidak butuh penjelasanmu!” Ramanda melirik ke Raja Agung, maksudnya meminta bantuan agar penghalang yang dibuat kakaknya dimusnahkan. Mengerti maksud putra bungsunya, karena memang apa yang dikatakan juga benar, maka sekali kibas dalam sekejap ruang kamar yang tadi hilang kini kembali. Semua mata membeliak saat melihat Kamaswara berada dalam kamar istri Pangeran Ramanda. Kutuk sarapah para dewa terdengar berdesis di seluruh sisi ruangan. Terlebih saat keduanya bereluk cium dengan mesranya. Semua pembicaraan dan apa yang terjadi terdengar jelas. Sampai akhirnya cahaya merah muncul, merubah ruangan itu menjadi awan putih yang menghias langit lepas. Inilah saat Dewi Gandasari menutup dengan Tabir Buta.
Kutuk sarapah terdengar di mana-mana. Kalau sebelumnya hanya berupa desisan, tidak untuk sekarang. Raja Agung sendiri seakan tercoreng wajahnya dengan rasa malu yang teramat sangat. Hawa panas mulai menjalar disepanjang peredaran darahnya. Terlebih lagi saat ruangan kambeli berubah, dan sungguh sulit dipercaya dengan apa yang dilihat semua dewa. Kamaswara melompat dari ranjang dalam keadaan telanjang!
“Dewa Agung! Dosa apa aku sampai mendapat kutukan begini rupa? Kenapa perbuatan hina dina dan sangat rendah terjadi di kerajaanku?! Kau! Apa yang sudah kau lakukan, Kamaswara!!” bentak Raja Agung. Lebih dari seribu guntur digabungkan, suara itu mampu merobek setiap telinga yang mendengar. Beberapa dari dewa yang ilmu kesaktiannya berada dibawah Ramanda, harus menerima dengungan dahsyat, tak mampu membendung serangan tenaga dalam yang dikirim lewat bentakan. Dewa-dewa ini muntah darah segar. Dari telinga mengalir cairan merah kental dan pada saat yang sama mendadak telinganya tidak bisa mendengar. Sedangkan Ramanda dan Kamaswara yang tingkat kepandaiannya berada jauh di atas dewa-dewa itu meski merasakan sakit yang teramat sangat, mereka tidak sampai mendapat luka dalam.
“Ayahanda, Ananda bisa jelaskan. Apa yang terlihat tidak seperti yang terjadi sebenarnya. Ayahanda harus mendengar sedari awal kejadian itu bermula.”
Raja Agung seakan tidak mendengar penjelasan anak sulungnya. Lelaki berjanggut putih ini gerakan kedua tangannya. Dalam sekejap sebuah kawat yang terbuat dari perak sebesar kelingking telah menjirat sekujur tubuh Kamaswara. Pemuda ini menjerit keras. Semakin ia meronta, semakin dahsyat jiratan kawat itu. Lebih lagi andai dia berani menggunakan tenaga dalam. Maka bisa terkutung-kutunglah tubuhnya.
“Ayahanda, kau tidak bisa memperlakukan anakmu seperti ini sebelum tahu kebenarannya. Kalau kau tidak percaya aku, kau bisa tanyakan pada Dewi Gandasari!” Kamaswara dalam jerit kesakitannya berkata dengan teriakan. Akibatnya semakin keras jiratan yang diterima.
“Sama-sama pelacur! Bukan mustahil kalian sudah merencanakan ini sejak lama! Kenapa kamu tega merusak nama baik ayahanda, Kakang Kamaswara? Kenapa kamu tega mencoreng muka ayahanda di depan semua orang dengan kotoranmu sendiri? Apa salah ayahanda? Apa semua ini kau lakukan karena merasa dendam dengan ayahanda, lantaran beliau tidak langsung memberikan tahta kerajaan kepadamu?”
Mendengar keterangan itu Raja Agung menatap tajam pada Kamaswara. Menunggu jawaban apa yang akan keluar. Mungkinkan begitu?
Berbeda dengan Kmaswara sendiri. Lelaki ini bahkan sampai membeliak saking tak percayanya dengan perkataan adik kandungnya. Karena Kamaswara tidak memberi jawaban apapun, Raja Agung membentak.
“Jawab! Benar apa yang adikmu katakan?”
Kamaseara kembali menjerit, lantaran seiring dengan bentakan, jeratan kawat perak yang berada di tubuhnya semakin menggila.
“Terlintas dalam pikiran saja tidak pernah, apalagi sampai aku melakukan kegilaan itu!”
“Kau pandai berdusta. Aku mau lihat siapa kau sebenarnya Kakang Kamaswara.” Ramanda menggerakan kedua tangannya. Bersamaan dengan itu, lantai di mana Kamaswara berpijak berderak, menguak. Dalam kecepatan kilat sosok Kamaswara telah terbenam ke dalam lantai sebatas leher. Lalu, grekkk!!! Lantai kembali menutup. Semua orang terkecuali Raja Agung bergidik ngeri melihat ilmu yang dikeluarkan pangeran Ramanda.
Dewa memang tidak bisa mati tanpa dicabut keabadian dari tubuhnya. Akan tetapi, mendapat siksaan yang mengerikan sepanjang hari selama beribu-ribu tahun maka siapa yang menginginkan hidup semacam itu? Ilmu langka yang dikeluarkan Ramanda sebenarnya hanya boleh dikeluarkan pada para dewa yang melanggar. Lantai di mana sosoknya terkubur akan merapat secara perlahan hingga tulang dan daging remuk menjadi satu. Lalu karena tubuh dewa abadi, kejadian itu akan terus berulang-ulang selama ribuan tahun hingga masa hukuman selesai.
Melihat Ayahandanya tidak melarang, yang dalam artian lain menyetujui apa yang dilakukan dirinya, pemuda ini rapatkan kedua telapak tangannya. Dalam kejapan mata bumi yang menghimpit tubuh Kamaswara merapat ganas. Suara remuknya tulang belulang bersahutan dengan jerit kesakitan. Semua orang sampai memalingkan muka. Terlebih bagi mereka yang mengenal sangat baik pemuda ini
Plak!!
Kembali Ramanda merapatkan telapak tangannya. Dan bumi pun mengikuti. Satu dua bahkan tiga kali masih bisa bertahan, tapi mau sampai kapan? Kamaswara tidak ada pilihan lain selalin melawan. Sekali hentak lantai keras yang terbuat dari berlian hancur berhamburan. Kamaswara berdiri tegak satu langkah di depan adiknya.
“Sejak dulu kau memang selalu iri padaku, Ramanda! Aku kenal betul dengan perempuan itu. Dia berhati baik, lugu tapi setelah bersamamu dia berubah binal. Apa semua itu bagian dari rencanamu? Kau memperalatnya demi ambisimu mendapatkan tahta?”
“Bermulut kotor, lancang! Berani kau memfitnah aku dihadapan semua orang setelah apa yang kau lakukan lebih rendah dari para manusia di bawah sana!” Ramanda hendak kembali mengeluarkan Ilmu Penghimpit Roh, namun Kamaswara mendahului dengan mengeluarkan Laskar Matahari. Dua larik sinar merah menyala, mengerikan keluar dari sepasang matanya. Membentuk gunting, siap menebas tubuh Ramanda. Pemuda ini sedikit terkejut melihat ilmu yang terkenal ganas itu. Perlu diketahui, ilmu ini sangat langka di alam dewa. Hanya ada beberapa orang saja yang memiliki. Termasuk ayahandanya sendiri. Sementara dirinya belum mampu menguasai lantaran tingkat ketinggian tenaga dalam belum mencukupi.
Dalam ilmu silat, selain kekuatan, kecepatan adalah hal yang paling penting. Tertinggal sedikit saja maka fatal akibatnya. Dan kini terjadi pada Ramanda. Walau ia terkejut hanya sesaat, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk serangan lawan membabat putus tubuhnya. Dalam ketegangan itu, Ramanda yang sudah terlambat memapasi sebuah ancaman, ia juga melakukan kesalahan berupa mengadu jiwa dengan mengeluarkan Sepasang Dewa Pedang. Secara tenaga dalam ia jelas kalah telak. Secara ilmu kesaktian yang dikeluarkan lebih lagi, Laskar Matahari berada sertus kali lebih tinggi di atasnya. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi pada pemuda ini. Selain kepala hancur tubuhnya akan terkutung-kutung. Beruntung jika masih bisa diselamatkan, kalau sekarat, karena tubuh tercerai berai maka kehidupan abadi yang sangat dibanggakan para dewa hanya sia-sia.
Saat genting itulah dua larik sinar merah memapasi serangan ganas Kamaswara. Ledakan dahsyat terjadi kala tiga kekuatan mengandung tenaga dalam tinggi mengguncang istana. Lantai yang dipijak terasa bergetar. Atap bangunan yang menjulang tinggi ke langit terasa akan runtuh. Butiran debu terlihat berjatuhan dari langit-langit ruangan. Tapi uniknya, segila itu ledakan yang diakibatkan, debu yang beterbangan tidak sampai menyebar. Dalam sekejapan mata bekas ledakan hilang, tempat itu seakan tidak pernah terjadi apa-apa.
Raja Agung terhenyak sedikit, pertanda ia memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Kamaswara terbanting, berguling-guling sepanjang lantai ruangan. Terbatuk-batuk ia mengeluarkan darah segar. Tapi hanya sesaat. Dalam waktu singkat ia sudah kembali pulih. Berdiri seakan tak terjadi apapun atas dirinya. Melihat ini Raja Agung merasa heran. Harusnya anak sulungnya itu pingsan. Atau paling tidak luka parah, jangankan untuk bisa berdiri, duduk saja tidak mungkin bisa dilakukan. Bagaimana dengan Ramanda?
Karena tenaga dalam pemuda ini berada jauh dibawah kedua orang itu, maka sosoknya terpental jauh. Tiga dewa sampai harus menyambar agar tubuhnya tidak terbanting ke dinding. Pemuda ini pingsan. Raja Agung memerintahkan dua dewa itu untuk membawa Ramanda pergi, ke ruang pengobatan.
“Jangan katakan kalau yang ribuan tahun menggemparkan Gugus Bintang kau pelakuknya, Kamaswara!”
Kamaswara tersenyum ketir. Meludah ia di hadapan ayahandanya sendiri. Semua orang sama tak menyangka melihat perubahan sikap pemuda ini yang dulu terkenal sopan dan penuh tatakrama kini berbanding terbalik.
“Persetan dengan kata-katamu! Aku sudah katakan kalau aku bisa jelaskan semua tapi kau menghukum aku dengan membabi-buta! Jangan karena kau ayahku lalu bisa seenaknya memperlakukan aku serendah ini di hadapan semua orang!”
“Lancang! Laknat terkutuk! Aku tidak mengenalimu lagi! Mulai saat ini kau bukan lagi bagian dari keluarga kerajaan! Hukum langit telah berlaku! Atas nama Dewa Agung, aku cabut keabadian yang kau miliki! Kau mahluk rendah yang tidak pantas berada di sini! Pergi kau ke bumi jalani hukumanmu menjadi mahluk fisik dan mati penuh penderitaan!” Raja Agung menunggu sesaat setelah kutukan dijatuhkan. Harusnya gelegar guntur mengguncang seluruh kota raja. Tapi, ditunggu sampai beberapa lama tidak terjadi apa-apa. Kamaswara tertawa terbahak-bahak.
“Kutukanmu tidak berlaku padaku, Orang Tua! Karena kau telah menjatuhkan laknat terhadapku, maka jangan salahkan aku kalau saat ini aku berubah menjadi kejam, merampas apa yang selama ini kau banggakan.”
Trakkk!!!
Kamaswara dengan sangat mudahnya menghancurkan kawat perak yang sejak tadi membelenggu dirinya. Raja Agung dan semua orang menjadi terkejut. Senjata sakti yang hanya dimiliki oleh para raja itu tak akan mampu terpatahkan oleh kekuatan apapun. Tapi Kamaswara dengan mudah menghancur leburkan?!
“Sekarang, lihat ini!” Kamaswara menggerakkan kedua tangannya. Dalam sekejap ruang kerajaan berubah menjadi ruang kamar miliknya. Dalam ruangan itu terdapat cairan hitam yang disebut Air Larangan bagi para dewa. Seperti yang sudah dijelaskan jangankan sampai menyentuh, terkena asap hitamnya saja para dewa akan musnah dengan seketika.
Raja Agung berteriak keras ketika melihat asap hitam memenuhi ruangan itu. Ia memberi perngingatan agar cepat menutup jalan pernapasan dan memagari tubuhnya dengan kesaktian. Bagi para dewa yang memiliki ilmu tingkat tinggi, mudah saja mengikuti apa yang diperintahkan. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak mampu melakukan pemagaran? Jerit kesakitan terdengar. Tubuhnya melepuh, asap hitam tebal keluar dari tubuh para dewa. Lalu Blup!!! Api menyambar, tidak sampai dua tarikan napas, tubuh itu telah berubah menjadi abu.
Puluhan dewa yang malang mulai berjatuhan. Mengikuti sosok sebelumnya yang berakhir menjadi abu.
“Mahluk laknat! Terkutuk kau selama dunia terkembang!” Raja Agung membentak garang. Dua pukulan sakti yang mengandung tenaga dalam tinggi menghantam putra sulungnya. Kamaswara tertawa. Diambilnya secuil cairan hitam dari belanga, melempar ke arah gumpalan cahaya panas yang siap melahap dirinya, ajaibnya, kekuatan sedahsyat itu tak mampu menembus sejumput Air Larangan. Gelombang kekuatan serangan berbalik arah ke tuan pemiliknya. Raja Agung terbelalak. Melompat setinggi tiga tombak demi menghindari amukan pukulannya sendiri.
“Kalian akan mati terkurung dalam ruangan ini! Aku mau tahu kalian semua bisa tahan sampai berapa lama.” Kamaswara gerakan tangan kanannya. Raja Agung yang tahu apa yang akan dilakukan anak sulungnya cepat menghadang dengan tenaga dalam. Cahaya putih yang siap membungkus ruangan itu tertahan oleh bendungan. Soal tenaga dalam memang tidak bisa diragukan. Dua puluh dewa yang tersisa pun tahu itu. Sang raja akan sanggup membendung cahaya yang siap mengurung mereka. Tapi, bagaimana jadinya jika pemuda laknat itu mempergunakan Air Larangan?
“Cepat kalian semua keluar dari ruangan ini!” titah Sang Raja. Bukannya keluar, para dewa yang tersisa justru membantu menahan laju lesat cahaya. Sisa lainnya menyerang ke arah Kamaswara. Pemuda ini menghardik penuh kebencian. Sekali tiup ribuan cipratan air menerpa mereka semua.
“Awas!” Raja berteriak mengingatkan tapi terlambat. Ribuan titik air itu bagaikan anak panah yang melesat dahsyat. Dalam waktu singkat dua belas dewa telah tertembusi tubuhnya. Jerit kesakitan terdengar mengerikan dalam ruangan. Bersahut-sahutan layaknya teriakan setan dari neraka. Tubuh-tubuh itu kelojotan, mengepul, menghitam lalu terbakar, berakhir menjadi abu.
Cahaya putih telah sirna. Raja dan semua dewa serempak menggeser tempat ke sebuah dataran luas. Ini adalah perbatasan antara dunia manusia dan alam para dewa. Kamaswara kembali hendak menyerang para dewa dengan Air Larangan. Akan tetapi mendadak tubuhnya menjadi berat. Dalam kebingungannya, pemuda ini merasakan adanya kawat yang sama persis seperti tadi mengikat tubuhnya. Yang membedakan dari apa bahan kawat itu terbuat. Kalau tadi dari perak, saat ini dari emas. Menurut legenda, tidak satu kekuatanpun yang mampu memusnahkan kedahsyatan jiratan kawat emas itu.
Kamaswara menjerit. Belanga berisi cairan hitam yang sejak tadi dipegang terlepas. Sebelum tumpah ia pagari belanga itu dengan Ilmu Pemagar Roh. Belanga jatuh meluncur deras ke lautan dan menghilang. Salah satu dewa hendak mengambil cairan itu, tapi Raja Agung melarang.
“Kalian tidak akan sanggup menyentuhnya. Karena Ilmu Pemagar Roh sudah tercampur dengan Air Larangan. Aku merasakan tekanan hebat saat memapasi Laskar Matahari di ruang kerajaan. Tenaga dalam dia berada jauh sekali dibawahku, tapi aku merasakan hentakan dahsyat. Sebelumnya aku tidak tahu, sampai mahluk terkutuk itu membawa kita ke kamarnya.”
Dewa itu mengangguk. Raja Agung memejamkan mata. “Kau sudah bukan dewa lagi. Ajalmu bergantung pada kesaktianmu. Meskipun kau telah menelan Batu Keabadian tapi, ada saatnya kematian menjemputmu. Tinggalah dan jadilah manusia terkutuk selama-lamanya dalam perut bumi!” Raja Agung mendorong kedua tangannya. Desiran angin yang maha dahsyat menerpa sosok Kamaswara. Lelaki ini menjerit bak ribuan setan yang mengamuk dipekuburan. Melesat kencang bagaikan meteor yang jatuh menembus awan. Sosoknya amblas masuk ke dalam tanah.
“Beruntung Dewa Agung mau meminjamkan kawat emas itu. Kalau tidak, aku gak bisa bayangkan apa yang bakal terjadi di kerajaan para dewa.”
“Yang Mulia, menurut legenda, senjata sakti itu tak ada satu kekuatanpun yang mampu melepas. Itu artinya, putra Baginda Raja akan terikat selama dunia terkembang.”
Raja Agung mengangguk. “Keabadian yang dia inginkan membawa derita tak berkesudahan baginya. Dia akan menyesal telah melakukan langkah bodoh itu.”
Bag 4
Satu bulan sejak kabut tipis memenuhi seluruh daratan pulau jawa kesultanan Banten mengerahkan seluruh pasukan dan juga mata-mata kerajaan untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sampai seluruh pihak dimintai pertolongan, termasuk tokoh-tokoh penting dari dunia persilatan, tidak ada satu pun yang mengetahui, dari mana asal kabut itu. Meskipun tidak terlalu mengganggu, karena hanya berupa kabut tipis dan sebagai bukti, aktifitas sehari-hari tetap berjalan seperti sedia kala. Kabut itu juga tidak mengganggu pandang mata, pernapasan dan lain karena kehadirannya oleh masyakarat tak lebih hanya sebatas embun pagi yang justru menambah kesejukan saat siang hari karena sengatan mentari sedikit terhalangi.
Setelah sekian lama menyidik dan tidak mendapat kejelasan maka Kesultanan Banten memutuskan untuk menghentikan penyelidikan. Terlebih saat para pmbesar istana menegaskan kalau itu hanya kabut biasa akibat dari tingginya curah hujan yang mengguyur dataran pulau jawa.
Mendapat penjelasan demikian, pihak kerajaan memberi pengumuman kepada rakyatnya kalau kabut itu tidak memiliki dampak apalagi bahaya sedikitpun. Rakyat tidak perlu cemas dan tetap menjalankan aktivitas seperti biasanya. Tentu saja itu berita bagus, terutama bagi rakyat yang kegiatan sehari-harinya menjadi nelayan dan petani.
Lalu bagaimana pendapat para tokoh-tokoh sakti dari dunia persilatan? Hal itulah yang sedang dicari tahu oleh seorang perempuan yang memiliki mata indah bercahaya. Mata seindah bintang timur itu harusnya memiliki paras cantik nan rupawan. Akan tetapi, wajahnya yang selalu tertutupi kain warna merah menjadikan orang sulit menduga, bagaimana rupa sebenarnya.
Perempuan itu bukan hanya menutupi wajah, ia juga menutupi hampir keseluruhan kepalanya. Hingga yang terlihat hanya sosok tinggi semampai, potongan tubuh elok yang juga ditutupi dengan pakaian yang senada. Dari arah depan terlihat gagang pedang berwarna hijau menyembul.
Angin kencang mengibarkan pakaian merah, bersama dengan itu bau harum semerbak menebar di seluruh halaman rumah panggung.
“Kesultanan sendiri telah memberi pernyataan kalau itu hanya kabut biasa dan akan hilang dengan sendirinya, saat musim penghujan sampai pada titik terakhirnya.”
Perempuan bercadar merah memandang ke jurusan lain. Ke arah laut lepas. Kabut tipis tampak jelas menggantung di udara. Sebelum kabut itu datang, jarak pandang bisa sampai ke pulau sebrang. Kapal-kapal akan terlihat di kejauhan. Kini, jangankan kapal, pulau di mana anak buahnya berjaga-jaga saja sulit terlihat dengan jelas. Ia harus mempertajam dengan bantuan tenaga dalam agar apa yang dilihat menjadi sempurna.
“Lalu bagaimana dengan para tokoh dari dunia persilatan?”
Seorang lelaki berusia lebih dari setengah abad membungkuk hormat.
“Maafkan saya, Pimpinan. Sampai saat ini saya belum mendapatkan kabar pasti. Tapi beberapa anak buah saya menyirap kabar kalau para tokoh golongan putih sering mengadakan pertemuan.”
“Ayahanda Hang Damar tahu di mana saja mereka mengadakan pertemuan?”
Lelaki yang dipanggil ayahanda Hang Damar menggeleng. “Sepertinya itu pertemuan rahasia. Soal berita ini pun masih simpang siur. Belum bisa dibuktikan kebenarannya.”
Perempuan bercadar merah menarik napas berat. Sebagai orang rimba persilatan ia tidak merasa aneh dengan berita yang didengar. Pertemuan rahasia. Berita simpang siur dan segala sesuatu yang menyangkut tokoh-tokoh sakti memang selalu dibuat kabur atau seolah-olah berita angin lalu yang tidak memiliki kebenaran sedikitpun. Memang begitulah tujuannya. Agar orang-orang golongan hitam atau mereka yang tidak sepaham, para pengkhianat kesulitan dalam memprediksi rencana apa yang tengah dilakukan para tokoh golongan putih. Ia tahu dan sangat paham akan hal itu.
Lama perempuan ini terdiam seakan tengah memikirkan sesuatu, hingga akhirnya ia berucap, “Ayahanda Hang Damar, soal permintaanku yang kedua untuk menyelidiki pemuda itu, sudah sampai sejauh mana?”
Hang Damar menatap sejurus kedua bola mata indah pimpinannya, tapi hanya sebentar saja. Ia tak mau perbuatannya itu dianggap lancang oleh sang pimpinan. Walau begitu, ia bisa melihat lewat sorot mata itu, ada banyak harapan terkait berita yang tadi ditanyakan. Soal pemuda itu. Tentu saja Hang Damar tahu sekali siapa orang yang tengah diselidiki pimpinannya ini. Seorang pemuda gagah yang terkenal di delapan penjuru angin. Walaupun ia tidak pernah bertemu muka, karena selama menjadi pimpinan bajak laut ia tak pernah sekalipun keluar dari pulau ini, akan tetapi, setiap kejadian di dunia luar selalu tahu. Terlebih berita pemuda yang dimaksud pimpinannya saat ini. Berita mengalir deras bak sebuah badai yang kerap kali menerjang kapal-kapal besar di laut lepas sana.
Lagi Hang Damar membungkuk hormat. “Mohon maafmu Pimpinan. Dari ratusan anak buahku yang tersebar di seluruh pulau jawa, tidak satu pun dari mereka yang mendengar adanya Pendekar 212. Selama lebih dari dua tahun ini berita tentangnya tak pernah lagi terdengar. Mungkin beliau memilih untuk mengasingkan diri. Memperdalam ilmu kanuragan.”
Perempuan berpakaian merah menggeleng perlahan. Tidak ada kata yang terucap dari bibirnya, akan tetapi di relung hati terdalam perempuan ini menduga-duga. Mungkinkah kejadian kala itu kini terulang? Dia terpesat ke suatu tempat seperti halnya ke Negeri Latanahsilam dulu?
“Baik Ayahanda, sekarang kau boleh pergi.” Perempuan ini berbalik badan, siap masuk ke dalam rumah panggung, paling besar di antara rumah panggung yang lain. Hanya saja langkah kakinya tertahan kala Hang Damar mengutarakan informasi terakhirnya.
“Saya tidak tahu pasti apakah berita ini benar atau hanya angin lalu saja, dan saya juga gak tahu apakah ini penting buat Pimpinan atau tidak. Tapi, tidak ada salahnya saya sampaikan berita ini kepada Pimpinan.”
“Apa yang kau tahu, Ayahanda?”
“Dari berita yang kudengar satu purnama dari sekarang akan ada salah satu tokoh besar golongan putih yang hendak melangsungkan pernihakan.”
Kedua mata perempuan ini menyipit. Berita ini memang tidak terlalu penting baginya, namun, tokoh besar golongan putih banyak yang dia kenal. Karenanya, meskipun hatinya tidak tertarik, tidak ada salahnya mengetahui lebih lanjut informasi yang disampaikan anak buahnya.
“Ayahanda tahu nama orang itu?”
Hang Damar mengangguk. “Dulu dia dikenal dengan gelar Ratu Duyung. Penguasa Laut di kawasan Nyi Roro Kidul.”
Kedua bola mata indah perempuan ini mebeliak. Ada keterkejutan dan kecemasan besar lewat sorot matanya. Hang Damar bahkan sampai ikut kaget melihat reaksi dari pimpinannya.
“Pimpinan, sepertinya berita ini sangat mengejutkanmu. Apakah kau mengenal perempuan itu?”
Sang pimpinan menggeleng cepat. “Tidak-tidak. Aku tidak mengenalnya.” Suaranya terdengar bergetar, menandakan betapa dahsyat tekanan yang kini melanda tubuhnya. “Kau tahu di mana acara itu akan berlangsung?”
Hang Damar menggeleng. “Seperti yang sudah saya katakan, berita ini aku tidak tahu apakah benar atau hanya angin lalu, karenanya kami tidak mencari tahu terlalu dalam.”
Perempuan bermata indah ini memalingkah wajahnya ke jurusan lain. Ada debaran hebat di dadanya. Terlebih saat pikirannya mulai menduga-menduga. Dengan siapa Ratu Duyung menikah? Yang ia tahu, dari sekian banyak gadis yang mencintai Pendekar 212 hanya Ratu Duyung yang paling beruntung, karena dia yang selalu berada di sisi si pemuda. Kalau saat ini ia hendak melangsungkan pernikahan, mustahil dengan lelaki lain. Membayangkan kemungkinan terburuk terjadi, perasaan perempuan ini semakin tidak karuan.
“Ayahanda tahu, dengan siapa perempuan itu hendak menikah?”
Kembali Hang Damar menggeleng. “Mohon maafmu Pimpinan, saya tidak tahu siapa lelaki beruntung itu yang bisa mendapatkan hati perempuan yang terkenal cantik di Tanah Jawa.”
Mendengar anak buahnya memuji kecantikan Ratu Duyung secara berlebihan, perempuan ini menjadi gemas. Kedua rahangnya sampai terdengar gemeletakan.
“Ayahanda Hang Damar, untuk beberapa lama aku akan pergi dari pulau ini. Semua kepemimpinan aku serahkan padamu.”
Hang Damar membeliak tak percaya. “Pimpinan hendak meninggalkan kami?”
“Tidak akan lama, Ayahanda.”
Hang Damar terdiam sebentar. “Saya akan perintahkan beberapa orang untuk mengawal Pimpinan.”
Dari dua matanya terlihat, kalau Pimpinannya tengah mengulum senyum.
“Kau tidak perlu mencemaskanku. Mereka jauh lebih dibutuhkan di sini. Menjaga anak-anak, janda-janda, ibu hamil dan orang-orang tua. Mereka semua butuh keamanan dari ancaman luar yang datang secara tiba-tiba. Dan mereka juga butuh makanan untuk tetap bisa hidup. Ayahanda, selama aku pergi, aku harap, apa yang sudah aku tetapkan di sini tetap dipatuhi.”
“Apa yang sudah menjadi aturan akan aku patuhi selamanya, Pimpinan.”
“Terimakasih,” katanya sambil tersenyum. “Aku pergi.”
Sekali berkelebat sosoknya telah lenyap, hanya bau harum yang tertinggal di tempat itu. Hang Damar hanya bisa menggeleng mengagumi.
“Walau aku tidak pernah tahu seperti apa wajah dibalik kain yang selalu menutupinya itu, tapi aku yakin, wanita itu memiliki paras yang sangat cantik nan rupawan. Dia juga terlihat masih sangat muda. Tapi ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari guruku. Gila, dunia luar sudah jauh berkembang. Orang-orang muda yang sakti banyak bermunculan. Beruntung aku mendapat pemimpin dari salah satu orang sakti itu. Kalau tidak, sudah sejak lama pasukan Kesultanan Banten meratakan tempat ini.”
***
Rumah makan Jagat Depala tidak terlalu besar. Hanya mampu menampung kurang lebih sepuluh tamu di dalamnya. Walau demikian, karena ramainya pengunjung yang datang akhirnya Jagat Depala menyediakan tempat duduk di halaman rumah makannya yang memang sangat luas. Selain masakannya enak dan khas, rumah makan itu pula berada di tempat yang sangat strategis. Perempatan jalan. Setiap para pejalan yang dari dalam atau luar pasti selalu singgah untuk sekedar membeli bekal guna melanjutkan perjalanan atau menikmati hidangan di tempat.
Seperti yang terjadi siang ini. Kala mentari bersinar di puncak tertingginya, aroma ikan bakar, ayam panggang dan beragam jenis masakan lainnya seakan memanggil siapapun yang sedang lewat. Akibatnya, baik di dalam maupun di luar, pengunjung ramai menikmati santapan siang. Jagat Depala dan istrinya tampak sibuk melayani tamu yang seperti kucuran air tiada henti.
“Kalau begini terus kita bisa kaya raya, Kang Jagat.”
“Jangan berkhayal terus, Samitri. Itu tamu di luar masih nunggu pesanannya.”
Samitri mendengus kesal. “Apa aku bilang Kakang. Baiknya kita cari orang aja untuk membantu dagangan kita ini.”
“Iya Samitri, iya. Besok aku cari orang buat bantu-bantu. Sekarang kamu bawa masakan ini ke tamu kita yang barusan datang itu.”
“Yang mana, Kakang?”
“Asataga Samitri. ... Itu yang pakai baju merah ringkas, rambutnya dikuncir ekor kuda. Anak satu wajahnya cantik kayak mamanya. Suaminya pakai baju putih.”
“Gak usah sedetail itu juga, Kakang. Tinggal tunjuk aja. Aku gak buta!” Sambil membawa pesanan orang Samitri mengomel tiada henti. Menaruh ayam bakar dan pecak ikan bandeng di meja sepasang suami istri dengan satu anak. Sekilas ia memperhatikan anak perempuan itu. Menurutnya kira-kira anak itu baru berusia tujuh tahun. Cantik. Memang benar kata suaminya, anak ini cantik mirip seperti ibunya.
“Makasih,” seyum manis ibu muda berparas cantik ini. Samitri mengangguk seraya membalas senyuman. Sebelum pergi ia melirik ke lelaki yang duduk di sisi ibu muda. Berdecak kagum perempuan ini melihat betapa tampan paras lelaki ini. Terlebih saat senyum manis terkulum di bibirnya.
“Betapa bahagianya keluarga kecil ini. Mereka tampan dan cantik dikaruniai anak yang elok. Sementara aku hanya dapat suami kulit hitam, rambut keriting, kurus pula. Lengkap sudah, semua kejelekan ada padanya. Suaranya juga tidak enak didengar. Hufffttt ..... kapan pangeran yang selalu aku hayalkan sejak dulu menjemputku?”
Perempuan muda memotes paha ayam dan menyerahkan pada anaknya. Girang sekali anak itu menyantap ikan bakar berbumbu lezat.
“Menurut Kakang, Panji, berapa lama lagi kita sampai ke tempat pernikahan sahabat lama?”
Tidak jauh dari meja mereka, seorang perempuan yang juga mengenakan pakaian merah dan menutupi wajahnya dengan kain merah menghentikan gerakan tangannya. Sepotong ikan yang hendak masuk ke dalam kain di mana mulutnya tersembunyi, mengambang. Sesaat ia melirik ke meja perempuan yang berkata tadi. Memasang telinga, mempertajam pendengaran.
Lelaki yang bukan lain Panji Kenanga, menyantap terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan istrinya. Lalu siapa perempuan muda nan cantik ini? Siapa lagi kalau bukan Lestari, murid tunggal kakek sakti yang berjuluk Si Pemusnah Iblis. Sejak gagalnya perjodohan dengan Wiro Sableng, Lestari yang memang sejak awal pertemuan telah menyukai Panji Kenanga, langsung menerima itikad baik si pemuda untuk mempersunting dirinya. Di awal pernikahan mereka masih melanjutkan petualangan sebagai pendekar. Mengembara ke mana kaki melangkah. Tentu saja itu dilakukan bersama. Tapi petualangan seru itu terhenti kala Lestari diketahui hamil. Dan keduanya memutuskan untuk pensiun muda dari dunia persilatan. Hidup bahagia bersama buah hatinya. Boleh dikatakan sejak saat itu mereka buta dengan dunia persilatan. Bahkan kabar Wiro Sableng pun tak pernah terdengar. Hingga akhirnya surat undangan datang dari sahabat lamanya. Dan saat ini keduanya sedang menempuh perjalanan jauh menuju tempat di mana acara perkawinan Wiro Sableng akan berlangsung.
“Mungkin sekitar dua, tiga hari lagi. Aku harap bisa lebih cepat. Jangan sampai kita datang terlambat.”
Lestari mengangguk. Sambil menyuapi anak kesayangannya ibu muda ini teringat dengan pertemuan pertama dengan pemuda sahabatnya itu. Kalau bukan karena pertolongan dia saat racun ganas mematikan hampir merenggut jiwanya, tentu dirinya sudah lama menjadi tanah. Ia juga ingat betapa memuncak amarah Wiro Sableng kala melihat dirinya hampir direnggut kesuciannya oleh Ronggo Bogoseto di kediamannya. Beruntung Wiro datang dalam waktu yang tepat. Terlambat sedikit saja, apa artinya hidup kalau sudah tak memiliki kehormatan?
“Lestari, kau melamun? Apa yang kau pikirkan?”
Belum sempat Lestari memberikan jawaban dari pertanyaan suaminya, seluruh pengunjung baik di dalam yang sedang berada bersamanya, atau di halaman, mereka semua kabur, meninggalkan santapan yang sedang dinikmati. Lestari dan Panji tidak heran, karena kejadian semacam itu sudah sering terjadi. Tanpa berpaling dan cuek saja ia melanjutkan makanan.
Enam orang berpakaian hitam, berjambang bawuk masuk. Rumah makan yang sebelumnya penuh kini hanya menyisakan sepasang kekasih dan satu orang tidak jauh dari meja keluarga kecil itu.
Jarok Kemitir berpaling ke anak buahnya. Mengisyaratkan agar salah seorang memesan makanan. Sementara yang lain mengikuti dirinya menunu meja makan di mana sepasang ke kasih sedang asyik menikmati makan seolah tak terganggu dengan kehadirannya.
“Rugi lagi kita Samitri,” bisik Jagat Depala pada istrinya saat melihat seluruh pengunjung kabur, meninggalkan makanan tanpa bayar.
“Kalau begini terus kita bisa bangkrut, Kakang.”
“Tadi kau bilang kaya raya.”
“Apa yang kalian bisikkan?!” Bentak garang salah seorang dari enam tamunya yang barusan masuk. “Lekas sediakan makanan paling enak! Keluarkan seluruh persediaan yang ada!”
“Ba-baik, Tuan.” Tubuh Jagat Depala gemetar. Kalau bukan karena sedang berjualan mungkin sudah sejak tadi ia kabur seperti yang orang-orang lakukan.
Jarok Kemitir mengambil Kursi, duduk di samping Lestari. Panji Kenanga yang melihat itu membeliak. Tapi, lelaki brewok ini mana peduli. Senyum buruk terkembang di wajah seramnya.
“Sayang sekali wanita secantik kamu sudah punya anak. Kalau belum ....”
“Kalau belum kenapa Jarok?” tanya salah satu anak buahnya.
“Kalau belum aku jadikan ratu di istanaku, hahaha....”
“Menyingkir dari istriku atau kepalamu aku pisahkan dari tubuh!”
“Wow .... Baru kali ini ada cecunguk yang berani bicara jago di depan Jarok Kemitir. Penguasa kawasan yang ada di sini.”
“Mungkin dia orang jauh Jarok. Jadi tidak tahu siapa kita.” sahut anak buahnya.
“Bisa jadi. Atau monyet kampung yang baru turun gunung. Makanya dia buta kalau di depannya ada penguasa yang harusnya dia segera angkat kaki dari sini ketika aku datang.”
“Rombongan kerajaan sekalipun tak pernah aku lihat mereka memaksa orang-orang untuk meninggalkan tempat makan. Kalian ini siapa sampai harus ditakuti? Sebangsa dedemitkah?”
“Monyet Gondrong! Berani kau menghina Pemimpin kami!” Tidak tahu kapan lelaki ini mencabut pedangnya, tiba-tiba cahaya putih berkiblat mengarah ke leher Panji Kenanga. Mendengar bentakan keras anak kecil itu menangis. Lestari cepat mengambil, akan tetapi terhalang oleh tangan kokoh yang tiba-tiba menggenggam lengannya. Lestari membeliak. Sekali kibas pegangan terlepas. Jarok Kemitir yang tidak menyangka kalau ibu muda cantik ini memiliki kekuatan tinggi segera melancarkan serangan guna meringkus perempuan itu hidup-hidup.
Lestari melompat mundur, menjauhi meja di mana anaknya berada. Tangis anak ini semakin menjadi. Jarok Kemitir yang sudah terpesona oleh kecantikan Lestari, menyerbu ganas. Ia tak sabar ingin segera meringkus dan membawa ke kediamannya.
“Dalam lima jurus di muka, aku harus sudah meringkus Betina ini!” batinnya. Tapi sampai enam jurus berlalu, jangankan meringkus, membuat lawan terdesak saja tidak bisa. Penasaran sekali Jarok Kemitir Ini lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi ingin tahu sejauh mana kemapuan lawannya. Lestari tidak tinggal diam. Ia sambuti serangan lawan dengan pukulan tangan kosong pula. Serangkum angin menggebu-gebu, melabrak satu sama lain. Meja makan bermentalan. Jarok Kemitir terjajar satu langkah ke belakang. Sementara Lestari hanya terdorong sedikit saja. Ini menunjukan kalau tenaga dalam Lestari berada satu tingkat di atasnya.
“Tidak disangka, perempuan binal ini memiliki tenaga dalam tinggi juga.”
Srekkk!!! Jarok Kemitir mengambil pedangnya yang tergantung di punggung. Selarik sinar putih kini telah mengurung Lestari. Kalau sebelumnya lelaki ini berniat untuk menangkap Lestari hidup-hidup, maka lain hal untuk sekarang. Mengetahui kalau perempuan itu tidak berada di bawahnya, maka ia tidak mau mengambil resiko. Mengakhiri perkelahian dengan cepat adalah keputusan terbaik.
Tenaga dalam Lestari memang berada satu tingkat di atas lawannya. Namun, dalam permainan pedang ia kalah jauh. Itu terlihat, meskipun ia sudah mempergunakan suling perak saktinya, dirinya masih terdesak hebat. Pedang membabat ganas ke arah pinggangnya. Lestari mencoba menangkis dengan seruling sakti.
Trangg!!!
Percikan api keluar dari beradunya senjata keras. Suling sakti terlepas. Lestari terpekik. Sedangkan Jarok Kemitir tertawa mengejek.
“Berakhir sudah riwayatmu betina keparat!” Tebasan dahsyat mengarah ke leher Lestari. Perempuan satu anak ini sudah tak memiliki ruang untuk mengelak. Sesaat senjata tajam itu membabat putus leher Lestari, serangkum angin menghantam Jarok Kemitir dari arah samping. Lelaki ini teriak. Terjajar mengakibatkan serangannya gagal.
“Saudari, pakai pedangku.” Sebuah pedang hijau yang sudah keluar dari sarungnya melayang di udara. Lestari yang terlihat pucat segera sambuti pedang dari orang yang tidak di kenal. Orang ini pula yang tadi telah mengirimkan angin pukulan hingga dirinya selamat dari ancaman maut.
Sinar hijau redup keluar dari pedang yang kini berada dalam genggaman Lestari. Memiliki tenaga dalam tinggi, dan senjata yang juga jauh lebih tinggi dari lawannya, harusnya Lestari mampu menundukan lawan. Atau paling tidak membalikan keadaan. Dirinya yang mendesak lawan. Memang seperti itulah kejadiannya. Tapi tidak berlangsung lama. Karena Jarok Kemitir selain memiliki tenaga dalam yang cukup tinggi, ia juga terkenal dengan kehebatan permainan pedangnya. Sudah berapa ratus nyawa yang tercabut lewat keganasan ilmu pedangnya.
Sekali teriak Jarok Kemitir robah permainan ilmu pedangnya. Lestari yang melihat tempo permainan lawan berubah total, akhirnya hanya mampu bertahan. Lama kelamaan ia kembali terdesak hebat.
Sinar putih ganas membabat.
Crasss!!!
Lestari terpekik. Rambut panjang indahnya yang dikuncir terbabat putus. Wajah perempuan ini kembali memucat.
“Sebentar lagi lehermu yang putus!” ancam Jarok Kemitir membabi buta. Tapi serangan ganas ini tertahan ketika dari samping cahaya biru memapasi laju pedangnya.
Trangg!!!
Bunga api kembali keluar dari mata pedang yang beradu. Gemetar lengan Jarok Kemitir. Hampir saja pedang di tangannya terlepas.
Jarok Kemitir melompat, keluar dari kalangan pertempuran. Dilihatnya lelaki berbaju putih telah berdiri di samping istrinya. Jarok Kemitir berpaling ke anak buahnya. Dua orang tergeletak, melenguh kesakitan. Sementara tiga lainnya berdiri gugup. Wajah ketiganya pucat pasi. Pedang di tangan terbabat putus, hanya menyisakan satu jengkal dari gagang.
“Jarok, saatnya kita keluarkan Ilmu andalan!”
Jarok Kemitir mengangguk. Melompat ia ke samping anak buahnya. Dua orang yang meringkuk kesakitan susah payah berusaha berdiri.
“Telan!” Jarok Kemitir melempar dua butir obat luka dalam ke masing-masing anak buahnya. Keduanya cepat menelan. Meskipun luka dalam tidak sembuh seketika, tapi rasa sakitnya sudah jauh berkurang. Keduanya segera membentuk barisan. Kedua kaki masing-masing terentang.
“Pukulan Seribu Setan Mengamuk!” Jarok Kemitir teriak lantang, memberi komando pada anak buahnya. Panji Kenanga dan Lestari membeliak tak percaya ketika melihat dari masing-masing telapak tangan keluar cahaya hitam pekat mengerikan.
“Kau pernah mendengar nama pukulan yang disebutkan itu?”
Lestari menggeleng, karena memang selain kini telah buta dengan keadaan rimba persilatan juga saat malang melintang dulu tidak terlalu lama. Boleh dikatakan dirinya masih tergolong hijau jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain.
Perempuan yang tadi menolong Lestari membeliak, ia samasekali tidak menyangka, gerombolan yang sebelumnya dianggap tak lebih dari keronco nyatanya memiliki ilmu pukulan yang bukan main-main. Melihat betapa mengerikan cahaya hitam pekat itu keluar, perempuan bercadar merah ini mulai menyangsikan, apakah dua pasang suami istri itu bakalan mampu menghadapi?
“Saudari, amankan anakmu!” belum hilang gema suaranya, sosoknya sudah berdiri di sisi Panji Kenanga. Lestari yang menyadari orang hendak membantu segera turuti perintah tuan penolongnya. Saat itulah, cahaya hitam yang terbungkus asap membuntal melabrak ke arah Panji dan Perempuan bercadar merah.
Panji Kenanga teriak, pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi melesat, menyongsong pukulan lawan. Cahaya putih bersinar melabrak, bersamaan dengan itu, dari sampingnya dua larik sinar biru berkiblat. Ilmu kesaktian ini meskipun terlihat angker mengerikan tidak memiliki nama. Akan tetapi Nyi Kuncup Jingga pernah menyebut ilmu ini Pedang Biru Liang Akhirat saat terjadi pertempuran ganas di pantai kawasan Ratu Laut Utara.
Suara dentuman laksana letusan gunung merapi mengguncang rumah makan kala dua kekuatan dahsyat itu beradu. Jerit kesakitan terdengar mengerikan. Rumah makan ambruk, rata dengan tanah. Api membuntal, membumbung tinggi. Panji Kenanga terpental satu tombak ke belakang. Cepat ia melompat ke luar karena rumah makan ambruk. Sementara perempuan bercadar merah hanya terjajar dua langkah ke belakang dan sekali melompat ia sudah berada di luar.
Empat anak buah Jarok Kemitir tewas di tempat. Terkutung-kutung tubuhnya sulit dikenali. Dua sisanya luka parah. Muka gosong terbakar dan salah satu tangan kananya hancur. Jarok sendiri meskipun nasibnya tidak seburuk anak buahnya, ia mengalami luka dalam yang cukup parah. Darah hitam kental keluar dari mulutnya saat terbatuk-batuk. Mengambil pedang dan berlari sekencang yang ia mampu. Sayangnya, perempuan bercadar merah yang sejak tadi memperhatikan dirinya tidak membiarkan pimpinan grrombolan itu melangkah lebih jauh. Sekali berkelebat pedang di tangan Panji telah berpindah di tangannya. Dalam waktu singkat ia sudah menghadang lari Jarok Kemitir.
Melihat kecepatan gerak perempuan itu, Panji dan Lestari sampai leletkan lidah. Betapa terlalu lama mereka terkurung dalam sebuah desa kecil, hingga apa yang terjadi di rimba persilatan seolah-olah menjadikan dirinya benar-benar hijau.
“Tidak ada tempat lari bagimu, kecuali neraka!”
“Jahanam! Betina sundal! Mampus kau!”
Perempuan bercadar merah tertawa mengejek. Karena ilmu silat berada jauh di bawah si perempuan, di tambah Jarok Kemitir mengalami luka dalam teramat parah, dalam waktu singkat, tidak sampai lima jurus pedang di tangan kanan Jarok Kemitir telah terlepas, besama lengannya. Jarok Kemitir menjerit setinggi lagit. Darah mengucur deras.
Crasshhh!!!
Tangan satunya kembali buntung. Belum sempat ia mampu melakukan apa-apa, kepala lelaki yang sebelumnya mengaku pemilik kekuasaan di sini menggelinding bersama terjatuhnya tubuh. Darah muncrat ke mana-mana. Tubuh tanpa kepala melejang-lejang mirip seperti sapi yang disembelih. Sesaat kemudian sosok itu diam kaku, pertanda nyawa telah pergi ke neraka.
“Pedang hebat!” Puji perempuan bercadar sambil melempar ke arah Panji. Panji yang saat itu seakan tersihir melihat kelincahan permainan pedang, dan keganasan si perempuan, menjadi sedikit gugup. Beruntung ia mampu menangkap gagang pedang itu dengan baik. Sementara Lestari sejak tadi memalingkan muka, menutupi wajah anaknya, tak kuat melihat pertarungan singkat namun mengerikan. Bahkan ketika pemilik pedang hijau mengambil dari tangannya ia tidak tahu.
“Saudari, aku dan istriku ....”
“Kalian ambil barang-barang berharga milik para bergundal itu, lalu berikan kepada pemilik rumah makan untuk mengganti kerugian.”
Panji mengangguk. Kalimatnya yang barusan dipotong hendak disambung, akan tetapi perempuan itu sudah berkelebat jauh, meninggalkan mereka berdua.
“Sulit dipercaya, ada manusia mampu bergerak secepat itu. Bahkan untuk mengucapkan terimakasih pun aku tidak sempat.”
Pada istrinya ia bertanya, “Lestari, kau tidak apa-apa?”
“Aku tidak apa-apa Kang Panji.”
“Bagaimana dengan Wulandari?” Panji meneliti anaknya. “Kau tidak apa-apa sayang?”
Anak kecil ini menggeleng. Air mata masih terlihat mengalir di pipi.
“Anak hebat,” katanya menggendong anak kecil itu menuju ke kuda. Lestari mengikuti di belakang “Tunggu sebentar ya Sayang.” Setelah dilihatnya anaknya mengangguk ia mengambil sekantong keping emas dari jasad yang tak berkepala. Menyerahkan kepada pemilik rumah makan yang kala itu meringkuk sembunyi di bawah pohon besar.
“Ini untuk mengganti kerugianmu. Jika kurang, kamu bisa temukan dari masing-masing mereka. Aku yakin masih ada banyak kepingan emas di perbekalan mereka.” Pemilik warung makan hanya bisa mengangguk. Panji tersenyum lalu bersama istrinya ia meninggalkan tempat itu.
Bag 5
Memasuki anak sungai, Panji Kenanga memberi isyarat kepada istrinya untuk menghentikan kuda yang ditungganginya. Tidak jauh dari jalan yang mereka lalui manusia aneh dengan tubuh luar biasa besar tengah berendam. Yang membuat Panji Kenanga dan Lestari heran ialah, baju yang dikenakan. Terbalik. Selain itu juga rintihan yang terdengar. Dalam keadaan tubuh basah kuyup, tertutup air sungai ia merintih-rintih kepanasan. Sungguh tidak masuk akal.
“Aku memang belum pernah bertemu dengan manusia aneh ini. Tapi melihat dari sikapnya, ciri-cirinya pastilah dia seorang tokoh hebat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan karena mampu membunuh Si Muka Bangkai, manusia terkutuk guru Pangeran Matahari, musuh bebuyutan sahabat kita, Wiro Sableng.”
“Aku juga pernah mendengar riwayat itu, Kakang.” Sahut Lestari. “Hanya saja, apakah maksud dan tujuannya kali ini yang seolah sengaja menghadang kita? Aku khawatir dia punya niat jahat terhadap kita.”
“Biar aku yang menyapa,” kata Panji Kenanga pula.
“Orang Gagah yang sedang berendam, apakah saat ini aku sedang berhadapan dengan tokoh besar dunia persilatan, Bujang Gila Tapak Sakti?”
“Heh, apa kamu bilang? Orang gagah? Hahahah..... selama dunia ini terkembang, sejak aku membrojol dari perut ibuku hingga bangkotan begini, baru kali ini ada orang yang ngatain aku gagah. Dua orang penunggang kuda, apakah matamu sudah lamur, hihihi.....” Bujang Gila kembali kebut-kebutkan kipas saktinya.
Panji dan Lesatri hanya saling pandang.
“Oh ya satu lagi, aku memang masih bujang, tapi gak gila. Jadi panggil aja aku Bujang Gagah. Toh kalian sendiri yang manggil aku gagah. Aku gak minta, hihihi ....”
“Kakang, sepertinya orang ini tidak waras. Atau ada masalah pada otaknya.”
Panji Kenanga menggeleng. “Memang seperti itulah kebanyakan tokoh terkenal dunia persilatan. Semakin tinggi ilmu silatnya, semakin kuat menonjolkan kegilaan. Mungkin itu cara mereka untuk menutupi nama besarnya.”
Pada Bujang Gila Tapak Sakti, Panji Kenanga berkata, “Bujang Gagah,” Panji mengikuti apa mau lawan bicaranya. “semoga kedatanganku tidak mengganggu kedamaianmu. Harap maafku jika itu terjadi. Kami mohon diri melanjutkan perjalanan.”
“Hai orang berkuda, aku memang tidak merasa terganggu dengan kehadiran kalian. Tapi apa kalian gak sadar, kalau ada sepasang merpati dengan satu anak sedang diikuti elang raksasa? Aku gak tahu apakah elang itu berniat buruk atau apa. Yang jelas, mana ada seekor elang bisa bersahabat dengan mangsanya, betul gak?”
Panji Kenanga dan Lestari yang tidak mengerti apa yang dimaksud manusia gendut itu saling pandang. Keduanya kini sibuk mencari-cari. Sampai pandang matanya dua kali meneliti tempat sekitar, ia tidak menemukan sepasang merpati dan elang yang dimaksudkan.
“Bujang Gagah, aku yang bodoh ini tidak melihat adanya merpati apalagi elang di sekitar sini.”
Bujang Gila tertawa terbahak-bahak hingga perutnya yang besar itu berguncang hebat.
“Kalau begitu kalian tetap di sini, sampai elang itu pergi karena bosan sembunyi.” Bujang Gila Tapak Sakti melompat, keluar dari kubangan air. Tubuh seberat itu harusnya terdengar suara berdebam kala kaki menginjak tanah. Tapi sulit dipercaya, seakan daun kering yang terjatuh, sosok gembrot itu tidak menimbulkan suara sedikitpun. Panji dan Lestari sampai menggeleng penuh kekaguman melihat betapa tinggi ilmu meringankan tubuh Si Bujang Gagah.
Bujang Gila Tapak Sakti tersenyum pada anak kecil yang entah mengapa anak itu jadi tertawa melihat pakaiannya yang terbalik. Kedua tangan digosok berulang-ulang. Lalu ia berjongkok dengan kedua telapak tangan menempel di tanah. Saat itulah, udara yang sebelumnya sejuk, karena kabut tipis menghalangi teriknya matahari, berubah drastis. Panji dan Lesatri sampai gemeletakan. Perempuan ini langsung memeluk anaknya.
Tidak jauh dari tempat mereka berada, seorang perempuan yang sejak tadi bersembunyi di balik pohon besar menyumpah berulang-ulang. Seperti Lestari, orang ini pun menggigil kedinginan.
“Gendut sialan! Awas aja. Suatu saat aku balas perlakuannya ini.” Sekali berkelebat ia menghilang dari tempat itu.
Bujang Gila Tapak Sakti hentikan ilmu pukulannya. Kembali ia mesem-mesem pada anak kecil tadi. Mencubit gemas anak itu. “Anak cantik. Sejak tadi kamu ketawa-ketawa, apa yang lucu?”
“Baju Paman Gendut terbalik, hihihi ....”
Bujang Gila pura-pura menengok ke pakaiannya, lalau ikut-ikutan tertawa. “Oh iya, Paman lupa. Maklum udah tua, udah pikun.” Pada Panji dan Lestari ia bertanya, “Sobat muda ganteng dan cantik ini sebenarnya mau ke manakah?”
“Tuan Gagah, sebelumnya, aku dan istriku mengucapkan banyak terimakasih. Karena kebaikan Tuan kami terhindar dari marabahaya.” Panji berkata begitu karena sadar orang telah menolongnya. Ia juga sudah tahu arti dari ungkapan si gendut soal merpati itu, yang bukan lain dirinya. Dan elang yang dimaksud tentu saja orang yang berkelebat dari bawah pohon sana. Walau tidak begitu jelas terlihat karena kecepatan geraknya.
“Ahhh.... gak usah berlebihan sobat muda ganteng. Saling tolong menolong adalah sudah keharusan bagi orang-orang dunia persilatan. Untuk sementara kalian aman. Kalian sudah bisa lanjutkan perjalanan. Tapi aku gak bisa pastikan, apakah orang tadi akan kembali mengikutimu atau tidak. Yang jelas kalian harus tetap waspada.”
Panji Kenangan dan Lestari mengangguk. “Kalau begitu, kami mohon diri, Bujang Gagah.”
“Sekali lagi terima kasih,” sambung Lestari. Bujang Gila Tapak Sakti mengangguk. Sekali melompat ia sudah kembali kekubangan.
“Aduhhh .... panasnya hari ini. Kapan Tanah Jawa di guyur salju? Aku ingin berendam di salju.”
Panji Kenanga dan Lestari lagi-lagi hanya bisa menggeleng. Benar-benar sulit diterima akal.
“Menurut Kakang,” kata Lestari setelah berada cukup jauh dengan tempat yang mereka tinggalkan. “apakah orang yang mengikuti kita punya niatan jahat?”
“Aku tidak tahu. Yang jelas, orang baik tidak akan melakukan perbuatan serendah itu. Diam-diam membuntuti orang.” Dalam hati Panji Kenanga berharap, penguntit itu tidak lagi membuntutinya. Kalaupun masih, tidak punya niatan jahat. Ia dan istrinya tidak pernah tahu kalau ada yang membuntuti. Itu artinya, sang penguntit memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi di atasnya. Kalau tujuan orang itu jahat, celakalah mereka bertiga.
***
Telaga Gajah Mungkur menjadi tempat, dimana dua manusia yang telah lama terikat perjodohan akan melangsungkan pernikahan. Sebelumnya beberapa tokoh sepakat untuk memilih tempat di Danau Meninjau, kediaman salah satu guru Wiro Sableng sendiri, Datuk Rao Basaluang Ameh. Akan tetapi, setelah mempertimbangkan baik buruknya dan dari hasil kesepakatan musyawarah, banyak tokoh akhirnya memilih Telaga Gajah Mungkur. Di samping Danau Meninjau terlalu jauh, tokoh yang hadir juga kebanyakan dari Tanah Jawa.
Hampir semua orang yang Wiro kenal telah hadir di acara pernikahannya. Anggini, yang duduk paling dekat di sebelah Ratu Duyung, menggenggam erat tangan si gadis. Tidak jauh dari dirinya duduk seorang gadis yang juga tak kalah cantik dengan dua gadis ini. Dialah Pandansuri, anak angkat dari Raja Rencong. Bagaiamana Pandansuri bisa berada di tanah Jawa? Padahal ia sekalipun tak pernah meninggalkan tanah kelahirannya. Pertemuannya dengan Wiro pun hanya terjadi beberapa kali kala Wiro Sableng datang ke utara Pulau Andalas.
Diketahu sejak kematian ayah angkatnya, Pandansuri diangkat menjadi murid oleh tokoh sakti pulau Andalas, Nyanyuk Amber. Selang beberapa lama Nyanyuk Amber juga mengundang Anggini ke kediamannya, sesaat setelah berakhirnya pertempuran hebat di Lembah Akhirat. Di sanalah keduanya bertemu dan saling bercerita tentang pengalaman masing-masing.
Pandansuri yang selama hidupnya selalu merindukan Wiro Sableng, tanpa bisa melakukan apapun, tentu saja ia sangat senang kala Anggini mau berbagi kisah mengenai pemuda itu. Meskipun terkadang ia merasa terluka ketika tahu kalau Wiro Sableng dikelilingi banyak sekali wanita cantik. Begitupun kala undangan pernikahan itu datang. Awalnya ia enggan untuk pergi ke Tanah Jawa. Namun, setelah cukup lama mempertimbangkan, mengesampingkan perasaannya yang terasa hancur, demi melihat orang yang dicinta untuk terakhir kali sebelum akhirnya jadi milik orang, Pandansuri memutuskan datang. Betapa rindu ia ketika untuk pertama kali, setelah sekian lama tak melihat si pemuda. Kalau tidak megedepankan rasa malu sebagai perempuan, tentu di pertemuan pertama itu ia langsung berhambur memeluk sang pendekar.
Di sebelah kanan, di samping Wiro Sableng duduk menjelepok nenek bau pesing. Siapa lagi kalau bukan Sinto Gendeng. Di sebelahnya ada Kakek Segala Tahu. Berulang kali orang tua ini menggoyangkan kaleng rombengnya, membuat Sinto Gendeng bebrapa kali memaki kakek ini. Yang akhirnya hanya disambut gelak tawa semua orang.
Semua tokoh telah hadir. Tua Gila, Dewa Tuak, Raja Penidur dan beberapa lainnya telah mengambil tempat duduk. Bahkan Panji Kenanga dan Lestari yang datang paling akhir pun telah memilih tempatnya. Pemuda ini cukup terkejut ketika di sana juga ternyata ada Bujang Gila Tapak Sakti yang sedang enak-enakan makan buah rambutan. Kapan Bujang Gagah itu sampai? Bagaimana bisa lebih cepat darinya? Padahal saat ditinggalkan di sungai kecil dua hari yang lalu masih enak-enakan berendam. Panji tidak bisa berfikir lama. Terlebih ketika melihat Bujang Gila melambaikan tangan ke arahnya.
Wiro Sableng menyapu seluruh hadirin. Semua orang sudah datang ke acaranya, tapi satu yang sejak pagi tadi dinanti tidak kunjung terlihat.
“Mungkinkah undangan itu tidak sampai ke tangannya?” Wiro Sableng membatin. “Sejak pertempuran di Pantai Laut Utara itu aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Bahkan kabar tentangnya pun tak pernah terdengar. Ke mana dia? Apakah dia baik-baik saja, atau ....”
Sekilas ingatan Wiro Sableng kembali ke akhir pertempuran dengan Ratu Laut Utara palsu. Wanita terkutuk itu, setelah nyawanya lepas dari badan, Bidadari Angin Timur menendang, penuh kebencian tepat di bagian mulutnya. Itu menandakan betapa besar dendam kesumat gadis itu terhadap Ratu Laut Utara Palsu. Karena saat itu telah mempermalukan dirinya di hadapan semua orang. Terlebih di hadapan orang yang sangat dicintai sepanjang hidupnya.
“Bidadari Angin Timur, meskipun aku mengharapkan kau datang, tapi jauh di lubuk hati terdalam, sudah cukup bagiku mengetahui dirimu baik-baik saja. Di mana pun kau berada, aku berharap kasih dan pertolongan Tuhan selalu menyertaimu.”
“Apa yang dicari si Sableng itu sebenarnya? Dari tadi celingak celinguk gak karuan.” Naga Kuning menyikut tulang rusuk Setan Ngompol. Dikejutkan begitu, seketika kemudian air mengalir deras dari bawah tubuhnya.
“Bocah geblek! Sudah kubilang jangan ngagetin.”
Naga Kuning menutup mulut, menahan tawa. “Untung Kiai Gede Tapa Pemungkas sudah tidak tinggal di sini lagi. Kalau masih, bisa dikeremus bijimu, Kek.”
Serrrrhhhh!!!
“Udah diem bocah sialan! Jangan sampai kau kumandikan dengan air kencing ini!”
Naga Kuning melompat, menghindari jambakan Setan Ngompol. Karena dia berada di tengah, diapit oleh Setan Ngompol dan Genderuwo Patah Hati, sosoknya menabrak si nenek yang memiliki wajah seperti setan. Keduanya jatuh bergedebukan. Dewa Ketawa yang berada paling dekat dengan ketiga orang ini tertawa ngakak. Menunjuk-nunjuk Naga Kuning yang saling tindih degan kekasihnya. Semua orang kini melihat ke arah keduanya. Beberapa ikut tertawa. Yang lainnya hanya senyum-senyum saja.
“Si Sableng yang mau nikah, mereka yang mau kawin, hahahahahaha .....”
Sinto Gedeng mengumpat kesal. Ia hendak melabrak Dewa Ketawa, tapi Kakek Segala Tahu segera menengahi.
“Orang yang kita tunggu sebentar lagi datang.”
Seperti yang sudah di jelaskan, para tokoh golongan putih sering mengadakan pertemuan, guna membicarakan kabut putih. Meskipun tipis dan tidak membawa dampak apapun terhadap kehidupan manusia, tapi bukan berarti tetap terjamin keamanannya di masa depan. Berbeda sikap dengan orang-orang kerajaan, para dedengkot persilatan justru sangat mengkhawatirkan keselamatan dunia persilatan yang disebabkan oleh kabut tipis itu. Menurut Raja Penidur, kabut itu membawa malapetaka besar. Kiamat bagi umat manusia akan terjadi, andai kabut itu tidak dihilangkan. Lalu bagaimana cara menghilangkannya?
Sebenarnya, dalam pertemuan pertama semua tokoh sudah tahu cara untuk menghilangkan kabut itu. Yakni, bersatunya dua tokoh besar golongan putih yang memiliki banyak ikatan.
“Kiamat sudah tetuliskan. Para dewa angkat tangan. Hanya cinta suci yang mampu menghalau.”
Itulah kalimat Raja Penidur yang bicara seperti ngelindur. Ia langsung kembali terlelap dan tidak mungkin ada satu kekuatan pun yang bisa membangunkannya. Kakek Segala Tahu langsung menerjemahkan arti dari kata-kata Si Raja Penidur ini.
“Kabut ini membawa ancaman besar bagi dunia persilatan. Aku tidak tahu kengerian apa yang bakal terjadi. Tapi, mendengar apa yang dikatakan Si Raja Penidur ini, dapat dipastikan, malapetaka yang akan kita hadapi sekarang, jauh berbeda dari yang pernah terjadi sebelumnya. Kita tidak tahu kabut ini datang dari mana. Itu tidak penting. Yang penting, secepat mungkin kita singkirkan kabut celaka ini.”
“Hanya cinta suci yang mampu menghalau. Apa maksudnya itu?” Dewa Tuak mengajukan pertanyaan. Lalu, gluk ... gluk... gluk... Beberapa tegukan tuak masuk ke tenggorokannya. “Sialan! Minumanku habis.”
Kakek Segala Tahu menengadahkan pandangannya. Seakan melihat sesuatu, kedua mata putih itu bergerak-gerak. Tongkat digoyang. Suara kaleng beradu dengan batu memecah kesucian malam.
“Hmmm ... Bantar-bentar.” Kakek Segala Tahu kembali bunyikan kaleng rombengnya. “Kau ingat dengan kutuk yang menimpa Ratu Duyung dulu? Kutukan itu langsung hilang saat dua manusia dengan ketulusan hati saling menolong. Sekarang keduanya telah terikat tali perjodohan, direstui hampir seluruh tokoh golongan putih. Itu artinya, penyatuan cinta mereka akan menggagalkan malapetaka ini.”
Semua orang terbelalak, terlebih Dewa Tuak. Orang tua ini segera melompat berdiri. “Kalau begitu tunggu apalagi. Kita harus segera satukan mereka berdua.”
“Hihihii.... Soal nyatukan sih gampang, Dewa Tuak,” Tua Gila menyela. “masalahnya, di mana kita temukan anak sableng itu. Sejak dua tahun belakangan ini dia dan juga gurunya seakan tenggelam ke dasar bumi.”
Dewa Tuak manggut-manggut. Seakan baru menyadari kalau Wiro Sableng telah lama menghilang.
“Begini saja. Semua orang yang ada di sini memiliki tugas yang sama. Mencari Ratu Duyung dan Wiro Sableng. 15 hari dari sekarang kita kembali bertemu lagi di sini. Aku harap, salah satu dari kita membawa dua orang itu.”
Semua orang mengangguk. Sayangnya, dipertemuan kedua tidak satupun yang membawa Wiro. Hanya Ratu Duyung yang berhasil mereka bawa. Akhirnya pertemuan itu berlangsung singkat saja dan kembali menyepakati untuk melakukan pencarian berikutnya. Di pertemuan ketiga itulah akhirnya salah satu dari mereka berhasil menemukan Wiro. Kakek Segala Tahu. Orang tua inilah yang berhasil membawa Wiro. Bukan Kakek itu yang mencari, justru Wiro sendiri yang mendatangi. Sekembalinya dari Mataram Kuno Wiro terperangah saat melihat kabut tipis memenuhi hampir seluruh daratan Pulau Jawa. Mendapat tugas dari gurunya, ia segera mencari Kakek Segala Tahu.
Rencana besar para tokoh pun diceritakan. Tentu saja Wiro Sableng keberatan, mengingat dirinya masih belum yakin apakah selama ini dia mencintai Ratu Duyung atau hanya sekedar kasihan karena gadis itu teramat sangat baik terhadapnya.
Terlebih ketika ingatannya meluncur deras pada wajah cantik Sang Bidadari. Gadis berlesung pipit, berambut pirang kini memenuhi isi kepalanya. Bagaimana perasaannya ketika tahu dirinya hendak menikah dengan Ratu Duyung? Meskipun tak pernah terucap kata cinta dari bibirnya, tapi, sikap dan perilakunya seringkali menunjukan kalau ada perasaan yang sama dengannya. Atau hanya dugaannya saja? Bergulat dengan pikirannya, Wiro Sableng jadi pusing sendiri.
Dalam pertemuan ketiga itu ia tak langsung memberikan jawaban. Meskipun beberapa tokoh seperti gurunya, Kakek Segala Tahu dan Dewa Tuak agar segera mengambil keputusan, ia meminta waktu satu minggu untuk berfikir. Padahal yang dilakukan Wiro Sableng adalah mencari kabar tentang keberadaan Bidadari Angin Timur. Sayang, segala penjuru telah ia datangi, segala bentuk mahkuk ia tanyai, tak satu pun yang tahu di mana beradanya gadis itu. Hingga akhirnya, keputusan itu datang, dari dalam hatinya.
“Demi kebaikan umat manusia,” tegasnya menghibur diri.
“Orang yang kita tunggu telah datang!” Kakek Segala Tahu kembali menegaskan. Maksudnya agar semua orang tidak ada yang bersuara. Dewa Ketawa yang sampai saat itu masih terdengar suara tawanya, menutup mulut. Telaga Gajah Mungkur seketika menjadi hening. Dikejauhan, lamat-lamat suara seruling khas Minangkabau terdengar. Semakin lama suara itu semakin keras. Hingga kabut putih samar-samar terlihat di hadapan Wiro Sableng. Auman suara harimau menggetarkan tempat sekitar. Dalam waktu yang bersamaan, sosok samar kini telah menjadi nyata.
“Datuk.” Wiro Sableng berseru seraya membungkukkan badan. Datuk Rao tersenyum. Mengusap kepala si pemuda. Ia mengalihkan pandangan ke seekor harimau putih bermata hijau. Inilah Datuk Bamatohijau. Wiro Sableng tersenyum. Seakan mengerti apa yang diinginkan hati sang pendekar, Harimau itu mendekati. Menjilati lengan Wiro Sableng yang sedang mengelus-ngelus kepala Harimau.
“Sebelum ikatan suci terjalin, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan pada kalian semua. Seperti yang sudah dikatakan Si Raja Penidur, setiap takdir telah dituliskan, apa yang menurut Sang Kuasa harus terjadi, maka terjadi. Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menghalau. Walau begitu, sebagai manusia kita juga ditakdirkan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Setiap petunjuk yang datang dari langit, dari para dewa, adakalanya tidak selalu sesuai harapan. Bisa saja petunjuk itu ada kekeliruan, atau petunjuknya benar tapi penafsirannya kurang tepat. Semua terjadi tak lepas dari Kehendak-Nya. Oleh karena itu, apapun yang terjadi nanti, tabah dalam menjalani kehidupan ini adalah jalan satu-satunya.” Datuk Rao terdiam sesaat. Menatap Wiro lalu berganti ke Ratu Duyung. Perempuan ini langsung menundukan kepala.
“Meskipun ada niatan baik di relung hati terdalam, mengesampingkan keinginan sendiri demi kebaikan umat manusia, aku harap pernikahan ini tidak terjadi atas dasar paksaan. Pernikahan, apapun itu alasannya tetap sesuatu yang sakral. Anak Muda, kau mengerti apa yang aku katakan?”
“Saya .... saya mengerti, Datuk,” jawab Wiro cepat.
“Tidak ada paksaan di hatimu atau ganjalan yang pada akhirnya kau akan menyesal dikemudian hari?”
“Semua sudah aku pikirkan matang-matang, Datuk. Aku menerima Intan atau Ratu Duyung sebagai istri dengan kesadaran penuh.”
“Baiklah,” kata Datuk Rao Basaluang Ameh. “Ulurkan tangan kananmu, Pendekar 212.”
Wiro mengikuti apa yang dikatakan Datuk Rao. Setelah ikatan suci itu selesai diucapkan Wiro Sableng, hampir semua orang tersenyum bahagia. Pandansuri, meskipun senyum terkembang di bibirnya, di relung hati terdalam ia merasakan perih yang teramat sangat. Tampak jelas sekali gadis ini bertahan mati-matian agar butiran air tidak mengalir di pipinya. Kalau ia tidak memikirkan sopan santun dan tatakrama, ingin sekali rasanya saat itu ia berlari meninggalkan upacara pernikahan.
Itulah yang terjadi pada perempuan bercadar yang sejak tadi menyaksikan upacara pernikahan orang yang sangat dicintainya. Sejak pertama datang, ketika apa yang diduganya selama perjalanan ternyata benar, sebenarnya sejak itu pula ia ingin segera angkat kaki dari situ. Akan tetapi, dorongan kuat untuk tetap mendekam di balik pohon besar, membuat sosoknya tetap diam. Kalau Pandansuri mampu menahan air mata tetap terjaga di balik kelopak, tidak dengan gadis bercadar ini. Sejak pertama kali melihat Wiro Sableng duduk berdampingan dengan Ratu Duyung, sejak saat itu pula gemuruh dalam dadanya seakan mau meledak. Sudah berapa kali ia mengusap air yang mengalir deras seakan tidak ada habisnya. Ketika ikatan suci itu telah terucap sempurna, dunia seakan runtuh. Orang-orang itu membicarakan kalau kiamat akan melanda dunia, tanpa mereka tahu atau bahkan peduli, pada dirinya yang saat ini sedang alami. Tidak ada yang paling menyakitkan dari seorang gadis, selain menyaksikan orang yang sangat dicinta telah resmi menjadi milik sahabatnya. Kalaupun ada senyum terukir di bibir, percayalah itu hanya dusta belaka.
Bersama derasnya air mata yang mengalir, perempuan bercadar ini berkelebat pergi, meninggalkan upacara pernikahan.
Datuk Rao Basaluang Ameh berpaling ke arah Kakek Segala Tahu.
“Kakek Segala Tahu, saatnya upacara pemusnahan kabut dimulai. Untuk yang satu ini saya serahkan padamu. Saya mohon diri.” Datuk Rao mengusap kepala Wiro, lalu perlahan sosoknya menghilang, bersama menghilangnya gema auman harimau.
Kakek Segala Tahu melangkah ke hadapan Wiro. “Sinto, pinjamkan tusuk kondemu.”
“Heh, apa perlunya minjam tusuk kondeku segala?”
“Jangan main-main, Sinto! Kita sudah gak punya banyak waktu lagi.”
“Huh, Tua Bangka Sialan! Apa sulitnya menggores tangan dengan kaleng rombeng butut milikmu?” Walaupun mengomel penuh kesal, tapi nenek ini ambil juga tusuk konde yang menancap di batuk kepalanya. Melempar tusuk konde itu dengan sedikit pengerahan tenaga dalam. Ajaibnya, meskipun dalam keadaan buta, Kakek Segala Tahu sedikitpun tidak mengalami kesulitan menangkap senjata sakti itu. Padahal kecepatan geraknya sulit terlihat oleh mata orang biasa.
“Sialan kau, Sinto! Masih sempat-sempatnya pamer kesaktian.”
“Hihihi..... habis aku muak dengan keadaan ini. Kapan berakhirnya. Pantat tepos ini sudah terlalu lama duduk. Lagi pula sejak tadi aku gak tahan nahan kencing.”
“Nenek Sinto, kencing saja di situ, apa sulitnya.” Sahut Naga Kuning yang disambut tawa keras orang-orang.
“Bocah Syetan! Berani kau bicara ngasal sekali lagi aku robek mulutmu!”
“Aku kan Cuma memberi saran.” Naga Kuning pencongkan mulutnya. “Dari pada ditahan-tahan, takutnya benda yang lain ikut terbawa keluar.”
“Anak Setan! Mulutmu memang tidak bisa berhenti sebelum kusumpal dengan tanah!” Sinto Gendeng lempar sekepalan tanah ke arah Naga Kuning. Laksana anak panah, tanah itu melesat dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sambil tertawa-tawa Naga Kuning melompat ke arah Setan Ngompol. Akibatnya kakek tukang ngompol ini memaki-maki tiada henti.
“Sudah-sudah. Kalian ini kayak anak kecil saja.” Dewa Tuak yang sejak tadi diam menengahi. “Orang Tua, tunggu apa lagi? Segera tuntaskan!”
Kakek segala tahu terbatuk-batuk. Menghoyang kaleng rombengnya terlebih dahulu, lalu meminta Wiro dan Ratu duyung untuk mengulurkan tangan masing-masing. Dengan tusuk konde kakek ini menggores luka ke telapak tangan Wiro dan Ratu Duyung.
Retttt! Retttt! Retttt! Retttt!!!
Empat kali berturut-turut. Darah merah segar mengucur dari telapak masing-masing.
“Satukan telapak tangan kalian.”
Wiro Sableng dan Ratu Duyung ikuti perintah Kakek Segala Tahu. Tampak bibir si orang tua komat-kamit, membaca mantra. Kedua talapak tangan di taruh di kepala Wiro dan Ratu Duyung. Asap putih mengepul dari keduanya. Wiro dan Ratu Duyung merasakan ada hawa panas menjalar ke sekujur tubuhnya.
“Takdir telah dituliskan. Penguasa memberi petunjuk. Hanya cinta suci dua insan yang mampu menjadi penawar.” Kakek Segala Tahu meniup perlahan saja. Hawa panas yang sebelumnya menjalar di sekujur tubuh berubah menjadi hawa sejuk. Kakek Segala Tahu melepas pegangan tangannya. Semua orang menunggu dengan dada berdebar. Sampai seperempat peminuman teh tidak terjadi apa-apa.
“Kenapa kalian diam? Ayok ceritakan padaku, apa yang terjadi?”
“Kek, tidak terjadi apapun. Kabut masih tetap seperti sebelumnya.”
Kakek Segala Tahu menggeleng berulang-ulang. “Tidak mungkin. Harusnya kabut itu hilang saat upacara ini selesai di jalankan. Atau petunjuk Si Raja Penidur salah? Atau penafsiranku yang kurang tepat?”
“Kek, mungkin bukan hanya penyatuan darah saja.”
“Apa maksudmu Bocah Gebleg? Jangan berani bicara kotor!” Setan Ngompol langsung mendamprat Naga Kuning yang tadi bicara. Semua orang kini melihat ke arah Naga Kuning. Sambil senyum-senyum anak ini berkata, “Namanya orang sudah nikah, sudah suci, sudah mendapat ridho dari Gusti Allah, masakan upacara penghapusannya hanya sebatas penyatuan darah. Bukannya lebih asyik kalau ada penyatuan yang lain?”
“Emang Bocah Geblek!”
“Kenapa gak disebutin apa itu yang lain, Naga Kuning?” Dewa Ketawa tertawa diikuti beberapa orang.
“Mungkin senjata andalan masing-masing, hahahaha....”
“Bocah Edan!” yang memaki Wiro Sableng. Ratu Duyung, Anggini dan Pandansuri sampai bersemu merah. Sementara Lestari melihat kejurusan lain, pura-pura tidak mendengar.
Walaupun itu adalah sebuah ide yang sangat konyol dan asal-asalan, tapi terlihat masuk akal. Akhirnya Kakek Segala Tahu, Tua Gila, Sinto Gendeng dan Dewa Tuak menyetujui usul Naga Kuning. Penyatuan yang dimaksudkan pasti bukan hanya sekedar darah. Tapi lebih dari itu, penyatuan badan layaknya pengantin baru pada umumnya.
Tidak jauh dari telaga itu, telah di bangun sebuah rumah panggung beberapa hari sebelumnya. Wiro bersama Ratu Duyung menempati rumah itu. Sementara Panji Kenanga setelah bercakap-cakap cukup lama dengan Wiro Sableng mohon pamit. Kakek Segala Tahu berpesan pada Lestari kalau apa yang terjadi di tempat ini semuanya harus diceritakan pada gurunya. Si Pemusnah Iblis. Dan andai nantinya apa yang tidak diinginkan terjadi, Kakek Segala Tahu berharap, orang sakti itu bisa hadir dalam pertemuan para tokoh besar.
Demikian pula dengan Anggini dan Pandansuri, dua dara cantik ini memilih kembali ke kediaman gurunya. Berbeda hal dengan Naga Kuning dan Genderuwo Patah Hati. Dua pasang kekasih yang dimabuk asmara ini memilih menyelinap ke sebuah semak belukar, meninggalkan Setan Ngompol, hingga akhirnya Kakek Bau Pesing ini bergabung bersama Kakek Segala Tahu, Sinto Gendeng dan Tua Gila. Sisa lainnya memilih menunggu kabar di pemukiman penduduk.
Dalam sebuah kamar Ratu Duyung menunggu kedatangan Wiro yang kini telah resmi menjadi suaminya. Cukup lama hingga ia merasa bosan. Saat hatinya tergerak untuk menjenguk sang suami, pintu kamar terbuka. Wiro Sableng telah berada di depannya.
“Wiro..... Hmmm.... Kangmas.”
Mendengar Ratu Duyung memanggil kangmas padanya, Wiro merasa geli.
“Kau boleh panggil namaku saja, Intan. Tidak perlu ada yang berubah.”
Ratu Duyung menggeleng. “Sudah seharusnya seorang istri mengabdi pada suaminya. Tentang apapun, termasuk merendahkan diri meskipun usia si wanita lebih tua.”
Wiro Sableng tersenyum. Ditatapnya dalam-dalam wajah cantik sang Ratu.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Aku gak yakin kamu sepolos itu, Kangmas.”
Kalau sebelumnya ia hanya tersenyum, kini pemuda ini tertawa.
“Apanya yang lucu?” Ratu Duyung cemberut.
“Panggilanmu. Aku merasa aneh. Udah, kamu panggil namaku saja. Jangan kangmas.”
Ratu Duyung tersenyum. “Baiklah kalau itu memang maumu.”
“Wiro.”
“Hmmm....”
“Kau masih ingat kejadian di Puri Pelebur Kutuk?”
“Aku tidak akan melupakan itu, Intan. Kenapa?”
“Kau kehilangan seluruh kekuatanmu. Sampai hari ini aku masih merasa bersalah.”
“Semua sudah berlalu, Intan.”
“Bukan itu, Wiro.”
Wiro Sableng mengerutkan keningnya. Menunggu kelanjutan ucapan Ratu Duyung.
“Meskipun yang bersangkutan telah memaafkan, tapi, yang namanya rasa bersalah tetap saja tidak bisa hilang. Karenanya, mungkin sekarang ini saatnya aku membalas semua kebaikanmu, sekaligus menebus kesalahanku.”
Wiro Sableng makin tidak mengerti dengan ucapan Ratu Duyung. Tapi tidak lama. Karena berikutnya ia melihat Ratu Duyung mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya. Wiro Sableng sampai membeliak melihat apa yang dipegang Sang Ratu.
“Kitab Wasiat Malaikat?!” terasa sekali getar pada suaranya. “Kitab yang hampir dilupakan keberadaannya oleh semua orang ternyata kau berhasil mendapatnya?”
Ratu Duyung mengangguk. “Kitab ini sebenarnya sudah lama ada padaku. Ingat kejadian di telaga ini ketika semua orang berebut Pedang Naga Suci 212, aku mendapatkan kitab ini di sana.”
Wiro menggaruk kepalanya. “Kehadiran kitab ini sempat menghebohkan dunia persilatan seperti halnya Kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi, karena sejauh itu ujudnya atau keberadaannya tidak ada kejelasan, akhirnya semua orang, termasuk aku sendiri mengira kalau kitab ini sebenarnya tidak ada. Hanya dibuat-buat saja oleh orang-orang Lembah Akhirat.”
“Sesuai apa yang aku katakan Wiro. Aku akan membalas segala kebaikanmu dan sekaligus menebus kesalahan waktu itu. Akibat aku kau hampir celaka. Maut mengikuti ke mana kau pergi. Ambilah kitab ini, Wiro.”
Kedua mata Wiro terbelalak. “Untukku?”
Ratu Duyung mengangguk.
“Tidak Ratu. Aku tidak berani menerimanya. Ini hakmu. Kamu yang mendapatkan. Soal kejadian masa lalu, udahlah tidak usah dipikirkan. Semua yang terjadi sudah bagian dari takdir Tuhan. Lagian soal balas budi, hutang piutang, kamu sudah terlalu banyak menanam budi untukku.”
“Ambilah Wiro. Aku tidak mungkin membawa ke mana-mana kitab ini di pinggang. Memang sejak kitab sakti ini ada padaku, tenaga dalam rasanya menjadi berlipat-lipat. Kitab ini pula sudah beberapa kali menyelamatkan nyawaku. Tapi, membawa kitab ini ke mana-mana rasanya terlalu berbahaya.”
“Kenapa kamu tidak mempelajari isinya, lalu menyimpan kitab ini di tempat yang orang lain tak pernah terpikirkan.”
“Lebih dari seratus kali aku membuka kitab ini, Wiro, tapi tak ada segores tinta pun di dalamnya. Mungkin aku gak berjodoh dengan kitab ini.”
“Atau memang kitab ini hanya berisi lembaran kosong melompong!”
Ratu Duyung menggeleng. “Mana ada lembaran kosong memiliki kekuatan yang dahsyat. Karena itu, ambilah, Wiro. Ini pemberian dari istrimu. Tidak ada alasan bagimu untuk menolak. Kecuali kalau kau terpaksa menikahiku.”
Mendengar kata terakhir Wiro Sableng menjadi tidak enak. Mau tidak mau akhirnya kitab di tangan Ratu Duyung diambilnya. Saat jemarinya menyentuh kitab itu, selarik cahaya putih kebiruan muncul. Ratu Duyung sampai membulat kedua matanya. Selama ratusan hari ia memegang benda itu, belum pernah sekalipun ada cahaya yang keluar dan masuk ke dalam tangan.
Wiro Sableng merasakan kesejukan pada tubuhnya. Dan pada saat yang sama tenaga dalamnya seakan meningkat tajam.
“Gila! Kitab ini mungkin lebih sakti dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Belum dipelajari saja isinya aku sudah merasakan kekuatan yang sangat luar biasa.” Wiro membatin. Menatap dalam-dalam pada istrinya.
“Coba, buka.”
Wiro ikuti saran Ratu Duyung. Dengan tangan gemetar ia buka lembaran pertama kitab itu. Dan untuk kedua kalinya, Ratu Duyung membeliak. Benar-benar sulit dipahami. Berulangkali ia membuka lembaran ini, tidak ada setitik tinta pun di atasnya. Sekarang, kitab itu berisi tulisan.
“Kitab Wasiat Malaikat. Hanya yang Ditakdirkan yang Bisa Melihat.” Suara Ratu Duyung bergetar saat membaca tulisan pertama pada kitab itu.
“Kau berjodoh dengan kitab ini, Wiro. Kau lah orang yang ditakdirkan untuk mempelajari isi dari kitab ini.”
Wiro Sableng membuka halaman berikutnya. Ternyata hanya ada sebuah gambar sepasang tangan raksasa yang sedang menyentuh tanah. Wiro Sableng tidak mengerti arti dari gambar ini. Kalau dalam Kitab Putih Wasiat Dewa di setiap halaman ada keterangan jurus dan pukulan apa yang terkandung di dalamnya, berbeda sekali dengan Kitab Wasiat Malaikat. Hanya ada gambar tanpa ada penjelasan. Mungkin di halaman berikutnya, pikir Wiro.
Halaman selanjutnya di buka. Sama. Hanya ada sebuah gambar. Kalau tadi hanya ada gambar tangan raksasa, sekarang hanya ada gambar sayap. Penasaran sekali Wiro Sableng buka halaman berikutnya. Gambar sepasang kaki yang terpendam sebatas betis.
“Kitab aneh! Tidak mungkin pembuatnya lupa memberi keterangan atau nama pada gambar-gambar ini.”
“Mungkin keterangannya ada di halaman terakhir,” ujar Ratu Duyung. Wiro segera melompat, membuka halaman terakhir. Halaman kosong melompong. Membuka lagi. Sama. Kosong. Penasaran terus membuka halaman demi halaman, hingga sampai ke ujung depan gambar yang sebelumnya ada menghilang.
“Gila! Apa yang terjadi dengan kitab aneh ini? Kenapa gambar yang tadi ikutan hilang?”
“Wiro, sepertinya kitab ini memiliki aturan khusus.”
“Maksudmu?”
“Selain hanya bisa dibaca oleh orang yang telah ditakdirkan, kitab ini juga tidak bisa dibuka dari sebelah belakang. Atau melompati halaman. Coba kau ulang dari awal.”
Wiro Sableng menggeleng tak mengerti. Benar-benar gak masuk akal. “Jika memang begitu aturannya, mungkin ini adalah satu-satunya kitab tertinggi yang pernah diciptakan.”
Wiro Sableng menutup kitab itu, lalu mengulang, membuka halaman demi halaman. Dan benar apa yang diduga Ratu Duyung. Kitab itu memang memiliki aturan khusus, yang harus dibuka secara berurutan.
Wiro telah sampai ke halaman bergambar kaki yang terbenam sebatas betis. Lalu halaman berikutnya bergambar ribuan manusia bersayap. Ingin cepat sampai ke ujung ia membuka halaman demi halaman dengan cepat.
Gambar orang yang sedang memukul dengan kedua tangan. Lalu berikutnya gambar terompet. Wiro makin tidak mengerti. Buka lagi halaman berikutnya, ada gambar sosok bayang-bayang. Lalu ada lagi gambar manusia raksasa. Sepasang Naga Putih dan yang terakhir gambar Batu Kristal.
Sebelum membuka halaman berikutnya Wiro Sableng menatap terlebih dahulu ke arah Ratu Duyung. Dan di halaman ini ada sebuah tulisan.
“Sepuluh inti kesaktian Kitab Wasiat Malaikat telah tersimpan sepenuhnya saat halaman terakhir tertutup. Kesaktian kitab ini baru bisa digunakan saat yang ditakdirkan menjalani beberapa aturan penting. Pertama: Terjaga dari kesucian hubungan badan suami istri. Kedua : Puasa selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut. Yang ketiga : Selama menjalankan puasa, yang ditakdirkan diharamkan untuk membunuh, meskipun hanya seekor nyamuk. Bila peraturan pertama dilanggar, yang ditakdirkan harus menunggu selama empat puluh hari selanjutnya.”
“Aturan gila!” membuka halaman terakhir. Ternyata di sana hanya berisi nama-nama dari inti kesaktian Kitab Wasiat Malaikat. Di sana juga di jelaskan kalau ilmu kesaktian ini hanya cukup menyebut namanya, maka tanpa membaca mantra apapun, atau melakukan gerakan apapun, ilmu dahsyat akan keluar dengan sendirinya.
“Bagaimana ini?” Wiro menutup halaman terakhir. Ratu Duyung tersenyum malu-malu.
“Apanya yang bagaimana?”
Wiro menggaruk kepala. Kebingungan juga ia. “Kalau kita lakukan sekarang, itu artinya, aku harus menunggu selama empat puluh hari agar bisa menjalankan ritual yang disebutkan. Tapi kalau kita tidak lakukan, guru dan semua orang pasti akan kecewa.”
Ratu Duyung diam saja. Melangkah duduk di ranjang kayu yang dilapisi jerami kering.
“Intan, aku menunggu pendapatmu.”
“Aku ikut apa keputusanmu saja, Wiro.”
Wiro kembali menggaruk kepalanya. “Kalau begitu kita lakukan sekarang aja. Soal kesaktian kitab itu, bisa kita jalankan lain waktu. Keselamatan dunia persilatan jauh di atas segalanya.”
Ratu Duyung mengangguk. Wiro melompat ke arah jendela.
Druggg!!!
Jendela kamar ditutup keras. Di dalam sana Ratu Duyung terpekik.
“Wiro, sabar dulu, ah.”
“Biar cepat selesai.”
“Aku tidak suka terburu-buru.”
“Kalau gitu kita lakukan sampai pagi.” Suara pakaian yang dilempar ke sembarang tempat terdengar.
“Kuat?”
“Dua hari dua malam juga rasanya aku kuat, hahaha....”
“Dasar gila!” Ratu Duyung terpekik. Wiro Sableng tertawa, diikuti jerit kegelian Sang Ratu.
Kenyataannya, panggang jauh dari perapian. Apa yang disangka semua orang tidak pernah terjadi. Kabut tipis tidak kunjung hilang. Bahkan, semakin bertambah bulan semakin tebal. Semua orang termasuk Kakek Segala Tahu hanya bisa pasrah. Wiro sendiri kini sibuk dengan rutinitasnya menjalani ritual yang ada dalam Kitab Wasiat Malaikat. Demi kelancaran ia sampai menyepi diri di gubuk bekas gurunya, di sebelah selatan yang ada di puncak Gunung Gede. Setelah sepuluh inti kekuatan yang terkandung dalam kitab itu dikuasai, ia tak sabar untuk mengujinya. Yang dicoba pukulan kedua tangan sekaligus.
Murka Sang Malaikat!
Wiro menyebut nama pukulan itu. Dan memang benar, secara ajaib pukulan sakti itu mampu menghancurkan batu karang sebesar rumah. Namun, ada sedikit kekecewaan di hati pemuda ini. Sebelumnya ia mengira, kesaktian ilmu Kitab Wasiat Malaikat berada dua atau tiga tingkat dari Kitab Putih Wasiat Dewa. Tapi nyatanya, sama saja. Bahkan jika dibandingkan Sepasang Pedang Dewa, rasanya Kitab Wasiat Malaikat kalah jauh dibawahnya.
Yang membuat Wiro kecewa adalah cara mendapatkan ilmu itu. Teramat sulit, bahkan boleh dikatakan tersulit dari ilmu lain yang pernah dipelajari. Bayangkan saja, selama menjalankan puasa dia samasekali tak membunub nyamuk yang berapa kali menghisap darahnya. Ia juga tidak bisa menggencet semut dengan ibu jarinya kala mahluk nakal itu menggigit perabotannya. Yang paling menjengkelkan dia harus meneliti di sebelah mana semut itu sembunyi. Padahal, andai ia sedang tidak menjalani ritual, mudah saja baginya. Tinggal meremas dengan dua jari, selesai.
Bag 6
Perempuan Bercadar merah berlari tanpa arah. Sepanjang perjalanan ia berulangkali mengusap air mata yang terus bercucuran tiada henti. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat jiwanya berguncang. Begini kah akhinya? Sejak perjodohan itu terikat sebenarnya ia sudah tahu akan ke mana akhir dari kisah cintanya dengan pemuda itu, akan tetapi, sejauh itu, ia tak menyangka akan sesakit ini rasanya. Ketika semua orang merayakan kebahagiaan mengenai bersatunya dua tokoh besar dunia persilatan, dirinya justru seakan tenggelam di dasar neraka. Demi Tuhan ... andai kematian adalah akhir dari segalanya dan bunuh diri bukan bagian dari dosa, ingin rasanya saat ini ia pecahkan saja kepalanya.
Sambil terus berlari dengan kecepatan tinggi, hingga sosoknya yang terlihat hanya bayang-bayang, Perempuan ini kembali mengusap air matanya. Kain merah sebagai penutup telah basah sempurna.
“Andai dulu ketika dia membawa aku menemui gurunya di Puncak Gunung Gede langsung kuterima saja, mungkin tidak begini jadinya.”
Di sebuah pohon besar perempuan ini berhenti. Ingatannya kembali ke beberapa tahun lalu saat pertama kali dirinya bertemu Pendekar 212 dan tidak sampai lima hari perkenalan ia langsung di ajak ke kediaman sang guru. Ia melihat cinta dan kebahagiaan pada diri si pemuda, akan tetapi dirinya sendiri merasa ini terlalu cepat. Belum genap satu tahun ia turun gunung, juga belum banyak pengalaman yang didapatkan. Seperti gadis-gadis lain yang ditemuinya sepanjang petualangan, dirinya pun masih ingin bebas. Tidak ingin terikat dengan apapun. Termasuk tali perkawinan. Karenanya, begitu Nenek Sakti dar Gunung Gede itu bertanya, dengan mantap ia menjawab tanpa ada keraguan sedikitpun.
“Nenek Sinto, harap maafmu, bukannya saya menolak niat baik muridmu, tapi terpikir untuk ke sana pun belum ada. Lagi pula, sesuai keteranganmu barusan, masih terlalu banyak tugas yang dipikul muridmu. Saya yang bodoh ini tidak mau menjadi penghalang atau tambahan beban buat dia.”
“Bidadari, bukankah kita sudah sepakat ....”
“Anak Setan, kau diam lah!” bentak Sinto Gendeng. Gubuk reot di mana dia berada sedikit bergetar. Wiro Sableng langsung menundukan kepala. Bidadari Angin Timur sendiri hanya bisa menggigit bibir.
“Jadi kau menolak aku nikahkan dengan muridku?”
Sebelum menjawab gadis cantik berambut pirang ini melirik terlebih dahulu ke Wiro Sableng yang duduk di sebelahnya.
“Seperti apa yang saya katakan barusan, Nek. Ini terlalu cepat buat saya. Dan lagi saya tidak mau menjadi beban buat muridmu dalam menjalankan tugas besar yang diembannya.”
“Kamu katakan saja, iya atau tidak!”
Bidadari Angin Timur menarik napas besar, lalu mengangguk perlahan. Wiro Sableng yang melihat itu seakan detak jantungnya terhenti. Bukan hanya jauh dari harap, apa yang terjadi kini seperti kutukan terencana. Dirinya seolah terpeleset jauh ke dasar jurang setelah sebelumnya dibawa terbang ke taman langit yang indah.
Tawa Nenek Sakti dari Gunung Gede memecah ketegangan.
“Anak Setan! Kau sudah dengar sendiri kan? Sudah lihat sendiri jawaban darinya? Hihihi .... Udah, nikmati saja masa mudamu. Dulu, waktu aku seusiamu, aku disibukkan dengan menimba ilmu dan pengalaman di mana kaki berpijak. Kamu, bulu baru tumbuh beberapa helai saja udah minta kawin, hihihi .... dasar anak jaman sekarang. Udah, kalian pergi, aku masih banyak urusan.” Sinto Gendeng berdiri.
“Nenek, Sinto, saya mohon diri.” Bidadari Angin Timur ikut berdiri. Menyalami orang tua itu.
“Ya ya ya, kau pergilah. Dunia persilatan masih membutuhkan orang-orang muda seperti kalian. Masa depan masih panjang. Jangan kawin saja yang dipikirkan. Tapi jangan juga tidak sampai mikirin kawin. Kecuali kalau tuanya mau seperti aku, hihihi .....”
Bidadari Angin Timur tersenyum geli. Dua lesung pipit terlihat di pipinya. Sebelum berkelebat pergi ia membungkuk terlebih dahulu pada si orang tua. Wiro Sableng yang melihat itu hendak mengejar, tapi gerak tubuhnya tertahan oleh tongkat butut si nenek. Bagaimanapun ia mencoba, bahkan sampai mengerahkan seluruh tenaga dalamnya tetap saja, sosoknya tak mampu bergerak sedikitpun.
“Eyang, bukankah pembicaraan kita sudah selesai?”
“Anak Setan, dengar! Sebelum kau pergi, ada ujar-ujar mengatakan, ‘Apa yang terlihat indah di matamu, belum tentu itu baik untuk dirimu.’ Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan. Sudah banyak malapetaka terjadi di dunia ini disebabkan karena mereka lalai dalam mengambil pilihan.”
“Menurut Eyang, apakah Bidadari Angin Timur bukan pilihan terbaik buat saya?”
“Bodoh!” Sinto Gendeng menjitak kepala muridnya, membuat Wiro Sableng meringis kesakitan. “Aku sedang tidak membahas si Pirang itu! Kau juga tidak perlu memikirkannya sekarang. Kau pergilah! Aku sudah muak melihat tampangmu!”
“Baik, Eyang, Murid pergi sekarang.” Wiro Sableng ciumi kedua tangan gurunya. Sinto Gendeng mengangguk perlahan. Memperhatikan bayangan putih sang murid yang semakin lama semakin menghilang di kejauhan.
“Orang Tua ini memang sudah seharusnya kesepian.” Entah sadar atau tidak, ada bulir air mulai mengalir di kedua pipi kempot si nenek. “Aku bisa dengan mudah menepis tali perjodohan yang dibuat Dewa Tuak, atau Si Pemusnah Iblis, tapi tidak mungkin kalau yang meminta muridku sendiri. Untung si Pirang punya pemikiran yang sama denganku, hihihi ... Anak Setan, masih banyak yang harus kau kerjakan. Dan tubuh reot ini sudah saatnya dibaringkan.” Sinto Gendeng melangkah ke ranjang roet terbuat dari bambu.
“Bidadari Angin Timur!” teriak Wiro, mempergunakan hampir separuh tenaga dalamnya. Tanah yang dipijak bergetar, bebatuan sebesar kepala terjatuh menggelinding. “Aku tahu kau masih ada di sekitar sini. Keluarlah. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan.” Wiro menunggu. Tapi sampai kakinya terasa pegal berdiri, orang yang ditunggu belum juga keluar.
“Bidadari Angin Timur! Apa kau sepengecut itu sampai harus bersembunyi? Keluarlah! Aku ingin bicara! Setelah itu, terserah!”
Dari arah samping kiri terdengar suara berdesir. Saat Wiro Sableng berpaling, sosok berbaju biru tipis telah berdiri menatap dirinya dengan senyum terkembang. Kalau sebelumnya ia menggebu-gebu lantaran hati dan perasaannya dibuat jengkel dengan sikap Bidadari Angin Timur, kini, saat melihat betapa cantiknya wajah itu, amarah yang beberapa saat menguasai hati sedikit demi sedikit mulai mereda.
“Ada apa Anak Setan?”
“Heh, kau jangan ikut-ikutan guruku.”
Bidadari Angin Timur tertawa. Di mata Wiro, suara itu terasa indah, renyah seperti butiran murtiara yang berjatuhan.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Bidadari Angin Timur kemudian setelah puas tertawa.
“Kenapa kau menyalahi kesepakatan awal? Bukankah sebelumnya kita sudah saling sepakat kalau tujuan aku membawamu ke Gunung Gede ini untuk meminta restu?”
“Memang.”
“Lalu?”
“Ada kalanya apa yang sudah kita sepakati harus dikorbankan demi kebaikan bersama.”
“Aku tidak mengerti.”
“Pada saatnya kau akan mengerti.”
Wiro Sableng menekan kuat-kuat gigi gerahamnya. Kekesalan mulai kembali merasuki hati pemuda ini. Ia merasa dirinya benar-benar dipermainkan. Kalau memang tidak ada niatan untuk menerima, mengapa dia mau diajak menemui gurunya? Bukankah lebih baik dia menolak saja sejak awal?
“Kau tidak suka dengan keputusan ini?”
“Aku suka atau tidak, apa pedulimu? Lagi pula tidak akan mengubah keputusan yang sudah ditentukan kan?”
Bidadari Angin Timur kembali tertawa. “Anak Setan Sudah lebih pintar rupanya. Baiklah, kalau begitu, saatnya aku untuk pergi.” Bidadari Angin Timur siap berkelebat, tapi lengan tangannya tergenggam erat.
“Ada apa lagi?”
“Apakah kau tidak memiliki perasaan apapun terhadapku?”
Bidadari Angin Timur tersenyum. “Kau percaya apa yang terjadi di dunia ini atas kehendak Gusti Allah?”
Wiro Sableng mengangguk cepat.
“Kalau begitu, percaya saja pada-Nya. Jika kita memang ditakdirkan untuk bersatu, apapun yang terjadi, kita akan kembali dipertemukan. Disatukan.”
“Kata-katamu samasekali tidak menjawab pertanyaanku.”
“Belum saatnya kau tahu Anak Setan!” lagi-lagi Bidadari Angin Timur tertawa. Dalam hati Wiro Sableng memaki panjang pendek.
“Sialan gadis ini. Udah tiga kali dia menyebut aku Anak Setan! Sialan betul!” Wiro Sableng menggaruk kepalanya habis-habisan saking kesalnya.
“Akhirnya yang aku tunggu sejak tadi muncul juga.”
Murid Sinto Gendeng menatap heran. “Heh, apa yang kau tunggu Bidadari Angin Timur?”
“Garukan kepalamu, hahaha ....” Sekali berkelebat, belum juga hilang gema tawanya, sosoknya sudah lenyap, seakan tenggelam ke dalam perut bumi.
“Baru kali ini aku merasa mati kutu menghadapi perempuan. Sial dangkalan!”
***
Wanita bercadar tersadar dari lamunan panjangnya, kala suara orang mengejutkan dirinya.
“Benar ini manusianya Suto Kemikir?” tanya lelaki bertubuh besar di atas kuda. Kedua matanya melotot tajam. Wajahnya yang penuh dengan brewok ada bekas luka di pipinya membentuk codet memanjang. Di pinggangnya membekal sebuah kendi sebesar kepala bayi.
Orang yang dipanggil Suto Kemikir mengangguk. “Melihat dari ciri-cirinya, betina ini sama persis seperti keterangan dari pemilik rumah makan. Tidak salah lagi, sudah pasti dialah orangnya, yang telah membunuh adikku.”
“Kalian siapa?” bentak Perempuan Bercadar yang saat itu telah siap siaga. Tanpa mendapat jawaban dari pertanyaannya pun mendengar obrolan mereka sebenarnya ia sudah menduga, kalau orang-orang ini datang untuk membalas dendam atas kematian rombongan prampok beberapa hari lalu di rumah makan.
Di depan sana ada sepuluh orang berkuda. Semuanya bertampang menyeramkan. Tapi bagi dirinya yang memiliki ilmu silat yang tidak sembarang orang bisa mengalahkan, tak ada rasa takut sedikitpun. Akan tetapi, sebagai manusia, perasaan was-was tetap ada walau hanya sesaat. Terlebih saat menyadari, selain dua orang yang harus di waspadai juga ada salah satu yang sepertinya menjadi paling berbahaya dari yang lain. Seorang kakek kurus yang enak-enakan duduk di atas kepala kuda. Kalau bukan karena ilmu meringankan tubuhnya yang sangat tinggi, mustahil ia mampu melakukan itu. Seperti lelaki brewok bertubuh besar, kakek ini pun membekal sebuah kendi berukuran sama di pinggangnya. Pasti itu bukan air untuk minum, pikir Perempuan Bercadar. “Mungkin senjata andalan. Aku harus hati-hati dengan manusia satu ini.”
“Suto Kemikir! Kenapa kau diam saja ada orang bertanya? Sebelum minggat ke neraka, ada baiknya kau jelaskan siapa kami. Agar rohnya tidak gentayangan, hahahaha .....” kakek tua ini tertawa keras, membuat bumi yang dipijak bergetar. Bagi seorang pendekar yang memiliki segudang pengalaman seperti dirinya, itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui seberapa tinggi tenaga dalam yang dimiliki lawannya.
“Betina Bercadar!” bentak Suto Kemikir. “Aku tidak akan bicara banyak-banyak dengan orang yang akan mampus! Beberapa hari lalu kau telah membunuh adikku, Jarok Kemitir di sebuah rumah makan. Kau tidak bisa mengelak lagi. Akui dan serahkan nyawamu!”
Wanita Bercadar tersenyum. “Oh, jadi kalian datang untuk menuntut balas?”
“Aku datang untuk mencincang tubuhmu! Mengorek jantungmu, memenggal lehermu seperti yang telah kau lakukan terhadap adikku!”
“Dia pantas mati! Dosa yang telah diperbuatnya sudah kelewat batas. Kalau kau datang untuk menyusul, aku dengan senang hati membantumu, hahaha....”
“Betina keparat!” Pada lima anak buahnya ia memberi isyarat untuk menerjang. Enam orang melompat dari atas kuda, mengeroyok manusia bercadar. Dua lainnya siap mengikuti, namun, lelaki bercodet memberi tanda agar keduanya tetap di tempat.
“Kita lihat kemampuan perempuan itu dulu.”
Wanita Bercadar yang sejak tadi telah siap waspada tidak tinggal diam. Begitu serangan datang, ia tidak ragu-ragu melepas pedang dari sarungnya. Cahaya merah redup terlihat memancar dari badan pedang. Membabat putus salah satu pedang milik anak buah Suto Kemikir. Lelaki ini membeliak tak percaya. Saat itulah, pukulan keras menghantam rusuknya.
Krakk! Jerit kesakitan terdengar mengerikan. Sosok manusia ini terbanting dengan tulang rusuk patah. Berhasil mendaratkan satu pukulan mematikan hampir saja ia kecolongan. Dua sabetan Pedang berebut menyambar punggungnya. Beruntung ia memiliki kecepatan gerak yang sangat luar biasa. Terlambat sedikit saja, tentu salah satu dari mata pedang itu akan membabat putus tubuhnya.
Bukk!!!
Satu orang kembali terpental bersama jerit kesakitan. Lelaki ini terbanting menghantam pohon besar dan saat sossoknya jatuh ke tanah sudah tidak bernyawa. Dadanya sebelah kiri melesak. Suto Kemikir yang melihat itu berteriak marah. Didahului dengan bentakan garang ia merobah ilmu pedangnya. Sesaat kemudian gerakan ilmu pedang lelaki ini berubah total. Perempuan Bercadar pernah melihat keganasan ilmu pedang ini lewat pertarungan Jarok Kemitir dan Lestari. Karenanya, walau cukup mengagumi ia tidak begitu terkejut. Meskipun sedikit kerepotan karena harus menghadapi empat orang bersenjata lengkap sekaligus, ia masih mampu bersikap tenang. Semua itu berkat kecepatan geraknya.
“Aku mau tahu seberapa lama lagi kau mampu bertahan!” bentak Suto Kemikir.
“Banyak omong! Lihat pedang!” cahaya hijau berkiblat ganas.
Trang!!!
Dua pedang putus sekaligus. Belum hilang rasa kejutnya, sambaran berikutnya menghantam leher masing-masing. Darah mengucur deras dari dua orang anak buah Suto Kemikir. Suara seperti kambing disembelih terdengar mengerikan. Bersama terjatuhnya sosok tubuh yang hampir putus kepalanya, dua lainnya melompat mundur dari kalangan pertempuran. Enam penyerang sisa dua. Padahal, Suto Kemikir dan anak buahnya bukan termasuk orang rendahan. Mereka cukup disegani di wilayah selatan. Tapi, menghadapi perempuan bercadar ini sangat tidak berdaya.
“Pantas kau merengek-rengek meminta pertolongan aku dan Guru, Suto. Rupanya betina satu ini memang tidak mudah ditaklukkan.” Lelaki bercodet melompat. Wanita bercadar perhatikan sosoknya yang mendarat. Meski masih terdengar saat kaki itu bertemu dengan tanah, tapi terlihat jauh lebih ringan di banding Suto Kemikir. Lelaki ini tentu berada tiga atau empat tingkat di atas Suto.
“Begini cara menaklukan Betina, Suto.” Sekali berkelebat ia merampas pedang di tangan Suto Kemikir. Serangan ganas menggempur Wanita Bercadar. Ia sudah menyaksikan keganasan pedang di tangan wanita itu. Karenanya sebisa mungkin ia menghindari bentrokan. Akibatnya, dalam waktu singkat ia terdesak hebat. Lelaki ini memaki dalam hati. Ia mengira paling lama dalam waktu sepuluh jurus sudah mampu menaklukan si betina, ternyata yang terjadi sebaliknya. Belum sampai sepuluh jurus ia harus mati-matian bertahan dari keganasan serangan lawan.
Tidak mau dipermalukan begitu rupa, di hadapan guru dan juga anak buahnya, Lelaki ini hantam lawan dengan pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Wanita bercadar yang penasaran seberapa tinggi tenaga dalam lawan sambuti dengan pengerahan lebih dari separuhnya. Suara benturan beradunya pukulan terdengar nyaring sekali. Jerit kesakitan menggema di sepanjang hutan. Lelaki Bercodet terpental lima langkah ke belakang. Tangan kanannya bengkak. Tulang seakan remuk. Melihat lawannya hanya terjajar satu langkah dan tidak mengalami cidera sedikitpun, jelas sudah, kalau tenaga dalam dirinya berada di bawah si wanita.
“Betina ini tidak bisa diajak main-main! Kalau tidak segera dihabisi, sangat berbahaya.” Membatin lelaki bercodet. Pada gurunya ia hendak berkata, tapi tak jadi, karena lelaki tua itu lebih dulu memberi arahanan.
“Keluarkan Jurus Seribu Racun Dari Liang Kubur!” Orang tua ini melompat satu langkah di samping muridnya. Dua lainnya mengikuti, berdiri di samping kiri Lelaki Bercodet. Suto Kemikir sendiri terkejut bukan main mendengar perintah yang diberikan si orang tua. Jurus yang disebutkan itu adalah jurus andalan, dan sekaligus jurus pemangkas yang sangat mematikan. Hanya kepada lawan yang sangat tangguh ilmu itu dikeluarkan. Menghadapi wanita itu, si orang tua sampai harus turun tangan dan mengeluarkan jurus simpanan? Kalau bukan lawan yang sulit ditaklukan, mustahil ia memerintahkan anak buahnya mengeluarkan jurus itu.
Suto Kemikir dan satu anak buahnya yang tersisa melompat mundur, sejauh tiga tombak. Melihat itu Wanita Bercadar menjadi heran, dan bertanya-tanya.
“Kau boleh punya ilmu setinggi langit Betina Sundal! Tapi tidak ada satu manusia pun yang akan selamat dari Jurus Seribu Racun Dari Liang Kubur!”
“Begitu?” sahut Wanita Bercadar dengan seringai mengejek. Di simpannya kembali pedang yang sejak tadi tergenggam. Tenaga dalam di alirkan ke dua tangannya yang terkepal. Sinar biru gelap memancar dari keduanya. Melihat sinar angker kakek ini segera memberi kode kepada muridnya untuk membuka guci yang kini telah berada di genggaman. Begitu terbuka, asap hitam pekat keluar, membumbung tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, guru dan murid ini mendorong kedua tangan masing-masing. Laksana badai yang sangat dahsyat, kepulan asap hitam pekat yang keluar dari dalam guci yang mengambang di udara terhempas, menyongsong dengan ganas ke arah wanita bercadar. Wanita ini pun telah melepas pukulan saktinya.
Dua kekuatan sakti beradu di udara. Ledakan mengerikan mengguncang tempat sekitar. Daun-daun berguguran. Kuda meringkik keras, beberapa berlarian. Kakek tua terhuyung beberapa langkah ke belakang. Di sampingnya muridnya terbanting. Muntah darah segar. Jelas, lelaki itu mengalami luka dalam yang cukup parah. Beruntung dua anak buahnya cepat melompat ke samping. Kalau tidak, tentu cahaya biru angker itu akan merobek tubuh masing-masing.
Di depan sana Perempuan Bercadar terbanting, berguling-guling. Darah segar menyembur dari mulutnya. Cepat ia mengambil pil obat dan menelannya.
“Seribu obat takkan mampu menghilangkan racun yang telah kau hirup. Dalam waktu singkat, kau akan merasakan penyiksaan yang teramat sangat. Hahaha ... tapi aku tidak akan setega itu. Karenanya, segera kau kukirim ke neraka.”
Napas wanita ini ini sedikit tersengal. Pandang matanya mulai kabur. Dadanya terasa sesak. Beradunya tenaga dalam seberapapun kuatnya, tidak seperti ini rasa sakitnya. Benar kata orang tua itu, dalam waktu singkat ia sudah merasakan tubuhnya seakan terpanggang oleh kobaran api. Di depan sana orang tua itu sudah mengeluarkan pukulan sakti. Dia yang tidak mau mati konyol tanpa mampu memberikan perlawanan apapun segera, menyibak pakaian di bagian perutnya. Kulit putih mulus seketika mengejutkan si orang tua. Ia dan semua orang tak menyangka, perempuan bercadar yang dikiranya memiliki wajah buruk rupa nyatanya punya kulit semulus itu.
“Kau pikir dengan membuka pakaian aku akan tergoda?” Baru saja kalimat itu keluar dari mulut orang tua, selarik sinar putih menggidikan melesat ke arahnya. Orang tua ini terbelalak. Ia memang berhasil membalas serangan lawan, namun sedikit terlambat. Pukulan lawan sudah berada dekat dengannya. Di samping itu, pukulan andalan Nyi Bodong teramat sangat ganas. Dalam kejapan mata, sosok orang tua tercerai berai, bersama ledakan dahsyat yang diakibatkan dari keganasan ilmu pukulan wanita bercadar.
Manusia Bercodet menjerit keras. Meraung-raung ia memanggil nama gurunya. Seakan lupa dengan luka dalamnya, lelaki ini melompat berdiri. Menghantam dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Ia tak peduli, meskipun harus tewas karena memaksakan diri mengeluarkan tenaga dalam. Yang terpikir saat ini adalah membunuh perempuan bercadar itu dengan segera.
Wanita bercadar sendiri sudah tidak berdaya. Kalau sebelumnya ia masih mampu memberikan perlawanan, kini, pasrah adalah jalan satu-satunya. Tubuhnya sudah tak mampu lagi digerakan. Bahkan, pandang matanya sudah mulai gelap. Hanya telinganya saja yang masih bisa mendengar. Ketika suara angin pukulan datang menggebu, ia hanya bisa menunggu. Ajal datang menjemput.
“Bukankah manusia diciptakan dari cinta dan kasih sayang para dewa? Wahai ... Sehitam apakah hati kalian hingga kasih sudah tak lagi tersisa? Lawan sudah tidak berdaya, tapi kalian menyerang membabi buta!”
Sampai kalimat itu selesai terucap, ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
Ketika ia membuka mata, yang dilihatnya adalah sebuah dinding goa. Ia mencoba bangun untuk duduk. Terbatuk-batuk. Tidak ada darah yang keluar. Perempuan ini mencoba menarik napas dalam-dalam. Ringan. Ternyata sesak sudah hilang. Ia juga sudah tidak merasakan sakit lagi.
“Perempuan itu. Aku ingat betul, ada seorang perempuan yang menolongku. Di mana dia sekarang?” Wanita ini memandang sekeliling. Goa itu tidak terlalu dalam. Hanya berupa cekungan yang bisa menampung sepuluh orang. Dari arah pembaringan ia bisa melihat ke luar. Di sana, semak belukar tampak menutupi pintu goa.
Ia melangkah ke arah pintu. Saat sampai, seseorang menyibak semak belukar. Di depannya kini berdiri seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian berwarna biru. Di keningnya ada hiasan bunga tanjung. Saat senyum menyeruak di bibir, parasnya semakin mempesona. Ia membawa seekor kelinci dan dua batang singkong.
“Saudari, kau yang telah menolongku?”
Masih mengulum senyum gadis cantik ini menggeleng pelan. “Para dewa yang telah menolongmu, sahabat. Wahai... apakah keadaanmu baik-baik saja?”
Perempuan ini mengangguk. “Berkat pertolonganmu, aku tak kurang suatu apa. Saudari, aku berhutang budi dan nyawa sama kamu. Terimakasih banyak. Kalau bukan ...”
“Sahabat, apapun yang terjadi di dunia ini sudah tertulis di atas langit sana. Para dewa yang tahu segalanya. Kau tidak perlu merasa terbebani karena peradatan orang-orang dunia persilatan.” Menatap cukup lama dua bola mata lawan bicaranya terlebih dahulu sebelum akhirnya ia melanjutkan. “Kau pasti lapar kan? Aku bawakan makanan untukmu.”
Ia mendahului masuk. Sambil berjalan ia membatin, “Meskipun di balik cadar itu terlihat wajah yang sangat mengerikan, kulit hitam bernanah, tapi aku yakin, di balik sinar matanya yang indah, perempuan ini memiliki paras yang rupawan. Wahai ... kenapa aku jadi memikirkan urusan orang? Bukankah sudah benar keputusanku untuk tidak berusaha mengetahui lebih jauh saat dia tidak sadarkan diri?”
“Saudari, kalau boleh tahu, siapakah namamu?”
“Namaku Luhcinta. Sahabat sendiri?”
“Aku ....” Perempuan ini meragap wajahnya. Seakan baru sadar, ternyata cadar merah masih menempel di sana. Sebelumnya ia mengira sang penolongnya telah melepas.
“Kau tidak perlu khawatir, sahabat. Meskipun aku cukup kesusahan memasukan obat penawar lewat mulutmu, aku tidak sampai berani lancang membuka cadar merah yang selalu menutupi wajahmu. Apa yang kau sembunyikan masih aman dari pandangan orang.”
“Aku hanya tidak mau kau menyesal saat melihat wajah burukku, saudari Luhcinta.”
Gadis cantik yang ternyata Luhcinta, salah satu perempuan dari Negeri Latanahsilam kembali tersenyum.
“Cukup panggil namaku saja. Hmmm.... kau belum menyebutkan namamu.”
“Orang-orang memanggilku Janda Pulau Cingkuk.”
Kedua alis Luhcinta mengkerut. “Wahai... yang kutahu di negeri ini janda artinya bekas orang. Apakah ....”
“Anggap saja begitu.”
“Aneh rasanya kalau aku harus menanggil kamu dengan sebutan itu, Sahabat.”
“Kau boleh memanggil aku apa saja Luhcinta.”
“Baik. Aku lebih suka memanggilmu perempuan bercadar.”
Perempuan Bercadar mengangguk. “Aku boleh tanya sesuatu?”
“Boleh. Dengan senang hati.”
“Apakah kau bukan orang sini? Aku melihat banyak keanehan pada dirimu. Kau mirip orang-orang yang pernah aku temui.”
Luhcinta tersenyum. “Kau tidak salah. Aku memang berasal dari dunia yang sama. Wahai.... Kalau boleh tahu, siapa saja kah yang pernah bertemu kamu, Sahabat?” Dalam hati Luhcinta berharap orang yang ditemui perempuan bercadar ini adalah yang sedang dicarinya.
“Aku banyak menemui mereka. Salah satunya, Jatilandak, nenek sakti yang dijuluki Hantu Penjujung Roh dan Manusia yang punya dua wajah.”
“Hantu Muka Dua?”
Wanita bercadar mengangguk.
“Dua orang yang kamu sebutkan orang baik dan aku bersahabat baik dengan mereka. Di manakah aku bisa menemukan mereka berdua sahabat? Atau salah satunya, terutama Hantu Penjunung Roh?”
“Jatilandak yang kutahu sekarang berada jauh dari sini. Dia berada di Kesultanan Cirebon. Sudah menjadi perwira muda pasukan kerajaan.”
“Wahai... dewa maha adil. Di negeri kami dia ....” Luhcinta hampir saja keceplosan menerangkan asal usul Jatilandak. Dia bukan orang yang suka mengobral aib orang lain.
“Di negeri kamu dia_dia kenapa?”
“Tidak Sahabat.” Luhcinta terdiam sesaat. “Untuk nenek sakti itu, di manakah aku bisa bertemu?”
“Sayangnya kau tidak lagi bisa bertemu dia Luhcinta. Termasuk juga Hantu Muka Dua.”
“Wahai... apakah yang terjadi dengan mereka hingga aku tidak bisa bertemu?”
“Hantu Muka Dua mati di tanganku, Luhcinta. Sedangkan nenek sakti berjuluk Hantu Penjunjung Roh mati dibunuh Pendekar 212 Wiro Sableng.”
Luhcinta sampai terlonjak berdiri mendengar keterangan wanita bercadar. Kalau Luhcinta terkejut karena keterangan yang sulit diterima akal, lain halnya dengan wanita bercadar, ia terkejut karena tak menyangka gadis secantik ini punya hubungan dekat dengan salah satu dari dua orang yang terkenal jahat.
“Wahai! Sejak aku tersesat ke negeri ini, aku pikir apa yang terjadi di Latanahsilam berlaku juga di sini. Persahabatan, cinta dan kasih, tetap terjaga. Ternyata apa yang aku pikirkan salah. Kalau kematian Hantu Muka Dua mungkin memang itu sudah seharusnya. Mengingat betapa banyak dosa yang sudah diperbuat di negeri sana. Tapi, kenapa nenekku juga mengalami nasib yang sama? Yang mungkin tak bisa aku terima, kenapa Wiro Sableng orang yang sangat dekat denganku tega membunuhnya? Padahal selama di sana hubungan mereka baik-baik saja. Apa cinta kasih sudah tak mereka miliki lagi?”
“Luhcinta, kau melamun?”
Luhcinta menatap wajah perempuan bercadar. “Kau bisa ceritakan, pasal apa Wiro Sableng sampai hati membunuh nenek itu?”
“Apa hubunganmu dengan nenek itu, Luhcinta?”
“Dia nenekku. Dia salah satu dari beberapa orang yang sedang aku cari-cari selama ini.”
Wanita bercadar menarik napas dalam-dalam. Sungguh, sulit dipercaya, gadis cantik dengan sikap lembut dan tutur kata halus nyatanya cucu dari seorang nenek yang terkenal sangat jahat.
“Aku akan ceritakan semuanya. Tapi kita sambil bakar kelinci ini ya. Aku lapar sekali Luhcinta.” Tidak seperti biasanya, wanita ini bicara sambil tersenyum. Itu ia lakukan demi mengurangi ketegangan.
Luhcinta mengangguk. Sekali tarik, kulit kelinci telah terkelupas sempurna. Sementara wanita bercadar sendiri membuat perapian dengan kayu yang tersisa. Sambil menumpuk potongan kayu agar terlihat sibuk ia berfikir apa yang harus dilakukan untuk bisa mengulur waktu. Paling tidak, sampai senyuman di wajah Luhcinta kembali datang.
“Luhcinta. Apa yang terjadi saat aku pingsan?”
“Wahai.... Perempuan ini sepertinya cerdik sekali. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan padahal sebelumnya ia berjanji hendak menceritakan kejadian yang menimpa nenekku.” batin Luhcinta.
“Kau sudah berjanji mau cerita, Sahabat.”
Wanita bercadar tersenyum. “Aku pasti ceritakan semuanya padamu, Luhcinta. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu bagaimana kejadiannya. Dan racun jahat yang berada di tubuhku bagaimana bisa kau punya penawarnya?”
Lama Luhcinta terdiam, hanya sibuk membolak-balik kelinci. Aroma daging panggang terhirup nikmat, membuat rasa lapar semakin menjadi.
Melihat orang terdiam cukup lama, Perempuan Bercadar menggigit bibir bawahnya.
“Mungkin dia merasa kecewa. Atau jangan-jangan dia menaruh rasa benci?” pikirnya.
“Mereka aku biarkan hidup. Dengan imbalan dia menyerahkan penawar untuk racun yang menyerap dalam tubuhmu. Di negeriku saja, aku diajarkan untuk tidak membunuh. Apalagi di negeri orang. Selama masih bisa dibicarakan maka jalan untuk menghilangkan nyawa adalah pilihan terakhir ketika itu menjadi satu-satunya jalan. Sahabat, aku tidak tahu apakah kau kenal dekat dengan Wiro Sableng, tapi tolonglah, ceritakan apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia sampai hati membunuh nenekku?”
Dalam hati Luhcinta merintih perih. Ini kenyataan pahit yang sangat menyakitkan. Selama seumur hidup baru dengan pemuda itu ia tahu rasanya cinta, kasih sayang dan kebahagiaan. Meskipun sejak kecil ia dididik dengan semua itu, tapi, segalanya tentu memiliki rasa yang berbeda. Pemuda itulah yang selama ini ia rindukan. Selain ayahnya, nenek, sahabat-sahabat dekat dari Negeri Latanahsilam, pemuda itu juga termasuk ke dalam pencairannya selama ini. Tapi mengapa, orang yang selama ini dirindukan justru memberi luka yang teramat dalam?
“Luhcinta aku akan ceritakan semuanya. Tapi setelah makan ya. Aku lapar banget.”
Lagi-lagi Luhcinta menatap dalam-dalam kedua bola mata perempuan bercadar.
“Perempuan ini benar-benar cerdik. Mungkin karena itu mengapa dia bisa selamat, padahal kalau orang lain mungkin sudah celaka sejak kakek sakti itu mulai turun tangan.”
Mau tak mau akhirnya Luhcinta mengikuti kemauan si wanita bercadar. Di ranjang batu, keduanya menyantap daging panggang dengan singkong bakar yang masih mengepulkan asap.
Bag 7
Dua orang berjubah berlari kencang, melewati jalan terjal berbatu. Kabut putih pekat yang membutakan mata seakan tidak jadi penghalang. Kalau bukan karena mereka termasuk anak buah Kerajaan Perut Bumi, mustahil mampu berlari secepat itu tanpa menabrak benda di hadapannya.
“Harusnya kau bawa saja mayat manusia tolol tadi. Siapa tahu sri paduka raja suka, lalu ngasih imbalan lebih dari sekedar pujian untuk kita.” Orang ini perbaiki sosok tubuh yang memberatkan bahu kirinya. Rupanya ia membawa salah seorang kawannya yang salah satu tangannya buntung. Tidak tahu pasti apakah orang yang dipanggul itu sudah meninggal atau hanya sekedar pingsan.
“Tidak perlu khawatir,” sahut temannya santai saja. “Cukup kita ceritakan aja kejadiannya. Pimpinan langsung percaya. Bukankah ini sudah berlangsung lama? Lagi pula tak pernah pimpinan meminta kita membawa mayat setelah berhasil kita bunuh. Dan satu hal lagi, ada yang jauh lebih penting dari membawa mayat manusia tolol itu, yakni pengobatan atas adikku. Aku tidak mau dia meninggal. Pukulan anjing buduk itu cukup mematikan.” Sambil terus berlari ia melihat ke arah tangan yang buntung. Kejadian sudah cukup lama, lebih dari dua kali peminuman teh, akan tetapi, kutungan tangan itu masih mengepulkan asap. Bau daging terbakar menusuk tajam ke hidung.
Tepat di sebuah tebing mereka menghentikan langkah. Orang yang tidak memanggul maju ke depan hingga tubuhnya hampir menempel sama rata dengan dinding batu yang menjulang tinggi.
“Kelompok Seribu Dua Ratus, siap memasuki pintu Kerajaan Perut Bumi yang ke 570.” Sunyi senyap. Tak ada suara apapun yang terdengar. Hanya desah napas mereka bertiga. Lalu tiba-tiba suara berderak terdengar mengerikan. Bumi di mana keduanya berpijak bergetar hebat. Lelaki yang tadi berada paling dekat dengan tebing melompat ke belakang sejauh dua tombak. Tebing batu bergetar. Semburan debu keluar dari sepanjang retakan yang membentuk garis ke atas setinggi tiga tombak. Perlahan-lahan dinding batu itu terbuka. Semakin lama semakin besar hingga terlihatlah sebuah goa yang sulit di nalar oleh manusia. Bagaimana bisa, selain goa itu luas, terawat, keadaan di dalam juga cukup terang. Ada banyak lampu yang menghiasi dinding di sepanjang lorong.
Dengan langkah terburu mereka masuk. Sampai di ujung bagian dalam dua orang itu melompat ke atas sebuah lempengan batu yang membentuk lingkaran. Cukup besar. Diperkirakan mampu menampung sebanyak lima puluh orang. Dari sisi lingkaran keluar asap hitam tipis, membentuk dinding kurungan. Dua orang ini saling pandang, lalu berpegangan tangan. Dalam sekejap, seolah jatuh dari langit ke tujuh, batu besar di mana mereka berada melesak ke bawah. Keduanya menutup mulut, agar tidak sampai teriak.
Batu pipih sebesar itu tentu memiliki berat ratusan atau mungkin ribuan kati. Bisa dibayangkan, apa jadinya saat mendarat ke tanah di bawah sana. Tentu dentuman keras yang diakibatkan oleh tabrakan antara batu dan permukaan akan membuat lempengan itu hancur berkeping-keping. Lebih lagi penumpangnya. Tulang belulang akan ringsek, menjadi satu dengan anggota tubuh lainnya. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Semakin mendekati permukaan, laju lesatnya semakin melambat. Dan ternyata, lempeng batu itu hanya salah satu dari puluhan, bahkan ratusan lempengan batu lainnya.
Ada banyak lempeng batu yang sama di sepanjang rongga bumi. Tidak terhitung berapa kali benda itu naik atau turun dalam sehari. Yang jelas setiap benda itu bergerak, naik atau turun, selalu ada orang yang dibawa. Paling sedikit seperti tiga orang tadi. Dan yang paling banyak bisa sampai lima puluh orang.
Lempeng batu itu sendiri oleh orang-orang Kerajaan Perut Bumi disebut Seribu Pintu Maut. Nama itu diberikan karena jumlah keseluruhan ada seribu pintu dan siapa saja yang berani menaiki lempeng batu tanpa restu dari kerajaan maka akan hangus terbakar.
Jarak dari lempeng batu satu ke lempeng batu berikutnya lebih dari lima puluh tombak. Bisa dibayangkan, seberapa luas kerajaan ini mengingat ada seribu lempeng batu yang tersebar di segala sisi.
Sejauh mata memandang, sebuah istana yang sangat megah berdiri menjulang. Ada banyak istana kerajaan, namun yang paling besar adalah pemimpin tertinggi yakni Raja Agung Kamaswara penguasa tunggal Kerajaan Perut Bumi. Dalam kepemerintahannya, ia membagi 5000 kepemimpinan. Dalam setiap pemimpin membawahi sepuluh ribu pasukan. Perlu diingat, dari lima ribu pemimpin itu lebih dari setengahnya terdiri dari bangsa jin. Untuk menerbangkan benda-benda pun Kamaswara mengandalkan tenaga dari para jin.
Tidak seperti permukaan yang memiliki satu sumber cahaya dari matahari. Di Kerajaan Perut Bumi cahaya di dapat dari empat sudut utama. Dari cahaya inilah mereka mendapat kehidupan, beragam jenis tumbuhan dan hewan banyak dikembangbiakkan. Para petani dan peternak semuanya hasil culikan dari atas. Mereka dipaksa bekerja sepanjang hari. Karena tidak ada malam, maka waktu istirahatat teramat sangat singkat. Akibatnya, banyak para pekerja yang sakit-sakitan, meninggal lantaran tubuh kurang istirahat.
Saat turun dari lempeng batu, dua orang ini menuju ke pos penjagaan. Di sana ada lima orang penjaga. Tubuhnya tiga kali lebih tinggi dari manusia. Wajah mahluk ini sangat mengerikan. Tubuhnya yang berwarna merah dipenuhi sisik layaknya ikan. Di kepalanya ada tanduk dan dua taring mencuat, hingga bibirnya yang tebal tak mampu menutup rapat.
“Apa yang kau inginkan mahluk lemah?” Suara mahluk itu sember tidak enak didengar. Setiap mulutnya terbuka, aroma busuk memenuhi tempat itu. Dua orang ini sampai menutup jalan pernapasan karena tidak tahan. Kalau muntah bukan salah satu pelanggaran, tentu keduanya sudah menguras isi lambungnya.
Salah satu dari mereka menjawab pertanyaan. “Aku ingin cepat sampai ke pemimpin kami.”
“Seberapa penting berita yang kau bawa?”
“Kami berhasil membunuh salah satu tokoh besar golongan putih.”
“Sebutkan namanya!”
Keduanya saling pandang. Karena sampai lawannya menemui ajal, mereka tidak pernah tahu siapa nama orang itu.
“Kami .... kami tidak tahu namanya. Tapi ....”
“Tapi apa? Dasar manusia tolol! Bukankah peraturannya sudah jelas? Jangan kau bunuh siapapun sebelum tahu nama atau gelar mereka. Memalukan! Pergi kalian dengan menaiki kuda!”
Orang yang memanggul, yang sejak tadi gemetar ketakutan menyeret temannya, menjauh.
“kita turuti saja perintahnya.”
“Naik kuda terlalu lama. Bisa memakan waktu setengah harian. Sementara adikku harus segera mendapat pertolongan. Kalau kau takut, tetap di tempatmu. Biar aku yang bicara dengan mereka.”
“Mahluk rendahan! Ada apa lagi?” bentak salah satu jin ketika melihat lelaki tadi kembali.
“Aku memang tidak tahu nama atau gelarnya, tapi melihat dari ciri-cirinya aku yakin manusia yang kubunuh adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Wiro Sableng.”
Para jin itu saling pandang, lalu tawa mengejek meledak.
“Pimpinan kami dari bangsa jin sekalipun belum tentu mampu membunuh manusia satu itu. Kamu yang tak lebih hanya sebatas kecoa busuk sesumbar bermulut besar?”
“Terserah kalian mau percaya atau tidak, tapi ingat satu hal. Andai apa yang kukatakan ini benar adanya, maka bersiaplah buat kalian menerima hukuman!”
Kelima jin saling pandang. Ada raut wajah ketakutan di masing-masing.
“Kalian boleh berbangga diri karena merasa bangsa kalian lebih tinggi derajatnya dari kami bangsa manusia. Tapi jangan lupa, pemimpin tertinggi di Kerajaan Perut Bumi adalah dari bangsa kami.”
“Tolol! Kau pikir raja agung dari bangsa manusia? Cepat masuk!”
Lelaki ini tersenyum penuh kemenangan. Memanggil temannya dan keduanya masuk ke sebuah lingkaran cahaya putih redup. Walau samar dalam lingakaran mereka masih bisa melihat ke luar. Lalu ada getaran halus di kakinya, bersamaan dengan itu dinding cahaya berubah putih pekat. Pemandangan di luar tidak terlihat lagi. Sesaat setelah getar halus di kaki hilang, dinding cahaya telah kembali ke semula. Ketika keduanya keluar, yang terlihat adalah halaman luas. Di depan sana ada istana besar. Itulah istana pemimpin mereka. Keduanya cepat berlari menuju undakan anak tangga.
Perlu diketahui, setiap istana kepemimpinan memiliki tiga lapis gerbang sebagai keamanan. Di setiap gerbang ada puluhan orang penjaga. Bagi mereka yang datang dengan mengendarai kuda butuh waktu lama hingga semua pertanyaan terjawab. Menurut keterangan salah seorang tadi butuh waktu setengah hari, maksudnya hanya perjalanannya saja. Jika disatukan dengan kerumitan penjagaannya, bisa memakan waktu seharian. Karena itulah dia ngotot ingin menaiki dinding cahaya. Karena hanya dengan itu, perjalanan tidak mendapat hambatan sedikitpun. Bahkan, ketika mereka memasuki gerbang istana kepemimpinan tidak ada satu pertanyaan pun yang keluar dari mulut para penjaga.
Ada lebih dari seratus orang dalam istana. Semuanya kini menatap heran kepada kedua orang yang baru masuk.
Sosok tubuh bertangan buntung yang sejak tadi dipanggul, diturunkan. Lalu keduanya membungkuk hormat.
“Apa yang terjadi dengan kalian?” Lelaki berusia empat puluh tahun mengajukan pertanyaan. Potongan buah kanas segar yang sejak tadi menemani duduknya masuk ke mulut. Menikmati rasa manis asam, kedua matanya tak lepas memperhatikan kutungan tangan yang gosong.
“Ampun Pimpinan,” yang menjawab lelaki yang barusan menurunkan panggulan. “Kami berhasil membunuh salah satu tokoh besar golongan putih. Tapi musibah menimpa kami. Salah satu kawan kami mengalami luka yang sangat parah. Saya harap, Pimpinan bersuka hati mau memberi kesembuhan bagi dia.”
“Seberapa penting tokoh itu?”
“Sangat penting, Pimpinan.” Yang menjawab lelaki di sebelahnya. “Bahkan dia salah satu orang yang Raja Agung inginkan kematiannya. Dia bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.”
Mendengar nama yang disebutkan sang pimpinan berdiri. Kedua matanya menyorot tajam ke pada orang yang barusan bicara.
“Kau tahu, hukuman apa yang kalian dapatkan jika berani main-main denganku?”
“Kami tahu, Pimpinan. Karena itu kami tidak mungkin melakukan perbuatan sebodoh itu.”
Pimpinan melangkah, mendekat ke sosok tubuh yang tergeletak. Diamati lengan buntung terbakar. Walau ia belum pernah bertemu langsung dengan pemilik pukulan, tapi, dari cerita yang didengar, ciri-cirinya sama persis dengan keganasan Pukulan Sinar Matahari.
“Kau yakin telah membunuh pemuda itu?”
“Saya sangat yakin Pimpinan. Pemuda itu mati karena Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi.”
Sekelumit senyum menghias bibir manusia ini. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Berita yang kalian bawa sangat berharga. Karena itu, kalian akan aku bawa menghadap Sri Paduga Raja Agung. Bawa kawan kalian.” Lelaki ini mendahului ke arah pintu. Dua orang mengikuti di belakang. Di halaman depan ketiganya memasuki dinding cahaya. Seperti yang terjadi sebelumnya, lantai di mana mereka berdiri bergetar halus. Lalu kabut putih membungkus ketiganya. Dalam sekejap mereka telah berada di halaman utama kerajaan.
Bangunan megah menjulang tinggi ke langit. Halaman itu teramat luas. Ternyata, bukan hanya dirinya yang menggunakan dinding cahaya. Ada puluhan bahkan ratusan pengguna lain yang juga keluar dari dinding cahaya. Mereka memiliki tugas yang sama. Membawa kabar untuk disampaikan ke Baginda Raja.
Peraturan di kerajaan ini, berita yang paling penting adalah yang di nomor satukan. Karenanya, begitu Sang Pimpinan menyebut nama orang yang terbunuh, dua prajurit langsung memilih dia untuk menghadap lebih dulu.
Pintu istana terbuka. Dinding batu pualam terlihat indah dengan corak bergambar istana langit. Terlihat pula di sepanjang dinding itu gambar para dewa yang sedang menyembah Kamaswara. Berbeda dengan pimpinan yang sudah sering ke sini, dua orang tadi karena ini baru pertama kali, mereka sampai terbengong-bengong menyaksikan betapa megah istana baginda raja. Tiang-tiang besar menjulang tinggi. Setiap langkah yang dibuat, terdengar nyaring. Padahal bagi para petinggi kerajaan tidak ada suara sedikitpun. Itu membuktikan betapa tinggi tenaga dalam mereka. Untuk sekelas pimpinannya saja masih berada jauh di bawah orang-orang istana.
“Berani sekali kau membawa sampah ke dalam istanaku!” Nada suaranya biasa saja. Akan tetapi, getaran yang dikeluarkan terasa sekali menusuk telinga. Sang pimpinan masih kuat menahan, menyumbat pendengaran dengan tenaga dalam. Sayangnya, bagi kedua orang anak buahnya, yang tingkat tenaga dalam jauh berada di bawah dirinya, dua orang ini sampai menjerit kesakitan. Darah kental keluar dari telinga masing-masing.
Lelaki ini sujud sebagai bentuk kepatuhan, diikuti dua anak buahnya.
“Mohon ampunmu Sang Baginda Raja Agung,” jelasnya setelah kembali berdiri. “Hamba membawa serta anak buah karena keduanya membawa berita yang sangat berharga. Mereka berhasil membunuh Pendekar 212.”
Ada lebih dari 50 orang dalam istana itu. Semuanya kini saling pandang. Lalu berakhir menatap ke arah Sang Baginda Raja.
“Manusia itu pernah tersesat ke Negeri Seribu Dua Ratus Tahun yang lalu. Di sana banyak tokoh sakti yang berebut untuk membunuhnya. Tapi tidak satu pun yang sanggup. Lalu di Mataram Kuno, di sana juga orang-orang sakti setingkat para dewa paling rendah yang saling berebut untuk mengambil jiwanya. Tapi semua hanya sebatas keinginan. Mereka semua tidak ada yang berhasil membunuh manusia itu. Lalu, kau datang membawa kabar menggembirakan ini? Apa kau sudah selidiki kebenarannya?”
Pucat pasi lelaki ini. Menatap tajam ia kepada kedua anak buahnya. Dua orang itu cepat jatuhkan diri berlutut.
“Demi jiwaku yang ada di tanganmu, Sang Paduka Raja Agung. Hamba tidak berani berbohong. Pemuda itu mati setelah kami mengeluarkan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi. Bukankah tidak ada satu kekuatan pun yang mampu melawan keganasan racun pukulan itu?”
“Berani sekali kau mengajukan pertanyaan kepadaku?” Sekali tangan kanan bergerak ke depan, sosok lelaki yang tadi berkata terbetot. Melesat hingga tubuhnya kini tergantung dalam cengkraman tangan raja. Melejang-lejang tubuh itu beberapa ketika hingga terdiam pertanda nyawa telah melayang.
Raja Agung membanting tubuh yang sudah tidak bernyawa. “Singkirkan dua manusia tak berguna itu dari hadapanku!” Dua orang melesat cepat. Melihat adiknya hendak di bawa ia berniat untuk menghadang, tapi suara ngiangan terdengar di telinganya.
“Jangan tolol! Kau mau jadi bangkai seperti temanmu?”
Walau hatinya kesal dan merasa terpukul hebat ia tak berani berbuat apa-apa. Tujuannya datang ke sini untuk minta kesembuhan. Mendapat pujian setinggi langit, sayangnya, yang didapat justru sebaliknya.
“Kesaktian Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi memang tiada tanding. Tak ada satu kekuatan pun yang mampu menyembuhkan dari racun ganas. Tapi itu berlaku di dunia kalian, para manusia bodoh! Di dunia para dewa, ilmu itu tak lebih hanya sebatas sampah busuk tak berguna! Sebagai pemimpin harusnya kau selidiki dahulu, apakah berita yang dibawa orang-orangmu benar atau hanya kebodohan belaka? Kau pikir akan mendapat sanjungan dariku karena merasa telah melakukan hal besar?” Raja Agung melirik ke sisi kirinya. “Buto Kantolo, tunjukan pada manusia bodoh ini apa yang terjadi setelah mereka pergi.”
Buto Kantolo, salah satu raja jin berdiri, membungkuk hormat. Sosoknya yang menjulang tinggi bergetar hebat. Kepulan asap hitam keluar dari kedua telapak tangannya yang diputar-putar. Asap hitam membentuk lingkaran. Dari lingkaran itulah terlihat seorang pemuda yang tengah sekarat. Lelaki ini tahu, itulah manusianya yang pernah dikalahkan. Ia tahu, dalam dua kali tarikan napas, pemuda itu pasti akan menemui ajalnya. Tapi, kejapan berikutnya cahaya putih bersinar menutupi penglihatan. Orang-orang yang sedang menyaksikan sampai menutup mata. Dalam sekejap sinar itu hilang, bersama hilangnya pemuda sekarat tadi. Dan jin Buto Kantolo mengakhiri pertunjukannya.
“Kau tahu hukuman yang pantas atas kecerobohan kalian?”
Pimpinan langsung jatuhkan diri, bersujud diikuti anak buahnya.
“Mohon ampunmu, Baginda Raja Agung. Hamba mohon terima tobatku. Ampuni kesalahan hamba.”
“Buto Kantolo! Kelompok Seribu Dua Ratus adalah bagianmu.”
“Baginda Raja, tolong ampuni kami!” pekik sang pimpinan. Buto Kantolo tertawa keras. Mulut terbuka lebar-lebar. Dua orang menjerit. Mereka merasakan tubuh terbakar. Padahal tidak ada api sedikitpun di kulit masing-masing. Jerit kesakitan semakin menggila. Sosok dua manusia itu terbanting ke lantai. Belum hilang gema suaranya, tubuh keduanya telah berubah menjadi abu. Masuk ke mulut Buto Kantolo.
“Menurut Dinda Kamaswara, siapakah orang yang menolong pemuda itu?”
Raja Agung berpaling ke arah orang yang barusan bertanya. Di sana berdiri seorang berpakaian hijau muda seusianya. Di istana langit, orang ini menjadi sahabat terdekat. Dialah Dharma Siwanala. Sejak kepemimpinan istana langit berganti, ia sering bertentangan dengan peraturan baru yang dibuat Ramanda. Karena sejak awal ia dan beberapa dewa lainnya tidak suka dengan sikap Ramanda, akhirnya delapan dewa yang dipimpin dirinya menyusun sebuah rencana. Penyerangan negeri atas langit. Namun, tidak mudah menaklukan Ramanda, terlebih seluruh dewa berpihak padanya. Saat itulah, Dharma Siwanala mengusulkan untuk turun ke bumi melakukan pencarian terhadap Kamaswara. Sayangnya melakukan pencarian Kamaswara sama sulitnya dengan melakukan penyerangan terhadap Raja Agung Ramanda. Karena mereka terbatas dengan gerak jasadiah yang mengurangi tingkat keleluasaan.
Perlu diingat. Sama seperti halnya dengan yang terjadi pada para peri di Latanahsilam, atau pada Kamaswara, setiap dewa yang masuk ke dunia manusia, maka sosoknya akan berubah sama seperti manusia pada umumnya. Mereka memiliki jasad, banyak keterbatasan, misal kehausan, kelaparan dan andai dalam bentuk itu ia mati terbunuh, maka mereka akan mati selamanya. Tidak ada lagi keabadian. Itulah aturan yang harus ditaati bagi para dewa.
Lebih dari seribu tahun pencarian akhirnya sosok Kamaswara ditemukan. Ia terbenam ke lapisan bumi terdalam. Di bawah kaki Gunung Selat Sunda. Tubuh lelaki ini sangat mengenaskan. Hampir seluruhnya diselimuti lumut hijau. Kalau bukan karena Batu Keabadian, mungkin sudah sejak lama sosoknya membusuk atau berubah menjadi debu.
“Siapa kalian?” bentak Kamaswara. Ia tidak bisa melihat lantaran kepalanya tergenjet lempengan bumi. Dharma Siwanala berpaling ke kawan-kawannya.
“Kau tenanglah Dinda Kamaswara. Aku dan sahabat lain datang untuk menolongmu.” Dharma Siwanala putar kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan melesak cahaya hijau redup. Gelegar suara menggunjang tempat sekitar kala sinar angker itu melabrak dinding batu yang membenamkan Kamaswara. Bersama kepingan dan debu yang berterbangan, tubuh Kamaswara terpental. Dua dewa menangkap sosoknya. Lalu membaringkan tubuh itu ke lantai batu.
“Tidak ada satu kekuatan pun yang mampu melepas ikatan kawat emas.” lenguh Dharma Siwanala.
“Kakang Siwa, apa kau membawa seteguk air? Meskipun aku tidak bisa mati, tapi menahan haus dan lapar lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.”
Salah satu dewa memberikan sebuah kendi berukuran dua kepalan tangan kepada Dharma Siwanala. Lelaki ini berjongkok, memberikan minum kepada sahabat dekatnya.
Tegukan demi tegukan mengalir di tenggorokan. Ketika menjadi dewa, ia mampu tidak makan dan minum selama berpuluh-puluh tahun. Sedikitpun tubuhnya tak merasakan letih, kehausan apalagi sampai kelaparan. Kini, saat tubuh berubah menjadi bentuk jasad, ia dipaksa menahan lapar dan haus selama seribu tahun. Sungguh, kalau bukan karena dendam kesumat yang tertanam dalam setiap tetes darahnya, tentu sudah sejak lama ia memuntahkan Batu Keabadian dan memilih untuk mengakhiri hidup.
“Keparat terkutuk itu harus kubunuh dengan tanganku sendiri!” Kamaswara mencoba berdiri. Dua dewa membantu tubuhnya yang sedikit limbung.
“Apa yang terjadi atas dirimu ternyata sudah direncanakan jauh-jauh hari, Dinda Kamaswara.”
“Maksud Kakang Dharma?”
“Ramanda sejak lama telah menyusun sebuah rencana untuk mnyingkirkanmu.”
Kedua mata Kamaswara membeliak. “Jadi benar dugaanku, Kakang? Bajingan itu memfitnah aku?”
Dharma Siwanala mengangguk. “Dia sengaja memperalat Dewi Gandasuri, istrinya untuk memuluskan rencana. Seluruh dewa di kalangan istana sudah pada tahu kebusukan itu. Bahkan Raja Agung sendiri mengetahui. Sayang, semua kebusukan itu terbongkar setelah kepemimpinan berpindah tangan. Raja Agung tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau hanya bisa menyesal dan melempar kutuk untuk adikmu.”
“Kutuk apa yang ditimpakan?”
“Akan datang suatu ketika, mahluk dari golongan paling rendah yang menghancurkan kerajaan langit.”
Cuhhh!!!
Kamaswara meludah penuh kebencian. “Sebelum kutuk itu datang, aku yang akan memporak-porandakan kerajaan para dewa. Dan lelaki tua itu harus menerima hukuman paling mengerikan dari tanganku!”
“Karena kebencian yang sama itulah aku dan kawan-kawan datang menemuimu, Dinda Kamaswara. Tapi bagaimana cara kamu terbebas dari lilitan kawat ini?”
Kamaswara menatap tubuhnya. Kawat emas yang sudah seribu tahun mencengkeram tubuhnya mencoba dilepas. Sayangnya, sudah ribuan kali ia mencoba, kawat itu tak bisa dilepaskan. Jangankan terlepas, sekali ia menggunakan tenaga dalam, walau hanya sedikit, kawat itu akan melilit semakin dalam.
“Seberapapun dahsyat kesaktian para dewa, tetap ada pantangannya. Kalian ingat Air Larangan yang aku gunakan untuk mengobrak-abrik para dewa saat di kamarku?”
Dharma Siwanala menatap silih berganti kawan-kawannya.
“Apakah cairan itu juga berlaku pada kawat ini? Mengingat kawat emas ini milik Dewa Agung? Penguasa tertinggi bagi para dewa?”
“Aku tidak yakin. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Bukankah Air Larangan berlaku bagi semua? Tak peduli itu dewa dengan drajat paling rendah atau paling tinggi. Sekarang, tugas kalian cari cairan itu di bawah laut. Jika kalian kesulitan, bisa minta bantuan para jin.”
Dharma Siwanala mengangguk. “Kau tidak keberatan aku tinggalkan sendirian?”
Kamaswara tertawa terbahak-bahak. “Ada apa denganmu, Kakang Dharma? Aku sudah seribu tahun di sini. Menunggumu selama seribu tahun lagi sekalipun tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau lupa, aku tidak bisa mati!”
Dharma Siwanala tersenyum. Lalu pada kawan-kawannya ia memberi kode untuk segera pergi ke perbatasan antara dewa dan manusia. Di sana wujud mereka kembali dalam bentuk dewa. Dan karena alam dewa dan jin memilik banyak kesamaan, tidak ada kesulitan yang berarti. Para dewa ini mampu bergerak seratus kali lebih cepat dari yang para jin lakukan. Akibatnya, dalam sekejap saja para jin termasuk pimpinannya berhasil ditaklukan. Dengan mengerahkan seluruh pasukan, dalam waktu kurang dari setahun Air Larangan berhasil di temukan.
“Harusnya kita sejak awal minta bantuan mereka,” keluh Dharma Siwanala.
Kawannya hanya menanggapi dengan senyum kecut.
Di lantai batu, Kamaswara di baringkan. Para dewa yang sudah kembali berubah ke ujud manusia menjauh. Melihat itu raja jin menjadi heran. Tapi ia tidak bisa berfikir menduga-duga. Terlebih ketika Dharma Siwanala membentak keras untuk segera menungkan Air Larangan itu ke kawat emas.
Kamaswara meniup belanga. Ilmu Pemagar Roh yang sejak dulu menyelimuti, sirna. Kepulan asap hitam mulai keluar. Raja Jin menciduk dengan tangan kirinya, meneteskan cairan itu ke lilitan kawat emas. Suara mendesis layaknya besi panas tersiram air terdengar dari sepanjang lilitan. Asap putih keluar. Kamaswara menjerit keras kala kawat emas itu melilit semakin dalam ke tubuhnya. Leher, tubuh, lengan dan kaki terasa terkutung-kutung.
“Tambah lagi!” teriak Kamaswara. Berguling-guling ke sana kemari. Jin segera ikuti. Menciduk dengan dua tangan sekali gus.
Byurrhhh!!!
Cairan itu mengguyur hampir separuh tubuh Kamaswara. Lilitan kawat semakin dalam mencekik leher dan seluruh anggota tubuh. Tidak ada lagi suara yang terdengar karena kawat emas menjirat urat suaranya. Hanya tubuhnya saja yang melejang-lejang. Melihat itu Dharma dan kawan-kawan menjadi panik. Apa yang bisa mereka lakukan untuk menolong? Apakah kawat emas itu tidak bisa dimusnahkan?
Baru saja hati mereka bertanya cemas, kepulan asap putih semakin banyak bermunculan. Suara desisan terdengar di sepanjang lilitan. Perlahan-lahan Kamaswara merasakan llilitan yang hampir memutus urat lehernya, mulai mengendor. Dan kejapan berikutnya lilitan itu benar-benar hilang.
Kamaswara bangkit duduk. Menatap kedua tangannya yang kini terbebas. Masih ada bekas lilitan, tapi itu tidak lama. Karena sesaat kemudian tubuhnya kembali seperti semula.
“Saatnya untuk menyusun rencana!” Kamaswara melompat berdiri. “Bangunkan aku istana yang megah di bawah perut bumi ini.”
Kedua bola mata raja jin membeliak besar. “Perjanjiannya tidak begitu!”
“Aku yang membuat perjanjian!” bentak Kamaswara. “Tugasmu hanya bisa mematuhi! Atau aku musnahkan alam kalian?!”
“Ba-baik, Tuan!”
“Panggil aku Sri Paduka Raja Agung Penguasa Kerajaan Perut Bumi!”
“Baik Sri Paduka Raja Agung. Titah Paduka Raja akan hamba laksanakan.”
“Apa yang akan Dinda Kamaswara rencanakan?”
Kamaswara tersenyum. Menatap Dharma, kawan-kawan lain, lalu berakhir pada belanga berisi cairan.
“Selama tergenjet lapisan bumi, selama itu pula aku menyusun sebuah rencana. Akan aku jadikan dunia permukaan mengalami bencana mahadahsyat, yang belum pernah terjadi selama dunia diciptakan. Dalam kekacauan itu, para dewa hanya mempunyai dua pilihan. Turun melawan Kabut Kematian, atau menghancurkan dunia ini. Kalau dia memilih yang pertama, maka kematian akan menimpa mereka. Karena dalam kabut itu aku akan berikan Air Larangan. Dan kalau dia memilih jalan kedua, menghancurkan dunia ini, maka aku terbebas dari kutuk jasad yang menimpaku. Itu artinya, aku kembali dalam ujud dewa. Dan saat itu, aku musnahkan kerajaan langit. Mengambil alih kerajaan.”
Dharma dan semua dewa melengak tak percaya dengan rencana luar biasa sahabatnya.
“Luar biasa,” pujinya penuh kekaguman. “Bahkan dalam mimpipun kami tidak pernah terpikir ada rencana sedahsyat itu.”
Kamaswara sahuti ucapan sahabatnya dengan tawa bergelak.
***
Kembali ke istana kerajaan.
Mendapat pertanyaan dari sahabatnya, Kamaswara menggeleng. “Aku tidak bisa memastikan, siapa dan mahluk apa yang berani menerobos Kabut Kematian. Kalau dia dari bangsa dewa, tentu tubuhnya sudah hangus terbakar.”
“Kalau bukan dari bangsa dewa, itu artinya, racun yang mengendap dalam tubuh pemuda itu takkan bisa terselamatkan?”
“Seharusnya begitu.” Kamaswara melirik kepada Buto Kantolo. “Coba kau perlihatkan di mana adanya sekarang pemuda tolol itu!”
Buto Kantolo mengangguk. Seperti tadi, jin ini memutar telapak tangannya. Asap hitam tebal keluar, membuntal mebentuk lingkaran. Dari dalam lingkaran perlahan tapi pasti keluar asap putih. Harusnya setelah itu akan terlihat orang yang sedang dituju. Sayangnya, ditunggu cukup lama yang terlihat hanya sebatas itu.
“Keparat! Hanya para dewa yang mampu menampis ilmu Buto Kantolo.” Pada Dharma Siwanala ia berkata, “Soal itu kita bisa selidiki nanti. Bagaimana dengan tiga perempuan bengal itu? Apa mereka sudah mau bergabung dengan kita?”
“Dua orang sepertinya sudah tidak memiliki harapan. Tapi yang satu aku melihat ada keraguan. Sepertinya dia bisa diajak kerja sama.”
Kamaswara mengangguk senang. “Buto Kantolo, antarkan aku ke Ruang Penyekapan.”
Mahluk menyeramkan ini mengangguk. Membungkuk terlebih dahulu lalu memegang tangan Kamaswara. Cahaya putih keluar membentuk lingkaran, mengurung ke duanya. Sesaat kemudian lantai di mana mereka berpijak terasa bergetar halus. Dalam sekejap mereka telah berada di sebuah ruangan kumuh. Gelap, pengap dan bau amis. Kamaswara menyumbat penciumannya dengan tenaga dalam. Melambai ke dinding.
Blup! Blup! Blup!
Lampu di seluruh sisi ruangan menyala. Ketika cahaya menyinari, terlihatlah kini sebuah pagar besi yang mengurung tiga orang perempuan. Keadaan tiga orang ini sangat mengenaskan. Pakaian putih yang dikenakan sudah lapuk, menyatu dengan debu, hingga warnanya sudah tak karuan. Wajahnya yang dulu terawat, putih mulus kini dekil, kotoran di mana-mana. Kalau ada yang menjadi sanjungan untuk perempuan itu mungkin hanya satu. Sepasang matanya yang biru terlihat indah. Itulah satu-satunya yang bisa dibanggakan. Di Latanahsilam, ia dikenal dengan julukan Peri Angsa Putih. Kalau perempuan malang ini Peri Angsa Putih, lalu siapa dua lainnya? Siapa lagi kalau bukan Peri Bunda dan Peri Sesepuh. Tubuhnya yang dulu gembrot, memiliki banyak lemak di badan, kini menjadi sosok yang sulit dikenali. Kulit saling menggelambir di sepanjang tubuhnya. Sungguh, keadaan perempuan ini tidak lebih baik dari Peri Angsa Putih atau Peri Bunda.
“Manusia Dajjal! Berani kau menampakan diri di hadapanku!” Peri Angsa Putih siap melancarkan serangan lewat cahaya yang memancar dari tangan kanannya. Akan tetapi Peri Bunda segera mencegah, dengan memeluk kerabatnya.
“Jangan nekat Peri Angsa Putih! Berapa kali kau menderita karena melakukan serangan!”
“Sampai aku mati pun aku tak peduli! Dajal terkutuk itu harus mati di tanganku!”
“Hahaha...... kuakui nyalimu lebih besar dari kebanyakan para peri lainnya, Peri Angsa Putih. Tapi kau harus ingat, pada siapa kau berhadapan. Di alam para dewa, derajat kalian jauh lebih rendah dari dewa terendah di kerajaanku.”
Peri Angsa Putih meludah. “Masih punya muka kau membawa-bawa nama kerajaan, padahal, di mata para dewa dan kerajaan langit, kau tak lebih dari mahluk terkutuk yang hina. Kau dicampakan karena dosamu yang sudah kelewat takaran. Apa yang kau banggakan Kamaswara? Pecurian Batu Keabadian? Atau hukuman dari ayahmu sendiri? Kau tidak malu membanggakan derajat para dewa, padahal dirimu jauh lebih hinda dari para jin dan bahkan binatang sekalipun!”
Merah padam wajah Kamaswara. Kalau bukan karena ada rencana besar, sudah sejak lama ia membunuh peri satu ini.
“Sayangnya aku sedang tidak berselera meladenimu.”
“Bebaskan aku dari tempat terkutuk ini. Kita bertarung sampai dunia kiamat!”
Kamaswara tersenyum. “Hay gadis bermata biru, kau diamlah.” Serangkum angin menerpa tubuh Peri Angsa Putih. Kejap itu juga sosoknya menjadi kaku tegang. Kamaswara berpaling pada Peri Bunda. “Pada saatnya giliranmu. Sekarang aku hanya ingin bicara dengan mahluk paling jelek di antara para peri.”
Ia berpaling ke arah Peri Sesepuh. “Dalam ujudmu yang gembrot itu saja semua orang muak melihat tampangmu, apalagi dalam kondisimu yang sekarang. Aku tahu kau sangat mencintai pemuda itu kan? Pendekar 212. Tapi sayang, selain dia sedikitpun tidak menyukaimu, sainganmu banyak dan mereka semua jauh lebih sempurna. Aku melihat banyak penderitaan dalam hidupmu. Apa kau mau selamanya merasakan sakit?”
“Apa maksudmu?”
Kamaswara tersenyum. “Orang-orangku berulangkali datang membujukmu agar kau mau bergabung. Tapi ....”
“Sampai mati pun aku tidak sudi bergabung dengan mahluk terkutuk seperti kamu!”
“Hahaha.... Meskipun aku memberikan sebuah ilmu langka? Kau mampu merubah ujud sesuai keinginanmu tanpa batas waktu? Kau akan cantik sempurna. Jangankan hanya manusia tolol itu, pangeran dari kerajaan saja pasti akan tergila-gila sama kamu.”
Mendengar keterangan itu Peri Sesepuh terdiam. Sedangkan Peri Angsa Putih yang terdiam kaku merasa cemas. Takut kalau-kalau Peri Sesepuh terkena bujuk rayu.
“Selain itu, kau juga akan kuberikan Ilmu Penyedot Batin. Dengan ilmu itu kau akan mendapat tenaga dalam tambahan dari semua orang yang kau kehendaki. Apa kau tidak ingin merasakan kebahagiaan seperti wanita-wanita lain? Mereka memiliki pasangan, berkasih sayang dengan orang yang dicinta. Apa kau tidak iri? Kalau aku jadi dirimu, tidak akan kusia-siakan kesempatan ini.”
Peri Sesepuh masih diam. Ia berpaling ke Peri Bunda. Wanita itu menggeleng. Sedangkan Peri Angsa Putih memejamkan kedua matanya.
“Ini kedatanganku yang terakhir. Mungkin sampai kiamat tiba, aku belum tentu datang lagi ke sini. Bagaimana keputusanmu, Peri Sesepuh? Menerima tawaranku dengan hidup bahagia atau tetap terkurung di sini sampai dunia ini hancur?”
“Jangan dengarkan ucapannya, Peri Sesepuh. Semua yang dia katakan hanya kebohongan belaka.”
“Dia bisa berani bicara begitu karena keadaannya tidak seperti dirimu. Apa dia pernah merasakan bagaimana rasanya dikucilkan? Bagaimana rasanya dipandang sebelah mata? Tertolak cinta padahal cintamu mungkin jauh lebih besar dan tulus dari pada mereka semua? Kau tak perlu terpengaruh oleh omongan siapapun. Yang tahu keadaanmu dirimu sendiri. Putuskanlah, sebelum kau menyesali diri. Sekali aku pergi, selamanya aku takkan kembali.”
Ditunggu cukup lama, Peri Sesepuh tetap diam. Gurat kekecewaan terlihat jelas di raut wajah Kamaswara. Pada Buto Kantolo ia berkata, “Bawa aku kembali ke Istana Kerajaan.”
Buto Kantolo mengangguk. Seperti sebelumnya, ia menggenggam lengan Kamswara. Cahaya putih mulai mengurung keduanya. Saat sosok akan menghilang, satu suara mengejutkan semua orang.
“Aku bersedia ikut bersamamu.”
Kalau Kamaswara terkejut karena tidak menyangka peri gendut itu akan masuk ke perangkapnya, lain halnya dua wanita ini. Peri Bunda dan Peri Angsa Putih sedikitpun tidak menyangka kalau Peri Sesepuh akan melakukan pengkhianatan. Bergabung dengan mahluk paling terkutuk di segenap alam.
“Apa yang kau lakukan, Peri Sesepuh? Kau sadar apa yang kau pilih?” Peri Bunda berteriak mengingatkan.
“Kau diamlah.” Seperti tadi, kala serangkum angin menerpa tubuh Peri Angsa Putih, angin ini pula menjadikan tubuh Peri Bunda kaku. Hanya kedip mata yang bisa kedua perempuan ini lakukan.
“Itu keputusan yang tepat, Peri Sesepuh.” Kamaswara menempelkan telapak tangannya pada besi pembatas. Cahaya putih yang melindungi besi itu tersedot ke dalam telapak tangan. Inilah Ilmu Pemagar Roh, yang sudah sejak lama mengurung ketiga perempuan itu. Sebenarnya, mudah saja bagi Peri Angsa Putih atau Peri Bunda, juga Peri Sesepun untuk memusnahkan ilmu itu, akan tetapi, Air Larangan yang telah tercampur dalam setiap ilmu yang di keluarkan Kamaswara membuat mereka lumpuh. Setiap pukulan membentur Ilmu Pemagar Roh, tenaga dalamnya seakan terkuras. Karena itulah tadi Peri Bunda mencegah agar Peri Angsa Putih tidak nekat menyerang Kamaswara.
“Kau bisa keluar,” kata Kamaswara setelah Ilmu Pemagar Roh hilang sempurna. “Sebelum ilmu kesaktian kuberikan kepadamu, kau harus berjanji untuk tunduk dan patuh terhadapku. Sekali kau membangkang, nyawamu melayang. Kau mengerti?”
“Aku-aku mengerti.”
“Bagus.” Kamaswara menepuk bahu Peri Sesepuh. Saat itu pula ia merasakan sakitnya yang selama ini menyesakan dada hilang seketika. Menarik napas dalam-dalam. Terasa ringan dan lega.
“Tugas apa yang akan kau berikan padaku?”
Kamaswara tertawa. “Kau sudah gak sabar rupanya. Tugasmu mudah. Kau tinggal bersatu tubuh dengan Pemuda itu.”
Peri Sesepuh membeliak. Membayangkan saja rasanya tidak perah, kini ia akan menikmati indahnya cinta bersama pemuda itu. Ia menatap ke sekujur tubuhnya. Seketika bayangan kebahagiaan itu hilang.
“Sudah kukatakan, kau akan menjadi perempuan paling cantik di dunia ini. Mari ikut denganku.”
Sebelum pergi Kamaswara memasang kembali Ilmu Pemagar Roh, sekaligus ia membebaskan jiratan yang membuat kedua peri itu kaku.
Peri Angsa Putih menangis, memeluk Peri Bunda.
“Kenapa dia jadi seperti itu, Peri Bunda?”
Peri Bunda menggeleng. “Kata-kata mahkuk terkutuk itu berhasil masuk ke relung hati terdalam Peri Sesepuh. Dan apa yang dikatakan semuanya benar, menurut sudut pandang si penderita. Peri Sesepuh kita tahu, sejak dulu ia selalu memencilkan diri karena tak kuat menanggung malu dan cibiran semua orang. Karena itulah mengapa ia mengambil keputusan salah. Dan menurut sudut pandangnya, itulah jalan yang benar.”
“Lalu apa yang akan terjadi dengan Wiro Sableng, Peri Bunda?”
Peri Bunda terdiam sesaat. Sekilas ia teringat dengan wajah tampan pemuda itu. Sudah lama ia tak pernah melihat. Bagaikan gelombang yang menerpa karang, rasa rindu itu kini membuncah memenuhi isi hati.
“Yang Kutahu, Ilmu Penyedot Batin adalah ilmu Iblis terkutuk yang keberadaannya pernah menggegerkan dunia persilatan ratusan tahun yang lalu. Aku pikir ilmu itu telah musnah bersama kematian Iblis Betina Gendawa Maharta. Ternyata lelaki terkutuk itu memiliki ilmu laknat Gendawa. Kalau sampai Peri Sesepuh berhasil membujuk Wiro, dan mereka melakukan hubungan badan layaknya suami istri, maka terkuraslah semua kesaktian pemuda itu. Dan nyawanya tidak akan tertolong lagi.”
“Dewa Agung, kapan ujian ini akan berakhir?” pekik Peri Angsa Putih. Ia kembali memeluk Peri Bunda. “Apa yang bisa kita lakukan, Peri Bunda?” isak tangis mulai terdengar dari bibir Peri Angsa Putih. Peri Bunda tidak mampu memberikan tanggapan apapun. Hanya kedua matanya yang terpejam dan bulir air mengalir dari lipatan kelopaknya.
(Bersambung)
Part 8
Kita kembali kepada Ratu Duyung dan Kakek Segala Tahu.
Sesaat setelah Wiro Sableng pergi, Ratu Duyung yang masih penasaran dengan kepergian suaminya langsung bertanya, “Kek, katamu Wiro akan mendapat petunjuk di suatu tempat. Menurutmu, kira-kira petunjuk apa yang akan didapatkan suamiku? Juga siapa gerangan yang memberi petunjuk? Kenapa tidak langsung lewat mimpimu saja, Kek?”
Sebelum menjawab Kakek Segala Tahu terbatuk-batuk. Menggoyangkan kaleng rombengnya terlebih dahulu. “Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Wiro, suamimu. Karena itulah kau selalu berharap, dalam suasana yang sangat buruk ini tidak ada lagi perpisahan. Kau ingin selalu bersama sampai anakmu lahir kan? Tapi ingat satu hal. Adakalanya sesuatu yang sangat besar membutuhkan pengorbanan yang lebih besar pula. Mengenai petunjuk apa yang akan didapat, sampai sejauh ini pun aku masih belum bisa menduga. Yang jelas, semuanya pasti ada kaitan dengan kekacauan dunia yang menimpa saat ini. Andai seorang pendekar besar saja seperti halnya suamimu dan juga dirimu berlepas tangan, memilih untuk menyelematkan diri sendiri, maka jangan harap bencana ini akan sampai pada ujungnya.”
Mendengar jawaban Kakek Segala Tahu, Ratu Duyung sampai menggigit bibir bawahnya. Memang pernah terlintas dalam benak agar suaminya tetap berada di sisi hingga sang buah hati lahir. Itu ia lakukan demi masa depan anaknya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu dengan Wiro Sableng. Karena selama kabut celaka itu menutupi pandangan, setiap langkah yang dibuat, maut selalu mendatangi. Beberapa kali Wiro Sableng hampir tewas akibat keganasan orang-orang Kerajaan Perut Bumi.
Sejak dirinya mengandung, boleh dikatakan segalanya selalu diperhitungkan. Terlebih dalam hal keselamatan. Kalau sebelumnya para sahabat, atau orang lain yang menjadi poin utama, tidak untuk sekarang. Dirinya dan suaminyalah yang harus diutamakan. Memang terkesan hanya mementingkan diri sendiri, tapi mau bagaimana lagi ? Dia butuh suami saat menjelang sang buah hati lahir ke dunia. Dan anaknya nanti butuh seorang ayah sebagai tempat berlindung.
“Kek, aku memang pernah berfikir untuk hidup normal seperti layaknya pasangan suami istri pada umumnya, tapi Demi Gusti Allah, tak pernah terlintas sedikitpun untuk sampai hati berlepas tangan dari bencana dunia persilatan.”
“Mengharapkan hidup tenang, damai dan bahagia dalam mengarungi rumah tangga itu adalah sesuatu hal yang wajar. Apalagi beberapa bulan ke depan kamu akan menjadi seorang ibu. Tentu ibu mana yang tega melihat anaknya terlahir dalam kondisi yang penuh kekacauan begini. Tidak ada satu ibu pun di dunia ini yang menginginkannya. Aku memahami perasaanmu, Ratu Duyung. Tapi ada satu hal yang harus kau ingat selama sepanjang hidupmu. Memiliki suami seorang pendekar besar, dan selalu menjadi andalan dunia persilatan, tanamkan di lubuk hati terdalam, kau harus rela dan siap kehilangan dirinya. Kapanpun!”
Cukup lama Ratu Duyung terdiam. Hingga akhirnya wanita cantik dengan mahkota kerang yang selalu menghiasi kepala mengangguk perlahan.
Kakek Segala Tahu tersenyum. “Dari pada kamu terus berlarut-larut memikirkan anak sableng itu, lebih baik kau isi perutmu. Sejak tadi pagi kamu belum makan. Coba lihat, tinggal seberapa persediaan makanan kita.”
“Aku sudah lihat tadi Kek. Hanya tinggal tersisa lima batang singkong.”
Kakek Segala Tahu menarik napas panjang. “Sudah waktunya aku keluar. Kau tetap di sini. Jangan lakukan apapun selama aku tidak ada.” Kakek Segala Tahu hendak melangkah, tapi sosok tua bercaping itu membatalkan niatnya.
“Celaka!” Wajah orang tua sedikit memucat.
“Ada apa, Kek?”
“Orang-orang laknat Kerajaan Perut Bumi sepertinya sudah tahu keberadaan kita. Aku mendengar ada beberapa orang menuju tempat ini.”
Kedua mata Ratu Duyung membeliak.
“Kau jangan jauh-jauh dariku. Ada lebih dari lima orang menuju ke sini.”
Ratu Duyung mempertajam pendengarannya. Butuh waktu lama hingga ia akhirnya bisa mendengar langkah kaki yang mendekati goa di mana mereka berada.
“Dua Calon Mayat dalam goa! Keluar kalian! Sebutkan nama dan gelar, lalu gorok leher kalian!” teriak salah seorang dari luar goa. Kakek Segala Tahu memberi isyarat pada Ratu Duyung agar tetap diam dan waspada.
“Siapkan pukulan paling mematikan. Tunggu aba-aba dariku.”
Ratu Duyung mengangguk. Ia segera mengalirkan hampir separuh tenaga dalam ke sepasang matanya. Tidak tanggung-tanggung, ia siap melepaskan ilmu kesaktian yang paling mematikan. Sepasang Pedang Sinar Dasar Samudra. Dulu ia pernah bercerita kepada Wiro Sableng, kalau Ilmu kesaktiannya ini mungkin berasal dari orang yang sama dengan Ilmu Sepasang Pedang Dewa yang dimiliki Wiro Sableng. Juga dengan ilmu milik nenek sakti Sinto Gendeng. Sepasang Sinar Inti Roh. Mengingat cara penggunaan dan rapalan ajian yang sangat mirip. Hanya saja itu hanya sebatas dugaan.
“Bangsat haram jadah! Di panggil diam saja! Apa kalian tuli atau bisu? Lekas, sebutkan siapa nama kalian atau aku timbun kalian hidup-hidup di dalam goa!”
Benar dugaan Kakek Segala Tahu. Di luar goa ada lebih dari lima orang yang mengenakan jubah hitam. Ciri keronco Kerajaan Perut Bumi. Orang yang tadi berteriak dan sekaligus menjadi pimpinan dari enam orang lainnya memberi isyarat kepada dua anak buahnya untuk masuk ke goa.
Dua orang melompat. Baru saja kaki masing-masing menginjak bibir goa, dua larik sinar biru yang membentuk gunting raksasa melabrak keduanya. Suara ledakan sedahsyat guntur memekikan telinga. Tidak terdengar adanya jeritan, akan tetapi yang terlihat sungguh mengerikan. Dua orang tadi kini tidak bisa dikenali lagi. Tubuhnya hancur tercerai berai. Bau daging sangit terbakar memenuhi udara sekitar. Beberapa potongan daging terlempar ke lima orang yang tersisa. Kalau mereka tidak melompat, menghindar, tentu akan terkena hantaman daging-daging gosong.
“Bangsat haram jadah!” Terbelalak lelaki ini. Kedua matanya yang bisa melihat dengan jelas, seolah kabut yang membutakan mata tidak ada, karena itu pula, kejadian singkat disaksikan secara jelas. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menjadi ciut nyalinya.
Di depan pintu goa ada pohon yang sangat besar. Untuk bisa masuk harus bergantian, paling banyak dua orang. Ini jelas merugikan bagi mereka. Karena apa yang dilihatnya barusan pasti akan terulang.
“Bagaimana dua kunyuk itu tahu kalau ada orang masuk? Tidak mungkin mereka mampu melihat.”
“Aku yakin salah seorang dari keduanya memiliki ilmu pendengaran yang sangat tajam, Suaka. Kelebihan itu sangat menguntungkan dirinya, karena tidak akan terpengaruh dengan Kabut Buta atau Kabut Kematian yang menjadi andalan kita.”
Kedua rahang Suaka menggembung. “Jika begitu, kita bunuh terlebih dahulu orang yang memiliki pendengaran setajam penglihatan.”
“Lalu bagaimana kita masuk?” salah seorang yang sebelumnya telah hilang keberanian karena melihat keganasan pukulan lawan mengajukan pertanyaan. Terdengar jelas sekali ada getar pada suaranya.
Suaka terdiam sejenak. Setelah berfikir mencari-cari akal akhirnya ia menemukam cara untuk bisa masuk bersamaan. Pada dua anak buahnya ia memerintahkan agar menghantam pohon besar yang menghalangi mulut goa.
“Tunggu aba-aba dariku!”
Dua orang siap melepaskan pukulan sakti ke pohon besar. Saat dilihat pimpinannya memberikan perintah, bersama bentakan, dua larik sinar merah melabrak. Ledakan keras bersahutan dengan gemuruh pohon tumbang. Saat itulah, Suaka memberi komando agar seluruh orang melesat bersamaan.
Di dalam goa, Ratu Duyung yang tidak bisa melihat apapun hanya bisa mendengar kelebatan beberapa orang. Sedangkan Kakek Segala Tahu yang tahu di sebelah mana saja musuh-musuhnya berdiri, berbisik kepada Ratu Duyung.
“Pertajam pendengaranmu. Dan selalu perhatikan setiap aba-aba yang aku berikan.”
Ratu Duyung mengangguk. Dua pukulan sakti telah ia siapkan.
“Hahaha .... Benar dugaanku, Suaka. Monyet Tua inilah yang jadi biang keroknya. Dan seperti perintahmu, Orang Tua Buta ini harus menjadi tumbal utama di tempat tinggalnya.”
Suaka tersenyum. Lelaki ini sejak pertama masuk cukup terkejut begitu melihat mangsanya. Walaupun ia belum pernah bertemu muka, tapi melihat dari ciri-cirinya ia yakin sekali kalau kedua mangsanya kali ini tokoh-tokoh besar golongan putih.
“Kalau tidak salah orang tua buta ini berjuluk Kakek Segala Tahu. Beruntung sekali kita menemukan mangsa yang sangat besar.” Suaka tertawa bergelak. “Pimpinan Kita pasti bangga dan tentunya pujian setinggi langit akan kita dapatkan dari baginda raja.”
“Dan drajat kita akan makin tinggi di kerajaan, Suaka, hahaha....”
“Para Kecoa Busuk Kerajaan Perut Bumi senang bermimpi di siang bolong rupanya. Majulan kalian! Aku sudah tidak sabar ingin menjadikan daging gosong seperti dua kambrat kalian barusan!”
Suaka mengatupkan grahamnya. “Betina Bunting!” bentaknya garang. “Nyawa sudah hampir minggat, neraka sudah di depan mata, kau masih bicara pongah tak karuan rupa. Aku sudah tahu siapa kamu. Karena itu, aku tidak akan menunda kematianmu lebih lama lagi!” Selesai berucap ia memberi perintah kepada dua anak buahnya untuk meringkus Ratu Duyung. Sementara dia dan dua lainnya menerjang ke Kakek Segala Tahu.
Ratu Duyung yang telah siap dengan pukulan saktinya tidak menunggu lama, begitu telinganya mendengar gerak serangan, ia segera melepaskan dua pukulan sakti sekaligus. Namun pukulan ganas itu hanya mengenai tempat kosong. Ledakan keras mengguncang dinding goa. Lempengan batu banyak berjatuhan. Pecahan yang lebih kecil banyak bermentalan ke segala arah. Debu membuntal, memenuhi ruang goa.
Orang-orang Kerajaan Perut Bumi yang telah banyak menghadapi lawan tangguh membuat ia banyak pengalaman. Setiap serangan pertama yang dibuat selalu tipuan. Langkah ini memang selalu berhasil. Dan pada serangan kedua, karena jarak sudah terlalu dekat, mereka menjadi leluasa untuk menggempur lawannya.
Hanya mengandalkan pendengaran, Ratu Duyung yang selama hidupnya lebih banyak mengandalkan indra penglihatan, akibatnya kepandaian yang dimiliki seakan turun jauh. Dalam waktu singkat ia terdesak hebat. Beberapa kali pukulan ganas hampir menghantam wajah dan tubuhnya.
“Dalam waktu dekat, tubuh mulusmu akan aku buat hancur tak bisa dikenali, Betina Bunting!”
Lelaki ini menyerang dua kali lebih ganas dari sebelumnya. Semakin yakin dalam lima jurus ke depan ia sudah berhasil mendaratkan pukulan ke salah satu bagian tubuh lawannya.
Ratu Duyung memekik, saat satu pukulan ganas lewat seujung kuku dari pelipisnya. Terlambat sedikit saja menghindar, maka remuk sudah wajahnya. Dia berusaha melompat, keluar dari kalangan pertempuran, tapi dua orang lawannya tidak memberi kesempatan sedikitpun. Serangan bagaikan air bah menggempur habis-habisan. Perempuan cantik bermata biru yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, kini harus bertahan mati-matian demi bisa terhindar dari serangan lawan, tanpa mampu membalas serangan.
“Ke neraka sekali pun kau lari aku kejar! Hanya segini saja kah kemampuan Ratu Duyung yang namanya tersohor itu? Hahaha.... Memalukan! Aku pikir dengan menyandang nama besar, sedikit kesulitan untuk menaklukanmu, nyatanya, jauh dari yang kubayangkan. Nama besarmu tak lebih hanya sebatas isapan jempol belaka.”
Diejek dan direndahkan begitu rupa setiap orang pasti akan meradang, menyerang dengan membabi-buta. Akan tetapi, Ratu Duyung yang menyadari posisinya, sangat-sangat tidak diuntungkan, ia memilih meredam amarah yang membeludak. Seperti yang dikatakan Kakek Segala Tahu, harus tetap pada satu titik, yakni pendengaran. Karna sekali terpancaing, maka nyawa bisa melayang.
“Sebelah kiri belakang!”
Mendengar aba-aba dari Kakek Segala Tahu, secepat laju lesat suara, Ratu Duyung pukulkan tangan kanan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
Buk!
Suara beradunya pukulan cukup keras terdengar. Hanya saja tertimpa dengan jerit kesakitan setinggi langit. Lelaki ini melompat mundur. Sebatas siku tulangnya remuk mengerikan. Hancuran tulang banyak merobek daging membuat darah mengalir deras. Kawannya yang terkejut melihat itu melompat mendekati. Maksudnya hendak menolong. Sayangnya, keputusan yang dipilihnya ini adalah sebuah kesalahan besar. Ratu Duyung yang sejak tadi mencari celah, tidak menyia-nyiakan kesempatan. Selarik cahaya putih yang dilepas dari pukulan saktinya, berhasil membuat dua orang terpanggang hidup-hidup. Jeritan menghilang begitu roh keduanya melesat ke neraka.
Kakek Segala Tahu tertawa mengejek melihat dua orang kembali tewas. Sedangkan Suaka sudah sejak tadi melompat mundur dari kalangan perkelahian, sesaat sebelum salah satu kepala anak buahnya rengkah.
Tidak seperti Ratu Duyung yang cukup kesulitan karena tidak biasa bertarung hanya mengandalkan pendengaran. Bagi Kakek Segala Tahu, yang memang selama hidupnya melakukan itu, dan bahkan sudah menjadi andalan, maka tidak heran, dalam waktu singkat ia telah berhasil memberikan desakan hebat kepada ketiga orang musuhnya.
“Tua Bangka Buta ini, kalau tidak lekas dihabisi, urusanku akan jadi kepiran!” Suaka mengumpat dalam hati. Serangan ganas bertubi-tubi mengarah ke titik mematikan lawan. Sayangnya, setiap sasaran yang dibuatnya selalu mengenai tempat kosong.
“Hihihi .... Perasaan yang buta aku, kenapa kalian selalu mengarah ke tempat kosong? Atau hanya sebatas ini kemampuan orang-orang Kerajaan Perut Bumi?”
“Tua Bangka Setan Alas! Berhenti mengoceh atau aku robek mulutmu!”
“Dari tadi ngomong aja! Tapi sampai saat ini jangankan merobek mulut, menyentuh baju rombengku saja kamu tidak mampu. Hihihi.... apa perlu aku sobekin sebelah bawah baju dekilku lalu kulempar ke kalian agar bisa menyentuh?”
“Keparat,! Jahanam!” Suaka lipat gandakan serangan. Dua anak buahnya melakukan hal yang sama. Kakek Segala Tahu bukan hanya mampu menghindar dari serangan ganas yang mengurung dirinya, di luar dugaan, ia bahkan mampu melakukan serangan balasan. Dan lagi-lagi dalam waktu singkat ia telah mendesak ke tiganya.
Suaka memukul ganas ke arah mulut Kakek Segala Tahu. Kali ini ia yakin akan mengenai sasaran, karena posisinya sangat menguntungkan. Sekali pukulan itu mendarat, maka mulut Kakek Segala Tahu bukan hanya robek, orang tua ini tentu akan mengalami nasib mengerikan. Tulang wajah melesak ke dalam, dan sebagian kepalanya akan hancur.
Sayangnya, semua itu hanya ada dalam benak, harapan besar Suaka. Yang terjadi justru perutnya hampir saja jebol di hantam kaki kurus Kakek Segala Tahu andai saja ia tidak lekas mundur membatalkan serangan. Di belakangnya, melihat kesempatan besar, dua orang anak buah Suaka menerjang. Lelaki ini yakin, salah satu dari anak buahnya berhasil mendaratkan pukulan ganas ke lawannya.
Prakk!!!
Dua bola mata Suaka membeliak, bersama jerit kematian salah satu anak buahnya. Kepala lelaki itu rengkah di hantam tongkat butut Kakek Segala Tahu.
Selagi ia terkejut melihat kematian yang sangat mengenaskan, lawannya berteriak, “Sebelah kiri belakang!”
Belum mampu mencerna apa maksud dari teriakan itu, suara beradunya pukulan bersama jerit kesakitan kembali melumerkan nyali dirinya. Dalam keadaan yang sangat menguntungkan baginya saja ia tak mampu menaklukan dua orang ini, yang sebelumnya sangat diremehkan. Bagaimana ia mampu meneruskan pertempuran, yang tersisa kini hanya ia dan satu anak buah?
Suaka memberi perintah lewat gerak tangannya kepada anak buah untuk melepas pertanda. Lelaki ini melompat keluar. Kakek Segala Tahu melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi ke mulut goa. Hempasan angin melabrak dinding goa. Lantai bergetar hebat. Sebagian mulut goa hancur bermentalan. Sayangnya, lelaki yang diincar telah lebih dulu berada di luar.
Suara nyaring terdengar keras merobek desir angin serta riuhnya suara binatang.
“Celaka! Terkutuk itu memanggil kawanan lainnya.”
Ratu Duyung sampai tersurut satu langkah ke belakang. Melawan dua orang saja ia harus bertahan mati-matian, kini rombongan lainnya akan datang.
“Apa yang harus kita lakukan, Kek?” bisik Ratu Duyung. Kakek Segala Tahu menggeleng.
“Sudah tidak ada waktu. Cepat kita habisi manusia satu itu lalu tinggalkan tempat celaka ini!”
Ratu Duyung mengangguk, ia kembali mengerahkan tenaga dalam ke kedua matanya. Sepasang Sinar Dasar Samudra siap dilepaskan. Akan tetapi Kakek Segala Tahu berteriak, “Tahan Serangan!”
Orang tua ini menarik lengan Ratu Duyung, melompat jauh ke sisi kiri goa. Lima cahaya kuning sebesar jambu biji melabrak tempat kosong. Umumnya, setiap ilmu kesaktian akan meledak ketika membentur benda keras atau apapun. Tapi yang terjadi sekarang sungguh di luar akal sehat orang-orang persilatan. Cahaya kuning itu melesak ke dalam tanah, dinding tanpa mengalami kerusakan sedikitpun. Andai Ratu Duyung dapat melihat itu, tentu ia akan terheran-heran menyaksikan ada ilmu pukulan yang sulit diterima akal.
Melihat lawannya membatalkan serangan dan memilih menghindar, wajah Suaka menjadi pucat. Kini sudah tidak ada lagi ilmu yang menjadi andalannya.
“Tua Bangka Buta itu sepertinya tahu kelemahan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi.” batinnya. Kecemasan besar kini menguasai isi hati. “Menghadapi dua cecunguk ini dengan pukulan lain hanya bunuh diri. Agaknya, aku harus terus-terusan mengeluarkan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi. Dengan begitu aku punya waktu untuk menunggu kawan-kawan datang, tanpa takut mendapat serangan balasan.”
Lelaki ini kembali merentangkan kedua kakinya. Tangan kanan diangkatnya tinggi-tinggi. Dari jari jemarinya yang membentuk cakar keluar cahaya kuning. Dalam kejapan mata lima cahaya itu melesat ke arah dua orang lawannya.
Kakek Segala Tahu kembali menarik Ratu Duyung, melompat jauh ke sisi kanan goa. Kejadian itu terus berulang, hingga Ratu Duyung yang tidak mengerti apa yang sedang dilakukan orang tua bertanya heran.
“Apa yang sedang kau lakukan, Kek? Bukankah katamu kita harus segera membunuh bajingan itu? Lalu segera pergi dari sini?”
“Aku merasakan getaran halus di kakiku. Dan mendengar lima desisan pelan jari-jari lawan. Itu ciri-ciri ilmu iblis andalan orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Kau tidak bisa membalas menyerangnya.”
“Mengapa?”
“Racun yang terkandung dalam cahaya itu akan meledak saat terkena pukulan lawan. Dalam waktu singkat kau akan mati rasa lalu jantungmu berhenti berdetak.”
Mendengar itu Ratu Duyung menjadi bergidik ngeri. Beruntung tadi ia tidak gegabah dengan nekat membalas serangan lawan. Kalau kemauannya dituruti, tentu saat ini sosoknya telah berubah menjadi bangkai.
“Lalu sampai kapan kita melakukan ini?” tanya kembali setelah kakinya menginjak lantai goa. Tidak tahu sudah berapa kali ia menghindari serangan. Yang jelas, menghindar tanpa mampu melakukan serangan balasan adalah kekalahan yang tertunda. Ratu Duyung tidak mau mengalami itu.
Kakek Segala Tahu sendiri bukannya tidak menyadari akan keadaannya. Ia juga tahu, kalau musuhnya sengaja melakukan itu demi menunggu bantuan datang.
“Hahaha.... begitu terus sampai malaikat maut bosan melihatnya! Lalu merampas paksa nyawa busuk kalian!”
Kakek Segala Tahu berbisik kepada Ratu Duyung.
“Di lompatan berikutnya, kau harus ke mulut goa. Dari sana kau bisa membalas menyerang. Tapi harus hati-hati. Jangan lakukan serangan kalau manusia itu mengarahkan pukulan kepadamu.”
“Bagaimana aku tahu dia mengarahkan padaku atau tidak, Kek?”
“Nanti aku kasih tahu waktu yang tepat.”
Ratu Duyung mengangguk. Lalu dalam lompatan terakhir, menghindari serangan ia berkelebat ke pintu goa. Melihat itu Soaka mengarahkan Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi ke arah Ratu Duyung. Dari arah samping melesat sinar putih kebiruan menghantam tubuhnya. Lelaki ini menjarit setinggi langit. Tubuhnya gosong terkena pukulan sakti yang dilepas Kakek Segala Tahu. Ketika terbanting keras ke lantai goa nyawanya telah tiada. Kakek Segala Tahu cepat melompat, mengajak Ratu Dunyung meninggalkan tempat itu. Hanya saja langkah kaki sosok tua renta ini menjadi terhenti manakala bentakan keras terdengar jelas.
“Tua Bangka Terkutuk! Setelah kau membunuh orang-orangku, kau mau bersembunyi di ketiak wanita?!”
“Dia dua tokoh besar golongan putih,” memberitahu anak buahnya Suaka.
“Aku tahu dua orang ini. Lekas, membentuk kurungan. Aku mau lihat, apakah dia bisa lolos dari ancaman Pukulan Lima Kutuk Dari Perut Bumi dengan serangan melingkar?”
Selusin orang telah melompat, mengurung keduanya. Ratu Duyung yang tidak tahu apa yang harus ia lakukan hanya bisa menunggu perintah dari Kakek Segala Tahu. Tapi kakek itu tetap diam.
“Apa yang harus aku lakukan, Kek?”
“Agaknya ini akhir dari hidup kita.”
“Apa maksudmu, Kek? Aku tidak suka kau berkata begitu. Pasti ada cara. Kau memiliki segudang pengetahuan di dunia ini. Kau pasti tahu caranya, Kek.”
Kakek Segala Tahu menarik napas panjang dan berat. “Seberapa besar dan luas pengetahuan seseorang, adakalanya ia terkurung oleh keadaan. Hari apes tidak memandang siapapun! Aku orang tua buta yang oleh dunia persilatan di juluki Kakek Segala Tahu, hari ini aku tidak tahu kalau kematian akan datang menjemputku.”
“Kek, aku tidak suka kau berkata seperti itu! Lakukan sesuatu! Aku yakin kau tahu apa yang harus kita lakukan!”
Di depan sana orang-orang Kerajaan Perut Bumi telah merentangkan kaki masing-masing. Mengacungkan tangan setinggi-tingginya. Dari selusin tangan memancar cahaya kuning. Semakin lama semakin membesar.
“Kek!” Ratu Duyung kembali teriak. Kakek Segala Tahu sudah merasakan getaran halus lewat kakinya. Pertanda ilmu andalan lawan telah siap merenggut nyawanya.
“Berpasrah diri kepada Gusti Allah mungkin jalan satu-satunya. Mengakui kalau aku dan dirimu hanya hamba yang rendah. Dan berharap, semoga Gusti Allah mengampuni dosa-dosa kita di masa lalu.”
Mendengar kata-kata Kakek Segala Tahu, putus sudah harapan Ratu Duyung. Orang tua yang selama ini menjadi tumpuan harapan kini telah mengemukakan keterbatasannya. Tiada lagi yang bisa menolong, selain Gusti Allah Semata. Dialah satu-satunya kekuatan dan pengetahuan tanpa batasan.
Ratu Duyung menggenggam erat lengan kurus Kakek Segala Tahu. Terbayang sosok suaminya yang kini ia sendiri tidak bisa memastikan, apakah ayah dari anaknya nanti masih hidup atau sudah pergi, menunggu dirinya di alam baka? Mengingat masa-masa indah bersama pemuda itu, kedua mata indah perempuan ini berair. Meluncur deras air mengalir membasahi pipi.
“Jika itu memang sudah takdir dari-Nya, aku hanya bisa berharap, semoga Gusti Allah mau berbelas kasihan mempertmukan kembali aku dan suamiku di alam sana.” lirih Sang Ratu. Seperti Kakek Segala Tahu, kini ia hanya bisa pasrah menunggu saat-saat menjelang ajalnya datang.
Namun, jeritan keras yang datang dari orang-orang yang mengurungnya membuat Kakek Segala Tahu dan Ratu Duyung heran. Perempuan bermata biru ini jelas tidak bisa melihat apa-apa, tapi berbeda dengan Kakek Segala Tahu. Ia mendengar ada suara seperti benda terbakar. Lalu di susul dengan bau daging gosong terbakar.
“Ratu Duyung, kau melihat ada api? Atau bau asap?”
“Aku tidak melihat apapun, Kek? Aku juga tidak mencium bau asap. Hanya bau daging gosong terbakar.”
Di depan sana, secara bergantian, orang-orang Kerajaan Perut Bumi mengalami pembakaran hebat pada tubuhnya. Ia merasa api besar menghanguskan sosok. Padahal, tidak ada api sedikitpun. Jerit kematian terdengar dari setiap tubuh yang kelojotan. Dalam sekejap sosok itu berubah menjadi abu, lalu seakan tersedot masuk ke dalam perut bumi. Beberapa orang yang tersisa mencoba melarikan diri. Sayangnya, baru dua langkah bergerak, hal yang serupa terjadi atas diri mereka. Jerit kesakitan menghiasi halaman goa di sebelah tumbangan pohon besar. Terbanting, berguling-guling lalu berubah menjadi abu dan tersedot masuk ke dalam tanah.
“Mereka semua berubah menjadi abu. Ini sungguh aneh. Tidak ada api, tidak ada pukulan sakti kenapa bisa terjadi? Gusti Allah telah menunjukan kuasanya. Membuktikan bahwa sehebat apapun manusia, dia hanya mahluk lemah dan tidak tahu apa-apa.”
“Kau benar Kek. Aku bersyukur masih diberi umur panjang. Hanya saja, apa kau samasekali tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi barusan?”
“Untuk saat ini aku tidak bisa menjelaskan. Tapi ada satu hal yang harus kau tahu, bahkan seluruh tokoh golongan putih. Ada kekuatan besar dan dahsyat yang sedang mengancam kita semua.”
“Maksudmu, Kek? Kalau soal kekuatan yang barusan terjadi bukankah itu yang menyelamatkan kita?”
Kakek Segala Tahu mendongak ke atas. Menggerakan kaleng rombengnya.
“Itu takdir dan kuasa Gusti Allah. Namun di sisi lain aku merasakan ada serangan jarak jauh dari orang-orang Kerajaan Perut Bumi. Apa yang kita alami barusan adalah salah satu dari sekian banyak keganasan ilmu langka mereka.”
“Secara tidak langsung kau mengatakan mereka mati akibat ulah orang-orang Kerajaan Perut Bumi?”
“Firasatku mengatakan demikian,” jawab Kakek Segala Tahu sambil menganggukan kepala perlahan.
“Tidak mungkin dan tidak masuk akal, Kek.”
“Ada banyak yang tidak masuk akal sejak Kerajaan Perut Bumi muncul.”
Ratu Duyung mengusap air matanya yang sudah tampak mengering.
“Aku tidak mau lagi berbicara soal kerajaan itu, Kek. Sekarang apa yang akan kita lakukan?”
“Tempat ini sudah tidak aman. Kita harus cari tempat persembunyian lain.”
“Tapi bagaimana dengan Wiro nanti, Kek? Dia akan kesusahan mencari kita.”
“Soal anak sableng itu, biarlah nanti kita pikirkan. Sekarang, ikuti aku.” Kakek Segala Tahu berlari ke arah utara. Ratu Duyung mengikuti dari belakang.
Part 9
Wiro Sableng memperlambat laju lesatnya, saat dilihatnya Resi Septuning Jagat memintanya untuk berhenti.
“Kek, kenapa kau tidak ikut bersamaku?”
Sebelumnya Wiro Sableng selalu menyebut lelaki berjenggot putih itu orang tua, tapi setelah ia tahu siapa mahluk dihapannya ini, perubahan sikap pun terjadi atas dirinya.
Resi Septuning Jagat, dalam perjalananya menceritakan secara singkat, siapa dirinya, juga mengenai kesaktian Wiro Sableng dan senjata mustika. Sesaat setelah tahu Wiro Sableng pun langsung membungkuk hormat. Tidak di nyana, hari ini ia akan bertemu langsung dengan tokoh besar pencipta segala jenis ilmu dan senjata sakti.
Resi Septuning Jagat tersenyum. Mengusap janggutnya seraya berkata, “Seperti yang sudah aku jelaskan tadi, Anak Muda. Di alam para dewa pun ada banyak tingkatannya. Dewa dengan tingkatan terendah adalah di mana aku dan kamu berada sebelumnya. Setiap dewa paling bawah tidak bisa memasuki tingkatan lebih tinggi. Andai memaksa, maka hancur lebur lah tubuh mereka. Kau mungkin berfikir, bukankah para dewa abadi? Meskipun hancur mereka akan kembali lagi.” Resi ini tersenyum lebih dulu sebelum melanjutkan. “Dewa memang abadi, tapi tidak jika mereka melanggar aturan. Salah satunya ya memasuki tingkatan lebih tinggi dari alamnya.”
“Kalau para dewa saja bisa hancur bagaimana dengan diriku, Kek?”
“Karena itulah mengapa tadi aku memintamu untuk mempergunakan ilmu kesaktian yang bersumber dari kitab yang sama. Hanya ilmu itulah yang mampu menjadi pelindung atas tubuhmu.”
“Kitab Wasiat Malaikat?”
“Para dewa menamainya Kitab Terlarang.”
Dalam hati Wiro berpikir, ilmu mana yang harus ia gunakan. Sepasang Kaki Malaikat yang tadi memporak-porandakan kerajaan para dewa? Atau Tangan Kasih Malaikat yang mampu meredam kehancuran? Atau ....”
“Anak Muda, kau harus cepat. Waktu kita tidak banyak. Ingat satu hal, alam para dewa berbeda jauh dengan alammu. Setiap kedipan mata yang kau habiskan di sini, di alammu berlangsung jauh lebih cepat.”
Kedua mata murid Sinto Gendeng membeliak. “Maksudmu, andai aku habiskan seharian di sini bisa belasan hari di duniaku?”
Resi Septuning Jagat mengangguk perlahan.
“Gila! Kenapa kau tidak bilang dari tadi, Kek? Ya Tuhan... sudah berapa lama aku meninggalkan mereka semua.”
“Karena itulah sejak tadi aku katakan padamu, Anak Muda, kita tidak punya waktu banyak.”
Wiro Sableng menggaruk kepalanya habis-habisan. Benar-benar gila dan tidak masuk akal. Jika tahu sejak awal, tentu dia tidak akan sibuk bertanya. Kenapa orang tua itu tidak menjelaskan sejak awal.
Wiro Sableng tidak bisa berpikir lama. Apalagi sampai menduga-duga, karena semakin banyak waktu yang terbuang sia-sia, semakin banyak korban yang berjatuhan akibat keganasan orang-orang Kerajaan Perut Bumi.
Wiro Sableng memejamkan mata. Mengingat setiap ilmu kesaktian yang ada pada Kitab Wasiat Malaikat. Diurutan ke tujuh, ada sebuah gambar bayang-bayang. Gambar itu memiliki nama Ilmu Bersalin Raga Melebur Sukma. Waktu pertama kali menguasai Kitab Wasiat Malaikat ia pernah mencoba ilmu ini, tapi tidak ada perubahan apapun atas dirinya. Bahkan ketika dengan konyolnya ia meminta Ratu Duyung untuk menampar mukanya, murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini sampai melenguh kesakitan. Beruntung waktu itu Ratu Duyung hanya mengandalkan tenaga luar. Biar begitu, tetap saja, pipinya memar. Sudut bibirnya sedikit pecah.
Sesaat setelah bibir Wiro Sableng mengucap nama ilmu kesaktian, Resi Septuning Jagat melihat ada semacam cahaya putih kebiruan yang keluar dari tubuh sang pendekar. Semakin lama cahaya itu semakin terang membungkus sosok Wiro. Lalu berubah menjadi bayang-bayang, hingga akhirnya menghilang.
Orang tua ini menggeleng berulang-ulang. “Ilmu langka dan sangat terlarang. Jangankan diriku, para dewa berada dua atau bahkan tiga tingkat dariku saja tidak tahu, dari mana asal ilmu itu? Siapa penciptanya? Mungkin salah satu kepercayaan Dewa Agung. Bertujuan untuk menghukum para dewa yang sesat. Merasa paling tinggi dan mudah merendahkan mahluk lain. Atau kitab itu diciptakan setelah kekacauan terjadi di Kerajaan Langit ribuan tahun yang lalu? Sesuai dengan bunyi kutukan di Gugus Bintang, kalau suatu saat akan datang dari mahluk terendah yang memporak-porandakan Kerajaan Langit. Jika benar demikian, maka kemungkinan besar Kitab Terlarang diciptakan untuk menghukum Raja Ramanda.” Resi Septuning Jagat memutar tubuhnya, dengan kecepatan penuh ia telah berada ribuan tombak di kejauhan.
Wiro Sableng terkejut ketika mendapati langit di mana sebelumnya berwarna biru dan dipenuhi awan putih berubah menjadi hitam. Gumpalan awan raksasa memancarkan cahaya dengan jutaan warna yang berbeda. Bintang-bintang memenuhi setiap pandangan. Yang membedakan dari langit dunia ialah, bintang di sini jauh lebih besar. Cahayanya bahkan mampu menerangi kegelapan malam.
Wiro Sableng berpaling ke belakang. Ia mengira Resi Septuning Jagat masih ada di sampingnya. Ternyata orang tua itu menghilang.
Tidak jauh dari gumpalan awan raksasa, ada sebuah istana yang sangat megah. Sejauh mata memandang, Wiro melesat ke istana itu. Pemuda ini terkejut besar ketika menyadari ternyata istana itu jauh lebih besar dari dugaannya. Di pagar istana ada dua naga dan satu patung raksasa. Tingginya, jika ia berdiri di telapak kaki, maka kepalanya tidak sampai setinggi mata kaki.
Wiro Sableng melesat ke atas. Sampai di bawah pusar patung raksasa ia berhenti. Pemuda ini menggaruk kepala dan senyum-senyum sendiri.
“Gila, besar sekali,” serunya sambil cengengesan. “untung dia hanya patung. Kalau orang asli dengan tubuh segede ini, aku tidak bisa bayangin apa yang terjadi ketika melihat cewek mandi, hihihi....” Wiro Sableng menekap mulutnya.
“Astaga! Apa yang aku lakukan? Aku harus cepat!” Seakan diingatkan kembali dengan perjalanan waktu yang berbeda, tentang alam para dewa dan dunianya, Wiro Sableng melesat memasuki gerbang istana. Jika melihat patung penjaganya sebesar itu, tentu orang-orang istana pun memiliki tubuh yang sama besarnya. Sedangkan sosoknya yang kecil, apakah mampu melawan mereka semua, andai orang-orang yang akan ditemuinya tidak bersahabat? Dan yang paling mengkhawatirkan apakah ilmu kesaktian dari Kitab Wasiat Malaikat masih ampuh di sini?
Wiro Sableng terus berpikir cemas dan menduga-duga hingga tubuhnya memasuki gerbang istana. Ketika sosoknya menyentuh cahaya putih tipis yang membentuk dinding gaib di sepanjang pintu pagar, suara lonceng yang sangat dahsyat terdengar. Pagar raksasa yang terbuat dari berlian bergetar hebat. Murid Sinto Gendeng terbang menjauh. Patung kedua naga berwarna putih dan hitam terkelupas. Lempengan batu yang terukir berjatuhan. Menimbulkan suara berdebam ketika bongkahan menghantam lantai.
“Apa yang terjadi?”
Baru saja Wiro Sableng bertanya bingung pada dirinya sendiri, kepala naga yang sudah terkelupas mengerang ganas. Semburan angin laksana topan prahara menghantam Wiro Sableng. Pemuda ini menjerit. Mengira ia akan terhempas, dan tubuhnya akan tercabik-cabik, lantaran betapa ganas serangan angin yang menerpa. Tapi yang terjadi justru lagi-lagi membuat ia terpukau. Dari tubuhnya keluar cahaya putih kebiruan. Serangan angin dari naga putih lewat tanpa membuat tubuhnya cidera sedikitpun.
“Ya Tuhan.... menyesal aku selama ini telah meremehkan ilmu kesaktian dari Kitab Wasiat Malaikat. Sudah berapa kali nyawaku terselamatkan oleh ilmu ini?” Wiro Sableng terbang menjauh. Naga putih telah terkelupas sempurna. Sosok raksasa melesat ganas ke arahnya. Kalau sebelumnya naga ini hanya menyembur dengan hempasan angin, tidak untuk sekarang. Dari mulutnya yang terbuka lebar keluar api raksasa membuntal-buntal siap melumat habis sosok Wiro Sableng.
Murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede melesat ke atas. Memapasi serangan naga itu dengan dua pukulan sekaligus.
Murka Sang Malaikat!” teriak Wiro Sableng. Dua larik pukulan sakti menyongsong ke arah gelombang dahsyat semburan. Dari kejauhan terlihat betapa tidak sebanding beradunya tenaga dalam itu. Gelombang api raksasa sebesar tiga rumah yang disatukan menelan habis ilmu pukulan yang tak lebih besar dari kepala kerbau. Kalau melihat dari sudut pandang dunia persilatan, jelas, murid Sinto Gendeng akan terbakar hangus tak tersisa. Akan tetapi, di tempat ini perhitungan manusia yang mengandalkan akal pikiran tidak berlaku sama sekali. Gelombang semburan ganas yang menggila berbalik arah, menghantam ke tuannya.
Naga putih meraung keras. Mengibaskan ekor hingga api serangan musnah tak tersisa.
Krakk!!!
Suara retakan kembali terdengar. Kini dari naga hitam pasangannya. Wiro Sableng terbelalak. Menghadapi satu naga cukup kesulitan kini harus melawan keduanya.
Seperti naga putih, begitu kepalanya terbebas, naga hitam meraung marah. Semburan angin laksana topan menerpa Wiro Sableng. Walaupun tahu, serangan angin ganas itu tidak mencelakai dirinya, tapi ia memilih menghindar, menjauh. Ia harus cepat. Tidak bisa terus berlama-lama di tempat ini yang membuat semakin banyak waktu terbuang.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Selagi Wiro Sableng bertanya kebingungan derak retakan kembali terjadi. Kini pada patung raksasa penjaga. Kejut bukan main pendekar ini. Ia harus menghadapi tiga mahluk sekaligus dengan sosok tubuhnya yang kecil.
“Siapa berani mengacau di tempat ini?” Bentakan keras membuat pendengaran Wiro Sableng sedikit sakit. Kejadian ini membuat Wiro Sableng menjadi gelisah. Jangan-jangan Kitab Wasiat Malaikat memiliki banyak keterbatasan di tempat ini?
Patung raksasa telah terkelupas sempurna. Seorang lelaki garang dengan tombak terbuat dari emas menatap tajam ke arah Pendekar 212.
“Mahluk rendahan berani mengacau di tempat ini? Apa yang kau cari Anak Manusia?”
Seperti sebelumnya, Wiro merasakan tusukan tajam pada telinganya. Kalau hempasan gelombang suara saja mampu menerobos pelindung Kitab Wasiat Malaikat pada tubuhnya, bagaimana jika mahluk raksasa itu menyerang dengan tenaga dalam? Wajah Wiro Sableng mulai memucat.
Dua ekor naga meliuk-liuk siap meluncur ke arah Wiro Sableng. Andai mahluk raksasa itu tidak memberi tanda, sudah sejak tadi keduanya menyerang ke arahnya.
“Aku tidak tahu apa yang aku cari. Tapi aku disuruh ke sini untuk bertemu Dewi Asih Gendramani.”
“Lancang sekali bicaramu mahluk rendahan!”
Wuttt!!!
Tidak tahu kapan mahluk raksasa itu menggerakan tangannya, dalam sekejap saja sosok Wiro Sableng kini telah berada dalam genggaman. Wiro merasakan tekanan hebat pada tubuhnya. Sepertinya mahluk raksasa itu hendak meremas hancur tubuh mungilnya.
“Mahluk rendahan sepertimu tidak layak bertemu pimpinan kami!”
Mendengar bentakan keras dalam jarak sedekat itu telinga Wiro Sableng serasa mau robek. Ia berusaha keras untuk menyumbat pendengarannya dengan tenaga dalam. Sayangnya sia-sia. Hempasan gelombang suara seakan berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk gendang telinga.
“Hancur telingaku!” pekik Wiro dalam hatinya.
“Bukan hanya telingamu yang hancur mahluk rendahan! Tubuhmu pun akan kubuat remuk!”
Wiro Sableng kembali merasakan tekanan hebat pada tubuhnya. Berlipat-lipat jauh lebih dahsyat dari sebelumnya. Sinar putih kebiruan semakin banyak keluar dari tubuh, mencoba memberi perlindungan agar apa yang dikatakan mahluk raksasa tidak jadi kenyataan. Biar begitu, tetap saja, Wiro Sableng merasakan tubuhnya di timpa dengan batu sebesar istana kerajaan. Napas terasa sesak. Sampai berapa lama lagi mampu bertahan ia sendiri tidak tahu. Sepertinya kesaktian Kitab Wasiat Malaikat sudah sampai pada batasnya. Wiro berfikir begitu karena ia tak melihat dampak apapun pada mahluk raksasa.
Sebenarnya yang Wiro Sableng tidak ketahui adalah Ilmu Bersalin Raga Melebur Sukma hanya sebatas ilmu perlindungan diri. Kalau ia tidak menerapkan ilmu itu tentu sosoknya tidak akan sanggup memasuki alam dengan tingkatan yang jauh lebih tinggi seperti yang dijelaskan oleh Resi Septuning Jagat. Dan pada saat naga putih menyembur dengan hempasan angin, tubuhnya akan berubah menjadi abu. Begitu pun ketika saat ini, dalam genggaman raksasa, sosok kecil itu masih mampu bertahan. Padahal, sudah lebih dari separuh tenaga dalam raksasa ini keluarkan untuk bisa meremuk hancur tubuh Wiro Sableng.
Tentu saja Wiro Sableng tidak tahu, kalau sejak awal sebenarnya mahluk besar ini hatinya telah dilanda keheranan yang termaat sangat.
Dengan kekuatan sebesar itu, ia mampu memusnahkan alam para dewa di tingkatan terendah. Tapi sampai saat ini, sosok mungil tidak terdampak sedikit pun oleh remasan bajanya.
Saat ia kebingungan, dalam genggaman, di mana sosok kecil berada, ia merasakan ada perlawanan hebat. Semakin lama jari jemari tangannya terasa semakin melonggar. Ia lipat gandakan kekuatan, hingga sampai pada tingkat tertingginya. Akan tetapi mirip seperti bola yang dipantulkan, semakin keras orang memukul, semakin besar pantulan yang didapatkan. Itulah yang terjadi. Dalam waktu satu kali tarikan napas, sosok Wiro Sableng terlepas. Lalu,
Desss!!!
Tubuh pemuda itu telah berubah sama tinggi dengan dirinya. Wiro telah mengeluarkan ilmu kesaktian dalam Kitab Wasiat Malaikat. Menghempas Bumi Merobek Langit.
Kedua mata lelaki ini membeliak, memutar tombaknya dengan sebat, menghantam ke kepala Wiro Sableng. Kalau sebelumnya suara saja membuat telinga Wiro kesakitan, kini, serangan seganas itu dengan mudah sekali ia elakan. Mengandalkan kecepatan geraknya, ia menghindari serangan lawan tanpa sedikitpun kesulitan.
Lelaki ini berteriak marah. Serangannya datang bertubi-tubi bak sebuah badai yang menerpa nelayan di tengah lautan. Ia berharap ada satu saja serangan yang mengenai lawannya, tapi, sampai jurus ke sembilan serangan ganasnya tidak sedikitpun mampu menyentuh.
“Gendana, Gendani!” teriak lelaki ini pada dua naga yang sejak tadi terbang berputar-putar. Mendapat perintah dari majikannya, sepasang naga ini meraung, lalu laksana anak panah keduanya menerjang ke arah Wiro.
Dalam sibuknya menghindari serangan lawan, Pendekar 212 berhasil menghalau gebukan lelaki bertombak dengan Tiupan Sangkakala. Lelaki ini menjerit keras, terhempas ke lantai istana. Sementara dua naga yang siap merobek tubuhnya menerima pukulan telak Murka Sang Malaikat. Dua naga terpental jauh ke depan. Tubuhnya gosong terbakar. Sebelum sosoknya jatuh ke lantai, nyawanya telah melayang.
“Pendekar 212, kau telah ditunggu Sang Dewi.” Suara halus nan merdu terdengar dari arah punggungnya. Wiro Sableng berbalik. Di undakan anak tangga berdiri tiga dara cantik mengenakan pakaian warna biru muda. Kain sutra yang halus dan lembut mengikuti bentuk tubuh. Akibatnya, tubuh indah ketiga gadis cantik itu seakan tercetak sempurna. Wiro Sableng sampai menelan ludah. Kedua matanya membesar.
“Apakah yang kulihat ini bidadari?” batin Wiro. Ketiga gadis di depan sana tersenyum. Saling pandang lalu yang di tengah berkata, “Kau jangan terkejut ketika melihat paras ratu kami yang ratusan kali lebih cantik. Silahkan ikuti kami. Bukankah kau tidak punya banyak waktu?”
Meskipun ia masih terheran-heran dan sangat mengagumi kecantikan tiga gadis itu, kata terakhir segera menyadarkan dirinya. Ia memang tidak punya waktu banyak. Sekali melompat ia telah berada di belakang tiga gadis tadi.
Langkah kaki membawanya masuk ke sebuah istana. Bau harum langsung menusuk hidung. Wiro Sableng menarik napas dalam-dalam, menikmati harum yang dalam perjalanan hidupnya, belum pernah ia merasakan ada wewangian seharum ini.
“Apa yang sedang kau lakukan Pendekar?”
Wiro Sableng berpaling ke sisi kiri di mana tadi ia mendengar suara. Di sana ada dua orang penjaga. Semua wanita. Berpaling ke sisi kanan juga sama. Semuanya tidak kalah cantik dengan tiga perempuan tadi.
“Gila, apakah semua orang di istana ini wanita?” pikir Wiro Sableng.
“Kau lelaki pertama yang menginjakan kaki di istana ratu.” Menerangkan salah satu penjaga. Sepertinya, semua orang di sini bisa mendengar apa yang ia pikirkan. Akibatnya, Wiro Sableng tersipu malu. Ia harus lebih hati-hati dan berusaha keras untuk tidak berfikir macam-macam.
“Aku hanya kagum dengan harum ruangan ini. Selama seumur hidup belum pernah aku merasakan aroma seharum ini.”
“Ketahuilah Pendekar, bau harum yang kau cium bersumber dari pohon bunga tanjung.”
“Bunga tanjung?” kedua mata Wiro Sableng terbelalak. “Aku tahu bunga tanjung dan juga pernah mencium baunya. Wanginya tidak seperti ini.”
Para penjaga tersenyum. Pesona kecantikan semakin terlihat jelas di mata murid Sinto Gendeng.
“Ratu kami akan menjelaskan semuanya. Silahkan kau ikuti tiga gadis tadi.”
Wiro Sableng mengangguk. Sedikit berlari ia mengejar ketertinggalan tiga gadis yang sudah berada di depan sana.
Kalau sebelumnya ia pernah terpukau dengan kebesaran istana kerajaan langit para dewa karena kemegahannya, maka, istana di sini memiliki ratusan kali lebih sempurna. Cahaya seperti bintang-bintang menghiasi atap yang tinggi menjulang. Pasak raksasa menopang kokoh. Wiro Sableng hampir tidak bisa menutup mulutnya karena kekaguman yang sangat besar. Andai pikirannya tidak lebih dulu mengagumi penghuninya, tentu bangunan megah inilah yang akan menyita perhatiannya secara penuh.
Ketiga gadis menghentikan langkah, tepat di depan cahaya putih tipis yang membentuk tabir.
“Pendekar, silahkan kau masuk. Ratu sudah menunggu di dalam.”
Wiro Sableng menggaruk kepala. Menatap bergantian ketiga gadis di depannya.
“Apa yang kau tunggu Pendekar?” setiap kata yang keluar dari bibir indahnya selalu dihiasi dengan senyuman.
“Aku ingin bertanya sesuatu tapi khawatir kalian tidak suka.”
“Apa yang ingin kau tanyakan Pendekar?”
Wiro Sableng menggaruk kepalanya terlebih dahulu sebelum kembali berkata, “Di duniaku, perempuan seberapapun tinggi dirinya, tetap derajatnya berada di bawah lelaki. Bahkan ketika ia menjadi seorang ratu, tetap ada seorang raja yang melebihi ketinggiannya. Di sini, apakah peraturan itu terbalik?”
“Kenapa kau menanyakan itu, Pendekar?”
“Karena aku melihat di tingkatan tertinggi para dewa justru kalian lah para dewi penguasanya.”
Ketiga gadis ini tersenyum. “Ketahuilah Pendekar di atas kami masih banyak tingkatan yang jauh lebih tinggi. Mereka semua dari golongan para dewa. Akalmu tidak akan sanggup memikirkan berapa banyak tingkatan alam para dewa. Bahkan tubuhmu yang sudah terlindungi ilmu dari Kitab Terlarang tetap akan lebur terbakar ketika memasuki tingkatan yang lebih tinggi dari ini. Satu hal lagi, Kitab Terlarang tercipta di sini. Dewi sendiri yang menciptakan. Bertujuan untuk memberi hukuman para dewa di tingkat terendah yang istananya kau hancurkan.”
“Dewi Asih Gendramani yang menciptakan?”
Ketiganya mengangguk.
“Jika kau jeli, bukankah tidak ada satu bangunan pun yang rusak akibat ilmu yang kau gunakan?”
Dalam kejutnya Wiro hanya bisa mengangguk.
“Aku merasa tidak enak dengan Dewi Asih karena telah mencelakai naga dan penjaga istana.”
Ketiga gadis cantik kembali tersenyum. Saling pandang lalu salah satu berkata, “Kau tidak perlu merasa bersalah. Semua sudah di atur oleh ratu kami. Sekarang, silahkan masuk. Ratu sudah menunggu di dalam.”
Ditunggu cukup lama tapi Wiro Sableng tak kunjung melangkah.
“Apa lagi yang membuatmu bimbang, Pendekar? Ingat ucapan kakek tua itu! Kamu jangan membuang-buang waktu di sini.”
Wiro Sableng menggaruk kepalanya. Mengangguk perlahan lalu melangkah, memasuki tabir cahaya. Yang terlihat kini singasana sang ratu. Ada puluhan orang dengan pangkat berbeda-beda. Semua pandangan kini tertuju ke arahnya. Benar apa yang dikatakan tiga gadis cantik tadi, Dewi Asih Gendramani memiliki kecantikan selangit tembus. Pakaian kebesaran yang dikenakan menjuntai ke lantai. Mahkota terbuat dari perpaduan intan dan emas murni menghiasi kepalanya. Rambut hitam pekat tertata rapi. Lehernya yang putih mulus tampak jenjang. Di sana juga melingkar kalung emas menjuntai selebar telapak tangan.
Seperti yang lainnya, kedua bola mata indah perempuan ini pun menatap tajam ke arahnya.
Murid Sinto Gendeng membungkuk hormat.
“Kalian semua boleh pergi!” titah Sang Ratu. Dalam sekejapan mata semua orang telah hilang dari pandangan. Di ruang istana yang sangat luas itu kini hanya ada mereka berdua.
“Pendekar 212, mendekatlah.”
Wiro Sableng mengangguk. Melangkah lebih dekat. Menaiki undakan anak tangga hingga keduanya hanya berjarak tiga langkah saja.
“Pendekar Dua Satu Dua, lihatlah apa yang akan aku tunjukan. Dan jangan sekalipun kau bertanya sebelum aku mengijinkan. Kau mengerti, Anak Manusia?”
“Saya... saya mengerti, Ratu.” Suara Wiro Sableng terdengar bergetar. Itu terjadi karena debaran jantungnya berdetak hebat. Ia juga tidak berani menatap wajah sang ratu lebih lama dari kedipan mata. Padahal hatinya ingin sekali menatap wajah cantik itu selama mungkin.
Semua itu karena ia menyadari betapa besar jasa Sang Ratu atas dirinya, juga ia tidak ingin melakukan kesalahan sedikit pun di tempat ini. Wiro Sableng sangat hati-hati. Jangan sampai sikapnya yang ceriwis dan celamitan ketika melihat gadis cantik menjadikan dirinya gagal dalam tujuan untuk menyelamatkan dunia.
Dewi Asih Gendramani menggerakkan kedua tangannya. Seketika tempat di mana mereka berada berubah menjadi taman bunga yang sangat indah. Di antara banyak bunga-bungaan di sana juga ada satu pohon tanjung. Bau harum terasa santar dari bunga tanjung yang mulai bermekaran.
Dewi Asih Gendramani memetik satu bunga tanjung. “Kau tentu mengenal seorang gadis yang menghiasi keningnya dengan bunga ini? Cukup kau anggukan kepala jika benar.”
Wiro Sableng mengangguk perlahan. Diam-diam ingatannya terbang jauh ke Negeri Latanahsilam dulu. Di sana ia kenal dekat dengan gadis cantik bernama Luhcinta. Kemana dia kini? Apakah sama seperti yang lain, tersedot ke Tanah Jawa atau tertinggal di sana?
“Bunga ini aku titipkan pada jiwanya.” Dewi Asih melepas bunga itu. Bagaikan gasing, bunga itu berputar. Dari putaran samar-samar terlihat sosok bayi. Semakin lama, semakin jelas. Bunga tanjung terbenam ke dalam tubuh bayi lucu menggemaskan.
“Sejak dalam kandungan, aku telah menanamkan bunga ini di jiwanya. Dari cinta dan kasih sayang para dewi ia hidup. Tidak melangkah di muka bumi selain cinta dan kasih yang ditebarkan. Sampai kematian datang, cinta dan kasih akan menjadi pengiringnya. Karena itulah, aku memberikan nama paling indah untuknya. Luhcinta. Sebuah nama yang kugerakan pada hati seorang nenek yang mengasuh dirinya sejak bayi.”
Wiro Sableng terkejut ketika bayi mungil itu secara perlahan-lahan berubah menjadi anak-anak, lalu remaja hingga akhirnya sosok yang sangat ia kenal. Hampir saja meluncur panggilan nama untuk gadis cantik itu dari mulutnya. Beruntung ia ingat dengan peraturan Sang Dewi, untuk tidak bersuara saat Dewi bicara.
“Bunga tanjung yang ada di kening itu hanya hiasan. Bisa layu dan dia selalu menggantinya dengan yang baru. Dalam hidupnya dia ditakdirkan hanya mencintai satu pemuda. Dari cinta yang suci dan tulus itulah, malapetaka yang menimpa duniamu akan sirna. Kabut Kematian yang selama ini menghantui dunia manusia akan hilang. Kami sudah memberikan ilham ke salah satu orang yang kau kenal lewat mimpi mereka. Tapi sayangnya, mereka salah mengartikan. Walau demikian, kau tidak harus menyesali mengenai pernikahanmu, karena itu juga bagian dari takdir hidup yang harus kau jalani.” Dewi Asih Gendramani berpaling ke arah Wiro Sableng.
“Sekarang kau boleh bicara, Anak Manusia.”
“Jika melihat dari keterangan Ratu, harusya yang aku nikahi Luhcinta?”
Dewi Asih mengangguk. “Kekuatan bunga tanjung dari taman para dewi, dan kebesaran cinta seorang gadis, ketulusan kasih dari hati yang suci, hanya itu yang mampu memusnahkan Kabut Kematian, atau Kabut Buta orang-orang Kerajaan Perut Bumi.”
Wiro Sableng terdiam. Yang dipikirkannya saat ini bukan tentang penolakan untuk menikahi Luhcinta, tapi memikirkan bagaimana perasaan istrinya saat tahu kalau ia harus mendua? Tantu hati Ratu Duyung akan hancur. Di samping itu juga ia tidak tahu keberadaan Luhcinta.
“Seperti halnya dirimu yang rela berkorban, rela kehilangan orang yang kau inginkan saat kau menikahi gadis dari dasar samudra itu, istrimu yang sekarang pun harus siap dan rela melihat dirimu menikahi seorang gadis yang akan menjadi penyelamat umat manusia.”
Wiro Sableng menjadi termanggu. Selain mampu membaca hati, Dewi Asih juga tahu banyak tentang kehidupannya. Terutama mengenai perjalanan cintanya. Ia melihat Dewi Asih menuip sosok Luhcinta. Seketika tubuh gadis cantik dari Latanahsilam itu memudar, lalu menghilang, bersama hilangnya taman bunga. Berganti dengan ruang hampa nan gelap yang dipenuhi ribuan bintang raksasa. Yang paling besar berada di depannya, satu garis lurus dengan sebuah bunga tanjung raksasa yang terbentuk dari kepingan batu bercahaya. Dewi Asih melangkah ke arah bunga tanjung sebesar lima kali pemelukan dirinya. Di ambilnya satu keping batu yang tidak bercahaya. Batu berlian berbentuk bintang sebesar telapak tangan ternyata hanya sebuah wadah. Di tengahnya ada lubang berukuran sebesar ibu jari kaki. Membentuk segi delapan.
“Kau tahu isi dari batu bintang ini?”
Wiro Sableng menggeleng.
“Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa batu ini tidak bercahaya? Padahal yang lain memancarkan cahaya yang sangat terang.”
Dewi Asih melihat ke arah bintang yang paling besar. “Itulah Gugus Bintang Kehidupan. Dari sanalah kekuatan di seluruh jagat raya tercipta. Tapi, tanpa batu keabadian, kekuatan tidak akan bertahan lama. Kurang dari seribu tahun, bintang itu akan meredup, kehilangan sumber kekuatannya. Bunga tanjung ini tersusun dari seratus Batu Keabadian. Dan kini hanya tertinggal sembilan puluh sembilan. Yang aku pegang dan tidak memiliki cayaha ini, kehilangan batunya. Salah satu dewa serakah telah mencuri batu ini.”
Dalam perjalanan, Resi Septuning Jagat bercerita secara singkat mengenai siapa penguasa Kerajaan Perut Bumi. Dialah Kamaswara, seorang dewa terkutuk yang telah mencuri Batu Keabadian. Sedikitnya Wiro tahu kisah kekacauan negeri para dewa kala itu. Tapi, yang ia tidak tahu, bagaimana cara dewa picik itu masuk ke alam sini dan mencuri Batu Keabadian. Padahal, semua para dewa tahu, jangankan untuk mencuri, masuk ke sini saja mereka hangus terbakar.
Dewi Asih Gendramani yang tahu pikiran Pendekar 212 tersenyum. Untuk pertama kali saat pertemuan, ratu agung yang sangat cantik ini memamerkan betapa kuat pesonanya kala senyum menghias bibir. Wiro Sableng sampai salah tingkah. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke bunga tanjung.
“Apa yang kau pikirkan benar, Anak Manusia. Para dewa itu akan langsung terbakar saat berani masuk ke kerajaanku. Karena itu, dia memperdayai salah satu kepercayaanku. Lewat tangannya, dewa terlaknat berhasil mencuri Batu Keabadian. Karena itulah, aku meminta kau mengambil kembali batu itu dari tubuhnya. Simpan ini.” Dewi Asih Gendrramani memberikan batu bintang yang dipegannya. Wiro Sableng sambuti, menyimpan batu itu di balik pakaian.
“Kau tidak perlu khawatir dengan kedahsyatan Batu Keabadian yang ada pada tubuh Kamaswara.” Dewi Asih menggerakan tangannya sedemikian rupa. Cahaya putih pekat membentuk lingkaran di telapak tangan kanan. Lalu secara ajaib sebuah kitab telah tergenggam.
“Lepas pakaianmu, duduk bersila di atas batu sana.”
Wiro Sableng melihat ke arah tunjukan. Sebelumnya disana tidak ada apa-apa. Mengapa tiba_tiba ada batu pipih? Wiro Sableng tidak bisa berpikir lama. Sekali melompat ia telah berada di atas batu. Melepas pakaiannya dan duduk bersila.
“Kau akan merasakan tubuh seperti terbakar, tercabik-cabik, tapi bertahanlah. Semua kesakitan itu hanya berlangsung singkat. Kau akan merasakan perbedaan yang besar setelahnya.” Kitab berwarna hitam bergambar bintang di lempar ke udara. Melesat ke arah kepala Wiro Sableng. Meskipun sekilas, Wiro dapat melihat tulisan yang tertera dalam sampul kitab itu. Kitab Seribu Bintang. Inilah kitab yang maha sakti yang dikatakan Resi Septuning Jagat selama dalam perjalanan.
“Pejamkan matamu, Pendekar 212.” Dewi Asih Gendramani menggerakan kedua tangannya. Kitab mengambang satu jengkal di atas kepala Wiro Sableng. Dari kitab itu keluar cahaya biru muda. Menyambar ganas masuk ke dalam kepala Wiro. Mula-mula ia merasakan hawa sejuk menerpa seluruh tubuh. Lalu, semakin lama hawa sejuk berubah menjadi hangat. Dan seperti yang dikatakan Dewi Asih, tubuhnya mulai terasa panas seakan terbakar kobaran api.
Wiro Sableng menggigit bibir bawahnya agar mampu bertahan dari sengatan api yang sangat menyiksa. Hampir saja ia pingsan manakala lumatan api yang terasa menghanguskan tubuhnya. Tak kuat lagi menahan rasa sakit yang teramat sangat, Wiro Sableng menjerit. Ia hampir saja melompat kalau Dewi Asih tidak mengingatkan.
“Tetap di tempatmu, Pemdekar 212!”
Wiro Sableng merasakan tubuhnya hancur tekutung-kutung. Jerit kesakitan terus menggila dari mulutnya. Saat dirinya sudah benar-benar tak mampu bertahan, dan hendak membatalkan semua rangakain pengalihan ilmu kesaktian Kitab Seribu Bintang, rasa sakit yang menyiksa mulai berkurang. Hingga akhirnya hilang tak tersisa.
Wiro Sableng menarik napas dalam-dalam. Meragap tubuhnya. Masih utuh. Ia mengira telah menjadi abu. Dewi Asih Gendramani tersenyum manis sekali.
“Kau sudah boleh bangun dan mengenakan kembali pakaianmu.”
Wiro Sableng menggaruk kepala. “Gila bener! Aku hampir mati dibuatnya.” Wiro mengumpat dalam hati. Dewi Asih kembali tersenyum.
“Sebenarnya ada banyak cara menguasi ilmu kesaktian dari kitab itu, tapi kau sudah tidak punya waktu. Karena itulah aku mengambil jalan tercepat. Seluruh isi kitab telah kau kuasai. Kau merasakan perubahan atas dirimu, Anak Manusia?”
Wiro Sableng mengamati tubuhnya. Menggerak-gerakkan tangan ke sana kemari. “Jauh lebih ringan. Dan tenaga dalamku seakan meningkat puluhan kalilipat.”
“Karena di alam ini tubuhmu berada dalam pengaruh ilmu dari Kitab Terlarang, maka tidak terlalu terasa. Nanti saat kau kembali ke alammu, kau akan merasakan perbedaannya.”
“Saya mengucapkan banyak terima kasih atas semua yang Ratu berikan.”
Dewi Asih kembali tersenyum.
“Ada satu hal yang harus kau ketahui. Sebelum kau mengambil Batu Keabadian dari dalam tubuh Kamaswara, pastikan dulu, salah satu kaki tangannya yang memiliki kesaktian langka, Ilmu Penjerat Sukma berhasil kau bunuh. Karena jika kau sampai terperangkap, maka sampai dunia kiamat kau belum tentu bisa keluar dari jeratnya.”
“Ilmu Penjerat Sukma?”
“Bukan hanya sukma dari orang yang masih hidup, mereka yang telah mati pun akan menjadi bagian dari kekuatannya.”
“Mungkinkan Bunga pun berada dalam sekapannya?” Wiro Sableng hanya berani mengajukan pertanyaan dalam hati. Dewi Asih yang tahu mengangguk perlahan.
“Kekasihmu dari alam roh tidak lepas dari jeratannya. Juga Perempuan dari Latanahsilam. Dan banyak lagi lainnya.”
“Pantas, beberapa kali aku memanggil Bunga tidak pernah datang.”
“Pendekar Dua Satu Dua, ada lagi yang ingin kau tanyakan?” Dewi Asih Gendramani telah mengembalikan keadaan seperti semula. Kini keduanya telah berada dalam sebuah istana. Wiro Sableng membungkuk hormat.
“Sepertinya sudah tidak ada, Ratu.”
Dewi Asih Gendramani memutar kedua tangannya. Perlahan-lahan cahaya putih membentuk pusaran keluar di hadapan keduanya.
“Masuklah. Cahaya itu akan membawamu ke perbatasan antara dunia manusia dan alam para dewa.”
Untuk kesekian kalinya Murid Sinto Gendeng membungkuk hormat. Di dahului ucapan terima kasih ia masuk ke dalam pusaran cahaya sebesar pintu rumah. Perlahan-lahan sosoknya memudar, hingga akhirnya menghilang.
0 $type={blogger}: