Kerajaan Teratai Darah

 

Andana Harimau Singgalang
Kerajaan Teratai Darah

1

Hujan membasahi Mayapada sejak semalam, suasana pagi terasa dingin sendu. Dedaunan bergoyang basah tertimpa air hujan yang seakan ditumpahkan dari angkasa, Hujan senantiasa memberikan kesejukan dan kesuburan, ia menumbuhkan benih-benih tanaman dan harapan. Adakah kita mengambil makna dan hikmah dari sang hujan ? adakah hujan  di hati umat manusia yang menyejukkan sanubari atau hati insan selalu dipenuhi amarah murka, kebencian dan permusuhan. Demikianlah bahwasanya telah menjadi ketentuan bahwa setiap kebaikan dan kebenaran akan ada keburukan dan kejahatan yang memusuhinya sebab bisikan  iblis durjana akan tetap ada sepanjang hayat dunia. Semoga kebaikan dan pencerahan sang maha kuasa senantiasa tercurah seperti hujan yang membasahi keringnya jiwa manusia agar damai selalu meliputi isi semesta mayapada. 

Di sebuah padepokan silat di kaki gunung Argopuro meski hujan deras namun pelatihan tetap berlangsung. Padepokan Garuda Emas merupakan Padepokan Silat yang memiliki beberapa bangunan yang besar dengan halaman yang luas. Di ruangan luas aula untuk pertemuan Padepokan dan ada juga pelatihan di halaman luas padepokan dibawah guyuran hujan, Murid-murid padepokan tetap semangat mengikuti pengajaran yang diberikan. Padepokan silat ini sudah berdiri sejak lama. Padepokan ini Bernama Padepokan Garuda Emas didirikan oleh Begawan Rakajaya Permana, setelah dirasa cukup lama menurukan ilmu kanuragannya kepada para murid padepokan sang Begawan mengundurkan diri dan mengasingkan diri moksa dari kehidupan duniawi di puncak gunung Argopuro. Kini padepokan Garuda Emas dipimpin oleh Murid kesayangan sang Begawan, Damar Bimasena, dengan murid-muridnya berjumlah hampir Dwisata (dua ratus) orang banyaknya. Meski berusia masih muda namun pemuda ini mewarisi hampir seluruh kesaktian sang Begawan. Damar Bimasena berwajah gagah dengan perawakan tubuh kekar gemar memakai pakaian ringkas serba merah dengan ikat kepala yang juga berwarna merah. Damar Bimasena pagi-pagi sudah menyuruh para murid perguruan silatnya berlatih beberapa jurus silat. Sesekali ia meluruskan kuda-kuda silat para muridnya yang kurang tepat. 

Pelatihan dilanjutkan dengan permainan senjata yakni pelatihan menggunakan senjata dalam jarak dekat mengingat mereka berada di ruang aula padepokan, senjata yang digunakan yakni pedang pendek dan belati. Masing-masing murid mencari pasangan murid lainnya untuk berlatih  bertarung satu lawan satu. Suara beradunya senjata terdengar di Aula pedepokan Garuda Emas disertai suara seruan murid-murid yang menyerang dan bertahan dalam pelatihan senjata itu. Setelah memberikan arahan Damar Bimasena kemudian menuju sudut ruang aula padepokan Dimana terdapat beberapa meja dan kursi kayu yang biasa digunakan untuk menyambut tamu, pemuda ini kemudian duduk di sebuah kursi kayu. Matanya terus mengawasi murid-murid padepokan silatnya berlatih. 

“kangmas Damar sebaiknya minum teh dulu, ini aku bawakan teh dan makanan kecil” satu suara terdengar disertai Langkah kaki. Damar Bimasena menoleh, dari arah pintu seorang dara berpakaian ringkas merah muda membawa baki, diatas baki itu nampak ada teko, cangkir dan sepiring makanan kecil seperti jagung, singkong dan kacang rebus. 

“Silahkan diminum kangmas !! mumpung masih hangat” dara berbaju merah itu kemudian meletakkan baki  bawaannya di atas meja dihadapan Damar Bimasena kemudian dara itu  menuangkan teh hangat ke cangkir. 

“Terima kasih adikku Gantari !! tahu saja kalau kangmasmu ini sedang dahaga” Damar Bimasena tersenyum. Pemuda ini mengambil cangkir berisi teh diatas meja lalu menyeruputnya. Ia juga mengambil sepotong singkong rebus dan melahapnya. 

“Engkau minumlah teh bersamaku Gantari, duduklah disini” kata Bimasena sembari menyodorkan cangkir berisi teh kepada adiknya itu. 

Gantari mengambil cangkir berisi teh yang diberikan kangmasnya, lalu duduk di kursi kayu dihadapan Damar Bimasena. Ia menyeruput sedikit Teh hangat itu. 

“Kangmas !! semalam aku bermimpi tidak bagus, sampai pagi ini aku merasa tidak enak perasaan” 

“Apa gerangan mimpi yang membuatmu risau adikku ?” tanya Damar Bimasena. Ia Kembali menyeruput teh hangat dihadapannya. 

Gantari menghela napas lalu menceritakan mimpinya “aku merasa dalam mimpiku kita berdua berjalan-jalan pada sebuah taman bunga yang indah, kemudian kita berdua melihat seekor burung Merak yang berbulu sangat indah sedang bertengger di dahan sebatang  pohon dekat taman bunga itu, karena sangat menyukai merak itu aku memintamu untuk menangkapnya” 

“Kangmas Damar kemudian berusaha menangkap burung Merak itu dengan memanjat pohon, namun Merak itu terbang dan hinggap ke dahan pohon lainnya. Kangmas kemudian berusaha turun dari pohon dan bermaksud Kembali mengejar Merak itu akan tetapi Kangmas menginjak bagian dahan pohon yang sudah lapuk, kangmas terjatuh. Anehnya kangmas Damar tidak jatuh ke tanah tapi kedalam sebuah jurang yang dipenuhi api besar berkobar di dasarnya sedang aku berada ditepinya, tidak ada lagi taman bunga, dan yang membuat aku pun semakin menjerit ketakukan dalam mimpi karena didasar jurang itu aku seolah melihat padepokan kita yang dikobari api besar itu, aku berusaha menolongmu namun kakiku tergelincir sehingga aku ikut terjatuh ke dalam jurang, aku kemudian tersentak terbangun dengan sekujur tubuh basah oleh keringat, semalaman aku tidak bisa tidur lagi” Gantari menutup ceritanya dengan mimik wajah risau. 

Damar Bimasena tertegun sejenak mendengar penuturan mimpi dari adiknya, ia lalu berkata “Mimpi memang terkadang adalah sebuah petunjuk adikku namun kebanyakan daripadanya hanyalah sebuah bunga tidur saja, tak perlulah engkau larut dalam kerisauan hati” hibur pemuda itu meski hatinya juga bertanya-tanya apa arti dari mimpi itu. 

“Tapi aku takut akan terjadi apa-apa dengan kita atau padepokan ini kangmas ? apa perlu kita meminta petunjuk  mahaguru Begawan di puncak Argopuro ?” risau Gantari.

“Memang sebaiknya demikian Gantari, setelah hujan reda mungkin sebaiknya aku segera berangkat ke puncak Gunung Argopuro menemui mahaguru” 

“Iya kangmas, lagi pula kangmas sudah lama tidak menyambangi mahaguru disana” kata Gantari pula sembari meneguk teh hangatnya dengan perasaan tak enak hati. 

***

Puncak Gunung Argopuro merupakan pedataran yang cukup luas dengan Semak belukar dan pepohonan, suasana meski cerah namun Terik matahari  tertutupi dengan sejuknya udara dipuncak gunung. Disisi timur lereng gunung, sesosok tubuh berpakaian serba hitam berlari cepat menuju puncak. Jika diamati lebih dekat sosok tubuh ini memakai pakaian jubah serba hitam bergaris kuning dengan motif bunga Teratai merah darah kecil memenuhi seluruh bagian jubah. Wajah orang ini tak tampak karena tertutup caping bambu dengan kain serba hitam yang mengelilingi bagian bawah pinggiran caping seperti jubahnya kain penutup caping ini juga bermotif bunga-bunga

Teratai merah kecil. 

Orang bercaping ini berlari sangat cepat dan ringan meniti bebatuan gunung yang licin dan Semak belukar lebat hingga dalam waktu tak lama orang ini sudah sampai di puncak, matanya yang tajam menembus kain penutup caping meneliti keadaan sekitar, di puncak gunung Argopuro diantara kerindangan pepohonan ia melihat sebuah pondok kecil tanpa dinding yang sudah reyot. Atapnya yang terbuat dari rumbia sudah banyak yang jebol termakan usia, diatas lantai papannya yang lapuk duduk bertapa seorang kakek berpakaian seorang Begawan berwarna kuning kunyit, meski usianya sudah diatas setengah abad namun terlihat masih memiliki kukuh, rambutnya putih disanggul ke atas dengan cambang bawuk lebat yang juga berwarna putih. Orang bercaping ini menuju ke depan pondok dan berdiri tiga tombak dihadapan sang kakek berpakaian Begawan. Mata sang Begawan tertutup rapat dan hanyut dalam pertapaannya. Cukup lama orang bercaping menunggu sembari rangkapkan kedua tangannya. Sang Begawan tak juga bergerak seolah tak mengindahkan adanya orang dihadapannya

“Begawan Rakajaya !! ternyata engkau masih hidup !! begini caramu menyambut tamu !!” orang bercaping berkata dengan mendengus. 

Orang   bercaping   tak kunjung       mendapatkan jawaban kemudian berseru keras “engkau tak mengindahkan perkataanku Begawan tua !! apa telingamu sudah tuli”. Meski dibentak dengan suara keras sang Begawan hanya diam tak bergeming

“Jahannam orang tua tak berguna !! mampuslah kau !!” penuh rasa kesal orang bercaping hantamkan satu pukulan tangan kosong ke  arah Begawan Rakajaya. Suara pukulan tangan kosong orang bercaping terdengar menderu keras menandakan ketinggian tenaga dalam orang bercaping itu tak bisa dibuat main. 

Didepan sana Begawan Rakajaya masih dalam keadaan bersemedi, sikapnya tenang meski maut mengintai. Sesaat lagi pukulan tangan kosong akan menghantamnya tubuh Begawan Rakajaya tiba-tiba menghilang.      Pukulan        tangan kosong orang bercaping menghantam pondok reot hingga hancur berantakan lalu angin pukulan terus melaju menghantam sebatang pohon sebesar paha orang dewasa hingga tumbang bergemuruh. Dapat dibayangkan jika pukulan tenaga dalam tinggi itu menghantam tubuh sang Begawan. 

Manusia bercaping terperangah melihat Gerakan menghindar cepat dari Begawan Rakajaya, ia merasakan sambaran angin dari atas, orang bercaping ini bukan pula orang sembarangan, merasakan ada serangan dari atas dia mendongak dan hantamkan tangannya ke atas 

“Bukkkkkk” tampak dua lengan saling beradu. Orang bercaping merasakan tubuhnya seperti terhenyak ke dalam bumi, kakinya terpendam semata kaki ke dalam tanah akibat beradu lengan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Sementara di udara tubuh sang Begawan terpental ke udara setinggi dua tombak. Begawan Rakajaya berjumpalitan di udara dan mendarat dengan dua kaki ditanah. Tampak tangan sang Begawan kemerahan akibat beradu lengan tadi. Sang Begawan menatap dengan sorot mata dingin ke

arah orang bercaping dihadapannya  “siapa kau kisanak !! apa kau tidak pernah diajarkan tata krama untuk tidak mengganggu orang yang sedang bersemedi ?” suara sang Begawan terdengar dingin. 

“tata krama tak diperlukan lagi untuk orang yang akan menghadap malaikat maut sepertimu Begawan !! aku kemari bukan untuk bertatakrama dengamu” sergah manusia bercaping. 

“jadi apa keperluanmu kisanak ? kau juga telah menghancurkan pondokku untuk bersemedi” tanya Begawan Rakajaya pula. 

“Tujuanku kemari adalah mengajakmu bergabung dan tunduk dibawah kekuasaan Kerajaan Teratai Darah, jika engkau bersedia mengingat kehebatan namamu aku sebagai sang junjungan akan memberikanmu jabatan yang tinggi” 

“Kalau aku menolak ?”

“Kalau engkau menolak maka kematian adalah jalan pilihanmu Begawan !!”

“kematian adalah urusan dewa kisanak bercaping !! dan aku tak sudi bergabung dengan kerajaanmu, silahkan tinggalkan tempat ini namun satu kakimu tinggalkan disini sebagai pengganti kerusakan pondokku” 

“Jahannam haram jadah !! kau memilih mati Begawan !! lihat serangan” seru Manusia bercaping. Tangannya menderu ke depan dengan kecepatan kilat. Begawan Rakajaya merasakan hantaman orang bercaping di depannya seperti tekanan dinding angin yang kuat. Sang Begawan dengan cepat kelitkan tinju lawan yang mengarah dada. Masih dalam posisi berkelit ke samping Begawan Rakajaya pukulkan tangan kanannya ke arah kepala manusia bercaping  berjubah hitam. Orang  bercaping yang mengetahui kepalanya jadi sasaran  lawan rundukkan kepalanya sejajar perut lawan sehingga pukulan tangan Begawan Rakajaya hanya lewat dua kilan diatas kepala manusia bercaping. Pukulan tangan sang Begawan meski tidak mengenai sasaran tapi masih terasa seperti himpitan batu di kepala manusia bercaping. 

Melihat perut lawan dalam keadaan terbuka, Manusia bercaping sodokkan Kembali tinjunya ke arah perut. Begawan Rakajaya yang mengetahui serangan lawan mencoba menangkis serangan lawan dengan memukulkan tangannya ke bawah. Namun ia kecele, sebab serangan itu hanya tipuan saja, manusia bercaping Tarik serangan tangannya yang ke arah perut, ia  mundur dua Langkah lalu dengan kecepatan kilat tendangkan kaki kanannya ke kepala sang Begawan. Begawan Rakajaya Permana sedikit kaget mendapatkan serangan cepat itu, dengan segera ia melakukan Gerakan kayang ke belakang menghindari tendangan lawannya. Masih dalam keadaan kayang tubuh sang Begawan kemudian melenting ke udara setinggi dua tombak lalu ia hantamkan pukulan hebat dari udara. Cahaya biru menggulung cepat keluar dari telapak tangan sang Begawan ke arah Manusia bercaping. 

“Pukulan Dewa Samudera Murka !! apa hebatnya” seru manusia bercaping lalu balik menghantamkan tangannya. Serangkum sinar merah panas menderu dan beradu dengan pukulan Dewa Samudera Murka. “Buuummm” letusan keras terdengar Ketika dua pukulan sakti bertemu, Tanah bergetar hebat. Pecahan dua pukulan itu menghantam pepohonan dan Semak belukar disekitar hingga cabang dan Semak hangus menghitam. Begawan Rakajaya Permana yang masih diudara terpental ke belakang akibat beradunya pukulan, ia menjejakkan kakinya ke tanah dengan limbung. Dadanya berdenyut sakit seperti dihantam palu godam lalu ada lelehan darah dari sela bibirnya, ia mengalami luka dalam meski tak seberapa parah. 

“Tingkat tenaga dalam orang bercaping ini tidak bisa dibuat main, siapa dia sebenarnya ?” gumam Begawan Rakajaya. 

Di depan sana tertekut lutut Manusia bercaping, wajahnya pucat seputih kertas, ia pegangi dadanya yang juga berdenyut sakit. Aliran darahnya tak beraturan. Pandangan matanya dari balik kain caping berkunang-kunang melihat sekitar. 

“Begawan tua bangka ini akan merepotkan jika tak segera kuhabisi” katanya. Dengan disertai suara keras Manusia bercaping Kembali menyerbu ke depan, ia mainkan jurus-jurus silat dengan Gerakan kilat. Mendapati lawan Kembali menyerang, Begawan Rakajaya mau tak mau harus melawan juga, karena tahu lawannya memiliki tenaga dalam dan ilmu silat tinggi sang Begawan tanpa ragu lagi segera keluarkan jurus-jurus silat simpanannya. Perkelahian dua orang ini luar bisa disertai Gerakan-

gerakan kilat sehingga yang tampak hanya bayangan hitam dan kuning. Tak terasa perkelahian keduanya sudah memasuki jurus ke delapan belas. Meski terluka di dalam tak mudah bagi orang bercaping menaklukkan sang Begawan. 

Memasuki jurus ke dua puluh tujuh, mengetahui lawan masih sangat Tangguh, Begawan Rakajaya hantamkan pukulan sakti andalannya “Dewa Angin Menggulung Gunung”, Cahaya abu  mengandung hawa dingin dan mengeluarkan suara deru seperti badai menggebubu menghantam ke arah manusia bercaping. Orang bercaping yang mengaku Sang Junjungan Teratai Darah ini berseru kaget melihat kedahsyatan pukulan lawan. Ia tekuk kedua lututnya menghimpun tenaga dalam dari pusar menuju ketangan lalu balas menghantam dengan tangan kanannya. 

Sinar tiga warna mencuat panas menyambut pukulan Dewa Angin Menggulung Gunung yang dihantamkan Begawan Rakajaya, kedua pukulan bertemu dan bergulung di udara. Deru angin dingin yang keluar dari dua telapak tangan Begawan Rakajaya yang disertai kekuatan tenaga dalam penuh tertahan oleh pukulan lawan seolah terbendung oleh tembok baja yang sangat atos. Ketika     ia    berusaha        melipatgandakan     tenaga dalamnya dadanya mendenyut sakit. Semakin Begawan Rakajaya bertahan semakin sakit dadanya lalu tak tertahankan lagi ia semburkan darah kental dari mulutnya pertanda luka dalamnya semakin marah.  Melihat keadaan lawan, orang bercaping tak berhenti menyerang ia malah lipatgandakan tenaga dalamnya. 

‘Menyerahlah Begawan !! nyawa busukmu akan ku ampuni jika kau bergabung !!” seru orang bercaping. 

“Mati lebih baik daripada bergabung dengan iblis sepertimu !” Begawan Rakajaya menjawab dengan suara bergetar. Dalam keadaan mengadu tenaga dalam Begawan Rakajaya tertekuk lutut keadaanya kritis, namun pantang baginya menyerah. Ia meludah ketanah, ludahnya bercampur darah kental. Dengan teriakan merobek langit Begawan Rakajaya tambah tanaga dalamnya ke Tingkat paling tertinggi. Di depan sana Orang bercaping merasa tubuhnya seperti remuk dihantam tenaga dalam, pakaiannya berkibar keras dihantam angin pukulan lawan. Suasana ditempat itu benar-benar dalam keadaan porak poranda. 

“Jahannam !! Jika tak kubereskan segera, tubuhku bisa jadi saringan” tangan kiri Orang Bercaping tibatiba diangkat dan dengan tangan ini dia Kembali lancarkan pukulan sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu pertanda bahwa dia kini menghadapi lawan dengan seluruh tenaga dalam yang ada! Sinar tiga warna semakin garang menggelung pukulan Dewa Angin Menggelung Gunung. Begawan Rakajaya Permana tidak sanggup lagi bertahan , puncaknya ia tersapu pukulan lawan, ia menjerit pendek lalu tubuhnya mencelat mental dan menyerangsang ke tanah dengan keadaan hitam gosong. 

Pukulan Dewa Angin Menggelung Gunung meski berhasil dimusnahkan tapi angin pukulannya masih menyerempet bahu Orang Bercaping, ia terpuntir jatuh. Dadanya sesak dengan napas tersengal, kedua tangannya terasa kaku sebab mengeluarkan pukulan dengan tenaga dalam tinggi. Ia terjerembab ke tanah dan merasakan ludahnya asin darah mengalir dari sela bibirnya. Cukup lama orang bercaping ini terbaring baru setelah napasnya terasa sedikit lega ia bangkit dan mengatur napas serta aliran darah. 

“Begawan tolol ! jika kau menurutiku, nyawa tololmu tidak akan melayang seperti ini” Ia meludah ke arah mayat Begawan Rakajaya. Dengan ujung jarinya ia menyeka darah di mulutnya. Menggunakan Tenaga dalam Orang bercaping ini lalu guratkan angka “212” pada lamping batu disamping mayat Begawan Rakajaya Permana. Dengan Gerakan sangat cepat orang ini berkelebat tinggalkan puncak Argopuro. 

 

 

 

 

 

 

 

2

Suasana kedai Ki Darmo di kaki gunung Sindoro tampak ramai pengunjung apalagi cuaca siang hari cukup mendung dan angin berhembus dingin karena mengandung kadar air tentu membuat perut para tamu semakin lapar. Kedai Ki Darmo meski dibangun dengan bahan papan dan kayu yang sederhana beratapkan nyiur kelapa namun ruang makan kedai cukup luas serta nyaman. Ditambah dengan makanan dan minuman yang lezat,  pelayan-pelayannya ramah serta cantikcantik semakin membuat pengunjung suka makan disini dan betah berlama-lama. Diantara para pelayan yang cantik itu, ada satu yang menjadi Bunga kedai. kecantikannya membuat banyak pria tergila-gila yakni anak gadis Ki Darmo sendiri. Nama gadis ini Rarani, memiliki tubuh sintal padat dengan dada besar membusung, matanya yang tajam menusuk hati yang menatapnya dengan bulu mata lentik. Jika gadis ini berjalan lenggak lenggok mengantarkan makanan pesanan para pengunjung membuat para lelaki yang ada dalam kedai berdecak kagum sekaligus meleletkan lidah melihat kebagusan tubuh Rarani.  

Para pengunjung kedai juga bisa menikmati makanan dan minuman sembari memandang keindahan gunung Sindoro yang menjulang tersaput awan. Diantara pengunjung kedai tampak lima orang berseragam prajurit kesultanan Demak yang ditugaskan untuk kadipaten. Melihat seragam kelimanya tentu mereka bukanlah prajurit kelas bawah tapi sekelas perwira menengah kesultanan Demak. Mendapati tamu Kerajaan Ki Darmo mendatangi dengan ramah mempersilahkan para tamunya kemudian menyuruh para pelayan untuk segera menghidangkan makanan dan minuman terenak di kedai. Kelima perwira menikmati makanan yang tersaji di hadapan mereka Nasi hangat, ayam panggang serta lauk pauk yang masih mengepulkan asap. 

“Kawan-kawan apakah siang ini dipastikan Gusti puteri Ratu Ayu Wulan akan lewat sini ?” tanya salah seorang perwira. Tampaknya ia merupakan pimpinan dari kelima perwira itu. Perwira ini berwajah gagah berusia sekitar empat puluh tahunan.

“Benar kangmas Indralaya !! menurut kabar dari kadipaten dipastikan rombongan kesultanan Demak akan lewat tengah hari, para prajurit berkepandaian sudah disiagakan di tiap perbatasan untuk menjaga keselamatan gusti puteri” jawab salah seorang perwira. 

“Bagus ! kita harus melakukan pengawalan secara ketat agar memastikan keselamatan Tuan Puteri mengingat sekarang ini sedang ramainya kejadian kejahatan yang disebabkan oleh Kerajaan Palsu yang menamakan diri Kerajaan Teratai Darah” kata Perwira Bernama Indralaya sembari melahap potongan paha ayam panggang ditangannya. 

“Kalian pastikan bahwa semua prajurit penjaga dalam keadaan siaga, jangan sampai hal-hal yang tidak diinginkan terjadi” kata Indralaya pula. 

“Mengenai Kerajaan Teratai Darah ini apakah Kerajaan sudah melakukan penindakan terhadap kejahatan mereka kangmas indra ?” tanya perwira lainnya. 

 “Kerajaan sudah berusaha melakukan usaha-usaha penumpasan tapi Serikat kejahatan yang menamakan Kerajaan Teratai Darah ini sangat Tangguh dengan banyak prajurit dan tokoh-tokoh golongan hitam yang bergabung, beberapa kali pasukan kerajaan baik dari Demak maupun Blambangan berusaha menumpas mereka tapi semua prajurit yang masuk ke hutan Gunung Raung tak pernah kembali lagi” Indrajaya menerangkan lalu teguk air putih dalam cangkir tanah dimeja kayu dihadapannya.   

“Kalian tidak perlu menjaga keselamatan tuan puteri ! kalian justru harus menjaga keselamatan diri kalian sendiri saat ini hahaha” satu suara keras disertai gelak tawa terdengar dari pintu kedai. Membuat para perwira menghentikan makan mereka dan menoleh cepat. 

Di pintu masuk kedai terlihat tiga orang lelaki  berpakaian serba hitam garis kuning dengan corak bunga Teratai merah darah. Golok besar dengan gagang berbentuk kepala ular kobra tersampir dipinggang ketiganya. Ketiga lelaki ini memiliki wajah yang dicat dengan warna yang berbeda, ada yang berwarna merah, kuning dan hitam. Dari pakaian ketiganya jelas diketahui bahwa mereka adalah para punggawa Kerajaan Teratai Darah. Sebuah Kerajaan yang konon katanya berada di Hutan kaki Gunung Raung, entah bagaimana rupa Kerajaan ini banyak yang tidak tahu. Namun sepak terjang para prajurit dan punggawanya sangat meresahkan penduduk sebab mereka lebih tepatnya disebut perampok, pemeras dan penculik gadis-gadis muda. Kehadiran ketiga orang dari Kerajaan Teratai Darah itu membuat suasana menjadi gaduh, banyak para pengunjung yang ketakutan melihat kedatangan ketiganya segera ambil Langkah seribu meninggalkan kedai. Ki Darmo sendiri pucat pasi mukanya membayangkan jika  terjadi perkelahian tentu membuat kedainya porak poranda, ia juga mengkhawatirkan keselamatan puterinya Rarani. 

“Tiga Golok Kobra !! kalian sudah menjadi orang – orang Kerajaan Teratai Darah” seru Indralaya. Ia dan keempat perwira lainnya segera mengambil sikap siaga dengan memegang gagang pedang yang tersampir dipinggang masing – masing, Indralaya yang kenyang pengalaman tahu siapa Tiga Golok Kobra, tokoh golongan hitam yang malang melintang di Jawa Bagian tengah hingga timur. 

“Kalian anjing – anjing Kerajaan sebaiknya menyerah dan tunduk ke dalam Kerajaan Teratai Darah ! kalian perwira tentu akan mendapatkan jabatan yang tinggi dari Sang Junjungan” seru salah seorang dari Tiga Golok Kobra yang bermuka merah. Ia dikenal dengan nama Kobra Merah sedangkan kedua lainnya yakni Kobra Kuning dan Kobra Hitam. 

“Jaga mulut kalian ! kami perwira kesultanan Demak tidak segan-segan membinasakan kalian para penjahat yang merusak kedamaian penduduk, segera berlutut dan serahkan diri kalian” bentak salah seorang perwira dengan muka merah karena marah. 

“Hahaha mimpimu ketinggian perwira ! kalian yang harus tunduk kepada kami karena Kerajaan Teratai Darah akan segera menguasai seantero tanah Jawa ini” ejek Kobra Hitam dengan tertawa. 

“Mimpi kalian yang tak masuk akal Tiga Golok Kobra, Tiga curut mau menjadi Harimau, Ha..Ha..Ha” balas Indralaya. 

“Bedebah !! mampuslah kalian anjing-anjing Demak !!” Kobra Merah cabut golok besarnya lalu menerjang ke depan. Disusul Kobra Hitam dan Kobra Kuning. 

Mendapati lawan menyerang, Indralaya cabut pula pedangnya Bersama keempat perwira lainnya. Pertempuran lima perwira melawan Tiga Golok Kobra segera tersaji di kedai Ki Darmo. Para pelayan menjerit ketakutan, Ki Darmo Bersama Rarani segera menyingkir menyelamatkan diri. Lima pedang perwira Demak berkiblatan mencari sasaran ditubuh Tiga Golok Kobra. Tiga Golok Kobra juga menebaskan golok mereka dengan sebat. “Trang Trang” suara beradu nya senjata tajam terdengar berkumandang berulang kali di dalam kedai. 

Kobra Hitam menyerang Indralaya dengan sabetan menukik dari atas. Indralaya yang mengetahui serangan lawan segera berkelit ke samping sembari tebaskan pedangnya kea rah pinggang lawan. Sabetan Golok Kobra Hitam yang tidak mengenai sasaran mengenai meja kedai hingga terbelah dua akibatnya makanan dan minuman diatasnya berhamburan kemana-mana. Kobra Hitam dengan Gerakan cepat segera menangkis tebasan pedan lawan “Trangggg” bunga api memercik Ketika pedang Indralaya dan Golok Kobra Hitam beradu. Tangan sang perwira bergetar akibat beradunya kedua senjata itu. 

Sementara Kobra merah meladeni dua perwira Demak. Golok besarnya menderu – deru. Dua perwira Demak membalas pula dengan tebasan pedang mereka dengan sebat. Dua perwira tampak berada dibawah angin sebab serangan golok Kobra Merah mengandung deru angin yang kuat karena mengandung tenaga dalam yang cukup tinggi. Kedua perwira ini merasakan seperti melawan tembok angin, beberapa kali serangan golok Kobra Merah hampir mencelakakan keduanya. Memasuki jurus ke tujuh, kedua perwira Demak ini tak sanggup bertahan. Salah seorang perwira menangkis tebasan golok Kobra Merah dengan lemah karena tangannya sudah licin akibat keringat. Akibatnya pedang sang perwira patah dua dan tebasan golok Kobra merah tepat membelah dadanya. Jeritan keras keluar dari mulut perwira ini dibarengi semburan darah dari luka besar yang menganga dari dadanya, ia kemudian roboh ke tanah dengan mata mendelik. Para Perempuan pelayan menjerit ketakutan dan berhamburan lari meninggalkan kedai. 

Melihat temannya mati, perwira kawannya menghadapi Kobra merah dengan kecut, ia melawan Kobra Merah dengan perasaan gamang akibatnya “Bukkkk” satu tendangan Kobra Merah menghantam dadanya hingga remuk. Sang perwira sempoyongan pegangi dadanya yang hancur, belum lagi tubuhnya melosoh ke lantai “Crassss” satu tebasan dari golok Kobra Merah ke arah leher memisahkan kepala sang perwira dari tubuhnya. Kepala itu menggelinding ke lantai kedai. Tubuh perwira Demak itu terbanting dengan darah menyembur dari lehernya yang terkutung.

Disisi lain Kobra Kuning bertempur melawan dua perwira lainnya sudah memasuki jurus ke sepuluh. Mengetahui kedua kawannya sudah mati, kedua perwira ini menyerang Kobra Kuning dengan membabi buta hingga seantero isi kedai porak poranda. Kobra Kuning mainkan jurus “Kobra menari mematuk tikus” untuk menghadapi serangan ganas kedua perwira itu. Tubuhnya meliuk-liuk seperti ular kobra menghindari serangan pedang kedua perwira dan puncaknya “Trakkkk Trakkk” golok besar Kobra Kuning berhasil mematahkan pedang kedua perwira Demak. Mendapati serangan mereka tak satupun mengenai Kobra Kuning, kedua perwira lemparkan semua benda yang ada di dekat mereka ke arah Kobra Kuning. Mudah saja bagi Kobra Kuning meruntuhkan serangan-serangan itu, salah seorang perwira melemparkan kursi kayu. Kobra Kuning melesat cepat menghindar lalu dengan Gerakan kilat ia tebaskan goloknya dan “crasssss, crassssss!!” kepala dan dada kedua perwira terbelah kena sabetan golok Kobra Kuning. Diiringi jeritan setinggi langit kedua perwira tewas dengan kelonjotan. Lemparan Kursi kayu yang tadi dilemparkan salah seorang perwira ke arah Kobra Kuning menderu ke sudut kedai Dimana sedang tidur atau tiduran diatas balai bambu seorang pemuda berpakaian rompi putih, ia memakai Destar (Ikat kepala khas Melayu) yang juga berwarna putih. Kursi kayu menghantam dinding pojok kedai dua kilan diatas kepala sang pemuda membuat sang pemuda terlonjak dari balai bambu. 

“Kutu kupret !! lagi enak-enakan tidur habis makan kenyang ada saja gangguan” hupp dengan Gerakan cepat pemuda berompi putih itu ambil patahan kursi kayu dan tanpa terlihat karena sangat cepat lemparkan patahan kayu itu ke arah Kobra Hitam yang saat itu hendak menebas kepala Indralaya. “Trakkkkkk” patahan kursi kayu meski hanya sepotong kayu namun berhasil menangkis tebasan golok Kobra Hitam. Golok Kobra Hitam terlepas dari pegangannya, ia merasakan tangannya bergetar kesemutan. Dengan penuh amarah ia menoleh ke arah pemuda yang melempar potongan kursi kayu. 

“Keparat laknat !! bocah keparat !! siapa kau ??” ia membentak dengan melotot, raut wajahnya menandakan kemarahan. 

“Aku bocah keparat seperti yang kau bilang tapi tidak sekeparat kalian, sudah keparat jelek lagi Ha..Ha..Ha” jawab pemuda berompi putih dengan tertawa lepas. 

“Bedebah !! mampuslah kau bocah” dengan kecepatan tinggi ia tetakkan pedangnya ke kepala pemuda berompi putih dalam jurus Kobra menggelung mangsa. 

“Ahhh hanya jurus cecunguk menggaruk bokong, siapa takut” seru pemuda berompi putih. Ia putar tubuhnya setengah lingkaran berkelit hindari serangan golok lawan. Lalu pemuda berompi putih tendangkan kaki kanannya ke arah bokong Kobra Hitam. 

“Awas bokongmu kera hitam !! ehh kobra hitam !! teriak pemuda berpakaian rompi putih. 

Panas hati Kobra Hitam dihina sedemikian rupa oleh seorang pemuda. Ia Tarik bokongnya menghindar sembari tebaskan goloknya ke kaki sang pemuda. Pemuda berompi putih segera Tarik kakinya lalu ganti sodokkan sikutnya ke perut lawan “Bukkkk” tepat sasaran. Kobra Hitam tertekuk punggung mendapati ulu hatinya kena sodok sikut lawan, sakitnya sodokan sang pemuda berompi putih membuat Kobra Hitam sesak dengan napas tersengal. 

“Aduhhh mande (ibu) !! sakitnyo tak seenak makan ikan asin pedo !!” ejek pemuda berompi putih lalu tertawa. 

Melihat Kobra Hitam dipermainkan lawan dengan marah Kobra Merah dan Kobra Kuning menyerang pemuda berompi putih. Tidak tanggung – tanggung tiga golok berkesiuran berebut mencari sasaran di kepala dada dan perut pemuda berompi putih seperti kesetanan ketiganya menyerang dengan kecepatan tinggi. 

Pemuda yang diserang hanya tertawa seakan tidak menyadari bahaya yang mengancam jiwanya. Sesaat lagi tubuh sang pemuda akan terkutung dan terbelah, ia bersuit keras dan seperti tak terlihat ia melompat ke atas tiang balok kayu penyanggah atap kedai menghindari seragan golok Tiga Kobra. Dari atas ia hantamkan pukulan tangan kosong, derasnya angin pukulan sang pemuda menggebubu ke arah Tiga Kobra. Ketiga anggota Kerajaan Teratai Darah ini berseru kaget dan segera balas menghantam. “Buuummmm” kedai Ki Darmo seperti dihantam gempa dan badai, kedai Ki Darmo dengan suara berderak dan bergemuruh roboh. Untung Indralaya, Ki Darmo beserta anaknya segera menghambur lari keluar kedai. Tiga Golok Kobra terpental kalang kabut tersapu oleh pukulan “Angin Limbubuh” sang pemuda berompi dan berdestar putih. 

“Pemuda itu bukan tandingan kita, ayo lekas tinggalkan tempat ini” seru Kobra Merah. Ia pegangi dadanya yang sesak, tampak lelehan darah keluar dari sela bibirnya menandakan ia terluka dibagian dalam. Kobra Hitam dan Kobra Kuning yang juga terluka dalam segera angkat kaki tinggalkan tempat itu. Ketiganya hantamkan pukulan sakti ke arah pemuda berompi putih di depan sana yang baru keluar dari reruntuhan kedai Ki Darmo, sang pemuda kebutkan kedua tangannya memukul ke depan, dua rangkum pukulan tangan kosong membuyarkan pukulan ketiga golok kobra. Ketika dalam pelariannya, Kobra Hitam melirik ke arah Rarani yang saat itu terduduk di luar kedai, Timbul niat jahat lelaki ini untuk melarikan sang dara. Dengan cepat ia sambar tubuh Rarani dan memanggulnya dibahu. Perempuan muda anak Ki Darmo ini menjerit ketakutan mendapati tubuhnya diboyong. Seperti melayang Kobra Hitam melarikan tubuh sang gadis.

“Sudah dikasih kesempatan hidup malah mencari maut, dasar Jahannam !!” satu suara Perempuan membentak disertai sekelebat bayangan biru muda dan “bukkkkkk” satu Jotosan keras menghantam remuk dada kobra hitam hingga melesak ke dalam, tubuh Rarani terpental dari panggulannya. Lelaki ini menjerit keras lalu terbanting ke tanah, Mati. Bayangan biru segera sambar tubuh Rarani dan mendarat ke tanah dengan kedua kaki yang mantap. Melihat kematian kawannya, Dua Golok Kobra yang ciut nyalinya segera mempercepat larinya tinggalkan tempat itu. Pemuda berompi putih, Indralaya dan Ki Darmo segera mendatangi. Disana dua tombak dihadapan ketiga orang ini, berdiri seorang dara cantik jelita berpakaian ringkas warna biru muda berambut Panjang berwarna pirang sedang memanggul Rarani, ia lalu turunkan tubuh sang dara yang langsung lari memeluk ayahnya, Ki Darmo. 

“Terima kasih atas pertolonganmu nak, tuhan mengirimkan bidadari untuk meyelamatkan anakku” Ki Darmo berkata sembari membungkukkan badannya mengucapkan terima kasih berulang kali. 

Dara berambut pirang tersenyum mendengar perkataan Ki Darmo, tampak dua lesung pipi muncul di pipi merona sang dara menambah kecantikannya. “Aku bukan bidadari paman, aku pengembara yang hanya kebetulan lewat sini ! tadinya hendak makan dikedaimu tapi kulihat sudah berantakan karena perkelahian”

“Bidadari secantikmu pandai merendah, kau tentunya gadis rimba persilatan saudari !!” pemuda berompi putih yang tadi diam membuka suara. Sang Dara menoleh ke arah pemuda berompi putih dan berseru tertahan.

“Wiro !!!! kau kah itu” wajah sang dara tersipu merah. Pemuda yang selama ini dirindukan sang dara, Wiro, sang pemuda yang dikasihinya itu. 

Pemuda berompi putih kerenyitkan dahinya dan tersenyum “Saudari kau salah orang !! perkenalkan namaku Andana, kau sendiri siapa ?” tanya pemuda berompi putih yang ternyata adalah Andana Harimau Singgalang, Pemuda dari Puncak

Singgalang. 

“Wiro ! kau bukan Wiro Sableng ! tapi mengapa wajah kalian berdua begitu serupa” 

“Namaku Andana Saudari !! Wiro Sableng pendekar kapak maut naga Geni 212 maksudmu ?” tanya Andana. 

“betul saudara, Engkau kenal padanya Andana ?

“Nama Besar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 terkenal di delapan penjuru angin saudari, aku tahu dari guruku mengenai pemuda itu, Sinto Gendeng gurunya adalah sahabat lama guruku” (Mengenai pertemuan Wiro Sableng dan Andana dapat dibaca di kitab mahakarya Bastian Tito episode Dendam Di Puncak Singgalang dan Harimau Singgalang”, disini penulis mengembangkan ilmu kesaktian dan tokoh Andana Harimau Singgalang versi sendiri, jadi seolah sang pendekar belum pernah berjumpa dengan Pendekar 212 Wiro Sableng) 

“Wajah keduanya sangat mirip !! akh Wiro dimanakah saat ini kau berada” sang dara berkata lirih dalam hatinya. Segenap kerinduan melanda jiwanya. 

“Kau memikirkan apa saudari ?” tanya Harimau Singgalang, membuat dara cantik berambut pirang tergagau, Wajahnya bersemu merah.

“Tidak ada apa – apa Andana ! aku hanya.. ah sudahlah lebih baik aku pamit melanjutkan perjalanan” jawab dara berambut pirang. Ia segera hendak memutar tubuh tinggalkan tempat itu

“Saudari tunggu ! kemanakah tujuanmu ?” seru Andana mengejar. 

‘Aku hendak melanjutkan perjalanan Andana” Jawab Dara berambut pirang.

“bolehkah aku ikut denganmu saudari ? apakah kau tertarik untuk menumpas gerombolan Kerajaan Teratai Darah” Tanya Harimau Singgalang, wajahnya penuh harap.  

“Sebaiknya aku segera pamit juga para saudara sekalian ! keamanan puteri Kesultanan Demak terancam sebab gusti puteri sedang dalam perjalanan menuju Temanggung, aku mengucapkan banyak terima kasih atas bantuamu Andana Harimau Singgalang dan saudari” Indralaya menyela lalu merangkapkan kedua telapaknya didepan dahi memberi hormat. 

“Ki Darmo, terimalah ini beberapa keping uang emas ! semoga bisa membantu memperbaiki kedaimu yang hancur, nanti aku sampaikan perihal ini kepada Sultan” Indralaya serahkan kantung uang kepada Ki Darmo membuat Ki Darmo mengucapkan terima kasih berulang kali dengan sikap hormat. Indralaya lalu berkelebat pergi tinggalkan halaman kedai Ki Darmo. 

Dara berpakaian biru muda berambut pirang segera pula berkelebat tinggalkan tempat itu. Andana berkelebat mengejar “Saudari siapa namamu ? setidaknya kasih tahu namamu” tanya Andana dengan setengah berteriak. 

Dara berambut pirang berhenti sejenak dan tersenyum, engkau terlalu memaksa Andana baiklah “Wiro dan para Sahabat memanggilku Bidadari Angin Timur” jawab sang dara lalu berkelebat dengan cepat. dalam waktu singkat sang dara sudah lenyap di kejauhan. 

“Bidadari Angin Timur !! desis Andana Harimau Singgalang. Ahhh Namanya seindah orangnya. Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya berkelebat ke arah lenyapnya Indralaya sang perwira Demak. Bagaimanapun sebagai rakyat, ia merisaukan keselamatan sang puteri kesultanan Demak itu sekaligus mencoba menghentikan sepak terjang gerombolan yang menamakan dirinya

Kerajaan Teratai Darah.

 3

Kereta kencana berlapis logam kuning keemasan itu ditarik sepasang kuda besar dengan saisnya seorang perwira muda. Kereta kencana mewah itu merupakan milik kesultanan Demak Dimana membawa puteri kesultanan Demak yakni Gusti puteri Ratu Ayu Wulan yang hendak menuju Temanggung. Sekitar Tiga Puluh prajurit pengawal berjalan kaki bersenjata lengkap, tiga perwira berkuda mengiringi kereta kencana disisi kiri kanan dan belakang. Puteri Ratu Ayu Wulan duduk santai dalam kereta kencananya, dara canti puteri kesultanan Demak ini tampak Anggun memakai kebaya khas Jawa lengkap dengan segala perhiasannya. Matanya menikmati keindahan alam yang terbentang sepanjang perjalanannya. Tiga pelayan Wanita muda duduk menemani sang puteri dalam kereta, mereka bertugas menyiapkan segala keperluan sang Puteri sepanjang perjalanan. 

Memasuki Lembah berhutan lebat, kereta kencana berjalan sedikit melambat sebab medan jalan tanah yang licin apalagi sepertinya daerah itu habis diguyur hujan membuat jalan tanah itu berlumpur dan tergenang air. Di kiri kanan Lembah terdapat tebing berbatu yang ditumbuhi Semak belukar dan pepohonan diatasnya. Belum lama rombongan Puteri Ratu ayu Wulan melewati Lembah itu tibatiba terdengar suitan nyaring. Dari balik tebing di kiri kanan jalan tampak melompat lebih dari dua puluh orang berpakaian Murid suatu padepokan silat menghadang rombongan Puteri Demak, orang-orang ini bersenjatakan pedang dan golok, melihat banyak orang tak dikenal melakukan penghadangan, para pengawal pasukan Demak segera mengambil sikap siaga. Salah seorang perwira maju ke depan dan membentak. 

“Melihat seragam pakaian kalian, kalian bukankah para murid dari padepokan Satya Darma ! apa yang kalian inginkan ?”

“Serahkan Puteri Ratu Ayu Wulan kepada kami ! kami diperintah membawanya ke padepokan ! jika kalian menolak maka kalian semua akan mati !’ Jawab salah seorang dari murid Padepokan, orang ini memakai Belangkon berwarna merah” 

“Siapa yang memerintah kalian ? setahuku Padepokan Satya Darma bealiran putih”

“Jangan banyak tanya perwira !! kawan – kawan bantai mereka !!” seru orang yang memakai Belangkon Merah. 

tanpa basa - basi para murid Padepokan Satya Darma langsung menyerbu ke arah rombongan pasukan Demak yang mengawal kereta kencana, Suasana kacau balau terjadi. Ringkik kuda terdengar tiada henti. Pertempuran segera berlangsung sengit, suara senjata tajam terdengar berdentringan, gebrakan cepat dari para penghadang berhasil menumbangkan para prajurit pengawal. Para perwira pengawal bertahan matimatian menghadapi para penyerbu, salah seorang dari perwira cepat berteriak memberikan perintah kepada para prajurit agar melindungi kereta kencana Dimana sang puteri Demak berada ketika tampak beberapa murid padepokan Satya Darma yang berhasil menumbangkan beberapa pengawal Demak menuju ke arah kereta kencana.  Dua perwira muda lainnya Bersama beberapa prajurit segera menghalau para murid padepokan itu dengan cepat, pertempuran sengit Kembali terjadi di dekat kereta kencana.setelah memberi perintah, perwira tadi lalu melompat ke depan sambil menetakkan pedangnya ke arah orang berbelangkon merah yang sedang membabati para prajurit Demak dengan tangannya. 

“Perwira sepertimu pantasnya jadi pengurus kuda kerajaan saja !! serangan tak becus seperti ini hanya untuk menakuti sapi !” Murid Padepokan berbelangkon merah itu tertawa mengejek melihat serangan sang perwira. 

Mudah saja lelaki berbelangkon merah mengelitkan serangan pedang sang perwira. Sang perwira berteriak marah karena merasa dipermalukan, ia Kembali menyerang lelaki berbelangkon merah dengan membabi buta. Namun sampai Lelah dan tangannya yang memegang gagang pedang berkeringat, tak satupun serangannya mengenai tubuh lelaki berbelangkon Merah. Mendapati sang perwira melemah, lelaki berbelangkon merah berkelebat cepat dan tiba-tiba “Prakkkkk” satu keprakan keras tangan lelaki berbelangkon menghantam kepala sang perwira. Tak ada jerit kesakitan lagi dari mulut sang perwira, hanya eluhan pendek, kepalanya remuk dan ia terbanting ketanah mati dengan mata melotot. 

Lelaki berbelangkon merah meludah ke tanah, lalu ia melompat dua tombak ke udara dan diiringi pekikan ia hantamkan telapak tangannya, cahaya merah panas luar biasa mengungkupi tempat itu menderu ke arah sisa pasukan Demak. Dalam sekejap saja tempat itu seperti dalam neraka sebab panas pukulan yang dihantamkan lelaki berbelangkon merah itu membuat sisa pasukan pengawal Demak terpanggang hangus dan mati dengan jerit memilukan. Puteri Ratu Ayu Wulan sendiri berteriak ketakutan Bersama para pelayannya. Mereka berpelukan dalam kereta kencana. Mayat para pengawal Demak bertebaran mengerikan disekitar tempat itu. Kusir kereta yang terluka dibagian dada mencoba menaiki kuda bermaksud melarikan kereta kencana guna menolong puteri Ratu Ayu Wulan, belum sempat ia menaiki kuda kereta, satu tendangan keras menghantam punggungnya. Lelaki berbelangkon merah tendangkan kaki kanannya tepat ke punggung sang perwira kusir kereta. Perwira bawah ini megap-megap lalu tergelimpang di dekat roda kereta. Lelaki berbelangkon merah segera dekati pintu kereta dan 

“Brakkkkkkkk !! pintu kereta kencana dibuka paksa dari luar. Tampak Lelaki berbelangkon merah menyeringai ke arah Puteri Demak beserta para pelayannya dari muka pintu kereta yang jebol. Jerit ketakutan para Perempuan ini terdengar semakin kuat. Puteri Ratu Ayu Wulan segera menghamburkan diri melalui pintu kereta kencana disisi lainnya berusaha untuk melarikan diri namun Lelaki berbelangkon merah segera mengejar dan “Hekkk” tubuh sang puteri terlebih dahulu kaku karena Putera Api dengan gerakan kilat menotok sang dara di bagian leher. Begitupun dengan Nasib ketiga pelayan muda sang puteri. 

“Kalian segera amankan ketiga pelayan muda itu, periksa isi kereta kencana jika ada barang berharga dan perhiasan” seru lelaki berbelangkon merah. 

Lelaki berbelangkon merah segera memanggul tubuh sang puteri, ia berkelebat cepat menuju kerapatan hutan disisi lamping tebing batu. Setelah melakukan penjarahan dan penculikan, para murid padepokan Garuda Emas segera menyusul lelaki berbelangkon kedalam hutan. Di kedalaman hutan lelaki berbelangkon berkata “Lekas tanggalkan pakaian samaran” ia kemudian menanggalkan pakaian murid padepokan Garuda Emas diikuti belasan lainnya. Dibalik pakaian mereka ternyata ada pakaian lain serba hitam dengan motif gambar bunga Teratai merah darah kecil rapi memenuhi kain pakaian, pakaian ciri khas Kerajaan Teratai Darah. Dibalik pakaian lelaki berbelangkon merah, ia memakai jubah hitam dengan motif yang sama yakni Teratai merah darah. Tangannya bergerak ke arah wajah melepas sesuatu yang ternyata sebuah topeng tipis. Wajah asli lelaki berbelangkon merah itu adalah wajah seorang pemuda gagah namun terlihat bengis dan angkuh. Ia kemudian memberikan perintah lagi. 

“Lekas tinggalkan tempat ini ! aku sengaja tidak membunuh kusir kereta kencana agar dia bisa memberikan laporan kepada Demak bahwa rombongan Padepokan Garuda Emas yang

melakukan penculikan ini Ha..Ha..Ha” 

“Baik yang mulia wakil Junjungan kami Putera Api ! seru para anggota Kerajaan Teratai Darah

“Bagus ! kerja kalian bagus ! tentu sang junjungan akan memberikan kalian pangkat dan jabatan yang tinggi atas keberhasilan kita ini” Putera Api memberikan isyarat agar segera tinggalkan tempat itu, ia memanggul tubuh Puteri Ratu Ayu Wulan diikuti para anggota Kerajaan Teratai Darah lainnya. 

Ternyata Putera Api atau Arey Kertawijaya, pendekar golongan hitam cabang atas dari puncak Mahameru, sang musuh bebuyutan Andana

Harimau Singgalang sudah menjadi wakil junjungan Kerajaan Teratai Darah (mengenai siapa Putera Api bisa dibaca di Serial Andana Harimau Singgalang

Episode ke 4 “Topan Prahara di Tanah Jawa”)

***

Kira-kira sepenanakan nasi lamanya setelah rombongan Teratai Darah menyerbu dan menculik Puteri Ratu Ayu Wulan, Indralaya baru tiba di tempat itu. Betapa terkejutnya sang perwira melihat keadaan di Lembah itu. Mayat pasukan pengawal Demak tampak bertebaran di sekitar Lembah, kereta kencana tampak rusak pintunya, kuda penarik tergelimpang di depan kereta. Indralaya segera mendekati kereta kencana, ia mencari keberadaan Tuan Puteri Ratu Ayu Wulan namun kereta dalam keadaan kosong. Telinganya mendengar suara erangan, matanya membentur sosok perwira muda yang menjadi sais kereta tergelimpang sekarat di roda kereta. Segera perwira Demak ini mendekati sais kereta kencana, ia mengalirkan tenaga dalam mencoba memberikan pengobatan dalam meski ia tahu keadaan sang sais itu sudah tipis kemungkinan untuk diselamatkan. Mendapatkan aliran tenaga dalam, sang sais membuka matanya sedikit, pandangannya kabur. 

“Perwira muda ! aku Indralaya perwira Demak,

katakan apa yang terjadi ditempat ini ?” 

Sang sais mengerang, terbata-bata ia menjawab “ka..mi diserang Para murid padepokan Garuda Emas, gusti puteri diculik me..re…. ka….” Perwira Muda sais kereta kencana itu kemudian menghembuskan napas terakhirnya. Tubuhnya melosoh ke tanah tersender di roda kereta. Indralaya menyebut nama Gusti Allah beberapa kali. 

“Aku harus segera melaporkan hal ini ke Demak, keselamatan Gusti Puteri terancam, orang-orang Padepokan Garuda Emas kalian akan menerima hukuman berat dari Sultan Demak” Indralaya berucap geram sambil kepalkan tinjunya, ia lalu berdiri, menatap sekeliling sebentar lalu tinggalkan tempat itu. 

Tak lama kemudian Andana Harimau Singgalang tiba pula dilembah itu, ia berseru kaget melihat keadaan memilukan dihadapannya “Onde Mande !! Nyawa manusia seperti tak berguna !! aku yakin sekali ini pasti ulahnya Kerajaan Teratai Darah” Harimau Singgalang gelengkan kepalanya berulang kali “Sebaiknya aku segera menuju Hutan Kaki Gunung Raung, bagaimanapun keselamatan puteri kesultanan Demak lebih penting, gerombolan ini semakin hari semakin berbuat keonaran”

***

Bagaimana Putera Api bisa bergabung dan menjadi wakil sang Junjungan Kerajaan Teratai Darah ? mari kita kembali lima purnama sebelum adanya keonaran yang disebabkan oleh gerombolan aliran hitam yang menamakan diri Kerajaan Teratai Darah, disebuah hutan di wilayah Kadipaten Bojonegoro…. 

Bojonegoro menjadi wilayah kerajaan Demak, sehingga sejarah Bojonegoro kuno yang bercorak Hindu dengan fakta yang berupa penemuanpenemuan banyak benda peninggalan sejarah asal jaman kuno. Slogan yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak masa Majapahit “sepi ing pamrih, rame ing gawe” tetap dimiliki sampai sekarang. Bojonegoro sebagai wilayah kadipaten kerajaan Demak mempunyai loyalitas tinggi terhadap raja dan kerajaan. Kemudian sehubungan dengan berkembangnya budaya baru yaitu Islam, pengaruh budaya Hindu terdesak dan terjadilah pergeseran nilai dan tata masyarakat dari nilai lama Hindu ke nilai baru Islam tanpa disertai gejolak. Raden Patah, Senopati Jumbun, Adipati Bintoro, diresmikan sebagai raja I, sejak itu Bojonegoro menjadi wilayah kedaulatan Demak. Kelak Ketika diakhir kejayaan kesultanan Demak dalam peralihan kekuasaan yang disertai pergolakan membawa Bojonegoro masuk dalam wilayah kerajaan Pajang dengan raja Raden Jaka Tingkir Adipati Pajang.

Disebuah hutan di Bojonegoro, terdapat sebuah api abadi Bernama Kayangan Api, Kayangan Api adalah tempat pertapaan seorang Empu dari zaman Majapahit bernama Empu Supa. Sang Empu dikisahkan melakukan pertapaan dan membuat pusaka di lokasi Kayangan Api. Pusaka yang dibuat oleh Empu Supa yakni Keris Jangkung Luk Telu Blong Pok Gonjo yang ditempa dan dibakar dengan api yang keluar dari dalam tanah tersebut. Oleh pihak kerajaan, Empu Supa diangkat menjadi Empu Majapahit dan diberi gelar Empu Kriya Kusuma.

Sang Surya belum lama terbenam di ufuk barat, burung-burung malam dan kelelawar baru saja keluar dari sarangnya guna mencari makan. Suasana Kayangan api terasa hangat, api alamnya menyala merah namun juga terkadang biru cukup menerangi gelap yang mengitarinya. Bau belerang menyengat ditempat itu. Setengah tombak jaraknya didekat Kayangan Api, diantara cahaya api tampak seorang pemuda sedang dusuk bersila bertelanjang dada dalam keadaan bersemedi, ia memakai Belangkon Merah di kepalanya menutupi rambutnya yang gondrong sebahu. Pemuda ini memiliki wajah yang gagah, dengan rahang kukuh , mata tajam dan beraut muka yang sinis angkuh. Panas api alam membuat kulit pemuda ini kemerahan semakin membuat otot-otot tubuhnya semakin tercetak. 

Menjelang tengah malam suasana di sekitar api abadi itu semakin sunyi, hanya suara binatang malam yang sesekali terdengar. Suara Burung Pungguk terdengar di pucuk pohon tinggi sebab bulan purnama meski sedikit tertutup awan hitam sinarnya cukup menerobos pepohonan. Diantara kelebatan pepohonan hutan sesosok tubuh berkelebat cepat menuju Api Kayangan. Sosok tubuh ini kemudian mendarat dengan enteng di hadapan pemuda berbelangkon merah yang tengah bersemedi. Cahaya api abadi dan sinar rembulan membuat orang ini terlihat jelas. ia seorang nenek bermuka keriput seram berpakaian hitam penuh tambalan dan yang membuat nenek ini semakin seram adalah alis dan rambutnya yang Panjang berwarna merah seperti api. Nenek ini tertawa mengekeh melihat pemuda berbelangkon merah yang tengah bersemedi 

“Bagus sekali muridku Putera Api ! semedimu selama dua purnama ini telah meningkatkan ilmu dan tenaga dalammu” 

Pemuda yang tengah bersemedi adalah Putera Api, nenek seram yang memanggil sang pemuda dengan panggilan muridku ternyata adalah guru Putera Api, nenek ini bergelar Malaikat Setengah Iblis. Sejak puluhan tahun silam ia adalah dedengkot golongan hitam Tanah Jawa. Nenek ini berilmu sangat tinggi dan banyak menebar maut bagi golongan putih namun ia juga suka bersekutu dengan golongan putih jika ada keuntungan darinya karenanya ia dijuluki Malaikat Setengah Iblis

(Baca serial Andana Harimau Singgalang eps Topan

Prahara di Tanah Jawa)

Putera Api seperti tak acuh akan kehadiran gurunya, ia memusatkan pikiran dalam semedinya. Malaikat Setengah Iblis Kembali mengekeh dan berkata. “Bangunlah muridku ! waktu semedimu telah selesai” ia kibaskan telapak tangannya, angin panas keluar dari tangan sang nenek menyapu ubun-ubun Putera Api. Sapuan tangan Malaikat Iblis membuat sang murid tersentak. Putera Api perlahan buka kedua matanya, tatapannya membentur sosok gurunya. 

“Guru !! kau sudah disini !” 

“Murid tolol ! kerjamu malang melintang di rimba persilatan kudengar hanya kekalahan saja yang kau dapatkan !” bentak Malaikat Setengah Iblis. 

Putera Api meradang mendengar ucapan gurunya “Guru geblek ! aku hampir saja menguasai Tanah Jawa andai tak ada Harimau Singgalang, Jahannam itu selalu mencampuri urusanku” 

“Mengalahkan Harimau Singgalang saja kau seperti tikus kepanasan muridku !” 

“Pemuda itu sangat Tangguh guru ! meski ilmuku tak berada dibawahnya !” Putera Api mencoba membela diri. 


Sudah ! kau tak perlu risaukan pemuda itu, ilmu tenaga inti apimu semakin meningkat sekarang semenjak kau kuperintahkan bersemedi disini, tubuhmu telah menyerap kekuatan imti api kayangan bergabung dengan Inti Api pijar Mahameru dalam tubuhmu” 

“Tubuhku terasa lebih ringan dan pandanganku terasa lebih tajam guru ! Andana Harimau Singgalang akan kulumat kau dengan Api

Ha..Ha..Ha.” Putera Api tertawa senang. 

“Ilmumu semakin tinggi, jika masih tak mampu juga menguasai tanah Jawa baiknya kau jadi tukang kebun Kerajaan saja Putera Api, Ha..Ha..Ha” 

“Dasar tua bangka geblek !!” Putera Api pencongkan mulutnya mendengar ucapan gurunya. 

“Aku semakin muak melihatmu disini, aku harus pergi,  ini aku bawakan pakaian merah kesukaanmu” acuh tak acuh Malaikat Setengah Iblis lemparkan seperangkat pakaian berwarna merah ke muka Putera Api membuat pemuda ini mengomel Panjang pendek.

Selamat tinggal Murid setan ! ingat jangan mempermalukanku lagi dengan kekalahan

Ha..Ha..Ha” belum selesai tawa Malaikat Setengah

Iblis, tubuhnya sudah berkelebat hilang di kejauhan. 

Putera Api pakai baju merahnya yang terjatuh di pangkuannya lalu mengenakan pakaian pemberian sang guru. Baru saja ia hendak meninggalkan tempat itu, satu suara menggema di malam yang sunyi. 

“Putera Api !! jika kau ingin menguasai Tanah Jawa bergabunglah denganku”

Putera Api menoleh ke arah kiri, disana di jarak lima tombak darinya, di bawah sebatang pohon Waru besar berdiri seorang berjubah hitam bermotifmotif bunga Teratai Merah darah, ia memakai caping bambu lebar yang menutupi kepala dan wajahnya. Putera Api mencoba menerawang wajah orang dibawah pohon Waru tapi kain hitam yang menutupi capingnya sangat pekat sehingga Putera Api tak bisa memastikan siapa orang ini. Putera Api hanya mengetahui dari suaranya bahwa orang bercaping itu seorang lelaki.

Siapa kau kisanak !! apa maksud ucapanmu tadi” balas membentak Putera Api, suaranya menggema ditempat itu. Putera Api mengambil sikap waspada, jika ia dan gurunya tak mengetahui kapan orang bercaping itu ada disana tentu orang itu memiliki ilmu meringankan tubuh serta ilmu kanuragan yang tinggi. 

Orang bercaping maju dua Langkah dan menjawab “Aku tahu kehebatanmu Putera Api ! bukankah Harimau Singgalang adalah  musuh bebuyutanmu, bayangkan jika kita bergabung tentu kita akan menguasai seantero rimba persilatan Tanah Jawa ini”

Putera Api tersenyum mengejek dan bertanya “Apa yang hendak kau tawarkan kepadaku ?” 

“Aku Sang Junjungan Kerajaan Teratai Darah menawarkanmu bergabung bersamaku, mengingat nama besarmu aku akan menjadikanmu wakil Junjungan” 

“Kerajaan Teratai Darah ! jika itu hanya serikat orang tolol aku tidak berminat bergabung” Kata Putera

Api. 


Orang bercaping mengekeh lalu berkata dengan suara dingin “Kau ingin bukti Putera Api ! apakah aku hanya orang tolol, lihat serangan” 

Cepat sekali gerakan Orang Bercaping, tahu-tahu Putera Api mendapati serangan jotosan lawan sudah menderu dekat sekali ke kepalanya. Dapat dipastikan terlambat sedikit saja maka kepala Putera Api akan rengkah tapi Putera Api juga tidak mudah untuk ditaklukkan maka dengan gerakan enteng Putera Api lentingkan tubuhnya jungkir balik mengindari jotosan lawan. Masih dengan gerakan melayang di udara, Putera Api balas menendangkan kaki kanannya ke kepala lawan. Orang bercaping kelitkan kepalanya kesamping mengelak tendangan Putera Api. Ia sodokkan sikutnya ke arah dada, Putera Api yang melihat sodokan siku lawan segera papaskan tangannya ke bawah menangkis sodokan lawan “Bukkkkk” siku Orang Bercaping dan tangan Putera api beradu. Putera Api merasakan tangannya tanggal sebaliknya Orang bercaping terjajar dua Langkah. 

“Keparat bercaping ini memiliki tingkat tenaga dalam tidak dibawahku !!” desis Putera Api. Segera ia keluarkan jurus Tarian Api andalannya. Tubuh Putera Api meliuk-liuk seperti api melakukan serangan dan jotosan ke arah Orang bercaping. Orang bercaping juga keluarkan jurus-jurus mematikan yang mengimbangi serangan Putera Api. Kedua orang ini bertarung begitu serunya sampai belasan jurus, hanya bayang-bayang gerakan mereka yang cepat terlihat oleh kasat mata. Putera Api melompat dua tombak ke udara kemudian hantamkan Pukulan “Api Biru” ke arah Orang Bercaping di bawahnya. Lidah Api berwarna biru panas menggebubu, pukulan Putera Api ini terlihat jauh lebih terang dan panas dari biasanya sebab ia sudah menyerap inti Kayangan Api yang membuat tenaga dalam dan ilmunya meningkat tajam. Orang Bercaping tak menyangka mendapatkan serangan ganas itu. Tak ada jalan lain baginya selain menjatuhkan tubuhnya rata dengan dan balas menghantam dengan pukulan mengandung hawa panas luar biasa disertai suara letusan keras. 

“Bummmmmmmm” suasana di tempat itu laksana diterpa puting beliung dengan hawa panas luar biasa menghampar. Orang bercaping terpental sampai enam Langkah lalu tertekuk lutut ke tanah, napas orang bercaping terdengar menyesak. Sebaliknya Putera Api jatuh terbanting ke tanah, Tubuhnya terasa remuk redam. Pandangan matanya berkunang-kunang dengan dada mendenyut sakit seperti ditusuk ribuan jarum. Murid Malaikat Setengah Iblis ini lalu bangkit berdiri bergerak ke arah orang bercaping dan berjubah hitam. Orang bercaping segera bangun dan Menyusun kudakuda serangan. Tapi Putera Api segera mengulurkan tangannya ke arah orang bercaping dan berkata dengan senyuman angkuh “Kematian untuk Harimau Singgalang !!” , orang bercaping segera menyambut uluran tangan Putera Api dan menjawab “Bagus !! Mari kita kuasai Tanah Jawa !! Ha..Ha..Ha..” 

Semenjak berdirinya Kerajaan Teratai Darah suasana rimba persilatan menjadi kacau sebab banyaknya pembunuhan atas tokoh-tokoh golongan putih, pemusnahan perguruan-perguruan silat yang tidak mau bergabung dengan Kerajaan Teratai darah, perampokan terhadap para saudagar serta petugas upeti kerajaan , penjarahan desa-desa, serta penculikan atas gadis-gadis muda. Salah satu korban penculikan oleh Teratai Darah yakni Permani, seorang dara yang diangkat murid oleh Dewa Tuak. Dara ini diculik para anggota Teratai Darah Ketika sedang mengambil air di tepi Sungai. Dewa Tuak merupakan seorang kakek tokoh silat golongan putih cabang atas yang sakti mandraguna, kebiasaannya meminum tuak harum dari bumbung bambu Bernama Tuak Kahyangan membuatnya dijuluki dan dikenal sebagai Dewa Tuak oleh dunia persilatan (Mengenai Dewa Tuak bisa dibaca di cersil Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 eps. Maut Bernyanyi di Pajajaran)

 

 

 

 

 

 

 

 

4

Kabut tebal masih menyelimuti pelataran dataran tinggi Dieng, sinar sang surya seperti enggan menembus ketebalannya, cahayanya hanya menembus temaram. Dipuncak pohon didahan teratas disela-sela dedaunan yang berembun butirbutir es kecil, tampak beberapa ekor burung Kutilang Jawa bercengkrama sembari berkicau sendu merindu hangat sang mentari. Membuat sedikit riuh suasana pagi yang dingin itu. Jika para pembaca mengarahkan pandangan ke arah beberapa buah candi dipelataran Dieng yang dikelilingi kolam luas berair jernih, di muka pintu sebuah candi berukuran besar, duduk seorang dara berbaju kurung berwarna merah memainkan sebuah Saluang (Seruling Khas Minangkabau) terbuat dari perak murni, dara itu begitu Anggun menggunakan tengkuluk (Penutup kepala Wanita

khas Minang berbentuk tanduk kerbau) menambah elok paras sang dara yang cantik jelita. 

Suara saluang sang dara mengalun mendayu-dayu seakan menembangkan syair-syair kerinduan membuat teduh hati yang mendengarnya. Namun semua keindahan itu terhenti oleh kelebatan dua sosok tubuh menuju ke arah sang dara disertai siuran angin yang deras menandakan ketinggian ilmu meringankan tubuh kedua orang yang datang itu sehingga dalam waktu singkat dua sosok itu sudah berdiri di depan sang dara. Sang Dara segera hentikan permainan Saluangnya dan menyimpan saluang perak dibalik baju kurung merahnya. Ia menatap tajam dua orang berpakaian serba hitam di hadapannya, kedua orang itu mengenakan pakaian serba hitam dengan corak gambar Bunga Teratai Merah. Salah seorang dari mereka seorang kakek berwajah pucat dengan luka codet melintang dibagian pipi, tubuhnya sesekali terlihat menggigil seperti orang kena penyakit malaria, ditangannya ia menggenggam tongkat hitam berhulu kepala Burung Gagak hitam. Dalam dunia persilatan kakek ini dikenal dengan julukan “Gagak Hitam bermuka Mayat”. 

Lalu seorang lagi disebelah  Gagak Hitam berdiri seorang nenek berdandan menor berbola mata belok mengunyah sirih dimulutnya Ketika ia menyeringai tampak merah air sirih disela-sela giginya yang hitam jarang, rambut Panjang putih sang nenek terselip hiasan rambut Kupu-kupu berwana merah. Ditangannya terkembang kipas berwarna warni. Sang Dara dengan tenang berkata “Gerangan apakah yang membuat Gagak Hitam bermuka Mayat dan Ratu Iblis Kupu-kupu merah pagi buta sudah berada di pelataran Dieng ? tampaknya kalian sudah bergabung dengan komplotan golongan hitam yang menamai diri

“Serikat Teratai Darah” ?

Gagak Hitam meleletkan lidahnya dan berseru “Cah ayu !! bukankah kau Puti Seruni, kekasih Andana Harimau Singgalang, Kami diperintahkan sang junjungan        Teratai        darah    untuk    menangkap kekasihmu itu” lalu ia menambahkan “tapi jika kau sudi ikut kami dan menyerahkan diri menjadi budak sang junjungan tentu sang junjungan akan senang mendapatkan hadiah dara secantikmu” 

Puti Seruni mendengus tajam “Sampaikan pada junjunganmu, kerbau betina mungkin lebih cocok untuk dirinya” 

“Jika demikian kau memilih lebur menjadi debu gadis cantik !!” teriak Ratu Iblis Kupu-kupu merah.  “Aku tak sudi mengikuti keinginan kalian dan junjungan kalian !! silahkan carikan saja kerbau betina” ejek Puti Seruni, lalu cabut saluang peraknya dan silangkan di depan dada. Dara cantik ini tahu bahwa dua manusia golongan hitam di depannya selain bukan tokoh baik-baik juga memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, keduanya sudah malang melintang di seantero pulau Jawa. 

Jika kau memilih demikian maka kami akan meringkusmu hidup-hidup cah ayu !! lihat serangan teriak Gagak Hitam bermuka Mayat, sang kakek kebutkan tongkat hitamnya ke depan. Serangkum angin berwarna hitam berbau busuk menyembur dari mata gagak ke arah Puti Seruni. Sang dara segera tutup jalan pernapasannya, jika sampai terhirup sedikit saja bisa membuat otot-otot tubuh akan melemas. 

Dari samping kiri, Ratu Iblis Kupu – Kupu merah kebutkan Kipas warna warninya, serangkum angin mengandung hawa dingin menderu. Menghadapi serangan cepat dan mendadak itu, Puti Seruni terkesiap berteriak tekuk lututnya sembari babatkan Saluang peraknya dalam jurus “Srikandi memanah Purnama”, Sinar perak menderu menangkis serangan angin Hitam Gagak Hitam. Sang dara coba pukulkan pukulan tangan kosong dengan tangan kirinya ke depan  guna menangkis kebutan angin kipas Ratu Iblis. Babatan Saluang Perak Puti Seruni berhasil membuyarkan angin hitam tongkat Gagak Hitam dan juga berhasil memukul pecah kebutan kipas Ratu Iblis Kupu-kupu merah namun sepertinya sang Kakek tak memberi kesempatan lebih lama, ia susupkan Kembali serangan tongkat hitamnya ke arah sang dara yang posisinya terbuka  dibarengi semburan asap hitam pekat ke arah wajah Puti Seruni. 

Dalam keadaan genting Puti Seruni coba babatkan saluang peraknya ke bawah guna menangkis serangan tongkat akan tetapi Gerakannya lebih lamban dari serangan tongkat sehingga serangan tongkat dan semburan asap hitam akan segera melumpuhkan sang gadis. Dalam keadaan pasrah itu, tiba – tiba diudara terdengar suitan Panjang disertai kelebatan bayangan putih dan teriakan “Kalian dua tua bangka tak berguna beraninya mengeroyok seorang gadis muda” lalu terdengar seperti suara ribuan tawon mengamuk disertai kilau Cahaya putih menyilaukan dan “Crasssss” Tangan Gagak Hitam bermuka mayat kutung sampai siku, tongkat dan kutungan tangannya mental entah kemana. 

Gagak Hitam bermuka mayat menjerit setinggi langit melihat tangannya telah buntung menghitam tanda ada racun yang mulai menyebar, ia berusaha menotok jalur aliran darahnya namun terlambat karena racun sudah menyerang jantungnya. Sang Kakek kelonjotan seperti ayam dipotong kemudian diam tak berkutik lagi. Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah terkesiap kaget, di depan sana empat tombak dihadapannya berdiri seorang pemuda gagah berambut gondrong berpakaian serta berikat kepala putih  sambil cengengesan dan menggaruk kepalanya, Pemuda itu menenteng kapak bermata dua berhulu kepala naga di tangan kanannya. Pantulan sinar Sang Surya di Langit Dieng  meski malu-malu masih bisa membuat Kapak itu berkilauan. Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah berseru kecut dan tercekat “Apa !! Pendekar Kapak Maut

Naga Geni 212”

Puti Seruni yang terduduk di tanah pandangi pemuda berambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih itu. 

Melihat wajah pemuda itu, Sang Dara berseru riang “Uda Andana !!! Kau menyelamatkanku”

Pendekar Kapak Maut Naga geni 212 berpaling ke arah Puti Seruni, pemuda ini mengulum senyum dan berkata “Saudari, kau salah aku ini bukan Andana”

Puti Seruni terheran mendengar ucapan Wiro, “Uda bukan Andana Harimau Singgalang ?” Dara ini heran sebab wajah Wiro Sableng hampir serupa dengan Andana Harimau Singgalang. 

“Namaku Wiro Sableng saudari ! tapi tidak Sableng betulan tapi suka sableng-sablengan Ha..Ha..Ha..” Wiro tertawa lepas, ia simpan Kapak Maut Naga Geni nya ke balik baju putih. 

“Kecuali nenek berdandan menor itu sepertinya sableng betulan karena ikut-ikutan bergabung dengan Kerajaan Sableng Ha..Ha..Ha..” Pendekar 212 kembali tertawa dan menggaruk kepalanya. 

Panas hati Ratu Iblis Kupu-Kupu mendengar ucapan Murid Sinto Gendeng, mukanya memerah timbul keberanian dalam hati sang nenek. Dengan geraham gemeretak nenek ini membentak marah “Pendekar 212 ! jangan kira aku gentar mendengar nama besarmu, ayo kita bermain-main sejurus dua jurus” 

‘Apa nek ! bermain-main ! aku ogah bermain denganmu masih mending sama saudari cantik ini ya kan ! Hi..Hi..Hi” Wiro berkata sambil kerlingkan mata ke Puti Seruni. Membuat wajah gadis ini bersemu merah. 

“Pemuda laknat ! mampuslah” Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah kebutkan kipas warna warninya. Serangkum angin deras melaju ke arah Pendekar 212. Wiro bersiul nyaring lalu berjumpalitan menghindari serangan sang nenek. Angin kebutan kipas sang nenek lewat sejengkal dibawah punggung murid Sinto Gendeng. Belum lagi Wiro menjejakkan kakinya dengan mantap ke tanah, Ratu Iblis KupuKupu Merah Kembali hantamkan kipas warna – warninya, kali ini dua larik sinar merah dan kuning mencari sasaran di tubuh Wiro Sableng. 

“Mampus kau bocah ! makan pencarianmu !” teriak

Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah, sang nenek yakin Murid Sinto Gendeng kali ini tak akan mampu menghindari serangannya, sang nenek lagi-lagi kecele, sebab Pendekar 212 sudah tidak ada lagi dihadapannya. Dua larik sinar merah dan kuning hanya menghantam telaga hingga air dan lumpurnya bercipratan kemana-mana. Mata Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah mencari – cari keberadaan Pendekar 212. 

“Aku disini nek ! baru saja saja ditinggal sebentar kau sudah kangen ! Ha..Ha..Ha” Wiro tertawa mengejek Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah, sang nenek melengak ke atas, disana Murid Sinto Gendeng bergelayutan di cabang pohon rindang di dekat Candi. 

Merasa dimainkan seorang bocah nenek ini berulang kali hantamkan serangan pukulan tangan kosong ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro lepaskan kedua tangannya yang bergelayutan di cabang pohon, ia melompat menghindari serangan pukulan tangan kosong sang nenek, sembari melompat Wiro mainkan jurus “Rajawali Membubarkan Anak Ayam ” , Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah sambut serangan Wiro dengan jurus-jurus andalannya. Perkelahian seru terjadi di pelataran Candi itu. Serangan Dahsyat Ratu Iblis Kupu – Kupu Merah benar-benar mencari maut di tubuh pendekar 212, Murid Sinto Gendeng tampak seperti kewalahan menahan serangan si nenek, beberapa kali serangan sang nenek hampir mengenai sasarannya. Barulah Ketika Wiro kemudian keluarkan jurus Orang Gila warisan Tua Gila di Pulau Andalas, kali ini terbalik keadaan, Ratu Iblis KupuKupu Merah terkepung permainan silat Wiro Sableng yang seperti orang linglung gerabak gerubuk namun berbahaya, sesekali Wiro mempermainkan sang nenek sambil tertawa haha hihi membuat sang nenek benar-benar mendidih amarahnya. Puncaknya setelah menghindari tendangan lawan yang mengarah ke kepala, Pendekar 212 dalam jurus “Kepala Naga Menyusup Awan” gelungkan tangannya ke tubuh si nenek dan Tarik lepas tali pengikat jubah hitam Ratu Iblis KupuKupu Merah. Sang Nenek terkejut bukan main mengetahui jubahnya tersingkap lebar polos dibagian bawah. Ia kalang kabut menutupi auratnya yang terbuka. 

“Edan !! sial aku melihat Apem bonyok ! Nek kau tak pakai celana dalam ya, Ha..Ha..Ha..Ha..” Seru Pendekar 212 sembari tutup kedua matanya, murid Sinto Gendeng tertawa tergelak-gelak.

“Bocah Jahannam !! tunggu pembalasanku !!” dengan penuh rasa malu Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah kebutkan kipas warna warninya, satu angin deras menggebu ke arah murid Sinto Gendeng. Wiro balas menghantam dengan pukulan “Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih”, serangan si nenek buyar namun sang nenek sudah lenyap dari pelataran Candi itu. 

Wiro tersenyum ke arah Puti Seruni yang terperangah melihat kejadian di depan matanya. Wajah sang dara terlihat merah karena jengah. 

“Apa kau tidak apa-apa saudari ?” Tanya Wiro menghampiri Puti Seruni. 

“Terima kasih uda Wiro sudah menyelamatkanku, aku tidak apa-apa”.

“Saudari siapa ? mengapa berada di Pelataran Candi Dieng ini ? Tanya Pendekar 212. Wiro merasa lucu Ketika dirinya dipanggil uda. 

“Namaku Puti Seruni aku berasal dari Ranah Minang Uda !” Sang Dara memperkenalkan diri.

“Sudah kuduga logatmu menandakanmu berasal dari sana Puti, Ranah Minang Andalas” kata Wiro. Tanah Andalas membuat Pendekar 212 teringat gurunya Tua Gila Ketika bersama-sama membasmi Datuk Sipatoka di Tambun Tulang. (Serial Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Eps. Banjir Darah di

Tambun Tulang) 

“Uda Wiro sendiri hendak kemanakah ?” tanya Puti Seruni. 

Pendekar 212 garuk kepalanya lalu menjawab “Aku mendapatkan tugas dari Dewa Tuak salah satu sahabat guruku untuk menyelamatkan muridnya yang diculik gerombolan Teratai Darah beberapa waktu lalu, Namanya Permani” 

“Nenek yang uda lawan tadi adalah salah satu anggota Kerajaan Teratai Darah” menerangkan Puti Seruni. 

“Iya benar, aku sudah tahu markas Kerajaan Teratai Darah berada, di Hutan Kaki Gunung Raung” kata Murid Sinto Gendeng. 

“Uda Wiro hendak menuju kesana ?” 

“Iya Puti, aku hendak menuju kesana mencari Permani, kau sendiri mau kemana ?” tanya Wiro.

“Aku tidak memiliki tujuan uda, hanya sekedar berpetualang” Jawab Puti Seruni sekenanya. 

“Kau pasti mencari Andana Harimau Singgalang, Ha..Ha..Ha” Goda Wiro. Wajah Puti Seruni yang memerah menandakan tebakan Murid Sinto Gendeng benar adanya. 

“Jika kau mau ikutlah denganku siapa tahu kita bertemu Andana” bujuk Pendekar 212. Melihat Puti Seruni berdiam diri. Wiro Kembali menggoda “di Jawa ini banyak gadis -gadis cantik, aku takutnya Harimaumu itu sudah menggondol beberapa dari mereka”

“Udaaaaaaaa Wiro !! teriak Puti Seruni mencubit murid Sinto Gendeng. Wiro tertawa terbahak-bahak lalu berlari meninggalkan tempat itu, Puti Seruni mengejar sang pendekar meninggalkan mayat Gagak Hitam Muka Mayat yang terbujur kaku menghitam akibat racun Kapak Maut Naga Geni 212 di pelataran Candi Dieng. 

(Mengenai Permani bisa dibaca pada Cersil Wiro Sableng mahakarya Bastian Tito berjudul : Rahasia Lukisan Telanjang)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri  di Demak. Demak sebelumnya merupakan kadipaten Majapahit yang telah melemah saat itu untuk beberapa tahun sebelum melepaskan diri.

Berdasarkan cerita tradisional Jawa, kerajaan ini didirikan oleh Raden Patah, yang merupakan keluarga dinasti Majapahit. Kesultanan Demak Terletak di pesisir utara Jawa, kerajaan yang didirikan oleh Raden Fatah atau yang lebih dikenal dengan Raden Patah ini menjadi sebuah kesultanan yang cukup disegani. Demak memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa.  Demak berada pada puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Trenggono. Pada masanya, ia melakukan penaklukkan ke pelabuhan-pelabuhan utama di Pulau Jawa hingga ke pedalaman. Salah satu pelabuhan yang ditaklukkan Demak adalah Sunda Kelapa, yang pada waktu itu berada dalam kekuasaan Kerajaan Sunda. Kelak Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta (Jakarta sekarang). Kesultanan Demak memiliki angkatan perang yang militan. Kadipaten-kadipaten di wilayah Jawa berhasil dikuasai.

Kehidupan ekonomi Kerajaan Demak sebagian besar didasarkan pada perdagangan dan pertanian. Demak adalah pelabuhan perdagangan yang penting, dan memiliki pasar yang ramai di mana para pedagang dari seluruh wilayah datang untuk membeli dan menjual barang. Ekspor utama Kerajaan Demak adalah beras, rempah-rempah, tekstil, dan kayu. Produk-produk ini diperdagangkan ke kerajaan-kerajaan lain, misalnya Cina, India, dan Timur Tengah. Pertanian juga merupakan bagian penting dari ekonomi Kerajaan Demak. Tanah yang subur dan iklim tropis Jawa membuatnya ideal untuk menanam padi, dan kerajaan ini dikenal dengan produksi berasnya yang berkualitas tinggi. Secara keseluruhan, Kerajaan Demak adalah negara yang makmur dan dinamis, dengan ekonomi yang berkembang pesat yang didasarkan pada perdagangan dan pertanian.

Sultan Terenggono baru saja selesai memimpin pertemuan kerajaan ketika salah seorang pengawal pintu istana memberi pesan bahwa Perwira Demak untuk wilayah Kadipaten ingin datang menghadap. 

"Bawa dia datang menghadapku" Titah Sultan Trenggono

Indralaya bersama pengawal istana kemudian masuk ke ruang pertemuan kerajaan, dengan mlaku ndhodhok (berjalan jongkok) Indralaya menghadap sultan, ia rangkapkan telapak tangan di depan kepalanya dan berkata "Daulat gusti prabu!! Ampun tuanku!! Hamba meminta izin menyampaikan hal penting sekali gusti!"

"Katakan apa yang ingin engkau sampaikan perwira"

"Nama hamba Indralaya gusti prabu, hamba perwira yang bertugas di Kadipaten dalam pengawalan perjalanan gusti Puteri Ratu Ayu Wulan, ampun beribu ampun rombongan gusti

Puteri diserang oleh sekelompok murid-murid Padepokan Garuda Emas"

"Apa!!! Bagaimana hal ini bisa terjadi" Bentak Sultan Trenggono marah, ia bangkit dari kursinya.

Dengan gemetar Indralaya menceritakan semua yang terjadi. Sultan Trenggono sangat murka rasanya ia hendak menghajar Indralaya saat itu juga namun      penasihat        Kesultanan berusaha menenangkan sang Prabu. "Ampun gusti prabu! Sebaiknya gusti bertenang diri dulu, kita pikirkan cara bagaimana menyelamatkan gusti Puteri Ratu Ayu Wulan"

Wajah Sultan Trenggono memerah menahan amarah, ia kembali duduk di kursinya. Dengan suara bergetar ia memberikan perintah  "Panggil Senopati Panduwinata        sekarang!!   Perintahkan       segera menghadap"

Beberapa pejabat istana yang masih berada di ruang pertemuan segera memberikan perintah kepada prajurit penjaga agar memanggil Senopati pasukan kerajaan, tak lama berselang Senopati Kesultanan       Demak dengan        tergopoh-gopoh datang menghadap, lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun. Ia bersimpuh dengan takzim di depan Sultan. Sedikit gemetar sang Senopati berkata "Ampun gusti prabu! Hamba

Senopati Raden Panduwinata datang menghadap" "Bagaimana tugasmu bisa kebobolan Senopati!! Puteri Ayu Wulan sekarang diculik murid - murid padepokan Garuda Emas" Kata Sultan Demak kesal.

Terkejut Senopati Raden Panduwinata mendengar kata-kata Sultan Demak, ia tergagau sesaat "Ampun beribu ampun gusti prabu, hamba sudah memberikan perintah kepada pasukan penjaga Kadipaten agar menjaga sepanjang perjalanan gusti puteri, hamba memohon ampun atas kelalaian ini dan siap menerima hukuman"

"Sudah!! Begini saja cepat kau pimpin pasukanmu ke padepokan Garuda Emas, saya minta Puteri Ayu Wulan selamat tanpa kurang suatu apapun" 

"Jika padepokan Garuda Emas melakukan perlawanan terpaksa engkau harus melakukan penindakan terhadap mereka, Perwira Bernama Indralaya ini akan menjadi penunjuk jalan pasukan menuju ke sana" titah Sultan Trenggono. 

Daulat gusti Prabu! Hamba segera laksanakan! Hamba mohon diri" Raden Panduwinata dan Indralaya memberikan penghormatan, kemudian keduanya meninggalkan ruang pertemuan Kesultanan Demak. Sultan Trenggono menarik napas, hatinya risau memikirkan Puteri Ratu Ayu Wulan. Tak tenang ia bolak balik duduk berdiri dan berjalan dengan hati yang tidak tenang. Suasana di pertemuan itu hening, para pejabat kesultanan banyak berdiam diri namun sejurus kemudian terdengar Salah seorang penasihat kerajaan kemudian berkata "Ampun gusti Prabu! Setahu hamba Padepokan Garuda Emas beraliran putih! Bagaimana mungkin mereka melakukan hal semacam ini kepada kesultanan, selama ini padepokan Garuda Emas suka membantu Demak dalam menghadapi para perusuh yang menamakan diri kerajaan Teratai Darah"

Penasihat ini seorang kakek berumur sekitar hampir tujuh puluh tahun, rambut putihnya tergelung oleh sorban berwarna putih, ia berpakaian seorang pemuka agama Islam.

Menurut hematku apa yang kiai Gede ing suro sampaikan memang benar adanya, namun perwira Demak itu saya rasa tidak mungkin berani memberikan laporan yang mengada-ada" Jawab Sultan Trenggono. 

"Ampun gusti Prabu! Jika gusti Prabu berkenan izinkan hamba beserta beberapa tokoh silat istana ikut ke padepokan Garuda Emas, mengingat Begawan Rakajaya permana sang mahaguru padepokan adalah kawan hamba semasa muda mudah-mudahan ia mau mendengarkan agar tidak terjadi salah paham antara Demak dan Padepokan" Menyarankan Kiai Gede ing Suro. Sultan Demak tampak merenung berpikir sejenak mendengar saran dari penasihatnya itu. 

"Baiklah Kiai, jikalau itu merupakan yang terbaik menurut Kiai baik, ajaklah beberapa tokoh istana ke sana bersama pasukan Demak, entah bagaimana hal ini bisa terjadi saya tidak mengerti mengingat hubungan baik kita dengan padepokan Garuda Emas" Kata Sultan Demak. 

"Daulat gusti! Demikian lah sifat kebanyakan manusia, pagi ia beriman sore menjadi sesat, sore beriman pagi besoknya menjadi sesat, sebab nafsu duniawi terkadang merubah sifat seseorang, demikian agar kita senantiasa meminta kepadanya hati yang teguh dijalan kebenaran, sebab hanya dialah yg maha Kuasa membolak-balikkan hati para hambanya, hamba mohon diri gusti! Kiai Gede Ing Suro memberikan hormat dan salam kepada Sultan Demak kemudian ia pun tinggalkan ruang pertemuan itu guna bersiap menuju padepokan Garuda Emas. 

***

Hujan mengguyur cukup deras ketika Bimasena mencapai lereng gunung Argopuro, ia menunggangi kudanya perlahan sebab bagian lereng gunung yang terjal dan berlumut licin ditambah semak belukar yang lebat membuat ia tak bisa menunggangi kudanya dengan cepat. Pemuda murid kesayangan Begawan Rakajaya ini kemudian turun dari kuda nya sebab tak mungkin ia meneruskan perjalanan dengan berkuda menuju puncak Argopuro. Ia tambatkan kudanya pada sebatang pohon. "Geni! Kau tunggu disini ya sampai aku kembali, makanlah rumput sepuasmu" Bimasena berucap lalu mengelus punggung kudanya. Kuda cokelat kemerahan kesayangan nya.. Pemuda ini usap wajahnya yang basah oleh air hujan, pakaian merah nya sudah basah kuyup. Dengan hati-hati dan dibarengi ilmu meringankan tubuh pemuda ini meniti jalan ke puncak gunung yang dipenuhi bebatuan licin berlumut.

Hujan sudah mereda ketika Bimasena mencapai puncak gunung Argopuro, di langit bagian timur tampak pelangi tujuh warna cantik menghiasi, Bimasena mempercepat larinya menuju bagian barat puncak dimana terdapat pedataran yang cukup luas, disini juga terdapat petilasan Puteri Rengganis, puteri Majapahit. Dari jarak beberapa tombak Bimasena hentikan langkah nya, kakinya seperti dipaku ke bumi, didepan sana ia melihat sesosok tubuh menghitam tergelimpang dekat reruntuhan pondok. Jantung Bimasena berdebar kencang, ia segera mendekati sosok tubuh menghitam itu. Dengan berdebar dan tangan gemetar sang pemuda membalikkan tubuh gosong itu , meskipun dalam keadaan gosong namun pemuda ini masih bisa mengenali siapa adanya sosok tubuh gosong itu. Pemuda ini memekik keras "Mahaguruuuuuu.. Ya Tuhan apa yang terjadi, guruuuuuu. " Bimasena memeluk tubuh gurunya yang sudah menjadi orang tuanya sndiri. Air matanya tumpah menangisi kematian begawan

Rakajaya. 

"Guru!!! Siapa yang tega melakukan ini kepadamu!! Aku bersumpah akan melakukan pembalasan" Ia seka air matanya yang meleleh.

Bimasena memandang berkeliling tempat itu. Tampak pepohonan menghitam hangus dan sisasisa perkelahian sengit, pemuda ini yakin bahwa yang membunuh gurunya bukan orang sembarangan sebab ia tahu gurunya bukan tokoh persilatan yang mudah dikacangi

Pandangan pemuda ini membentur sebuah tulisan di sebuah lempeng batu gunung dekat jenazah gurunya tadinya terbaring, tulisan itu ditulis menggunakan darah dan ditulis menggunakan tenaga dalam sebab meski hujan deras namun tulisan diatas lempeng batu itu tidak luntur hanya sedikit pudar, tulisan di atas batu itu hanya berupa angka, tiga deret angka yakni "212". 

"Dua Satu Dua" Desis murid begawan Rakajaya ini. "Aku tak tahu apa maksud angka ini, aku harus menyelidik dan mendapatkan petunjuk" Membatin Bimasena, ia kembali seka air matanya lalu membopong jenazah gurunya. Ia mencari pohon besar rindang yang ada di puncak gunung itu, dengan perlahan Bimasena baringkan jenazah sang guru di tanah lalu ia mulai menggali tanah guna membuat sebuah kubur untuk gurunya, tanah yang terguyur hujan membuat tanah sedikit lembek dan mudah untuk dikeduk. Sepeminuman teh lamanya Bimasena akhirnya berhasil membuat sebuah lubang cukup besar dan dalam. Dengan berlinang air mata pemuda ini turunkan jenazah gurunya secara perlahan ke dasar liang lahat. Terakhir Ia pandangi sesaat tubuh Begawan Rakajaya Permana dengan hati sedih bercampur aduk dengan amarah lalu mulai menimbun liang lahat sang guru.  Bimasena menarik napas berat, keinginannya untuk menyambangi sang guru ternyata berbuah pahit harus menerima kenyataan bahwa sang guru sudah tiada karena dibunuh. Penuh amarah dan kesedihan pemuda ini tinggalkan puncak gunung Argopuro.

***

Hujan baru saja reda Ketika pasukan kesultanan Demak memasuki halaman Padepokan Garuda Emas, di depan sekali menunggangi kuda Senopati Demak Raden Panduwinata diikuti Indralaya dan Kiai Gede Ing Suro serta salah seorang tokoh silat istana Bernama Manik Jingga. Panglima Demak membawa sekitar lima puluh prajurit terpilih bersenjata lengkap dan dua puluh pasukan pemanah. Para murid Padepokan Garuda Emas terkejut bukan main melihat banyak sekali prajurit Kerajaan memenuhi halaman. Panduwinata majukan kudanya tiga Langkah lalu berteriak lantang

“Mana pimpinan Padepokan Garuda Emas ! cepat keluar !”. wajahnya kelam membesi. Puluhan murid padepokan segera mengambil sikap waspada melindungi pintu utama padepokan. 

“Ada apa tuanku senopati mencari pimpinan kami, guru kami Bimasena sedang tidak ada di padepokan, beliau sedang berkunjung ke tempat mahaguru” salah seorang murid padepokan maju ke hadapan Panduwinata dan menjawab. Ia seorang pemuda berambut ikal berusia sekitar dua puluh tahun. 

“Jangan dusta !! cepat panggil keluar atau kami akan memaksanya keluar !” kata Senopati Demak pula. Kali ini ia berkata dengan lebih keras.  “Namaku Wananta, aku ditugaskan menjadi penanggungjawab padepokan Ketika guru sedang tidak ada, katakan saja keperluanmu Senopati” jawab pemuda berambut ikal. 

“Tanpa angin tanpa badai kalian tiba-tiba menculik puteri Ratu Ayu Wulan, mencari lantai terjungkat dengan Kerajaan, atas nama kesultanan Demak saya perintahkan kalian kembalikan puteri Ratu Ayu Wulan atau kami ratakan padepokan ini” 

“Fitnah macam apa yang kau lontarkan kepada kami Senopati ! bagaimana mungkin kami melakukan hal buruk seperti itu terhadap puteri Kerajaan” seru Wananta membela diri. 

Mendengar ribut-ribut diluar Gantari keluar dari dalam bangunan Padepokan, adik kandung Bimasena ini kemudian mencoba menengahi keadaan. 

“Tuan Senopati ! sebaiknya tuan turun dari kuda mari kita bicarakan ini dengan baik-baik” kata Gantari. 

“Kau siapa nona ! tidak ada yang perlu dibicarakan, kembalikan saja Puteri Ratu Ayu Wulan yang kalian culik” 

“maafkan saya menyela senopati ! nona ! izinkan kami menerangkan kejadian penculikan Gusti Puteri Ratu Ayi Wulan terlebih dahulu” Kiai Gede ing Suro menengahi. 

“Indralaya coba kau ceritakan kepada mereka kejadiannya !” kata Kiai Gede ing Suro. Indralaya majukan kudanya ke depan lalu menceritakan kepada Gantari dan para murid padepokan tentang kejadian penculikan beberapa waktu lalu. 

“Fitnah busuk ! semua itu fitnah, bagaimana mungkin kami melakukan hal buruk seperti itu” kata Wananta dengan suara keras. 

Senopati Panduwinata yang dari awal memang kurang bisa mengendalikan emosinya segera memberikan perintah “Prajurit !! kalian periksa padepokan ini temukan gusti puteri “

Wananta maju menantang “Apa hak kalian memeriksa Padepokan, kami sudah katakan yang sebenarnya kami tidak menculik gusti puteri Ratu Ayu Wulan” 

“Jangan menghalangi kami Wananta ! lekas menyingkir !” 

“Tindakan kalian sewenang-wenang senopati, kawan-kawan jangan beri jalan”

“Bedebah !! prajurit periksa paksa padepokan ini !! perintah Senopati Raden Panduwinata. Mendengar perintah Senopati Raden Panduwinata para prajurit

Demak bertebar hendak melakukan penggeledahan. Hal ini membuat Wananta dan para murid padepokan lainnya marah. Tanpa diperintah semuanya menyerang  para prajurit Demak. Suasana panas mulai berlangsung, puluhan murid padepokan menyerang dengan ganas dengan golok dan pedang masing-masing, dibalas pula oleh para prajurit Demak dengan serangan pedang dan tombak. Suara beradunya senjata tajam terdengar riuh di halaman Padepokan Garuda Emas. 

Raden Panduwinata segera pula hunus pedang panjangnya. Dengan ilmu meringankan tubuh sang Senopati bersalto dari kudanya sambil babatkan pedang panjangnya. Dua murid Padepokan Garuda Emas ambruk bersimbah darah dengan dada robek tersabet pedang Raden Panduwinata. Senopati Demak ini kemudian maju menghadapi Wananta yang sedang menebaskan golok besarnya ke arah tiga prajurit Demak. Perkelahian seru antara Raden Panduwinata dan Wananta mulai tersaji. Keduanya sama-sama memiliki ilmu kanuragan yang cukup tinggi. Korban mulai berjatuhan dari kedua belah pihak, tentu Murid-murid padepokan sudah terlatih ilmu silat dan kanuragan bisa mengimbangi pasukan Demak yang juga terlatih di medan pertempuran. Kiai Gede ing Suro hanya berdiam diri diatas kudanya, sang kiai hanya bisa beristighfar melihat keadaan. Sementara Indralaya dan Manik Jingga juga sudah terjun ke kalangan pertempuran. Para Murid Padepokan bertahan mati-matian di halaman dan tangga padepokan. Gantari pun tidak diam saja, ia ikut bertempur melawan pasukan Demak yang terus merangsek maju. 

Para murid Padepokan mencoba menahan laju  Para prajurit Demak. Para prajurit pemanah hujani para murid padepokan dengan panah. Pada jurus ke delapan belas, Senopati Demak mendapati keadaan pertahanan Wananta yang terbuka di bagian perut, secepat kilat Pedang di tangan Senopati Raden Panduwinata menusuk ke depan. Wananta coba babatkan goloknya tapi kalah cepat, akibatnya pedang senopati Demak menembus ulu hatinya. Wananta menjerit tertahan. Darah menyembur dari perutnya yang tembus, Wananta ambruk dengan posisi tertelungkup. Melihat Wananta tewas, para murid Padepokan menjadi kalap, mereka menyerang para prajurit dengan kalap. Namun kalah pengalaman tempur, Gantari menyerukan para murid padepokan agar mundur ke dalam Bangunan Padepokan yang biasa digunakan untuk pertemuan, beberapa murid segera tutup pintu utama bangunan padepokan itu. Melihat ini, Raden Panduwinata memerintahkan pasukan panah agar menghujani bangunan padepokan itu dengan panah. 

“Kalian ! bakar bangunan ini dengan Panah api ! 

Para prajurit pemanah segera menarik busur mereka, puluhan anak panah yang dikobari api segera menghujani bangunan padepokan itu, dalam tempo singkat atap bangunan mulai terbakar. Prajurit Demak lainnya berusaha melakukan pendobrakan terhadap pintu utama. Karena kuatnya dobrakan dari para prajurit Demak pintu utama bangunan aula Padepokan itu berhasil di bobol. Para prajurit segera masuk yang langsung disambut oleh para murid padepokan. Perkelahian sengit Kembali terjadi didalam ruangan aula. 

Sementara itu, dari arah lereng Gunung Argopuro, Bimasena terkejut melihat api besar berkobar dari arah Padepokan, pemuda ini segera memacu kudanya dengan cepat. Begitu sampai di pintu gerbang padepokan pemuda ini segera turun dari kudanya dan seperti melayang berkelebat kearah pertempuran, ia cabut pedang yang tersampir di punggungnya. 

“Para prajurit Demak !! apa yang kalian lakukan terhadap padepokan kami !” pemuda ini kalap melihat banyak muridnya tewas berkaparan. Murid Begawan Rakajaya segera gunakan pedangnya. Beberapa prajurit Demak tewas terbabat dalam ruang aula padepokan yang mulai panas karena dikobari api. Melihat Pemuda ini, Raden Panduwinata segera melompat ia palangkan pedangnya menahan pedang Bimasena yang hendak Kembali mencari korban para prajurit Demak “Trangggggg” bunga api memercik. Raden Panduwinata dan Bimasena sama-sama merasakan tangan keduanya bergetar. 

“Senopati Keparat ! apa yang kau lakukan terhadap padepokanku ! aku Bimasena tak akan memaafkan kalian” seru Bimasena murka.

“Bimasena, lekas serahkan Puteri Ratu Ayu Wulan yang kalian culik atau padepokan ini rata dengan tanah” ancam Raden Panduwinata. 

“Fitnah apa yang kau tuduhkan Senopati ! apaapaan ini”

“Kalau begitu kau memilih rata dengan tanah ! lihat pedang !” 

Raden Panduwinata Kembali membuka serangan dengan pedangnya. Bimasena tidak tinggal diam, ia mainkan jurus-jurus pedang warisan gurunya. Perkelahian seru Kembali terjadi di aula padepokan yang semakin hangus terbakar itu. Api sudah mulai membakar bagian dalam padepokan. Disela-sela perkelahian Bimasena memerintahkan Gantari dan para muridnya agar segera meninggalkan aula itu karena si jago merah tak kenal ampun terus membakar bagian-bagian dari bangunan aula padepokan Garuda Emas. Para Prajurit Demak juga berserabutan meninggalkan bangunan Aula itu. Di halaman Kembali terjadi pertempuran antara kedua pihak yang bertikai itu. Perkelahian seru antara Raden Panduwinata dan Bimasena sudah berjalan seru selama belasan jurus. Kemampuan silat dan ilmu tenaga dalam kedua orang ini tampak berimbang, sesekali terjadi baku hantam pukulan diantara keduanya yang membuat ruangan aula semakin parah keadaannya. Pada jurus selanjutnya Bimasena berkelebat tinggalkan ruangan aula yang sudah nyaris roboh oleh kobaran api, disusul Raden Panduwinata ke halaman padepokan yang luas. Keduanya Kembali melanjutkan perkelahian dengan serangan-serangan mematikan. 

Keadaan berubah ketika Indralaya dan Manik Jingga turun membantu Raden Panduwinata, tiga orang melawan Bimasena, bagaimanapun tinggi ilmu pemuda ini jika dikeroyok seperti itu cukup membuat dirinya kelabakan. Beberapa kali sabetan pedang Raden Panduwinata hampir mengenai dirinya. Manik Jingga yang menyerang dari samping kiri juga hampir menebas putus lehernya, untung tebasan pedang lawan hanya memutus beberapa bagian rambutnya. Bimasena semakin kalap, ia lipat gandakan tenaga dalamnya dan melepaskan pukulan tangan kosong ke arah senopati Demak. Raden Panduwinata jatuhkan dirinya ke tanah menghindari serangan pukulan murid Begawan Rakajaya. Pukulan tangan kosong Bimasena lewat diatas punggungnya dan terus menghantam sebuah arca batu di halaman padepokan hingga hancur berkeping-keping. 

Indralaya dan Manik Jingga Kembali memburu dengan pedang mereka, Bimasena memungut salah satu pedang prajurit Demak yang berserakan ditanah dengan dua pedang ditangan ia menyambut serangan lawan. sabetan Pedang Indralaya mengarah dada sedangkan tusukan pedang Manik Jingga mengarah leher Bimasena. Dari arah samping kanan, Raden Panduwinata babatkan pedangnya ke arah pinggang murid Begawan Rakajaya. Tiga serangan pedang mencari sasaran di tubuh Bimasena. Dalam jurus Angin menghembus Halimun, pemuda ini berhasil menahan sabetan pedang yang mengarah dada serta menangkis tebasan pedang Raden

Panduwinata yang mengincar pinggangnya. Namun Tusukan Pedang Manik Jingga terus memburu ke arah leher. Bimasena coba kelitkan kepalanya ke samping akan tetapi tusukan pedang Manik Jingga lebih cepat datang ke arah leher. Melihat keadaan bahaya ini Gantari segera melompat mencoba menyelamatkan kakaknya. Gantari memang berhasil menghalau tusukan pedang Manik Jingga tapi ia harus membayar mahal sebab dari samping secara tak sengaja serangan susulan tusukan Pedang Indralaya menembus perut Gantari. Gadis ini pegangi perutnya yang tertusuk. Tubuhnya limbung, pedang terlepas dari tangannya. Gadis itu terjerembab ke tanah halaman padepokan. 

“Gantari adikku !! Jahannam kau apakan adikku !!” Bimasena menjerit keras. Dengan tenaga dalam penuh ia tetakkan pedangnya, Indralaya yang terkesiap akibat tak sengaja menusuk Gantari dengan pedangnya tak menyadari nyawanya terancam, ia hanya melihat kiblatan pedang Bimasena lalu tanpa terduga pedang Bimasena membelah kepala Indralaya, darah dan isi kepalanya terburai mengerikan. Tubuh perwira ini terbanting ketanah dengan kepala belah mengerikan. Bimasena dengan kalap Kembali menyerang Manik Jingga dan Raden Panduwinata. Keadaan emosi membuat pemuda ini tak mampu mengendalikan dirinya, ia keluarkan seluruh kemampuan silatnya dan puncaknya ia Kembali berhasil menumbangkan Manik Jingga dengan pedangnya. Tokoh Silat istana Demak ini tewas dengan leher terkutung. Raden

Panduwinata yang marah melihat kematian Manik Jingga tendangkan kaki ke dada Bimasena, tendangan sang senopati telak menghantam dada pemuda itu. Murid Begawan Rakajaya terpental ke belakang, pungungnya terbanting ke tangga padepokan, ia muntahkan darah segar dari mulutnya. Raden Panduwinata tak lagi memberi kesempatan ia hantamkan pukulan “Merajam wesi melebur Baja”, “Wussssss” sinar panas berwarna putih menderu ke arah Bimasena yang tak berdaya. Bimasena coba balas menghantam tapi luka dalam parah yang dideritanya tak bisa membuatnya berbuat apapun. 

Pemuda murid Begawan Rakajaya ini tutup matanya menanti kematian tiba. Udara tiba-tiba menjadi redup, sinar hitam dari mana datangnya tiba-tiba menggebubu menghantam pukulan Merajam Wesi Melebur Baja yang hendak melumat Bimasena. “Bummmmm ! Bummmm !” letusan keras terjadi di halaman padepokan, tanah dan kaki-kaki orang ditempat itu terasa bergetar hebat. Raden Panduwinata mencelat mental, punggungnya terbanting ke batang pohon yang tumbuh di halaman padepokan. Senopati Demak ini muntah darah dan Tangannya menghitam sebatas siku, ia mengerang Panjang pendek. Disana di tangga bangunan Padepokan sudah berdiri dengan tegap orang bercaping dan berjubah hitam dengan motif bunga Teratai kecil berwarna merah darah. Dari arah gerbang padepokan bermunculan puluhan orangorang berpakaian serba hitam yang juga bermotif bunga Teratai Merah darah memenuhi bagian pakaian hitam mereka. Orang-orang ini kemudian masuk dan mulai menyerang dan membantai pasukan Demak yang bertarung melawan para murid padepokan Garuda Emas. Satu persatu prajurit Demak tumbang dan mati.

Melihat keadaan parah dan tak menguntungkan ini, cepat Kiai Gede Ing Suro sambar tubuh Senopati Raden Panduwinata, memanggul tubuh sang senopati di bahu kanannya. Penasihat Kesultanan Demak ini berkelebat cepat meniti atap bangunan disamping kanan halaman lalu melompati tembok pembatas padepokan. Beberapa anggota Kerajaan Teratai Darah hendak memburu mengejar namun orang bercaping memberikan isyarat agar tidak melakukan pengejaran. Orang   bercaping   ini kemudian melangkah dan berhenti di hadapan Bimasena yang terbaring tak berdaya tersandar di tangga bangunan. Pemuda ini pegangi dadanya yang berdenyut sakit. Terbata ia bertanya “Kaa..lian siapa ?” mata pemuda ini berusaha menembus kain hitam caping penutup wajah orang yang berdiri dihadapannya tapi tak bisa. 

‘Kami adalah pasukan Kerajaan Teratai Darah, lihat apa yang Demak sudah lakukan kepada kalian, apa kau tak ingin membalaskan dendam terhadap mereka” kata orang bercaping.

“Demak sudah melakukan Tindakan keji kepada Padepokanmu” 

Bimasena pandangi sesaat orang yang dianggapnya sudah menyelamatkannya dari


kematian. Lalu pemuda ini berkata “Demak akan mendapatkan balasannya !”

“Apa yang kau bisa lakukan dengan keadaan seperti ini ! jika kau ingin melihat Demak hancur maka bergabunglah dengan kami” 

“Apa maksudmu orang bercaping ?”

“Bimasena ! jika murid-muridmu bergabung Bersama kami tentu kalian akan memiliki kekuatan untuk membalas dendam, seperti kalian kami pun bermusuhan dengan Demak” menjelaskan orang bercaping. Bumbu-bumbu rayuan jahat mulai ditebarkan oleh Junjungan Kerajaan sesat ini. 

“Gantari.., Mahaguru..” Bimasena berteriak parau, ia menangis sesugukan di tangga padepokan mengenang kematian dua orang yang dicintainya itu. Bimasena melihat adiknya terkapar di tanah diseberang sana. 

“Apa jawabanmu Bimasena ?” tanya orang bercaping memburu. 

Bimasena merenung sejenak sambil menggigit bibirnya, perasaannya hancur berkeping – keping, rasanya tak berguna ia berbuat banyak kebaikan selama ini namun berakhir kepahitan.

“Baiklah aku dan para muridku menyatakan bergabung dengan Kerajaan Teratai Darah”

Orang bercaping tertawa lepas, betapa buruknya fitnah dan tipu daya yang sudah dibuat gerombolan ini terhadap Padepokan Garuda Emas. Bimasena tanpa sadar sudah terbujuk rayuan iblis yang membawa dirinya semakin dalam menuju kehancuran. Namun tak bisa juga disalahkan terkadang rasa sakit yang berlebihan dapat merubah sifat baik seseorang. Kebaikan yang tersakiti membuat seseorang menjadi jahat. Hanya kebaikan tanpa pamrih yang akan abadi ! kebaikan dari jiwa yang sudah tercerahi bahwa sejatinya Ketika diri sudah terbenam ke dalam lautan sang maha pengasih maka segala sesuatu itu hanyalah ilusi sebab cinta dari sang pencipta adalah balasan terindah dari sekedar bujukan surga apalagi dunia. Namun hanya sedikit dari mereka yang mendapat pencerahan, sebab nafsu kejahatan dan kebenaran akan terus bertarung dalam segenap sanubari insan

!!

Sultan Trenggono tak dapat lagi menyembunyikan kemarahannya Ketika Kiai Gede Ing Suro menceritakan kejadian di Padepokan Garuda Emas.

Kehadiran gerombolan Teratai Darah menyelamatkan Bimasena membuat Demak semakin terhasut fitnah meyakini akan adanya hubungan antara orang-orang Teratai Darah dengan Padepokan Garuda Emas. Sri Sultan mengirimkan seribu lima ratus prajurit dan perwira Demak menuju Hutan Kaki Gunung Raung guna menumpas gerombolan Teratai Darah dan menyelamatkan Puteri Ratu Ayu Wulan. 

 

 

 

 

6

Hutan di Kaki Gunung Raung sangatlah lebat dengan pepohonan yang besar-besar. Hutan hujan tropis yang selalu lembab dan berkabut membuat Kawasan hutan ini sukar dan jarang dijajaki manusia. Apalagi sebelum Kerajaan Teratai Darah menguasai tempat ini, Kawasan hutan ini dikuasai para perampok pimpinan Warok Bayanaka yang biasa melakukan aksi di wilayah Kerajaan Blambangan dan kadipaten-kadipaten disekitar gunung Raung. Ketika gerombolan Teratai Darah masuk ke tempat ini, mereka menaklukkan Warok Bayanaka dan membawa Warok Bayanaka beserta para anak buahnya bergabung dibawah kekuasaan Teratai Darah. 

Yang dinamakan Kerajaan Teratai Darah ternyata adalah sebuah perkampungan luas di dalam hutan rimba kaki Gunung Raung. Rumah – rumah disini terbuat dari papan kayu hutan bertiang kayu gelondongan setinggi dua tombak beratap daun rumbia. Perkampungan Kerajaan Teratai Darah ini berada dekat sebuah air terjun berhawa dingin.

Kerajaan Teratai Darah dikelilingi pagar kayu tinggi yang ujungnya runcing dengan gerbang utama berbentuk gapura terbuat dari bata merah bersusun. Pintu gerbang besar terbuat kayu jati berukir motif ukiran Jepara. Di kiri kanan gerbang terdapat pos penjagaan tinggi yang masing-masing dijaga oleh orang-orang pemanah berpakaian hitam khas Teratai Darah. Busur panah terpentang di tangan mereka dengan wadah anak panah tersampir dipunggung. Seperti layaknya sebuah Kerajaan, Teratai Darah juga memiliki pasukan tombak yang melakukan pengawalan di dalam perkampungan. 

Malam mulai turun di hutan kaki gunung raung, gelap mulai mengungkupi. Di bagian paling dalam perkampungan terpisah oleh aliran air terjun Kerajaan Teratai Darah memiliki satu bangunan utama yang berfungsi sebagai istana tempat bertahta sang Junjungan. Bangunan kayu panggung besar ini terletak di tepi Air Terjun dengan halaman yang luas. Obor ditancapkan di sepanjang bagian dinding rumah sehingga keadaan terang ditambah pula bulan purnama tampak bersinar penuh diangkasa. Tidak seperti malam biasanya suasana di halaman istana Kerajaan Teratai Darah tampak ramai berkumpul puluhan manusia berseragam pakaian hitam khas Teratai Darah membentuk sebuah lingkaran besar. Mereka mengerumuni sebuah altar batu kuno berukuran lebar yang pinggirannya dibuat berbentuk bunga

Teratai besar. Diatas altar ini terbaring sosok tubuh

Perempuan, berpakaian khas Perempuan bangsawan Jawa lengkap dengan perhiasannya, tubuhnya tak bergerak sepertinya dalam keadaan tertotok. 

Di sisi kiri dan kanan terdapat baris kursi batu yang berjajar rapi membentuk setengah lingkaran, diatas kursi batu yang paling depan duduk dengan tenang Sang Junjungan Kerajaan Teratai Darah, Bimasena tampak duduk dibarisan kursi dibelakangnya disebelahnya ada seorang lelaki bercambang bawuk lebat berkepala botak, dilehernya tergantung sebuah tasbih besar, orang ini memegang senjatan sebuah tongkat besi dengan ujungnya tajam berbentuk bulan sabit, ia adalah Warok Bayanaka. Dikursi batu bagian belakang tampak pula Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah, Kobra Merah dan Kobra Kuning serta para petinggi Kerajaan Teratai Darah lainnya, hanya Putera Api yang tak tampak ditempat itu. 

Altar lebar itu memiliki motif beralur pada bagian tengahnya. Motif alur itu membentuk gambar bunga Teratai. Di bagian atas bagian kepala batu altar terdapat lamping batu menyerupai nisan batu. Terdapat baris tulisan aksara sansekerta pada batu seperti nisan itu.

“Prasasti Teratai Darah”

Prasasti Teratai Darah lahir dari gelapnya mayapada..

Siapa yang membacanya tiga kali akan mendapatkan berkah..

Ilmu kanuragan sakti mandraguna..

Teratai Merah meminta darah..

Dari Perawan suci berdarah raja..

Siapa yang mengabulkannya..

Tepat tengah purnama..

Pada Saka Kartikamasa..

Akan digdaya kanuragannya…

 

“malam ini kita akan mengadakan persembahan darah perawan suci Puteri Demak kepada Penguasa Kegelapan ! 

“Tepat tengah malam Ketika sinar bulan purnama bulat menyinari maka itu waktunya Teratai Merah meminta darah, kita akan kuasai rimba persilatan !!” Seru sang Junjungan dari kursi batu sembari mengacungkan sebilah belati tajam berkilat. Para Anggota Kerajaan Teratai Darah serentak bersorak sorai mendengar seruan sang Junjungan. 

“Kobra Merah ! apakah kau sudah mempersiapkan segala sesuatu yang akan digunakan dalam ritual” Tanya Sang Junjungan. 

“semua sudah siap wahai junjungan ! Kemenyan, kembang tujuh rupa, air tujuh sumur sudah dipersiapkan di samping altar diatas sebuah baki” Jawab Kobra Merah sambil berdiri dari kursi batu. 

“Bagus ! malam ini aku harap semua rencana kita berjalan lancar”

“Kobra Kuning harap kau persiapkan pasukan sebaik mungkin, tambah pengawalan di pintu gerbang, kita harus bersiap-siap jika ada serangan mendadak dari Kesultanan Demak, ajak Kobra merah Bersama-sama melakukan penjagaan”

Perintah Sang Junjungan. 

“Pasukan sudah Bersiap siaga wahai Junjungan ! kabar terakhir yang aku terima dari mata-mata kita bahwa Demak sedang menyiapkan serangan besarbesaran terhadap kita” menjelaskan Kobra Kuning. 

“Pasukan Demak memang harus menjadi pertimbangan tapi kita tidak perlu gentar, jika mereka berani menyerbu kemari maka kita buat tempat ini jadi kuburan bagi mereka” 

Kobra kuning dan Kobra merah menjura memberi hormat lalu tinggalkan halaman istana Kerajaan Teratai Darah menuju gerbang perkampungan

Teratai Darah. 

“Dimanakah wakil Kerajaan Teratai Darah ? aku tidak melihat Putera Api dari tadi” tanya Sang Junjungan, matanya memandang berkeliling. 

“Ampun wahai junjungan ! Putera Api tadi berkata kepadaku bahwa dia akan menyusul karena ada keperluan terlebih dahulu di kediamnnya” Warok Bayanaka yang sedari tadi berdiam diri menyahut.  “Keparat ! kau pasti tergiur kemolekan tubuh dan kecantikan paras murid Dewa Tuak itu Putera Api ! tapi tidak apa setelah aku menguasai rimba persilatan kau tak akan berguna lagi dan akan mendapatkan kematianmu !” berkata sang

Junjungan dalam hati

***

Diatas dahan sebatang pohon rindang besar diluar pagar Kerajaan Teratai Darah sepasang pemuda dan pemudi sedang mendekam senyap, seorang pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih, Pemuda ini suka sekali menggaruk kepalanya sembari mengawasi ke arah rombongan pasukan Teratai Darah diseberang sana dan dara berbaju kurung khas Minang dengan Tengkuluk kepala berbentuk Tanduk Kerbau. Keduanya bukan lain Wiro Sableng dan Puti Seruni yang sedari tadi menguntit semua yang terjadi di halaman Istana Teratai Darah. 

“Uda Wiro ! apa yang harus kita lakukan sekarang ?” Tanya Puti Seruni. 

“Sebaiknya kita menunggu dahulu Puti” Jawab Pendekar 212. 


“Keselamatan Puteri Demak itu terancam uda, jika sampai darahnya membasahi altar itu maka ilmu hitam yang terkandung dalam batu itu akan dikuasai orang yang dipanggil sang junjungan” 

“Iya aku tahu Puti, lihat bulan Purnama sebentar lagi mencapai puncaknya berarti akan segera tiba waktunya persembahan” 

“Lihat kesana uda !” bisik Puti Seruni. 

Wiro arahkan pandangannya ke halaman istana. Di halaman istana Teratai Darah tampak Sang Junjungan mendekati Ratu Ayu Wulan yang tertotok kaku tak bergerak diatas altar batu, ia ditemani Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah sebagai pembawa baki berisi . Sang Junjungan mengambil bunga tujuh rupa dari baki yang dipegang Ratu Iblis kupu-kupu merah lalu taburkan bunga tujuh rupa ke sekujur tubuh puteri Demak itu. Kemudian ambil bokor kuningan berisi air tujuh sumur. Orang bercaping ini guyurkan air dari dalam bokor ke sekujur tubuh Ratu Ayu Wulan dari atas kepala hingga ujung kaki. Lalu sang Junjungan  membaca tulisan di bagian kepala batu altar, ia mengulanginya sebanyak tiga kali. 

Bulan Purnama semakin mendekati titik paling tengahnya di angkasa sinarnya yang terang menyapu halaman Istana Teratai Darah dan sekujur tubuh Ratu Ayu Wulan di atas altar batu. Sang Junjungan mulai membesetkan Belati tajamnya ke lengan Puteri Demak. Darah mulai merembes mengalir dari luka sayatan itu ke arah alur garis gambar teratai diatas altar . Andai tubuh sang dara tidak tertotok kaku yang membungkam suaranya tentu sedari tadi puteri demak ini berteriak ketakutan dan kesakitan. Para anggota Kerajaan Teratai Darah berseru tegang ketika Sang Junjungan Kembali mengangkat Belatinya tinggi-tinggi dan mengacungkan bagian lancipnya ke arah dada Puteri Demak. Lalu dengan cepat tanpa ragu sang Junjungan hujamkan belatinya ke arah dada Puteri Ratu Ayu Wulan. Pendekar 212 yang sudah mengetahui bahaya kematian mengancam sang puteri, ia berkelebat sangat cepat sembari cabut Kapak Maut Naga Geni 212 nya dari balik baju putih. Belum lagi Murid Sinto Gendeng mencapai belati lawan guna menahan hujaman Sang Junjungan, terlebih dahulu berkiblat Cahaya berkilauan sebuah senjata tajam dari arah samping “Tranggggggg” Belati di tangan sang Junjungan terpental akibat benturan sebuah senjata yang berkilauan tadi. Sang Junjungan berseru kaget lalu melompat menjauh sejarak dua tombak dari altar batu. Puti Seruni yang ikut Bersama pendekar 212 segera sambar tubuh Puteri Ratu Ayu Wulan dan membawanya ke tempat aman diluar pagar istana Kerajaan Teratai Darah. 

Ratu Iblis yang berada dibelakang orang yang menghantam belati Sang Junjungan langsung hantamkan kipas warna warninya ke arah leher dengan cara membokong. Wiro Sableng yang mengetahui Tindakan pengecut Ratu Iblis Kupukupu merah berteriak marah. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat cepat disertai suara seperti ratusan tawon mengamuk ke arah sang nenek dan “Crasssss” tanpa diduga kepala Ratu Iblis Kupukupu merah putus menggelinding ke tanah tertebas Kapak Naga Geni 212. Kutungan tubuhnya terbanting ke atas altar, darah segar menyembur dari kutungan leher membanjiri alur garis di atas altar sehingga aliran darah membentuk gambar Teratai berwarna merah oleh darah. Altar batu itu kemudian mengeluarkan asap merah mengepul disertai Suara seperti air mendidih, asap pekat semakin mengepul tebal meliuk – liuk membentuk kerucut aneh. 

Bimasena yang duduk diatas batu terkejut melihat kejadian cepat dihadapannya, tapi yang membuat ia lebih terkejut lagi Ketika tanpa sengaja melihat angka 212 yang tertera di dada Wiro Sableng Ketika baju putih sang pendekar tersingkap dibagian dada saat menebas putus leher Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah, ia teringat angka darah yang tertulis dibatu dekat ia menemukan jenazah gurunya di puncak Argopuro adalah angka 212. Dengan penuh amarah Murid Begawan Rakajaya ini melompat hunus pedangnya ke hadapan murid Sinto Gendeng. 

“Pemuda Jahannam ! jadi kau yang membunuh mahaguru!” teriak Bimasena. Ia segera hendak segera menyerang pendekar 212, akan tetapi sebelum itu terjadi, asap merah berbentuk kerucut yang keluar dari altar batu tiba-tiba menggulung Bimasena. Pemuda ini menjerit keras tubuhnya hilang dalam gulungan asap merah pekat seperti tertelan. 

“Celakaa ! darah tumbal Prasasti Teratai Darah bukan darah perawan suci tapi darah Ratu Iblis Kupu-Kupu Merah” Sang Junjungan tercekat. Ia melirik ke samping, tiga tombak disampingnya berdiri seorang pemuda gagah berpakaian rompi dan celana putih ia memakai Destar putih (Sejenis Tanjak Melayu khas Minangkabau) sebagai pengikat kepala rambutnya yang gondrong sebahu. Sebilah Mandau bergagang kepala Burung Elang Putih tersampir di depan dadanya yang bidang berotot dengan gambar rajah wajah Harimau yang sedang mengaum didada sang pemuda. 

Melihat cirinya pemuda ini bukan lain adalah Andana Harimau Singgalang. Murid Datuk Perpatih Alam Sati ini yang tadi memukul mental belati Sang Junjungan. 

Beberapa Langkah dihadapannya sang Junjungan melihat Pendekar 212 sedang menenteng kapaknya, melihat murid Sinto Gendeng membuat darah Sang Junjungan mendidih karena amarah sekaligus terkejut “Keparat !! lagi-lagi pemuda sableng ini hadir sebagai pengganggu” membatin sang Junjungan. Untuk menutupi keterkejutannya sang Junjungan berseru. 

“Pendekar 212 ! jauh-jauh kau datang ke Kerajaanku hanya untuk mengantarkan nyawa busukmu” 

“Manusia bercaping yang bermimpi menjadi raja, sebaiknya bangun dari mimpimu dan cuci muka Ha..Ha..Ha” ejek Pendekar 212. 

“Sebenarnya ia cocok jadi raja sobat ! tapi raja tikus comberan kotaraja Hua..Ha..Ha !” Andana ikut nimbrung menimpali. 

Menggembung rahang Orang bercaping karena merasa diejek “Kalian boleh tertawa sepuasnya nanti di Neraka ! kalian cincang dua pemuda ini jangan diam saja !” teriak Sang Junjungan kepada para anggota Kerajaan Teratai Darah yang berada di tempat itu. 

 

 

 

 

 

 

7

Kita tinggalkan dulu Andana Harimau Singgalang dan Pendekar 212 Wiro Sableng yang dikeroyok para anggota Kerajaan Teratai Darah. Di sebuah bangunan panggung besar di sisi timur perkampungan Teratai Darah, dalam sebuah kamar dengan ranjang bagus Putera Api memandang berkilat ke tubuh sintal Permani. Sang Dara berteriak mencaci maki Putera Api yang mengeluselus pahanya. 

“Permani ! itukan namamu ! malam ini kau akan mendayung kenikmatan Bersama Ha..ha..Ha..Ha”

“Bangsat Pengecut !! lepaskan totokanmu mari kita bertarung sampai mati” bentak sang dara. Marah bercampur takut merayapi diri Permani. 

“Siapa takut gadis cantik ! aku siap bertarung nikmat sampai pagi bersamamu Ha..Ha..Ha” belum lenyap tawa Putera Api tangannya bergerak cepat ke arah dada Permani “Breeeettttt” pakaian kuning Permani robek besar dibagian dada. Putera Api tersilau oleh kebagusan sepasang Bukit Kembar Permani yang kencang. Nafsu Tokoh golongan hitam dari puncak Semeru ini menggelegak. Hidungnya kembang kembis menahan nafsu. Tak tahan lagi Putera Api benamkan wajah gagahnya ke bukit kembar Permani yang membusung. Pemuda ini geluti Permani dengan penuh birahi. Permani menjerit ketakutan dan menghiba agar Putera Api menghentikan perbuatannya. 

Putera Api angkat wajahnya yang memerah dari dada permani “Apakah wajahku tidak gagah Permani sehingga kau tak sudi mencari kenikmatan bersamaku Ha..Ha..Ha” 

Permani menangis sesugukan Ketika Putera Api melorotkan celana Panjang kuningnya. Ia berulang kali mengucapkan nama Tuhan dalam hatinya memohon pertolongan. Putera Api segera melepaskan seluruh pakaiannya. Permani menjerit keras Ketika pemuda itu hendak meneduhinya. Sesaat lagi Permani akan terenggut kesuciannya, yang maha kuasa mengabulkan doanya. Jendela kamar tiba-tiba hancur berkeping-keping

“Pemuda bejat !! terima pencarianmu !!” satu bentakan disertai berkelebatnya satu bayangan biru muda sangat cepat “Bukkkkkk” satu tendangan keras menghantam dada Putera Api yang hendak menggagahi Permani. Putera Api mencelat mental ke sudut kamar, tubuhnya menghantam jambangan bunga di sudut kamar hingga berantakan.

Bayangan biru itu segera sambar tubuh Permani, ia juga cepat sambar pakaian kuning Permani lalu kabur melalui lubang jendela kamar yang terpentang lebar. Putera Api bangkit dari lantai kamar, pecahan keramik berserakan. Murid Malaikat Setengah Iblis ini pegangi dadanya yang serasa hancur kena tendangan si bayangan biru muda. Andai bukan seorang Putera Api tentu tendangan tadi sudah menghancurkan dadanya. 

“Keparat !! siapa orang yang melarikan Permani, kecepatannya laksana kilat” pemuda ini menggerutu Panjang pendek. Belum sempat ia berpakaian, pintu kamar diketuk berulang kali dengan ketukan keras. Putera Api merasa jengkel sekali dengan marah ia tendangkan kaki kanannya ke pintu kamar hingga hancur berantakan. Orang yang mengetuk pintu ternyata salah seorang pengawal Kerajaan Teratai Darah terpental kena ambrukan pintu kamar. Orang ini mengeluh di lantai papan luar kamar.

“Pengawal setan ! cepat katakan apa keperluanmu” 

“Ampun Wakil Junjungan ! Kerajaan kita diserang Pasukan Kesultanan Demak berjumlah lebih dari seribu orang, Sang Junjungan juga sedang bertempur dengan dua orang pemuda Bernama Wiro Sableng dan Andana”

Mendengar nama Andana, Putera Api semakin marah, penuh kesal pemuda ini tampar keras pengawal yang memberikan laporan. Pengawal Teratai Darah ini terpuntir jatuh dengan mulut pecah berdarah, ia mengerang kesakitan di lantai papan. Putera Api segera mengenakan pakaiannya dan berkelebat menuju Istana Utama Kerajaan

Teratai Darah. 

Merasakan keadaaan sudah aman, di bawah sebuah pohon Jati Hutan, Sosok Bayangan biru muda yang melarikan Permani segera menurunkan Permani dari panggulannya lalu melepaskan totokan sang dara. Mengetahui dirinya sudah ditolong, Permani ucapkan terima kasih berulang kali kepada sosok berpakaian ringkas biru muda dihadapannya. Sosok


itu seorang Dara cantik luar biasa berambut pirang Panjang. Dua lesung pipi merebak di kedua pipinya yang mulus menambah kecantikannya. Permani segera memakain pakaian kuningnya.

“Terima kasih saudari atas pertolonganmu jika kau tak datang Nasib buruk akan menimpaku seumur hidup” ucap Permani sembari kencangkan tali pengikat celana Panjang kuningnya. 

“Sudah kewajiban kita untuk saling menolong” jawab Dara rambut pirang.

“Namaku Permani, siapa namamu saudari ?” tanya Permani. 

“Namaku Bidadari Angin Timur” jawab sang dara berpakaian biru muda. Kedua pemudi ini lalu  menuju Istana Utama Kerajaan Teratai Darah Dimana pertempuran sengit tengah terjadi.

***

Terdengar suara bergemuruh Ketika seribu lima ratus prajurit Demak menyerbu perkampungan Kerajaan Teratai Darah, suara derap kuda terdengar bergema-gema. Pasukan pemanah dan pengawal Kerajaan Teratai Darah di pintu gerbang tak mampu membendung serangan pasukan Kesultanan Demak hingga dalam waktu singkat pasukan Demak telah berhasil membobol pintu gapura utama Teratai Darah. Dari dalam perkampungan Pasukan Kerajaan Teratai Darah segera menghalau pasukan Demak yang menyerbu. Pertempuran luar biasa dahsyat tersaji di perkampungan Kerajaan Teratai Darah. Suara ribuan senjata tajam beradu dan suara jerit serta erangan kematian berkumandang di tempat itu. Satu persatu korban berjatuhan baik dari Demak maupun pihak Teratai Darah. Amis darah merebak tajam ditambah tanah yang mulai berubah warna merah karena darah.

Disisi lain, mendapatkan serangan para anggota Teratai Darah, Wiro Sableng mainkan jurus “Ular Gila menarik Gendewa dipadu dengan Jurus Kunyuk Melempar Buah” dan Andana Harimau Singgalang mainkan jurus Silek Kumango dan Jurus Sayap Elang Membelah Angkasa. Sekali dua pendekar ini menggerakkan tangan dan kaki belasan Anggota Teratai Darah roboh berkaparan. Disela-sela pertarungan yang sengit itu, Sang Junjungan memerintahkan Warok Bayanaka  agar pasukan Teratai Merah ditempat itu segera membantu Pasukan Teratai Merah di pintu gerbang utama sebab pasukan Demak seperti air bah sudah mulai membanjiri perkampungan Kerajaan Teratai Darah. 

“Andana Harimau Singgalang aku lawanmu ! satu suara terdengar keras dari arah samping disertai berkelebatnya bayangan merah. Andana yang mendapat serangan cepat menangkis dengan tangannya “Bukkkkkkk” dua lengan beradu keras. Andana terjajar dua Langkah. Sementara bayangan merah tersurut ke belakang. Melihat siapa yang menyerangnya Andana Harimau Singgalang berseru “Putera Api !! rupanya kau sudah menjadi kacung di Kerajaan Teratai Darah”

“Harimau Singgalang bersiaplah hari ini malaikat maut akan mencabut roh busukmu”. Putera Api keluarkan jurus Tarian Api, semenjak mendapatkan tambahan inti kayangan api murid Malaikat Setengah Iblis ini merasakan tubuhnya lebih enteng dan kuat. Menghadapi lawan Tangguh, Harimau Singgalang Jurus Cakar Elang Merobek Langit. Cakaran dan jotosan Andana Harimau Singgalang mencari sasaran di leher dan dada Putera Api, mendapat serangan Andana, Putera Api tidak gentar sedikitpun. Tubuhnya meliuk-liuk seperti lidah api yang terhempas angin deras menghindari setiap serangan ganas Andana Harimau Singgalang. Perkelahian dua tokoh sakti Tingkat tinggi ini benarbenar tersaji dengan seru. Hanya bayangan pakaian hitam dan putih dari keduanya yang Nampak dipandangan kasat mata. 

Sang Junjungan Teratai Darah pun segera melompat ke kalangan perkelahian, dengan gerakan luar biasa sebat orang bercaping ini menyerang Murid Sinto Gendeng yang sedang menghajar lima anggota Teratai Darah. 

“Pendekar 212 ! nyawamu akan tamat malam ini” Orang bercaping berseru lalu dua tangannya hantamkan pukulan tangan kosong. Suara angin menderu-deru bagai angin topan. Menghadapi serangan yang dahsyat ini, Wiro langsung balas menghantam dengan pukulan  Segulung Ombak Menerpa karang. “Bummmmmm Bummmmm !!” letusan dahsyat terjadi Ketika pukulan yang dilancarkan Sang Junjungan beradu dengan pukulan sakti Pendekar 212. Tanah bergetar hebat, jika tidak mengimbangi diri tentu Wiro akan terjatuh tertekuk lutut ketanah. Orang bercaping tergontai-gontai, aliran darahnya mengalir tak karuan. 

Orang bercaping yang dipanggil Sang Junjungan Kembali lancarkan serangan susulan yakni tendangan cepat ke arah dada murid Sinto Gendeng, Melihat lawan menendang, Wiro melompat. Tangan kanannya lalu menderu ke arah batok kepala lawan. Orang bercaping Yang hendak dikemplang batok kepalanya segera pergunakan tangan kanan untuk menangkis. Serangan tangan Wiro berhasil ditahan oleh Sang Junjungan. Dua tangan beradu keras, Orang bercaping merasa tubuhnya seperti terhenyak ke tanah sementara Pendekar 212 merasakan tubuhnya membal ke atas akibat hebatnya tenaga dalam lawan saat beradu tangan tadi meski tenaga dalam Wiro sendiri sama sekali tidak dibawah orang bercaping,  Sambil turun kini Wiro ganti melancarkan tendangan! Kali ini ia mengincar kepala orang bercaping. Sang Junjungan kelitkan tendangan kaki Wiro Sableng dengan miringkan kepalanya. Dari bawah orang bercaping hantamkan tinjunya ke atas. Tinju itu mencari sasaran di dagu Murid Sinto gendeng. 

Wiro yang tak ingin dagunya hancur Tarik kepalanya ke belakang lalu lentingkan tubuhnya setengah lingkaran. Wiro lalu melakukan tendangan setengah lingkaran. Orang bercaping yang dapat membaca arah tendangan Wiro melompat tiga Langkah kebelakang sehingga tendangan pendekar 212 hanya mengenai udara kosong. Sang Junjungan lalu hantamkan pukulan tangan kosong berulang kali. Wiro pontang panting menghindari serangan pukulan  lawan, Tubuh dan pakaian Pendekar 212 berkibar-kibar tersapu angin pukulan Sang Junjungan. Orang bercaping sepertinya tak ingin memberi kesempatan, ia memburu pendekar 212 dengan cepat dengan tendangan kilat ke arah kepala. Wiro keluarkan jurus Jurus Kipas Sakti terbuka, kedua telapak tangan murid Sinto Gendeng bersilang terkembang menangkis tendangan lawan. Perkelahian seru Kembali berlanjut. 

Dilain Pihak pertarungan antara Andana Harimau Singgalang dan Putera Api berjalan seimbang dan sudah memasuki jurus yang ke sembilan belas. Berbagai jurus silat sudah dimainkan oleh kedua pemuda ini. Putera Api benar-benar menghadapi lawan digdaya, Dalam hatinya dia membatin, "Keparat ini memiliki kepandaian semakin tinggi semenjak pertemuan beberapa waktu yang lalu. Berbahaya. Kalau tidak segera kuhabisi bisa berabe dibuatnya ..." Maka tanpa menunggu lebih lama Putera Api menyerang. Dia kerahkan seluruh kepandaiannya, gunakan tenaga dalamnya yang tinggi dalam setiap pukulan atau tendangan yang dilancarkan. Mengetahui serangan Putera Api sangat berbahaya, Andana mainkan jurus-jurus silat yang ia dapatkan dari Nenek Mawar Biru di pulau Bangka yakni Jurus Dewa Surya Menarik Busur Panah lalu Jurus Dewa Surya Menyapa Rembulan.

(Eps. 9 Harimau Singgalang berjudul Purnama di

Langit Sriwijaya) 

Putera Api merasakan serangannya seperti tertahan oleh suatu dinding yang disebabkan oleh Tenaga Dalam Harimau Singgalang. Andana Kembali memburu dengan tendangan kilat ke arah perut , menghindari tendangan Murid Datuk Perpatih Alam Sati, Putera Api bersalto mundur sebanyak dua kali lalu berbalik hantamkam Pukulan Api Neraka. Lidah Api merah bara menghampar panas ke arah Harimau Singgalang. Andana lalu jatuhkan tubuhnya sama rata dengan tanah lalu balas menghantamkan telapak tangannya. Sinar putih panas dengan suara menggelegar beradu dengan Pukulan Api Neraka Putera Api. Bangunan istana panggung bergetar hebat. Baik Andana maupun Putera Api sama-sama terhempas punggung ke tanah. Andana merasakan dadanya sesak remuk, ia terbatuk-batuk dengan napas sesak. Cukup lama pemuda ternanar dengan pandangan gelap.

“Jahannam lagi-lagi tenaga dalamku belum bisa melampaui Harimau Singgalang !!” mengumpat Putera Api, ludahnya terasa asin sebab ada darah yang mengalir melewati kerongkongannya. Ia menderita luka dalam meski tak seberapa parah.

Ketika pertarungan sengit antara Andana Harimau Singgalang dengan Putera Api serta Wiro Sableng melawan Sang Junjungan terjadi, Ratusan Pasukan Demak yang berhasil mengalahkan pasukan Teratai darah di gerbang utama dan perkampungan sudah memenuhi dan mengepung Istana Kerajaan Teratai Darah. Senopati Raden Panduwinata memimpin depan sekali. “Kurung tempat ini jangan sampai ketua dan wakil Teratai Darah lolos dari tempat ini”  “Sebaiknya kau menyerah Putera Api ! tempat ini sudah terkepung” seru Andana Harimau

Singgalang. 

Putera Api mengekeh “Apakah kau tak sanggup mengalahkanku Andana sampai berlindung di belakang pasukan Demak” 

“kau boleh jumawa Putera Api tapi sebentar lagi tubuhmu akan dibuat jadi sate oleh pasukan Demak. Ha….Ha…Ha” ejek Putera Api

“Bedebah !! mampuslah kau !” Putera Api hantamkan pukulan Api Biru, Cahaya biru terang panas menggebubu ke arah Harimau Singgalang. Murid Datuk Perpatih tak segan – segan lagi keluarkan Pukulan Telapak Halilintar. Sinar Putih panas disertai suara gelegar hebat mencuat. Dua pukulan sakti dengan tenaga dalam tinggi beradu, “Bummmmm Bummmmmm” Kembali tempat itu terjadi getaran hebat. Kaki – kaki mereka yang berada di halaman istana merasakan hebatnya getaran. Putera Api merasakan tubuhnya seperti leleh sedangkan Andana terduduk tak berdaya, Tangannya kaku panas. 

“Prajurit tangkap pemuda itu !” Raden Panduwinata berseru memerintahkan para prajurit menangkap Putera Api. Puluhan prajurit Demak maju bergerak. Putera Api menyumpah serapah mendengar perintah senopati Demak. 

“Setan !! bisa barabe aku di tempat ini” Putera Api berkata dalam hati. Pegangi dadanya yang mendenyut sakit, Pemuda ini hantamkan pukulan tangan kosong tapi tidak ke arah Pasukan Demak. Ia hantamkan ke tanah di hadapan para prajurit. Tanah pecah bertebaran menutupi pemandangan. 

“Jangan kabur kau Putera Api !” Andana memburu ke depan namun Putera Api sudah berkelebat lenyap dibalik pagar Istana Kerajaan Teratai Darah dalam kegelapan malam dan kerapatan pepohonan hutan. 

 

Sang Junjungan yang mengetahui Putera Api melarikan diri menyumpah serapah, penuh geram ia menerkam Pendekar 212. Sang Junjungan merasa sedikit kecut mengetahui dirinya sudah terkepung, ia keluarkan jurus-jurus mautnya menyerang murid Sinto Gendeng dengan kalap. Demikian hebatnya


serbuan Sang Junjungan hingga Wiro Sableng merasa seolah-olah ada setengah lusin musuh yang menggempurnya saat itu. Tubuhnya disambar angin serangan dari berbagai penjuru dan sesaat kemudian satu pukulan menyerempet bahunya hingga pemuda dari puncak Gunung Gede ini melintir. Orang bercaping yang melihat lawan kehilangan keseimbangan kirim tendangan ganas dari samping kiri ke arah perut. Namun saat itu Wiro sudah dapat menguasai diri. Ia membentak nyaring. Saat itu pula tubuhnya lenyap dari pemandangan dan yang ada kini hanya bayangan putih saja menyambar kian kemari. 

Tahu-tahu jotosan pendekar 212 sudah dekat sekali ke dada Sang Junjungan. Sang Junjungan terkejut hendak berkelit dan sodokkan siku nya ke depan namun jotosan pendekar 212 datang lebih cepat “Bukkkkk” , sang Junjungan menjerit keras terpental lima Langkah ke belakang, darah tersembur dari mulutnya dibalik caping. Andai tak memiliki kesaktian yang paripurna tentu sudah hancur dada sang junjungan terkena jotosan Murid Sinto Gendeng yang mengandung tenaga dalam tinggi. Dilain pihak meski berhasil mendaratkan jotosannya, sikut Sang Junjungan juga berhasil menyodok ulu hati pendekar 212 “Hekkkk” Tubuh Wiro terlipat ke depan, perutnya sakit seperti mau pecah, napasnya sesak sempit. 

Memandang berkeliling Sang Junjungan kertakkan rahangnya dibalik kain caping. “Jahannam !! mati konyol diriku ditempat ini” Ketua tertinggi Kerajaan Teratai Darah ini mengeluh. Timbul niatnya melarikan diri saja. Ia sudah terkepung ratusan prajurit Demak belum lagi Pendekar 212 Wiro Sableng, Andana Harimau Singgalang, serta tokohtokoh silat istana lainnya, Bidadari Angin Timur, Permani dan Puti Seruni juga berada di halaman Istana Teratai Darah. Tanpa berpikir Panjang Sang Junjungan memutar tubuhnya hendak melarikan diri menyusul Putera Api. 

“Kali ini kau masih bisa selamat Pendekar 212 ! lain waktu aku pasti mampu menamatkan riwayatmu” seru sang Junjungan . 

“Jangan lari kau !!” Andana berteriak mengejar Sang Junjungan. Ia hantamkan Pukulan Telapak Halilintar lalu disusul Pukulan Badai Topan Puncak Singgalang. Sang Junjungan berseru kaget mendapatkan serangan hebat, dalam keadaan terdesak ia balas menghantam, udara malam terasa meredup lalu dari tangan Sang Junjungan melesat Cahaya tiga warna menderu menyambut pukulan Andana Harimau Singgalang. 

“Apaaaa !! Pukulan Gerhana Matahari !!! jangan jangan….” seru Wiro Sableng mengenali pukulan lawan. Wiro bangkit hendak mengejar ke depan namun letusan pukulan sakti Andana Harimau Singgalang yang beradu dengan Pukulan Tiga Warna membuat murid Sinto Gendeng Kembali terduduk. Andana mencelat mental meski selamat dari beradunya pukulan sakti. Sang Junjungan terpental muntah darah. Luka dalamnya menjadi parah, terseok – seok ia berkelebat berusaha melarikan diri menuju kegelapan hutan diluar pagar Istana Teratai Darah. Pendekar 212 yang tak ingin Sang Junjungan kabur cabut kapak maut naga geni 212 dari balik pakaian putihnya lalu lemparkan kapaknya. Suara seperti ratusan Tawon mengamuk terdengar disertai desingan kapak yang cepat ke arah Sang Junjungan.  Bidadari Angin Timur dengan kecepatan kilat ikut ambil bagian mengejar berusaha menangkap sang Junjungan. Di depan sana Sang Junjungan yang mengetahui dirinya dalam bahaya segera merunduk. Kapak Maut Naga Geni 212 menderu di atas kepalanya. Meski selamat namun caping bambunya masih tersapu hingga terbelah dua, satu wajah gagah dengan rahang kukuh congkak tampak. Serangan tangan Bidadari Angin Timur yang hendak menangkap kerah jubahnya berhasil pula dikelitkan Sang Junjungan tapi ujung kuku tangan Bidadari Angin Timur masih sempat merobek jubah hitam sang Junjungan hingga robek besar dibagian dada. Dibalik jubah Teratai Darahnya dibagian dada terpampang gambar matahari bulat besar berwarna merah lengkap dengan sinar yang juga berwarna merah berlatarbelakang gunung berwarna biru. 

“Keparat !! Pangeran Matahariiiiiiii !! Kembali murid

Sinto Gendeng berteriak mengenali musuh bebuyutannya itu. Wiro sambut Kapak Maut Naga Geni yang menderu balik ke arahnya. Ia berusaha mengejar namun Pangeran Matahari sudah lenyap tak ada lagi di tempat itu. Wiro bantingkan kakinya dengan kesal. 

“Wiro siapakah adanya orang itu ?” tanya Andana mendekati. 

“Pangeran Matahari dari Puncak Merapi” Desis Wiro Sableng. 

***

Belum lagi hilang ketengangan semua orang di halaman Istana Teratai Darah akibat pertempuran sengit yang terjadi, tiba – tiba Satu suara lolongan Panjang terdengar menakutkan Ketika Pasukan Demak dan para tokoh silat baru hendak bernapas lega. Semua orang bergidik ngeri menoleh ke arah Altar Batu yang terus mengeluarkan gumpalan asap merah pekat. Dari balik gumpalan asap merah berbentuk kerucut melompat sesosok tubuh tinggi besar. Yang mereka lihat bukan sosok Bimasena yang tadi tertelan asap akan tetap sosok tubuh manusia berkepala serigala, ia menyeringai menunjukkan taring-taringnya yang tajam, dari sela gigi-giginya tampak lidahnya merah Panjang penuh dengan tetesan darah. Bagian atas tubuh manusia serigala ini sampai ke pinggang ditumbuhi bulu kelabu lebat. Pendekar 212, Andana Harimau Singgalang serta para tokoh bergidik ngeri.

Manusia Serigala ini Kembali melolong Panjang lalu menyerang ke arah orang-orang yang ada disitu. Raden Panduwinata memerintahkan para prajuritnya menyerang.

Para Prajurit Demak beramai-ramai melakukan serangan dengan tombak dan pedang mereka. Namun tak satupun serangan senjata dari para prajurit itu mampu melukai apalagi membunuh manusia serigala. Manusia Serigala mengamuk, ia gerakkan tangannya yang berkuku Panjang, banyak prajurit Demak tumbang dengan muka, dada dan perut robek. Jerit kesakitan kematian terdengar berulang kali. Pendekar 212 maju ke depan, ia keluarkan jurus-jurus silat warisan Sinto Gendeng menyerang Makhluk kepala Serigala. Semua serangan murid Sinto Gendeng berhasil mengenai sasaran tapi tak satupun mampu menciderai makhluk itu. 

“Celakaaa makhluk ini kebal senjata tajam, apa ia juga kebal pukulan !! Wiro maju ke depan, tangannya sebatas siku berubah warna menjadi keperakan, tak tanggung – tangung Wiro keluarkan pukulan sakti andalannya. Dengan berteriak Wiro hantamkan Pukulan Matahari ke  arah makhluk berkepala Serigala. “Wussssss” Pukulan Matahari menderu  Sinar keperakan disertai hawa panas luar biasa lagi – lagi menghampar di tempat itu. 

Makhluk kepala Serigala bukannya takut apalagi menghindar, ia sengaja sambut Pukulan Pendekar 212 dengan pentangkan dadanya. Pukulan Sinar Matahari telak mengenai tubuh Makhluk Serigala. Sang Makhluk hanya tersurut beberapa Langkah tanpa cidera sedikitpun dan Pukulan Sakti warisan Sinto Gendeng pecah bertebaran. Wiro dan orangorang disana melengak kaget. Melihat ini, Andana Harimau Singgalang tanpa ragu menyerang Makhluk berkepala Serigala sambil hantamkan pukulan-pukulan sakti tangan kosong. Bidadari Angin Timur, Permani dan Puti Seruni juga turut ikut menyerang. Makhluk berkepala Serigala terkepung serangan – serangan dahsyat mengandung tenaga dalam tinggi. 

Sang Makhluk tanpa merasa jerih sedikitpun meski diserang oleh banyak orang serta pukulan-pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Sekali ia pukulkan dan kibaskan tangannya, angin seperti badai menggebubu meruntuhkan segala serangan. Andana merasakan nyawanya terbang ketika kibasan tangan Makhluk berkepala Serigala mengarah tubuhnya. Dengan sisa tenaga yang ada Harimau Singgalang melompat ke samping. Kibasan tangan Makhluk berkepala Serigala mengenai pagar Kayu istana Teratai Darah hingga porak poranda. Deru angin dari kibasan tangan Raksasa melemparkan Andana satu tombak menghantam sebongkah batu besar di halaman istana Teratai Darah. Darah meleleh dari sela bibirnya. Wiro Sableng cabut Kapak Maut Naga Geni dalam jurus kepala Naga Menyusup Awan lalu serang sang makhluk dengan sebat. 

Betapapun Wiro mengerahkan tenaga dalamnya dan mata kapak berulang kali mengenai sasaran ditubuh Makhluk itu, tak satupun bacokan atau sabetan Kapak Maut berhasil melukainya. Bahkan nyawa Murid Sinto gendeng kini dalam bahaya sebab Makhluk kepala Serigala Kembali mengayunkan tangan kanannya mengepruk mencari sasaran di kepala Pendekar 212. Wiro terkejut, ia rundukkan kepala, geprukan mahkluk itu lewat beberapa kilan dari kepalanya. Makhluk berkepala Serigala cakarkan tangan kirinya dari arah bawah, wiro berseru cemas, sedikit terlambat menghindar dan brettttt baju putihnya robek besar. Sang pendekar tersurut dua Langkah, cakaran manusia serigala meski tak tepat sasaran tapi masih menggores dadanya hingga membuat luka cakaran tak seberapa dalam. Belum lagi kejut Pendekar 212 hilang, satu gebukan sang makhluk menghantam dadanya. Wiro Sableng terpental sejauh tiga tombak, ia megap-megap muntahkan darah segar. Bidadari Angin Timur memburu pendekar 212, gadis cantik ini segera membawa pendekar 212 menyingkir dari perkelahian lalu memangku dan memberikan pertolongan dengan salurkan tenaga dalam ke dada murid Sinto Gendeng. Wiro pandangi wajah cantik Bidadari Angin Timur membuat sang wajah sang dara bersemu merah

“Bidadari Angin Timur !! terima kasih !”, Bidadari Angin Timur seperti mendengar suara merdu dari surga Ketika Wiro membisikkan ucapan terima kasih kepadanya. Timbul semangat dalam diri gadis ini. Ia bangkit lalu menyerang Makhluk berkepala Serigala dengan jurus-jurus hebat, Puti Seruni keluarkan seruling peraknya dan bantu Bidadari Angin Timur.

Permani menyerang sang makhluk dari belakang. Dikeroyok tiga dara berkepandaian tinggi, Manusia Serigala melolong tinggi, ia kibaskan tangannya berulang kali. Kibasan tangannya mengandung Angin berhawa panas dan kekuatan hebat. Tiga dara cantik bermentalan tersapu kibasan makhluk itu. 

Melihat para tokoh silat bertumbangan. Raden Panduwinata dan para prajurit Demak secara serentak melakukan pengeroyokan tapi semua serangan itu tak memiliki arti sebab mudah sekali bagi makhluk itu membuyarkan dan memporak porandakan pasukan Demak. Tangannya berulang kali Kembali mencakar dan merobek tubuh para prajurit. Raden Panduwinata sendiri terpental kena tendangan sang makhluk. Makhluk berkepala Serigala itu disertai lolongan kemarahan kemudian mendekati Permani yang terduduk hanya beberapa Langkah darinya. Manusia Serigala tendangkan kakinya ke arah kepala sang dara. Permani yang tak siap tak bisa berbuat banyak, ia berusaha menghindar dan melakukan tangkisan tapi terlambat sebab tendangan makhluk itu lebih cepat datangnya. Sesaat lagi tendangan makhluk itu


menghancurkan kepala Permani yang pasrah. Di udara berkelebat satu bayangan putih disertai melesatnya cairan berbau harum. Cairan itu mengenai Tubuh Manusia Serigala hingga ia terjajar beberap Langkah kesamping, terselamatkan kepala Permani dari kehancuran. Anehnya sekali ini tubuh sang makhluk mengeluarkan asap dan hangus terkena semprotan cairan harum itu.  

“Dewa Tuak !!!” seru Pendekar 212 mengenali seorang kakek berpakain selempang kain putih dengan bumbung bambu tersampir dibahunya tegak . 

“Pendekar 212.. nasibmu selalu jelek kali ini kau kulihat babak belur he..he..he” 

“Makhluk itu kebal pukulan sakti dan senjata tajam tapi Tuak Kahyangan mu berhasil menggurat luka bakar ditubuhnya” seru Wiro. 

Makhluk Berkepala Serigala meradang melihat tubuhnya yang terciprat cairan tuak tampak hangus. Dengan gerengan amarah serta lolongan Panjang makhluk ini menyerang Dewa Tuak. Perkelahian seru terjadi, Dewa Tuak berulang kali semburkan tuaknya. Andana dan Wiro Kembali menyerang ikut membantu Dewa Tuak. 

“Wiro kita harus bisa meringkus makhluk itu ! tampaknya hanya tuak kakek itu yang bisa menciderainya” kata Andana disela menggempur manusia Serigala. 

“Benar sekali ucapanmu Andana ! tapi bagaimana caranya” menyahut Wiro. Ia pandangi Kapak Maut Naga Geni ditangannya. Disana batang kapak terdapat lubang-lubang yang bisa dijadikan seruling. Murid Sinto Gendeng mendapatkan ide, ia mulai meniup seruling Kapak Maut Naga Geni, suara memekakkan telinga terdengar. Manusia Berkepala Serigala itu seperti tertahan dan terganggu oleh suara seruling Kapak Maut Naga geni, Gerakannya menjadi kacau. Ia melolong tinggi berusaha mengimbangi suara seruling kapak naga geni. Melihat sang makhluk yang terpengaruh oleh suara seruling kapak, Puti Seruni ikut memainkan saluangnya disertai pengerahan tenaga dalam. Suara seruling kapak naga geni dan Saluang perak Puti Seruni membuyarkan konsentrasi sang mahkluk serigala. Makhluk ini menyerang dengan membabi buta namun dengan gerakan kacau.

“Kek !! serang sekarang !” teriak Andana. Tanpa menunggu lebih lama Dewa Tuak melompat dua tombak ke udara lalu berulang kali semburkan Tuak Kahyangan dari mulutnya. 

“Desssss Desssss” suara seperti besi panas terkena air Ketika cairan Tuak Kahyangan mengenai tubuh Manusia Serigala. Makhluk ini melolong kesakitan, tubuhnya melepuh mengeluarkan asap merah. Ia berusaha menghantamkan tangannya ke arah Dewa Tuak tapi sang kakek tak lagi memberi kesempatan, ia Kembali semburkan Tuak Kahyangannya. Kepulan asap merah tampak semakin banyak keluar dari tubuh manusia serigala yang hangus terbakar. Segala kekebalan tubuh sang makhluk musnah terkena cairan Tuak. 

“Wiro ! ini saatnya ! teriak Dewa Tuak. 

Wiro Sableng segera tebaskan Kapak Maut Naga Geninya, Andana juga tak ingin melewatkan kesempatan cabut Mandau Sakti Elang Putihnya yang tersampir di punggung hawa dingin merebak Ketika Mandau sakti itu keluar dari sarungnya.

Diringi suara ratusan tawon mengamuk, kapak Naga Geni menebas belah dada Manusia Serigala dan Tusukan Mandau Sakti Elang Putih Harimau Singgalang menebus batang leher makhluk itu. Darah berwarna hitam busuk mengalir dari luka di dada dan leher manusia serigala. Asap merah mengepul tebal keluar dari tubuh sang makhluk, perlahan tubuh manusia serigala itu ambruk ke tanah dan perlahan berubah Kembali menjadi tubuh Bimasena. Dalam keadaan sekarat mendekati kematiannya, Pemuda ini melihat kabut tebal dihadapannya dan dua sosok tubuh berbayang tembus pandang muncul dari dalam kabut. Melihat wajah dua sosok itu, Bimasena tersenyum, tangannya mengembang seperti hendak memeluk. Wajah dua sosok bayangan itu adalah wajah Begawan Rakajaya dan Gantari. Begawan Rakajaya balas tersenyum dan berkata, suaranya sayup sayup seperti jauh “Bima…. Saatnya kita pulang !!” dua sosok tubuh berbayang tembus pandang itu kemudian menghilang diiringi Tarikan Napas terakhir Bimasena. 

***

Dewa Tuak dekati Andana dan Wiro Sableng lalu sang kakek menggoda “Kalian berdua memiliki wajah hampir mirip dan sama-sama gagah, Andana mungkin kau cocok dengan muridku Permani Ha..Ha..Ha”. Andana melengak kaget. Wiro sendiri seperti menghindar, murid Sinto Gendeng takut kalau sang kakek Kembali menagih janji perjodohannya dengan Anggini murid utama Dewa Tuak. Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

“Guru !!” teriak Permani dengan wajah memerah. Dewa Tuak tertawa terbahak-bahak lalu berkata kepada Harimau Singgalang “Tak usah kau jawab sekarang, Jika kau berkenan main-mainlah ke tempatku anak muda”. Andana Harimau Singgalang tergagau apalagi disitu ada Puti Seruni yang tampak merengut mendengar pembicaraan. “Ayo Permani kita tinggalkan tempat ini” Dewa Tuak Tarik tangan Permani tinggalkan tempat itu. 

“Dewa Tuak !! aku haus bagilah tuak harummu itu” seru Wiro. Dewa Tuak menjawabnya dengan melemparkan satu bumbung bambu berisi tuak kahyangan yang langsung disambut Pendekar 212 dengan gesit. 

Murid Sinto Gendeng berpaling ke arah Bidadari Angin Timur, dua mata beradu pandang membuat wajah cantik Bidadari Angin Timur bersemu merah. Andai tak banyak orang ditempat itu, ingin rasanya Bidadari Angin Timur memeluk pemuda yang dikasihinya itu.

“Puti ! apa kabarmu dik ?” Tanya Andana mendekati Puti Seruni. Sang Dara hanya berdiam diri dengan wajah merengut. 

‘Hei apa gerangan yang membuatmu merengut seperti ini dinda ?”

“Tanya saja dengan gadis Bernama Permani itu ! bukankah uda akan dijodohkan dengannya” jawab Puti Seruni ketus. Mendapat jawaban seperti itu, Andana ikut-ikutan menggaruk kepalanya yang tidak gatal seperti Wiro.

“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan gadis itu Puti” menjelaskan Harimau Singgalang. 

“ahh kakek edan akibatnya semuanya barabe”

Andana tahu sang dara cemburu buta mendengar dirinya ditawari perjodohan. Tanpa berkata apapun Puti Seruni berkelebat tinggalkan halaman istana darah itu. Andana mengejar mencoba menjelaskan Kembali namun gadis itu sudah lenyap. 

Wiro tertawa melihat Andana termangu “Andana ! gadis itu cemburu padamu Ha..Ha…Ha” 

‘Gara-gara Dewa Tuak urusan jadi edan ! kata Andana. 

“Sudah sebaiknya biarkan saja dulu sobat ! nanti juga dia kangen lagi padamu Ha…Ha..Ha”

Murid Sinto Gendeng teguk tuak dalam bumbung bambu di tangannya lalu menyodorkan kepada Harimau Singgalang “Nah kau sepertinya butuh minuman yang keras” , Andana mau tak mau terima sodoran bumbung tuak dari tangan pendekar 212. Setelah menyodorkan tuak Kahyangan, Wiro melihat seekor kuda perwira pasukan Demak yang tertambat di tiang Istana Darah, dengan gerakan enteng Wiro melompat ke punggung kuda. Murid Sinto Gendeng mengerling kepada Bidadari Angin Timur. Melihat kerlingan mata Wiro, Bidadari Angin Timur tersenyum dan ikut melompat ke bagian belakang punggung Kuda duduk dibelakang Wiro.

Ia melambaikan tangannya ke arah Andana Harimau Singgalang 

“Andana jaga dirimu baik – baik !” kata Bidadari Angin Timur dengan tersenyum. 

“Jangan sampai mabok cinta Andana ! lebih baik kau mabok Tuak saja ! sampai berjumpa lagi Harimau Sing Malang Ha..Ha..Ha” menimpali Wiro dengan tertawa tergelak – gelak. 

“Dasar Sableng !!” seru Andana Harimau Singgalang lalu ikut tertawa tergelak-gelak. Wiro lalu pacu kudanya meninggalkan halaman Istana Darah, diluar pagar Istana Darah, Wiro Sableng berkata “Bidadari Angin Timur, Jangan malu-malu kalau kau rindu peluk saja Ha..Ha..Ha” goda murid Sinto Gendeng. “Ihh Dasar Pemuda Sableng !! seru Bidadari Angin Timur tapi ia tetap rangkulkan kedua tangannya memeluk Wiro dari belakang. “Aku memang sableng !! Wiro Sableng, Ha.. Ha… Ha” jawab Wiro sembari memacu kudanya dengan kencang. 

Pasukan Demak dibantu Andana Harimau Singgalang, Wiro Sableng dan kawan-kawan akhirnya berhasil menghancurkan Serikat kejahatan yang menamai diri Kerajaan Teratai Darah. Warok Bayanaka yang berhasil ditangkap Ketika pertempuran kelak dijatuhi hukuman penjara oleh Sultan Demak. Sementara Kobra Kuning dan Kobra Merah mendapatkan hari nahasnya. Kedua tokoh silat ini mati dengan tubuh tercincang di dekat gerbang utama Kerajaan Teratai Darah. Raden Panduwinata dan Pasukan Demak mulai bergerak meninggalkan Perkampungan Kerajaan Teratai Darah Ketika fajar mulai menyingsing, meninggalkan mayat-mayat pasukan Kerajaan Teratai Darah yang bertebaran mengeluarkan anyir darah. 

Sepeninggal Wiro Sableng, Andana selonjorkan tubuhnya di altar batu lalu teguk tuak harum dari bumbung bambu, ia menoleh Ketika satu suara terdengar dari samping kiri. “Kangmas Andana ! kau sepertinya butuh tumpangan !”. disana dari dalam kereta kencana Ratu Ayu Wulan berkata dengan tersenyum manis. Belasan prajurit Demak melakukan pengawalan. 

“Ahhh nasibku tidak malang – malang amat Wiro, Ha..Ha..Ha..” kata Andana dengan tergelak. Pemuda ini mendekati kereta kencana. “Cihuyyyyy” Harimau Singgalang melompat bergantungan ke atap kereta karena girang Ketika Puteri Ayu Wulan mengulurkan tangannya menyambut Andana dari pintu kereta yang terbuka.. 

 

TAMAT

Buku Lainnya


Komentar :