Pendekar Gila
Episode 06
Singa Jantan Dari Cina
Karya : Firman Raharja
SATU
Kapal besar berbendera Cina semakin mendekati pelabuhan Banyu Asin. Di pelabuhan itu, para nelayan dan kuli panggul tengah sibuk dengan pekerjaannya. Beberapa orang kuli panggul segera berlari ke tepian, ketika melihat kapal berbendera Cina itu merapat.
Di anjungan kapal nampak seorang lelaki berdiri tegap dengan caping lebar menutupi hampir separo wajahnya. Baju luarnya berwarna coklat tua, sedang-kan baju dalamnya berwarna putih. Di punggungnya tersandang sebilah pedang panjang. Lelaki muda itu bersidekap.
Matanya memandang tajam ke arah dermaga, di mana orang-orang tengah sibuk bekerja. Angin bertiup lembut, membelai daun-daun pohon nyiur yang tumbuh di sekitar pelabuhan yang cukup besar. Air laut beriak-riak, menambah indahnya pemandangan di pelabuhan.
Sementara itu, tiga buah kapal nelayan nampak tertambat di dermaga. Kapal itu pun merapat ke dermaga, disambut kuli-kuli pelabuhan dengan wajah ceria. Mereka akan mendapatkan pekerjaan yang akan menghasilkan uang banyak. Karena biasanya kapal pesiar dari Cina membawa beragam kerajinan tangan yang akan dijual di Jawa Dwipa.
Lelaki bercaping lebar segera melompat turun, lalu mendekati seorang lelaki bertubuh tinggi kurus yang tengah melakukan pelelangan ikan. Merasa ada yang mendekati, lelaki berpakaian serba biru dengan blankon di kepalanya menghentikan penawaran pada para pembeli. Matanya memandang lelaki bercaping lebar seraya tersenyum.
"Ada yang bisa kubantu, Tuan?" tanya lelaki berusia sekitar tiga puluh delapan tahunan itu dengan ramah. Senyumnya masih mengembang di bibir.
"Hm," gumam lelaki tua bercaping lebar. Matanya yang tertutup caping, memandang tajam ke arah lelaki di depannya.
"Bisakah kau jelaskan, ke arah mana aku bisa bertemu pendekar tanah Jawa Dwipa ini?" Lelaki tinggi kurus itu mengerutkan kening, mendengar pertanyaan lelaki di hadapannya.
Ditatapnya tajam-tajam wajah yang tersembunyi di balik caping lebar itu, untuk mengetahui seperti apa sebenarnya lelaki yang nampaknya masih muda itu. Namun lelaki Jawa itu sulit untuk melihat dengan jelas, karena caping lelaki itu terlalu rendah dan lebar.
"Kalau boleh ku tahu, untuk apa Tuan mencari pendekar tanah Jawa?" "Mencari seseorang," sahut lelaki bercaping lebar.
"Siapa?" "Mei Lie" "Mei Lie?" ulang lelaki jangkung itu seraya mengerutkan kening.
Kembali matanya menatap lekat ke wajah lelaki yang wajahnya terlindung bayangan caping itu.
"Ya. Mei Lie. Kau kenal dia?"
"Oh, menyesal sekali aku tidak mengenalnya," jawab lelaki berpakaian biru itu sopan.
Srrrt Lelaki muda bercaping itu tiba-tiba mencabut pedangnya, kemudian dengan cepat membabat ke wajah lelaki di depannya. Lelaki jangkung bertubuh kurus itu tersentak kaget. Dengan mata membelalak, dia berusaha mengelakkan serangan itu. Namun gerakan pedang lawan terlalu cepat, membuatnya harus menerima nasib yang malang.
Cras "Aaakh" lelaki berpakaian biru itu memekik keras ketika pedang lelaki Cina bercaping lebar me-nyabet keningnya.
Sesaat matanya melotot, kemudian ambruk tanpa nyawa. Pelabuhan Banyu Asin pagi itu menjadi gempar oleh kematian Ki Jarotono, lelaki yang mengelola pelelangan ikan di pelabuhan itu. Anak buah Ki Jarotono yang menyaksikan kejadian itu, berusaha meringkus lelaki misterius dari Cina.
Namun semuanya sia-sia. Mereka bukan tandingan lelaki itu. Dalam beberapa gebrakan saja, mereka dapat dijatuhkan. Semua tewas dengan kening terbabat pedang "Hhh" Lelaki bercaping lebar itu menghela napas. Matanya beredar tajam pada orang-orang Jawa Dwipa yang mengepung dan memandangnya dengan penuh kebencian.
Namun tak seorang pun dari para buruh pelabuhan atau nelayan yang berani maju. Mereka tidak ingin mati sia-sia seperti anak buah Ki Jarotono. Lelaki muda dari Cina yang bercaping lebar itu pergi begitu saja, setelah memperhatikan orang-orang pelabuhan yang hanya mematung sambil memperhatikannya dengan pandangan ngeri.
Kini pelabuhan Banyu Asin menjadi ramai setelah kepergian lelaki misterius dari Cina yang telah membunuh Ki Jarotono dan sepuluh anak buahnya dalam sekali gebrakan.
"Ilmu pedangnya sangat hebat," gumam seorang dari mereka.
"Ya Rasanya sangat sulit untuk ditandingi," sambung yang lain.
"Kita harus segera memberi tahu Kanjeng Adipati" Dengan masih membicarakan lelaki bercaping lebar tadi, mereka mengurusi mayat Ki Jarotono dan kesepuluh anak buahnya.
***
"Hai, ada apa di sana?" bisik Sena Manggala yang tengah menyelusuri jalan di pesisir sebelah utara.
Matanya memandang ke arah pelabuhan. Dilihatnya orang-orang tengah sibuk melakukan sesuatu.
"Sepertinya ada kejadian. Ah, aku ingin melihatnya"
Seraya menggaruk-garuk kepala, Sena melangkah dengan cepat ke tempat orang-orang yang tengah mengangkat beberapa mayat. Dan, setelah tiba di dekat kerumunan, Sena menghampiri seseorang untuk mencari tahu.
"Kisanak, apa yang terjadi? Mengapa mereka mati?" tanya Sena pada seorang kuli pelabuhan yang masih ikut mengerumuni sebelas mayat lelaki yang bernasib naas itu.
"Baru saja orang bercaping yang datang dari Cina membunuh mereka," sahutnya.
"Ya. Lelaki bercaping itu seperti orang gila," timpal yang lain.
"Orang gila?" tanya Sena dengan kening berkerut.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Mengapa Kisanak mengatakan seperti orang gila?" "Bagaimana tidak? Lelaki dari Cina itu tiba-tiba mencabut pedangnya.
Lalu. Cras, cras, cras Matilah Ki Jarotono dan kesepuluh anak buahnya," tukas lelaki bertubuh tinggi besar sambil melangkah maju.
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening mendengar penuturan mereka.
"Lelaki dari Cina?" gumamnya sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya tiada henti memandang para kuli yang masih mengangkati mayat-mayat itu. Mayat-mayat yang kematiannya sangat aneh. Di kening mereka, terdapat luka babatan pedang tajam.
"Ya.
Lelaki itu berpakaian pesilat Cina berwarna coklat tua. Wajahnya tidak terlihat, karena capingnya lebar. Dia menanyakan tentang pendekar-pendekar tanah Jawa Dwipa," lanjut lelaki berbadan tinggi besar yang bertelanjang dada.
"Mengapa lelaki Cina itu membunuh Ki Jarotono?" tanya Sena masih tak mengerti.
Tangannya tetap menggaruk-garuk kepala.
"Apakah di antara keduanya telah terjadi keributan?" "Sama sekali tidak.
Bahkan Ki Jarotono nampak ramah, menjawab pertanyaan lelaki bercaping lebar itu," jawab lelaki tadi.
"Apa yang ditanyakan lelaki Cina itu?" Lelaki berbadan tinggi besar yang bertelanjang dada itu menceritakan semuanya.
Dari saat kedatangan perahu besar dari Cina yang ditumpangi lelaki misterius itu sampai Ki Jarotono menanyakan tujuannya. Hingga akhirnya, lelaki misterius itu bertanya tentang seseorang yang bernama Mei Lie.
"Mei Lie?" desis Sena.
"Ya. Apakah Tuan mengenalnya?" Sena menganggukkan kepala.
"Ya, aku mengenalnya. Aku pun sedang mencarinya," sahut Sena dengan dahi berkerut.
Hm.
Siapa-kah lelaki bercaping lebar itu? Tanya Sena dalam hati. Mengapa dia harus membunuh orang yang tidak mengenal Mei Lie? Ah, lalu di mana Mei Lie kini berada?
"Apakah Tuan juga mengenal lelaki misterius bercaping lebar itu?"
Pendekar Gila menggelengkan kepala. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Dihelanya napas panjang, lalu wajahnya ditengadahkan ke langit.
"Aneh. Siapa lelaki bercaping lebar itu?" gumam Sena.
Kalau dia benar dari Cina, tentunya ada tujuan tertentu untuk mencari Mei Lie. Siapa dia? Dilihat dari caranya membunuh, nampaknya dia bukan orang sembarangan. Tanya Sena lagi dalam hati. Sesaat Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir.
"Sebenarnya, justru aku yang ingin menanyakan hal itu padamu. Apa Kisanak mengenalnya?" Sena balik bertanya dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
"Sama sekali tidak. Dia baru saja turun dari kapal itu, Tuan," sahut lelaki tinggi besar sambil menunjuk ke arah kapal berbendera Cina yang belum terlihat ada orang lain yang keluar.
Sejak tadi, tak ada orang yang keluar dari kapal itu. Kecuali lelaki bercaping yang membunuh Ki Jarotono dan anak buahnya.
"Hm," gumam Sena.
Matanya beralih ke arah kapal berbendera Cina yang telah merapat ke pelabuhan. Namun seperti kata kuli pelabuhan, dari dalam kapal itu belum juga ada orang yang keluar.
"Aneh. Rasanya ada yang tidak beres"
"Benar, Tuan. Coba saja periksa," saran kuli pelabuhan.
Tangan Sena menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang kapal berbendera Cina yang nampak membuang sauh di kejauhan, tanpa terdengar apa-apa.
"Benar, Tuan. Sepertinya kapal itu mencurigakan," sambung yang lainnya, ikut menyarankan.
"Hm," gumam Sena.
"Memang aneh sekali. Ah, bagaimana mungkin selama itu belum ada seorang pun juga yang keluar?" Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya nyengir. Tingkah lakunya kembali aneh seperti orang gila. Hal itu membuat semua orang di pelabuhan itu seketika memperhatikannya. Mereka terheran-heran melihat tingkah pemuda tampan berbaju rompi kulit ular itu. Dengan kening berkerut, mereka berusaha mereka-reka siapa Sena sebenarnya.
"Oh Tuankah Pendekar Gila itu?" tanya lelaki bertubuh tinggi besar seraya menjura, diikuti yang lain.
"Aku Wanggono, menyampaikan hormat" Pendekar Gila semakin menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir, menyaksikan Wanggono dan kuli pelabuhan lainnya menjura padanya.
"Ah ah ah, sudahlah. Tidak perlu kalian berlaku begitu. Bagaimana kalau kita periksa kapal itu bersama?" ajak Sena.
"Setuju, Tuan. Apa pun yang Tuan perintahkan, kami akan melaksanakannya," jawab Wanggono.
"Kalau begitu, kita ke kapal itu"
Sena melangkah di depan. Diikuti oleh beberapa kuli pelabuhan. Mereka ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di kapal yang nampak sepi, bagai tak ada denyut kehidupan. Tentunya ketika telah dekat dengan pelabuhan, lelaki bercaping lebar dari dataran Cina itu membunuh mereka.
Dengan harapan tak ada orang yang tahu identitasnya, hingga dia akan dapat leluasa bergerak di tanah Jawa Dwipa ini. Mata Sena membelalak lebar, ketika melihat pintu kapal itu. Di dalam ruang kapal, dilihatnya beberapa orang kelasi dan nakhoda tergeletak tanpa nyawa.
Bahkan para kuli pelabuhan yang tadi menghampiri kapal itu bergeletakan tanpa nyawa di dek kapal. Kematian mereka sama seperti yang dialami oleh Ki Jara-tono. Di kening mereka terdapat sayatan pedang yang memanjang hingga pangkal hidung.
"Oh, Hyang Jagat Dewa Batara. Keji sekali perbuatannya," desis Sena setengah mengeluh.
Matanya masih memandang lekat ke mayat-mayat yang bergelimpangan dengan luka sabetan pedang di kening. Luka itu terlihat tidak terlalu besar, namun aneh-nya mampu membunuh orang.
"Mungkin lelaki bercaping lebar itu pelakunya, Tuan," duga Wanggono.
Sena menghela napas. Tangannya menggarukgaruk kepala. Bibirnya digigit untuk melampiaskan ke-geraman, setelah menyaksikan akibat tindakan manusia bercaping lebar yang terlalu telengas.
"Ya Kurasa memang dialah pelakunya"
"Keji sekali" maki Wanggono.
Sena mendekati mayat-mayat orang Cina itu. Diperiksanya nakhoda kapal dengan seksama. Seketika matanya membelalak, setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Racun" pekiknya tertahan, menyentakkan ku-li-kuli pelabuhan yang mengikutinya.
"Celaka Tentunya orang-orang yang menolong Ki Jarotono pun mengalami keracunan" Semua membelalakkan mata mendengar penuturan Sena.
Tubuh mereka seperti mengejang seketika. Kalau benar apa yang dikatakan pendekar muda itu, pasti orang-orang yang mengurus mayat Ki Jarotono dan kesepuluh anak buahnya akan mengalami kematian dalam waktu yang cepat.
"Kita harus segera menolong mereka," kata Se-na sambil berkelebat ke luar, diikuti oleh kuli-kuli pelabuhan.
"Di mana rumah Ki Jarotono?"
"Ikuti kami, Tuan," ajak Wanggono.
Dengan wajah tegang, mereka berlari menuju rumah Ki Jarotono. Namun belum juga sampai, mata mereka membelalak. Mereka menemukan beberapa orang telah mati dengan tubuh membiru.
"Celaka" pekik Sena.
"Mungkinkah kita terlambat?"
"Semoga saja masih ada yang bisa ditolong, Tuan," harap Wanggono.
"Ada berapa orang yang menolong Ki Jarotono dan kesepuluh anak buahnya?" tanya Sena dengan wajah tegang, setelah menyaksikan keganasan racun itu.
"Dua puluh dua orang, Tuan"
"Celaka Kita harus segera menolong mereka," kata Sena dengan wajah masih membayang kecemasan.
Dengan cepat mereka berlari kembali untuk mengejar sisa orang yang masih mungkin hidup. Belum jauh berlari, kembali mereka menemukan sisa orang yang mengurus mayat Ki Jarotono telah mati. Tubuh mereka telah membiru dan kaku.
"Hyang Jagat Dewa Batara, bencana apakah yang akan menimpa dunia?" gumam Sena, terpaku menyaksikan kematian yang mengenaskan.
Orang-orang yang mengikutinya turut terdiam. Mata mereka membelalak tegang, menyaksikan kematian tragis yang meminta tumbal berpuluh nyawa dalam satu hari.
"Tuan, racun apa yang telah membuat mereka mati dengan waktu yang sangat cepat seperti itu?" tanya Wanggono.
"Entahlah. Yang jelas, kalian jangan sampai menyentuh tubuh korban. Racun itu bisa menjalar melalui persentuhan. Dalam bekerjanya, racun itu hanya memerlukan waktu yang singkat. Tak ada sepeminum teh," tutur Sena menerangkan.
Semua mata kian membelalak mendengar keterangan itu. Kalau racun itu sangat ganas, tak mungkin orang yang terkena akan luput dari kematian.
"Tapi, Tuan," mata Wanggono menatap Sena dengan cemas.
"Bukankah tadi Tuan menyentuh nakhoda kapal? Kalau begitu, Tuan pun dalam ancaman maut"
"Iya, Tuan. Bagaimana kami bisa menolong-mu?" sambung yang lain dengan wajah cemas.
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan, dengan tingkah seperti orang gila.
"Kalian tak perlu merisaukan ku. Yang penting, kalian jangan sesekali menyentuh tubuh korban. Nah, sekarang aku mau tanya, ke arah mana lelaki misterius itu pergi?"
"Dia pergi ke arah selatan, Tuan," sahut Wanggono.
Sena mengangguk-angguk. Matanya kini memandang ke arah selatan. Dihelanya napas dalam-dalam, kemudian tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Baiklah, aku harus segera mencarinya. Kuharap kalian tidak menyentuh mayat-mayat itu," pesan Sena.
Kemudian tubuhnya melesat cepat meninggalkan tem-pat itu. Semuanya terpana menyaksikan bagaimana pemuda gila itu berlari. Belum pernah mereka melihat seorang pemuda memiliki ilmu lari laksana angin.
"Ck ck ck. Sungguh hebat," puji Wanggono diiringi decakan kagum.
Matanya tak beralih dari arah Sena pergi. Begitu juga dengan yang lainnya.
***
DUA
Kedai Ki Mayang Jambe yang berada di wilayah Kadipaten Lebak Wungu tengah ramai dikunjungi oleh para musafir, atau orang yang memang sengaja datang ke kedai itu untuk sekadar minum tuak atau makan.
Kedai Ki Mayang Jambe memang terkenal. Tidak hanya terkenal dengan masakannya yang nikmat, namun ada hal lain yang menjadi daya tariknya. Seorang gadis jelita yang menjadi penerima tamu dengan senyumnya yang ramah, itu yang juga mengundang para tamu.
Sepagi itu, kedai Ki Mayang Jambe telah banyak pengunjungnya. Sambil memesan makanan dan tuak, mereka menggoda gadis cantik anak Ki Mayang Jambe yang bernama Telasih. Seorang lelaki bercaping lebar dan berpakaian pesilat Cina, melangkah masuk. Bajunya panjang sampai di bawah lutut dengan belahan di samping kanan dan kirinya. Di pundaknya bertengger sebilah pedang panjang. Langkahnya begitu mantap saat menapaki lantai kedai yang terbuat dari kayu.
Lelaki bercaping lebar itu mengambil tempat duduk. Dengan kasar tangannya menarik kursi, membuat orang di sekelilingnya tersentak. Seketika, mata semua orang di kedai itu memandangnya. Ki Mayang Jambe mengerutkan kening. Bergegas didekatinya lelaki yang baru datang itu.
"Ada yang dapat saya bantu, Tuan?" tanya Ki Mayang Jambe, berusaha tersenyum ramah.
"Hm" Lelaki bercaping lebar itu hanya menggumam.
Pembawaannya nampak tenang. Kedua tangannya ditaruh di atas meja. Dan nafasnya ditarik dalam-dalam.
"Aku lapar. Bawakan aku nasi dan lauk-pauk," kata lelaki bercaping lebar itu, dengan kata-kata yang terdengar kaku.
"Baik, Tuan"
Ketika Ki Mayang Jambe hendak melangkah untuk mengambilkan pesanan, pundaknya ditahan oleh lelaki bercaping lebar itu.
"Tunggu"
"Iya, Tuan. Ada apa lagi?" tanya Ki Mayang Jambe gugup.
"Di mana aku bisa menemui Segoro Wedi?"
Ki Mayang Jambe mengerutkan kening. Pertanyaan itu tidak segera dijawabnya. Hatinya malah bertanya heran. Ada hubungan apa antara orang misterius ini dengan Segoro Wedi? (Untuk mengetahui tokoh yang bernama Segoro Wedi, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Suling Naga Sakti").
"Haya. Apa kamu tidak mendengar pertanyaanku, hah?" sentak lelaki bercaping lebar.
Na-danya kelihatan marah, karena merasa pertanyaannya tidak digubris Ki Mayang Jambe.
"Eh Dengar, Tuan. Untuk apa Tuan menanyakan orang yang sudah mati?" Ki Mayang Jambe balik bertanya.
Keningnya masih berkerut, tak mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki oleh lelaki bercaping lebar itu.
"Hm, jadi dia telah mati?"
"Benar, Tuan," jawab Ki Mayang Jambe.
"Sebenarnya ada apa, Tuan?"
"Jangan banyaak tanya" bentak lelaki bercaping lebar dengan nada bengis.
"Kamu tidak perlu tahu urusanku Kamu hanya jawab. Mengerti?"
"Me. mengerti, Tuan," jawab Ki Mayang Jambe terbata-bata.
"Siapa yang telah membunuh Segoro Wedi?"
Ki Mayang Jambe semakin heran dengan pertanyaan-pertanyaan lelaki bercaping lebar itu. Pertanyaan-pertanyaannya sangat aneh. Ada hubungan apa dia dengan Segoro Wedi? Ah, benar-benar lelaki aneh. Gumam Ki Mayang Jambe dalam hati.
"Haya. Kamu bisa membuatku marah, Orang Tua" bentak lelaki bercaping lebar dengan kasar.
Bahkan tangannya menggebrak meja makan, yang seketika patah menjadi dua. Orang yang tengah makan di sampingnya tersentak dengan mata melotot marah karena makanannya berantakan ke mana-mana.
"Kurang ajar Kunyuk dari mana yang berani lancang ini? Apa tidak tahu siapa aku?" maki lelaki berkumis lebat dengan pakaian hitam lengan panjang serta golok tersandang di pinggang.
Lelaki berambut terurai itu bangkit dari duduknya. Tangan kanannya menarik golok yang terselip di pinggangnya.
Srrrt "Kunyuk sepertimu harus disingkirkan Yeaaa"
Lelaki itu siap membabatkan goloknya ke tubuh lelaki bercaping lebar. Namun dengan gerak cepat yang sulit diikuti mata, lelaki bercaping lebar itu tahu-tahu telah meloloskan pedangnya. Srrrt Dalam sekejap tangannya bergerak, membuat lelaki tinggi besar berwajah garang itu tersentak.
Dia berusaha mengelak, namun gerakan lelaki bercaping lebar itu ternyata lebih cepat Wut Cras Secepat angin, pedang panjang lelaki bercaping lebar itu melesat ke wajah lawannya. Tak lebih dari se-kedipan mata, pedang itu telah membabat kening lela-ki itu.
"Aaakh" lelaki berwajah garang itu memekik.
Matanya melotot lebar. Sesaat tubuhnya mengejang sekarat, lalu ambruk dengan keadaan mengerikan. Menyaksikan hal itu, para pengunjung kedai seketika bertambah benci pada lelaki bercaping yang mengenakan pakaian pesilat Cina itu. Mereka memandang penuh kebencian.
"Orang asing Lancang benar kau bertindak Jangan harap kau bisa bertindak sesukamu Di sini, kau hanya orang baru"
Srrrt Srrrt Mereka mencabut golok, siap melakukan serangan ke arah lelaki bercaping yang kelihatannya masih tenang. Bahkan tangannya bergerak pelan untuk menyeka bekas darah korban yang membasahi mata pedangnya.
"Siapa di antara kalian yang tahu keberadaan Mei Lie?" bentak lelaki bercaping itu.
"Persetan dengan orang yang kau sebutkan Kau telah berani berbuat lancang di sini Kau harus mampus Seraaang" seru lelaki berbaju merah lengan panjang dengan kain sarung membelit di pinggang.
"Heaaa"
"Rencah saja tubuhnya"
Lima orang temannya melesat maju. Mereka berbadan tegap dan berwajah garang dengan kumis tipis di atas bibir. Dua di antaranya memiliki jenggot pendek. Dengan golok yang berkilat seperti meminta guyuran darah, mereka siap membabat lelaki bercaping itu. Namun belum juga bisa menyarangkan serangan, lelaki bercaping lebar bergerak secepat kilat. Pedang di tangannya bergerak tanpa dapat diikuti mata. Dalam sekali gebrak, terdengar jerit kematian yang menggiriskan.
Wut Cras "Aaa"
Empat orang dengan kening dibasahi darah, kini meregang nyawa. Mata mereka melotot, menahan rasa sakit yang tiada terkira. Gigi-gigi mereka saling beradu. Kemudian tubuh keempat lelaki itu ambruk bersamaan. Melihat kenyataan tersebut, wajah lelaki berbaju merah lengan panjang seketika pucat Kumisnya yang tebal, kini tiada artinya lagi.
Matanya membelalak tegang. Tubuhnya gemetaran diguncang rasa takut yang tiada terkira. Begitu juga dengan satu temannya yang masih hidup. Sementara pengunjung lain yang masih duduk di kedai, kini bergegas meninggalkan kedai setelah meninggalkan uang bayaran di meja masing-masing.
Mereka merasa ngeri menyaksikan tindakan lelaki asing itu. Hanya dalam sekali gebrak, orang-orang persilatan itu dapat dibunuh. Padahal kelima orang korbannya merupakan orang-orang yang ditakuti di Kadipaten Lebak Wungu.
"Ampun, Tuan. Ampunilah nyawa kami yang tidak berharga ini," ratap lelaki berbaju merah.
Sementara temannya hanya menundukkan kepala, tidak berani menatap lelaki dari Cina itu. Lelaki bercaping lebar tersenyum sinis. Tangan kanannya masih memegang pedang yang berlumuran darah. Disekanya darah itu dengan tangan kiri. Kemudian didekatinya dua lawannya yang ketakutan.
"Katakan, di mana Mei Lie berada?" bentaknya garang.
"Ampun, Tuan. Kami tidak tahu"
Lelaki bercaping lebar itu mendengus. Kemudian tangannya menebaskan pedang dengan cepat ke wajah kedua lelaki yang semakin ketakutan. Keduanya berusaha mengelakkan serangan itu, namun gerakan lelaki bercaping lebar ternyata sangat sulit untuk dielakkan.
Cras, cras.
"Aaa" kedua lelaki itu memekik keras dengan tangan memegangi kening.
Mata mereka membelalak dengan tubuh meregang. Lalu, ambruk tanpa nyawa. Telasih menjadi ketakutan menyaksikan pembunuhan yang terjadi di kedai milik ayahnya.
"Auh, Ayah"
Telasih membenamkan kepala ke pundak ayahnya. Dia tak berani melihat korban yang begitu mengerikan di depan matanya. Lelaki bercaping lebar menyeka darah yang membasahi mata pedangnya. Kemudian dimasukkan pedang itu ke dalam sarungnya. Bibirnya tersenyum sinis, kemudian dengan tenang didekatinya Ki Mayang Jambe yang ketakutan bersama anak gadisnya.
"Ampun, Tuan. Jangan bunuh kami," ratap Ki Mayang Jambe.
"Hm," gumam lelaki bercaping lebar.
"Katakan, siapa yang telah membunuh Segoro Wedi? Kalau kau tidak mau mengatakannya, maka aku tak akan segan-segan membunuhmu"
"Ba. baik, Tuan. Orang yang mengalahkan Ki Segoro Wedi tak lain seorang pendekar muda yang tingkah lakunya persis orang gila. Dia dikenal dengan sebutan Pendekar Gila," ungkap Ki Mayang Jambe dengan suara terbata-bata.
"Hm" Kembali lelaki bercaping lebar itu bergumam.
Tangannya mengambil sesuatu dari balik bajunya yang panjang. Sebuah kantong kecil berisi uang. Diambilnya beberapa keping uang emas. Kemudian disodorkannya kepada Ki Mayang Jambe.
"Cukupkah uang itu untuk mengganti semuanya?"
"Oh Tidak usah, Tuan. Biarlah kami yang me-nanggungnya," Ki Mayang Jambe berusaha menolak.
"Hm. Kau mau menolak pemberianku?"
Ki Mayang Jambe semakin ketakutan mendengar pertanyaan lelaki bercaping lebar itu. Mau tak mau, diterimanya juga lima keping uang emas dari lelaki itu.
"Terima kasih, Tuan"
Lelaki bercaping lebar Itu tak berkata apa-apa. Tubuhnya langsung melesat cepat, meninggalkan kedai. Dengan sekali genjot, tubuhnya telah menghilang.
"Ohhh,"
Ki Mayang Jambe mengeluh lega. Sejak tadi, dia merasakan tekanan jiwa yang begitu dahsyat. Bahkan hampir saja dia mati ketakutan, kalau saja lelaki bercaping lebar itu tidak segera meninggalkan kedainya. Dengan masih takut-takut, Telasih mengangkat kepalanya yang tadi dibenamkan di pundak ayahnya.
***
Ketika Ki Mayang Jambe hampir menyentuh mayat salah seorang korban lelaki bercaping lebar, ti-ba-tiba.
"Jangan disentuh, Ki"
Ki Mayang Jambe tersentak, dan segera mengurungkan niat untuk menyentuh mayat korban lelaki bercaping lebar. Matanya seketika memandang seorang pemuda tampan berpakaian kulit ular tanpa lengan yang tiba-tiba telah berada di ambang pintu kedai. Pemuda itu menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan. Tingkahnya persis orang gila.
"Korban lagi. Uhhh"
Sena menggaruk-garuk kepala sambil mendekati mayat-mayat yang tubuhnya telah membiru. Ki Mayang Jambe dan Telasih terus memperhatikan Sena yang menarik perhatian mereka. Kening anak dan bapak itu mengerut, berusaha mengingatingat siapa pemuda tampan yang bertingkah laku gila itu.
"Ki, apakah orang bercaping lebar yang telah melakukan ini semua?" tanya Sena seraya memandang Ki Mayang Jambe.
"Benar, Tuan. Dan kalau tidak salah, apakah Tuan yang sering disebut Pendekar Gila?" balik tanya Ki Mayang Jambe.
Matanya masih memperhatikan dengan seksama sosok pemuda tampan yang tingkahnya lucu dan konyol itu. Sena tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, rasanya julukan itu terlalu tinggi, Ki. Sudahlah, tak perlu kau permasalahkan hal itu," ucapnya merendah.
Kemudian Sena memeriksa mayat-mayat itu dengan seksama. Semua korban memiliki kesamaan. Selalu saja ada sayatan di kening. Sayatan itu sebenarnya tidak berbahaya, sebab hanya merobek kulit. Tapi dengan racun yang ganas, luka itu benar-benar dapat mematikan. Jangankan yang terluka, orang yang menyentuh saja bisa mati dalam sekejap.
"Hm, racun apa yang digunakan lelaki misterius itu? Sungguh ganas sekali," gumam Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Matanya masih memperhatikan dengan seksama mayat korban yang membiru. Mata Telasih langsung membelalak ketika mendengar kalau korban di kedai milik ayahnya keracunan.
"Jadi mereka keracunan?" tanya Ki Mayang Jambe setengah tidak percaya.
"Ya Racun yang ganas. Kalau saja kau tadi menyentuhnya, kau akan mati pula, Ki," tutur Sena, menjelaskan.
Mata Ki Mayang Jambe membelalak tegang. Tubuhnya bergidik jika ingat ucapan Sena dan ingat bagaimana tadi dia akan menyentuh tubuh korban. Kalau sempat disentuhnya, celakalah dia. Tentunya kini dia telah mati keracunan.
"Kalau kau tak percaya, kau boleh mencobanya dengan binatang hidup, Ki. Ambillah ayam," kata Se-na, berusaha meyakinkan.
Ki Mayang Jambe segera pergi ke belakang. Tidak lama kemudian, dia telah kembali dengan membawa seekor ayam. Dilemparkannya ayam itu ke arah mayat Seketika ayam itu menggelepar-gelepar sekarat, kemudian kaku tanpa nyawa "Hih" Ki Mayang Jambe berdesis ngeri.
Matanya bersinar tegang, setelah menyaksikan keadaan ayam yang sangat mengerikan. Selama hidupnya baru kali ini dia menyaksikan akibat dari racun yang begitu ganas. Belum ada orang Jawa Dwipa yang mampu membuat racun begitu ganas. Tak ada sepeminum teh, orang akan mati.
"Hah? Tidak" pekik Telasih, kembali ketakutan menyaksikan bagaimana ayam jago yang dilemparkan ayahnya seketika mati.
"Kau sudah percaya, Ki?" tanya Sena, masih dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Ki Mayang Jambe mengangguk. Matanya masih terlihat memancarkan kengerian, saat memandang ayam yang kini bagai terpanggang hangus. Mengerikan sekali.
"Ke arah mana lelaki bercaping itu pergi, Ki?" tanya Sena setelah lama termenung.
Matanya menyapu ke luar kedai, pada kerumunan orang yang ingin melihat suasana di dalam.
"Tuan, orang yang bercaping tadi menanyakan masalah Ki Segoro Wedi. Juga menanyakan tentang Tuan dan Mei. ah Siapa ya?" Ki Mayang Jambe berusaha mengingat-ingat ucapan lelaki bercaping lebar, namun sulit sekali untuk menyebutkannya.
"Mei Lie?" tanya Sena.
"Ya, ya Benar. Nona Mei Lie"
"Hm," gumam Sena perlahan.
"Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Dan ada hubungan apa antara dia dengan Mei Lie. Semua orang yang ditemuinya ditanya tentang Mei Lie. Lalu kalau tidak tahu, dia akan membunuhnya"
"Oh Benar, Tuan. Orang-orang ini pun mulanya ditanya tentang Nona Mei Lie. Dan mereka tidak dapat menjawab. Itu sebabnya mereka dibunuh," timpal Ki Mayang Jambe membenarkan.
Kepala Sena mengangguk-angguk. Kemudian tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang ke luar. Di sana, orang-orang hanya berkerumun tanpa ada yang berani masuk.
"Hm. Sangat berbahaya. Sungguh sebuah bencana besar. Tentunya ada maksud-maksud tak baik pada orang itu," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Bagaimana orang tahu di mana Mei Lie? Melihatnya saja belum pernah. Aku sendiri, sampai saat ini belum tahu di mana dia berada"
"Jadi Tuan mengenal Nona Mei Lie?"
"Ya," sahut Sena singkat.
"Ki, aku harus segera pergi. Kalau kau ingin menyingkirkan mayat-mayat ini, gunakanlah kayu yang panjang. Terima kasih atas ke-teranganmu" Usai berkata demikian, Pendekar Gila melangkah ke arah pintu.
Dengan gerak-gerik seperti orang gila, tempat itu ditinggalkannya. Semua orang seketika memperhatikannya. Mata mereka menyipit, menyaksikan Sena yang mengingatkan mereka pada desas-desus tentang seorang pendekar muda yang bertingkah seperti orang gila.
"Mungkin dia orangnya," bisik salah seorang warga.
"Coba kita tanyakan pada Ki Mayang Jambe," saran warga lainnya.
Mereka yang semula hanya berdiri di luar, masuk ke dalam kedai untuk menanyakan Ki Mayang Jambe. Sekaligus ingin melihat apa yang telah terjadi. Mata mereka membelalak, setelah menyaksikan mayat bergelimpangan dengan keadaan yang sangat mengerikan. Ketika salah seorang dari mereka hendak memegang, dengan cepat Ki Mayang Jambe mencegah.
"Jangan sentuh mereka"
"Kenapa, Ki?"
"Mereka keracunan Apakah kalian tidak melihat ayam itu?"
Semua memandang ke arah ayam yang terlihat hangus. Mata mereka kian membelalak menyaksikan kejadian mengerikan yang tampak di hadapan mereka. Namun ada juga salah seorang dari mereka yang belum percaya. Dengan nekat, orang itu memegang tubuh salah seorang korban yang merupakan saudaranya. Seketika itu juga.
"Akh" orang itu memekik pendek. Tubuhnya mengepulkan asap laksana terbakar. Matanya melotot bagai hendak keluar, kemudian ambruk dan mati.
"Itulah orang yang tidak mau percaya" rutuk Ki Mayang Jambe kesal.
Dia sudah memperingatkan, tapi masih saja orang itu nekat menyentuh korban. Sementara itu, Sena semakin jauh meninggalkan kedai Ki Mayang Jambe. Setelah jauh dari orang-orang yang tadi berkerumun di luar kedai, tubuhnya segera berkelebat cepat untuk memburu lelaki misterius bercaping lebar.
***
TIGA
Hembusan angin pagi bertiup sejuk Diwarnai oleh nyanyian burung yang riang, menyambut kehadiran matahari yang hadir kembali untuk menyinari bumi. Embun-embun belum semuanya pupus dari rerumputan dan daun pohon. Dari kejauhan terdengar teriakan sengit dua wanita, memporak-porandakan kedamaian pagi.
"Ceaaat"
"Heaaa"
Dua wanita muda dengan tangan memegang pedang, nampak tengah bergerak lincah. Tubuh mereka bersalto ke udara, lalu menggerakkan pedang masing-masing. Gemuruh air terjun di samping mereka, kalah oleh jeritan keduanya yang menggelegar.
Wut, wut. Trang
"Hiaaa"
"Yeaaat"
Setelah saling menyerang, dengan cepat mereka melontarkan tubuh ke belakang. Tubuh keduanya berjumpalitan di udara beberapa kali, sebelum kaki-kaki mereka yang mungil kembali menapak di batu yang licin. Trap Kedua wanita muda dan cantik itu sating pandang. Pedang di tangan mereka kini disilangkan di depan dada. Secara bersamaan tangan kiri mereka digerakkan ke depan, melakukan gerakan silat. Sedangkan kaki yang menginjak batu, digeser sedikit ke samping. Menjadikan tubuh mereka kini dalam posisi miring.
"Bersiaplah, Mei Lie. Kita harus melakukan jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'" seru wanita berbaju merah jambu yang bertubuh sintal.
Wanita muda yang cantik itu adalah Nyi Bangil (Baca serial Pendekar Gila dalam episode "Suling Naga Sakti").
"Aku telah siap, Kak," sahut gadis Cina berpakaian warna hijau daun yang dipanggil Mei Lie.
Wanita cantik berkulit kuning langsat inilah yang telah menambat hati Sena Manggala atau Pendekar Gila sejak pertemuan pertama.
"'Tebasan Pedang Bidadari'. Heaaa"
"Hiaaat"
Tubuh Nyi Bangil melesat dan bersalto di udara, laksana seekor burung seriti yang lincah. Tangan kirinya bergerak melakukan pukulan dan tangkisan. Sedangkan tangan kanannya menebaskan pedang dengan cepat, sampai pedangnya tidak terlihat.
"Hiaaat" Wut wut.
Pedang di tangan Nyi Bangil menebas air terjun yang ada di sampingnya. Namun air itu masih saja terpercik pertanda gerakannya belum sempurna.
"Hiaaa" Mei Lie pun mencelat, lalu bersalto di udara dengan tangan kiri memukul ke depan. Kemudian disusul dengan tebasan pedang ke air terjun itu.
Wut. Prat Air terjun masih terpercik, menandakan gerakannya juga belum sempurna. Namun Mei Lie tak puas begitu saja. Setelah bersalto mundur di udara, tubuhnya kembali mencelat dan membabatkan pedangnya ke air terjun.
"Heaaa"
Wut Kali ini air terjun itu tidak sedikit pun terpercik, membuat mata Nyi Bangil membelalak. Mulutnya menganga tanpa sadar, menyaksikan hasil yang telah diperoleh Mei Lie. Tubuh Mei Lie bersalto ke belakang sambil memukulkan tangan kirinya ke depan. Kemudian kakinya kembali hinggap di atas batu yang licin. Dengan tersenyum pedangnya kembali dimasukkan ke dalam sarung.
"Bagaimana, Kak?"
"Hebat Kau telah menguasainya, Mei Lie," puji Nyi Bangil dengan bibir tersenyum.
Wajahnya yang nampak cerah, menggambarkan kegembiraan.
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie tak yakin.
"Ya Bukankah kau telah membacanya sendiri, bahwa jika air terjun itu tak terpercik, itu berarti kau telah menguasai jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'"
"Bolehkah aku mencobanya lagi, Kak?" pinta Mei Lie.
"Lakukanlah"
Mei Lie mencabut pedangnya. Tangan kanannya ditarik ke belakang. Sedangkan tangan kirinya digerakkan di depan tubuh. Jari-jari tangan kiri merapat dengan telapak tangan menghadap ke depan. Matanya memandang tajam ke arah air terjun. Nafasnya diatur sebaik mungkin.
"Heaaat"
Mei Lie menekan tangan kirinya ke depan, lalu diputar dengan pelan. Setelah itu, bersamaan dengan hentakan tangan kiri, tubuhnya berkelebat ke udara. Pedang di tangan kanannya digerak-kan dengan cepat.
Wuttt Kembali mata Nyi Bangil membelalak, menyaksikan air terjun itu sedikit pun tak terpercik oleh sabetan pedang Mei Lie. Hal itu menandakan kalau Mei Lie benar-benar telah menguasai jurus 'Tebasan Pedang Bidadari', yang mereka pelajari dari kitab 'Ilmu Pedang Bidadari'.
"Hebat Kau benar-benar telah berhasil, Mei Lie" seru Nyi Bangil.
Tanpa sadar, tangannya berte-puk. Kepalanya menggeleng-geleng karena kekaguman yang begitu saja datang.
"Oh Terima kasih, Kak Semua ini atas bantuan Kakak" Nyi Bangil tersenyum, kemudian melompat ke daratan. Diikuti oleh Mei Lie.
"Kau memang hebat, Mei Lie. Semua itu karena kemauanmu yang keras, bukan karena aku. Buktinya sekian tahun aku tidak mampu juga menguasai jurus 'Tebasan Pedang Bidadari'"
"Ah, Kakak terlalu merendah," tukas Mei Lie dengan wajah tersipu malu. Pipinya merona merah.
"Kau harus memperdalam jurus itu, Mei Lie. Setelah jurus itu benar-benar dikuasai, barulah kau akan mempelajari jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Sebuah ilmu pedang yang dahsyat," ujar Nyi Bangil seraya merangkul pundak gadis Cina yang cantik dan telah diangkat adik olehnya. Diajaknya Mei Lie melangkah.
"Mampukah aku mempelajarinya, Kak?"
"Mengapa tidak?" balik tanya Nyi Bangil seraya memandang Mei Lie dengan bibir tersenyum.
"Kalau jurus 'Tebasan Pedang Bidadari' telah dikuasai, kau pun akan mampu menguasai jurus pamungkasnya"
"Oh, benarkah?" tanya Mei Lie sambil membalas tatapan Nyi Bangil.
Nyi Bangil semakin melebarkan senyum. Tangannya kian erat merangkul pundak Mei Lie.
"Ya. Aku yakin, kaulah yang berjodoh dengan kitab itu. Kelak jika masanya tiba, kau akan menjadi pendekar wanita yang sulit mendapat tandingan" Mei Lie menundukkan kepala.
Hatinya memang ingin sekali menguasai jurus-jurus sakti itu. Jika dia telah menguasai jurus-jurus sakti itu, tentunya tidak akan malu berjalan sejajar dengan Pendekar Gila yang sakti. Ah, di manakah dia sekarang? Keluh Mei Lie dalam hati, ketika teringat kembali pada pendekar muda itu.
Sena memang tak dapat dilupakannya. Cinta itu datang dan membelenggu hatinya, sejak awal per-temuan mereka. Rasanya ingin secepatnya Mei Lie menguasai jurus-jurus sakti itu, agar dia dapat bertemu segera dengan Sena dan bisa melangkah seiring dengan pendekar gagah itu (Silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode pertama yang berjudul "Suling Naga Sakti").
Mei Lie tersenyum-senyum seorang diri. Hal itu membuat Nyi Bangil tersenyum.
"Hati-hati, Mei Lie. Nanti kau benar-benar gila seperti Sena. Hi hi hi" Nyi Bangil tertawa.
Mei Lie tersipu-sipu.
"Ah, Kakak"
"Sudahlah, jangan kau pikirkan Sena dulu. Kelak jika kau telah menguasai semuanya, kau pun akan dapat menemuinya. Dan kau tidak akan merasa rendah diri berjalan seiring dengannya. Ingatlah, jika memang kalian jodoh, tentunya kalian akan bersatu," tutur Nyi Bangil.
Mei Lie menundukkan kepala makin dalam. Pipinya merona merah dan bibirnya tersipu-sipu. Ah, benarkah memang dia jodohku? Duh, Jagat Dewa Batara, satukanlah aku dengannya. Terus terang, aku mencintainya. Aku ingin berdampingan dengannya untuk selama-lamanya. Hyang Widhi kabulkanlah permohonanku. Harap Mei Lie dalam hati.
"Wah wah wah. Ngelamun lagi," seloroh Nyi Bangil, membuat Mei Lie kembali tersipu-sipu.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Kita harus makan siang dulu. Ayo"
Dengan tertawa-tawa ceria, keduanya meninggalkan air terjun yang digunakan untuk latihan. Mereka tampak sangat akrab sekali, seperti kakak beradik saja. Dan itu pula yang membuat Mei Lie dapat melupakan kematian ayahnya ketika Segoro Wedi merajalela.
***
Di dalam sebuah gubuk yang terbuat dari daun pandan yang terletak di tengah hutan dekat air terjun yang biasa digunakan oleh Mei Lie dan Nyi Bangil ber-latih, tiga wanita muda yang cantik tampak tengah duduk bersila di atas tikar pandan.
Yang seorang berbaju merah jambu dengan rambut tergerai bebas, dan berikat kepala berwarna merah jambu pula. Dialah Nyi Bangil. Seorang lagi berbaju hijau daun dengan lengan melebar seperti lengan baju gadis Cina. Gadis ini tidak lain Mei Lie.
Sementara seorang lagi, adalah seorang gadis cantik berpakaian warna biru laut. Rambutnya terurai, dengan ikat kepala berwarna biru tua. Dia adalah adik seperguruan Nyi Bangil, bernama Lira Kanti. Ketiga gadis cantik itu tengah menghadapi tiga piring yang terbuat dari tanah, berisikan nasi dengan ikan bakar. Mereka nampaknya tengah makan siang.
"Dari mana kau mendapatkan ikan, Lira?" tanya Nyi Bangil.
"Dari pasar, Kak. Oh, ya. Tadi aku mendengar sebuah berita yang menarik," kata Lira Kanti.
"Berita?" gumam Mei Lie dengan mata memandang Lira Kanti.
"Ya"
"Berita apa, Lira?" tanya Nyi Bangil.
"Menyangkut masalah Kak Mei Lie"
Mei Lie dan Nyi Bangil saling pandang, kemudian pandangan mereka tertuju pada Lira Kanti yang tetap menyantap makanannya. Sedangkan keduanya justru menghentikan makan.
"Coba kau terangkan, Lira," pinta Nyi Bangil.
Lira Kanti tergesa menelan makanannya. Diambilnya cangkir yang terbuat dari tanah. Setelah minum beberapa teguk Lira Kanti menghentikan makannya. Nafasnya diatur sesaat, sebelum menuturkan berita yang sempat didengarnya.
"Saat ini rimba persilatan tengah geger oleh berita yang menyebutkan bahwa, barang siapa yang bisa memperistri Kak Mei Lie, maka orang itu akan menjadi seorang pendekar yang tiada tandingannya. Begitulah berita pertama"
"Hah?"
Mei Lie dan Nyi Bangil terpana. Keduanya kembali saling pandang dengan kening berkerut. Kemudian mereka sama-sama memandang Lira Kanti kembali.
"Bagaimana mungkin, Lira?" tanya Mei Lie, masih mengerutkan kening.
"Aku bukan bidadari atau dewi. Aku manusia biasa. Mengapa aku disamakan dengan Dewi Kuan Im yang membawa keberuntungan?"
"Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Namun katanya, pada pusar Kakak terdapat sebuah tanda kalau Kak Mei Lie adalah titisan dari Dewi Kuan Im"
"Benarkah itu?" tanya Nyi Bangil.
Pandangannya kini tertuju ke arah Mei Lie.
"Coba aku lihat"
Dengan perasaan tak mengerti, Mei Lie segera membuka bajunya. Mata Nyi Bangil dan Lira Kanti membelalak, ketika melihat sebuah gambar bunga Wijaya Kesuma, tanda Dewi Kuan Im. Gambar itu berwarna emas, sehingga tidak begitu kentara di kulit Mei Lie yang kuning langsat.
"Oh, benar juga," desis Nyi Bangil.
"Bagaimana mungkin kau tidak mengetahuinya, Mei Lie?"
"Entahlah, Kak. Aku tidak peduli dengan gambar yang memang sudah ada sejak kecil. Mungkin gambar ini pula yang menyebabkan Kauw Cien Lung memburuku," tutur Mei Lie.
"Kauw Cien Lung? Siapa dia?" tanya Nyi Bangil.
"Seorang lelaki muda berilmu tinggi. Dia juga memiliki ilmu siluman yang mampu mengubah wujudnya menjadi singa. Itu sebabnya dia dijuluki Houw San, atau Singa Jantan. Ilmu pedangnya sangat hebat"
"Apakah dia mengenakan caping lebar dan berpakaian coklat tua?" tanya Lira Kanti, membuat ma-ta Mei Lie membelalak.
"Benar Dari mana kau tahu, Lira?" tanya Mei Lie kaget.
"Baru saja hendak kuceritakan padamu. Bahwa orang yang Kakak sebut, kini telah berada di tanah Jawa Dwipa ini. Dia tengah mencari Kakak dan Pendekar Gila," tutur Lira, menerangkan apa yang didengarnya.
"Apa?" pekik Mei Lie dan Nyi Bangil berbareng.
"Untuk apa dia mencari Pendekar Gila?" sambung Nyi Bangil.
"Dia menyangka kalau Kak Mei Lie bersama Sena," jawab Lira Kanti menegaskan.
"Oh," keluh Mei Lie.
"Hyang Widhi, lindungi-lah Sena. Aku takut, Kak" Nyi Bangil menghela napas.
"Tak perlu kau takutkan, Mei Lie. Sena bukanlah orang sembarangan. Ilmunya tinggi"
"Tapi, Kauw Cien Lung berilmu siluman, Kak. Ilmu pedangnya juga sangat sulit ditandingi. Di negeri kami, tak ada yang mampu melawannya. Bahkan kai-sar pun sangat menghormatinya," jelas Mei Lie dengan nada semakin cemas.
Nyi Bangil dan Lira Kanti terdiam. Keduanya merasakan bagaimana perasaan Mei Lie saat itu. Tentunya gadis Cina itu sangat mengkhawatirkan keselamatan Pendekar Gila. Itu dapat dimaklumi, sebab Mei Lie memang mencintai Sena.
"Kita berdoa saja, Mei Lie. Dan aku yakin, kalau kau telah menguasai jurus 'Pedang Tebasan Batin', kau akan mampu mengalahkannya.
Untuk itulah, kau harus bisa menguasai jurus pamungkas itu," hibur Nyi Bangil, sekaligus menghibur dirinya sendiri.
"Akan kucoba, Kak"
"Apa lagi yang kau dapatkan, Lira?" tanya Nyi Bangil.
Lira Kanti mengerutkan kening, mengingat-ingat kembali berita yang didengarnya dari orangorang di pasar.
"Lelaki bercaping lebar itu membunuh banyak orang," katanya setelah berhasil mengingat-ingat.
"Orang yang ditemuinya, selalu ditanya di mana Kak Mei Lie. Jika mereka menjawab tidak, langsung dibunuh. Dia juga terus mencari para pendekar untuk diajak bertarung" Nyi Bangil menghela napas mendengar penuturan adik seperguruannya itu.
Baru saja masalah Sego-ro Wedi usai, kini ada lagi orang yang tindakannya ke-ji. Bahkan lebih keji dibandingkan Segoro Wedi. Ingat akan Segoro Wedi, tidak terasa Nyi Bangil menitikkan air mata. Lelaki itu memang sangat diben-cinya.
Tapi sekaligus dicintainya. Bagaimanapun juga, dia telah merasakan pelukan dan kehangatan cinta Segoro Wedi. Kalau saja Segoro Wedi mau memperistri nya, tentunya tak akan terjadi derita seperti itu. Semua terdiam, membisu dengan pikiran masing-masing. Lama keadaan hening itu terjadi.
"Aku harus segera menamatkan kitab itu, Kak. Aku khawatir tindakannya akan semakin merajalela," ujar Mei Lie, memecahkan kebisuan.
"Aku mengerti, Mei Lie. Tenanglah. Mempelajari ilmu tingkat tinggi tidak semudah berbicara. Terlebih mempelajari jurus 'Pedang Tebasan Batin'. Jangankan kita, guruku saja perlu bertahun-tahun untuk menguasainya. Sampai beliau meninggal, ilmu itu belum juga bisa dikuasainya. Namun semoga kau mampu mempelajarinya, Mei Lie"
Mei Lie tersenyum. Dipeluknya tubuh kakak angkatnya itu erat-erat.
"Doamu akan menambah kemampuanku, Kak. Semoga atas doamu, aku dapat secepatnya menguasai jurus tersebut"
"Ya. Memang itu yang kuharapkan," kata Nyi Bangil.
"Nanti sore, aku akan mempelajarinya. Bolehkah, Kak?" Nyi Bangil tersenyum.
"Kenapa tidak? Kau adalah adikku. Maka kau pun berhak mempelajari Kitab Ilmu Pedang Bidadari. Siapa pun yang akan mampu menguasai, dialah pewaris 'Ilmu Pedang Bidadari'," tutur Nyi Bangil dengan senyum masih menghias bibirnya.
"Oh, terima kasih, Kak"
"Jangan berterima kasih padaku, Mei Lie. Tapi berterima kasihlah pada Dewi Keberuntungan, Dewi Kuan Im, yang telah menitis padamu," ujar Nyi Bangil sambil membalas pelukan adik angkatnya.
"Ayo kita teruskan makan"
Dengan penuh persaudaraan, ketiganya kembali melanjutkan makan siang yang sempat tertunda. Mereka makan dengan lahap. Sesekali bibir mereka menyunggingkan senyum.
Angin siang berhembus pelan, membawa alunan mayapada yang mendayu. Meski terik mentari laksana membakar, namun hawa sejuk mampu membuat kesegaran. Sepertinya, alam turut berdoa untuk Mei Lie yang di hatinya tersimpan semangat. Semangat untuk mempelajari jurus pamungkas 'Pedang Tebasan Batin'.
***
EMPAT
Kehadiran lelaki misterius bercaping lebar dengan sepak terjangnya, membuat orang-orang persilatan bagai ditantang. Salah satunya adalah Ki Tunggul Manik. Ketua Perguruan Teratai Putih itu benar-benar marah mendengar berita tentang lelaki itu. Karena itu, Ki Tunggul Manik pergi meninggalkan perguruannya untuk mencari lelaki bercaping dari Cina.
Semilir angin sore menerbangkan debu-debu di Lembah Kancah Wala. Tampak dua orang lelaki siap untuk melakukan pertarungan. Seorang lelaki setengah baya berjubah putih dengan rambut digelung. Ikat kepalanya putih, bergambar teratai. Begitu juga dengan simbul di dada sebelah kiri. Lelaki itu tak lain Ki Tunggul Manik, Ketua Perguruan Teratai Putih.
Sementara lawannya adalah seorang lelaki berjubah coklat tua dengan jubah pesilat Cina. Kepalanya ditutupi oleh caping lebar, sehingga sulit bagi Ki Tunggul Manik untuk mengenali wajah orang itu.
"Kisanak, apakah kau datang dari jauh semata-mata untuk membantai orang-orang persilatan di tanah Jawa Dwipa ini?" tanya Ki Tunggul Manik.
Matanya mengawasi dengan tajam setiap gerakan lelaki bercaping lebar.
"Hm"
Lelaki bercaping lebar itu hanya bergumam. Tangannya masih bersidekap. Sepertinya, dia sangat merendahkan lelaki setengah baya di hadapannya, meski tangannya menggenggam sebuah senjata berbentuk tombak pendek bermata dua.
"Jika itu memang tujuanmu, aku Tunggul Manik tak akan tinggal diam" dengus Ki Tunggul Manik
"Hm. Kau seorang pendekar?" tanya lelaki bercaping lebar dengan suara sinis dan berat.
"Benar"
"Hm. Kau tahu di mana Pendekar Gila?"
Mata Ki Tunggul Manik terbelalak mendengar nama Pendekar Gila disebut-sebut oleh lelaki itu. Nafasnya mendengus dengan memburu. Tangannya yang memegang tombak bermata dua, siap melakukan serangan.
"Untuk apa kau mencarinya?" tanya Ki Tunggul Manik.
"Kau kenal dengannya?"
"Ya Dia sahabatku," jawab Ki Tunggul Manik masih waspada.
"Bagus Katakan padanya, aku ingin bertarung dengannya Dia harus mati di tanganku"
Sombong dan terdengar merendahkan sekali ucapan lelaki bercaping lebar itu. Seakan ilmunya sangat tinggi, sehingga berkata begitu sombong hendak membunuh Pendekar Gila. Hal itu juga yang membuat Ki Tunggul Manik kian gusar.
"Kurang ajar Rupanya kau terlalu sombong, Orang Asing Kalaupun bisa membunuhku, itu belum berarti kau akan mampu mengalahkannya Hadapi aku dulu" tantang Ki Tunggul Manik sengit.
"Hm, begitu? Baiklah kalau itu kemauanmu. Bersiaplah"
"Aku sudah siap"
Usai berkata demikian, Ki Tunggul Manik segera menarik kaki kirinya dua langkah ke belakang. Tombak pendek bermata dua di tangan kanannya diputar dengan cepat. Sedangkan tangan kirinya, dengan jari-jari menyatu menghentak ke depan. Telapak tangannya memukul ke arah la wan. Sementara itu, lelaki bercaping lebar seperti tak menghiraukan gerakan yang dilakukan Ki Tunggul Manik. Dia tetap bersidekap dengan tenang dan memandang Ki Tunggul Manik yang siap menyerang.
"Hm," gumam lelaki bercaping lebar itu. Kemudian tangannya yang bersidekap membuka. Tangan kanan bergerak ke belakang, lalu melolos pedang dari sarungnya.
Wut, wut.
Pedang panjang yang telah banyak memakan korban itu digerakkannya. Dari pedang itu, memancar sinar putih kebiru-biruan tertimpa sinar matahari. Di-ciumnya pedang itu, kemudian digerakkan ke samping kanan. Itulah jurus 'Tebasan Pedang Membelah Mega'.
Sebuah jurus yang telah banyak memakan korban. Ki Tunggul Manik yang sudah mendengar sepak tenang lelaki di hadapannya, tidak mau gegabah. Tombak pendek bermata dua miliknya diputar cepat. Mengubah tombak itu menjadi baling-baling yang membentengi tubuhnya. Kemudian dengan pekikan mengggelegar, Ki Tunggul Manik menyerang dengan jurus yang tak kalah hebat bernama 'Perisai Raga Menyambar Nyawa'.
"Hiaaa"
"Hm"
Lelaki bercaping lebar itu bergumam perlahan. Kemudian pedang di tangan kanannya digerakkan dengan cepat membabat ke depan dan ke samping. Sementara tangan kirinya diletakkan di depan dada.
"Hiaaa" Ki Tunggul Manik mulai melabrak.
Tombak pendek bermata dua berdesing untuk menembus dada lawan.
Tring Dengan cepat lelaki bercaping lebar membabatkan pedang ke senjata lawan.
Kemudian segera balas menyerang dengan tebasan dari atas ke bawah.
"Heaaat" Wut Tubuh Ki Tunggul Manik segera menyurut ke samping.
Tubuhnya dimiringkan dengan cepat, kemudian tombak pendek bermata dua disapukan ke arah lawan dengan jurus 'Sapuan Tombak Memenggal Karang'.
Tring "Hiaa" "Ups" Ki Tunggul Manik berusaha menyerang dengan cepat agar lawan tidak mendapat peluang.
Tombaknya terus menusuk dan membabat ke tubuh lawan dan sesekali menangkis babatan pedang lawan.
"Hiaaat" "Yeaaa" Keduanya terus berkelebat serta saling membabat dan menusukkan senjata masing-masing.
Ki Tunggul Manik yang tidak mau mati percuma seperti korban lelaki bercaping, berusaha mengimbangi serangan lawan.
Tombak pendeknya digerakkan dengan cepat "Hiaaa" Ki Tunggul Manik mulai melabrak.
Tombak pendek bermata duanya berdesing, mengarah ke dada lelaki bercaping bambu.
Dengan tak kalah sigapnya, lelaki bercaping lebar itu membabatkan pedangnya ke senjata lawan.
Tring Terdengar suara berdenting yang ditimbulkan akibat benturan kedua senjata.
Wut, wut.
Tring Trang.
"Heaaa" Ki Tunggul Manik telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat mengimbangi serangan lawan.
Namun pedang lawan yang menebarkan racun ganas, membuat lelaki setengah baya itu agak lemah.
Seranganserangannya tidak segarang sebelumnya.
Dadanya terasa sesak.
Matanya malah berkunang-kunang.
"Racun" pekik Ki Tunggul Manik dengan mata mengerjap-ngerjap untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba mendera.
Tidak disangkanya kalau pedang lawan ternyata beracun.
Dengan cepat Ki Tunggul Manik menekan tombol di tombak pendek bermata dua miliknya.
Srrrt.
Dengan menggunakan jurus 'Ekor Naga Menusuk Gunung', Ki Tunggul Manik kembali menyerang.
Mata tombaknya tiba-tiba meluncur dari batang tombak, dan terikat pada rantai baja yang panjang.
"Heit" Lelaki bercaping lebar tersentak kaget.
Tubuhnya melompat mundur dengan cepat.
Kalau saja gerakan itu tak dilakukannya, tentu perutnya akan tertembus oleh mata tombak yang tiba-tiba melesat cepat.
Melihat lawannya kaget, Ki Tunggul Manik tak menyia-nyiakan kesempatan.
Setelah menarik rantai penghubung mata tombak ke belakang, dia kembali mengubah arah tombak.
Kemudian setelah mata tombak yang satunya berada di depan, Ki Tunggul Manik kembali menekan tombol di batang tombak.
Srrrt Mata tombak kembali melesat cepat ke arah lelaki bercaping lebar.
Dengan cepat dia melenting ke atas, mengelakkan serangan lawan.
Kemudian, dengan ringan tubuhnya mendarat di atas rantai mata tombak yang terentang.
Dengan menggunakan jurus 'Singa Melompat' yang dipadukan dengan jurus 'Tebasan Merenggut Nyawa', lelaki bercaping lebar itu menyerang.
"Oh?" Ki Tunggul Manik yang tidak pernah menduga lawan akan berjalan di atas rantai tombaknya menjadi tersentak.
Dia berusaha menarik rantai, namun lawan telah mendahului.
"Hiaaa" Tubuh lelaki bercaping lebar kembali bersalto di udara.
Pedang di tangannya bergerak cepat ke wajah Ketua Perguruan Teratai Putih itu.
Ki Tunggul Manik berusaha mengelakkan tebasan pedang lawan.
Namun gerakan lawan rupanya jauh lebih cepat di banding gerakan mengelaknya.
Tanpa ampun lagi.
"Heaaat" Wut Cras "Aaakh" Ki Tunggul Manik memekik keras.
Matanya melotot lebar.
Di keningnya nampak sayatan pedang lawan.
Tubuh lelaki setengah baya itu mengepulkan asap laksana terbakar.
Lalu mengejang sesaat, sebelum terjerembab jatuh tanpa nyawa.
"Hm" Lelaki bercaping lebar bergumam.
Tangan kirinya menyeka darah yang meleleh di ujung pedangnya.
Kemudian pedangnya dimasukkan ke dalam sarungnya.
Setelah memandang tubuh Ki Tunggul Manik, lelaki bercaping lebar itu berlalu dari situ.
***
"Jagat Dewa Batara," keluh Sena lirih, ketika menyaksikan lelaki yang telah menjadi korban beri-kutnya dari lelaki misterius itu.
"Ki Tunggul Manik, malang benar nasibmu" Sena Manggala atau Pendekar Gila berjongkok di depan tubuh Ki Tunggul Manik yang membiru dengan kening tergores.
"Terlambat Ah, rupanya aku terlambat datang," keluh Sena.
Wajahnya tampak sedih, menyaksikan seorang sahabatnya telah menjadi korban lelaki bercaping lebar.
Setelah lama memandangi tubuh Ki Tunggul Manik, tubuh Sena kembali berdiri.
Matanya memandang ke sekeliling tempat itu, berusaha mencari jejak lelaki bercaping lebar.
"Huh, sulit sekali aku mencarinya.
Seakan dia memiliki ilmu siluman.
Jejaknya tak ada," gerutu Sena sambil nyengir dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala.
Sekali lagi matanya menyapu ke sekeliling tempat itu, namun tetap saja tidak dilihatnya jejak lelaki itu.
"Aneh sekali," gumam Sena terheran-heran.
"Bagaimana mungkin manusia tidak memiliki jejak?" Pendekar Gila semakin keras menggaruk-garuk kepala.
Kemudian keningnya ditepuk-tepuk, berusaha berpikir untuk mendapatkan cara agar dapat menemukan lelaki bercaping itu.
"Aha Bukankah dia tengah mencariku?" tanyanya pada diri sendiri.
"Aku akan tertawa.
Semoga tawaku akan terdengar olehnya" Pendekar Gila kemudian tertawa terbahakbahak dengan mengerahkan tenaga dalamnya.
Tawanya menggelegar laksana suara halilintar di musim hujan.
Bersahut-sahutan menembus cakrawala.
Bahkan banyak sekali pepohonan di sekeliling lembah itu menjadi tumbang.
Dan batu di bukit runtuh dan meluruk ke bawah laksana dihajar oleh badai.
"Ha ha ha" Meski Sena telah mengeluarkan tawanya melebihi suara halilintar, tetap saja orang yang dicarinya tak juga muncul.
Sepertinya lelaki bercaping lebar itu telah jauh sekali meninggalkan tempat tersebut.
"Huh" keluh Sena kesal, setelah usahanya tak berhasil.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir.
"Korban.
Ah, bencana kembali datang" Kembali mata Sena memandangi mayat Ki Tunggul Manik yang membiru.
Tengah Sena memandangi mayat sahabatnya, dari arah utara berdatangan murid-murid Perguruan Teratai Putih bersama seorang gadis cantik yang tidak lain Suciati.
"Guru" pekik murid-murid Perguruan Teratai Putih, nyaris berbareng.
Ketika mereka hendak memeluk tubuh Ki Tunggul Manik, dengan cepat Sena mencegah.
"Jangan Jangan sentuh dia" Semua mengerutkan kening serta mengurungkan niat hendak memeluk mayat guru mereka.
Kini pandangan mereka beralih pada Pendekar Gila.
"Tuan Pendekar, apa maksudmu?" tanya Sucia-ti tak senang.
"Aku tak bermaksud jahat pada kalian.
Percayalah," sahut Sena.
"Lalu mengapa Tuan melarang kami menyentuh mayat guru?" tanya Anggrojoyo, murid tertua dari Perguruan Teratai Putih.
Wajahnya menggambarkan ketidaksenangan.
Kalau saja dia tidak ingat siapa pemuda di hadapannya, sudah barang tentu lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang berwajah bulat dan bertubuh besar itu akan melabrak Sena.
Sementara Sena hanya menggaruk-garuk kepala.
Matanya memandang ke angkasa.
Ketika di angkasa melintas beberapa ekor burung, segera tangannya memungut batu kecil.
Kemudian batu itu disentilkan ke atas.
Wut Dess "Keak" Satu burung memekik, lalu meluncur ke bawah terkena hantaman batu kecil itu.
Dengan cepat tubuh Sena melompat ke atas untuk menangkap burung tersebut.
Lalu kembali turun dan berdiri di hadapan murid-murid Perguruan Teratai Putih yang tak mengerti maksud pemuda itu.
"Untuk apa burung itu?" tanya Anggrojoyo.
"Apakah kau akan pamer ilmu pada kami?" Sena tertawa tergelak-gelak.
Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala.
Sedang tangan kirinya, masih memegangi burung yang terus berontak.
"Ah ah ah.
Apa artinya ilmu untuk muridmurid Perguruan Teratai Putih.
Tentunya ilmuku belum seberapa dibandingkan kalian," kata Sena, merendahkan diri.
Tapi hal itu rupanya mendatangkan kesalahpahaman pada diri Anggrojoyo, "Bedebah Kau menghina kami, Pendekar Gila Katakan maksudmu yang sebenarnya, jangan sampai aku menghajarmu" bentak Anggrojoyo marah, merasa ucapan Sena tadi merupakan sindiran baginya.
Sena tertawa tergelak-gelak.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Lalu kepalanya digelenggelengkan perlahan.
"Maaf jika kau tersinggung, Kisanak.
Tapi aku tidak bermaksud begitu.
Aku hanya berkata yang sebenarnya" "Kurang ajar Kuhajar mulutmu" bentak Anggrojoyo lagi.
Ketika darahnya mulai sampai di kepala dan hendak menyerang, Suciati dengan cepat melarangnya.
"Hentikan" bentak Suciati, membuat Anggrojoyo mengurungkan niatnya.
"Tuan Pendekar, katakan-lah apa yang kau maksudkan" "Sebenarnya aku tidak bermaksud jahat pada kalian.
Kalian lihat burung ini masih hidup.
Nah, sekarang lihatlah" Sambil berkata begitu, Pendekar Gila segera melemparkan burung yang ditangkapnya ke tubuh Ki Tunggul Manik "Keaaak" Burung itu memekik keras, merasakan kesakitan yang tiada taranya.
Tubuhnya menyentuh tubuh Ki Tunggul Manik, seketika mengepulkan asap seperti terbakar.
Burung itu menggelepar-gelepar beberapa saat.
Kemudian mati.
Tubuhnya hangus, dengan bulu-bulu terbakar habis.
Bagai dipanggang di atas api yang menyala.
Semua murid Perguruan Teratai Putih termasuk Suciati membelalak.
Wajah mereka memperlihatkan kesan kengerian.
Kemudian dengan malumalu, mereka memandang ke arah Sena.
"Kalian lihat apa yang terjadi?" tanya Sena.
Semua menganggukkan kepala.
"Kalau kalian mau coba, silakan.
Aku sudah menasihati kalian," kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Semua terdiam tanpa ada yang menjawab.
Sedangkan Anggrojoyo tampak pucat.
Dia didera rasa malu yang tak terkira, karena telah menuduh yang tidak-tidak pada pendekar muda itu.
"Maafkan atas kekasaranku tadi, Tuan Pendekar," desis Anggrojoyo dengan kepala menunduk.
Sena malah tertawa tergelak-gelak Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Tak ada yang salah, Kisanak.
Ku maklumi bagaimana perasaan kalian" "Lalu apa yang harus kami lakukan pada mayat guru kami?" tanya Suciati.
"Tak ada yang perlu kalian lakukan.
Biarkan saja mayat guru kalian begitu.
Kalian tak akan sang-gup menahan racun ganas yang menjalar di tubuhnya," kata Sena lirih.
Pandangannya kini kembali pada murid-murid Perguruan Teratai Putih.
"Bagaimana dengan perguruan kami?" tanya Anggrojoyo.
"Itu terserah kalian.
Namun sebaiknya kalian adakan rapat untuk menentukan pengganti Ki Tunggul Manik.
Carilah jalan yang terbaik.
Teruskan ajaran Ki Tunggul Manik," saran Sena.
"Apakah tidak sebaiknya Tuan turut bersama kami untuk melakukan pengangkatan?" tanya Suciati.
Sena tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tangannya masih menggaruk-garuk kepala.
"Ah, terima kasih.
Kalau saja ada kesempatan, tentu aku akan senang mendapat tawaran itu.
Tapi aku tak ada waktu.
Aku harus segera menyelidiki pelaku semuanya ini.
Nah, aku permisi" Sebelum murid-murid Perguruan Teratai Putih sempat berkata, tubuh Sena telah melesat pergi.
Membuat murid-murid Perguruan Teratai Putih hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, ketika terdengar tawa Pendekar Gila dari kejauhan.
***
LIMA
Akibat sepak terjang lelaki Cina yang disebut Mei Lie sebagai Kauw Cien Lung atau si Singa Jantan itu sangat berpengaruh di rimba persilatan.
Kaum persilatan dari aliran hitam yang semula tak berani unjuk gigi, kini beraksi kembali dengan segala kebejatan yang mereka bawa.
Terlebih setelah tersebar kabar bahwa Mei Lie adalah titisan Dewi Kuan Im, atau Dewi Keberuntungan.
Di antara puluhan tokoh sesat, yang namanya kini menjadi momok ada dua orang.
Yang pertama Kebo Pangawon.
Sedang seorang lagi adalah Karto Songo.
Sepak terjang kedua tokoh hitam itu memang kelewatan.
Mereka ibarat memancing di air keruh.
Di saat para pendekar tengah digemparkan oleh kemun-culan Kauw Cien Lung, mereka pun mengambil kesempatan untuk melampiaskan nafsu jahat yang membuat rimba persilatan kian membara.
Keduanya melakukan teror.
Tidak hanya pada perguruan-perguruan silat, pada rakyat biasa pun mereka tak segan-segan melakukan kekejaman.
Sejak kedatangan Kauw Cien Lung, malam menjadi suasana yang menyeramkan.
Sepertinya semua orang tak ada yang berani untuk keluar dari rumah.
Begitu juga dengan orang-orang perguruan.
Mereka tak mau menjadi korban kebiadaban dan kekejian lelaki dari Cina itu.
Begitu juga yang terjadi pada Perguruan Bintang Emas yang dipimpin Dewi Pandagu.
Suasana perguruan yang baru kembali bangkit setelah diserbu oleh Laskar Setan pimpinan Ki Catrik Ireng (Untuk jelas-nya, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode 'Duel di Puncak Lawu").
Hanya empat murid perguruan saja yang tampak tengah berjaga-jaga.
Di tengah malam yang dikungkung suasana mencekam, dua sosok tubuh mengendap-endap mendekati bangunan perguruan tersebut.
Mata mereka menyapu ke sekeliling bangunan itu.
Sementara wajah mereka tertutup kain hitam.
Yang seorang bertubuh gemuk pendek dengan rambut panjang tak terurus.
Berpakaian warna ungu lengan panjang.
Alis matanya tebal.
Matanya lebar dan bulat Dia adalah Kebo Pangawon.
Seorang lagi bertubuh kurus.
Rambutnya panjang terurai.
Sedangkan di bagian atas kepalanya botak, berikat kepala warna jingga seperti pakaiannya.
Matanya agak sipit.
Alis matanya tebal.
Orang ini bernama Karto Songo.
"Hi hi hi," Kebo Pangawon tertawa kecil.
"Duh, Dewi.
Sudah lama aku mendambakanmu.
Akhirnya malam ini kau akan kudapatkan" "Ssst.
Jangan berisik Lihat, ada empat orang gadis cantik.
Kau dua, aku dua.
Ayo" ajak Karto Songo.
Dengan cepat dan ringan, tubuh keduanya berkelebat cepat.
Sebelum keempat gadis itu berteriak, keduanya telah melakukan totokan.
Tuk, tuk "Ukh" Keempat gadis itu mengeluh lirih, sebelum akhirnya terdiam bagai patung.
Hanya mata mereka yang membeliak.
Mulut mereka yang hendak menjerit, tak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Hi hi hi" Kebo Pangawon tertawa kecil dengan tangan menutupi mulutnya.
Kemudian dia melangkah untuk mendekati wajah salah seorang gadis itu.
Cup Ciuman Kebo Pangawon mendarat di pipinya.
Mata wanita cantik itu kontan membeliak marah.
Sedangkan Kebo Pangawon kembali menutup wajahnya dengan kain hitam sambil tertawa kecil.
Tangannya di-lambaikan pada keempat gadis itu, membuat mereka semakin melotot marah.
Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa, selain menggerutu panjang pendek dalam hati.
Kebo Pangawon dan Karto Songo kini melangkah ke dalam lingkungan perguruan dengan tenang, karena tak ada lagi yang menghalangi mereka.
"Kau ke sana, aku ke situ," kata Kebo Pangawon dengan berbisik pelan.
"Pintar kamu.
Di situ memang tempat Dewi Pandagu," ujar Karto Songo perlahan.
Setelah saling mengangguk, tubuh keduanya segera melompat ke atas bangunan.
Dengan mengendap-endap, Kebo Pangawon melangkah seperti kucing yang mengintai mangsa.
Kemudian dia bersimpuh, setelah merasa yakin kalau dia telah berada di atas kamar Dewi Pandagu.
Perlahanlahan, tangannya membuka genteng bangunan itu.
Lalu mengintip ke bawah.
"Ah, bukan," keluh Kebo Pangawon berbisik.
Di-tutupnya kembali genteng itu.
Sesaat dia termenung, mereka-reka di mana letak kamar Dewi Pandagu.
Kebo Pangawon kembali mengendap-endap.
Setelah lima langkah, dia kembali bersimpuh.
Lalu perlahan-lahan, dibukanya genteng di tempat itu.
Matanya memandang ke dalam ruangan di bawahnya.
Bibirnya tersenyum tatkala matanya melihat Dewi Pandagu di kamar itu.
Kebo
Pangawon yang memang sudah tak tahan lagi melihat tubuh Dewi Pandagu, menyeruak turun dengan cepat.
Brak Dewi Pandagu langsung terjaga dari tidurnya ketika mendengar kegaduhan.
Saat itu pula, sesosok tubuh gemuk pendek melayang dari atas, membuat Dewi Pandagu membentak keras.
"Siapa kau?" Lelaki gendut itu menjawabnya dengan tawa lirih.
Kemudian kain hitam yang menutupi wajahnya dibuka, membuat Dewi Pandagu semakin membelalakkan mata setelah tahu siapa lelaki itu "Kau?" Kebo Pangawon tersenyum nakal.
"Ya.
Aku.
Lama aku merindukan saat-saat seperti ini, Dewi.
Akhirnya aku mendapat kesempatan juga" "Kurang ajar Lancang benar kau masuk ke kamarku Heaaat" Dewi Pandagu yang sudah marah setelah tahu siapa lelaki yang telah menjebol kamarnya, segera menyerang dengan jurus-jurus tingkat tinggi.
Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah lawan.
Sedangkan tangan kirinya bergerak menyambar selendang.
Tapi belum juga tangan itu sampai, Kebo Pangawon telah mendahuluinya.
"He he he" Kebo Pangawon tertawa setelah mengelakkan selendang itu.
Kemudian dengan cepat mengelitkan serangan Dewi Pandagu.
"Kau masih saja galak, Dewi.
Tapi memang itu yang aku suka" "Manusia rendah Heaaa" Meski tubuh Kebo Pangawon pendek dan gemuk, namun gerakannya sangat lincah.
Beberapa kali serangan-serangan Dewi Pandagu yang garang dan mematikan, hanya menebas angin.
Setiap kali Dewi Pandagu menyerang, dengan cepat Kebo Pangawon berkelit.
Malah serangan balik yang dilakukannya cukup membuat Dewi Pandagu kewalahan.
"Ini untukmu, Dewi.
Hih" Tangan Kebo Pangawon bergerak dengan jarijari terbuka lebar, menyerang dada Dewi Pandagu.
"Hiaaa" Dewi Pandagu dengan cepat menyapukan tangan kiri untuk memapaki serangan lawan.
Disusul oleh tendangan kaki kanannya ke selangkangan lawan.
Melihat serangan yang dilancarkan oleh Dewi Pandagu, dengan terkekeh Kebo Pangawon mengelitkannya.
Tubuhnya yang gemuk pendek miring ke samping.
Kemudian dengan cepat tangannya menyerang perut Dewi Pandagu.
"He he he.
Ini baru nikmat, Dewi Hih" Bagai seekor belut, Kebo Pangawon menyeruak masuk ke pertahanan Dewi Pandagu.
Dengan jari-jari mengembang, tangannya menyerang perut lawan.
Dewi Pandagu tersentak.
Dengan cepat tangannya dikibaskan ke arah tangan lawan.
Trak "Ukh" Dewi Pandagu mengeluh.
Tangannya yang beradu dengan tangan Kebo Pangawon terasa nyeri sekali.
Tulang pergelangan tangannya terasa seperti patah.
"He he he" Kebo Pangawon terkekeh, menyaksikan wajah Dewi Pandagu pucat pasi.
"Akhirnya impianku tercapai, Dewi.
Kau memang pantas menjadi istriku" "Kurang ajar Hiaaat" Sambil menahan sakit, Dewi Pandagu kembali menyerang.
Kali ini hanya menggunakan tangan kiri.
Meski begitu, serangannya ternyata masih keras dan ganas.
Kakinya tak mau tinggal diam, turut bergerak menyerang.
Tapi lawan yang tengah dihadapinya bukan lawan biasa.
Tapi merupakan salah satu dari tokoh rim-ba persilatan golongan hitam yang berada di atas Dewi Pandagu.
Serangan-serangannya bagai tak berarti bagi Kebo Pangawon.
"He he he.
Percuma saja kau melawanku, Dewi" Kebo Pangawon terkekeh.
Kembali tangannya bergerak.
Kali ini ke arah dada Dewi Pandagu.
"Setan" maki Dewi Pandagu sambil melompat mundur, berusaha mengelakkan serangan lawan.
Tapi gerakan lawan rupanya sangat cepat, hingga mampu mengejar gerak mundurnya.
"He he he" Kebo Pengawon kembali menyeringai.
Tubuhnya terus melesat dengan jari-jari tangan terbuka, siap menjamah dada Dewi Pandagu.
Merasa sia-sia kalau menangkis, Dewi Pandagu berusaha mengelakkan serangan itu.
Mulutnya berteriak, memanggil murid-muridnya.
"Linteng" Tak lama kemudian, murid-murid Perguruan Bintang Emas terbangun dari tidurnya.
Mereka segera berlarian menuju ke kamar ketuanya dengan riuh.
Namun mereka tiba-tiba dihadang oleh seorang lelaki bertubuh jangkung dengan kepala agak botak.
"He he he.
Biarkan mereka di kamar.
Kalian urusanku," kata Karto Songo.
"Serbu" "Hiaaat" Murid-murid Perguruan Bintang Emas serempak menyerang Karto Songo.
Namun lelaki bertubuh kurus dan jangkung itu dengan mudah mengelakkan serangan mereka.
Tubuhnya berlompatan dengan lincah.
Tangannya bergerak menotok tubuh murid-murid Perguruan Bintang Emas.
Dalam beberapa gebrakan saja, murid-murid Perguruan Bintang Emas dapat ditaklukkannya.
Di saat yang sama, Dewi Pandagu semakin tersudut.
Bahkan kini dia tak diberi kesempatan sedikit pun untuk melakukan pembalasan.
Serangan Kebo Pangawon sangat cepat dan sulit dielakkan.
Sedangkan untuk menangkis, rasanya tidak mungkin.
Tenaga dalamnya berada jauh di bawah lelaki gemuk pendek itu.
Bet "Ukh" Dewi Pandagu berteriak tertahan, ketika tangan Kebo Pangawon melesat cepat ke dadanya.
Dia tak mau mengelitkan serangan itu, sehingga dadanya berhasil dijamah.
"Kurang ajar Aku akan mengadu jiwa denganmu Heaaa" bentak Dewi Pandagu gusar, mendapat perlakuan kurang ajar dari lawannya.
Tangan Dewi Pandagu kini berpendar sinar kuning kemerah-merahan.
Kemudian dengan cepat, memukul Kebo Pangawon, yang tersentak kaget dan mengelak Kemudian dengan cepat, Kebo Pangawon balas menyerang dengan pukulan saktinya pula.
"Heaaa" Glar "Aaakh" Dewi Pandagu memekik keras.
Tubuhnya terlempar ke belakang, sampai membentur dinding bangunan hingga jebol, lalu jatuh ke lantai dengan dada hancur Kebo Pangawon terbelalak kaget.
Dia tidak menduga kalau wanita cantik itu benar-benar nekat.
Wajah Kebo Pangawon seperti menyesali apa yang terjadi.
"Kebo" seru Karto Songo dengan mata melotot "Mengapa kau membunuhnya?" Kebo Pangawon semakin kebingungan.
Dia sebenarnya tidak bermaksud membunuh Dewi Pandagu.
Namun pukulan maut Dewi Pandagu rupanya telah membuatnya kaget.
Lalu tanpa sadar, seluruh tenaga dalamnya dikerahkan.
"Celaka Tentunya Pendekar Gila akan mengamuk dan memburu kita" ujar Karto Songo cemas.
"Cepat kita tinggalkan tempat ini" ajak Kebo Pangawon.
Kedua lelaki dari kalangan hitam yang cemas setelah Dewi Pandagu binasa itu, tanpa pikir panjang segera lari meninggalkan tempat itu.
Mereka tak mau berurusan dengan Pendekar Gila, jika nanti pendekar itu tahu calon istrinya binasa.
Ketika, Kebo Pangawon dan Karto Songo masih berlari, tiba-tiba dalam jarak tujuh tombak di depan mereka berdiri seorang lelaki bercaping lebar.
Di punggung lelaki itu tersandang pedang panjang yang gagangnya berkilat.
"Hm," lelaki bercaping yang tak lain Kauw Cien Lung itu bergumam.
Tangannya bersidekap di depan dada.
"Lelaki bercaping?" desis Karto Songo dengan mata membelalak.
"Oh? Mengapa dia ada di sini?" keluh Kebo Pangawon.
"Kalian orang-orang tak berguna Hm.
Sepantasnya kalian mampus" dengus Kauw Cien Lung dengan suara yang berat.
"Tidak.
Jangan, Tuan.
Kami segolongan denganmu," ratap Karto Songo sambil merunduk.
"Benar, Tuan.
Kami segolongan denganmu.
Jadikanlah kami pengikutmu," timpal Kebo Pangawon turut merunduk.
Kemudian keduanya menjatuhkan diri, berlutut sambil mencium tanah.
"Hm.
Bangunlah Kalian orang-orang tak berguna Bersiaplah untuk mati" bentak Kauw Cien Lung dengan wajah dingin.
Tangan kanannya bergerak memegang gagang pedang.
Srrrt Mata Karto Songo dan Kebo Pangawon membelalak, mendengar suara pedang ditarik dari sarungnya.
"Bangun" sentak Kauw Cien Lung dengan keras.
Tangan kanannya kini telah menggenggam pedang yang bersinar putih kebiru-biruan.
"Jika kalian lelaki, bersiaplah untuk mati" Merasa tak ada kesempatan untuk memohon ampun, keduanya segera bangun.
Percuma mereka menyerah begitu saja.
Tak ada pilihan lain, mereka harus melakukan perlawanan agar mati dengan terhormat.
"Cabut senjata kalian" bentak Kauw Cien Lung.
Srrrt Srrrt Kebo Pangawon melolos senjatanya yang berbentuk tali baja dengan bola berduri.
Sedangkan Karto Songo, melolos senjatanya yang berbentuk tali baja dengan tombak runcing.
"Bagus Kalian bersiaplah" "Kunyuk Kami telah siap Apa kau kira kami takut?" balas Kebo Pangawon membentak.
Percuma saja dia mengiba pada lelaki bercaping itu.
Lagi pula, dia belum pernah menjajaki ilmu silatnya.
"Ya Jangan kira kami takut pada sepak terjang mu Aku Karto Songo, tak akan gentar Heaaa" "Hiaaat" Kebo Pangawon dan Karto Songo dengan cepat bergerak menyerang.
Senjata mereka melesat cepat ke arah Kauw Cien Lung secara bersamaan.
Menusuk dan melejit ke dada dan wajah lelaki Cina yang berjuluk Singa Jantan itu.
"Heaaa" Tubuh Kauw Cien Lung segera melejit ke atas, mengelakkan serangan kedua lawannya.
Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak ke depan.
Pedang di tangannya membabat ke arah kedua lawannya secepat kilat.
Wut "Hait" "Uts" Karto Songo dan Kebo Pangawon dengan cepat berkelit dan berpencar.
Kemudian keduanya balas melakukan serangan.
Kebo Pangawon kembali meluncurkan bola baja berdurinya ke dada lawan.
Karto Songo juga tak mau diam.
Senjatanya dilecutkan ke wajah lawannya.
Srrrt Wut Singa Jantan dari Cina itu kembali bergerak mengelitkan serangan keduanya.
Kemudian dengan cepat tangan kirinya menangkap salah satu senjata lawan.
Tap Bola besi berduri milik Kebo Pangawon tertangkap.
Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika Kebo Pangawon menyentakkan senjatanya.
Kemudian dengan cepat, pedangnya digerakkan ke tubuh lawan.
"Akh" Kebo Pangawon tersentak kaget.
Matanya membelalak, dan mulutnya menganga menyaksikan gerakan lawan yang sulit diterka itu.
Setiap babatan pedang lawan berusaha dielakkannya, namun gerakannya kalah cepat.
Wut Cras "Aaa" Kebo Pangawon melolong, ketika pedang lawan menyayat keningnya.
Tubuhnya meregang dengan mata melotot, kemudian tersungkur dengan nyawa melayang.
Tubuhnya mengepulkan asap hitam bagai terbakar.
Menyaksikan Kebo Pangawon tewas, nyali Karto Songo ciut.
Dia ingin lari, namun rasanya percuma.
Tentu lelaki misterius itu akan mengejarnya.
"Kurang ajar Kau telah membunuh temanku Kau harus mampus Hiaaat" Karto Songo memekik keras, kemudian dengan membabi buta dia kembali menyerang.
Senjatanya bergerak cepat menyambar dan menusuk ke arah lawan.
"Yeaaah" Tubuh Kauw Cien Lung melejit ke atas, ketika rantai bermata tombak milik Karto Songo melesat ke arahnya.
Kemudian dengan ringan, kakinya menginjak rantai itu, membuat mata Karto Songo membelalak Senjatanya ditarik sekuat tenaga, berusaha menjatuhkan Singa Jantan dari Cina itu.
"Heaaat" Kauw Cien Lung melesat ke atas, kemudian dengan gerakan cepat kembali menukik.
Saat itu, pedang di tangannya berkelebat ke wajah Karto Songo.
"Heaaat" Cras "Wuaaa" Karto Songo melolong histeris.
Tangannya seketika memegangi kening yang tersayat.
Matanya melotot sekarat.
Kemudian ambruk dengan keadaan yang sangat mengerikan.
"Hm," Kauw Cien Lung menggumam.
Tangan kirinya menyeka darah pada ujung pedang.
Kemudian setelah memasukkan pedang ke sarungnya, dia berlalu dari tempat itu.
Malam kembali hening, dicekam kegelapan.
***
ENAM
Dunia persilatan di tanah Jawa Dwipa khususnya di wilayah tengah semakin tercekam.
Kini tidak hanya para pendekar dari aliran lurus yang merasakan cemas akibat tindakan lelaki bercaping yang penuh misteri itu.
Dari aliran hitam pun merasakan juga.
Terlebih setelah mayat Karto Songo dan Kebo Pangawon ditemukan.
Keadaan rimba persilatan bagai terpanggang, membara panas.
Belum lagi dengan berita tentang titisan Dewi Kuan Im berupa seorang dara Cina.
Membuat rimba persilatan kian bergolak.
Satu pihak, berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah lelaki bercaping yang sepak terjangnya terlalu telengas.
Di pihak lain, ada yang berusaha mencari gadis titisan Dewi Kuan Im, dengan harapan akan menjadi pendekar nomor wahid di rimba persilatan.
Pendekar tanpa tanding, yang akan menjadi pendekar di antara para pendekar.
Mei Lie yang menjadi incaran utama orangorang rimba persilatan, karena dianggap titisan Dewi Kuan Im, kini masih mengasingkan diri bersama Nyi Bangil dan Lira Kanti di tempat yang sepi dan tidak pernah dijamah oleh manusia.
Gadis itu tengah mempelajari jurus-jurus 'Pedang Bidadari' yang sakti, ditemani oleh Nyi Bangil.
Sementara adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama Lira Kanti seperti biasanya pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan hidup.
Di samping itu, Lira Kanti ber-tugas mencari berita tentang Pendekar Gila, di samping mengamati perkembangan dunia persilatan.
Sembilan jurus telah dikuasai Mei Lie.
Kini tinggal jurus pamungkas dari semua jurus 'Ilmu Pedang Bidadari'.
Jurus 'Pedang Tebasan Batin', sebuah jurus sakti yang mungkin sampai sejauh ini belum ada yang mampu memecahkannya.
"Hhh" Mei Lie nampak duduk bersila di atas sebuah batu di depan air terjun.
Pedang di tangannya kini dilekatkan ke wajah.
Matanya terpejam, kemudian tangannya yang menggenggam pedang digerakkan ke kanan.
Sedangkan di pinggir sungai, seorang wanita muda dan cantik bertubuh sintal dengan pakaian merah jambu, duduk bersila sambil mengawasi Mei Lie.
Wanita itu tiada lain Nyi Bangil, yang sebenarnya pewaris 'Ilmu Pedang Bidadari'.
Namun karena Mei Lie yang mampu memecahkan semua jurus-jurus itu, Nyi Bangil akhirnya menyerahkannya pada adik angkatnya.
Mata Nyi Bangil tidak berkedip memandang Mei Lie yang tengah melakukan ujian akhir dari jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
Orang yang berhasil menguasai jurus itu akan mampu menebas makhluk halus sekalipun.
Telapak tangan Nyi Bangil saling bertemu.
Jarijarinya tegak di depan dada.
Matanya tiada henti memandang ke arah Mei Lie.
"Hhh," Mei Lie kembali menggerakkan pedang di tangannya.
Kali ini ke arah depan.
Kemudian setelah menarik kembali ke belakang, pedang itu digerakkan ke arah kiri.
Gerakan-gerakan itu dilakukan berulang-ulang.
Dengan napas diatur sedemikian rupa.
Matanya terpejam rapat, hingga tidak melihat sekelilingnya.
"Hhh.
Hea" Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan, lalu diangkat ke atas.
Kemudian dengan mata terpejam, pedangnya dibabatkan ke air di bawahnya.
Wut Pedang menderu cepat, membabat air.
Anehnya, air itu tidak terpercik sedikit pun Bahkan air laksana terbelah, Bukan itu saja Pedang itu ternyata membabat seekor ikan yang ada di dalam air.
Tidak lama kemudian, nampak seekor ikan mas tersembul ke permukaan air.
Tubuh ikan itu masih utuh, bagai tidak mengalami apa-apa.
Namun ketika Mei Lie mengambil ikan itu, tubuh ikan mas itu ternyata telah terbelah dua "Hebat" seru Nyi Bangil tanpa sadar, ketika menyaksikan hasil yang dicapai Mei Lie.
Mei Lie tersenyum.
Dilemparkan ikan yang kelihatannya masih utuh itu ke arah Nyi Bangil yang segera menangkapnya.
Nyi Bangil memandang lekat ke arah Mei Lie yang masih duduk bersila di atas batu dengan pedang tergenggam di tangan.
Lalu dipandanginya lagi ikan di tangannya.
"Kau telah berhasil, Mei Lie Kau telah berhasil memecahkan jurus pamungkas.
Jurus 'Pedang Tebasan Batin'," kata Nyi Bangil gembira.
"Kurasa semua berkat doa dan dorongan semangat darimu, Kak.
Namun aku belum puas, jika aku belum melakukan yang lebih baik dari itu," kata Mei Lie.
"Lakukanlah pada batu itu, Mei Lie" perintah Nyi Bangil.
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Mei Lie.
Kembali Mei Lie memejamkan mata.
Kedua tangannya memegang gagang pedang.
Pernafasannya diatur agar lancar.
"Hhh," Mei Lie berusaha memusatkan seluruh daya di tubuhnya pada batinnya.
Nyi Bangil kembali memperhatikan Mei Lie dengan seksama.
Matanya tidak berkedip.
Hatinya berharap agar semua yang dilakukan Mei Lie akan berhasil.
"Hhh" Mei Lie menggerakkan pedang ke kanan.
Kemudian ke depan.
Dilanjutkan ke kiri, lalu ke depan lagi.
Nafasnya terus diatur.
Seluruh panca inderanya dipa-dukan.
Kini semuanya benar-benar terpusat ke batin.
"Hhh.
Heaaa" Mei Lie mengangkat pedangnya ke atas, tubuhnya berkelebat laksana terbang.
Lalu dengan mata masih terpejam, pedangnya dibabatkan ke batu besar di dalam air terjun.
Wut Kejadian aneh kembali terjadi.
Batu itu bagai tidak mengalami apa-apa.
Padahal pedang di tangan Mei Lie telah tembus ke dalam.
Begitu juga dengan air terjun, tak ada percikan sedikit pun.
Air terjun itu laksana terbelah dua ketika Mei Lie membabatkan pedang.
"Heaaa," Mei Lie kembali melompat ke belakang dengan bersalto beberapa kali, kemudian duduk bersila kembali di atas batu semula.
Saat itu pula, batu sebesar badan kerbau yang tadi dibabat oleh pedangnya, hancur berantakan terkena arus air.
Batu besar itu berubah menjadi butiran-butiran kecil "Oh, sungguh dahsyat" gumam Nyi Bangil dengan mata semakin membelalak, menyaksikan kejadian yang aneh itu.
Kepala Nyi Bangil menggeleng-geleng.
Baru kali ini disaksikannya kehebatan jurus 'Pedang Tebasan Batin'.
Tidak percuma Mei Lie mempelajarinya dengan tekun.
Hampir tiap hari gadis itu mempelajari 'Ilmu Pedang Bidadari'.
Dan hasil dari ketekunannya akhirnya terwujud.
Mei Lie telah mampu menguasai semua jurus di Kitab Ilmu Pedang Bidadari yang selama ini belum terpecahkan.
"Kau berhasil, Mei Lie Kau berhasil" seru Nyi Bangil girang.
"Benarkah, Kak?" tanya Mei Lie belum percaya.
"Ya Lihatlah.
Batu di belakang air terjun itu, telah hancur menjadi pasir" seru Nyi Bangil sambil menunjuk ke arah air terjun.
Mei Lie memandang ke air terjun.
Seketika matanya membuka lebar, manakala melihat di balik air terjun itu terdapat sebuah goa.
"Goa," desis Mei Lie masih terpana menyaksikan goa di belakang air terjun.
"Hm.
Rupanya batu besar tadi adalah penutup goa ini" "Ada apa, Mei Lie?" tanya Nyi Bangil.
"Di balik air terjun ada goa, Kak" seru Mei Lie, menyahuti.
"Goa?" tanya Nyi Bangil.
"Ya" "Hm.
Mungkinkah itu goa yang dimaksudkan dalam Kitab Ilmu Pedang Bidadari?" tanya Nyi Bangil.
"Entahlah.
Aku akan mencoba masuk, Kak" "Hati-hatilah" Mei Lie melesat cepat.
Tangannya menyibak air terjun yang deras.
Kemudian laksana terbang tubuhnya melesat masuk ke dalam, meninggalkan Nyi Bangil yang memperhatikannya dengan was-was.
***
Mei Lie mengerutkan kening, setelah masuk ke dalam goa itu.
Ternyata goa itu di dalamnya sangat luas.
Ada rasa tegang menyelimuti hati gadis Cina itu, menyaksikan keadaan goa yang sangat menyeramkan.
Namun entah mengapa, hatinya merasakan ada sesuatu yang menariknya untuk terus menyelusuri goa itu.
"Hm.
Goa apa ini? Dan" Belum juga Mei Lie selesai berkata, tiba-tiba matanya tersentak oleh sinar merah kekuningkuningan.
Sinar itu datangnya dari dalam goa.
Sepertinya ada sesuatu di sana.
Mei Lie semakin tegang.
Keningnya kian berkerut.
Bibirnya dikulum dalam-dalam, berusaha menekan perasaan takut yang melanda jiwanya.
"Sinar apakah itu?" tanyanya lirih.
Kaki Mei Lie kini melangkah bagai ada yang menyeret.
Hatinya berdebar-debar, laksana merasakan getaran dahsyat.
Sinar merah kekuning-kuningan yang memancar itu, seperti menyedot tubuhnya untuk terus mendekat Dengan perasaan agak tegang, Mei Lie terus melangkah menyusuri goa.
Langkah-langkahnya bagai detak-detak menuju maut.
Matanya membuka lebar, sesekali menyapu ke sekelilingnya yang menyeramkan.
Kakinya semakin lama semakin jauh melangkah dan kian dekat dengan sinar berwarna merah kekuning-kuningan yang kian terang.
Sampai akhirnya, Mei Lie menjadi takjub.
Matanya membelalak lebar dan berbinar-binar manakala melihat dengan jelas sinar merah kekuning-kuningan itu.
Ternyata sinar itu berasal dari sebilah pedang.
"Pedang.
Oh," desis Mei Lie.
Matanya tidak berkedip memandang pedang yang menancap di sebuah kotak panjang.
Sedangkan sarungnya yang terbuat dari kayu cendana dan menebarkan bau harum, terletak di sampingnya.
Dengan takjub, Mei Lie menjura ke arah pedang itu.
Kemudian perlahan-lahan tangannya menyeka debu yang menutupi kotak kayu persegi yang besarnya dua kali ukuran pedang.
Sepertinya di kotak kayu itu terdapat sebuah tulisan.
Setelah debu yang menutup dienyahkan, kini tulisan itu menjadi jelas.
Mei Lie membacanya, Siapa yang telah mampu menguasai 'Ilmu Pedang Bidadari', dialah pewaris pedang ini.
Dengan pedang ini, jurus-jurus 'Ilmu Pedang Bidadari' akan semakin sempurna.
Dewi Pedang "Oh Rupanya ini Pedang Bidadari.
Jagat Dewa Batara, sungguh aku telah beruntung menjadi pewaris 'Ilmu Pedang Bidadari'," bisik Mei Lie, khidmat.
Tangannya kini memegang gagang pedang.
Kemudian dicobanya mengangkat pedang itu.
Namun pedang itu bagai telah menyatu dengan kayu tempat ter-tancapnya.
"Hei, mengapa pedang ini sulit dicabut?" Mei Lie terheran-heran.
Dipandanginya kembali Pedang Bidadari di hadapannya yang masih mengeluarkan sinar merah kekuning-kuningan.
Dicobanya lagi.
Tetap saja gagal.
Mei Lie mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha mencabut pedang tersebut.
Namun sia-sia Pedang itu tidak bergeming sedikit pun juga.
"Oh, apa yang harus kulakukan?" keluh Mei Lie hampir putus asa.
Ditatapnya pedang itu lekat-lekat, berusaha memahami cara yang baik untuk mencabut pedang itu.
Mungkinkah harus menggunakan batin? Tanya Mei Lie dalam hati.
Ya.
Mungkin aku harus memakai kekuatan batin Setelah merasa yakin, Mei Lie segera duduk bersila di hadapan pedang itu.
Matanya dipejamkan.
Nafasnya diatur dengan irama tertentu, lalu segenap panca inderanya disatukan ke pusat batin.
Setelah la-ma melakukan hening diri, dan semuanya telah terpusat di batin, Mei Lie mengulurkan tangan kanannya ke gagang pedang.
Kemudian dengan tenaga batin, Mei Lie mencabut pedang tersebut.
"Oh, akhirnya aku berhasil" ucap Mei Lie nyaris memekik girang ketika pedang itu terlepas dari tan-capannya.
Tak jemu-jemu pedang itu dipandangi.
Kemudian diambilnya sarung pedang, lalu Pedang Bidadari dimasukkan ke dalamnya.
Mei Lie segera menjura setelah menaruh pedang itu di punggungnya.
Kemudian Mei Lie melangkah meninggalkan goa itu.
***
"Mei Lie.
Cemas aku menunggumu.
Apa yang kau lakukan di dalam?" tanya Nyi Bangil dengan wajah menggambarkan kecemasan, karena Mei Lie lama sekali di dalam goa.
"Kak Lihat, apa yang kuperoleh?" Mei Lie menarik pedang dari sarungnya.
Seketika sinar merah kekuning-kuningan berpijar, menyentakkan Nyi Bangil.
Sampai-sampai mata Nyi Bangil melotot.
Mulutnya tanpa sadar menyebut nama pedang itu.
"Pedang Bidadari" "Benar, Kak.
Pedang ini berada di dalam goa," tutur Mei Lie.
"Oh, akhirnya kau berhasil, Mei Lie.
Kini leng-kaplah apa yang kau miliki.
Dengan Pedang Bidadari di tanganmu, kau akan menjadi jago pedang nomor sa-tu.
Kau pantas berjalan sejajar dengan Pendekar Gila," puji Nyi Bangil turut gembira, melihat Mei Lie akhirnya berhasil mendapatkan semuanya.
"Semua berkat doa serta doronganmu, Kak" Mei Lie segera menjura hormat.
Namun dengan segera Nyi Bangil memegangi pundaknya.
Diangkatnya tubuh Mei Lie, kemudian gadis Cina yang telah diangkat menjadi adiknya diminta untuk memandang wajahnya.
"Aku bersyukur, kau akhirnya berhasil, Mei Lie.
Kini aku merasa telah terbebas dari tanggung jawab.
Kalau kau memang ingin mencari Sena, aku tak keberatan.
Namun perlu kau ingat, bahwa para pendekar kini tengah memburumu.
Untuk itu, kau harus hatihati.
Bila perlu, menyamarlah agar tidak kelihatan siapa dirimu," tutur Nyi Bangil menyarankan.
"Terima kasih, Kak" "Kita pulang dulu untuk mempersiapkan keberangkatanmu mengembara.
Ayo," ajak Nyi Bangil sambil membimbing Mei Lie meninggalkan tempat itu.
Suasana di tempat itu kembali sepi.
Hanya kicau burung saja yang terdengar, ditimpali debur air terjun yang tiada henti.
Seakan air terjun itu jalur hidup manusia.
Yang selalu memiliki alur kehidupan, sebagaimana air.
Sinar matahari pagi menerobos lewat celah dedaunan, menyinari suasana di tempat itu.
Angin bertiup semilir, membawa kesejukan dan kedamaian hati.
Alam pun turut berseri.
***
TUJUH
Orang-orang rimba persilatan kian dibuat ketakutan oleh lelaki bercaping lebar yang sepak terjangnya kian menjadi-jadi.
Sejauh itu, belum ada yang ta-hu siapa sesungguhnya lelaki bercaping lebar itu.
Dan apa tujuan sebenarnya.
Kini orang-orang persilatan yang dipimpin Ki Ageng Sampar Bayu mengadakan pertemuan untuk membahas masalah sepak terjang lelaki bercaping yang oleh kaum rimba persilatan dijuluki Singa Jantan dari Cina.
Semua orang rimba persilatan aliran lurus, dipanggil untuk menghadiri pertemuan itu.
Di sana, hadir Resi Sarameskari dan kedua murid utamanya.
Ki Kerto Mandra dengan istrinya Ratih Pun.
Juga dari Perguruan Teratai Putih yang diwakili oleh Suciati dan Anggrojoyo.
Dan perguruan-perguruan aliran lurus lainnya.
Hanya satu orang yang belum hadir di situ, yaitu Pendekar Gila.
"Saudara-saudara pendekar.
Sengaja kami mengundang saudara-saudara ke sini untuk membahas masalah Singa Jantan dari Cina yang sepak terjangnya akhir-akhir ini semakin telengas," kata Ki Ageng Sampar Bayu, membuka pertemuan.
Sayang sa-tu orang yang sesungguhnya penting tidak hadir" "Aha.
Aku telah datang, Ki" Tiba-tiba terdengar sahutan seorang pemuda.
Kemudian disusul dengan munculnya seorang lelaki muda berpakaian rompi kulit ular yang tingkahnya persis orang gila.
Semua mata seketika mengalihkan pandangannya ke arah Sena yang baru saja hadir.
Kehadirannya membuat wajah-wajah para pendekar agak ceria.
"Selamat datang, Pendekar Gila," sambut semua pendekar seraya menjura hormat, yang dibalas pula oleh Sena.
"Ah ah ah.
Mengapa kalian begitu menyambutku?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Aku adalah bagian dari kalian.
Tak perlu kalian berla-ku hormat padaku, karena aku belumlah seberapa dibandingkan kalian" "Silakan mengambil tempat, Pendekar Gila," ka-ta Ki Ageng Sampar Bayu, mempersilakan Sena.
"Terima kasih, Ki," tukas Sena sambil melangkah ke kursi yang masih kosong.
"Baiklah, kita mulai pertemuan ini," ujar Ki Ageng Sampar Bayu.
"Kita kembali ke pokok masalah, tentang Singa Jantan dari Cina yang sepak terjangnya akhir-akhir ini semakin menjadi-jadi.
Juga masalah geger wanita titisan Dewi Kuan Im.
Nah, bagaimana tanggapan kalian? Silakan yang hendak mengajukan usul" "Saya, Ketua," Resi Sarameskari mengajukan tangan.
"Silakan" "Menurut hemat saya, tugas ini harus kita bagi.
Bagaimanapun juga, semua adalah tanggung jawab kita bersama" "Setuju" sambut hadirin.
"Baiklah Kita bagi tugas.
Bagaimana kalau Resi Sarameskari dan Pendekar Gila mengawasi sepak terjang lelaki misterius itu.
Kalau bisa, secepatnya lelaki itu ditangkap, hidup atau mati.
Kalau tidak segera dihentikan, bisa-bisa semua pendekar akan habis dibantainya," urai Ki Ageng Sampar Bayu.
Semua terdiam seraya mengangguk-anggukkan kepala.
Sepertinya mereka setuju dengan pendapat Ki Ageng Sampar Bayu.
"Bagaimana, Pendekar Gila? Apa ada yang dapat kau sampaikan untuk kami?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
Sena menggaruk-garuk kepala sambil berkata, "Ya Ini sangat penting sekali.
Bagi siapa pun juga, usahakan jangan sampai menyentuh korban Singa Jantan dari Cina itu" "Kenapa?" "Korban telah terkena racun ganas.
Siapa pun yang menyentuhnya, akan mengalami kematian.
Tubuhnya dalam sekejap akan terbakar," tutur Sena, menjelaskan.
"Apa yang dikatakannya memang benar, Ketua," sahut Resi Sarameskari.
"Hm.
Kalau begitu, orang itu sangat berbahaya," gumam Ki Ageng Sampar Bayu.
"Ya Maka, kuharap saudara pendekar sekalian berhati-hati.
Usahakan, jangan sampai terkena pedangnya jika memang bentrok.
Kalau memang bisa, hindari bentrokan," kata Sena, menegaskan.
Semua kembali diam.
Hanya kepala mereka yang mengangguk-angguk, tampaknya memahami ucapan Sena.
Sedangkan Ki Ageng Sampar Bayu menghela napas.
Tatapan matanya kini memandang lepas ke arah pintu, seakan tengah membuang perasaaan gelisahnya.
Biar bagaimanapun, sebagai pemimpin aliran lurus, dia memikul tanggung jawab yang sangat berat dengan kehadiran lelaki bercaping itu.
Korban telah banyak berjatuhan.
Namun sejauh ini, belum juga ada yang mampu menandingi kehebatan ilmu pedangnya yang luar biasa.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, siapa yang pantas untuk menghadapi lelaki bercaping itu? "Siapa yang mampu menghadapi Singa Jantan dari Cina itu?" ungkap Ki Ageng Sampar Bayu, memecahkan kebisuan yang tengah terjadi.
Semua terdiam membisu.
Tak ada yang berani untuk mengutarakan pendapat mereka.
Singa Jantan dari Cina bagai sebuah momok yang menakutkan.
Lama semua terdiam, sampai akhirnya Sena berkata.
"Aku akan mencobanya" "Aku juga," sambut Resi Sarameskari.
"Kalau begitu, kini tinggal bagaimana menyelidiki masalah berita titisan Dewi Kuan Im," kata Ki Ageng Sampar Bayu.
"Nampaknya, masalah ini juga ada hu-bungannya dengan Singa Jantan dari Cina itu" "Benar, Ketua," kata Kerto Mandra.
"Kurasa, ki-ta harus bisa menjaga ketertiban dan keamanan.
Tentunya orang-orang persilatan akan berusaha mendapatkan gadis titisan Dewi Kuan Im itu" "Apa yang kau katakan benar, Ki Kerto Mandra.
Bagaimana kalau kau dan istrimu kutugaskan untuk menyelidikinya?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Kami bersedia, Ki," jawab suami istri itu hampir bersamaan.
"Kalau begitu, semua telah beres.
Kini tinggal pelaksanaannya.
Kudoakan semoga kalian senantiasa dalam lindungan Hyang Widhi.
Pertemuan saya tutup" Semua anggota kini memberi hormat pada lelaki tua berjubah putih yang menjadi ketua aliran lurus itu.
Kemudian satu persatu mereka meninggalkan tempat pertemuan itu.
Kauw Cien Lung atau yang lebih dikenal sebagai Singa Jantan dari Cina melangkah tenang, menyelusuri jalan di dalam hutan dalam usahanya mencari Mei Lie.
Langkahnya begitu ringan, bagai melayang di atas rerumputan.
Dilihat dari cara jalannya, jelas me-nunjukkan kalau lelaki bercaping itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.
Kauw Cien Lung terus melangkah menyusuri hutan.
Pedang di punggungnya yang telah banyak memakan korban terlihat angker.
Sebilah pedang yang sangat beracun dan mematikan.
Siapa pun yang terkena, dalam sesaat akan mengalami kematian yang mengerikan.
"Kisanak, tunggu" Tiba-tiba terdengar seruan yang membuat langkah Kauw Cien Lung terhenti.
Kemudian perlahan tubuhnya berbalik, menghadap ke pemilik suara.
"Hm," gumam Kauw Cien Lung ketika melihat tiga orang lelaki berkepala gundul melangkah ke arahnya.
Ketiga lelaki itu tiada lain adalah Resi Sarameskari dan dua orang murid utamanya.
Kaki mereka masih melangkah menghampiri Kauw Cien Lung.
"Hm.
Mengapa kalian menghentikan langkahku?" tanya Kauw Cien Lung.
Tangannya bersidekap di depan dada.
"Kaukah Singa Jantan dari Cina itu?" tanya Re-si Sarameskari.
"Hm.
Benar.
Ada apa?" balik tanya Kauw Cien Lung.
"Tentunya antara kita tak ada masalah, bukan?" "Memang," sahut Resi Sarameskari.
"Memang antara kita tak ada masalah.
Namun kami diutus oleh pemimpin para pendekar tanah Jawa Dwipa untuk meminta kau segera menghentikan sepak terjang mu yang telengas itu" "Ha ha ha.
Lucu sekali.
Mengapa seorang padri harus ikut campur urusan dunia persilatan?" Kauw Cien Lung tertawa tergelak-gelak, seperti ada sesuatu yang lucu pada diri para penghadangnya.
"Bukankah sebaiknya kalian mengurusi kuil?" Mata ketiga padri itu membelalak mendengar ucapan Kauw Cien Lung yang merendahkan kedudukan mereka.
Resi Sarameskari menghela napas.
Matanya memandang tajam lelaki bercaping di hadapannya.
"Kisanak, kami memang padri.
Namun jika dunia dalam keadaan kacau oleh tingkah lakumu, jelas kami tidak mau tinggal diam.
Budha telah mengutus kami untuk menjaga ketenteraman mayapada ini," tutur Resi Sarameskari.
"Hm" gumam Kauw Cien Lung.
"Jadi kalian termasuk pendekar?" "Bisa disebut begitu," sahut Resi Sarameskari.
"Tentunya kalian mendengar berita Dewi Kuan Im, bukan?" "Ya" "Hm, bagus Apakah kalian tahu, di mana Dewi Kuan Im berada?" tanya Kauw Cien Lung.
"Masalah itu, kami tak tahu.
Kami hanya mengingatkan padamu bahwa perbuatanmu telah banyak memakan korban.
Untuk itulah, kami mengharap kau mau menghentikan sepak terjang mu yang kelewat telengas" tegas Resi Sarameskari.
"Ha ha ha.
Ada seorang padri yang mau ikut campur urusan dunia persilatan.
Jadi maksudmu mau menghentikan sepak terjangku?" tanya Kauw Cien Lung.
"Ya" terdengar tegas suara Resi Sarameskari.
"Haiya.
Baru kali ini aku melihat seorang padri mau ikut campur urusan persilatan.
Sayang sekali, aku tidak mau tanganku belepotan darah padri" Usai berkata begitu, Kauw Cien Lung membalikkan tubuh tanpa menghiraukan Resi Sarameskari dan kedua muridnya, kemudian dengan seenaknya melangkah meninggalkan tempat itu.
Geram juga Resi Sarameskari dan kedua murid utamanya melihat tindakan lelaki bercaping
lebar yang tidak menggubris mereka.
"Orang sombong Berhenti" bentak Resi Sarameskari.
Kauw Cien Lung tak juga mau berhenti.
Kakinya masih saja melangkah dengan seenaknya.
Seakan benar-benar tidak menghiraukan kemarahan ketiga padri itu.
"Sombong Apakah kau kira dengan sepak terjang mu kami menjadi takut Kau harus dihentikan Heaaa" Usai berkata begitu, tubuh Resi Sarameskari berkelebat cepat untuk mengejar lelaki bercaping, diikuti oleh kedua murid utamanya.
"Heaaa" "Yiaaat" Tubuh ketiganya langsung menghadang di depan Singa Jantan dari Cina yang masih terlihat tenang.
Bahkan tangannya bersidekap angkuh.
Mungkin matanya yang tertutup oleh caping lebar saat itu tengah memandang tajam ke arah mereka.
"Mau apa kalian?" tanya Kauw Cien Lung, setengah menantang.
"Menghentikan sepak terjang mu yang biadab" dengus Resi Sarameskari tegas.
Matanya memandang semakin tajam, penuh kebencian pada lelaki di hadapannya.
"Ha ha ha.
Percuma kalian menghalangiku" ujar Kauw Cien Lung sinis.
"Lebih baik kalian pulang ke kuil saja.
Tak perlu kalian ikut campur urusanku" "Kurang ajar Rupanya kau harus diajar adat" maki Resi Sarameskari marah.
Gigi-giginya saling beradu, mengeluarkan suara bergemeletuk.
"Terserah kau saja, Padri Aku sudah menyarankan agar kalian tidak ikut campur urusanku.
Namun jika kau masih saja membandel, tak ada pilihan lain," Kauw Cien Lung akhirnya menanggapi tantangan Resi Sarameskari.
"Kalian menyingkirlah dulu.
Biar lelaki sombong ini ku ajar adat Yeaat" Resi Sarameskari segera bergerak menyerang.
Tasbih yang menjadi senjata andalannya diputar hingga menimbulkan deru angin keras.
Wut Cletar "Haiya" Kauw Cien Lung segera melompat ke atas, mengelakkan sabetan tasbih Resi Sarameskari.
Nampaknya dia tidak ingin menggunakan pedang.
Buktinya, dia hanya menyerang dan menangkis dengan kedua tangan.
"Keluarkan senjatamu, Orang Sombong Heaaa" Serangan Resi Sarameskari semakin sengit.
Bahkan lelaki bercaping lebar itu ditantang agar mengeluarkan pedangnya.
Tasbih di tangannya kembali menderu keras ke arah lawan.
Wut Cletar "Ups.
Sebenarnya aku pantang bertarung denganmu, Padri Maka, aku tak akan mengeluarkan pedang," sahut Kauw Cien Lung.
Hal itu membuat Resi Sarameskari bertambah marah.
Dia menganggap kata-kata Singa Jantan dari Cina itu sebagai sebuah hinaan yang sangat merendahkannya.
"Kurang ajar Rupanya kau semakin sombong Heaaat" Dengan penuh amarah, Resi Sarameskari kembali menggebrak dengan sabetan-sabetan tasbihnya.
Dia berusaha menekan lawannya agar tidak dapat balas menyerang.
Namun lelaki bercaping lebar itu dengan mudah mengelakkan serangannya.
"Hiaaa" gerakan Kauw Cien Lung sangat gesit, meski tidak menggunakan senjata.
Serangan yang dilancarkan Resi Sarameskari yang keras dan cepat, bagaikan tak ada artinya, selalu menemui tempat kosong.
"Padri, lebih baik kau pulang.
Jangan sampai aku menurunkan tangan jahat padamu" bentak Kauw Cien Lung dengan tubuh masih bergerak untuk mengelakkan serangan yang dilancarkan Resi Sarameskari.
"Setan Apa kau kira aku anak kecil yang bisa ditakut-takuti? Keluarkan pedangmu, hadapi aku Heaaa" Serangan Resi Sarameskari kian sengit.
Sabetan-sabetan tasbihnya menggelegar, menyapu dan menghantam ke arah Singa Jantan dari Cina itu.
Wut, wut.
Cletar Kauw Cien Lung terus mengelak Tubuhnya berjumpalitan di udara.
Kemudian tangan dan kakinya balas menyerang.
Gerakan ilmu silatnya begitu cepat dan keras, seakan memiliki kelincahan yang sulit diterka.
"Kau benar-benar memaksaku, Padri Baiklah, aku akan menghadapimu sebagai seorang pendekar" Usai berkata demikian, Singa Jantan dari Cina itu menggerakkan tangan kanannya ke gagang pedang.
Dan.
Srrrt Kaget juga Resi Sarameskari menyaksikan lelaki bercaping itu menarik pedang dari sarungnya.
Saat lawan menarik pedang saja seperti ada kekuatan yang menyebar.
Apalagi jika lawan telah melakukan serangan dengan pedangnya.
"Celaka Guru, biar kami yang menghadapinya'" seru Resi Bramaweda.
"Benar, Guru.
Biarkan kami yang menghadapinya" sambung Resi Bragaskita, merasa khawatir kalau-kalau gurunya akan mendapat celaka jika menghadapi lelaki bercaping lebar itu.
"Ha ha ha.
Mengapa tidak sekalian saja?" tantang Kauw Cien Lung dengan nada sombong.
Tangan kanannya yang telah memegang pedang, kini digerakkan ke samping.
Kemudian pedangnya ditarik kembali ke depan.
"Bedebah Apa kau kira akan mampu membunuhku, Orang Sombong? Yeaaa" "Bersiaplah, Padri Hiaaa" Keduanya kembali bergerak.
Resi Sarameskari melancarkan sabetan senjatanya yang berupa tasbih ke arah lawan.
Suara sabetan itu menggelegar, laksana suara halilintar.
Wut Cletar "Haiya" Kauw Cien Lung yang di negerinya berjuluk Houw San atau Singa Jantan itu mencelat ke atas.
Tubuhnya bersalto beberapa saat.
Tangan kanannya yang memegang pedang, kini digerakkan dengan cepat, membabat ke arah lawan.
Gerakan pedang itu sangat cepat, sulit sekali diikuti oleh mata.
Resi Sarameskari tersentak kaget.
Sama sekali tidak diduganya kalau gerakan yang dilancarkan lawan begitu cepat.
Dia berusaha menangkis serangan itu dengan tasbih ke atas.
Maka tanpa bisa dihindari lagi, dua senjata dahsyat pun beradu di udara.
Glarrr Trak Tasbih di tangan Resi Sarameskari hancur lebur ketika beradu dengan pedang Kauw Cien Lung.
Hal ini membuat mata Resi Sarameskari membelalak tegang.
Terlebih ketika pedang lawan semakin deras mengarah ke wajahnya.
"Oh" Resi Sarameskari berusaha mengelakkan serangan pedang lawan, namun terlambat.
Sabetan pedang Kauw Cien Lung yang menuju ke wajahnya jauh lebih cepat.
Hingga.
Wut Cras "Aaakh" Resi Sarameskari memekik keras dengan mata melotot lebar.
Tubuhnya langsung ambruk dengan keadaan yang mengerikan.
Dan setelah mengejang sesaat, Resi Sarameskari diam tak bergerak lagi.
Mati "Guru" seru Resi Bramaweda dan Resi Bragaskita bersamaan.
Hampir saja mereka menubruk tubuh gurunya, namun mereka segera mengingat pesan Pendekar Gila.
Kini keduanya memandang lelaki bercaping yang tengah menyeka darah di ujung pedangnya dengan tangan kiri.
"Bangsat Kau harus mampus Heaaat" Resi Bramaweda dengan cepat melancarkan serangan.
Begitu pula dengan Resi Bragaskita.
Namun ternyata kini kau keji Kau kejam Tidak kusangka kalau aku memiliki guru yang sesat" "Sena.
" seru Singo Edan.
"Bertobatlah pada Hyang Widhi, sebelum kukirim kau ke akhirat Dosamu telah terlalu banyak" ujar Se-na dengan suara masih tinggi, masih diburu oleh amarah.
"Sena, dengarlah.
Aku akan menjelaskan padamu.
" "Persetan denganmu Berdoalah pada Hyang Widhi, agar perbuatanmu diampuni Heaaa.
" Sena segera menerjang dengan cepat Bukan lagi jurus pembuka 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' yang digunakan, melainkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Tangannya bagai sepasang tangan milik dewa, menghantam dan menyambar tubuh Singo Edan.
"Uts.
" Bukkk Singo Edan yang tahu kalau muridnya salah paham, sama sekali tidak mau membalas.
Dia hanya menangkis serangan-serangan yang dilancarkan Sena.
Tingkah keduanya persis orang gila yang bercanda dalam lingkaran maut.
Namun justru gerakan-gerakan itu yang sangat dahsyat dan berbahaya.
"Sena, hentikanlah Kau salah paham, Anakku.
," bujuk Singo Edan, masih berusaha menyadarkan muridnya.
"Salah paham? Ha ha ha.
Rupanya nyalimu telah ciut Tidak kusangka, orang yang selama ini ku agung-agungkan ternyata tidak lebih dari iblis bertubuh manusia Heaaa.
" Sena terns melancarkan jurus-jurus gilanya.
Jurusjurus yang sangat dahsyat.
Namun begitu, Singo Edan yang juga amat menguasai jurus-jurus itu jelas tak mengalami kerepotan.
Kalau mau, tentunya Singo Edan mampu menghentikan semuanya.
Tapi Singo Edan tidak melakukannya.
Kalau dilakukannya, tentu Sena akan semakin yakin kalau dia yang telah meracuninya.
"Rupanya kau telah dikuasai oleh iblis Hingga kau semakin sombong dan takabur.
Lupa akan kekuasaan Hyang Widhi" dengus Sena marah, menyaksikan Singo Edan tak juga mau balas menyerang.
"Sena, lakukanlah apa yang kau inginkan Kau tak akan percaya kalau aku menjelaskannya.
Untuk itulah, sebagai pendekar yang berpegang teguh atas kebenaran dan keadilan, aku rela mati di tanganmu.
Tangan muridku sendiri Nah, lakukanlah Cabut Suling Naga Sakti, sebab hanya senjata itulah yang mampu membunuhku" seru Singo Edan.
"Sena, dengarlah.
Aku akan menjelaskan.
" "Persetan denganmu Berdoalah pada Hyang Wid-hi, agar perbuatanmu diampuni Heaaa.
" "Uts.
" Bukkk Singo Edan tahu kalau muridnya salah paham, maka serangannya hanya ditangkis dan tidak dibalas Sena tersentak seraya melompat mundur dua tindak.
Matanya menatap tajam wajah gurunya yang masih tersenyum.
Tangannya memegang Suling Naga Sakti yang terselip di pinggangnya.
"Kau ragu, Sena? Kalau begitu, lakukanlah dengan jurus maut mu yang dahsyat.
Yang kau dapatkan di hutan dari seekor kera.
Bukankah jurus 'Tamparan Sukma' yang kau kuasai, jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan jurus-jurus gila? Ayo, lakukanlah" tantang Singo Edan, menyaksikan muridnya kini hanya terdiam.
Nampaknya Sena dilanda kebimbangan.
Singo Edan tertawa terbahak-bahak.
"Kau takut Sena?" "Tidak.
" "Mengapa tidak kau lakukan?" tanya Singo Edan.
"Baik Jangan menyesal kalau aku membunuhmu Maaf.
" Usai berkata demikian, Sena segera memperagakan jurus 'Tamparan Sukma'nya.
Singo Edan tak bergeming dari tempatnya berdiri.
Bahkan mulutnya masih tersenyum.
Matanya masih memandangi gerakangerakan yang dilakukan muridnya.
"Heaaa.
" Sena bergerak hendak menyerang.
Namun saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat menghadang gerakannya.
Bayangan itu segera memapaki jurus yang dilakukan Sena.
"Nguk" Desss "Ukh.
" Sena mengeluh pendek.
Matanya seketika membelalak, menyaksikan siapa yang telah menghadang jurus 'Tamparan Sukma'nya.
Ternyata seekor kera.
"Kau.
? Mengapa kau menghalangi niatku, Kawan? Dia jahat Dia telah membunuh orang dengan keji.
Dia telah melanggar sumpahnya untuk tidak main perempuan.
Dia juga telah meracuni ku.
Uhuk.
" Sena terbatuk-batuk.
Tenaganya yang belum pulih benar, membuat tubuhnya belum kuat.
Hanya karena amarah saja, membuatnya memaksakan diri untuk bangkit.
Tubuh Sena terhuyung-huyung, dan kembali jatuh pingsan.
Entah sudah berapa lama Sena tak sadarkan diri.
Ketika terbangun, tubuhnya telah berada di atas pembaringan semula.
Di kanan dan kirinya, Singo Edan dan Kera Sakti menungguinya.
"Kawan, mengapa kau membela orang yang jahat?" tanya Sena pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk.
" Kera Sakti menggeleng-gelengkan kepala.
Kemudian dengan bahasa isyarat, Kera Sakti mengatakan kalau Sena justru yang telah salah sangka.
Singo Edan tetap seperti dulu.
Tetap gurunya yang bijaksana.
Bahkan Kera Sakti menjelaskan, bahwa Singo Edan yang membawa Sena ke Goa Setan.
"Guru.
Ampunilah saya.
Hukumlah saya yang telah lancang dan berdosa," ratap Sena, menyesali per-buatannya yang telah lancang terhadap sang Guru.
Singo Edan tertawa terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Lucu sekali kau, Bocah Gila Hua ha ha.
Mengapa kau meratap seperti itu, Bocah Edan Kau tidak salah.
Bangunlah Kebetulan sahabatku datang kemari," kata Singo Edan.
Sena segera bangun.
Lalu menyembah dan mencium kaki gurunya.
Kemudian setelah Singo Edan memegang pundaknya dan menyuruhnya berdiri, Sena pun menurut dan berdiri.
"Kita ngobrol-ngobrol.
Bagaimana, Sahabat?" tanya Singo Edan pada Kera Sakti.
"Nguk, nguk.
" Kera Sakti mengangguk-angguk.
Lalu mereka bertiga melangkah ke tempat Sena dan gurunya bertarung.
Singo Edan duduk di tempat biasa.
Sementara Sena dan Kera Sakti duduk bersila di bawah.
"Dengarlah baik-baik olehmu, Sena," tutur Singo Edan.
Kemudian dia pun menceritakan siapa sebenarnya Kera Sakti itu, juga hubungannya dengan mereka yang mewarisi ilmu Pendekar Gila dari Goa Setan.
Kera Sakti itu adalah sahabat baik dari Pendekar Gila terdahulu.
Asalnya, orangtua sekaligus guru dari Kera Sakti, dikeroyok oleh manusia.
Sepasang kera itu dikeroyok oleh orang-orang rimba hitam karena dianggap menjadi penghalang sepak terjang mereka.
Hampir saja kedua orangtua Kera Sakti binasa.
Saat itu datang Ki Amba Dewa atau Pendekar Gila dari Goa Setan yang menolong mereka dan mengalahkan para tokoh rimba hitam.
"Nah, sejak saat itulah Eyang Guru bersahabat dengan kedua orangtua Kera Sakti.
Bukan begitu, Kera Sakti?" tanya Singo Edan.
"Nguk, nguk.
" Kera Sakti mengangguk-angguk.
"Itu sebabnya dia menolongmu, Sena.
Sekarang kalian dengarlah tentang apa yang telah menimpa Sena.
" Kembali Singo Edan menceritakan tentang Dewi Drugani atau Dewi Pemuja Setan.
Secara singkat Singo Edan menceritakan semuanya.
"Aku heran, bagaimana mungkin racun itu ada lagi? Padahal Dewi Pemuja Setan telah lenyap puluhan tahun silam.
" "Kalau begitu, biarlah aku yang akan menyelidikinya, Guru.
" "Ya Berangkatlah.
Doa ku akan selalu mengiringi mu," kata Singo Edan.
Setelah menjura, Sena beranjak pergi meninggalkan tempat itu untuk meneruskan petualangannya yang sempat tertunda akibat kelalaiannya.
Kera Sakti pun meninggalkan Goa Setan, selang beberapa saat setelah kepergian Sena (Mengenai Kera Sakti, silakan baca serial Pendekar Gila dalam episode "Duel di Puncak Lawu").
***
ENAM
Lembah Lamur pagi itu masih diselimuti kabut tebal.
Dari arah utara, nampak tiga lelaki berambut merah melangkah menuju lembah itu.
Dilihat dari warna rambut dan jubahnya, jelas ketiga lelaki itu adalah Tiga Setan Rambut Api.
Seperti tujuan orang-orang persilatan lainnya, Tiga Setan Rambut Api juga bermaksud mencari Titisan Dewi Kwan Im, yang menurut kabar berada di Lembah Lamur.
Ketika Tiga Setan Rambut Api melangkah menuju ke arah Lembah Lamur, tiba-tiba berkelebat dua bayangan.
Seorang berjubah putih dan berwajah persis dengan Singo Edan.
Sedangkan satu lagi seorang gadis cantik berkulit kuning langsat seperti orang Cina.
Di pundak gadis itu tersandang sebilah pedang yang gagangnya terbuat dari emas.
Melihat kehadiran gadis cantik berbaju putih tersebut, seketika Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata.
"Dewi Kwan Im."
"Hua ha ha. Rupanya mata kalian masih belum buta, Tiga Setan Rambut Api," kata lelaki berwajah Singo Edan.
Nada suaranya menunjukkan kesombongan.
"Apa yang kalian lihat memang benar. Dialah Titisan Dewi Kwan Im. Dan akulah yang memilikinya."
Tiga Setan Rambut Api membelalakkan mata, mendengar ucapan lelaki tua yang berdiri sekitar sepuluh tombak di depan mereka. Kemudian ketiganya saling pandang dengan kening berkerut "Bukankah dia Singo Edan?" tanya Untara.
"Ya" sahut kedua adiknya.
"Hm, bagaimana mungkin Singo Edan punya niat untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im?" tanya Untara bergumam.
Matanya masih memandang lekat pada lelaki tua yang persis dengan Singo Edan, kemudian beralih pada gadis cantik di sampingnya.
"Hua ha ha.
Apa yang kalian bingungkan?" tanya lelaki tua yang wajahnya persis Singo Edan.
"Kusarankan pada kalian, lebih baik kalian bergabung denganku"
"Hm.," Untara bergumam.
Matanya mengerling pada kedua adiknya yang menganggukkan kepala.
"Aha, sungguh tidak kuduga kalau Singo Edan rupanya masih saja tergiur oleh hal duniawi.
Ternyata sumpahmu untuk tidak menikah hanya omong kosong"
"Hua ha ha. Kau salah, Untara. Bagaimanapun juga, aku lelaki normal. Lagi pula, aku pun ingin menjadi orang yang tak tertandingi.
Bukankah dengan memiliki Titisan Dewi Kwan Im, keberuntungan ada padaku?" Tiga Setan Rambut Api kembali saling pandang mendengar penuturan Singo Edan.
Kening mereka semakin berkerut. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana mungkin Singo Edan bisa berubah? Yang mereka ketahui, Singo Edan adalah tokoh aliran lurus yang gigih menumpas kejahatan.
Mana mungkin secepat itu berubah? Mungkinkah selama menghilang Singo Edan telah mengubah pikirannya? Tiga Setan Rambut Api benar-benar tak habis pikir.
Bagaimanapun juga, mereka telah mendengar nama besar Singo Edan.
Begitu juga dengan sepak terjangnya puluhan tahun yang silam.
Kalau kini tibatiba berubah, rasanya sangat aneh sekali.
"Hm.
Kau benar, Singo Edan.
Memang setiap manusia memiliki ambisi.
Kami tahu siapa kau.
Namun begitu, kami pun tak mau kehilangan Titisan Dewi Kwan Im," kata Untara setelah lama merenung, mencoba menyibak keanehan Singo Edan.
"Jadi kalian ingin mengambilnya dariku?"
"Ya" sahut Untara.
"Hua ha ha. Kuakui nama besar kalian memang menakutkan.
Tapi Singo Edan bukan anak kecil yang bisa digertak" dengus Singo Edan.
"Kusarankan, agar kalian cepat bersujud meminta ampun atas tindakan kalian yang berani datang ke Lembah Lamur ini, sebelum aku berubah pikiran. "
"Kurang ajar Jangan kira kami takut menghadapimu, Singo Edan Untuk mendapatkan Titisan Dewi Kwan Im, kami siap bersabung nyawa denganmu" dengus Undani.
"Ya Lagi pula, kami memang ingin sekali-sekali mencoba ilmumu" timpal Umbakara.
Singo Edan tertawa tergelak-gelak mendengar tantangan yang diucapkan Tiga Setan Rambut Api.
Sepertinya tantangan mereka bagai tiada arti sama sekali baginya.
"Percuma kalian menantangku. Guru kalian sekalipun tak akan mampu menandingi ku" kata Singo Edan, pongah.
"Tutup mulutmu, Singo Edan Kuharap kau mau memberikan gadis itu pada kami Atau kami terpaksa menghajarmu" bentak Untara marah.
"Hua ha ha. Kalian lucu sekali. Bagaimana mungkin kalian yang tolol memiliki Titisan Dewi Kwan Im? Hua ha ha. "
Singo Edan kembali tertawa terbahak-bahak. Kemudian senyumnya mengembang dengan sinis. Membuat Tiga Setan Rambut Api semakin dibakar oleh amarah mendengar ucapan itu.
"Hhh.
Sombong" rutuk Undani.
"Rupanya mulutmu memang harus disobek"
"Lebih baik kita hajar saja, Kakang," tukas Umbakara.
Singo Edan kembali tertawa. Amarah Tiga Setan Rambut Api kian membara, mendengar ucapan Singo Edan serta tawanya yang penuh ejekan.
Ketiganya segera meloloskan cambuk. Kemudian dengan mendengus, mereka maju serentak.
Ctar "Yiaaat."
"Mei Lie, bunuh mereka" perintah lelaki yang berwajah mirip Singo Edan.
Seketika Mei Lie atau Titisan Dewi Kwan Im mencabut pedangnya.
Pada saat itu pula, sinar merah kekuning-kuningan memancar dari mata pedang, membuat Tiga Setan Rambut Api tersentak.
"Pedang Bidadari." seru ketiganya sambil melompat mundur.
"Hua ha ha. Kalian seperti tikus ketakutan. Nah, aku kembali menyarankan pada kalian. Lebih baik kalian ikut denganku, daripada kalian harus mampus oleh Pedang Bidadari" seru lelaki berwajah seperti Singo Edan.
Tiga Setan Rambut Api saling pandang. Kemudian mereka memasukkan cambuk ke ikat pinggang masing-masing.
"Baiklah, kami menyerah. "
"Bagus Percuma kalian melawanku," ucap Singo Edan masih dengan suara penuh kesombongan.
"Ikut aku" Tubuh kelima orang itu pun berkelebat pergi, masuk ke dalam kabut tebal yang bergulung-gulung.
Dalam sekejap mereka telah menghilang.
***
Selang beberapa saat kemudian, ketika kabut yang menyelimuti Lembah Lamur telah hilang. Nampak dua lelaki melangkah ke tempat itu. Keduanya berwajah kembar dan tampan. Pakaian yang dikenakan kuning mengkilat bergaya pakaian Bali. Golok panjang ber-tengger di punggung mereka.
Dilihat dari pakaian keduanya, nampaknya mereka dari golongan atas. Dua lelaki kembar berkumis tipis itu datang dari wilayah timur tanah Jawa Dwipa. Mereka pun tentunya telah mendengar berita tentang Titisan Dewi Kwan Im. Di rimba persilatan, mereka mendapat gelar Manyar Kembar dari Bali. Yang tertua bernama Manyar Ngesti dan yang muda bernama Manyar Asti.
"Kau yakin di sini tempatnya, Asti?" tanya Manyar Ngesti.
"Entahlah," sahut Manyar Asti dengan mata menyapu ke sekelilingnya yang sepi.
Tak ada tanda-tanda kehidupan di lembah itu.
Satu pohon pun tidak ada.
Yang ada hanya bukit kecil dan debu-debu yang beterbangan manakala angin bertiup.
"Hm.
Bagaimana mungkin tempat seperti ini dikatakan ada orangnya? Tidak masuk akal," gumam Manyar Ngesti.
Matanya masih menyapu ke sekeliling tempat itu.
Namun masih saja tidak ada tanda-tanda kehidupan.
"Bagaimana mungkin Titisan Dewi Kwan Im ada di sini?"
"Hhh. Kurasa ada misteri di tempat ini, Kakang," desah Manyar Asti.
"Mungkin. "
"Lihat, ada kabut" seru Manyar Asti sambil menunjuk ke arah kabut tebal yang bam saja datang dari bukit-bukit kecil di sebelah selatan.
"Ya Hei, kabut itu bergerak kemari" pekik Manyar Ngesti.
"Sepertinya ada yang menggerakkan, Kakang. "
"Benar Cepat kita hadang dengan pukulan 'Sari Rogo'"
"Siap, Kakang Hiaaa."
Mereka segera menyatukan satu telapak tangan. Sedangkan tangan yang lain, kini digerakkan mengarah ke gulungan kabut yang merayap menuju mereka. Dari tangan mereka terbersit sinar bergulunggulung bagai gelang-gelang terbang berwarna biru. Lingkaran-lingkaran itu semakin bertambah besar. Sampai akhirnya bertemu dengan kabut untuk menghadangnya.
"Yeaaat."
"Waaat. " Kedua lelaki kembar itu semakin mengerahkan tenaga dalamnya, menjadikan lingkaran sinar biru kian banyak dan kuat.
Namun kabut yang datang ternyata lebih kuat "Celaka Angin membadai datang" seru Manyar Ngesti kaget "Benar, kakang Apa yang harus kita lakukan?" tanya Manyar Asti.
"Cepat kita ganti dengan 'Perangkap Buana'."
"Mari, Kakang Yiaaat. "
"Heaaat. "
Tangan mereka kini terlepas satu sama lain. Disilangkan ke depan, kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, keduanya menghentakkan telapak tangan ke arah kabut Srrrt Larikan-larikan sinar kuning bagai bambu, keluar dari telapak tangan mereka.
Larikan-larikan lurus itu lalu memagari kabut tebal itu.
Seperti perangkap raksasa dari bambu.
"Kita berhasil, Kakang" seru Manyar Asti, menyaksikan pukulan sakti mereka dapat menghadang kabut.
Namun tiba-tiba angin kencang menyapu ke arah mereka dengan keras.
"Celaka.
" pekik Manyar Ngesti.
Mata lelaki berwajah tampan itu membelalak tegang, merasakan sesuatu yang tidak pernah diduganya.
Selama ini, keduanya belum pernah mengalami kegagalan seperti itu.
Ajian-ajian yang mereka kerahkan, senantiasa mendapatkan hasil.
Tapi kini malah berantakan.
Tak satu pun bisa menghadang kabut tebal itu.
"Ini bukan kabut sembarangan, Asti," desis Manyar Ngesti.
"Sepertinya benar, Kakang" sahut Manyar Asti.
"Ya Entah siapa yang memiliki Kabut Gaib itu," gumam Manyar Ngesti.
"Rupanya benar kalau Titisan Dewi Kwan Im ada di tempat ini.
Ini sebuah halangan yang dibuat oleh para dewata.
" Wusss Angin kencang menderu ke arah mereka, membuat pakaian yang mereka kenakan tersibak.
Bahkan kain pengikat kepala mereka terbang tertiup angin.
Tubuh mereka gontai, berusaha menahan hembusan angin yang menderu keras.
Pada saat itu, tiba-tiba dari kepungan kabut berkelebat sebuah bayangan putih.
Tangan bayangan itu menggenggam sebilah pedang bersinar merah kekuning-kuningan.
"Heaaat. "
"Dewi Kwan Im." pekik keduanya kaget setelah melihat siapa yang keluar dari dalam kabut tebal itu.
Seorang gadis cantik dengan kulit kuning langsat "Awas, Asti." seru Manyar Ngesti mengingatkan adiknya, ketika sosok wanita cantik berkulit kuning langsat itu membabatkan pedang ke arah mereka.
Tangan kirinya dengan cepat mendorong tubuh Manyar Asti.
Sedangkan tangan kanannya segera mencabut golok panjang di punggungnya.
Srrrt Trang "Hiaaat.
" Manyar Ngesti berusaha membalas serangan lawan seraya memiringkan tubuh.
Golok panjangnya dibabatkan dengan cepat.
Menyaksikan kakaknya menyerang, segera Manyar Asti ikut mencabut goloknya.
Didahului pekikan menggelegar, Manyar Asti menyerbu ke arah gadis cantik dari Cina yang dianggap oleh mereka sebagai Titisan Dewi Kwan Im.
"Aha, rupanya Titisan Dewi Kwan Im sendiri yang menemui kami Kakang, beruntung sekali kita rupanya.
Jangan sampai dia celaka.
Kita harus menangkapnya hidup-hidup," ujar Manyar Asti sambil bergerak melakukan serangan.
Tangannya berusaha menotok tubuh gadis cantik dari Cina itu.
Namun gadis yang diserang dengan cepat memutar pedangnya ke tangan lawan.
"Heaaat" Wut "Uts.
" Manyar Asti cepat menarik tangannya.
Kurang cepat sedikit saja, tentu tangan Manyar Asti akan terbabat oleh pedang lawan.
"Celaka Dia dalam keadaan tak sadar, Kakang Rupanya ada seseorang yang mempengaruhinya" "Benar Rupanya kita telah tertipu oleh cerita mereka Dia bukan Titisan Dewi Kwan Im" "Ya Awas, Kakang" Wut Hampir saja pedang di tangan gadis cantik dari Cina itu membabat tubuh Manyar Ngesti.
Untunglah Manyar Ngesti segera mengelakkannya.
"Gadis ini tak mungkin kita tundukkan, Kakang.
Yang bekerja pada otaknya, bukan kehendaknya.
Tapi kehendak orang yang mempengaruhinya" "Benar" Keduanya kini tidak mau main-main lagi, setelah tahu kalau gadis Cina itu dalam keadaan terpengaruh.
Manyar Ngesti dan Manyar Asti dengan cepat membabatkan golok ke arah lawan.
"Yiaaat.
" Trang Prak Manyar Ngesti tersentak kaget, ketika goloknya terbabat pedang di tangan gadis Cina itu.
Goloknya seketika patah menjadi dua, tak mampu menahan babatan pedang di tangan lawan.
"Celaka.
" pekik Manyar Ngesti kaget, ketika pedang lawan kini bergerak cepat ke arahnya.
Tentu pedang lawan akan membabat wajahnya, kalau saja tubuhnya tidak segera berkelit ke samping.
Gadis Cina itu terus melabrak.
Gerakannya mungkin tidak sehebat para pendekar pedang.
Namun pedang di tangannya bagai menambah kehebatan bagi siapa saja yang memegangnya.
Dan itu yang membuat gadis Cina yang tak lain Mei Lie, bergerak begitu lincah, cepat dan mematikan.
Sangat bertentangan sekali dengan jurus 'Pedang Bidadari' yang dipelajarinya.
"Hiaaa.
" Wut, wut, wut.
Pedang bidadari bergerak cepat laksana angin, membabat dan menusuk ke arah dua orang lawan yang kini dalam keadaan terdesak.
"Celaka, Kakang Dia benar-benar kerasukan" keluh Manyar Asti.
"Ya Kita harus bisa mematahkan serangannya Kita gunakan saja aji 'Sari Rogo'.
" Setelah mengelak beberapa tombak ke belakang, keduanya segera membuka ajian 'Sari Rogo' yang mereka kuasai.
Setelah melihat lawan hendak kembali menyerang, mereka segera melontarkan ajian tersebut "Yiaaa.
" "Heaaat.
" Larikan sinar biru bergulung-gulung keluar dari tangan mereka.
Sinar biru itu kembali membelit tubuh Mei Lie.
Seketika tubuh gadis itu bagai dibelenggu oleh sinar biru.
"Ha ha ha.
Kita berhasil,
Kakang" seru Manyar Asti senang, menyaksikan ajian mereka dapat membe-lenggu tubuh Mei Lie, sehingga gadis Cina itu tak mampu lagi bergerak.
"Kita bawa saja dia pergi dari sini," usul Manyar Ngesti.
'Ya Kurasa dia tidak bersalah.
Kita harus menolongnya," sambut Manyar Asti.
Keduanya hendak membawa pergi tubuh Mei Lie dengan mengerahkan tenaga dalam mereka agar belenggu yang membelit tubuh Mei Lie tak lepas.
Tapi belum juga mereka beranjak pergi, tiba-tiba.
"Lepaskan dia" Kepala lelaki kembar itu langsung menengok ke belakang.
Kini nampak tiga lelaki berjubah merah.
Rambut mereka pun berwarna merah bagai api.
Tentunya ketiga lelaki ini tiada lain dari Tiga Setan Rambut Api.
"Tiga Setan Rambut Api.
Hm.
Apa urusan kalian dengan gadis ini, sehingga kalian mencampuri urusan kami?" tanya Manyar Ngesti tak senang.
Terlebih setelah tahu siapa mereka.
Tiga lelaki dari aliran sesat tersebut merupakan musuh masyarakat.
Kejahatan mereka telah menjadi momok yang menakutkan.
"Aha, beruntung sekali kami menemukan kalian di sini" dengus Manyar Asti.
"Kebetulan sekali.
Dari jauh kami datang mencari kalian.
Tidak disangka, akhirnya kami bisa menemukan kalian di sini" Tiga Setan Rambut Api tersenyum sinis, menyaksikan kedua lawannya.
Seakan ketiganya menganggap kedua lawan bukan orang-orang yang harus ditakuti.
Terlebih karena Singo Edan bersama mereka.
Siapa pun tokoh rimba persilatan, akan berpikir seratus kali untuk menghadapi Singo Edan.
"Manyar Kembar Kuperingatkan pada kalian agar melepaskan gadis itu.
Kemudian segeralah menyembah" bentak Untara dengan mata melotot marah, pertanda marah.
Manyar Kembar dari Bali tertawa terbahak-bahak mendengar perintah Untara yang dianggapnya sombong.
"Setan laknat Berani sekali kalian mengancam kami Kalianlah yang harus menyerah untuk kami hukum" balas Manyar Asti tak mau kalah.
Meski mereka belum pernah bertarung, namun Manyar Asti merasa yakin dapat menunaikan tugas para pendekar aliran putih untuk menangkap Tiga Setan Rambut Api.
"Kurang ajar Rupanya kalian berdua mencari mampus" maki Undani.
"Jangan salahkan kalau tangan kami akan memecahkan batok kepala kalian" "Hm.
Apa tidak sebaliknya?" ujar Manyar Ngesti sinis.
"Mungkin kepala kalianlah yang akan kami pe-cahkan" "Bedebah Ku rencah kepala kalian Hiaaat.
"Yeaaah.
" Srrrt, srrrt, srrrt Tiga Setan Rambut Api menarik cambuknya.
Kemudian dilecutkan ke udara.
Ctarrr
***
TUJUH
Cambuk di tangan Tiga Setan Rambut Api melecut ke arah Manyar Kembar dari Bali.
Menimbulkan percikan-percikan api dengan suara yang menggelegar melebihi halilintar.
Itulah jurus 'Lecutan Ekor Naga Api Menghantam Bukit'.
Melihat Tiga Setan Rambut Api telah menyerang, dengan cepat Manyar Kembar dari Bali berkelit Kemudian disusul oleh serangan pukulan dan babatan golok mereka.
Dengan menggunakan jurus 'Sepasang Manyar Menyambar Walang', Manyar Kembar dari Bali balas menyerang.
Golok di tangan mereka menukik laksana paruh dan membabat laksana sayap burung manyar.
"Hiaaat.
" Pertarungan dua melawan tiga dalam sekejap berjalan dengan cepat.
Masing-masing berusaha mengalahkan lawan.
Namun begitu, Manyar Kembar dari Bali bukanlah tokoh aliran putih sembarangan.
Ilmu mereka bukan ilmu pasaran.
Meski satu orang tidak lagi memakai golok, namun kekompakan mereka dalam menyerang masih cukup tangguh.
"Hiaaat.
" Ctar Tiga Setan Rambut Api terns mengumbar serangan dengan lecutan-lecutan cambuknya yang menggelegar laksana halilintar.
Di lain pihak, ternyata Manyar Kembar dari Bali memang sepasang pendekar yang cukup tangguh.
Keduanya dengan mudah mengelakkan serangan cambuk lawan.
Bahkan dengan cepat balas menyerang dengan babatan golok dan hantaman tangan.
"Kita harus cepat membereskan mereka, Kakang," kata Umbakara.
"Benar Kalau tidak, tentunya Singo Edan akan marah pada kita," sambung Undani.
Manyar Kembar dari Bali langsung tersentak mendengar nama Singo Edan disebut oleh Tiga Setan Rambut Api.
Keduanya sesaat menghentikan serangan dan saling pandang dengan heran.
"Apakah omongan mereka benar, Kakang?" tanya Manyar Asti.
"Entahlah.
Rasanya mustahil kalau Singo Edan menjadi dalang semuanya.
" "Tapi, mereka kelihatannya sungguh-sungguh.
Mereka tampak takut," ungkap Manyar Asti masih bimbang.
"Kalau benar Singo Edan yang mendalangi semua ini.
Jelas dunia bisa hancur.
Siapa orang yang mampu mengalahkannya?" Kecut juga nyali Manyar Kembar dari Bali setelah mendengar nama Singo Edan disebut.
Bagaimanapun juga, nama besar Singo Edan pernah mereka dengar.
Jangankan dia, muridnya saja sulit dicari tandingannya.
Tapi Pendekar Gila adalah penegak kebenaran dan keadilan.
Bagaimana mungkin Singo Edan justru memihak kejahatan Bahkan kini mendalangi kejadian yang telah banyak makan korban? Itu yang tidak dapat diterima oleh pikiran kedua tokoh dari Bali ini.
"Bisa saja mereka hanya menggertak kita, Asti.
Bagaimanapun juga, rasanya tidak masuk akal kalau Singo Edan membela mereka dan mendalangi semua ini," tukas Manyar Ngesti, meyakinkan diri mereka.
"Hm, mungkin juga.
" "Sudahlah, jangan dipikirkan.
Yang pasti, kita harus segera menangkap mereka.
" "Mari, Kakang.
Heaaat.
" "Yiaaat.
" Manyar Kembar dari Bali kembali menggebrak.
Manyar Asti membabatkan golok panjangnya ke arah lawan.
Sedangkan Manyar Ngesti memukul dengan tangan kosong, menendang dan mencengkeram lawan.
Tiga Setan Rambut Api yang mendapat serangan cepat, tak mau diam.
Ketiganya segera memutar cambuk di atas kepala, kemudian dilecutkan ke arah dua lawannya.
Jurus yang digunakan oleh Tiga Setan Rambut Api ini bernama 'Pecut Buana Api'.
Gerakan melingkar di atas kepala bernama 'Gelang Geni' sedangkan lecu-tannya bernama 'Ekor Naga Melebur Gunung'.
Sebuah gabungan jurus yang nampaknya sangat dahsyat Ctarrr "Yeaaat.
" Pertarungan kembali berjalan seru.
Masingmasing mengerahkan kemampuannya untuk dapat menandingi ilmu lawan.
Gerakan mereka nampak lincah dalam berkelit dan menyerang.
Meski begitu, nampaknya ilmu Manyar Kembar dari Bali masih berada satu tingkat di atas Tiga Setan Rambut Api.
Terbukti setelah tiga tokoh sesat itu menyerang gencar dengan sabetan-sabetan goloknya, mereka tidak mengalami kesulitan sedikit pun.
"Uts Heaaa.
" "Lepas kepalamu, Setan Jelek" Manyar Kembar dari Bali balas menyerang dengan jurus gabungan.
Manyar Asti dengan jurus 'Belah Buana Yudha'.
Sedangkan Manyar Ngesti dengan jurus andalannya, 'Manyar Menukik Mematuk Mangsa' disambung dengan jurus mengelak dan yang dinamakan 'Manyar Merunduk Menjejak Bumi'.
Setelah mampu mengelak, kini keduanya menambah daya serang.
Golok di tangan Manyar Asti bagai menghilang dalam melakukan serangan.
Sedangkan tangan dan kaki Manyar Ngesti seperti berjumlah banyak.
Seperti nama mereka, gerakan-gerakan mereka sangat lincah dan cepat bagai sepasang burung manyar yang tengah membuat sarang, mematuk ke sana kemari.
Mencakar ke sana kemari, serta menghantam dengan kepakan-kepakan sayap yang cepat dan keras.
"Hiaaat.
" Ctarrr Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung serangan keduanya dengan cambuk.
Namun kedua lawan ternyata cukup lincah.
Manyar Kembar dari Bali melesat ke samping untuk mengelak, kemudian memburu ke arah lawan dengan pukulan dan tusukan golok.
Tiga Setan Rambut Api tersentak kaget.
Ketiganya tidak menyangka kalau kedua lawan rupanya berilmu tinggi.
Namun begitu, mereka tidak mau mengalah begitu saja.
Terlebih jika ingat akan Singo Edan.
Jelas mereka akan mendapat hukuman jika Singo Edan tahu mereka dapat dikalahkan oleh Manyar Kembar dari Bali.
"Uts Hiaaat.
" Ctar Tiga Setan Rambut Api berusaha membendung serangan kedua lawannya yang dahsyat dengan lecutan cambuknya.
Lagi-lagi lecutan cambuk mereka bagai tiada arti.
Karena dengan mudah Manyar Kembar dari Balik berkelit.
Bahkan serangan kedua tokoh dari Bali itu semakin cepat membuat Tiga Setan Rambut Api kewalahan.
"Akhirnya kalian akan kami tangkap, Setan" dengus Manyar Ngesti sambil bergerak cepat, berusaha menotok dua lelaki dari Tiga Setan Rambut Api.
Begitu pula dengan Manyar Asti.
Dia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Namun belum juga mereka dapat melakukan totokan, tiba-tiba.
"Hua ha ha.
" Manyar Kembar dari Bali menarik tangannya, kemudian tubuh mereka melompat ke belakang.
Mata mereka membelalak tatkala mendengar tawa yang membahana.
Jelas tawa itu milik Singo Edan.
Meski mereka belum pernah bertemu dengan Singo Edan, tapi gum mereka telah memberi gambaran bagaimana rupa dan tawa khas tokoh sakti itu.
"Singo Edan.
" "Dia benar-benar datang, Kakang" Mata Manyar Kembar dari Bali kini mencari asal suara itu.
Seketika keduanya memandang ke arah kabut tebal yang berarak menuju mereka.
Dari dalam kabut melesat dua sosok tubuh berpakaian putih.
Seorang lelaki tua yang dikenal oleh mereka sebagai Singo Edan.
Dan seorang lagi gadis cantik dari Cina.
"Kakang, bukankah gadis itu telah kita belenggu tadi?" "Ya Kapan dia bebas?" Manyar kembar dari Bali masih terlongong bengong menyaksikan gadis cantik dari Cina itu telah ter-bebas dari belenggu ajian 'Sari Rogo' mereka.
Tangannya memegang pedang sakti yang bersinar merah kekuning-kuningan.
Seperti siap untuk membunuh dua tokoh dari Bali itu.
"Hua ha ha.
Rupanya masih ada juga orang yang berani menantang Singo Edan" kata Singo Edan dengan sinis.
'Persetan Kau bukan Singo Edan Kau iblis yang telah berusaha mengelabui orang-orang persilatan" se-ru Manyar Ngesti, merasa yakin kalau lelaki berjubah putih yang perawakan dan wajahnya sama dengan Singo Edan itu sebenarnya bukan Singo Edan.
"Kurang ajar Kalian tentunya buta" maki Singo Edan.
"Aku Singo Edan.
Akulah orang yang paling sakti di jagat ini Tak akan ada yang menandingi ku.
Hua ha ha.
" "Iblis Jangan kira kami dapat kau kibuli" lantang suara Manyar Asti.
"Meski ilmumu setinggi langit, Manyar Kembar dari Bali tak sudi menyerah" Singo Edan mendengus.
Matanya melotot tajam pada kedua tokoh dari Bali itu.
"Mei Lie, bunuh mereka" perintahnya.
Mei Lie menurut bagai budak.
Tubuhnya melesat turun.
Dengan Pedang Bidadari di tangan, gadis dari Cina itu meluruk ke arah Manyar Kembar dari Bali.
"Hiaaa.
" "Celaka, Kakang Apa kita harus menurunkan tangan kejam?" 'Terpaksa, Asti Heaaat.
" Dengan pukulan-pukulan sakti milik keduanya, Manyar Kembar dari Bali menghadapi serangan Mei Lie.
Tubuh mereka melesat ke angkasa dengan cepat, berusaha memapaki babatan pedang Mei Lie.
Menyaksikan Manyar Kembar dari Bali hendak memburu ke arah Mei Lie, Tiga Setan Rambut Api tak mau diam.
Mereka serentak mengambil sesuatu dari balik jubah masing-masing.
Lalu ketiganya melontarkan benda-benda kecil berwarna putih ke arah Manyar Kembar dari Bali.
Zing, Zing.
"Kakang, awas" seru Manyar Asti.
"Keparat Licik.
" maki Manyar Ngesti.
Kemudian kedua tokoh dari Bali itu bergerak untuk mengelakkan jarum-jarum beracun yang dilemparkan Tiga Setan Rambut Api.
Perhatian mereka kini tertuju ke arah jarum-jarum beracun.
Hal itu menjadikan Mei Lie yang sudah tidak lagi diperhatikan, dengan leluasa menyerang dari belakang.
"Hiaaa.
" Wut Cras "Aaakh.
" Manyar Asti memekik.
Kepalanya terbabat oleh pedang di tangan Mei Lie.
Tubuhnya yang masih melesat di atas, seketika menukik ke bawah.
La-lu jatuh membentur tanah dengan kepala hancur.
"Asti.
" pekik Manyar Ngesti.
Manyar Ngesti yang diliputi oleh amarah, dengan kalap melancarkan pukulan-pukulan saktinya.
Sinar biru bergulung-gulung ke arah Mei Lie.
Namun dia melupakan jarum-jarum beracun yang semakin dekat ke arahnya.
Tanpa ampun lagi, senjata rahasia beracun itu menembus tubuhnya.
Cleb, cleb.
"Aaa.
" Lengkingan kematian seketika terdengar dari mulut Manyar Ngesti.
Tubuhnya menukik ke bawah, lalu jatuh dengan nyawa lepas.
Tubuhnya beku membiru dengan puluhan jarum menancap di punggung serta pahanya.
"Hua ha ha.
" Lelaki tua yang mengaku-aku sebagai Singo Edan tertawa senang bukan main.
Setelah puas mengumbar rasa senangnya, tangannya melambai.
Saat itu juga, tubuh Mei Lie dan Tiga Setan Rambut Api melesat ke kabut di mana Singo Edan berada.
Tubuh mereka hilang, bersamaan dengan lenyapnya kabut.
***
Sena Manggala menyeka keringatnya yang bercucuran.
Terik matahari terasa memanggang tubuhnya.
Sesekali terdengar keluhan dari mulutnya.
Tangannya mengambil sesuatu dari pinggang, sebuah bulu burung yang dilepas bulu-bulunya hingga tersisa pada ujungnya saja.
Kemudian bulu itu digunakan untuk mengorek telinganya.
"Hi hi hi.
" Sena meringis-ringis merasakan nikmat Lalu ditariknya kembali bulu burung itu.
Hidungnya mengendus.
Setelah menyeka kotoran di bulu burung itu, dimasukkan kembali bulu burung ke ikat pinggangnya.
Sena menarik napas panjang-panjang.
Tubuhnya masih berdiri mematung.
Matanya menyapu ke sekeliling tempat itu.
Tempat yang sepi dan senyap di tengah perjalanan ke Lembah Lamur.
Sejak hilangnya Mei Lie, entah mengapa dunia dirasakan sepi sekali.
Padahal telah lama dia dan Mei Lie berpisah.
Tapi pertemuan sesaat itu, memberikan arti bagi dirinya.
Arti yang sangat sulit dilukiskan "Huh, ke mana aku harus mencarinya?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya masih nyengir saat matanya menyapu ke sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba matanya tertuju ke arah enam orang lelaki berpakaian pengemis.
Keenam lelaki itu juga tengah menuju arah yang menjadi tujuannya, Lembah Lamur yang gersang dan tandus.
"Hei, ada apa para pengemis itu ke Lembah Lamur?" tanya Sena dengan kening berkerut.
"Ah, mengapa pengemis-pengemis itu tidak di kota saja? Bukankah di kota mereka bisa mendapat banyak makanan? Mengapa harus ke lembah yang gersang dan sepi?" Sena merasa tertarik juga menyaksikan kedatangan para pengemis itu.
Tentunya ada sesuatu di Lembah Lamur, yang membuat para pengemis.
berdatangan ke lembah itu.
Belum juga Sena memahami apa yang terjadi, dari arah lain muncul dua orang wanita cantik.
Satu di antaranya adalah seorang wanita cantik yang cukup terkenal sejak lama, Nyi Bangil.
Sedangkan gadis cantik yang berjalan seiring bersamanya, tentunya adik seperguruan Nyi Bangil yang bernama Lira Kanti.
"Nyi Bangil Ah, ada apa pula dia datang ke Lembah Lamur?" Kini bukan hanya para pengemis, Nyi Bangil dan adik seperguruannya yang datang.
Tapi hampir seluruh pendekar rimba persilatan baik dari aliran lurus maupun sesat datang.
Sepertinya akan terjadi sesuatu di Lembah Lamur.
Di antara para tokoh persilatan itu, hadir beberapa pendekar aliran sesat seperti Lima Pengemis Tongkat Hitam dan ketuanya, Pengemis Tempurung Sakti.
Datuk Karang Geni, dan Gonggo Asopari.
Sedangkan dari aliran putih seperti, Ki Ageng Sampar Bayu, Nyi Bangil dan adik seperguruannya Lira Kanti, Bidadari Cadar Merah dan gurunya Nyi Kendil, serta suaminya Prabasangka yang telah sadar dari pengaruh ayahnya yang berpihak ke aliran putih.
Di sana juga hadir Ratih Puri serta suaminya Kerto Mandra.
Dua golongan itu menempati tempat masingmasing.
Aliran sesat menempatkan diri di sebelah barat.
Sedangkan aliran lurus menempatkan diri di bagian timur.
Sena mencabut bulu burung dari pinggangnya.
Kemudian dimasukkan ke telinga sebelah kiri.
Dengan mulut nyengir, matanya terus memperhatikan gerakgerik orang-orang persilatan.
"Kami tak percaya kalau semua ini Singo Edan yang melakukannya Juga mengenai Titisan Dewi Kwan Im, itu tidak benar" ujar Ki Ageng Sampar Bayu.
Sena mengerutkan kening mendengar nama gurunya disebut-sebut oleh Ki Ageng Sampar Bayu.
Tangannya masih mengorek telinganya dengan bulu burung.
Matanya terpejam-pejam, merasakan nikmat kilikan itu.
"Mungkin saat ini kau tak percaya, Sampar Bayu Tapi nanti kau akan melihat sendiri bahwa Singo Edan pelaku semua ini" sahut lelaki berjubah hitam.
Lelaki ini bernama Datuk Karang Geni.
Dan merupakan ketua tokoh aliran hitam yang bengis dan kejam.
Rambutnya panjang terurai dengan ikat kepala warna hitam pula.
Wajahnya dihiasi oleh cambang bauk lebat.
Giginya ada yang ompong di sisi kanan dan kiri atas.
Matanya nakal jika memandang ke perempuan cantik.
"Hm, jangan menuduh tanpa bukti, Karang Geni" dengus Nyi Bangil.
"Aku tahu siapa Singo Edan, guru dari Pendekar Gila.
Dia tak mungkin berlaku keji" "He he he.
," Datuk Karang Geni tertawa terkekeh-kekeh.
Matanya memandang nakal ke arah Nyi Bangil yang cantik dan bertubuh sintal.
Kemudian matanya memandang Pengemis Tempurung Sakti yang juga tersenyum.
"Cah ayu, sebaiknya kau tidak usah ikut campur dengan semua ini.
Lebih baik kau mau menjadi istriku," kata Datuk Karang Geni masih dengan senyum dan pandangan nakal ke arah Nyi Bangil.
"Cuih Tak sudi aku denganmu, Datuk Sesat" dengus Nyi Bangil.
"He he he.
Semakin kau marah, semakin cantik saja.
Bukan begitu Pengemis Tempurung Sakti?" kata Datuk Karang Geni dengan mata mengerling pada Pengemis Tempurung Sakti.
"Tutup mulutmu, Iblis Kurasa, kaulah yang telah menyebarkan desas-desus ini.
Padahal kau sendiri bi-ang dari semua kejadian di Lembah Lamur Ini" bentak Nyi Bangil dengan berani.
"Wuah Lancang sekali mulutmu, Nyi Berani benar kau berlaku kurang ajar pada ketua kami" maki Jalantra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Selatan.
"Kalau saja kami diperkenankan, sudah kurobek mulutmu" sambut Gandrana, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Timur.
"Huh, apakah kalian kira kami takut" ujar Lira Kanti kesal, melihat kakak seperguruannya diremehkan.
"Menghadapi pengemis busuk macam kalian, pantang bagi kami sebagai pewaris Pedang Bidadari untuk mengalah" Suasana di Lembah Lamur semakin terasa panas.
Masing-masing aliran saling menyalahkan.
Aliran sesat menuduh bahwa tindakan Titisan Dewi Kwan Im alias Mei Lie yang membunuh semua orang-orang persilatan.
Dan Singo Edan adalah dalang dari semua kejadian itu.
Para pendekar aliran lurus tak mau menerima tuduhan itu.
Bahkan mereka balik menuduh kalau aliran sesatlah yang telah membuat rencana busuk itu.
Dengan kedok Singo Edan dan Mei Lie, mereka berusaha menjatuhkan aliran putih.
"Apakah kau mempunyai bukti kuat kalau Singo Edan dan Titisan Dewi Kwan Im pelaku semua ini?" tanya Ki Ageng Sampar Bayu.
"Memang tidak.
Namun dilihat dari kematian mereka, hanya Titisan Dewi Kwan Im yang memiliki Pedang Bidadari.
Bukankah salah seorang anggotamu mengatakan begitu?" kata Datuk Karang Geni balik bertanya, sekaligus menuduh Nyi Bangil.
Ki Sampar Bayu memandang Nyi Bangil.
"Benar begitu, Nyi?" "Benar, Ketua.
Tapi kurasa bukan dia pelakunya.
Tentunya ada orang yang memanfaatkan dia," jawab Nyi Bangil.
"Kalau begitu, sudah pasti gadis Cina itu yang melakukannya" seru Jantruk, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat "Kita serang saja" seru Jantrik, kembaran dari Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Barat Pertarungan antara dua golongan itu nampaknya tidak akan dapat dicegah lagi.
Anggota aliran hitam telah siap melakukan serangan.
Sedangkan anggota aliran putih juga telah siap menghadapinya.
"Serang saja" kembali tokoh-tokoh aliran hitam berseru, semakin menambah panas suasana di Lembah Lamur.
"Jelas dari aliran putih yang melakukan semua ini" ujar Sampra, Ketua Perkumpulan Pengemis Daerah Utara.
"Seraaang.
" Anggota aliran hitam kini menyerbu, berusaha menyerang anggota aliran putih yang juga telah berhamburan untuk bertarung.
"Yeaaat.
" "Hadang mereka.
" seru salah seorang dari aliran putih memerintahkan.
"Serbu.
" Perang benar-benar akan terjadi.
Dan tentunya pertumpahan darah di Lembah Lamur yang tandus dan gersang akan terjadi pula.
Warna merah akan memulas daratan itu dan anyir darah akan menyesaki udaranya.
Tapi ketika kedua kekuatan itu nyaris bertemu, tiba-tiba.
"Tunggu Hentikan semuanya.
Semua yang hendak menyerang, seketika menghentikan langkahnya.
Mata mereka kini memandang ke arah pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular yang berkelebat ke arah mereka.
Pemuda yang tak lain Pendekar Gila, menapakkan kakinya di tengah-tengah dua kekuatan yang siap bertarung.
"Pendekar Gila.
" "Hm.
Sampai kapan pun kalian tak akan pernah bisa tenang.
Kalian telah ditipu oleh seseorang" kata Sena.
"Kalian akan saling tuduh dan saling bantai, karena mengikuti hawa nafsu belaka Jika sudah saling bantai, apa yang akan kalian dapat?" Sena kali ini menunjukkan sikapnya yang tegas, tidak bertingkah laku aneh seperti orang gila.
Keduanya serentak menggempur Kauw Cien Lung, berusaha membalas kematian guru mereka.
"Heaaa" "Percuma kalian melawanku Yiaaa" "Kami akan mengadu nyawa denganmu, Iblis Yeaaa" Resi Bramaweda dan Resi Bragaskita terus melancarkan serangan dengan toyanya.
Keduanya sudah kalap dan menyerang dengan membabi buta.
Kauw Cien Lung memutar pedangnya.
Tubuhnya mencelat ke atas.
Sambil bersalto, pedang di tangannya membabat lawan.
Wut Cras "Akh" Resi Bramaweda menjerit tertahan.
Matanya melotot tegang.
Tubuhnya mengejang sesaat, kemudian tidak bergerak sama sekali dengan keadaan mengerikan.
Menyaksikan saudara seperguruannya tewas, Resi Bragaskita kian kalap.
Dengan mata gelap, toyanya kembali disodokkan ke dada lawan.
Lalu secepat mungkin toyanya berusaha memukul bergantian dengan kedua ujungnya.
"Pecah kepalamu, Iblis Heaaa" Wut "Uts.
Yiaaa" Singa Jantan dari Cina itu kembali mencelat ke udara, kemudian pedang di tangannya cepat digerakkan.
Ketika tubuhnya melayang ke bawah, Resi Bragaskita dengan cepat menyodokkan toya ke tubuhnya.
"Heaaa.
Tembus perutmu" Wut Dugaan Resi Bragaskita ternyata meleset.
Ternyata lelaki bercaping itu dengan cepat kembali melompat ke atas.
Sebelum Resi Bragaskita sempat melakukan serangan lagi, lawannya telah menyerang.
Pedang maut di tangan Kauw Cien Lung dengan cepat membabat wajah Resi Bragaskara.
Wut Cras "Ukh" Resi Bragaskita mengeluh pendek.
Tangannya memegangi luka tebasan di keningnya.
Beberapa saat matanya melotot.
Tubuhnya menegang, kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Kauw Cien Lung menyeka darah di ujung pedangnya.
Kemudian, pedang bersinar putih kebirubiruan itu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Setelah memandangi mayat ketiga resi itu, dengan tenang kakinya melangkah meninggalkan tempat itu.
***
DELAPAN
Pagi itu Pendekar Gila tengah melintasi hutan untuk mencari jejak Singa Jantan dari Cina.
Tidak diduganya kalau di hutan itu ditemuinya Nyi Bangil yang tengah melakukan latihan jurus 'Ilmu Pedang Bidadari' di dekat air terjun.
Kejadian tak terduga itu sangat menggembirakan keduanya.
Terlebih Nyi Bangil, yang merasa telah ditolong oleh Pendekar Gila.
"Sena" "Nyi Bangil" "Oh Tidak kusangka kalau kita akan bertemu kembali, Sena," kata Nyi Bangil.
Pendekar Gila tersenyum sambil menggarukgaruk kepala.
"Di mana Mei Lie, Nyi?" tanyanya langsung.
"Dia kini bukan Mei Lie yang dulu kau kenal, Sena," sahut Nyi Bangil setelah terdiam sesaat.
"Di mana dia?" tanya Sena seperti tak sabar.
"Sebentar, sabar dulu.
Bagaimana kalau kita ke gubukku?" ajak Nyi Bangil.
"Kita ngobrol-ngobrol di sana.
Ayo" Sambil menggaruk-garuk kepala, akhirnya Sena mengikuti ajakan Nyi Bangil.
Keduanya meninggalkan tempat itu.
Sesampainya di sebuah gubuk tempat tinggal Nyi Bangil dan Mei Lie serta Lira Kanti, Nyi Bangil mengajak Sena masuk.
Setelah keduanya duduk ber-hadapan, Nyi Bangil berkata.
"Ketahuilah olehmu, Sena.
Mei Lie sebenarnya ingin mencarimu.
Sejak pertama kalian bertemu, kura-sa gadis itu memendam perasaan yang lain terhadapmu" Sena tersenyum malu-malu.
Tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah, Nyi Bangil bisa saja.
Mana mungkin gadis secantik Mei Lie mencintaiku yang gila ini?" Nyi Bangil masih tersenyum.
Matanya menatap lekat wajah pemuda di hadapannya.
Sungguh tampan wajah itu.
Setiap wanita tentu akan tertarik dan jatuh cinta pada Sena.
Di samping itu, dia berilmu tinggi, ramah, dan tidak sombong.
Sosok lelaki gagah perkasa dan setia, terlukis pada wajah Sena.
"Mungkin kau tak percaya, Sena.
Namun aku yang sama-sama wanita, mengetahuinya.
Itu pula yang mungkin memacu semangatnya untuk mempelajari 'Ilmu Pedang Bidadari' warisan guruku" Nyi Bangil terdiam.
Matanya tak lepas memandang pemuda tampan di hadapannya.
Sedangkan Sena tak berkata apa-apa.
Kepalanya semakin menunduk dalam-dalam.
Hatinya membenarkan ucapan Nyi Bangil.
Dia juga merasakan getar perasaan itu pada diri Mei Lie.
Karena itulah kini dia mencarinya.
Dia ingin sekali bertemu, kemudian bisa berjalan bersama Mei Lie.
"Sena, kau tak mungkin membohongi dirimu sendiri.
Kau pun merasakan hal itu bukan?" duga Nyi Bangil, membuat Sena menundukkan kepala kian dalam.
Sena menghela napas dalam-dalam.
Kemudian kepalanya diangkat perlahan, lalu memandang Nyi Bangil yang masih tersenyum.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
"Kuakui, memang apa yang kau katakan benar, Nyi.
Itu sebabnya aku datang," ucap Sena akhirnya, mengakui kebenaran dugaan Nyi Bangil.
Nyi Bangil semakin melebarkan senyumnya.
"Di mana dia sekarang, Nyi?" desak Sena seperti tidak sabar untuk segera bertemu.
"Kau tak sabar, Sena," sindir Nyi Bangil.
Sena tersenyum.
Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Ditariknya napas panjang-panjang, kemudian dihembuskannya.
"Baiklah, aku akan menceritakan padamu.
Mei Lie sekarang telah pergi meninggalkan tempat ini untuk mencarimu.
Sekaligus mencari lelaki bercaping lebar, yang menurut Mei Lie bernama Kauw Cien Lung atau Houw San" "Mei Lie mengenalnya?" tanya Sena sambil mengerutkan kening.
"Ya Lelaki berilmu tinggi itu dari dulu memang mengejar-ngejar Mei Lie agar dapat memperistri nya" "Ah" Sena menghempas nafasnya saat mendengar penuturan Nyi Bangil yang kini tersenyum menyaksikan tingkahnya.
"Apa yang dikatakan orang-orang persilatan memang benar.
Mei Lie memang bukan gadis biasa.
Dia adalah titisan Dewi Kuan Im," lanjut Nyi Bangil.
"Kau yakin?" tanya Sena agak terkejut.
"Ya" sahut Nyi Bangil pasti.
"Dari mana kau yakin, Nyi?" tanya Sena ingin tahu.
Nyi Bangil tidak langsung menjawab.
Di bibirnya masih tersungging senyuman.
Dihelanya napas dalam-dalam.
Matanya masih lekat memandang wajah Sena.
"Mulanya aku pun tak percaya desas-desus itu.
Namun ketika Mei Lie membuka pakaiannya, kulihat di bawah pusarnya memang terdapat gambar bunga Wijaya Kesuma.
Bunga itu adalah perlambang Dewi Kuan Im" Mata Sena seketika membelalak, mendengar penuturan Nyi Bangil.
Tangannya kembali menggarukgaruk kepala.
"Lalu untuk apa dia mencari Houw San?" tanyanya, penasaran.
"Untuk menghentikan sepak terjang lelaki itu, sekaligus hendak mengatakan agar Kauw Cien Lung tidak usah lagi mencarinya" "Tapi," wajah Sena nampak cemas.
"Kenapa, Sena?" tanya Nyi Bangil.
"Seperti kau tak percaya pada kemampuan Mei Lie?" Sena menggaruk-garuk kepala.
Wajahnya masih terlihat tegang.
Dia tahu siapa lelaki bercaping lebar yang bernama Kauw Cien Lung.
Sepak terjangnya sangat telengas.
Telah banyak korban yang berjatuhan di mata pedangnya.
"Kau tahu siapa Houw San itu, Nyi?" tanya Se-na.
"Ya.
Dia lelaki kejam yang telah banyak memakan korban" "Nah, bagaimana mungkin Mei Lie mencarinya? Oh, aku mencemaskannya, Nyi" Nyi Bangil semakin melebarkan senyum.
Kepalanya digeleng-gelengkan sambil membenarkan duduknya dan menghela napas.
"Kau meragukan 'Ilmu Pedang Bidadari', Sena?" "O, tidak.
Aku hanya meragukan pengalamannya, Nyi.
Itu yang aku cemaskan.
Dia belum berpengalaman dalam rimba persilatan yang ganas, penuh dengan kecurangan dan kekejian," tutur Sena.
Nyi Bangil tersentak.
Tiba-tiba dia menyadari sesuatu yang tak terpikir olehnya.
Matanya memandang Sena dengan cemas.
Ucapan pemuda itu memang benar.
Dalam ilmu silat, bisa saja Mei Lie berada di atas Houw San.
Tapi dalam kelicikan dan pengalaman, tentu Mei Lie berada jauh di bawah Houw San.
"Kau benar, Sena.
Hm, mengapa aku sebodoh itu membiarkan dia pergi seorang diri mencarimu?" sesal Nyi Bangil.
"Ke arah mana Mei Lie pergi, Nyi?" tanya Sena.
"Entahlah.
Dia hanya berkata hendak mencarimu dulu, sebelum mencari Kauw Cien Lung," tutur Nyi Bangil.
"Bagaimana pakaian yang dikenakannya?" "Dia mengenakan pakaian lelaki berlengan panjang warna putih, serta celana warna putih pula.
Rambutnya juga digelung seperti lelaki" "Jadi dia telah merubah penampilannya menjadi sosok pendekar?" ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kalau begitu, aku harus secepatnya mencari dia.
Aku mohon pamit, Nyi" "Kudoakan, semoga kau selalu dalam lindungan Hyang Widhi," kata Nyi Bangil setelah balas menjura, kemudian diiringinya Sena melangkah meninggalkan tempat itu.
"Semoga kalian menjadi pasangan yang diberkati oleh Hyang Widhi"
***
Slang itu matahari bersinar terlalu panas, seakan hendak memanggang wajah bumi, dengan teriknya.
Semilir angin siang terkalahkan oleh panasnya matahari.
Hal itu yang membuat Sena mengambil keputusan untuk beristirahat di kedai, sekaligus mengisi perutnya yang kosong.
Usai menyantap makanannya, Sena bersandar pada tiang penyangga kedai.
Angin siang berhembus lembut, membuat matanya mengantuk.
Perlahanlahan matanya dipejamkan, menikmati kesejukan angin yang berhembus di permukaan kulitnya.
Baru saja matanya terpejam, tiba-tiba Sena tersentak oleh percakapan dua orang pengunjung kedai yang menceritakan tentang Dewi Pandagu.
"Bayangkan, Dewi Pandagu kemarin ditemukan telah mati.
Mungkin Karto Songo dan Kebo Pangawon yang membunuhnya," tutur orang yang bercelana biru sebatas lutut dan berbaju warna hitam.
Sehelai sarung terikat di pinggangnya.
Kepalanya diikat secarik kain batuk warna coklat muda berhias putih.
Tubuhnya gempal dan pendek.
"Apakah tidak mungkin lelaki bercaping yang membunuhnya, sekaligus membunuh Karto Songo dan Kebo Pangawon?" tanya lelaki bertubuh kurus dan berpakaian petani.
Celananya hitam sebatas betis dan bajunya hitam berlengan panjang.
"Kurasa tidak.
Kalau korban lelaki bercaping, sudah barang tentu di keningnya terdapat sayatan pedang.
Tapi Dewi Pandagu tubuhnya terbakar.
Dadanya hancur, seperti terkena pukulan" Sena tersentak bangun dari sandarannya, setelah mendengar penuturan dua orang itu.
Segera dihampirinya kedua lelaki itu.
"Selamat siang, Kisanak," sapa Sena sopan.
Kedua lelaki itu menoleh lalu memandang Sena yang tersenyum.
"Boleh aku ikut duduk?" "O, silakan," jawab keduanya hampir berbareng.
"Namaku Sena," ucapnya memperkenalkan diri.
"Saya Jajang dan teman saya Enggono," sambut Jajang sambil menyalami Sena.
"Bolehkah aku bertanya, Ki Jajang?" "Oh, silakan.
Tentang apa?" "Dewi Pandagu.
Benarkah dia tewas?" Suara Sena terdengar sangat cemas.
Bagaimanapun juga, antara dia dan Dewi Pandagu terdapat hubungan batin yang kuat.
Dia pun telah berjanji akan memperistri wanita itu.
"Benar.
Memangnya ada apa?" "Ah, tidak.
Terima kasih," ucap Sena.
Setelah membayar semua makanannya, Sena meninggalkan kedai itu.
Hal itu membuat kedua orang yang ditanya oleh Sena mengerutkan kening.
Mereka memandang heran pada Sena yang berlalu dari kedai itu.
Dengan mengerahkan ilmu larinya Sena berusaha membuktikan kebenaran cerita kedua orang tadi.
Hatinya berdetak gelisah.
Wajahnya membara laksana terbakar api.
Itu pertanda kalau dirinya dalam kungkungan rasa cemas dan marah.
Dan jika dia benarbenar telah marah, tubuhnya akan mengeluarkan cahaya merah membara.
"Kalau benar Dewi Pandagu mati, semua ini karena Houw San.
Kalau saja lelaki bercaping lebar itu tidak datang, tentunya orang-orang dari aliran hitam tidak berani unjuk gigi" dengus Sena sambil terus berlari, agar secepatnya dapat sampai di Perguruan Bintang Emas.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', tubuh Sena melesat cepat.
Pekikannya menggelegar, sebagai tanda kalau dia tengah mengerahkan ilmu lari 'Sapta Bayu' tingkat terakhir.
Membuat kecepatan tubuhnya laksana gerakan tujuh angin.
Dalam sekejap saja tubuhnya menghilang.
Yang tampak hanya kelebatan bayangan-nya saja.
Ketika Sena berlari menuju Perguruan Bintang Emas untuk membuktikan cerita dua lelaki di kedai, pendengarannya yang tajam tiba-tiba mendengar suara bentrokan pedang yang ditingkahi teriakan-teriakan pertempuran.
Trang "Hiaa" "Hait" Trang, trang Dentingan pedang itu begitu keras, diikuti pekikan-pekikan nyaring.
Disusul dengan deru babatan pedang yang menggila.
Ditilik dari suaranya, tentu orang-orang yang bertarung itu memiliki ilmu pedang yang tinggi.
"Hai, ada orang bertarung rupanya," gumam Sena.
Segera larinya dihentikan Dengan tangan menggaruk-garuk kepala, dia memandang ke sekeliling, berusaha mencari asal keributan itu.
"Heaaa" Wut wut "Yiaaat" Sena memasang telinganya tajam-tajam, agar dapat menentukan di mana pertarungan itu berlangsung.
"Ah, ada di sebelah selatan," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian kakinya dilangkahkan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh, agar tidak terdengar oleh orang yang bertarung.
Setelah suara orang bertarung itu semakin dekat, Sena segera melompat ke atas pohon.
Ditujukan pandangannya ke sebuah tempat yang agak lebar, di mana dua orang tampak tengah bertarung.
Seketika matanya membelalak, ketika melihat seorang lelaki bercaping lebar dengan baju bergaya pesilat Cina tengah bertarung dengan seorang wanita yang berpakaian lelaki berwarna putih.
"Mei Lie" desis Sena sambil menggaruk-garuk kepala, ketika mengenal wajah wanita itu.
Tubuh Sena segera berkelebat turun.
kemudian dengan cepat tangannya mencabut Suling Naga Sakti.
Selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Gila menghantamkan Suling Naga Sakti ke arah pedang lelaki bercaping yang tengah menyerang Mei Lie.
Trang "Ukh" lelaki bercaping lebar yang tidak lain Kauw Cien Lung atau Houw San itu tersentak kaget.
Segera kakinya menyurut mundur sambil menarik pedangnya.
Begitu pula yang dilakukan Mei Lie.
"Sena," seru Mei Lie setelah mengenal siapa orang yang telah menolongnya.
"Mei Lie" seru Sena gembira.
Bibirnya men-gulas senyum lepas.
Merasa mendapat kesempatan baik, Houw San dengan cepat bergerak, berusaha mencekal tubuh Mei Lie.
Namun Sena yang tidak ingin gadis pujaan hatinya celaka, cepat memapak tangan lawan dengan Suling Naga Sakti.
"Yiaaat" "Hiaaa" Melihat pemuda berbaju rompi kulit ular menyerang dengan Suling Naga Sakti, Kauw Cien Lung yang semula hendak melakukan totokan ke arah Mei Lie, mengurungkan niatnya.
Tangannya ditarik kembali, kemudian dengan cepat membabatkan pedang ke arah lawan dengan jurus 'Pedang Menangkal Naga' dan diteruskan dengan jurus 'Tusukan Pedang Menembus Batu Karang'.
"Hiaaa" Wut Trak Pendekar Gila melenting ke atas, membuat babatan pedang lawan luput.
Kemudian dengan cepat memukul lawan dengan Suling Naga Sakti.
"Mei Lie" desis Sena ketika mengenali wanita yang sedang bertarung itu.
Tubuh Pendekar Gila pun segera berkelebat turun sambil mencabut sulingnya.
Kemudian, Suling Naga Saktinya dihantamkan ke arah pedang Kauw Cien Lung yang tengah menyerang Mei Lie.
Trang "Heeaaaa" Tangan kanan Pendekar Gila yang memegang Suling Naga Sakti, memukul dan membabat ke tubuh lawan.
Sedangkan tangan kirinya menepuk ke dada lawan.
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus pembuka jurus-jurus gila.
Kemudian, dengan menggunakan jurus 'Kera Gila Mencakar dan Memukul Lawan', Pendekar Gila terus merangsek lawan.
Namun begitu, lawan yang dihadapinya juga tidak mau mengalah begitu saja.
Houw San dengan pedang beracun di tangannya, terus bergerak mengelakkan setiap babatan Suling Naga Sakti dan tepukan tangan lawan.
Bahkan sesekali balas menyerang dengan sabetan pedang.
"Makan ini Heaaa" Sena kembali menyodokkan Suling Naga Sakti ke dada lawan.
Kemudian disusul dengan tepukan tangan kiri.
Sementara kedua kakinya tak mau tinggal diam, bergerak menyapu dan menendang kaki lawan.
Kauw Cien Lung yang dikenal berjuluk Singa Jantan dari Cina dengan cepat melangkah ke belakang.
Lalu sambil mendengus, dibalasnya dengan babatan pedang ke arah Pendekar Gila.
Sedangkan tangan kirinya, mencengkeram dengan jari-jari yang kaku.
Tidak ubahnya seperti kuku-kuku singa.
"Hiaaa" Wut Pendekar Gila segera meliukkan tubuh, mengelak-kan babatan pedang lawan.
Kemudian setelah mampu mengelakkan babatan pedang, Pendekar Gila kembali balas menyerang dengan sabetan Suling Naga Sakti.
"Heaaa" Trang Keduanya mundur ke belakang beberapa tindak.
Sesaat keduanya saling pandang, berusaha mengamati gerak-gerik lawan masing-masing.
Pendekar Gi-la me-nyeringai dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan Houw San kini memperhatikan dengan seksama tingkah laku Pendekar Gila.
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" tanya Kauw Cien Lung, dengan dengusannya yang keras.
Pedang panjang yang berwarna putih kebiru-biruan terhunus di depan tubuhnya.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Kaukah orang yang selama ini telah banyak melakukan kekejian? Membunuh para pendekar?" tanya Sena, balik bertanya.
"Ya" "Hm, aku datang untuk menghentikan sepak terjang mu yang terlalu telengas," ucap Sena dengan suara tegas.
"Tindakanmu terlalu biadab.
Terlebih kau bukan orang Jawa Dwipa" "Hm," Kauw Cien Lung menggumam perlahan.
"Bagus Sengaja aku datang dari jauh, untuk me-nyingkirkanmu, Pendekar Gila Jangan bermimpi kau akan dapat memperoleh Mei Lie" Pendekar Gila kembali tertawa cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Lucu sekali kau, Kisanak Memaksakan kehendak pada orang yang tidak menyukaimu Dosamu telah terlalu banyak.
Nampaknya sulit untuk diampuni," dengus Sena.
"Kurang ajar Kau harus mampus Hiaaa"
***
SEMBILAN
Kauw Cien Lung menggerakkan pedang ke samping kanan dengan gerakan membuka.
Kemudian digerakkan kembali ke arah depan, dilanjutkan ke samping kiri.
Lalu pedangnya diputar cepat.
Didahului pekikan menggelegar, Kauw Cien Lung kembali melakukan serangan dengan jurus 'Singa Jantan Menerkam Mangsa'.
Pedangnya bergerak cepat, naik ke atas kemudian ditebaskan lurus ke depan.
"Heaaa" Menyaksikan lawan telah menyerang dengan jurus lain, Pendekar Gila pun tak tinggal diam.
Dia segera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' diteruskan dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'.
"Ciaaat" Wut Pedang di tangan Kauw Cien Lung membabat cepat ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat meliukkan tubuh ke samping.
Sambil memiringkan tubuh ke depan, tangan Sena menyodokkan Suling Naga Sakti ke arah lawan.
"Yeaaa" Tubuh Pendekar Gila terus meliuk cepat, gerakannya seperti orang menari.
Sesekali tangan kanannya yang memegang Suling Naga Sakti, menyodok ke arah lawan.
Disusul dengan pukulan telapak tangan kirinya.
Mendapat serangan aneh begitu rupa, Kauw Cien Lung segera melangkah dua tindak ke belakang.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya membabatkan pedang ke arah lawan.
Wut, wut Mau tak mau, Pendekar Gila yang sudah melihat keganasan pedang lawan dari korban-korbannya segera berkelit.
Tubuhnya dimiringkan ke samping, la-lu balas menyerang dengan sodokan Suling Naga Sakti.
Sedangkan tangan kirinya bergerak mencakar ke wajah lawan yang tertutup caping lebar.
Nampaknya Pendekar Gila berusaha membuka caping yang dikenakan lawan.
"Uts" Wut Rupanya Kauw Cien Lung mengerti apa yang hendak dilakukan Pendekar Gila.
Dengan cepat tubuhnya menyurut ke belakang untuk mengelakkan cakaran tangan Pendekar Gila.
Kemudian dengan cepat dia balik menyerang dengan tusukan pedang ke dada Pendekar Gila.
"Edan" maki Sena kaget, saat merasakan hawa dingin yang keluar dari tusukan pedang lawan.
Kalau saja Pendekar Gila tidak segera mengelak, sudah pasti dadanya akan tertembus pedang beracun itu.
Meskipun racun yang ada pada pedang lawan tidak akan membuatnya tewas, namun tusukan pedang itu tentunya sangat berbahaya.
Cepat Pendekar Gila bersalto ke samping.
Kemudian dengan cepat Suling Naga Sakti dibabatkan ke arah pedang lawan yang terus mencecar ke arahnya.
"Hih" Trang Dua senjata sakti saling bertemu dan menciptakan percikan api.
Kemudian tubuh keduanya melompat ke belakang, dengan senjata siap kembali di depan tubuh masing-masing.
Mata keduanya saling pandang.
Kaki mereka bergerak dengan aturan-aturan yang telah mereka pelajari.
Pendekar Gila merentangkan kaki kanannya ke samping.
Kaki kirinya agak ditekuk.
Sementara Suling Naga Sakti disilangkan di depan dada.
Dengan jari-jari tangan merapat, tangan kirinya ditempelkan di ulu ha-ti.
Kauw Cien Lung menarik mundur kaki kanannya.
Sedangkan kaki kirinya agak ditekuk membentuk siku.
Pedang di tangan kanannya digerakkan ke samping kanan.
Sedangkan tangan kirinya yang membentuk cakar, diletakkan di dada sebelah kiri.
Pedangnya diputar-putar dengan cepat, lalu ditusuk ke depan.
"Yiaaat" "Heaaa" Keduanya kembali melesat untuk melakukan serangan.
Senjata di tangan masing-masing saling menusuk dan membabat.
Sedangkan tangan kiri mereka bergerak memukul dan menangkis.
Kaki mereka pun tidak tinggal diam, menyapu dan menendang ke tubuh lawan.
Dua senjata sakti itu kembali berkelebat, saling berusaha mengincar satu sama lain.
Kauw Cien Lung membabatkan pedang ke arah Pendekar Gila.
Tubuhnya mencelat ke atas, kedua kakinya menendang keras ke arah dada lawan.
Wut "Heaaa" Mendapat serangan cepat dan membahayakan, Pendekar Gila memutar Suling Naga Saktinya untuk menangkis babatan pedang lawan.
Kemudian dengan mendoyongkan tubuh ke samping kanan, tangan kirinya memukul ke arah lawan.
Trang "Heaaa" Wut Trang.
Dua senjata sakti itu kerap kali beradu, sehingga menimbulkan percikan api.
Kedua orang yang bertarung itu bagai telah kerasukan.
Semakin lama gerakan mereka kian cepat.
Kini bukan hanya menggunakan tenaga luar saja.
Nampaknya mereka telah mengerahkan tenaga dalam dan menyalurkannya pada tangan kanan masing-masing.
"Yiaaat" Dua sosok tubuh dengan senjata sakti terus berkelebat.
Keduanya kini melupakan keadaan Mei Lie yang semakin jauh mereka tinggalkan.
Mereka terus melancarkan jurus-jurus ilmu silat yang mereka kuasai.
Dan tampaknya kedua orang itu seimbang.
Samasama gesit dan lincah.
Tubuh mereka berkelebat laksana menghilang.
"Heaaa" "Ciaaat" Kembali mereka melesat.
Tangan kanan yang memegang senjata bergerak cepat.
Keduanya berusaha untuk memenangkan pertarungan tersebut.
Wut Trang Tak ada lagi kata-kata yang mereka keluarkan.
Mulut mereka bagai terkunci rapat.
Yang kini terdengar hanya pekikan saat melakukan serangan yang diikuti oleh gerakan jurus silat tingkat tinggi.
Sekeliling arena pertarungan itu rusak oleh babatan dan tebasan senjata keduanya.
Banyak pohonpohon yang tumbang, atau hancur terkena pukulan dan babatan senjata di tangan kedua orang yang terus bertukar serangan.
Pendekar Gila dengan mengerahkan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', bergerak cepat.
Tangan kirinya bertubi-tubi menghantam lawan, dan sesekali berusaha menyambar caping lawannya.
Kauw Cien Lung atau Singa Jantan dari Cina pun tidak mau tinggal diam.
Dengan cepat pedangnya bergerak, menutup gerakan tangan Pendekar Gila yang hendak membuka capingnya.
Disusul dengan hantaman tangan dan tendangan kakinya.
Bahkan pedangnya berkelebat dengan cepat.
"Sena, tolong" Tengah pertarungan berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan keras Mei Lie.
Keduanya terkejut dan seketika menghentikan pertarungan.
"Mei Lie" pekik keduanya berbareng.
Kemudian tubuh mereka langsung berkelebat cepat ke arah suara Mei Lie.
"Kurang ajar Siapa kau?" bentak Pendekar Gila, berusaha mengejar sesosok tubuh yang membawa Mei Lie yang tertotok di pundaknya.
"Kurang ajar Hei, jangan lari" seru Kauw Cien Lung sambil berlari mengejar.
Singa Jantan dari Cina ini ternyata tidak mau tinggal diam begitu saja.
Terlebih saat dilihatnya pen-culik Mei Lie mengenakan pakaian dan caping yang sama dengannya.
Pendekar Gila dan Kauw Cien Lung terus mengejar lelaki misterius yang menculik Mei Lie.
"Berhenti" seru Sena, kemudian dengan cepat dikirimkannya pukulan sakti 'Inti Bayu' ke arah lelaki yang berpenampilan mirip Kauw Cien Lung itu.
Wusss Angin kencang berderu, mengarah ke tubuh lelaki berkulit coklat tua dengan caping lebar.
Namun dengan cepat, lelaki misterius itu mencabut pedangnya yang juga sama dengan pedang Kauw Cien Lung, lalu membabat serangan Pendekar Gila.
Desss Dahsyat sekali Angin pukulan 'Inti Bayu' yang dilancarkan Pendekar Gila dapat dimusnahkan oleh pedang di tangan lelaki itu.
Hal itu membuat Pendekar Gila membelalakkan mata, tak percaya kalau pukulan saktinya dapat dimusnahkan begitu saja oleh lelaki misterius itu.
Sementara, lelaki misterius itu tiba-tiba menghilang dari pandangan Pendekar Gila dan Kauw Cien Lung.
Keduanya terpukau saling pandang.
"Siapa dia?" tanya Sena.
"Haiya, mana aku tahu," jawab Kauw Cien Lung.
"Huh, kau ingin berusaha menutupinya Kau yang menyebabkan semua ini terjadi Heaaa" Pendekar Gila yang merasa penyebab semuanya adalah Kauw Cien Lung, tanpa banyak kata lagi segera menyerang.
Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila melabrak Kauw Cien Lung.
"Uts" Kauw Cien Lung tersentak, segera pukulan yang dilancarkan Pendekar Gila dielakkannya.
Kemudian dengan cepat balas menyerang dengan jotosan ke dada Pendekar Gila.
Pertarungan yang sempat tertunda dengan kedatangan lelaki misterius itu, kini kembali berlanjut Pendekar Gila bergerak aneh.
Gerakannya seperti lamban dan lemah.
Namun kenyataannya sangat berbahaya dengan serangan yang senantiasa menggunakan telapak tangan.
Tangan kanan disilangkan dengan tangan kiri, kemudian direntang sambil menghentak ke depan.
"Heaaa" Kauw Cien Lung yang diserang begitu cepat, dengan segera mengelak.
Kemudian dengan jari-jari tangan membentuk cakar, Kauw Cien Lung balas menyerang.
Tangannya mencakar beruntun dari arah bawah ke atas tubuh lawan.
Gerakannya persis seperti amukan seekor singa jantan.
Itulah jurus 'Singa Jantan Mengoyak
Mangsa', sebuah jurus cepat dan membahayakan.
"Heaaa" Dilihat dari gerakan tangan mereka yang menyerang dan menangkis, terlihat ada kesamaan pada kedua jurus itu.
Bedanya kalau Pendekar Gila melakukan serangan dengan pukulan telapak tangan yang mengeluarkan angin keras, seperti hendak melebur ba-tu karang.
Sedangkan Kauw Cien Lung menyerang dengan cakaran, tidak ubahnya seperti singa.
"Dosamu telah menumpuk, Sobat Heaaa"
***
Pendekar Gila terus menyerang dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Tangannya disilangkan, kemudian direntangkan keluar.
Dilanjutkan dengan pukulan telapak tangan ke depan, yang menimbulkan angin pukulan keras.
Tubuh Pendekar Gila meliuk-liuk.
Kelihatannya gerakan itu sangat lamban.
Namun Kauw Cien Lung jadi sangat kaget, ketika tak diduganya serangan lawan telah dekat ke tubuhnya.
Kalau saja Kauw Cien Lung tidak segera menyadari, niscaya tubuhnya akan terhantam pukulan maut Pendekar Gila.
"Uts Haiya" Kauw Cien Lung dengan cepat membentuk pertahanan dengan menekuk tangan kiri, disusul dengan cakaran ke dada lawan.
Sedangkan kedua kakinya bergerak menendang dan menyapu.
Tangan keduanya saling bertemu, berusaha menyerang dan menangkis.
Begitu juga dengan kaki mereka, bergerak menyerang atau menangkis serangan lawan.
"Heaaa" Pendekar Gila terus berusaha menekan.
Pukulan-pukulan tangannya yang mengandung tenaga, menyentak keras.
Kalau saja Kauw Cien Lung lengah, sudah pasti dia akan menjadi korban pukulan maut Pendekar Gila.
Kauw Cien Lung dengan cepat menangkis serangan lawan.
Kemudian tangan kirinya melancarkan cakaran.
Pada saat lawan menyerang, Pendekar Gila melihat ada kesempatan.
Dia tak menyia-nyiakannya.
Segera tubuhnya dicondongkan ke samping kanan, kemudian tangan kirinya ditarik ke belakang.
Dibarengi dengan tarikan tangan kiri, tangan kanan Pendekar Gi-la lalu menyambar caping lawan.
Sedangkan tubuhnya menghentak ke atas Wut "Lepas" seru Sena sambil menarik caping yang dikenakan Kauw Cien Lung.
Dan caping itu pun lepas dari kepala Kauw Cien Lung.
Kini nampaklah wajah sesungguhnya dari lelaki yang mengenakan caping itu.
Wajahnya tampak rusak, bekas luka bakar.
Sampai-sampai Pendekar Gila bergidik menyaksikannya.
"Hmhhh" Kauw Cien Lung menggeram marah, merasa aibnya telah diketahui oleh Pendekar Gila.
Matanya yang merah, semakin membara.
Nafasnya mendengus penuh amarah.
Bersamaan dengan itu, wajahnya perlahan-lahan berubah menjadi wajah singa Rambutnya yang panjang, berubah warna menjadi kuning.
Kauw Cien Lung kembali menggeram.
Tangannya seketika berubah menjadi kaki depan singa.
Kemudian didahului gerakan marah, singa jejadian itu melesat menyerang.
"Ghrrr Aummm" Singa itu berkelebat ke arah Pendekar Gila.
Tangannya tak beda dengan kaki singa, berusaha mencabik-cabik tubuh Pendekar Gila.
"Uts.
Ilmu siluman" maki Pendekar Gila seraya berkelit mengelakkan cakaran kuku-kuku tajam lawan.
Tubuhnya dimiringkan ke samping, lalu dirundukkan ke bawah.
Membuat serangan lawan melesat di atas tubuhnya dan menancap di batang pohon Crab Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila yang melihat kesempatan baik itu segera mengirimkan tendangan ke tubuh lawan yang kuku-kukunya masih menancap di pohon.
"Hiaaa" Bugk "Aummm" singa jejadian itu mengaum keras, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Keadaan pohon yang menjadi sasarannya sangat mengerikan.
Pohon itu hangus terbakar.
Daunnya berguguran.
Jika saja pohon itu manusia, tentunya akan mengalami hal yang lebih mengerikan.
Singa jejadian itu kembali menggeram, kemudian bergerak lagi untuk menyerang Pendekar Gila dengan cakaran kuku-kukunya.
"Uh.
Heaaa" Pendekar Gila segera meliukkan tubuh ke bawah, mengelakkan serangan lawan.
Kemudian dengan cepat menggulingkan tubuh ke samping.
Kaki kirinya menendang ke tubuh lawan.
"Aum" Manusia singa yang melihat tendangan kaki Pendekar Gila, segera menyambarkan tangannya ke bawah.
Memaksa Pendekar Gila menarik kembali kakinya dengan cepat.
Setelah itu tubuhnya melenting ke udara.
Melihat lawan melayang di udara, manusia singa itu bertambah marah.
Segera diambilnya pedang yang tadi diletakkannya di tanah.
Lalu, diburunya tubuh lawan.
Sebentar kemudian, pedangnya dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila yang masih berada di udara.
Wut "Uts Celaka" pekik Sena kaget, ketika melihat pedang lawan telah dekat ke arahnya.
Sulit baginya untuk dapat mengelakkan tusukan pedang itu.
Dengan tak hilang akal, Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Saktinya.
Kemudian dengan gerakan cepat dibabatkannya ke pedang lawan, disertai tenaga dalam penuh.
Wut Trang Pedang lawan terdorong ke arah tuannya.
Saat itu juga, Pendekar Gila menjejakkan kaki ke dada lawan yang kala itu masih kaget.
Akibatnya, manusia singa itu tak mampu mengelakkan serangan lawan.
Degk "Ghrrr" manusia singa itu menggeram.
Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Matanya memandang tajam penuh amarah pada Pendekar Gila yang kini meniup sulingnya.
Suara Suling Naga Sakti melengking keras, membuat singa jejadian itu meraung keras, saat merasakan telinganya seakan ditusuk ribuan jarum.
"Ghrrr Auuum" Setelah mengaum keras, singa jelmaan Kauw Cien Lung itu melesat dengan pedangnya.
Pedangnya dibabatkan ke tubuh Pendekar Gila yang dengan cepat mengelit ke samping sambil memutar Suling Naga Sakti dan menangkis serangan lawan.
Trang Tubuhnya keduanya melompat ke belakang.
Kemudian didahului pekikan menggelegar, mereka kembali meluruk dengan senjata masing-masing.
"Ghrrr Auuum" "Heaaa" Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu dengan gerakan cepat melenting ke udara seraya menusukkan pedang.
Sehingga kedudukan mata pedangnya kini berada tepat di atas kepala Pendekar Gila.
Melihat lawan menyerang dari atas, Pendekar Gila tak mau diam begitu saja.
Dengan cepat tubuhnya dirundukkan.
Kepalanya dimiringkan ke samping, suling di tangan kanannya dihantamkan ke atas.
Dipapakinya serangan pedang lawan dengan Suling Naga Sakti.
Sedangkan tangan kirinya dengan cepat memukul ke atas.
"Heaaa" Trang Manusia singa tersentak menyaksikan pukulan tangan kiri Pendekar Gila.
Dia berusaha memapaki pukulan itu dengan tangan kiri.
Namun gerakannya terlambat.
Tangan kiri Pendekar Gila lebih dulu menghajar dadanya.
Degk "Aummm" Tubuh manusia singa itu terlontar lagi ke atas, melayang di udara dan berjumpalitan beberapa kali sebelum kakinya menjejak tanah.
Tangan kirinya memegangi dada yang terasa sakit akibat pukulan Pendekar Gila.
Matanya semakin buas, memandang tajam Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
"Ghrrr Pendekar Gila, jangan kau sangka aku sudah kalah Aku akan mengadu nyawa denganmu Ghrrr" "Ha ha ha.
Tampangmu lucu, Kawan Dari mana kau dapatkan topeng singa itu?" ledek Pendekar Gila.
"Sayang sekali.
Kalau saja aku ada waktu, ingin rasanya aku membawamu ke tempat ramai.
Kau bisa mendatangkan uang sebagai tontonan yang sangat menarik.
Ha ha ha" Semakin bertambah marah saja manusia singa mendengar ejekan Pendekar Gila.
Kembali mulutnya menggeram, kemudian dengan raungan keras dia kembali menyerang.
"Ghrrr Aummm" Melihat lawannya marah, tawa Pendekar Gila malah semakin meledak.
Kemudian dengan mengeluarkan jurus 'Kera Gila Melempar Batu', Pendekar Gila berkelit mengelakkan serangan lawan.
Lalu memba-lasnya dengan pukulan-pukulan dengan gerakan melempar.
"Ha ha ha.
Kau semakin bertambah lucu, Kawan" Dengan sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus bergerak menyerang dan mengelakkan serangan lawan.
Gerak-geriknya seperti kera kegirangan.
Tangannya bergerak seperti melempar, namun gerakan melempar itu mampu membuat manusia singa agak kewalahan.
Tebasan pedangnya dengan mudah dielakkan lawan.
Bahkan kalau kurang hati-hati, Suling Na-ga Sakti di tangan Pendekar Gila akan menghajar tubuhnya.
"Ghrrr.
Kurobek mulutmu, Pendekar Gila" Aummm.
Singa jejadian itu terus melancarkan babatan serta tusukan pedangnya ke tubuh Pendekar Gila.
Sesekali tangan kirinya mencakar ke arah Pendekar Gila.
"Hop, apa tidak sebaliknya, Sobat" kata Pendekar Gila sambil mengelitkan babatan pedang serta cakaran tangan kiri lawan yang berkuku panjang dan runcing.
Kemudian dengan cepat dia balas menyerang dengan sodokan Suling Naga Sakti dan hantaman tangan kiri ke dada lawan.
Puluhan jurus telah mereka kerahkan.
Nampaknya belum ada tanda-tanda siapa yang bakal memenangkan pertarungan itu.
Manusia singa itu begitu kuat dan ganas.
Meskipun beberapa kali terkena pukulan, tapi tampaknya pukulan-pukulan Pendekar Gila tak berarti sama sekali.
Malah manusia singa itu semakin ganas dalam melakukan serangan.
Tangan kirinya mencakar-cakar ke wajah dan dada Pendekar Gila.
Sedangkan pedang beracunnya, berkelebat membabat dan menusuk tubuh Pendekar Gila.
Hal itu membuat Pendekar Gila harus mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Pendekar Gila meliukliuk untuk mengelakkan serangan-serangan lawan.
Setelah itu, balas menyerang dengan Suling Naga Sakti dan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
Entah sudah berapa jurus mereka keluarkan, ketika tiba-tiba manusia singa kembali menggeram dengan suara yang mampu merobohkan daun pepohonan.
Tubuhnya mencelat ke udara dan bersalto beberapa kali.
Dengan tubuh menukik, pedangnya ditebaskan ke tubuh Pendekar Gila.
"Ghrrr Aummm" Melihat lawan menukik dan siap melakukan serangan, dengan cepat kaki kanan Pendekar Gila melangkah ke belakang.
Kaki kirinya ditekuk membentuk siku.
Kemudian tangan kanannya memutarkan Suling Naga Sakti.
Sedangkan tangan kirinya memukul deras ke atas.
"Heaaa" Trang Des Dua kekuatan bertenaga tingkat tinggi pun beradu.
Tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung mencelat ke belakang dan bersalto di udara.
Pada saat itu, Pendekar Gila segera menggenjotkan kakinya.
Tubuhnya melesat laksana terbang ke udara.
Saat itu pula, di-tiupnya Suling Naga Sakti dengan kepala naga di pangkalnya diarahkan ke tubuh manusia singa yang masih mengapung di udara.
Suara suling melengking keras.
Saat itu, dari mulut kepala naga di suling itu melesat selarik sinar merah ke arah tubuh manusia singa.
Srrrt.
Manusia singa tersentak kaget, menyaksikan selarik sinar merah yang keluar dari mulut kepala na-ga di suling Pendekar Gila.
Dia berusaha mengelakkan larikan sinar merah itu, namun kedudukannya tidak menguntungkan.
Segera pedangnya diputar untuk memapaki sinar merah itu.
Wut Crat Pedang itu langsung meleleh, bagai terkena panas yang sangat tinggi.
Mata manusia singa itu membelalak.
Cepat-cepat dibuangnya pedang yang terus meleleh itu.
Kalau tidak, tubuhnya pasti akan turut meleleh seperti pedang miliknya.
"Ghrrr Kubunuh kau, Pendekar Gila Aummm" Singa jelmaan Kauw Cien Lung itu semakin buas.
Tubuhnya melompat hendak menerkam Pendekar Gila.
Jari tangannya mengembang membentuk cakar dengan kuku-kuku yang tajam, siap mengoyakngoyak tubuh lawan.
Pendekar Gila kembali meniup Suling Naga Saktinya dengan suara melengking.
Saat itu juga dari mata kepala naga di sulingnya meluncur dua larik sinar kecil ke arah tubuh manusia singa yang masih melesat.
Tanpa ampun lagi.
Crat, crat "Aummm.
Aaargh" Lengkingan kematian keluar dari mulut singa jelmaan Kauw Cien Lung, ketika sepasang sinar kecil berwarna merah membara itu menghantam tubuhnya.
Seketika tubuhnya meleleh, tak beda dengan keadaan lilin yang dilalap api.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
Suling Naga Saktinya diselipkan di pinggang.
Dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala, dipandanginya lelehan tubuh singa jelmaan Kauw Cien Lung.
Kemudian setelah menghela napas, tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat itu untuk mengejar orang misterius yang telah membawa tubuh Mei Lie.
Bagaimana nasib Mei Lie selanjutnya? Siapa orang yang berpenampilan sama dengan Kauw Cien Lung? Lalu, apa maksudnya berbuat itu? Apakah Sena akan bertemu Mei Lie lagi? Lalu bagaimana pula dengan Dewi Pandagu yang telah mati di tangan dua orang dari rimba hitam? Untuk mengetahuinya, ikutilah petualangan Pendekar Gila selanjutnya dalam episode "Titisan Dewi Kuan Im" .
SELESAI
0 $type={blogger}: