Kumbang Hitam Dari Neraka

Pendekar Gila

Episode 02

Kumbang Hitam Dari Neraka

Karya : Firman Raharja



SATU

Malam baru saja meninggalkan bumi, sehingga pagi masih teramat buta. Kokok ayam jantan terdengar bersahutan, seperti menyambut sang Fajar. Keadaan masih meremang, belum banyak orang yang terbangun. Mungkin masih banyak yang bergumul dengan selimut karena hawa terasa dingin.

Adipati Joyo Kerto terjaga, ketika menyadari sang istri tidak ada di sampingnya. Lelaki berbadan besar dengan muka bulat dihiasi oleh kumis lebat dan mata agak sipit serta hidung besar itu duduk di pinggir tempat tidur. Wajahnya tercenung, seakan tengah memikirkan kepergian istrinya sepagi buta ini.

"Hm, ke mana dia?" tanya sang Adipati lirih, setelah bergumam.

Perlahan dia bangun. Beberapa saat tubuhnya menggeliat Setelah menguap beberapa kali, kakinya melangkah pelan ke pintu kamar. Dan setelah membuka pintu, matanya diedarkan ke seluruh ruangan di dalam kadipaten.

Sepi Sang Adipati melangkah ke luar. firasatnya tidak enak. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi di kadipaten. Terlebih dengan ketidakadaan istrinya di kamar. Tak biasanya istrinya bangun sepagi buta begini. Baru saja kakinya melangkah dua tindak melewati pintu kamar, tiba-tiba didengarnya suara yang menggelitik telinganya. Suara wanita yang terkikikkikik manja ditimpali oleh suara lelaki.

"Ih, sabar sedikit kenapa, Truna.... Bukankah waktu kita masih panjang?" 

"Ah, bagaimana mungkin aku sabar, Diajeng....

Sebentar lagi pagi. Tentunya adipati dungu itu bangun," sahut lelaki yang dipanggil Truna. Darah Adipati Joyo Kerto seketika bagai mendidih, dan dadanya bergemuruh riuh. Sementara tangannya mengepal lalu meninju telapak tangan kirinya. Wajahnya membara, terbakar amarah.

"Kunyuk Dikasih hati ternyata bocah itu meminta jantung" dengus Adipati Joyo Kerto.

Penguasa Kadipaten Tegal Arang itu benarbenar marah. Bagaimana tidak? Pemuda itu telah ditolongnya. Dari pemuda miskin tiada guna, kini menjadi pengawal pribadinya. Tapi balasan pemuda itu sangat menyakitkan. Bukan hanya dia disebut adipati dungu, tetapi istrinya juga kini termakan rayuan gombal pemuda itu.

Keduanya kini berada dalam satu kamar. Apalagi yang diperbuat dua lawan jenis dalam satu kamar tanpa pengawasan? Tentunya mereka melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Dugaan Adipati Joyo Kerto memang benar. Di dalam kamar yang terletak paling belakang, dua orang manusia dalam keadaan tanpa busana tengah bercumbu. Pemuda berambut gondrong, bertubuh kurus dengan ikat kepala hitam itu mencumbu istrinya.

"Truna Sabar, Sayang.... Masa' kau ingin melakukan lagi? Bukankah kita tadi baru melakukannya," desis istri Adipati Joyo Kerto yang bernama Rana.

"Aku tak sabar, Diajeng.... Kau sangat menggiurkan, sehingga mampu membangkitkan kelelakian ku," sahut Truna masih terus mencumbu wanita cantik yang matanya mengerjap-ngerjap laksana mata seekor kelinci itu. 


Tangannya mencengkeram rambut Rana itu kuat-kuat. Berusaha mencari pegangan ketika dirasakan tulangtulangnya bagaikan dilolosi dari tubuh. Saat keduanya dalam puncak kenikmatan, tiba-tiba....

Brakkk Pintu kamar itu hancur, ditendang oleh seseorang dari luar. Menjadikan Truna dan Rana yang tengah melayang di puncak kenikmatan tersentak. Belum juga mereka tahu siapa yang telah mendobrak pintu kamar, terdengar makian keras....

"Bangsat Inikah balas budi kalian? Manusia-manusia iblis Kalian harus mati Heaaa..." 

"Adipati...," desis Truna dengan mata membelalak tegang, menyaksikan Adipati Joyo Kerto menggenggam golok besar sementara tubuhnya melesat hendak menyerang mereka.

Wajah pemuda kurus yang agak pucat itu kian bertambah pucat. Wajar saja wajahnya jadi begitu, karena kedudukannya memang tidak menguntungkan.

Bisa saja tubuhnya berguling ke samping untuk mengelak. Tapi kalau hal itu dilakukan, Rana pasti akan menjadi korban.

"Celaka..." pekik Truna dengan seluruh tubuh tegang tatkala sang Adipati meluruk semakin bertambah dekat Golok di tangan Adipati Joyo Kerto siap membelah tubuh. Tak ada pilihan lain baginya, kecuali menghindar.

"Heaaa..." 

Golok di tangan Adipati Joyo Kerto bergerak cepat, membabat ke arah tubuh Truna yang berada di atas tubuh Rana. Pemuda itu dengan cepat menggulingkan tubuh ke samping kanan sebelum golok besar itu sampai. Tanpa ampun, tubuh Rana-lah yang menjadi sasaran.

Cras "Aaakh..." 

Lengking kematian yang menyayat terdengar dari mulut Rana. Tubuh sintal tanpa sehelai benang itu seketika bermandikan darah.

"Diajeng,.." pekik Adipati Joyo Kerto terkesiap.

Beberapa saat dia tertegun bagai patung baru. Matanya melotot ke arah tubuh istrinya yang menggelepar-gelepar sekarat dengan darah menyembur keluar, hingga kasur itu seketika berubah menjadi merah. Tubuh Rana terus menggelepar-gelepar sekarat Dari mulutnya terdengar rintihan memelas.

"Maafkan aku, Kakang.... Maafkan aku Oh...." Kepala Rana tergolek lemas. Jiwanya melayang seketika, meninggalkan raga yang tergolek tanpa gerak.

"Diajeng..." pekik Adipati Joyo Kerto sambil menubruk tubuh istrinya yang telah mati. Lelaki berbadan besar dengan perut agak buncit itu menangis sejadi-jadinya. Sedangkan pemuda bernama Truna yang telah mengenakan pakaiannya kembali, tersenyum sinis penuh kemenangan.

***

Rupanya kejadian tersebut terdengar oleh para pengawal kadipaten yang tengah berjaga. Beberapa orang pengawal bergegas masuk untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

"Gusti, apa yang terjadi?" tanya seorang pengawal berbadan besar dengan otot menonjol. Wajahnya menampakkan kegarangan dan kasar. Tulang pipinya menonjol. Matanya terbelalak memandang mayat istri Adipati Joyo Kerto.

"Pengawal Tangkap kunyuk itu..." perintah sang Adipati sambil menunjuk ke arah Truna yang tersenyum sinis.

Mendengar perintah atasannya, lima orang pengawal kadipaten yang berada di tempat itu segera maju untuk menangkap Truna. Namun dengan gesit pemuda itu berkelit, kemudian melenting ke atas dan tahu-tahu telah berada di luar kamar.

"Kejar dia Bunuh..." seru sang Adipati kalap.

Kelima pengawal itu kembali memburu. Tombak di tangan mereka kini siap berbicara. Namun pemuda bernama Truna itu sepertinya tidak gentar sedikit pun menghadapi kelima pengawal bersenjata. Senyum sinisnya masih mengembang, seolah mengejek para pengejarnya. 
"Percuma kalian menangkapku. Kalian hanya akan membuang-buang nyawa" Usai berkata demikian, dengan cepat Truna mengibaskan tangan kanannya ke depan disertai tenaga dalam.

"Terimalah ini, heaaat.." 

Kelima pengawal itu tersentak kaget, menyaksikan selarik pukulan dahsyat terlontar ke arah mere-ka. Mata kelima pengawal itu melotot tegang, berusaha mengelakkan pukulan itu. Tapi, pukulan yang dilontarkan secara tiba-tiba itu terlalu cepat untuk dihindari, sehingga....

Desss "Aaa..." 

Jeritan kematian seketika terdengar. Dua orang pengawal yang berada paling depan menggelepar. Dada mereka hangus dengan lingkaran hitam. Tubuh keduanya mengejang sesaat, kemudian diam tanpa nyawa dengan darah hitam meleleh dari hidung, telinga serta mulut. Tiga orang pengawal yang masih hidup kini hanya mematung. Nyali mereka seketika menciut, menyaksikan bagaimana kedua teman mereka mati secara mengerikan.

"Ha ha ha... Lihatlah, itu contoh bagi kalian Jika kalian berani coba-coba menangkapku, kalian pun akan mengalami hal seperti itu" ancam Truna.

"Jangan hiraukan ocehannya Bunuh dia..." perintah Adipati Joyo Kerto. Nadanya penuh amarah.

Bahkan kini, dengan golok besarnya dia menerjang kalap. Melihat Adipati Joyo Kerto turut menyerang, ketiga pengawal yang semula telah ciut nyalinya kembali berani. Ketiganya segera bantu menyerang. Tombak di tangan mereka bergerak cepat, berusaha menusuk tubuh lawan.

Diserang serentak begitu rupa, tidak menjadikan pemuda berwajah pucat itu gentar. Tubuhnya segera berkelit dari serangan itu. Bahkan dengan cepat tangannya menyambar salah satu senjata lawan.

"Hea..." 

Prajurit yang tombaknya direbut tersentak. Dia berusaha keras mempertahankan senjatanya. Akibatnya justru sangat parah. Pemuda itu menyentakkan senjata lawan yang telah dipegangnya, sehingga tubuh lawan terpental ke atas. Sedangkan kaki dan tangan kirinya menendang dan memukul dua orang pengawal.

Gerakan tangan dan kaki kiri pemuda bermuka pucat itu sangat cepat, hingga kedua penjaga yang il-mu silatnya memang jauh di bawah pemuda itu tak mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, keduanya mengalami hal serupa dengan teman mereka. 

Tubuh keduanya mencelat ke belakang, lalu jatuh membentur tembok dengan kepala pecah Betapa marahnya Adipati Joyo Kerto menyaksikan kelima prajuritnya dalam satu gebrakan saja dapat dibinasakan oleh pemuda yang semula dianggap enteng. "Kuhancurkan tubuhmu, Iblis Heaaa..." bentak Adipati Joyo Kerto, geram.

Dengan kemarahan memuncak, Penguasa Kadipaten Tegal Arang itu membabatkan goloknya ke tubuh lawan. Golok itu berkelebat ganas, membuat Truna agak kaget. Tidak diduganya kalau adipati berbadan gemuk dan berperut buncit itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Malah serangan yang dilancarkan olehnya senantiasa mengarah pada titik kematian.

Hampir saja golok besar di tangan Adipati Joyo Kerto membabat tubuh Truna, kalau pemuda itu tidak segera melebarkan kakinya sambil merundukkan tubuh. Golok itu hanya mendesir di atas rambutnya.

"Hiaaat.." 

Setelah dapat mengelakkan sabetan golok lawan, dengan cepat Truna melancarkan jotosan ke perut lawan. Jotosan itu begitu keras, karena dibarengi tenaga dalam penuh. Celakalah Adipati Joyo Kerto jika tidak segera menghindar dengan cepat. Ternyata adipati bertubuh gemuk itu memang tidak berusaha menghindar. Dia hanya menghempaskan napas untuk mengerahkan tenaga dalam ke perutnya.

Buggg Adipati Joyo Kerto menyeringai saat menerima pukulan keras lawan. Sepertinya dia tidak merasakan apa-apa. Justru pemuda berwajah pucat yang menyerangnya terlihat meringis kesakitan. Wajah pemuda itu semakin memucat. Bagaimanapun juga pemuda itu merasa tegang, menyaksikan lawan bagaikan tak merasakan pukulan 'Bara Neraka' yang dianggapnya dahsyat itu. Malah kini tangannya lengket dengan kulit perut sang Adipati.

Celaka... Keluh Truna dalam hati. Ilmu apa yang digunakannya. Sementara, bibir Adipati Joyo Kerto kembali menyeringai, menyaksikan lawannya semakin memucat.

"Iblis cabul, nyawa istriku harus kau tebus Terimalah kematianmu. Heaaa..." 

Adipati Joyo Kerto mengangkat golok di tangannya tinggi-tinggi. Rupanya dia benar-benar tidak ingin membuang waktu maupun memberi waktu bagi pemuda itu untuk bertobat. Golok besar di tangan sang Adipati terangkat tinggi. Kemudian dengan cepat meluncur ke bawah, siap membelah batok kepala pemuda itu. 

Namun tanpa diduga pemuda berwajah pucat yang telah menghancurkan rumah tangganya telah mendahului. Tangan kiri pemuda itu telah meraih sebuah senjata yang terselip di dalam pakaiannya. Senjata berbentuk bundar seperti kipas dan berwarna hitam itu disabetkan ke perut sang Adipati.

Cras "Akh... Kau..," pekik Adipati Joyo Kerto dengan mata melotot penuh kemarahan. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang seraya memegangi perutnya yang menganga lebar. Darah tampak tersembur dari luka di perutnya.

"Ha ha ha.... Mampuslah kau, Adipati Dungu Heaaa..." 

Setelah tertawa terbahak-bahak melihat lawannya tak berdaya, Truna melemparkan benda bulat seperti kipas berwarna hitam ke arah sang Adipati. Benda itu berdesing memekakkan telinga. Begitu cepat benda itu melaju, membuat sang Adipati yang terluka tidak mampu menangkis atau mengelakkannya. Tak ampun lagi, senjata aneh milik Truna menghantam lehernya. 

Cras "Aaa..." 

Lolongan kematian membahana di udara pagi buta. Tubuh adipati malang itu terhuyung ke belakang. Kedua tangannya kini memegangi leher yang mengucurkan darah. Nampaknya leher Adipati Joyo Kerto terkoyak. Matanya membesar dan gigi-giginya siding beradu, berusaha menahan rasa sakit yang tiada terkira.

"Bangsat.. Licik.. Terkutuklah kau, Iblis" maki Adipati Joyo Kerto tersendat-sendat Tubuhnya masih berusaha bertahan untuk tetap berdiri. Namun rupanya darah sudah banyak yang keluar, sehingga tubuh besar itu ambruk, menimbulkan suara bagai gempa.

Truna kembali tergelak-gelak. Ditangkapnya senjata hitam seperti kipas miliknya yang melayang kembali padanya setelah memangsa leher Adipati Joyo Kerto. Setelah memasukkan senjata itu ke balik baju, pemuda berwajah pucat itu kembali tertawa sambil mendekati mayat Rana.

"Memang seharusnya kau mati, Perempuan Dungu Kau tidak berarti bagiku." 

Setelah memandangi tubuh bersimbah darah itu, Truna kini melangkah ke arah mayat Adipati Joyo Kerto. Kakinya menendang mayat bertubuh besar itu hingga telentang. Lalu dengan congkak diludahinya.

"Cuhhh..." 

Usai melakukan semuanya, tiba-tiba pemuda itu tertegun. Dia rupanya mengingat sesuatu.

"Hei, mengapa aku tidak mengingat Suci...?" 

Tanpa pikir panjang lagi, dilangkahinya mayat-mayat yang bergelimpangan itu. Tubuh Truna melesat untuk mencari anak gadis Adipati Joyo Kerto yang cantik. Yang senantiasa menggoda nafsunya untuk menikmati kecantikan dan keperawanan si gadis.

Namun betapa gusarnya Truna setelah mengetahui kalau gadis itu telah pergi. Rupanya ketika semuanya terjadi, Suciati melihatnya, dan secara diam-diam pergi dari sana.

"Bangsat Bahaya kalau gadis itu dibiarkan berkeliaran Dia akan menceritakan pada orang apa yang terjadi, bahkan pada kerajaan," gerutunya dengan sinar wajah khawatir.

Setelah mengobrak-abrik beberapa bagian ruangan kadipaten, pemuda itu pun melesat meninggalkan tempat itu.

***

DUA

Seorang gadis cantik berbaju hijau dengan rambut terurai nampak berlari dengan wajah ketakutan. Dia adalah Suciati, anak Adipati Joyo Kerto yang telah melihat bagaimana ayahnya mati oleh pemuda berparas pucat yang diangkat oleh sang Ayah sebagai pengawal pribadinya. Sudah berkali-kali ayahnya dipe-ringati agar hati-hati dengan pemuda itu. Tapi selalu saja ayahnya meremehkan peringatannya itu.

Suatu hari, ketika Suciati memergoki ibu tiri nya tengah berbisik-bisik dengan pemuda itu, hatinya mengatakan kalau pemuda itu bukan orang baik-baik. Dan Suciati berusaha menyampaikan hal itu pada ayahnya.

"Ayah. Suci berharap Ayah hati-hati dengan pemuda berwajah pucat itu," kata Suciati suatu ketika saat berdua dengan ayahnya.

"Memangnya kenapa, Anakku? Kulihat, pemuda itu baik," jawab ayahnya. "Janganlah berprasangka yang tidak-tidak, Anakku. Berprasangka itu tidak balk." 

"Tapi, Ayah...," Suciati hendak kembali berkata, tapi ayahnya menukas dengan cepat.

"Sudahlah, kau tak perlu khawatir." Suciati tak dapat berkata lagi. Dia tidak berani membantah kata-kata ayahnya. Dari kecil dia dididik agar tidak membantah. Apalagi dia seorang gadis, yang harus mematuhi semua aturan orang tuanya.

Jauh di lubuk hatinya, Suciati benar-benar cemas. Takut kalau-kalau pemuda berwajah pucat itu menyimpan maksud yang buruk. Terlebih pemuda itu sering dilihatnya bersama ibu tiri nya. Apa sebenarnya yang terjadi antara Truna dengan ibu tiri ku? Nampaknya mereka merencanakan sesuatu. Bisik hati Suciati menduga-duga.

Dugaannya terbukti juga. Karena suatu malam, ketika dia terbangun dari tidur, telinganya menangkap suara tawa kecil di kamar samping. Tawa manja seorang wanita. Dan gadis itu sangat mengenali suara wanita itu, yang tidak lain suara ibu tiri nya. Lalu suara lelaki itu adalah suara Truna, pengawal pribadi ayahnya.

Heh, sedang apa mereka? Tanya Suciati dalam hati malam itu. Rasa ingin tahunya menjadikan gadis itu keluar perlahan-lahan dari kamar. Kemudian dengan mengendap-endap, gadis itu menuju ke kamar sebelah di mana suara itu terdengar.

Sesaat Suciati berhenti, dan mengawasi keadaan sekeliling. Setelah yakin tak ada orang yang melihat, gadis itu meneruskan langkahnya. Dengan mengendap-endap didekatinya pintu kamar itu.

Uh, hampir ketahuan Desis Suciati dalam hati ketika melihat pintu kamar tidak tertutup rapat. Untung tubuhnya segera menyelinap ke tembok, hingga kedua orang yang ada di dalam kamar tak melihatnya.

Perlahan Suciati menjulurkan kepala untuk mengintip dari celah pintu. Matanya tiba-tiba melotot, dan darahnya pun berdesir. Kemudian tubuhnya di-tenderkan ke tembok. Giginya bergemeretak keras, berusaha menahan gejolak dadanya setelah menyaksikan pemandangan tadi. 

Sebuah pemandangan yang cukup membuat jantungnya berdetak kencang. Jagat Dewa Batara.... Terkutuklah kalian Desis Suciati dalam hati sambil berusaha menahan gelora dalam dadanya. Bayangan dua tubuh polos saling rengkuh itu, seakan tidak mampu dienyahkan dari pikirannya.

Oh, tidak Aku tidak boleh melihat terus Bantah hati Suciati. Kemudian dengan tertatih lemas, ditinggalkannya tempat itu. Pelan dibukanya pintu kamar lalu dikuncinya. Dengan lemas gadis itu terduduk di tepi tempat tidur.

Rintihan-rintihan di kamar sebelah masih terdengar. Membuat tubuh gadis itu kian menggigil. Jiwanya melayang, entah ke mana. Bayangan dua sosok polos yang saling berpacu masih melekat di benaknya.

Sulit sekali hal itu dienyahkan. Gadis itu merebahkan diri. Kedua telinganya ditutupi dengan tangan agar tidak mendengar. Tapi tak bisa, suara rintihan kenikmatan ibu tiri nya masih ju-ga terdengar.

Saat benak Suciati disesaki bayangan kejadian yang menimpa keluarganya, terdengar suara tawa keras. Tawa itu langsung membuyarkan lamunannya.

Betapa kagetnya gadis itu ketika tahu kalau tawa itu terlepas dari mulut Truna yang di belakangnya. Dengan segera Suciati lari meninggalkan tempat itu. Di wajahnya tergambar kecemasan dan ketakutan. Dia yakin, tentunya pemuda bermuka pucat itu punya maksud tak baik.

Truna masih tertawa, seperti membiarkan gadis berbaju hijau itu lari ketakutan. Lalu, tiba-tiba tubuhnya melompat laksana terbang. Dalam sekejap telah berada di depan gadis itu. 

"Mau lari ke mana, Cah Ayu...?" tanya Truna sambil bertolak pinggang. Kembali tawanya terdengar, menjadikan Suciati semakin ketakutan.

"Tidak... Jangan ganggu aku..." jerit si gadis.

Gadis itu segera membalikkan tubuh untuk lari meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya seketika tertahan, manakala dirasakan ada yang menariknya dari belakang. Ketika kepalanya menoleh, ternyata ikat pinggangnya dipegangi oleh pemuda bermuka pucat itu.

"Ha ha ha... Mau lari ke mana, Cah Ayu? Bukankah saat seperti ini yang kau tunggu?" seloroh Truna sambil tertawa-tawa. Tangannya masih memegang erat pinggang si gadis.

"Lepaskan Kurang ajar..." sentak Suciati, berusaha melepaskan ikat pinggangnya dari genggaman tangan pemuda itu. Namun rontaannya justru semakin membuat pemuda itu senang.

"Jangan berpura-pura, Cah Ayu...," 

Truna kembali tertawa. Kemudian ditariknya ikat pinggang gadis itu, membuat tubuh Suciati tertarik ke arahnya. Lalu dengan tergelak-gelak dipeluknya tubuh Suciati penuh nafsu.

"Lepaskan Lepaskan aku..." Gadis itu meronta-ronta untuk melepaskan diri dari pelukan Truna. Tapi rontaannya sebagai gadis biasa, tidak berarti sama sekali bagi Truna. Meski bertubuh kurus, tapi pemuda itu memiliki tenaga dalam hingga tetap sanggup menguasai Suciati.

"Mengapa malu-malu, Cah Ayu.... Bukankah di sini tak ada siapa-siapa, selain kita berdua?" Truna kembali tertawa terbahak-bahak. Kemudian tanpa mempedulikan rontaan Suciati, tubuhnya segera melesat membawa gadis itu meninggalkan tempat tersebut.

"Lepaskan aku Lepaskan..." jerit Suciati sambil terus meronta untuk melepaskan diri dari panggulan Truna. Tangannya memukuli punggung pemuda itu yang masih saja tergelak-gelak sambil terus berlari.

"Nanti kau kulepaskan, setelah aku mendapatkan tubuhmu dan kegadisan mu.... Ha ha ha..." 

"Tidak Aku tidak mau..." jerit Suciati histeris.

Dengan sekuat tenaga dipukulinya punggung Truna. Namun pukulannya bagai tidak berarti sama sekali. Jangankan pukulannya yang sekadar mengandalkan tenaga luar, pukulan pendekar pun masih sanggup ditahan pemuda itu.

"Nanti pun kau akan mau," sahut Truna meledek. Pemuda berwajah pucat itu terus berlari sambil memanggul tubuh Suciati ke arah timur, menuju hutan yang terbentang luas. Nampaknya Truna hendak membawa Suciati ke sana, lalu menggagahinya di tempat itu. Pemuda itu berpikir kalau di hutan dia akan tenang. Tak akan ada orang yang mengganggunya.

Mereka mulai memasuki pedalaman hutan yang sepi. Pepohonan besar berdiri angkuh di sanasini, membuat sinar matahari sulit untuk menerobos masuk. Keadaan yang teduh dan agak gelap itu membuat Truna semakin tergesa-gesa untuk melaksanakan niat busuknya.

Tanpa disadarinya, sepasang mata mengawasinya dari rerimbunan semak. Sepasang mata itu menyipit, melihat kepanikan seorang gadis di bahu pemuda kurus yang tertawa terbahak-bahak. Mulutnya yang semula bersiul kini terhenti. Dan ketika jarak Truna kian mendekat, pemilik sepasang mata itu melenting ke atas pohon.

"Manusia keparat Apa yang hendak dia lakukan terhadap gadis itu?" gumam pemuda yang telah hinggap di sebuah dahan besar sambil terus mengawasi. "Hm, dunia ini memang aneh. Baik, aku ingin tahu apa yang hendak dilakukannya." 

Pemuda itu segera menyelinap pada dahan yang lebih rimbun. Matanya terus mengawasi pemuda yang memanggul seorang gadis berbaju hijau. Sedangkan pemuda bermuka pucat itu mengenakan pakaian berwarna hitam, dengan ikat kepala hitam pula.

Sekitar lima tombak dari pohon besar tempat pengintai tadi bersembunyi, Truna menghentikan larinya, lalu segera menghempaskan tubuh Suciati yang memandangnya dengan sinar mata ketakutan.

"Jangan... Aku tidak mau..." ratap gadis itu menghiba, ketika melihat pemuda berwajah pucat itu hendak membuka pakaiannya.

"Kau harus mau, Cah Ayu.... Sebab aku sangat menginginkan mu. Kini, kau akan merasakan hal yang kau lihat semalam," desis Truna seraya merenggut pakaian bagian atas Suciati dengan kasar.

Breeet "Auh, tidak..." pekik Suciati. 

Segera kedua tangannya menutupi bagian dadanya yang tampak karena bajunya terkoyak. Melihat hal itu, Truna semakin beringas. Mata jalangnya menggerayangi tubuh Suciati seperti hendak menelannya bulat-bulat.

Dengan menggeram bagai seekor macan lapar, Truna hendak menubruk tubuh Suciati. Namun tibatiba, terdengar suara tawa seseorang diselingi sebuah syair. 

"Ha ha ha.... Lucu Lucu sekali. Bagaikan macan kelaparan. Nafsumu laksana setan. Jika setan ber-sarang di dada, manusia pun akan buta. Ha ha ha..." 

Kemudian disusul oleh alunan suling yang amat merdu, seakan ditiup dengan nurani yang bersih.

"Kurang ajar Siapa kau...?" bentak Truna marah karena merasa kesenangannya terusik. "Kalau kau manusia, keluarlah..." 

Setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling, Truna segera menotok tubuh Suciati yang tak akan dibiarkan lepas begitu saja. Bukannya sesosok tubuh yang muncul sebagai jawaban dari tantangan yang dilontarkan Truna, melainkan gelak tawa yang menggema terdengar. Suara tawa yang mampu menggugurkan daun-daun pohon.

"Bangsat Tunjukkan wujud mu Hadapi aku..." kembali pemuda berwajah pucat itu berkoar menantang. Matanya memandang tajam ke atas pohon, berusaha mencari orang usil yang telah mengganggunya.

"Hi hi hi.... Lucu, kau seperti orang linglung," tiba-tiba terdengar tawa keras seorang lelaki.

Pemuda berwajah pucat itu membalikkan tubuh. Seketika keningnya berkerut menyaksikan tingkah laku seorang pemuda berusia di bawahnya. Pemuda itu tersenyum cengengesen. Sedang tangannya menggaruk-garuk kepala, seperti orang bodoh dan gila.

Dia mengenakan rompi kulit ular dengan ikat kepala yang juga terbuat dari kulit ular. Meski cengar-cengir bodoh, wajahnya tergolong tampan dan bersih. Sedangkan jari-jari kaki kanannya menggaruk-garuk betis kaki kiri.

Hampir saja Truna tertawa melihat tingkah pemuda itu, kalau saja dia tidak segera ingat pada cara datangnya yang begitu tiba-tiba. Berarti pemuda gila ini bukan sembarangan, pikirnya. Lagi pula, dia masih ada kepentingan lain dengan Suciati.

"Pemuda gila Lekas pergi dari sini, sebelum ke-sabaranku hilang" bentak Truna, berusaha menahan tawa melihat tingkah lucu pemuda gila itu.

Pemuda yang persis orang gila itu adalah Sena Manggala yang lebih dikenal oleh tokoh rimba persilatan dengan julukan Pendekar Gila Mendapat sambutan tak ramah dari orang di depannya, mulutnya melepas tawa nyaring. Tangan kanannya semakin cepat menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tangan kirinya kini menepuk pantat berkali-kali.

"Lucu sekali.... Kau mengusirku, Kisanak? Padahal hutan ini bukan milikmu. Ah, dunia ini benarbenar gila Mengapa kalian hendak berkencan di hutan?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Sebenarnya dia hanya berniat menyindir, sebab dia tahu kalau gadis berbaju hijau yang kini duduk menyandar di pohon nampak ketakutan. Berarti pemuda bermuka pucat itu bukan pemuda baik-baik.

"Pemuda gila, apa urusanmu Cepat pergi dari sini, atau tanganku akan menghajarmu, hah?" bentak Truna, gusar melihat tingkah laku Sena.

"Wah, memang bukan urusanku. Baiklah, aku mau pergi," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan wajah yang masih seperti orang bodoh yang kurang waras.

Kemudian setelah cengengesan dan tersenyum-senyum, Sena melangkah hendak meninggalkan tempat itu. 

"Tuan, tolonglah aku..." jerit Suciati melihat pemuda aneh itu hendak pergi.

Langkah Sena terhenti. Kembali tangannya menggaruk kepala yang tak gatal.

"Nona, mengapa kau minta tolong padaku? Bukankah lelaki bermuka mayat itu kekasihmu?" tanya Sena, sengaja memancing kemarahan Truna.

"Pemuda gila, rupanya kau harus diajar adat," geram Truna, yang tak dapat lagi menahan kemarahannya setelah mendengar pemuda gila itu menyebutnya muka mayat "Adat..?" Pendekar Gila mengerutkan kening.

"Ya, ya.... Memang kau harus diajar adat" 

"Kurang ajar Kau benar-benar harus dihajar Heaaa..." Truna segera membuka jurus. Tangannya direntangkan ke samping, bagai merentangkan sayap.

Kemudian diangkat ke atas, membentuk sebuah lingkaran di atas kepalanya. Jurus yang tengah dilakukan bernama 'Gagak Hitam Mengepak Sayap'. Jurus itu merupakan jurus pembuka dari sekian banyak jurus yang dimiliki Truna. Meski begitu, itu bukan jurus sembarangan. Karena menilik dari gerakan tangan Truna yang keras dan cepat, tentunya jurus itu sangat berbahaya dan mematikan.

"Yeaaa..." bentak Truna seraya melompat untuk memulai serangan.

Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila menekuk lututnya agak ke bawah. Tangannya bergerak ke atas kepala. Kemudian kaki kanannya melangkah maju, dengan tangan kiri bergerak ke depan guna menangkis serangan lawannya.

"Heaaa..." 

Gerakan Pendekar Gila yang kelihatannya lambat, ternyata mampu mendahuluinya. Menjadikan Truna tersentak kaget. Dia segera melompat ke belakang. Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala, membuat Truna semakin bertambah marah.

"Yeaaa..." bentak Truna seraya menggerakkan tangan kirinya dengan keras dan cepat Melihat hal ini, Pendekar Gila hanya menyongsong perlahan dengan tangan kirinya.

"Heaaa .." Gerakan Pendekar Gila yang kelihatannya lambat, ternyata mampu menangkis serangan lawan dengan baik "Kurang ajar Kuremukkan batok kepalamu Yeaaa..." bentak Truna dengan mata melotot.

***

TIGA

Dengan penuh amarah, Truna kembali menyerang. Tangannya bergerak cepat, memukul ke arah kepala Pendekar Gila. Meski tangan pemuda bermuka pucat itu tidak besar, namun angin pukulannya terasa berdesir keras.

"Heaaa..." 

Wettt Melihat serangan lawan yang cepat, Pendekar Gila membelalakkan mata. Keningnya berkerut, kemudian dengan cengengesan ditariknya kaki kanan ke belakang. Sementara kaki kirinya digeser dan ditekuk agak mendatar.

"Uts... Rupanya kepalaku masih licin, Sobat.." ledeknya sambil memutar kepala dengan menunduk, mengelakkan serangan lawan. Kemudian dengan tubuh meliuk-liuk, Pendekar Gila maju selangkah sambil tangannya menepuk.

Plak "Edan" maki Truna dengan mata membelalak.

Tubuhnya melompat mundur untuk mengelakkan serangan lawan yang aneh dan sulit dipercaya. Gerakan lawan kelihatannya lamban, namun hasilnya sangat di luar dugaan. Kalau saja dia tidak melompat ke belakang, tentu dadanya sudah remuk.

"Heaaat.." Dengan melancarkan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', Pendekar Gila kembali menyerang. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari, dengan sesekali menepuk.

Melihat gerakan lawan yang terlihat tak bertenaga, Truna kembali bergerak untuk memapaki serangan lawan. Namun, belum juga sampai, Pendekar Gila tiba-tiba telah kembali menepuk ke arah dadanya. Hal itu membuat Truna segera menarik serangannya kembali. Dia tak mau mengambil resiko.

"Gila... Ilmu apakah yang digunakannya?" gumam Truna dengan mata membelalak Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian kembali dia menyerang dengan jurus yang sama.

"Hi hi hi.,.. Yeaaa..." 

Truna yang sudah merasakan kedahsyatan jurus itu, segera bersalto ke udara. Tapi, baru saja kakinya hendak menjejak tanah, lawan telah menyerangnya kembali.

"Celaka..." pekik Truna kaget. Mau tak mau, dia harus kembali bersalto, untuk mengelakkan serangan lawan yang aneh itu.

"He he he..." 

Sena terkekeh. Tangannya masih bergerak lemah gemulai. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari. Kelihatannya sangat lemah dan lambat, namun dengan gerakan seperti itu, ternyata Pendekar Gila mampu mengejar lawan yang telah mengerahkan segenap tenaganya.

"Pemuda gila Katakan, siapa kau sebenarnya?" bentak Truna sambil terus mengelakkan seranganserangan aneh yang dilancarkan lawannya.

Pendekar Gila terkekeh. Tangannya menggaruk-garuk kepala tanpa berhenti menyerang. hal itu menjadikan Truna semakin geram dan marah. Dia segera mengeluarkan jurus 'Gagak Hitam Mengepak Sayap', berusaha menghancurkan serangan lawan. Namun serangannya malah berantakan, ketika Pendekar Gila kembali meliuk dan menepuk.

"Jurus edan..." maki Truna dengan wajah semakin pucat sambil berusaha mengelakkan serangan lawan. 

"He he he... Lucu sekali kau dengan keadaan seperti itu, Sobat Wajahmu pucat laksana mayat Matamu keluar laksana jengkol tua... He he he..." 

Truna semakin bertambah marah mendengar ledekan itu. Gigi-giginya bergemerutuk keras, dan matanya melotot. Kemudian dengan mendengus, pemuda berwajah pucat itu kembali mencoba menyerangnya dengan jurus 'Gagak Hitam Mengepak Sayap' untuk meredam jurus lawan.

"Heaaat.." 

Tangan Truna mengepak, dan sesekali mencakar ke arah lawan. Tapi serangan yang dilancarkan dengan tenaga dalam penuh itu tak mampu juga memecahkan jurus Pendekar Gila. Bahkan serangan yang dilancarkan oleh Truna yang berupa kepakan, cakaran, serta hantaman, bagai membentur batu karang kokoh. 

"Edan Benar-benar jurus edan..." kembali Truna memaki-maki seorang diri. Wajahnya kian memucat, setelah menyadari kalau lawannya bukan pemuda sembarangan. Namun Truna tidak mau mengalah begitu saja. Dengan mendengus, pemuda berwajah pucat itu kembali menyerang.

"Kuhancurkan tubuhmu.... Heaaa..."

"He he he... Kau begitu marah, Sobat? Ah, sesungguhnya berkelahi dalam keadaan marah sangat berbahaya," celoteh Pendekar Gila sambil bergerak meliuk-liuk. Untuk mengelakkan tamparan dan pukulan tangan lawan.

Truna benar-benar bernafsu untuk secepatnya menjatuhkan lawan. Gerakan tangan dan kakinya se makin lama bertambah kencang. Tangannya seperti sepasang sayap yang mengepak dan menghantam. Kedua kakinya tak tinggal diam, ikut menyapu dan menendang. Disusul dengan cengkeraman dan cakaran keras yang mematikan.

"He he he..." Pendekar Gila terkekeh, menyaksikan lawan terlihat semakin bernafsu untuk mengalahkannya. Dengan tangan menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila merubah jurusnya. Tubuhnya mendadak seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Membelenggu Sukma'.

Melihat Pendekar Gila bagai tak memiliki tenaga sedikit pun, Truna semakin bernafsu untuk dapat menjatuhkan lawan. Kemudian bersama pekikan menggelegar, Truna mempercepat serangannya.

"Heaaat.." 

Dengan jurus 'Gagak Hitam Mencabik Bangkai' Truna berkelebat. Tangannya yang mengejang, mencakar ganas ke muka dan dada lawan.

"Terimalah kematianmu, Pemuda Gila" Dengan tetap terhuyung-huyung, Pendekar Gila segera menggeser tubuh ke samping. Tangannya menepis serangan lawan dengan lemas.

"Akh..." Truna tersentak. Ditariknya cakaran tadi. Kemudian kembali menyerang dengan cakaran tangan yang lain.

"Uts..." Pendekar Gila merundukkan kepala, membuat cakaran lawan melesat di atas tubuhnya, la-lu menghunjam pohon.

Crab Pendekar Gila dengan gerakan aneh, menampar perut lawan dengan punggung tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya, memukul dada lawan sambil mendorong.

Degk Bettt "Uhk..." keluh Truna tertahan. 

Tubuhnya langsung terlontar ke belakang. Beruntung pukulan yang dilancarkan Pendekar Gila tidak seberapa keras, hing-ga dia tidak mengalami luka dalam yang berarti. Pendekar Gila tertawa dengan tangan menggaruk-garuk kepala, membuat Truna semakin marah.

"Bedebah... Aku akan mengadu nyawa denganmu, Gila Heaaa..." 

Dengan kemarahan yang meluap-luap, Truna kembali melakukan serangan. Bahkan kini dia menjadi nekat, sehingga serangan-serangannya membabi buta.

"He he he..." Pendekar Gila terkekeh. 

Sementara itu, Suciati yang masih dalam keadaan tertotok memandangi kedua pemuda itu dengan harap-harap cemas. Meskipun belum mengetahui siapa pemuda bertingkah gila itu, dia berharap agar Pendekar Gila dapat memenangkan pertarungan itu. Namun dilihat dari sikapnya, pemuda tampan berompi kulit ular sanca itu adalah pemuda baik-baik.

"Hyang Widhi, semoga pendekar itu dapat mengalahkan lelaki yang membunuh ayahku," bisik Suciati dengan mata masih memandang pada pertarungan itu.

"Celaka Edan... Benar-benar jurus edan" rutuk Truna dengan wajah tegang. Dia sungguh tidak menyangka kalau serangannya akan hancur begitu rupa. Padahal lawan sepertinya mabuk.

 "He he he..."

Pendekar Gila kembali terkekeh, lalu dengan gaya orang mabuk dia kembali menyerang.

"Uts..."

Truna segera bersalto, berusaha mengelakkan tamparan tangan Pendekar Gila. Wajahnya kini bertambah tegang, malah hampir seputih kapas.

Suciati yang melihat pemuda berwajah pucat itu terdesak, kini tanpa sadar tersenyum. Entah mengapa, dia begitu mengharapkan pemuda gila itu memenangkan pertarungan.

"Oh, Jagat Dewa Batara Semoga kau mengabulkan doa ku," desis Suciati penuh harap. Senyumnya semakin mengembang, saat menyaksikan pemuda gila itu terus mendesak lawan. Membuat Truna semakin mundur dan mundur.

Pendekar Gila semakin mendesak lawan, hingga keduanya jauh meninggalkan hutan. Kini mereka berada di alam terbuka ketika tiba-tiba terdengar sua-ra orang berseru, 

"Tunggu..."

***

Pendekar Gila menghentikan serangan lalu melompat dua tombak ke belakang. Matanya memandang ke arah timur, di mana terlihat empat lelaki tua berlari menuju ke arahnya. Dan setelah dekat keempat lelaki tua itu segera menjura hormat.

"Terimalah salam hormat kami, Kisanak," kata keempat lelaki tua itu berbareng.

Sena menggaruk-garuk kepala. Dia tak mengerti mengapa keempat lelaki tua itu menyampaikan hormat padanya.

"Ah, mengapa Kisanak semua berbuat begitu? Seharusnya, aku yang melakukan hal tersebut. Karena menurutku, kalianlah yang patut dihormati." 

"Ah, tidak begitu, Kisanak Kamilah yang harus memberi hormat padamu," tutur lelaki tua bertubuh sedang dengan otot menonjol, yang mengenakan rompi coklat tua. Seperti warna ikat kepalanya, rambutnya ikal tidak terlalu gondrong Wajah lelaki itu begitu tenang, meski cambang bauk menghiasi. Alis matanya tebal dan lebat Matanya tajam, namun tak garang. Malah nampaknya sangat ramah. Lelaki itu bernama Ki Wirapati, Ketua Padepokan Cakra Geni.

Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang mungkin seusia Ki Wirapati. Rambutnya agak putih serta panjang terurai. Ikat kepalanya kuning dengan lukisan kepala macan. Hidungnya mancung dan matanya agak sipit. Tak ada kumis, hanya jenggot tebal.

Sedangkan baju yang dikenakannya rompi seperti loreng macan. Dialah Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan Loreng. Salah satu perguruan besar di wilayah tengah. Di sisi Ki Panca Loreng, berdiri seorang lelaki berpakaian warna putih yang aneh. Keanehan itu terletak pada lengannya yang buntung. 

Sedangkan jari-jari lengan kanannya, bukan jari-jari biasa. Tapi terbuat dari logam. Rambutnya putih terurai dengan ikat kepala dari akar pohon. Wajahnya agak murung melukiskan keprihatinan. Entah apa yang menjadi beban pikirannya. Lelaki tua itu bernama Ki Yaksa Asti, Ketua Perguruan Cakar Sewu.

Dan seorang lagi adalah lelaki bertubuh tinggi besar dengan sorot mata tajam. Rambutnya digelung ke atas. Pakaiannya mirip seorang resi. Di tangannya tergenggam senjata berupa tombak bermata dua yang panjangnya se lengan. Hidungnya besar, sedangkan mulutnya tertutup oleh kumis yang lebat Dialah Ki Tunggal Manik dari Perguruan Teratai Putih.

Setelah memandangi satu persatu keempat lelaki tua yang masih tersenyum ramah ke arahnya, Sena mengaruk-garuk kepala sambil cengengesan.

"Ah ah ah.... Kenapa harus begini?" tanyanya masih menggaruk-garuk kepala. "Ah, antara kita belum saling mengenal. Mengapa kalian menghormatiku yang gila ini?" Tanpa menghilangkan rasa hormat, keempat lelaki tua itu memperkenalkan nama dan dari mana asal mereka sebenarnya satu persatu.

Kepala Sena mengangguk-angguk. Sementara tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Di bibirnya tersungging senyum yang terlihat aneh. Kini mulai diketahui, siapa mereka sebenarnya. Rupanya keempat lelaki tua itu adalah orang-orang nomor satu di perguruan masing-masing. Nama mereka memang pernah didengarnya.

"Hm...," gumam Sena perlahan. "Tak pantas rasanya aku menerima hormat kalian. Bukankah kalian lebih tua dariku dan memiliki nama besar yang patut dihormati pula?" 

"Kami yakin tak keliru," sahut Ki Wirapati.

"Benar," sambung Ki Yaksa Asti. 

"Kami yakin, kaulah Pendekar Gila dari Gua Setan." 

"Ah, rupanya pandanganmu tajam juga, Ki," gumam Sena sungkan, sambil tetap cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. "Tak dapat aku menutup diri lagi dari pandangan kalian." 

"Kami berharap, Kau sudi menerima hormat kami..." ujar keempat lelaki tua itu, seraya menjura hormat.

"Ah..., ah Kalian jangan berlebihan terha-dapku. Sekarang katakanlah, mengapa kalian menghentikan pertarungan kami?" tanya Sena tegas.

"Maafkan kalau kami lancang. Sesungguhnya kami ada urusan juga dengan bocah...," tiba-tiba Ki Wirapati menghentikan ucapannya. Matanya memandang ke tempat Truna tadi berada.

"Celaka, dia telah pergi..." 

***

EMPAT

Semua mata seketika mengikuti pandangan Ki Wirapati. Mata mereka terbelalak lebar, karena pemuda berwajah pucat itu telah berkelebat pergi ketika mereka tengah berbicara.

"Kita harus mendapatkannya" kata Ki Tunggal Manik. 

"Sebenarnya, ada urusan apa antara kalian dengan pemuda itu...?" tanya Sena ingin tahu.

Dengan cepat dan singkat, Ki Panca Loreng menceritakan mengapa mereka hendak menangkap sekaligus membunuh pemuda berwajah pucat itu. Pemuda yang dikenal dengan nama Anjasmara, Widura, Rupasa, Kulana, dan kini bernama Truna itu sesungguhnya pemuda hidung belang. Dia telah banyak membuat keresahan. Suka mengganggu istri orang dan gadis-gadis. Bahkan anak-anak mereka mati setelah diperkosa oleh pemuda itu.

"Begitulah ceritanya....." ucap Ki Panca Loreng, mengakhiri ceritanya.

"Heh, mengapa kalian tak bilang dari tadi?" sentak Sena.

Keempat lelaki tua itu tak menjawab. Mereka hanya menundukkan kepala.

"Kalau begitu, kita kejar dia Aku yakin, dia kembali ke hutan. Ayo, jangan sampai kita terlambat," ajak Sena.

Kemudian, kelima orang ini segera melesat meninggalkan tempat itu untuk mengejar pemuda berwajah pucat yang menjadi buronan keempat lelaki tua tersebut Apa yang diduga oleh Sena ternyata benar. Pemuda berwajah pucat yang memiliki banyak nama itu tengah berlari ke arah hutan di mana Suciati berada.

Di bibirnya tersungging senyum, seakan puas dapat lepas dari kelima orang yang tentunya akan membuatnya semakin repot.

"Huh, untung mereka tidak langsung menyerangku. Hm, ada gunanya juga pemuda gila itu..," gumamnya sambil tersenyum-senyum. 

"Tapi aku tidak habis pikir, siapakah pemuda gila itu? Ki Wirapati dan lainnya menyebut Pendekar Gila. Ah, mungkinkah pendekar yang hidup pada puluhan tahun silam muncul lagi...?" 

Truna terus memikirkan siapa sesungguhnya pemuda berompi kulit ular yang seperti orang gila itu. Dia terus mempercepat langkahnya agar segera sampai di tempat Suciati berada.

"Dilihat dari gerakannya, memang persis dengan cerita orang-orang tua tentang Pendekar Gila.

Hm...," gumamnya kembali dengan hati yang dipadati rasa penasaran. "Kalau benar dia Pendekar Gila, celakalah aku Rimba persilatan akan semakin bersih dari orang-orang sepertiku. Ah, persetan dengan dia Yang penting aku harus mendapatkan Suci. Gadis itu sangat menggiurkan" Truna kembali tersenyum, ketika melihat Suciati masih berada di tempatnya dalam keadaan tertotok. Mata gadis itu membelalak ketakutan, manakala melihat kemunculannya.

"He he he.... Kita akan senang-senang, Manis Tak ada lagi yang akan mengganggu," kata Truna sambil melangkah mendekati tubuh Suciati yang semakin ketakutan.

Dengan cepat digendongnya tubuh gadis itu di pundak. Pemuda berwajah pucat ini hendak meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba terdengar suara gelak tawa memenuhi hutan.

"Ha ha ha..." Truna terkejut. Matanya menyapu ke sekelilingnya, mencari asal suara tawa itu.

"Pemuda gila itu...," desisnya kelu. Nampak raut keterkejutan tergambar di wajahnya. Sehingga wajahnya yang pucat semakin pucat pasi.

Tawa itu masih menggema, seakan-akan berada di setiap penjuru hutan. Truna menjadi semakin kebingungan, ketika suara itu berubah-ubah arah. Terkadang di depan, di belakang, kemudian di sampingnya. Pemuda berwajah pucat itu perlahan menurunkan tubuh gadis yang tak berdaya dalam totokannya. Dia berdiri mematung, dengan mata menyapu ke sekeliling dengan wajah tegang.

"Ha ha ha... Kau lucu sekali, Sobat Tadi kulihat kau tersenyum-senyum. Mengapa kini kau seperti tikus ketakutan?" 

Marah sekali Truna diejek seperti itu. Selama malang-melintang di rimba persilatan, dia belum pernah takut.

"Pemuda gila Kalau kau memang lelaki, keluarlah Tunjukkan mukamu Aku Truna tak pernah takut pada siapa pun" 

"Benarkah...?" 

Tiba-tiba pemuda gila itu telah di belakangnya. Tingkahnya masih tetap seperti tadi, cengengesan sambil garuk-garuk kepala. Truna terkejut, dan matanya melotot tegang ketika mendengar suara pemuda gila itu di belakangnya. Segera tubuhnya diputar.

"Kau..?" desis Truna, geram.

"Ya, aku...," sahut Sena tegas.

Namun tingkah lakunya masih tetap seperti semula. Bahkan pemuda gila itu kini tertawa terbahak-bahak. Hingga suaranya menggema dalam sepinya hutan.

"Kenapa kau ikut campur urusanku?" tanya Truna berusaha menutupi kesalahannya.

"Kenapa...? Ha ha ha.... Kau lucu sekali, Sobat. Bukankah tadi kau yang menyuruhku untuk keluar dari persembunyian ku? Itu berarti kau meminta ku untuk ikut campur urusanmu," kata Sena dengan niat meledek.

Belum juga mulut pemuda berwajah pucat itu sempat menanggapi ledekan Sena, tiba-tiba dari arah timur terdengar seruan seseorang.

"Kisanak, biarlah pemuda berandal itu kami urus. Dia harus bertanggung jawab kepada kami atas perbuatannya" 

Tidak lama kemudian, muncullah empat orang lelaki tua yang terdiri dari empat pemimpin perguruan berbeda. Truna tersenyum melihat kedatangan empat lelaki tua itu untuk menyembunyikan ketakutannya. Malah dengan berpura-pura ramah, mulutnya melepas basa-basi.

"Ah, sungguh kehormatan bagiku karena kalian sebagai orang penting rimba persilatan sudi menemuiku." 

"Tutup mulutmu, Iblis Kami datang bukan untuk mempercayai kata-katamu yang busuk" dengus Ki Wirapati kesal.

"Ya Kami datang bukan untuk mempercayaimu lagi. Tap kami datang untuk menghukum mu" tambah Ki Yaksa Asti dengan mata tajam menghunjam ke arah pemuda berwajah pucat yang masih tampak tenang.

"Apa salahku, hingga kalian hendak menghukumku?" tanya Truna kalem. Seakan dirinya benar-benar tak berdosa. Hal itu membuat keempat orang tua itu mendengus gusar.

"Bedebah Masih juga kau menyembunyikan muka di balik kedok bututmu, Bocah Bukankah gadis itu sebagai bukti siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Ki Panca Loreng.

"Ya, ikutlah kami untuk dihukum Atau kau harus berhadapan dengan kami?" ancam Ki Tunggal Manik. 

Truna bagaikan tak gentar menghadapi keempat orang tua itu. Mulutnya malah mengumbar tawa, membuat keempat orang tua yang hendak menangkapnya mengerutkan kening dan saling pandang. Mereka seperti terkesima. Dan tanpa mereka sadari, tawa yang dilepaskan pemuda berwajah pucat itu mengandung ilmu tawa 'Pengikat Sukma'. Suatu ilmu yang mampu membuat orang terkesima jika mendengarnya.

Pendekar Gila mengerutkan kening, menyaksikan keempat tokoh tua itu hanya saling pandang kebingungan. Dia hampir tak habis pikir, mengapa semuanya terkesima oleh tawa Pemuda berwajah pucat itu? Karena lucu, tangan kanannya menggaruk-garuk kepala serta tangan kirinya menepuk-nepuk pantat seraya tergelak-gelak.

"Ha ha ha... Lucu..., lucu..." oceh Pendekar Gi-la, diselingi tawa mengguntur yang mampu membuyarkan serangan ilmu tawa Truna.

Keempat lelaki tua itu tersentak, bagai baru tersadar dari mimpi. Mata mereka langsung membelalak. Kemarahan mereka pun semakin menjadi-jadi.

"Kurang ajar Tangkap dia..." seru Ki Wirapati.

***

Pendekar Gila yang merasa tak ada urusan dengan pemuda berwajah pucat itu lagi, segera melompat ke arah Suciati. Dibukanya totokan pada tubuh gadis itu. Kemudian diajaknya menjauh dari arena per-tempuran antara empat tokoh tua dengan pemuda itu.

Pertarungan antara keempat orang tua gagah yang berusaha menangkap pemuda berwajah pucat itu mulai berlangsung sengit. Keempat tokoh tua yang sudah tahu bagaimana ilmu pemuda itu, tanpa sungkansungkan mengeroyoknya.

Urusan mereka sama. Karena mereka telah diperdayai oleh pemuda itu. Anak dan murid wanita keempat tokoh tua itu telah menjadi korban rayuan gombal si pemuda. Pantaslah jika mereka bergabung untuk menuntut balas.

"Kau harus mampus, Buaya Darat Heaaat.." Ki Wirapati membuka serangan dengan jurus 'Seribu Guntur'nya yang dahsyat. Kepalan tangannya membara. Setiap dia memukul, deru angin panas laksana guntur bersahutan.

"Hm.... Percuma kau melawanku" ujar Truna, meremehkan lawannya.

"Bangsat rendah Jangan sombong Heaaa..." Ki Wirapati terus melancarkan serangan. Tangannya bergerak cepat Terkadang memukul, kemudian menangkis. Suatu gerakan yang hebat, cepat dan berbahaya. Namun ucapan pemuda itu terkadang memang tidak kosong. Dengan tenang dia menanggapi serangan lawan.

"Hiaaat.." 

"Hup..." 

Sambil menekuk kedua kakinya sedemikian rupa, Truna melebarkan kakinya ke samping. Kemudian dengan cepat kaki kanannya diangkat, lalu menendang. Sedangkan tangannya menepak untuk menepis pukulan lawan.

Plak "Uhhh..." 

Cepat-cepat Ki Wirapati membuang tubuh ke samping. Kalau tidak, tentu iganya akan patah terkena tendangan lawan yang keras dan mematikan.

"Sudah kukatakan, percuma kalian melawanku...," ejek pemuda berwajah pucat itu sambil tersenyum sinis.

Baca Juga :
"Sombong Jangan pongah dulu, Buaya Darat Terimalah kematianmu Heaaat.." Kini Ki Yaksa Asti yang menyerang. Tangan kanannya yang terbuat dari logam bergerak cepat, mencakar ke arah lawan. Gerakannya sangat cepat, sehingga tangannya tampak banyak sekali. Karena itulah dia berjuluk si Cakar Seribu.

Truna tersenyum pongah. Dengan tenang serangan lawan dielakkannya. Tubuhnya bergerak lincah, meliuk, dan melentur menghindari. Dengan menggunakan jurus 'Gagak Merunduk Mengelak Elang', pemuda berwajah pucat itu terus berkelit dari cakaran lawan.

"Hiaaat.." 

"Uts... Masih belum, Ki?" ejeknya.

Kepongahan pemuda berwajah pucat itu semakin menjadi-jadi, membuat muka Ki Yaksa Asti merah padam. Matanya semakin melotot lebar. Dia kemudian meningkatkan serangannya. Tangannya bergerak lincah, mencakar ke samping, ke atas, lalu ke bawah.

Kalau saja Truna tak gesit dan lincah dalam mengelak, sudah pasti tubuhnya akan hancur tercabik-cabik cakar lawan. Namun pemuda berwajah pucat itu bagai telah tahu jurus-jurus lawan, dengan enteng dia mengelitkan serangan-serangan lawan.

"Percuma kau mengeluarkan jurus 'Cakar Langit'mu, Ki" ejek Truna ketus, membuat Ki Yaksa Asti terkejut karena jurusnya telah dikenali lawan.

"Dari mana kau tahu nama jurusku, Buaya Darat" bentak Ki Yaksa Asti.

"Kau lupa kalau dua tahun aku berada di perguruanmu," ujar Truna setelah tertawa tergelak-gelak, "Bangsat.. Heaaa" Ki Yaksa Asti kembali melancarkan serangan.

Kini tak dipedulikannya ocehan pemuda berwajah pucat itu. Dia harus bisa menjatuhkan pemuda itu dan membunuhnya bila perlu. Namun Truna ternyata benar-benar telah tahu semua jurusnya. Hingga dengan mudah pemuda berwajah pucat itu mampu mengatasi serangannya. Bahkan tanpa diduga Ki Yaksa Asti, dia mampu mengeluarkan suatu jurus gabungan yang dahsyat Jurus 'Cakar Seribu' digabung dengan jurus dari Padepokan Cakar Sewu. 

"Celaka..." pekik Ki Yaksa Asti dengan mata melotot kaget. Bukan hanya dia, Ki Wirapati pun terkejut menyaksikan bagaimana pemuda berwajah pucat itu menggabungkan jurus padepokannya dengan jurus Perguruan Cakar Sewu.

"Kurang ajar Licik..." rutuk Ki. Wirapati.

"Lebih baik kita serang dia bersama-sama Kurasa dia pun telah menyerap jurus-jurus milik kita," saran Ki Tunggal Manik.

"Baiklah Kita memang tak perlu malu" sahut Ki Panca Loreng setuju. Kemudian mereka langsung menyerang Truna bersama-sama.

"Heaaa..." 

Meski dikeroyok oleh empat orang tokoh silat berilmu tinggi, pemuda berwajah pucat itu masih tenang. Dia masih mencibirkan bibirnya sambil meladeni serangan-serangan lawan. Meski kelihatannya pemuda itu agak kerepotan mengelakkan serangan keempat lawan, namun wajahnya tak sedikit pun tergambar rasa takut.

"Rupanya kalian telah menjadi orang pengecut" dengusnya penuh kesinisan. Sedangkan tangan dan kakinya bergerak menyerang atau menangkis serangan lawan. 

"Persetan dengan ucapanmu kau harus segera kami singkirkan dari dunia, agar gadis-gadis aman" dengus Ki Panca Loreng sengit. Tangannya yang bergerak seperti tangan macan, terus berusaha merangsek lawan. 

"Heaaat.." 

"Uts... Hiyaaa..." 

Pertarungan keempat orang tua melawan seorang pemuda yang berwajah pucat itu berlangsung seru. Keempat orang tua itu berusaha secepatnya untuk merobohkan lawan. Jurus-jurus mereka bergantian menyerang. Hal itu cukup merepotkan Truna yang kini hanya mampu bertahan.

"Heaaat.."

"Hup... Heaaa..." 

Pertarungan itu masih terus berlangsung. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Semua hanya terpusat pada pertarungan itu. Keempat orang tua yang terus menyerang, tak mau menganggap enteng pemuda berwajah pucat yang telah menyerap ilmu perguruan mereka. Sedangkan Truna pun tidak mau mati konyol begitu saja. Dia terus saja mengelakkan serangan lawan-lawannya.

Tanpa terasa pertarungan itu terus bergeser dari tempat semula. Kini keempat lelaki tua itu terus menggiring Truna keluar dari hutan. Sementara Sena dan Suciati hanya menonton. Mereka tak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengikuti pertarungan antara pemuda berwajah pucat melawan keempat tokoh tua.

"Kita ikuti mereka, Nona," ajak Sena. Suciati sesaat menatap wajah Sena dalam-dalam, membuat bibir pemuda tampan itu tersenyum-senyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya yang persis orang gila datang lagi, setelah hilang beberapa saat.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan Pendekar," kata gadis itu dengan rasa haru, semakin membuat Sena kebingungan. Terlebih ketika melihat air matanya mengalir membasahi pipi.

"Kalau saja tak ada Tuan, entah sudah bagaimana nasibku." 

"Ah, mengapa begitu?" ujar Sena setelah tertawa cekikikan. Tangannya masih menggaruk-garuk kepala. Suciati tak langsung menjawab. Kembali ditatapnya wajah Sena, meski telah melihat tingkah laku pemuda itu sejak awal, namun gadis itu belum yakin kalau pemuda tampan dan gagah itu benar-benar gila.

Itu sebabnya dia beberapa kali menatap wajah Sena, seakan-akan ingin meyakinkan hatinya. Setelah yakin kalau pemuda tampan itu memang tidak sungguh-sungguh gila, barulah dia berkata, 

"Jika tidak, tentunya pemuda itu sudah memperkosaku."

Tanpa diminta, Suciati menceritakan hal yang telah menimpa dirinya. Ayahnya, Adipati di Tegal Arang telah mati di tangan Truna, ketika dia memergo-ki pemuda berwajah pucat itu tengah bergumul dengan ibu tiri nya. Setelah kematian ayahnya, pemuda itu hendak memperkosanya.

"Untunglah Tuan Pendekar datang.... Kalau tidak, entah bagaimana nasibku," ulang Suciati dengan terisak.

"Ah ah ah, jangan menangis, Nona.... Hu hu hu.... Aku jadi sedih," 

Sena turut menangis. Hatinya terenyuh mendengar penuturan Suciati. Tapi tiba-tiba dia tergerak sambil bergumam lirih. 

"Oh, persoalan kehidupan memang tak akan ada habisnya. Sudahlah, Nona. Tak perlu ditangisi apa yang telah terjadi. Ayo-lah, kita lihat apa yang tengah terjadi." 

Kemudian Sena menggandeng tangan Suciati meninggalkan tempat itu untuk melihat apa yang terjadi pada keempat pendekar tua yang tengah mengeroyok pemuda berwajah pucat Pertarungan ternyata masih berlangsung sengit dan telah sampai di bibir sebuah jurang dalam yang menganga. Siap memangsa siapa saja yang terperosok ke dalamnya.

Kelihatannya pemuda berwajah pucat sudah tak dapat berbuat banyak. Wajahnya bersimbah darah seperti ada bekas cakaran. Entah itu hasil serangan Ki Yaksa Asti atau Ki Panca Loreng. Pemuda berwajah pucat itu benar-benar terdesak. Pandangan matanya gelap karena tertutup darah. Hingga ketika Ki Wirapati dengan pukulan 'Seribu Guntur'nya menyerang, pemuda itu tak dapat mengelak lagi. 

"Terimalah kematianmu. Heaaa..." Degk "Uhk... Wuaaa..." 

Darah langsung tersembur dari mulut pemuda itu, kemudian tubuhnya yang limbung terjerumus ke jurang disertai lengkingannya yang menyayat Keempat orang tua itu tertegun, memandang ke bawah jurang yang sangat dalam. Mereka menghela napas lega, merasa biang keladi yang telah banyak memangsa gadis-gadis telah dapat dibinasakan.

Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala, membuat keempat lelaki tua itu tersentak. Mereka segera mengalihkan pandangan ke arah Pendekar Gila yang berdiri di sisi Suciati.

"Kisanak, kalau kau tak keberatan, kami ingin mengajak mu ke padepokan kami," kata Ki Wirapati setengah mengajak.

"Ah, sebuah kehormatan bagiku. Baiklah, Ki....Sekalian aku ingin menimba lebih banyak pelajaran hidup darimu," jawab Sena.

"Oh, ya. Gadis ini adalah putri Kanjeng Adipati...." 

"Putri Kanjeng Adipati...?" ucap empat tokoh tua itu hampir berbareng.

Mata mereka membelalak setelah mendengar penuturan Sena. Keempatnya seketika memandang ke arah Suciati dengan seksama. Kemudian serentak mereka menjura hormat.

"Ampuni kami yang tak tahu adat ini, Kanjeng Putri" 

"Tak apa, Paman. Aku kini bukan anak Kanjeng Adipati lagi. Ayahanda telah tiada," tutur Suciati sambil berlinang air mata, membuat kelima orang lelaki itu turut terhanyut dalam kesedihannya.

"Kanjeng Putri, kalau kami boleh tahu... apa yang sebenarnya telah terjadi?" tanya Ki Wirapati.

"Hamba lihat, tadi Kanjeng Putri bersama pemuda iblis itu." 

Dengan terisak, Suciati menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Diceritakan awal mula kejadian yang akhirnya menimpa keluarganya. Mulanya datang seorang pemuda berwajah pucat yang mengaku bernama Truna ke kadipaten untuk mencari pekerjaan.

"Dari pertama aku sudah tidak simpati padanya. Sorot matanya sangat jalang dan memendam nafsu. Namun ayahanda tak mau percaya...," tutur Suciati. 

Kelimanya diam. Tak ada yang buka suara. Se-na masih menggaruk-garuk kepala. Namun mukanya tidak cengengesan seperti biasa. Pemuda itu seperti turut terbawa alur cerita yang dituturkan Suciati. Setelah sesat menarik napas panjang dan dalam, Suciati meneruskan.

"Sering aku memergoki pemuda itu bercakap-cakap dengan ibu tiri ku. Aku semakin curiga. Hingga pada akhirnya kulihat sendiri apa yang mereka lakukan. Sungguh terkutuk perbuatan mereka" Sampai di sini, mimik muka Suciati nampak geram. Sedangkan sepasang matanya berkilat-kilat menahan amarah.

"Saat itu, sebagai seorang gadis aku tak tahu harus berbuat apa melihat perbuatan terkutuk itu. Aku hanya bisa memendam kejengkelan. Rupanya ayah terjaga ketika hari menjelang pagi. Dan ayah memergoki mereka, hingga terjadi pertarungan antara ayah dan pemuda itu...." 

"Kami turut berduka cita," ucap keempat lelaki tua dengan suara penuh keharuan. Apalagi mereka kini mendengar isak tangis Suciati yang semakin menjadi-jadi. 

"Lalu, apa yang hendak Tuan Putri lakukan?" tanya Ki Panca Loreng memberanikan diri untuk buka mulut Suciati hanya menggeleng. Namun kini tatapannya tertuju pada Sena. Sepertinya dia meminta pendapat dari pemuda itu. Sementara yang ditatap hanya menggaruk-garuk kepala, tak tahu apa yang harus dikatakannya.

"Apakah Tuan Putri hendak ikut Tuan Pendekar?" tanya Ki Wirapati yang melihat Suciati masih memandang Sena.

"Kalau boleh," sahut Suciati, bernada pasrah.

Mendengar jawabannya, Sena merasa bingung. Tangannya menggaruk-garuk kepala semakin keras. Lalu dahinya ditepuk dengan tangan kiri.

"Ah, mengapa begitu?" katanya dengan suara lirih.

"Apakah Tuan tak sudi menerimaku? Sedangkan Tuan telah menolongku?" desak Suciati, semakin membuat Sena kebingungan.

Pendekar muda itu cengengesan Kemudian bibirnya memperlihatkan nyengir kuda seraya menggeleng-geleng kepala.

"Ah ah, bukan begitu, Tuan Putri." 

"Lalu apa yang membuat Tuan ragu?" desak Suciati.

"Entahlah, aku tak tahu. Yang pasti, aku tak mungkin membawamu. Ah, mengapa aku bodoh? Bukankah lebih baik kau bersama Ki Wirapati?" saran Sena. 

"Bagaimana, Ki?" 

"Aku tak keberatan," sahut Ki Wirapati.

"Ah, syukurlah. Tuan Putri, kuharap kau mau menerima uluran tangan Ki Wirapati. Bukannya aku tak mau diikuti olehmu. Namun langkahku tak menentu. Aku hanya mengikuti naluri belaka. Kau tak akan sanggup, Tuan Putri. Nah, kuharap Tuan Putri paham...," tutur Sena.

"Bagaimana kalau Kisanak mampir di pesanggrahan ku?" ajak Ki Wirapati.

Sena tak langsung menjawab. Wajahnya menatap langit, di mana mentari belum tinggi. Kepalanya digaruk-garuk, sedangkan mulutnya nampak nyengir.

"Baiklah Tak baik rasanya menolak ajakan mu," setelah terdiam beberapa saat, akhirnya menye-tujui ajakan itu.

Mereka kemudian segera meninggalkan tempat yang kembali sepi itu. Angin pagi bertiup lembut, membawa rasa sejuk bagi siapa saja yang diterpanya. Sedangkan mentari pelan merayap naik.

***

LIMA

Tubuh Truna menukik deras ke dalam jurang yang dinamakan Jurang Neraka. Tentu tubuhnya akan hancur, jika menghunjam dasar Jurang Neraka yang berbatu setajam pisau. Saat tubuh Truna melayang, berkelebat sesosok tubuh bungkuk bagai terbang. Kemudian dengan cepat menyambar tubuh pemuda itu, sebelum sampai ke dasar Jurang Neraka.

Tappp Tubuh kecil dan bungkuk berpakaian serba hitam itu ternyata seorang wanita tua. Dia terus berkelebat sambil memanggul tubuh Truna. Dilihat dari caranya menangkap tubuh pemuda itu, tentunya dia bukan orang sembarangan. Dialah Dewi Bunga Iblis, tokoh wanita sesat yang pernah malang-melintang di rimba persilatan puluhan tahun silam. Kini tiba-tiba dia muncul kembali, menolong pemuda berwajah pucat yang tubuhnya hampir saja hancur.

"Licik... Mereka licik Tunggu saatnya, kalian akan mendapatkan balasan atas perbuatan kalian" rutuk Dewi Bunga Iblis sendirian sambil berlari membawa pemuda yang wajahnya bersimbah darah.

Dewi Bunga Iblis membawa tubuh pemuda itu ke sebuah tempat di sekitar Jurang Neraka, tepatnya sebuah gubuk yang sangat sederhana. Di dalam gubuk itu, terdapat sebuah tempat tidur yang terbuat dari ba-tu. Di situlah tubuh Truna dibaringkan. Perempuan tua itu sejenak memandangi tubuh Truna. 

"Hm.... Rupanya puluhan tahun aku tak berke-cimpung dalam rimba persilatan, menjadikan mereka tenang mempelajari dan memperdalam ilmu," gumamnya seraya menggeleng-gelengkan kepala perlahan.

Perlahan perempuan tua itu membuka pakaian Truna yang penuh darah. Matanya seketika membelalak, saat menyaksikan sesuatu di dada pemuda itu.

"Pukulan 'Seribu Guntur'" pekiknya tanpa sadar.

Dewi Bunga Iblis menyurut mundur dengan mata masih memandang tajam ke dada pemuda yang ditolongnya. Sepertinya dia sangat mengenali pukulan itu.

"Wiasa keparat Rupanya dia telah melanggar janji" dengusnya dengan wajah bengis. "Licik Dia telah mengangkat murid" 

Lalu kaki perempuan tua itu kembali melangkah, mendekati tubuh Truna. Dirabanya dada si pemuda. Kepala perempuan tua itu mengangguk-angguk, sementara bibirnya terulas senyum tipis. Kemudian dari bibir yang keriput itu terdengar gumaman.

"Wiasa, karena kau telah mengangkat murid, maka aku pun akan mengangkat murid pula. Bocah ini akan menjadi muridku Dialah yang akan menggantikan ku Hik hik hik...," ujar Dewi Bunga Iblis sambil tertawa mengikik nyaring.

Kemudian dengan mulut berkomat-kamit merapal mantera, Dewi Bunga Iblis menekankan telapak tangannya ke dada Truna. Dan tak lama kemudian, asap mengepul di antara tangan dan dada yang menyatu itu.

"Akh..." 

Truna menjerit kesakitan. Tubuhnya menggeliat, berusaha menahan rasa sakit Namun Dewi Bunga Iblis tak peduli. Dia terus menekan telapak tangannya dengan mulut masih komat-kamit merapal mantera. Sedangkan matanya terpejam rapat. Semakin keras tekanan telapak tangannya, semakin banyak asap yang mengepul.

"Aaakh..."

Truna makin keras menjerit. Keringat sebesar biji jagung yang bercampur darah tersembul dari wajahnya yang pucat. Begitu juga dengan Dewi Bunga Iblis. Keringat tampak membanjiri seluruh tubuhnya. Lama kejadian itu berlangsung. Pada akhirnya, dengan napas terengah perempuan tua itu berhenti. Dan ketika tangannya diangkat, bekas pukulan yang menghitam di dada Truna telah hilang.

Dewi Bunga Iblis terhuyung meninggalkan tempat itu. Dia harus melakukan semadi untuk memulihkan tenaga dalamnya yang telah dikuras untuk menyembuhkan luka akibat pukulan maut 'Seribu Guntur'. Pemuda yang tadi menjerit-jerit kesakitan dengan tubuh bergelinjangan, kini terdiam. Rupanya dia tertidur pulas. Napasnya yang tadi tersengal-sengal, kini terdengar agak teratur.

***

 "Uhhh..." Terdengar keluhan lirih dari mulut Truna. Bibirnya meringis, merasakan sakit yang masih mendera wajahnya.

Dari dalam sebuah kamar, Dewi Bunga Iblis melangkah terbungkuk-bungkuk. Wajahnya yang semula letih, kini telah kembali seperti semula. Malah langsung berbinar manakala melihat pemuda yang ditolongnya nampak menggeliat sadar.

"Hik hik hik... Akhirnya kau sadar juga," kata Dewi Bunga Iblis sambil menghampiri tubuh Truna yang masih terbaring di atas pembaringan batu.

"Di mana aku...?" tanya Truna setengah bergumam sambil memandang ke sekelilingnya. Kemudian matanya tertuju ke sosok tua renta, bungkuk, dan agak menyeramkan.

"Siapa kau? Apakah aku di nera-ka...?" Dewi Bunga Iblis terkikik mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh anak muda itu. Kepalanya mengangguk-angguk, sedang matanya menyipit memandang Truna.

"Kau memang ada di neraka. Hik hik hik... Kita memang ada di neraka, Anak Muda. Namun sebentar lagi kau akan ke surga. Hik hik hik,.." Tubuh Truna terlonjak mendengar jawaban perempuan tua itu. Dia hendak bangun, tapi cepat dicegah Dewi Bunga Iblis.

"Jangan bangun dulu, Anak Muda. Kau masih lemah. Hik hik hik... Tenanglah, kau aman di sini," kata Dewi Bunga Iblis sambil menekankan jari-jarinya ke dada si pemuda.

"Siapa kau, Nek?" 

"Aku...? Orang-orang menyebutku Dewi Bunga Iblis. Hik hik hik... Dan siapa kau, Anak muda...?" balik tanya perempuan tua itu. Matanya yang menyipit memandangi wajah Truna yang dikotori darah.

"Dewi Bunga Iblis..." sentak Truna mendengar nama wanita tua itu. 

"Tidakkah aku benar-benar di alam kematian? Bukankah menurut kabar kau telah mati?" Dewi Bunga Iblis tertawa mendengar pertanyaan tadi. Dan karena terlalu kuatnya tertawa, tubuh bungkuknya sampai terguncang-guncang.

"Hik hik hik... Itu omong kosong Aku memang sengaja menghilang dari rimba persilatan. Tapi setelah melihatmu, hatiku tertarik untuk kembali. Aku juga ingin tahu desas-desus yang telah kudengar...," celo-tehnya. 

"Jadi...." 

"Ya Aku akan kembali ke rimba persilatan untuk membuktikan desas-desus tentang Pendekar Gila dari Gua Setan. Hik hik hik... Kalau dulu aku pernah di-pecundangi, tapi kini tak akan lagi Hik hik hik..." 

"Benar apa yang kau katakan, Nek," tukas Truna cepat 

"Pendekar Gila memang muncul kembali. Ta-pi...." 

"Tapi apa...?" potong Dewi Bunga Iblis.

"Dia masih muda." 

"Ah...?" Mata Dewi Bunga Iblis membelalak, memandang tajam pada pemuda di hadapannya. Sepertinya dia tidak percaya mendengar penuturan pemuda itu.

"Apakah kau tak bercanda, Bocah?" 

"Sama sekali tidak, Nek. Bahkan aku tadi sempat bertarung dengannya," jawab pemuda berwajah pucat itu, meyakinkan.

Dewi Bunga Iblis mengangguk-angguk mengerti. Lama dia tercenung setelah mendengar penuturan pemuda itu. Keningnya berkerut, seperti tengah memikirkan kebenaran penuturan Truna.

"Hm, rupanya rimba persilatan telah banyak berubah. Hik hik hik... Aku semakin tertarik. Hm, tapi biarlah dulu. Kau harus ku didik dahulu, sebelum kembali ke luar. Dengar baik-baik, Anak Muda. Sejak saat ini, kau kuangkat sebagai muridku" 

Truna mengeryitkan dahi. Alisnya bertaut rapat. Dia tak percaya pada perkataan yang baru saja didengarnya. Menjadi murid Dewi Bunga Iblis, tokoh tingkat atas golongan sesat? 

"Apa..., apakah aku tidak salah dengar. Nek?" tanyanya ragu.

Dewi Bunga Iblis menggeleng mantap, seraya menyunggingkan senyumnya yang tampak seperti sebuah seringai.

"Oh, terima kasih, Nek. Aku sungguh senang menjadi muridmu," ucap Truna seraya bangkit dan hendak berlutut, namun perempuan tua itu mencegahnya. 

"Sudahlah, tak perlu berlaku begitu. Kau harus sabar di Jurang Neraka ini selama empat puluh hari untuk melakukan latihan ilmu yang akan aku wariskan padamu. Ilmu itu bernama 'Kumbang Hitam Menyengat Bunga'," ucap Dewi Bunga iblis dengan getar bangga pada suaranya.

"Terima kasih, Guru...." 

Sejak saat itu, Truna resmi menjadi murid tunggal Dewi Bunga Iblis. Seorang tokoh sesat yang pernah malang-melintang di rimba persilatan puluhan tahun silam, tanpa ada yang mampu mengalahkannya, kecuali Pendekar Gila dari Gua Setan. Dan sejak dipecundangi pendekar aneh tersebut, dia memutuskan untuk meninggalkan rimba persilatan.

***

Sore itu di Padepokan Cakra Geni nampak duduk tiga orang di ruang utama. Dua lelaki dan seorang wanita muda nan cantik. Ketiganya adalah Ki Wirapati, Pendekar Gila, dan Suciati. Sore itu mereka tengah berbincang-bincang, membicarakan rencana mereka masing-masing.

"Biarlah Tuan Putri tinggal bersamaku," kata Ki Wirapati menyarankan. 

"Anggaplah aku yang bodoh dan tak berguna ini sebagai ayahmu." 

"Terima kasih, Ki," sahut Suciati. 

"Sungguh aku tak bisa membalas jasa baikmu ini. Dalam keadaan terkatung-katung sebarang kara, ternyata masih ada yang sudi memperhatikan ku." 

"Sudahlah, tak ada yang perlu disedihkan. Kini anggaplah semua kejadian menyakitkan yang menimpamu sebagai mimpi buruk. Saat kau terbangun, akulah ayahmu. Bukan Kanjeng Adipati," tutur Ki Wirapati penuh ketulusan. Lalu dia mengalihkan pertanyaan pada Pendekar Gila yang duduk di hadapannya. 

"Bagaimana menurutmu, Sena?" Bibir Sena nyengir ditanya begitu. Tangannya menggaruk-garuk kepala.

"Ah, aku sungguh bahagia mendengarnya. Memang sepantasnya Tuan Putri menerima tawaran Ki Wirapati." 

"Terima kasih atas pendapatmu, Sena. Lalu kalau boleh ku tahu, hendak ke mana tujuanmu...?" tanya Ki Wirapati setelah menjura hormat Sena tidak langsung menjawab pertanyaan orang nomor satu di Padepokan Cakra Geni itu. Wajahnya ditengadahkan, seperti tengah memikirkan sesuatu. 

"Entahlah, aku tak tahu harus ke mana. Aku hanya mengikuti ke mana kakiku melangkah. Namun, sebenarnya aku hendak mencari paman ku. Dia satusatunya keluarga ayahku yang masih hidup. Tapi entah di mana dia kini," gumam Sena.

Ki Wirapati terdiam, tampak terharu mendengar penuturan pendekar muda itu.

"Apakah tidak sebaiknya kau menginap beberapa hari di padepokan ini?" tanyanya kemudian.

"Oh, terima kasih," kata Sena. 

"Sungguh senang aku mendengar tawaranmu, Ki. Tapi aku tidak bisa tinggal lama. Masih banyak yang harus kulakukan untuk menyelami kehidupan yang beragam ini." 

Ki Wirapati mengangguk-angguk mengerti. Dihelanya napas panjang sebelum kembali berkata, "Kalau begitu, aku tak dapat memaksa. Dunia ini memang masih memerlukanmu, Sena. Aku hanya bisa berdoa, semoga kita dapat bertemu lagi" 

"Aku pun berharap begitu," sahut Sena. "Izin-kanlah aku pamit" 

"Baiklah. Semoga kau selalu dilindungi Hyang Widhi," ucap Ki Wirapati seraya bangun dari duduk-nya, diikuti oleh Suciati.

"Kuucapkan terima kasih atas semuanya, Ki," tutur Sena, kemudian matanya memandang Suciati yang tertunduk. "Semoga Tuan Putri betah di sini.

Anggaplah Ki Wirapati ayahanda Tuan Putri sendiri. Ki, aku pamit untuk melanjutkan pengembaraanku mencari paman ku dan mempelajari kehidupan." 

"Ku iringi dengan doa," kata Ki Wirapati sambil menjura, membalas bungkukan Sena. Kemudian Ki Wirapati dan Suciati melangkah di belakang Sena, mengiringi kepergiannya.

Sampai di pintu gerbang padepokan, Sena menghentikan langkahnya. Tubuhnya dlbalikkan, lalu memandang Ki Wirapati yang berdiri di sisi Suciati.

"Sekali lagi, kuucapkan terima kasih, Ki. Dan untuk Tuan Putri, saya berharap agar dapat menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Aku mohon pamit," kata Sena seraya kembali menjura.

"Jangan sungkan-sungkan bertandang ke sini, Sena. Pintu padepokan senantiasa terbuka untukmu," ucap Ki Wirapati lirih.

"Aku akan bertandang, Ki," janji Sena.

Lalu, pendekar muda itu berkelebat dengan cepat. Dalam sekejap tubuhnya menghilang ditelan keremangan senja. Sedangkan Ki Wirapati dan Suciati masih tertegun menyaksikan bagaimana pemuda itu berkelebat sangat cepat.

"Sungguh-sungguh pewaris ilmu Si Gila," bisik Ki Wirapati perlahan. "Mari kita masuk...." Kemudian tanpa banyak bicara, Suciati segera mengikuti langkah ayah angkatnya. Mereka masuk ke padepokan, di mana puluhan muridnya tengah melakukan latihan.

***

ENAM

Empat puluh hari telah berlalu sejak kejadian di Jurang Neraka. Selama itu, Kadipaten Tegal Arang kembali tenang. Tak ada perkosaan atau gadis yang mati setelah diperkosa.

Penduduk kadipaten kini merasa yakin kalau pelaku pemerkosaan dan pembunuhan para gadis adalah pemuda berwajah pucat itu. Terbukti setelah pemuda itu hilang, kejadian-kejadian seperti dulu tak ada lagi.

Hari menjelang malam. Suasana di Perguruan Cakar Sewu yang dipimpin oleh Ki Yaksa Asti nampak sepi. Semua penghuni perguruan tengah beristirahat setelah seharian melakukan kegiatan.

Di ruangan besar, tempat yang biasa digunakan untuk mengadakan pertemuan, nampak Ki Yaksa Asti duduk di atas kursinya. Di hadapannya bersila dua orang murid utama. Dua pemuda berpakaian rompi loreng dengan tubuh kekar yang menandakan keduanya selama ini melakukan latihan keras, duduk dengan muka tertunduk.

"Wilapati Dan kau, Wilayuda," panggil Ki Yaksa Asti pada kedua murid utamanya.

"Saya, Guru...," jawab keduanya seraya menjura. Ki Yaksa Asti menghela napas pelan. Matanya memandang ke pintu ruangan yang masih terbuka. Tatapannya kosong, seakan memendam perasaan. Setelah beberapa saat memaku pandangan ke arah pintu, pandangannya dialihkan ke arah dua murid utamanya.

"Wilapati dan Wilayuda, ketahuilah oleh kalian berdua. Aku sudah tua. Sepertinya aku harus segera melimpahkan tanggung jawab perguruan ini pada kalian...." 

Belum juga usai Ki Yaksa Asti, tiba-tiba terdengar tawa menggelegar dari luar. Tawa itu begitu dahsyat, mampu menggetarkan dada ketiga orang yang berada di ruang pertemuan.

"Ha ha ha... Kalau kau memang sudah tak sanggup lagi memimpin Perguruan Cakar Sewu, lebih baik kau mampus saja..." 

Ki Yaksa Asti dan kedua muridnya tersentak mendengar suara lancang itu. Ketiganya seketika berdiri dengan mata mengawasi arah datangnya suara tadi.

"Kurang ajar Cecunguk manakah yang berani lancang berkoar di hadapan guru kami?" bentak Wilapati, tak bisa mengendalikan gejolak kegusarannya.

Usai berkata demikian, Wilapati melesat keluar diikuti Wilayuda dan sang Guru. Mereka berhenti di halaman perguruan. Mata mereka menatap geram pada dua orang yang sudah berdiri di halaman perguruan. Tampak seorang lelaki kurus dengan tubuh terbalut kain hitam dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Hanya matanya saja yang terlihat. Rupanya lelaki tinggi kurus terbungkus kain hitam itu yang tadi melontarkan ucapan yang dianggap lancang oleh ketiga orang Perguruan Cakar Sewu.

Seorang lagi adalah perempuan tua berbadan agak bungkuk. Pakaian yang dikenakannya juga hitam. Matanya liar dan bengis. Dan ketika terkekeh, nampak giginya yang tinggal beberapa biji.

"Siapa kalian?" bentak Wilapati.

Lelaki berpakaian serba hitam itu tertawa. Begitu juga si nenek Tawa mereka sangat menggetarkan hati yang mendengarnya. Terlebih tawa lelaki terbalut kain hitam yang sekuat halilintar. Kalau saja ketiga orang itu tak memiliki tenaga dalam tinggi, tentu mereka sudah mati.

"Hei Apakah kalian orang-orang gila yang tersasar ke sini? Kalau benar, pergilah Jangan sampai kami mengusirmu" bentak Wilayuda agak geram melihat kedua orang itu yang seakan meremehkan gurunya. 

"Hik hik hik.." si nenek tertawa. "Mulutmu lancang, Bocah Begitukah cara kalian menyambut tamu? Sungguh memalukan Perguruan Cakar Sewu yang katanya ramah, ternyata hanya bualan kosong belaka" 

Wajah Ki Yaksa Asti merah padam mendengar ucapan nenek itu. Matanya melotot, memandang penuh kemarahan pada kedua tamu yang tak diundang itu. Kemudian tangan kanannya digerakkan, memberi isyarat pada kedua murid utamanya untuk mundur.

"Maafkan atas kelancangan kedua muridku, Nyi. Kalau boleh ku tahu, siapa kalian? Dan ada perlu apa kalian datang ke tempatku?" tanya Ki Yaksa Asti, berusaha menghormati kedua tamunya.

Perempuan tua dan lelaki terbalut kain hitam itu tertawa bergelak "Kaukah Yaksa Asti atau si Cakar Seribu?" tanya si nenek 

"Benar. Akulah orangnya," sahut Ki Yaksa Asti setenang mungkin, berusaha menekan kemarahan menyaksikan tingkah kedua tamu tak diundang itu.

"Hm, bagus Ketahuilah, aku Dewi Bunga Iblis dari Jurang Neraka. Dan muridku ini adalah orang yang kalian keroyok di tepi Jurang Neraka" tutur Dewi Bunga Iblis, membuat wajah Ki Yaksa Asti menegang.

Pandangannya kini tertuju pada lelaki terbalut kain hitam.

"Kau...?" desis Ki Yaksa Asti tak percaya.

Lelaki terbalut kain hitam itu tergelak kemudian matanya menghunjam tajam pada Ki Yaksa Asti.

"Ya, aku.... Rupanya aku masih diberi umur panjang untuk melakukan perhitungan denganmu.

Sekaligus mencabut nyawa tuamu, Yaksa Asti..." jawab lelaki yang tak lain Truna, seraya tertawa penuh kepongahan.

"Bukan hanya mencabut nyawa tuamu, Yaksa Asti Kami datang untuk mencabut nyawa keempat temanmu juga, termasuk Pendekar Gila..." sambung Dewi Bunga Iblis.

Seketika telinga ketiga orang Perguruan Cakar Sewu menjadi panas mendengar ucapan sombong yang dilontarkan guru dan murid dari aliran sesat itu. Mata mereka semakin menatap tajam. Gigi Ki Yaksa Asti malah bergemeretuk, menahan kekalapan yang hendak menerobos ubun-ubunnya.

"Sombong Meski nama Dewi Bunga Iblis pernah menggemparkan rimba persilatan puluhan tahun silam, namun kami dari Perguruan Cakar Sewu tak gentar Kalianlah yang harus minggat ke neraka" geram Wilapati. Tampaknya dia hendak segera menyerang, namun dengan cepat Ki Yaksa Asti mencegahnya dengan merentangkan tangan.

"Jangan gebabah, Muridku. Menghadapi orangorang seperti ini, kita harus hati-hati," cegah Ki Yaksa Asti sambil melangkah setindak ke muka.

 "Dewi Bunga Iblis, antara aku dan kau tak ada silang sengketa. Mengapa kau tiba-tiba hendak mencampuri urusan? Aku hanya ada silang sengketa dengan pemuda durjana di sampingmu." 

"Ah, dia tak ada bedanya. Dia adalah muridku. Maka aku pun berhak membelanya." 

Ki Yaksa Asti terdiam. Dihelanya napas panjang-panjang. Dia tidak takut menghadapi nenek sakti itu, meski nama Dewi Bunga Iblis telah didengarnya.

“Bagaimana nenek sakti itu malang melintang di rimba persilatan tanpa tanding pada masanya, dan hanya pernah kalah ketika menantang Pendekar Gila dari Gua Setan. Tapi, apakah aku sanggup menghadapinya? Sungguh berbahaya bagi rimba persilatan jika tokoh sesat seperti Dewi Bunga Iblis kembali turun.” 

Desis Ki Yaksa Asti dalam hati. Tak dapat dibayangkan, bagaimana rimba persilatan nantinya.

"Bagaimana, Yaksa Asti. Kau siap menemui ajal?" tanya Truna. Suaranya bernada sinis, mencermin-kan kesombongan dan keangkuhan.

Ki Yaksa Asti mendengus gusar. Namun masih berusaha tenang.

"Untuk kebenaran dan keadilan di rimba persilatan, apa pun akan kuhadapi" 

"Bagus Berarti kau memang ingin mampus" dengus Dewi Bunga Iblis tegas.

"Bersiaplah untuk mampus, Yaksa Asti" sambung Truna sombong.

Disertai gelak tawa yang menggelegar, lelaki terbalut kain hitam itu seketika melakukan serangan ke arah Ki Yaksa Asti.

"Heaaat.." Sementara itu, seluruh murid Perguruan Cakar Sewu keluar ketika mendengar keributan. Mereka berkumpul dalam barisan yang tak teratur, karena tak menyangka kejadian seperti itu akan terjadi.

***

Melihat lawannya telah membuka serangan, Ki Yaksa Asti dan kedua muridnya tak mau tinggal diam. Disertai pekikan keras menyaingi kerasnya teriakan Truna, ketiganya siap meladeni serangan lawan. Ki Yaksa Asti menghadang lelaki terbalut kain hitam. Sedangkan kedua murid utamanya menghadapi Dewi Bunga Iblis.

"Heaaa..." 

"Ciaaat.." 

Dengan mengeluarkan jurus 'Cakar Sewu' guru dan kedua muridnya itu melakukan serangan, tangan mereka membentuk cakar yang kuat dan keras dan bergerak cepat. Tangan kanan dan kiri mereka bergantian mencakar dengan jari-jari mengeras laksana baja. Kaki mereka pun turut bergerak cepat, dan saling menyilang setiap melangkah dengan lutut sedikit ditekuk 

"Heaaat.." 

Ki Yaksa Asti yang hanya memiliki sebelah lengan, nampaknya tetap mampu melancarkan jurusjurus yang keras dan cepat. Tangan kanannya yang terbuat dari logam, mencakar ke arah lawan. Pertama ke arah wajah, membuat lawan mendongak. Menyusul ke arah dada, lalu ke selangkangan. Gerakan itu dilakukan bertubi-tubi.

Truna yang terbalut kain hitam tergelak, meremehkan serangan yang dilancarkan lawannya. Bahkan dengan berkelit, dia berkata sombong, "Tak adakah serangan yang lebih mematikan dari ini, Orang Tua?"

"Bedebah jangan pongah dulu, Iblis Hiaaat.." Kemarahan Ki Yaksa Asti semakin menjadi-jadi, karena merasa diremehkan oleh Truna. Dia tahu kalau pemuda yang pernah tinggal di padepokannya untuk beberapa lama, memang telah menyerap ilmu silatnya.

Namun, begitu, dia tidak yakin kalau semua ilmunya telah diserap. Masih ada jurus-jurus andalan yang belum diketahui Truna. Dan jurus-jurus itulah yang akan digunakannya untuk menghadapi pemuda pongah itu. 

"Lebih baik kau istirahat di alam baka, ketimbang membuang-buang tenaga, Tua Bangka" ejek Tru-na, seraya menggeser kaki ke samping. Tubuhnya dimiringkan agak ke belakang untuk mengelitkan serangan lawan. Kemudian tangan kanannya bergerak memukul. Serangan balik dari lelaki terbalut kain hitam itu begitu cepat dan keras. Kalau mengena, remuklah muka Ki Yaksa Asti.

Ki Yaksa Asti tersentak kaget. Sama sekali tidak diduganya akan mendapat serangan balasan yang cepat dan keras. Segera tangan kanannya ditarik, kemudian sambil melompat mundur kakinya menyabet. Tubuh bagian atas dilenturkan ke kiri untuk mengelitkan pukulan lawan. Tangan kanan menyiku ke atas, berusaha menangkis serangan lawan.

"Heaaa..." 

"Hm, rupanya kau masih punya simpanan, Orang Tua Tapi percuma saja Kau tak akan mampu menghadapi jurusku yang ini" Usai berkata demikian, Truna melompat ke belakang. Kemudian dengan mendengus dia menyerang kembali. Tangannya mengembang, bagai sebuah sayap. Tapi anehnya kembangan tangannya tidak seperti biasa. Kedua tangannya yang mengembang, kini berada lurus di depan dada. Kemudian diangkat ke atas, lalu diputar ke dalam dan kembali seperti semu-la.

Gerakan jurus yang dilakukan oleh Truna kelihatan aneh. Bertentangan dengan jurus kembangan sayap yang biasa dilakukannya. Hal itu membuat Ki Yaksa Asti yang telah banyak makan asam garam kehidupan tidak mau gegabah. Orang tua ini langsung maklum kalau itu adalah sebuah jurus baru di rimba persilatan. Tentunya diciptakan oleh Dewi Bunga Iblis.

"Yeaaat.." 

Melihat lawan masih mematung dengan mata memperhatikan gerakannya, Truna kembali menyerang disertai pekikan keras. Tangannya bergerak kaku, namun menggambarkan kekuatannya yang penuh. Sepasang tangan lelaki itu membuat sebuah gerakan yang berlawanan. Pertama lurus ke muka, kemudian membuka ke samping. Selanjutnya memutar dan membentuk perisai, diteruskan dengan tangan kanan memukul.

Gerakan kedua kakinya pun tampak kaku. Merentang lebar-lebar bagai hendak melompat, kemudian disilangkan begitu rupa dengan satu kaki agak menekuk. Lalu dilanjutkan dengan tendangan ke arah perut. 

"Hiaaat.." 

Ki Yaksa Asti dengan cepat melempar tubuh ke samping, manakala serangan lawan tiba-tiba meluruk ke arahnya. Sambil melompat, tangan kanannya kembali mencakar ke arah lawan. Sedangkan kaki kanannya menendang. Namun Ki Yaksa Asti seketika tersentak kaget mengetahui serangan yang baru saja dilancarkan lawan ternyata merupakan serangan pancingan. Sedangkan serangan yang sebenarnya dilakukan ketika Ki Yaksa Asti berkelit Sebuah tendangan kaki kanan lawan tak mampu dielakkan lagi oleh Ki Yaksa Asti. Hingga tanpa ampun lagi...

Degkh "Ukhhh..."

Ki Yaksa Asti mengeluh tertahan, tubuhnya terlontar ke belakang tiga tindak.

"Hoeeekh..." 

Darah menyembur dari mulut Ketua Perguruan Cakar Sewu itu. Matanya berkaca-kaca, menahan rasa sakit yang mendera dada. Dipandanginya penuh kebencian lelaki berbalut kain hitam yang tertawa senang. 

"Guru..." pekik kedua murid utama Perguruan Cakar Sewu, saat menyaksikan gurunya luka dalam.

Hingga perhatian keduanya kini tercurah pada sang Guru. Melihat kedua lawan yang mengeroyok kini dalam keadaan tak siap, Dewi Bunga Iblis tak mau membuang kesempatan baik itu. Dengan mengerahkan tenaga penuh, perempuan tua itu melancarkan serangan.

"Mampuslah kalian Heaaat.." 

"Wilapati, Wilayuda Awas..." pekik Ki Yaksa Asti berusaha memperingatkan kedua murid utamanya. Namun seruan Ketua Perguruan Cakar Sewu itu terlambat Wilapati memang dapat lepas dari serangan maut itu dengan membuang tubuhnya ke samping tiga langkah. Tapi Wilayuda yang tak siap, harus menerima serangan itu.

Degk "Hugkh... Kau..." 

Wilayuda terhuyung ke belakang dengan tangan menekap dadanya yang terasa sesak dan sakit. Dari mulutnya meleleh darah segar. Matanya nanar bersama kemarahannya yang meledak.

"Licik Kau..., kau licik Kubunuh kau...Heaaat.." 

Dengan sisa-sisa tenaganya, Wilayuda berusaha menyerang lawan. Namun belum juga sampai, Dewi Bunga Iblis telah mendahuluinya dengan satu pukulan maut yang dinamakan 'Bunga Kematian Menebar Racun'. 

"Yeaaat.." 

"Wilayuda, awas..." pekik Wilapati, mencoba mengingatkan adik seperguruannya. Tapi terlambat, pukulan maut itu telah lebih dahulu menghantam tubuh Wilayuda.

Degk "Aaa..." 

Jeritan menyayat terdengar dari mulut Wilayuda. Matanya melotot. Tubuhnya meregang, kemudian ambruk tanpa nyawa lagi. Melihat adik seperguruannya mati dan gurunya terluka dalam, Wilapati jadi mata gelap. Didahului sebuah pekikan menggelegar, Wilapati menyerang nenek sakti itu.

"Kubunuh kau, Iblis"

Dewi Bunga Iblis tidak gentar melihat lawan yang menyerang dengan membabi buta. Bahkan dengan tertawa mengikik wanita tua itu dengan enteng mengelitkan serangan lawan. Tubuhnya digeser ke samping, hingga serangan lawan meleset di sampingnya. 

Dan ketika tubuh lawan meluruk, secepat kilat tangan wanita tua itu memukul dari bawah. Wilapati yang tengah merunduk, tak mampu lagi mengelakkan pukulan yang mendarat telak di dadanya. Kemudian disusul sebuah hantaman lutut yang tak kalah kerasnya.

 Krak "Aaakh..." 

Wilapati menjerit kesakitan. Tubuhnya yang tadi terdongak kini terhuyung-huyung ke belakang. Dari mulutnya menyembur darah segar. Matanya melotot, membara penuh kemarahan.

"Kau..., kau Aaa..." Tubuh Wilapati ambruk tanpa nyawa dengan tulang iga patah. Sedangkan Dewi Bunga Iblis tertawa terkekeh-kekeh. Kini perhatiannya tertuju pada pertarungan antara muridnya dengan Ki Yaksa Asti.

"Serang terus, Kumbang Hitam Kita harus secepatnya membereskan dia, karena sebentar lagi pagi..." seru Dewi Bunga Iblis memberi semangat sekaligus peringatan pada muridnya.

Serangan sang Murid semakin bertambah gencar. Ditambah dengan luka dalam yang diderita, semakin membuat Ki Yaksa Asti terdesak hebat. Hingga pada suatu kesempatan, sebuah pukulan 'Kumbang Menyengat' mendarat telak di dada Ki Yaksa Asti Degk "Hugkh..." Ki Yaksa Asti terhuyung dengan mata melotot.

Mulutnya kembali mengeluarkan darah. Sementara itu, murid-murid Perguruan Cakar Sewu yang sejak tadi hanya menyaksikan, segera memekik bergemuruh. Mereka segera menyerang dua tamu tak diundang itu setelah melihat gurunya terluka dalam. 

"Seraaang..." 

"Jangan..." tahan Ki Yaksa Asti, khawatir akan jatuh korban lebih banyak. Tapi murid-muridnya telah telanjur menyerang.

Pertarungan kembali berkobar. Meskipun dengan jumlah banyak, tapi ilmu mereka belum seberapa dibandingkan dengan ilmu kedua penyerangnya. Dalam waktu singkat, korban semakin banyak berjatuhan. Sampai akhirnya, mereka tertumpas semua. Termasuk Ki Yaksa Asti yang sejak tadi telah menghembuskan napas terakhir.

"Bakar, Kumbang Hitam..." perintah Dewi Bunga Iblis.

Kumbang Hitam dari Neraka segera membakar Perguruan Cakar Sewu, yang penghuninya telah bergeletakan. Nampaknya tak seorang pun yang tersisa. Lalu dengan gelak tawa, guru dan murid itu melesat meninggalkan tempat itu.

***

TUJUH

Kehadiran Kumbang Hitam dari Neraka dan gurunya yang telah membantai Ki Yaksa Asti beserta seluruh muridnya, seketika menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Dengan cepat sepak terjang Kumbang Hitam dari Neraka dan gurunya tidak lagi menjadi rahasia, melainkan telah menjadi pokok pembicaraan setiap orang. 

Baik itu dari dunia persilatan, maupun dari orang-orang kebanyakan yang tahu tentang ilmu silat Kebanyakan dari orang-orang awam, sangat tercekam sekaligus mengutuk perbuatan biadab Kumbang Hitam dari Neraka dan gurunya tersebut. Karena mereka tahu pasti, kalau Ki Yaksa Asti orang baik, pe-negak kebenaran dan keadilan.

Siang itu di sebuah kedai, tampak beberapa orang tengah berbincang-bincang membicarakan perihal kematian Ki Yaksa Asti dan hancurnya Perguruan Cakar Sewu. Seorang pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular masuk.

Kepalanya digaruk-garuk, ketika mendengar pembicaraan pengunjung kedai. Keningnya berkerut, lalu bibirnya nyengir kuda. Pemuda tampan berambut gondrong itu melangkah santai, lalu duduk di dekat orang yang tengah bercakap-cakap.

"Kau tahu apa yang semalam terjadi?" tanya orang pertama berpakaian longgar warna biru tua dengan ikat kepala batik. Dilihat dari pakaian yang dikenakannya, orang itu bukan orang rimba persilatan.

"Ada apa semalam?" tanya temannya, seorang lelaki berbadan tegap dengan kumis tebal. Namun dilihat dari pakaiannya, dia pun bukan orang persilatan.

"Semalam terjadi bencana di Perguruan Cakar Sewu. Ki Yaksa Asti dan seluruh muridnya terbantai menyedihkan. Dada mereka gosong dengan gambar telapak tangan hitam." 

"Siapa yang melakukan perbuatan keji itu?" tanya temannya ingin tahu.

"Kabarnya dua orang. Yang satu seluruh tubuhnya tertutup kain hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia menyebut dirinya Kumbang Hitam.

Sedangkan satunya lagi, seorang wanita tua renta dengan tubuh agak bungkuk. Katanya bernama Dewi Bunga Iblis...," tutur orang yang pertama kali bercerita.

Pendekar Gila mengerutkan kening mendengar penuturan lelaki itu Kumbang Hitam? Dewi Bunga Iblis? Heh, siapa mereka? Dan mengapa mereka menyerang Ki Yaksa Asti? Tanya Sena dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Sena memang tercenung, biarpun wajahnya tetap meringis.

Dicobanya untuk mengingat-ingat siapa Ki Yaksa Asti. Tiba-tiba dari mulutnya keluar desisan keras, "Ah, aku tahu Bukankah Ki Yaksa Asti orang tua yang berlengan satu" Sena tertawa cekikikan dan kembali berkata.

"Eh Apakah aku tidak salah dengar?" Kedua orang yang tengah berbincang-bincang seketika mengalihkan pandangannya pada pemuda tampan berpakaian rompi kulit ular itu. Keduanya mengerutkan kening, terlongong heran melihat tingkah laku pemuda itu.

"Kasihan sekali, pemuda se tampan dia harus gila," bisik salah lelaki berpakaian longgar.

"Hush Jangan sembarangan ngomong Nampaknya dia bukan orang sembarangan. Lihat pakaian dan tubuhnya yang berotot," lelaki bertubuh tegap dan berkumis tebal memperingatkan.

"Maksudmu, dia orang rimba persilatan?" 

"Ya Atau jangan-jangan dia yang disebut orang Pendekar Gila?" gumam lelaki bertubuh tegap mencoba menebak Sena yang tengah dibicarakan tampak tak menggubris pembicaraan kedua orang itu. Dia masih asyik menggaruk-garuk kepala dengan bibir cengarcengir.

 "Wah, bodohnya aku ini.... Kenapa aku tak bertanya?" tanyanya kepada diri sendiri.

Sena lalu melangkah untuk mendekati kedua orang yang tengah berbincang-bincang itu. Dia masih menggaruk-garuk kepala dengan wajah cengar-cengir seperti orang tolol.

"Kisanak kalau boleh ku tahu, apakah yang tadi kalian bicarakan?" tanyanya setelah menjura hormat Kedua orang yang di tanya kembali mengerutkan kening. 

Keduanya memandang lekat-lekat pemuda di depannya. Mereka merasa heran melihat tingkah pemuda tampan itu. Lagaknya seperti orang gila, namun tampaknya mengerti tata krama. Tidak seperti orang gila yang sering mereka lihat Sena yang dipandangi begitu rupa, kembali nyengir kuda. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.

"Kisanak, benarkah Ki Yaksa Asti yang Kisanak maksud bertangan buntung?" tanya Sena lagi, setelah melihat kedua lelaki itu hanya menatapnya.

Semakin tercengang kedua orang itu mendengar pertanyaan yang dilontarkan pemuda bertampang gila di depannya. Dengan masih terheran-heran, salah seorang dari mereka menjawab.

"Benar. Kenapa?" 

"Apakah yang tadi kudengar itu benar? Perguruan Cakar Sewu diobrak-abrik oleh orang?" tanya Se-na tanpa menjawab pertanyaan kedua lelaki itu.

"Benar. Siapakah Kisanak? Ada hubungan apa Kisanak dengan Ki Yaksa Asti dan Perguruan Cakar Sewu?" tanya lelaki berpakaian longgar warna biru penuh selidik. Keningnya masih berkerut, menandakan keheranannya.

"Ah, aku hanya temannya. Kalau memang benar Ki Yaksa Asti mati, siapakah yang membunuhnya?" kembali Sena meminta ketegasan.

"Kami tak tahu pasti, sebab kami bukan orang persilatan. Namun kami mendengar kalau pelakunya dua orang, guru dan murid. Seorang nenek-nenek dan seorang lagi terbungkus kain hitam dari ujung rambut hingga ujung kaki," jelas lelaki berpakaian longgar warna biru.

Alis Sena terpaut. Hatinya bertanya-tanya. Siapa mereka? Dari aliran apa mereka? Setelah menggaruk kepala karena merasa tak mampu menjawab pertanyaan hatinya, Sena kembali bertanya, "Maaf, Kisanak. Siapa nama mereka?"

"Si nenek bernama Dewi Bunga Iblis. Sedangkan yang lelaki terbungkus kain serba hitam menamakan dirinya Kumbang Hitam. Keduanya dari Jurang Neraka," urai orang itu lagi, membuat Sena nyengir sambil garuk-garuk kepala.

"Terima kasih atas pemberitahuan mu. Permisi..." ujar Sena sambil menjura hormat Kemudian, pemuda itu berkelebat cepat meninggalkan kedai. Gerakannya sangat luar biasa, hing-ga kedua orang itu bengong dengan mata melotot.

"Gila Ilmu apakah yang digunakannya?" 

"Mungkinkah pemuda itu Pendekar Gila dari Gua Setan?" 

"Ya Ilmunya sungguh hebat Dalam sekejap dia telah menghilang," sambung lelaki bertubuh kekar dan berkumis lebat Kedua orang itu masih terkesima. Bahkan orang-orang di dalam kedai pun turut terpaku menyaksikan kecepatan gerak pemuda tadi. Kedai yang semula tenang, kini riuh oleh pembicaraan tentang pemuda bertampang gila itu.

"Siapakah pemuda gila tadi? Ilmunya sangat tinggi," tanya pemilik kedai.

"Ya, ilmunya sangat tinggi Hingga dalam sekejap dia telah menghilang," sambung orang yang duduk di sudut kedai.

"Mungkinkah dia yang disebut Pendekar Gila dari Gua Setan," lelaki berbaju merah menyahuti.

"Pendekar Gila dari Gua Setan?" pekik yang lain dengan mata membelalak kaget mendengar julukan pemuda aneh itu.

"Mungkin Bukankah tingkahnya memang seperti orang gila?" timpal yang lain.

"Syukurlah kalau pendekar itu masih ada. Semoga sepak terjang Kumbang Hitam dan Dewi Bunga Iblis dapat dihentikan," harap orang-orang di kedai yang pada umumnya tidak menyukai kejahatan.

***

Orang yang menjadi pembicaraan di kedai, seat itu telah sampai di tempat yang dituju. Sena mematung di dekat puing-puing bangunan Perguruan Cakar Sewu. Hanya papan namanya saja yang tampak masih utuh. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan kening berkerut. Tatapan matanya kosong. Beberapa kali pemuda itu menghela napas panjang. Lalu dari mulutnya terdengar gumaman lirih.

"Ah, mengapa kejahatan seperti susulmenyusul? Belum usai yang satu, datang yang lain.

Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya apa yang telah terjadi?" keluhnya lirih. Kemudian, perlahan kakinya melangkah memasuki pintu gerbang Perguruan Cakar Sewu yang telah hancur. Pendekar Gila mematung di dekat puing-puing bangunan Perguruan Cakar Sewu. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan kening berkerut. Tatapan matanya kosong.

"Ah, mengapa kejahatan seperti susulmenyusul? Hyang Jagat Dewa Batara, sesungguhnya apa yang telah terjadi?" keluhnya lirih.

Angin siang berhembus semilir, menerbangkan debu-debu dan mengusik rumput kering. Pemuda itu terus melangkah masuk. Dia tertegun dengan mata memandang ke satu tumpukan puing bangunan perguruan. Saat Sena merenungkan nasib Ki Yaksa Asti, tiba-tiba telinganya menangkap desiran angin dari belakang. Cepat-cepat tubuhnya dibalikkan ke belakang. Betapa terkejutnya dia ketika melihat sebilah belati melesat cepat ke arahnya.

Swing "Heaaa..." 

Sena melempar tubuh ke samping, mengelakkan serangan gelap itu. Dia berhasil. Pisau itu terus meluncur dan akhirnya menancap di sebatang pohon. Jlep Sena menggaruk-garuk kepala dengan mulut nyengir. Keningnya berkerut ketika melihat di gagang pisau itu terdapat selembar daun lontar. Sepertinya sebuah surat "Licik" maki Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Pandangannya diedarkan ke segenap penjuru. 

Namun, dia tidak melihat seorang pun. "Hm, rupanya orang itu berilmu tinggi. Tentunya ada maksud terten-tu pada diriku." Setelah yakin kalau di sekitarnya sudah tidak ada orang lain, Sena kemudian menghampiri pohon yang tertancap pisau bersurat itu. Diamatinya pisau itu dengan seksama. Bibir pemuda itu nyengir, sedangkan tangannya menepuk kening.

"Ah, hanya sebilah pisau biasa," gumamnya.

Lalu dicabutnya pisau itu dari pohon. Kembali diamatinya benda itu. Sebilah pisau kecil yang sangat tajam. Dan ketika tangannya memegang mata pisau, tiba-tiba benda itu mengeluarkan asap berwarna ungu kemerahan.

"Racun...," bisik Sena masih tersenyum-senyum.

Pendekar Gila memang tidak takut terhadap racun. Karena tubuh telah kebal terhadap segala macam racun, akibat Racun Kabut Ungu yang dihisapnya di Gua Setan. Tanpa sepengetahuannya, orang yang bersembunyi di balik bukit cadas terbelalak menyaksikan apa yang terjadi. Pemuda yang bertingkah seperti orang gi-la itu ternyata tak apa-apa. Padahal racun yang dioleskan pada mata pisau bukan racun sembarangan.

Bahkan lebih ganas dari bisa ular laut sekalipun "Hah...? Tidak salahkah penglihatanku?" Tanpa sadar mulut orang itu memekik hingga membuat Pendekar Gila yang semula menyangka tak ada orang, kini terkejut. Tubuhnya langsung berbalik, untuk menemukan asal suara tadi.

"Licik Keluarlah kau dari persembunyianmu" seru Pendekar Gila setengah membentak. Kemudian tangannya bergerak memutar. Dan dengan mengerahkan tenaga dalam, telapak tangannya diarahkan ke bukit cadas, tempat asal suara itu Selarik pukulan menderu keluar dari telapak tangannya. Itulah pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.

Orang yang bersembunyi di balik batu cadas terkesiap. Dia hendak lari, namun pukulan jarak jauh yang dilancarkan pemuda bertampang gila itu lebih cepat menghantam bukit cadas tempatnya bersembunyi Glarrr "Aaa..." pekik orang itu. Tubuhnya terlontar ke atas, lalu jatuh dengan suara berdebum disertai erangan. Pendekar Gila segera memburu ke arah orang yang kini menggeliat-geliat kesakitan. Tangannya memegangi pinggang yang terasa patah. Pendekar Gila tergelak-gelak, menggaruk-garuk kepala, serta menggeleng-gelengkannya.

"Ha ha ha... Mengapa kau main lompatlompatan Bukankah jatuhnya sakit?" ledeknya sambil terus terbahak-bahak. Tingkah gila pendekar muda itu kumat lagi. Sementara tangan kanannya menggaruk-garuk kepala, tangan kirinya menepuk-nepuk pantat.

Tubuhnya berjingkrak-jingkrak bagai seekor kera kegi-rangan. Lelaki bercelana hitam sebatas lutut dan berte-lanjang dada itu masih mengerang-erang kesakitan. Bibirnya meringis, sekan-akan hendak menangis. Pendekar Gila makin tergelak-gelak. Tingkah gilanya pun makin menjadi-jadi.

"He he he... Lucu sekali kau, Sobat. Tadi kau main sembunyi-sembunyian denganku. Tapi, mengapa sekarang malah bermain lompat-lompatan?" celoteh Sena seenaknya, membuat orang bertampang galak itu mendelikkan mata.

Melihat orang itu melotot ke arahnya, timbul niat iseng Sena untuk mempermainkan orang itu. Lalu dengan menggoda kembali dia berkata, "Sobat, rupanya kau belum puas melompat.

Baiklah, aku akan membantumu main lompatlompatan." Usai berkata begitu, Pendekar Gila menghentakkan kakinya dengan tenaga dalam ke tanah di dekat tubuh lelaki itu. Tubuh orang itu seketika mencelat tinggi, disertai jeritan ketakutan.

"Tolong... Ampun Jangan...," ratapnya memo-hon, ketika tubuhnya menukik ke bawah. Sementara Pendekar Gila masih tertawa riuh rendah dengan tangan menggaruk-garuk kepala.

"Ha ha ha... Lucu-lucu sekali kau, Sobat" seru Sena "Eh, eh.... Aduh Tolonglah aku...," ratap orang itu ketakutan ketika tubuhnya semakin dekat ke tanah. Sudah terbayang di benaknya, bagaimana tubuhnya akan remuk jika membentur batu-batu cadas.

"Ha ha ha... Kau semakin menyenangkan, Sobat Baiklah, aku akan membantumu." Pendekar Gila lalu menggerakkan tangan kirinya sedemikian rupa. Dan dari telapak tangan itu, berhembus serangkum angin yang menahan tubuh orang itu. Perlahan-lahan tubuh orang itu diturunkan, namun tak urung menimbulkan, suara berdebum disertai erangan kesakitan.

"Aduh.... Pinggangku patah," ratap lelaki berwajah seram yang kini pucat pasi. Tubuhnya meliuk-liuk menahan sakit "Sobat, apa maksudmu menyerangku dari belakang?" tanya Sena, setelah puas tertawa.

"Ti..., tidak. Aku tidak bermaksud menyerangmu. Sungguh" 

"Lalu, apa maumu?" tanya Sena.

"Aku..., aku hanya diperintah mengirim surat padamu oleh seseorang," jawab lelaki itu ketakutan, menyaksikan mata Pendekar Gila yang membesar seperti orang gila yang sedang marah.

"Siapa yang menyuruhmu?" bentak Sena.

"Di..., dia tak mengatakan namanya padaku" 

"Bohong Katakan, atau kau akan main lompatlompatan lagi" ancam Pendekar Gila. Matanya semakin melotot, bagikan hendak mencelat keluar. Wajahnya yang tampan, kini terlihat bengis.

"Ampun..., jangan...," ratap lelaki itu.

"Kalau begitu, katakanlah" 

"Dia berpakaian serba hitam. Bahkan seluruh tubuhnya terbalut kain hi..." Belum juga selesai orang itu berkata, tiba-tiba beberapa pisau melesat ke arah mereka. Pendekar Gila terkejut dan dengan cepat melompat mengelakkan serangan gelap itu.

"Licik Heaaa..." Dengan menggunakan pukulan 'Inti Bayu', pisau-pisau terbang itu dikembalikan ke penyerangnya yang bersembunyi di semak-semak. Maka terdengar jerit kesakitan yang menyayat susul-menyusul. Sedangkan salah satu pisau luput dan menghunjam lelaki yang di tanyai Pendekar Gila. Lelaki itu menjerit, meregang sesaat kemudian diam tak bernyawa lagi.

Pendekar Gila tersentak. Matanya memandang tubuh lelaki di dekatnya yang seketika membiru. Ternyata pisau yang digunakan untuk menyerang telah diolesi racun.

"Benar-benar licik Huh..." dengus Sena.

Kemudian dengan cepat tubuh Pendekar gila berkelebat cepat ke semak-semak tempat asal pisaupisau beracun tadi. Dia berusaha mencari seorang yang masih hidup. Ternyata semuanya telah mati dengan tubuh membiru.

Pemuda tampan itu menggaruk-garuk kepala. Matanya menyapu ke sekeliling untuk memastikan tak ada lagi penyerang gelap. Setelah yakin tak ada, pemuda itu menghela napas. Ditinggalkannya tempat itu, kembali ke puing-puing Perguruan Cakar Sewu.

Pendekar gila kembali menatap puing-puing reruntuhan bangunan. Setelah menghela napas dalamdalam, dia duduk di atas batu prasasti di bekas halaman Perguruan Cakar Sewu. Dibukanya lipatan daun lontar yang ada di gagang pisau, kemudian dibacanya.

Satu orang temanmu telah ku binasakan Satu persatu mereka akan menerima bagian Dan kau yang terakhir Setelah itu, aku akan menjadi penguasa rimba persilatan Kumbang Hitam dari Neraka.

Pendekar Gila mengerutkan kening. Dicobanya untuk menerka, siapa sesungguhnya Kumbang Hitam dari Neraka itu. Dan mengapa dia membunuh tokohtokoh tingkat atas aliran lurus? Dan siapa pula yang dimaksudkan dengan temanku? Tanya Pendekar Gila dalam hati.

Tiba-tiba sepasang alisnya bertemu, seolah-olah teringat sesuatu.

"Celaka Mungkin Kumbang Hitam dari Neraka adalah pemuda berwajah pucat yang tempo hari jatuh ke dalam Jurang Neraka. Ah, tidak salah lagi.... Namanya mengingatkan aku pada jurang itu" Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Gila melesat cepat meninggalkan tempat itu. Dia harus segera menghubungi ketiga tokoh tua yang masih hidup.

***

DELAPAN

Ki Panca Loreng, Ketua Perguruan Macan Loreng malam itu nampak gelisah. Matanya sulit dipejamkan. Pikirannya terus terusik berita kematian salah seorang rekannya dari Perguruan Cakar Sewu. Hatinya bertanya-tanya, siapakah sebenarnya pelaku pembunuhan itu? Siapa orang yang menamakan dirinya Kumbang Hitam yang tubuhnya dibalut oleh kain hitam? 

"Kumbang Hitam.... Hm, siapa dia? Rasanya seumur hidup, baru kali ini aku mendengar nama itu di rimba persilatan. Menurut kabar, Kumbang Hitam adalah murid Dewi Bunga Iblis. Tapi, bukankah Dewi Bunga Iblis selama hidupnya tidak memiliki murid? Kenapa pula wanita jahat yang telah menghilang puluhan tahun itu tiba-tiba muncul kembali?" gumam Ki Panca Loreng seakan bertanya pada diri sendiri.

Lelaki tua itu tak habis pikir tentang Dewi Bunga Iblis. Dia pernah dengar kalau wanita jahat yang berilmu tinggi itu pernah malang-melintang di rimba persilatan. Tak ada yang dapat mengalahkannya, sampai Pendekar Gila dari Gua Setan muncul, dan mampu menundukkannya.

Sejak saat itu, nama Dewi Bunga Iblis bagai menghilang dari dunia persilatan, terkubur bersama kekalahannya atas Pendekar Gila dari Gua Setan. Kalau sekarang dia muncul kembali, tidak dapat dibayangkan bagaimana tinggi ilmunya.

Ki Panca Loreng memegang dagunya seraya menggelengkan kepala berulang kali. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam.

"Ada apa, Kang Mas? Sudah malam begini kau belum juga tidur?" tanya istrinya, cemas melihat suaminya belum juga tidur.

Ki Panca Loreng kembali menghela napas panjang. Tubuhnya berbalik untuk memandang sang Istri yang kini duduk sambil memandang suaminya. Dihampirinya sang Istri, kemudian dia duduk di sampingnya. Wajahnya masih menggambarkan kecemasan, membuat istrinya semakin tak mengerti.

"Kang Mas, apa ada masalah dalam perguruan?" 

"Tidak" 

"Lalu, apa yang membuat Kakang begitu cemas?" desak istrinya ingin tahu.

Ki Panca Loreng tak langsung menjawab. Kembali dia menghela napas dalam-dalam, seolah dengan berbuat seperti itu, segala ganjalan di hatinya dapat dienyahkan.

"Aku tak habis pikir, Diajeng. Bagaimana mungkin Dewi Bunga Iblis yang telah menghilang puluhan tahun silam, tiba-tiba muncul kembali? Bahkan dengan muridnya yang berjuluk Kumbang Hitam dari Neraka...." Istrinya tersentak mendengar penuturan Ki Panca Loreng. Matanya sedikit membelalak lalu menatap suaminya lekat-lekat. Wanita itu seakan tak percaya pada ucapan suaminya tadi.

"Dewi Bunga Iblis?" tanya wanita itu setengah mendesis ngeri mendengar nama tokoh sesat itu di-ucapkan suaminya. Bahkan suaminya mengatakan kalau tokoh sesat itu muncul kembali di rimba persilatan.

"Ya," jawab Ki Panca Loreng singkat "Apakah telah kau persiapkan murid-murid pilihan untuk menghadapinya?" Ki Panca Loreng menggelengkan kepala.

"Kenapa? Bukankah wanita itu adalah tokoh sesat berilmu tinggi?" 

"Tak perlu, Diajeng. Sebagai seorang ksatria, seharusnya kita menghadapinya sendiri, tanpa harus mengorbankan orang lain. Makanya, untuk sementara semua murid-murid perguruan ini kuperintahkan untuk pulang ke tempat masing-masing." Baru saja ucapan Ki Panca Loreng selesai, dari luar tiba-tiba terdengar seseorang berseru disertai tenaga dalam penuh.

"Bagus Rupanya kau pun telah mempersiapkan kematianmu, Panca Loreng..." Ki Panca Loreng dan istrinya tersentak mendengar seruan yang menggelegar laksana halilintar, memecah kesunyian malam.

"Mereka telah datang," desis Ki Panca Loreng.

Lalu, orang tua berpakaian rompi kulit macam itu berkelebat keluar, diikuti istrinya yang juga seorang pendekar. Di halaman yang biasanya dipakai murid-murid Perguruan Macan Loreng berlatih, berdiri dua sosok manusia berpakaian serba hitam. Seorang nenek bungkuk, didampingi lelaki yang sekujur tubuhnya terbungkus kain hitam. Hanya matanya yang nampak menyorot tajam. Keduanya tergelak-gelak melihat orang yang diincar telah keluar bersama istrinya.

Ki Panca Loreng menatap tajam pada dua orang tamu tak diundang itu, berusaha mengenali mereka. Yang seorang memang jelas terlihat wajahnya. Tentunya nenek itu yang berjuluk Dewi Bunga Iblis. Sedangkan yang lelaki tentunya yang menamakan dirinya Kumbang Hitam. Tapi, bagaimana mungkin Ki Panca Loreng dapat mengenali lelaki itu, kalau wajahnya saja tertutup rapat? 

"Kisanak dan Nisanak, ada maksud apa kalian datang ke Perguruan Macan Loreng? Aku rasa, antara kita tak ada silang sengketa," sambut Ki Panca Loreng, berusaha tenang sambil menatap kedua tamunya Kedua orang berpakaian hitam itu tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan yang dilontarkan Ki Panca Loreng. Malah lelaki yang terbalut kain hitam dengan sinis dan sombong berkata, "Panca Loreng, kami datang untuk mencabut nyawamu seperti si Cakar Seribu Bersiaplah untuk mati..." 

Usai berkata begitu, lelaki yang menamakan dirinya Kumbang Hitam dari Neraka menggebrak dengan satu serangan ke arah Ki Panca Loreng. Sedangkan Dewi Bunga Iblis berkelebat untuk menyerang istri Ketua Perguruan Macan Loreng "Heaaat.." Melihat lawan telah merangsek dengan ganas, Ki Panca Loreng segera membuka jurusnya untuk mengimbangi. Dari mulutnya keluar auman keras. Tangannya membentuk cakar. Sedangkan matanya merah, penuh amarah.

"Arrrgh..." Tangan Ki Panca Loreng yang membentuk cakar macan, bergerak membeset ke depan. Sedangkan kakinya menendang dengan cepat. Cakaran-cakaran tangan orang tua itu susul-menyusul, seakan tiada henti. Pertama ke wajah, kemudian ke dada, lalu kakinya menendang ke arah selangkangan lawan.

Serangan Ki Panca Loreng yang mematikan itu tidak membuat gentar Kumbang Hitam. Lelaki terbalut kain hitam itu dengan cepat berkelit. Kedua kakinya ditarik ke samping agak melebar, kemudian ditekuk merendah. Tangannya terbuka, laksana kepakan elang. Hal itu menjadikan Ki Panca Loreng tersentak. Dia mengenali jurus yang dibuka lawan.

"Kau...?" 

"Ya, aku Rupanya aku masih diberi umur panjang untuk membuat perhitungan denganmu, sekaligus mencabut nyawa tuamu Heaaat.." Kumbang Hitam meneruskan serangannya.

Tangannya yang mengepak, kini bergerak susulmenyusul secara bertubi-tubi. Kalau tangan kanan memukul, tangan kiri membuat perisai. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan kakinya menyapu ke arah kaki lawan. Itu-lah jurus 'Gagak Hitam Menyambar Bangkai'. 

"Iblis durjana Rupanya kau belum mampus Kali ini kau harus benar-benar mampus Yeaaat.." 

Ki Panca Loreng yang sangat terkejut menyaksikan jurus pembuka lawan, dengan penuh amarah kembali menyerang. Dikeluarkannya jurus 'Macan Loreng Mengintai Menerkam Mangsa'. Kakinya melangkah beraturan dengan menjejak satu persatu. Sedangkan sepasang tangannya berganti melakukan serangan. Tangan kiri maju menyerang muka. Disusul tangan kanan menyodok perut lawan.

"Heaaa..." 

"Yiaaa..." 

Dengan jurus-jurus andalan, keduanya terus berkelebat bertukar serangan untuk dapat menjatuhkan satu sama lain. Namun dilihat dari keadaannya, Ki Panca Loreng berada dalam kesulitan. Dia kini terdesak hebat. Bahkan serangan-serangan yang dilancarkan kelihatan mentah, selalu dapat dipatahkan lawan.

"Terimalah kematianmu sekarang, Panca Loreng Hiaaat..." 

Dengan menggunakan jurus 'Kumbang Hitam Menyengat', lelaki terbalut kain hitam itu kembali menyerang. Tangan dan kakinya kelihatan mengejang, menandakan betapa besar tenaganya.

Ki Panca Loreng yang tidak mau mati sia-sia, dengan nekat memapaki serangan lawan. Tangannya yang membentuk cakar macan dialiri tenaga dalam sepenuhnya. Kemudian disertai pekikan keras, orang tua itu berkelebat untuk memapaki serangan lawan.

"Heaaa..." Tanpa dapat dihindari, dua lelaki yang telah melesat ke udara itu harus mengadu kekuatan tenaga dalam masing-masing. Tangan dan kaki keduanya bergerak cepat. Memukul dan menendang. Kemudian terdengar ledakan keras, manakala kedua tangan mereka saling beradu.

Blarrr "Ugkh..."

Ki Panca Loreng mengeluh tertahan. Tubuhnya terlontar ke belakang tiga tombak dan jatuh berlutut. Dari mulutnya keluar darah segar.  Mata Ki Panca Loreng membeliak, sebelum tubuhnya terkulai.

Sementara, Kumbang Hitam mampu menjejakkan kakinya di atas tanah. Sesaat tubuhnya terhuyung ke belakang, dengan darah meleleh di sela bibirnya. Hingga merembes ke kain hitam penutup wajah.

Sesaat Kumbang Hitam menatap lawannya yang tak bernyawa. Kemudian kakinya melangkah tertatih mendekati Dewi Bunga iblis yang tengah bertarung dengan istri Ki Panca Loreng. Pendekar wanita yang usianya sudah tidak muda lagi itu tampaknya tak kenal menyerah. Bahkan serangan-serangannya cukup merepotkan Dewi Bunga Iblis.

"Guru, cepat selesaikan Tak ada waktu untuk kita berlama-lama di sini" sera Kumbang Hitam.

Mendengar seruan muridnya, Dewi Bunga Iblis segera mempercepat serangan. Kini nampaklah kesaktian yang sesungguhnya. Belum lagi istri Ki Panca Loreng sempat bernapas lega didera serangan beruntun itu, tiba-tiba tangan Dewi Bunga Iblis bergerak cepat, menaburkan beberapa tangkai bunga ke arah lawan yang terkejut "Celaka" pekik istri Ki Panca Loreng kaget melihat bunga berwarna hitam melesat cepat ke arahnya.

"Bunga Racun Iblis..." 

"Hik hik hik... Mampuslah kau..." 

Saat istri Ki Panca Loreng kerepotan mengelakkan senjata rahasia itu, dengan licik Dewi Bunga Iblis menghantamkan pukulan saktinya. Hingga tak pelak lagi, pukulan dahsyat itu pun mendarat telak di tubuhnya.

Degk "Aaa..." Tubuh wanita istri Ketua Perguruan Macan Loreng itu terhuyung-huyung dengan darah tersembur dari mulutnya. Matanya mendelik, memandang penuh kebengisan.

"Kau.." Hanya itu yang keluar dari mulutnya, sebelum tubuhnya ambruk mencium tanah.

Murid dan guru dari Jurang Neraka itu tertawa terbahak-bahak menyaksikan kematian suami istri dari Perguruan Macan Loreng. Lalu dengan masih tertawa, keduanya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.

***

Selang beberapa waktu, nampak seorang pemuda tampan berambut gondrong dengan pakaian rompi kulit ular berkelebat ke arah tempat itu. Pemuda yang tidak lain Pendekar Gila, seketika tertegun menyaksikan dua tubuh tergeletak di halaman perguruan. Seorang lelaki berpakaian rompi harimau. Sedangkan yang satunya seorang wanita berkebaya dengan kain di atas lutut mengenakan celana kulit macan pula.

"Terlambat Aku terlambat.." keluh Sena Manggala sambil menggaruk-garuk kepala. Dia memang terlambat datang, hingga tidak dapat membantu Ki Panca Loreng. "Rupanya Kumbang Hitam sungguh-sungguh dengan ancamannya." Pemuda bertingkah laku dan bertampang seperti orang gila itu mendekati tubuh Ki Panca Loreng.

Dirabanya tubuh lelaki tua itu. Masih hangat. Berarti belum mati. Kemudian Sena menekan denyut nadinya, untuk memastikan dugaannya itu.

"Ah, memang masih hidup" serunya.

Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sesaat Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, disalurkannya hawa murni ke tubuh Ketua Perguruan Macan Loreng itu.

"Uuuh..." Terdengar keluhan lirih dari mulut Ki Panca Loreng, setelah beberapa saat Sena menyalurkan hawa murni. Sena menghentikan penyaluran hawa murninya. Dibalikkannya tubuh Ki Panca Loreng. Nampak bekas pukulan menghitam di dada lelaki tua itu.

"Ki, apa yang telah terjadi...?" tanya Sena.

"Kaukah...?" lemah suara Ki Panca Loreng bertanya. Matanya perlahan-lahan membuka. Kemudian dari mulutnya keluar muntahan darah menghitam.

"Hoeeek..." 

"Benar. Aku, Ki... Aku Pendekar Gila," sahut Sena sambil membantu meringankan rasa sakit yang diderita Ki Panca Loreng dengan menotok dan mengurut beberapa jalan darah di tubuh Ketua Perguruan Macan Loreng itu.

"Dia..., dia telah datang. Dia..., pemuda..., berwajah pucat itu telah kembali dengan guru..., nya...." 

"Jadi, Kumbang Hitam adalah pemuda berwajah pucat itu, Ki?" tanya Pendekar Gila berusaha memastikan. Wajahnya nampak tegang. Sedangkan matanya menatap penuh harap agar orang tua itu dapat menceritakan semuanya. 

"Katakanlah, Ki. Siapakah gurunya itu?" 

"Dewi..., Dewi Bunga Iblis.... Seorang tokoh wanita sesat yang pernah malang-melintang di dunia persilatan. Akh... Aku..., aku tak kuat. Selamatkan..., se-lamatkan kedua sahabatku.... Tentunya mereka ke sana.... Ohhh..." 

Kepala Ki Panca Loreng terkulai. Ketua Perguruan Macan Loreng akhirnya mati setelah menceritakan siapa sesungguhnya Kumbang Hitam dan gurunya. Sena sesaat tercenung. Namun tangannya tak henti-hentinya menggaruk kepala. Setelah lama menatap mayat Ki Panca Loreng, pemuda itu menghela napasnya. 

"Ke mana dulu aku harus pergi?" tanyanya kebingungan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu tibatiba tangannya menepuk kening seraya bergumam, "Ah, kenapa aku bodoh? Kalau benar Kumbang Hitam itu pemuda berwajah pucat, tentunya dia kini ke Padepokan Cakra Geni. Celaka Aku harus ke sana" 

Setelah kembali memandang mayat Ki Panca Loreng dan istrinya, dengan cepat Sena berkelebat meninggalkan tempat itu. Namun sebelum pergi, dia sempat bergumam lirih yang ditujukan pada mayat kedua orang Perguruan Macan Loreng.

"Semoga kalian tenang di alam sana Maaf, aku tak dapat menolong kalian...."

***

 Apa yang diduga Pendekar Gila ternyata benar. Setelah melakukan penyerangan di Perguruan Macan Loreng, guru dan murid dari Jurang Neraka itu kini melakukan penyerbuan ke Padepokan Cakra Geni.

Saat itu, di Padepokan Cakra Geni tengah berlangsung pertarungan yang sengit Murid-murid Padepokan Cakra Geni yang telah dipersiapkan Ki Wirapati untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, dengan gigih dan gagah berani berusaha menghalau kedua penyerang.

Namun rupanya, guru dan murid dari Jurang Neraka itu bukanlah tandingan mereka. Terbukti murid-murid dari Padepokan Cakra Geni telah banyak yang menjadi korban amukan kedua orang itu.

"Serang terus..." seru Ki Wirapati yang terus menyerang Dewi Bunga Iblis. Suciati tidak terlihat di sana. Mungkin gadis itu sengaja disembunyikan Ki Wirapati.

Ki Wirapati yang telah maklum siapa lawannya, kini tidak mau tanggung-tanggung menyerang. Seperti halnya Ki Panca Loreng yang kini telah tewas, Ki Wirapati cukup tahu banyak tentang Dewi Bunga Iblis. Itu sebabnya, dia sangat hati-hati dalam melakukan serangan. Pertama, mengingat lawan yang tengah dihadapinya tokoh sakti yang berilmu beberapa tingkat di atasnya. Dan kedua, dia menyadari kalau wanita itu lebih berpengalaman di rimba persilatan.

Ki Wirapati tak mau mati konyol begitu saja karena ragu pada kemampuannya menghadapi Dewi Bunga Iblis. Dia pun meneguhkan hati untuk terus berusaha melancarkan serangan.

"Hiaaa..." Ki Wirapati melancarkan tendangan pancingan ke dada lawan yang membungkuk. Tapi dengan cepat serangan itu dielakkan Dewi Bunga Iblis dengan menggeser kaki ke samping. Kemudian wanita tua itu balik melancarkan serangan dengan tangan kanan. Disusul kibasan tangan kirinya.

Ki Wirapati menarik tendangannya, lalu dengan cepat mengganti dengan pukulan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menyapu ke atas, berusaha menangkis serangan lawan.

"Heaaa..." 

"Hik hik hik... Inikah murid Wiasa?" ejek Dewi Bunga Iblis, membuat Ki Wirapati tersentak kaget manakala nama gurunya disebut wanita tua itu. 

"Sungguh tak berguna kau menjadi murid Wiasa" 

"Sombong Dari mana kau tahu nama guruku?" bentak Ki Wirapati marah, karena dihina begitu rupa oleh Dewi Bunga Iblis. Serangannya dipergencar.

Pukulan-pukulan 'Seribu Guntur' dilipatgandakan. Namun si nenek masih terkikik sambil berkelit dari serangan itu.

"Hik hik hik... Bukan hanya nama gurumu yang aku tahu. Bahkan semua ilmunya aku paham Hik hik hik.. Mana Cakra Geni warisan gurumu itu, heh?" 

Semakin bertambah marah saja Ki Wirapati dihina begitu rupa. Serangan orang tua itu mulai membabi buta, sampai akhirnya tak terkontrol lagi. Padahal itu sangat berbahaya bagi dirinya.

"Jangan sombong, Nenek Iblis Heaaa..." 

"Percuma kau melawanku Gurumu kalau masih hidup tak akan mampu menandingi ku Hiaaa..." Dewi Bunga Iblis mengibaskan tangannya dengan cepat. Dan dari kibasan tangan itu, berdesing bunga-bunga hitam yang melesat ke arah Ki Wirapati.

"Bunga Racun Iblis... Celaka..." Ki Wirapati terkesiap. Dia tidak menduga kalau nenek itu akan mengeluarkan senjata rahasianya yang terkenal maut itu. Cepat-cepat tubuhnya dibuang ke samping untuk mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat tangannya mengambil sesuatu dari balik rompinya. Sebuah benda bulat bergerigi kini tergenggam di tangannya. Kemudian segera dilemparkannya ke arah bunga-bunga hitam yang tengah meluncur deras.

Swing...

Benda bulat bergerigi yang mengeluarkan api itu adalah Cakra Geni. Sebuah senjata pusaka warisan gurunya, Wiasa. Senjata itu melesat cepat, membabati bunga-bunga hitam yang hendak menyerang Ki Wirapati, hingga bunga-bunga itu berguguran dengan menimbulkan suara berdesing.

Tring Dewi Bunga Iblis terkekeh melihat lawan telah mengeluarkan senjata pusakanya. Sepertinya, perempuan tua itu tidak gentar sedikit pun terhadap Cakra Geni milik lawan.

"Senjata butut itu tak ada gunanya bagiku" ejeknya meremehkan.

Usai berkata begitu, tubuh Dewi Bunga Iblis melenting hingga berada di atas Cakra Geni. Lalu dengan cepat kakinya mendarat di atas senjata lawan yang langsung berhenti.

Mata Ki Wirapati melotot menyaksikan kejadian itu. Selama ini, tak pernah ada orang yang mampu menghentikan Cakra Geni miliknya. Namun perempuan tua itu ternyata menghentikannya dengan mudah. Bahkan berdiri di atas senjata itu sambil tertawa terkekeh.

***

SEMBILAN

Di sisi lain, terjadi pertarungan tidak seimbang antara murid-murid Padepokan Cakra Geni melawan Kumbang Hitam dari Neraka. Murid-murid Padepokan Cakra Geni bagai tak berarti menghadapi lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu. Korban telah banyak berjatuhan. Namun demikian, semangat sisa murid padepokan seperti tak padam begitu saja. Bahkan serangan mereka semakin bertambah garang.

"Percuma kalian membuang nyawa Lebih baik kalian menyingkir, jangan sampai aku membunuh kalian semua" bentak Kumbang Hitam, berusaha menakut-nakuti sisa murid Padepokan Cakra Geni.

"Jangan harap kami akan menyerah, Iblis" sahut salah seorang murid utama. "Demi kebenaran dan keadilan kami rela berkorban, meski harus mati" 

"Rupanya kalian benar-benar mencari mati Baik Jangan salahkan aku bila kalian pindah ke nera-ka" bentak Kumbang Hitam seraya melancarkan serangan dengan menggunakan jurus 'Gagak Hitam Mengepak Sayap'.

Tangannya terentang ke samping, lalu dengan cepat bergerak memutar ke depan membantu tusukan lurus. Disusul oleh tendangan ke depan.

"Jangan banyak mulut, Iblis Gempur dia..." 

"Hiaaa..." Sisa murid Padepokan Cakra Geni yang masih hidup, kembali menyerbu dengan berani Dengan ilmu beberapa tingkat di bawah lawan, kesepuluh sisa murid padepokan berusaha merangsek lawan.

Pertarungan antara Kumbang Hitam melawan murid-murid Padepokan Cakra Geni kembali berjalan seru. Kesepuluh murid-murid padepokan itu dengan gigih dan berani terus menyerang. Namun lawan yang mereka hadapi bukan lawan sembarangan. Yang mereka hadapi seorang berilmu tinggi yang setaraf dengan guru mereka.

"Kalian benar-benar mencari mampus Heaaa..." Kumbang Hitam mengepakkan tangannya untuk menyerang. Kedua tangannya membentuk sayap lurus, kemudian dengan cepat diputar ke depan dan menghentak lawan. Sedangkan kakinya bergerak menendang dengan cepat ke samping dan ke belakang.

Setiap kali tangan atau kakinya bergerak, terdengar pekikan memecah udara. Disusul oleh ambruknya tubuh lawan. Dua orang lawan jatuh. Mulut mereka melelehkan darah. Namun hal itu tidak membuat yang lainnya gentar. Bahkan kembali terdengar seruan lantang.

"Serang terus..." 

"Heaaa..." Sisa murid Padepokan Cakra Geni kembali merangsek. Namun Kumbang Hitam yang sudah tak sabar untuk secepatnya menghabisi pengeroyoknya, menyambuti dengan serangan cepat Jurus-jurus pamungkas yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan, kini digunakannya.

Gerakan tangan dan kaki Kumbang Hitam semakin cepat. Tangannya mengepak, mematuk dan menyambar ke sana kemari dengan keras dan ganas. Sedangkan kedua kakinya menendang, menyepak dan mendupak tak kalah keras dan cepat. Sebuah gerakan yang membuat para pengeroyoknya terkejut, tak menyangka akan menghadapi jurus aneh dan dahsyat itu.

"Hiaaat.." 

"Heaaa..." Kumbang Hitam terus bergerak dengan cepat.

Kedua tangannya yang mengepak, mematuk, dan menyambar terus menebas ke arah lawan-lawannya. Kakinya pun tak tinggal diam, bergerak lincah dengan tendangan mematikan. Mau tak mau, para pengeroyoknya harus bersusah payah berkelit, kalau tidak ingin nyawa mereka melayang. Kini bukannya mereka yang mendesak Kumbang Hitam. Keadaannya justru berubah. Merekalah yang terdesak.

Kumbang Hitam yang ingin segera menghabisi lawannya, Wan bertambah beringas. Setiap sabetan, pukulan dan kepakan tangan dan kakinya, menimbulkan jeritan kematian yang menyayat. Disusul oleh ambruknya tubuh korban dengan mulut memuntahkan darah. Satu persatu lawan dibabat Sampai akhirnya tak tersisa lagi.

"Ha ha ha... Semua telah beres, Guru Mengapa kau masih membiarkan tikus tua itu hidup?" celoteh Kumbang Hitam dengan mata angkuh memandang tubuh Ki Wirapati yang berusaha mengelakkan serangan Dewi Bunga Iblis.

"Hik hik hik..," Dewi Bunga Iblis tertawa. 

"Kau lakukanlah keinginanmu. Aku yakin, gadis itu berada di dalam. Biar aku main-main sebentar dengannya." 

"Baiklah kalau memang itu keinginanmu." Usai berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam segera berkelebat masuk ke bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal. Dicarinya Suciati di setiap kamar, Nampaknya Kumbang Hitam sudah tak sabar ingin segera menikmati kehangatan tubuh gadis itu, yang selama ini ditahannya. Bahkan dia telah membayar mahal untuk itu. Mukanya hancur, sampai harus ditutup kain hitam.

Lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu terus mencari Suciati. Dia benar-benar tak sabar. Dan gejolak keinginannya itu dilampiaskan dengan mendobrak pintu-pintu kamar yang tertutup rapat.

"Di mana dia...," geram Kumbang Hitam semakin tak sabar. Bayangan tubuh Suciati yang pernah di-intipnya ketika tengah mandi saat masih di Kadipaten Tegal Arang, kembali menghiasi pikirannya Membangkitkan nafsu birahi yang melonjak-lonjak liar.

Semua kamar telah dijelajahinya, namun gadis itu belum juga ditemukannya. Tentunya di salah satu kamar itulah Suciati berada, pikir Truna. Kumbang Hitam menyeringai. Perlahan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar yang tak tertutup di samping kanannya.

"Hm, tentunya di kamar ini dia disembunyikan," gumannya perlahan.

Dengan langkah halus, lelaki terselubung kain hitam itu mendekati pintu kamar. Didorongnya pintu tersebut perlahan-lahan.

"Hiaaat.." Berbareng dengan terbukanya pintu, sebilah pedang tiba-tiba menyerang ke arahnya. Beruntung Kumbang Hitam cepat berkelit. Kalau tidak, kepalanya tentu akan terbelah oleh pedang yang ada di tangan Suciati. 

"Hiat.." Gadis cantik berbaju hijau itu terus menyerang dengan tusukan-tusukan pedangnya. Namun karena ilmu silat yang dipelajari selama di padepokan itu belum seberapa, serangannya tidak membahayakan bagi Kumbang Hitam. Bahkan sambil tertawa Kumbang Hitam mengelakkan serangan-serangan yang dilancarkan Suciati. Gerakannya seperti hendak menggoda gadis yang sedang kalap itu.

Suciati terus menyerang dengan gerakan tak teratur, meski dia belum tahu siapa lelaki dengan tubuh terbalut kain hitam itu. Namun dari caranya masuk ke kamar itu, dia sudah dapat menduga kalau orang itu tidak bermaksud baik.

Menghadapi serangan pedang Suciati, Kumbang Hitam berkelit sambil tertawa-tawa. Tangannya sesekali berbuat nakal pada tubuh gadis itu sehingga membuat Suciati bertambah kalap.

"Kurang ajar Kubunuh kau Heaaa..." maki Suciati yang merasa dipermainkan.

Serangan Suciati kian membabi buta. Hal itu membuat Kumbang Hitam dapat membaca gerakannya. Ketika gadis itu membabatkan pedang ke arah kanan, Kumbang Hitam menggeser kakinya ke belakang dan bergerak ke kiri.

"Percuma saja kau melawanku, Cah Ayu... Lebih baik kau menurut saja apa yang kuinginkan," bu-juk Kumbang Hitam sambil bergerak mengelakkan babatan-babatan pedang lawan. Sesekali tangannya kembali nakal menjamah tubuh Suciati.

"Cuhhh... Lebih baik aku mati, ketimbang menuruti kata-katamu Heaaat.." Dengan membabi buta, Suciati kembali melakukan serangan. Pedang di tangannya bergerak tak beraturan, membabat ke segenap penjuru.

"Kau benar-benar nekat, Cah Ayu..." Sambil berkata begitu, tubuh Kumbang Hitam melenting ke udara. Kemudian dengan bersalto, jarinya menotok jalan darah Suciati.

Tukkk "Akh..." Tubuh Suciati yang hendak kembali menyerang, seketika menjadi kaku laksana patung kayu.

"Laki-laki laknat Bunuh saja aku Lepaskan totokanmu, dan kita bertarung sampai mati..." Kumbang Hitam tergelak-gelak mendengar tantangan Suciati. Dengan pandangan penuh nafsu, didekatinya tubuh Suciati yang tak bergeming. Kemudian mengangkatnya.

"Lepaskan... Lepaskan totokanmu, Keparat.." maki Suciati penuh kebencian.

Kumbang Hitam tidak peduli. Dengan tertawa-tawa diletakkannya tubuh Suciati ke atas tempat tidur. Matanya memandang penuh api nafsu. Kemudian dengan buas, tangannya merenggut pakaian gadis itu.

Breeet "Auh..." pekik Suciati.

Kemesuman hampir saja terjadi, kalau tidak terdengar suara hentakan keras tiba-tiba. 

"Bajingan...Keluar kau..."

***

"Kurang ajar Siapa yang berani lancang kepadaku?" maki Kumbang Hitam seraya berkelebat meninggalkan calon korbannya.

Sesampainya di luar, Kumbang Hitam terkejut bukan kepalang. Gurunya tengah dikeroyok dua orang. Sedangkan di depannya, berdiri seorang pemuda yang telah dikenalnya. Pemuda itu tidak lain Pendekar Gila.

Yang tampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Pendekar Gila tertawa melihat Kumbang Hitam keluar dari dalam. Kemudian dengan masih menggaruk-garuk kepala, dia mengejek, 

"Rupanya kau kumbang busuk yang suka merusak kehormatan gadis-gadis itu? Ha ha ha... Mengapa mukamu ditutup, Sobat? Apa kau malu menunjukkan tampang burukmu?" 

Murkalah Kumbang Hitam mendengar ejekan yang keluar dari mulut Pendekar Gila. Terlebih melihat tingkah laku menyebalkan pemuda gila itu.

"Pemuda gila Tak percuma aku mencarimu Akhirnya kau datang sendiri untuk mengantar nyawa" dengus Kumbang Hitam penuh geram.

Pendekar Gila tertawa tergelak-gelak mendengar ucapan Kumbang Hitam. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan yang kiri menepuk-nepuk pantat 

"Aha.... Rupanya nyawaku sangat berharga bagimu, Kumbang Busuk Ah ah ah. Sungguh beruntung aku yang bodoh dan hina ini memiliki nyawa yang sangat berharga. Karena nyawaku berharga, kukira aku akan berusaha mempertahankan dari tangan busukmu itu" ujar Pendekar Gila.

"Bedebah Akan kubuktikan kalau tanganku akan mencabut nyawamu dengan mudah Heaaa..." 

Dengan amarah meledak-ledak, tubuh Kumbang Hiram melesat untuk melabrak Pendekar Gila. Tangannya mengembang, membuat gerakan 'Sayap Kumbang Melebar'. Kemudian digerakkan memutar ke depan, membentuk sebuah perisai dari pukulan. Sedangkan kakinya, nampak menyilang agak direndahkan.

"Hiaaat.." 

Melihat serangan yang dilancarkan lawan, Pendekar Gila segera membuka jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat', sebuah jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang dahsyat. Gerakan tubuhnya terlihat lemah gemulai laksana menari, disertai tepukan-tepukan tangan.

Jika diperhatikan, jurus yang dilakukan Pendekar Gila hanya gerakan main-main. Namun, sesungguhnya gerakan itu sangat berbahaya. Melihat gerakan lawan seperti itu, Kumbang Hitam merasa yakin akan dapat menerobos pertahanan lawan dengan jurus barunya. Tangannya yang bergerak membuat suatu kepakan dan pukulan, menyerang Pendekar Gila.

"Hiat" Pendekar Gila cepat berkelit dengan cara memiringkan tubuh ke samping. Gerakan mengelitnya pun seperti menari. Tubuhnya lentur dan lemas. Jika dilihat sekilas, nampak tak ada tenaga yang dikeluarkannya. Lalu disusul oleh tepukan tangan ke arah dada lawan. Kumbang Hitam tersentak kaget ketika serangannya dapat digagalkan lawan. Bahkan tepukan tangan Pendekar Gila kini mengancamnya. Cepat-cepat Kumbang Hitam melangkah ke belakang dua tindak, lalu kembali tangannya digerakkan ke atas dengan jari-jari mengepal. Setelah itu, dengan cepat tangan kirinya membentuk siku sebagai tameng. Sedangkan tangan kanannya mengarah lurus ke dada lawan.

"Heaaa..." Pendekar Gila menarik serangan. Tubuh surut setindak ke belakang. Tubuhnya dibuang ke samping, kemudian dengan cepat kakinya ditarik ke samping dengan sedikit menekuk. Tangannya saling menyanggah. Tangan kanan berada di atas tangan kiri, kemudian dihempaskan ke depan untuk menyerang lawan.

Tap Satu tangan mereka saling berpegangan. Sedangkan tangan yang lainnya kini bergerak cepat saling menyerang dan menangkis. Sebuah permainan yang sulit dilakukan oleh orang persilatan biasa. Dengan satu tangan sating berkait, mereka terus bertukar serangan.

Bukan hanya tangan mereka yang bergerak melakukan serangan. Kaki mereka pun turut bergerak, berusaha saling mengait dan menjatuhkan lawan.

"Heaaa..." 

"Yiaaat.." 

Keduanya saling dorong, berusaha untuk mendaratkan pukulan dan sapuan kaki. Kejadian itu berlangsung cukup lama. Sampai akhirnya keduanya saling mendorong dengan keras. Tubuh mereka terlontar ke belakang, bersalto di udara dan kembali menjejak di tanah. Sesaat mata keduanya saling pandang. Kemudian, didahului pekikan melengking tinggi, keduanya kembali melesat dengan jurus-jurus baru.

"Heaaat.." 

Saat itu Ki Wirapati tengah kerepotan menghadapi gempuran yang dilancarkan Dewi Bunga Iblis. Dia dalam keadaan terdesak, ketika tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki berseru, 

"Ki Wirapati, aku datang membantumu" Nampak seorang lelaki tua berpakaian mirip resi dengan tangan menggenggam tombak pendek bermata dua, berlari menuju tempat itu. Kemudian lelaki tua yang tidak lain Ki Tunggal Manik itu langsung menggebrak untuk membantu temannya.

"Terima kasih," desis Ki Wirapati, merasa lega dengan kedatangan Ki Tunggal Manik. Dengan ban-tuan Ketua Perguruan Teratai Putih itu, paling tidak dia tidak lagi terlalu kerepotan menghadapi Dewi Bunga Iblis. 

"Heaaat.." 

Dewi Bunga Iblis kembali menggebrak, berusaha mematahkan serangan yang dilancarkan lawannya yang kini berjumlah dua orang. Tangannya bergerak cepat menangkis dan menampar ke arah lawan. Sedangkan kedua kakinya terus menyapu ke arah kaki, atau sesekali menendang ke dada lawan-lawannya.

Melihat serangan cepat dilancarkan oleh Dewi Bunga Iblis, kedua lelaki itu dengan cepat pula berkelit. Kemudian dengan cepat pula mereka menyerang bersamaan.

Ki Tunggal Manik menyerang bagian perut perempuan tua itu. Tangannya memukul, menotok dan menepis setiap gerakan kaki lawan. Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam, kini mengarahkan serangannya pada bagian atas. Tangannya yang kanan memukul, sedangkan yang kiri membentuk tameng untuk menangkis serangan lawan.

Serangan keduanya datang dari arah yang berlawanan. Satu dari sisi kiri, sedangkan yang satunya dari sisi kanan. Namun begitu, Dewi Bunga Iblis bukanlah orang kemarin sore, Namanya telah mampu menggetarkan dunia persilatan pada masanya. Menghadapi serangan kedua lawannya yang berlawanan arah, tidak menciutkan nyalinya. Terlebih melihat salah seorang lawannya telah terluka dalam.

Di samping itu, Cakra Geni yang merupakan senjata pusaka milik Ki Wirapati kini telah berada dalam kekuasaannya. Jika dia terdesak, senjata itu akan digunakan. Meski usia sudah lanjut, namun gerakan mengelit dan menyerang Dewi Bunga Iblis ternyata masih gesit. Tubuhnya yang agak bungkuk laksana menari.

Kakinya bergerak menyilang dan merenggang. Sedangkan tangannya bagaikan sepasang senjata tajam yang mematikan. Bahkan dengan tertawa mengikik, Dewi Bunga Iblis bergerak mengelak dan balas menyerang. Sesekali tangannya melambat, mengeluarkan angin pukulan yang menyentakkan kedua lawannya. Atau terkadang menepak, menimbulkan deru angin yang dahsyat.

Pertarungan terus berlangsung keras. Sudah puluhan jurus yang telah mereka keluarkan. Sampai sejauh itu, tak ada tanda-tanda kalau kedua pengeroyoknya akan mampu menjatuhkan Dewi Bunga Iblis. Malah berkali-kali keduanya harus membelalakkan mata, manakala mendapat serangan yang tak terduga.

"Heaaa..." 

"Hik hik hik..." 

Dewi Bunga Iblis terkikik. Tangan kanannya dikibaskan ke arah lawan sebelah kanan. Sedangkan kaki kirinya bergerak menendang dan menyapu lawan sebelah kiri. Kedua lawan yang mengeroyoknya tersentak. Segera mereka menarik serangan, kemudian mengubah jurus lain. Bergantian mereka mencari sasaran.

Kalau tadi Ki Wirapati menyerang di bagian atas, kini sebaliknya. Ki Wirapati memusatkan serangannya pa-da bagian bawah. Sedangkan Ki Tunggal Manik beralih menyerang bagian atas tubuh Dewi Bunga Iblis. Sebuah penggabungan serangan yang hebat. Kalau saja lawannya tak berilmu setaraf dengan mereka, sudah dari tadi lawan akan diremukkan.

"Heaaat.." 

"Ceaaa..." 

Gerakan kedua lelaki tua itu serempak. Sepertinya telah diatur sebelumnya. Tak ada kesalahan dalam melakukan serangan. Yang menyerang bagian atas, terus mencecar dan berusaha mencari titik luang di bagian atas. Sedangkan yang menyerang bagian bawah, terus mencari titik luang di bagian bawah.

Namun sejauh itu, belum juga mereka berhasil menjatuhkannya. Seakan semua tubuh Dewi Bunga Iblis terlindungi. Hal itu disebabkan wanita tua itu mampu melakukan gerakan yang cepat dan gesit. Hingga jika serangan datang, secepat itu pula dia me-lindungi tempat yang diserang. Bahkan tak segansegan balik menyerang lawan.

Kedua lelaki tua itu kembali menyerang, ketika tiba-tiba Dewi Bunga Iblis melompat ke belakang dengan cepat Lalu sebelum kedua penyerangnya sadar dari kekagetannya dan menguasai diri, wanita tua itu menghantamkan pukulan mautnya ke arah mereka.

"Celaka" pekik Ki Tunggal Manik.

"Ahhh..." keluh Ki Wirapati kaget.

Keduanya yang belum bisa menguasai diri seketika mati langkah. Mata mereka membelalak tegang, menyaksikan angin pukulan yang datang menderu cepat ke arah mereka. Sebisanya Ki Tunggal Manik menjatuhkan diri ke tanah lalu berguling, sehingga dia luput dari maut. Sedangkan Ki Wirapati yang terluka dalam tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya langsung menjadi sasaran pukulan lawan.

Degk "Akh..." Ki Wirapati memekik. Tubuhnya terdorong ke belakang tiga tindak dengan terhuyung-huyung. Darah semakin banyak keluar.

"Ki..." seru Ki Tunggal Manik, ketika tubuh Ki Wirapati terhuyung kemudian ambruk mencium tanah tanpa nyawa. Hal itu membuat Ki Tunggal Manik menjadi kalap. Disertai pekikan, dia kembali menyerang.

Kali ini di tangannya tergenggam senjatanya yang berupa tombak bermata dua. Tombak sepanjang lengan di tangan Ki Tunggal Manik bergerak cepat dengan gerak memutar bagai menghilang. Yang nampak hanya sinar putih kebirubiruan, menyelimuti tubuhnya.

"Iblis Kau harus mati Heaaa..." Dewi Bunga Iblis terkekeh, kemudian dengan cepat mengelakkan serangan lawan dan balas menyerang. Pertarungan kembali berlangsung.

***

SEPULUH

Suciati yang melihat Pendekar Gila tengah bertarung melawan lelaki yang tadi hendak memperkosanya dan kini tengah terdesak oleh serangan-serangan yang dilancarkan Pendekar Gila, segera berkelebat turut menyerang. Pedang di tangannya diarahkan ke arah tubuh lelaki terbalut kain hitam. Memang, saat itu pengaruh totokan Kumbang Hitam telah mus-nah dengan sendirinya.

"Hiaaat.." 

Kumbang Hitam yang kerepotan menghadapi Pendekar Gila terkejut manakala mendengar suara seorang gadis menyerang ke arahnya. Dengan masih berusaha mengelitkan serangan Pendekar Gila yang menggunakan jurus 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Kumbang Hitam menepiskan tangan kirinya ke belakang. Suciati yang tak menduga akan mendapatkan serangan begitu tiba-tiba, tak mampu berkelit dari ke-butan tangan Kumbang Hitam. Tanpa ampun tubuh gadis itu harus menerima sambaran angin pukulan yang mengarah dadanya.

Desss "Ukh..." Suciati mengeluh, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sampai lima tindak. Dari sela bibirnya meleleh darah segar. Wajahnya sesaat mengejang, sebelum ambruk terkulai di tanah dalam keadaan pingsan.

"Pengecut" maki Pendekar Gila melihat gadis itu dihantam oleh lawannya. Hal itu membuatnya kian bertambah marah. Belum juga habis amarahnya menyaksikan bagaimana Ki Wirapati ditahan oleh wanita tua itu. Kini telah dikobarkan lagi oleh kejadian yang dianggapnya pengecut itu.

Dengan mempercepat gerakan 'Si Gila Melebur Gunung Karang', Pendekar Gila terus merangsek lawan. Tangannya terangkat ke atas, dengan jari-jari terbuka. Kemudian tangan kanan bergerak menghantam ke muka. Sedangkan tangan kiri bergerak dari bawah menghajar ke selangkangan.

"Heaaat.."

Kumbang Hitam yang berusaha mengembangkan serangan dengan jurus 'Kumbang Hitam Menyengat' bagikan tak memiliki kesempatan. Setiap kali dia hendak mengembangkan jurusnya, secepat itu pula Pendekar Gila telah melancarkan serangan anehnya.

Tiba-tiba saja tangan atau kaki Pendekar Gila yang kelihatannya bergerak lambat, telah mendekati tubuhnya. Hingga mau tak mau Kumbang Hitam harus mengurungkan niatnya. Seperti juga saat ini. Beberapa kali Kumbang Hitam berusaha menyerang. Tapi tiba-tiba saja Pendekar Gila telah merangsek. Jurus yang dilancarkan Pendekar Gila kelihatannya lamban dan lemah. Namun entah bagaimana caranya, setiap kali Kumbang Hitam bergerak, tangan atau kaki Pendekar Gila telah dekat ke tubuhnya.

"Ilmu silumankah?" desis Kumbang Hitam dengan mata membelalak kaget. Dia benar-benar menghadapi lawan yang seperti memiliki ilmu siluman saja. Ke mana pun dia bergerak, lawan tiba-tiba telah men-jangkaunya, meski gerakan lawan kelihatan lamban dan lemah.

Pendekar Gila yang sempat melirik ke arah Ki Tunggal Manik terkejut, menyaksikan orang tua itu ki-ni terdesak. Kalau dia tidak cepat-cepat membereskan yang satu ini, bisa-bisa celakalah orang tua dari Perguruan Teratai Putih itu.

"Heaaa..." Tangan Pendekar Gila semakin cepat bergerak, hingga laksana menghilang. Itulah jurus 'Angin Gila Membadai'. Tubuhnya berputar cepat menimbulkan angin yang keras menderu. Sedangkan kedua tangannya bergerak cepat menyerang bergantian.

Kumbang Hitam kian tersentak kaget. Sesaat dia tertegun dengan mata membelalak menyaksikan gerakan yang semakin aneh dilakukan oleh lawannya. Pada saat itu, tangan Pendekar Gila yang menyerang dengan cepat tanpa dapat dielakkan menghantam telak dadanya. Tubuh Kumbang Hitam terlontar keras, melayang laksana tersapu angin diikuti pekikan yang menyayat 

"Aaa..." Pekikan keras yang keluar dari mulut Kumbang Hitam, membuat kedua tokoh tua yang tengah bertarung seketika menghentikan pertarungan. Keduanya mengalihkan pandangan ke arah datangnya pekikan itu.

Dewi Bunga Iblis membelalak saat matanya sempat menyaksikan gerakan aneh yang dilakukan oleh pemuda berpakaian rompi kulit ular sanca. Gerakan itu mengingatkannya pada seorang pendekar yang telah mampu mengalahkannya. Pendekar itu pun mengeluarkan jurus serupa ketika menjatuhkan dirinya, hingga tubuhnya bungkuk seperti sekarang.

Setelah pemuda berpakaian rompi kulit ular menghentikan gerakan anehnya, pandangan Dewi Bunga Iblis tertuju ke asal suara pekikan. Matanya semakin membalalak, menyaksikan sesosok tubuh terbungkus kain hitam yang tidak lain muridnya, melayang jauh, dan baru berhenti ketika membentur pohon besar dengan menimbulkan suara berderak.

Brakkk...

Tubuh Kumbang Hitam hancur, bersamaan dengan tumbangnya pohon besar yang terhantam tubuhnya.

"Sungguh dahsyat jurus itu. Hm, rupanya Pendekar Gila telah meningkatkan ilmunya. Tak kusangka, kalau ilmu Pendekar Gila yang masih muda ini lebih dahsyat dari pendahulunya. Untuk menandinginya, aku harus mendalami ilmuku puluhan tahun lagi. Atau mungkin ratusan tahun lagi Tak ada gunanya aku mencari keributan dengannya," desis hati Dewi Bunga Iblis.

Tanpa menghiraukan apa yang akan dikatakan oleh Pendekar Gila dan Ki Tunggal Manik padanya, Dewi Bunga iblis hendak meninggalkan tempat itu. Namun baru saja beberapa langkah kakinya bergerak, Ki Tunggal Manik dengan cepat melemparkan senjatanya ke arah tubuh wanita bungkuk itu. Senjata itu melaju begitu deras, hingga Dewi Bunga Iblis yang tak menyangka akan diserang, tak dapat mengelakkannya.

Crab Tombak bermata dua menghunjam punggung wanita bungkuk itu. Mulut keriputnya seketika menjerit. Darah muncrat dari punggung yang terluka lalu membasahi pakaiannya. Sesaat tubuh bungkuk itu membalik memandang dengan penuh kemarahan ke arah Ki Tunggal Manik. Gigi-giginya yang tinggal beberapa biji saling beradu. Jemari tangannya meregang.

Kemudian dengan memekik keras, Dewi bunga Iblis meluruk bagai banteng luka. Namun karena darah banyak keluar, serta racun pada tombak mata dua itu, baru beberapa tindak saja tubuh bungkuk itu telah ambruk mencium tanah.

Pendekar Gila yang menyaksikan Kejadian itu hanya mampu menghela napas. Kemudian kakinya melangkah mendekati Ki Tunggal Menik yang masih terpaku, memandangi tubuh bungkuk yang kaku.

"Sebentar lagi pagi, Ki.... Kita harus mengubur mereka," bisik Pendekar Gila, membuat Ki Tunggal Manik tersadar dari ketertegunannya. Lelaki tua dari Perguruan Teratai Putih itu mengangguk perlahan.

Kemudian melangkah beriringan dengan Pendekar Gila. Setelah mengubur mayat-mayat mereka yang mati, Sena mendekati Ki Tunggal Manik yang berdiri berjajar dengan Suciati.

"Ki, semua kewajibanku di sini telah selesai.

Aku mohon pamit padamu untuk meneruskan perjalananku, untuk mengikuti kata hati. Kutitipkan Kanjeng Putri padamu," ujarnya lirih. Merasa sedih korban nyawa demikian banyak.

"Mengapa harus cepat-cepat pergi, Pendekar Gila? Tinggallah di sini untuk beberapa hari, biar kami dapat menjamumu," balas Ki Tunggal Manik setengah mencegah kepergian Pendekar Gila dari kadipaten itu.

"Ah, terima kasih atas tawaranmu, Ki. Tapi, dengan berat aku menolaknya. Masih banyak orang dalam kesengsaraan. Masih banyak tugas yang harus kujalankan. Hidupku untuk alam. Di mana alam membutuhkan, di situ aku harus mengabdi." 

Ki Tunggal Manik mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Pendekar Gila.

"Ya, ya. Aku mengerti. Maaf, aku tadi terlalu mendesak mu." 

Pendekar Gila tersenyum. Tangannya yang diulurkan, disambut oleh Ki Tunggal Manik dengan perasaan haru. Mereka berpelukan erat penuh persahabatan. 

"Terima kasih, Ki. Aku mohon pamit Tolong ja-ga Kanjeng Putri baik-baik," ucap Pendekar Gila sambil memandang Suciati yang nampak sedih berpisah dengan Sena. Mata Suciati yang bulat itu telah dilinangi air bening.

Pendekar Gila segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap, tubuhnya telah jauh dan berada di bawah. Samar-samar terlihat Sena masih sempat melambaikan tangan sebagai isyarat perpisahan yang tidak bisa dielakkan oleh seorang manusia, siapa pun dia dan di mana pun berada. Lambaian itu dibalas oleh Ki Tunggal Manik dan Suciati dengan penuh keharuan.

Buku Lainnya


Komentar :