Rumah Hantu

Rumah Hantu

Aku adalah remaja supel dengan teman bejibun. Saat syukuran ulang tahunku yang ke 20 tahun. Aku turut mengundang teman-temanku. Teman dekat maupun teman nongkrong. Temanku membawa teman lainnya. Dan dari situ aku mengenal huda. Teman dari temanku. Beberapa kali aku nongkrong dirumah huda. Karena memang kebanyakan teman-temannya menjadikan rumah huda sebagai base camp. Huda mempunyai 2 rumah. Satu rumah kakak lelakinya, bang Yung. Dan satunya adalah rumah ka Pipit, kakak perempuannya. Total mereka 4 bersaudara. Ka Frida, kakaknya huda mengajakku ikut latihan dance. Tak disangka, kamipun akrab hingga team kami on stage di Airman Hotel Sultan. Dari situ aku kini sering nongkrong bersama teman-teman huda. Juga temanku.


Mereka asik. Tak mengenal perbedaan. Ada Daus, pria dengan tato love di jari kanannya dan hate di jari kirinya. Juga Moller, salah satu joker kita. Si pelawak yang sangat bloon. Dengan keluguannya menghibur kita semua. Tak ayal dia sering menjadi bulan bulanan lantaran gingsulnya di gigi kelinci.


Sehari dua hari aku main ke rumah Huda di kediaman Bang Yung, aku merasa banyak aura negative. Rumah bang yung terdapat 2 lantai. Lantai kedua tidak pernah ada yang berani tidur disana. Bahkan saking tidak adanya anggota keluarga yang mau tidur dilantai 2, kini lantai 2 hanyalah gudang. Maklum, perumahan di daerah H. Nawi tidak semegah rumah berlantai 2 biasanya. Tapi tidak terlalu kecil. Cukup.


Semakin hari kami saling mengenal, hingga suatu hari aku berkenalan dengan Andes. Perempuan yang sering sekali kesurupan.

Semua temanku ini sudah mengetahui aku mempunyai kelebihan lain. Mereka tidak mencibirku melainkan menjadikanku sebagai mama loren gadungan. Membaca rumah, membaca tempat tongkrongan baru dan terkadang membaca warung dagang makanan yang laris tapi terlihat sepi olehku.


Saat berkenalan dengan Andes, aku merasa bahwa cewek satu ini sangat disukai dengan makhluk-makhluk ghaib. Lantaran saat aku pergi bersamanya, banyak makhluk yang melihat kearahnya terus menerus. Makhluk itu tak berani mendekat, tetapi memperhatikan dari jauh. Pernah suatu ketika aku pergi ke rumah bang Yung bersama Andes, ternyata pintu terkunci dan aku menelepon Huda. "Bocah-bocah pada dimana lay". "Sini, pada dirumah ka Pipit". "Oohh yaudah,otw".


Saat aku menelepon Huda, tubuh Andes terlihat seperti setengah melayang menuju pagar rumah Huda. Aku menariknya dan refleks aku berkata "Astagfirullah Ndes. Awas!!!"

Sesosok kuntilanak dengan rambut panjang dan gaun putihnya keluar dari pagar dan terbang dengan cepatnya melewati Andes. Sepanjang jalan tidak ada orang. Maklum, saat itu masih pukul 9 malam akan tetapi jalanan di depan rumah Bang Yung sudah sangat sepi. Padahal itu adalah bagian dari kota metropolitan. H. Nawi. Yang terkenal ramai dan tembusan ke arah Pondok Indah. Dari situ aku menyadari banyak hal negative dari rumah itu. Akan ada kisah selanjutnya yang akan lebih mencekam dari ini. Dan salah satunya adalah, nyawa.


Rumah Hantu


Saat itu, kami bercerita di rumah bang Yung bagaimana ini semua bisa terjadi. Sesuatu yang sering aku lihat dan

sering juga aku lihat. Seperti di tangga, sesosok mahkluk dengan kulit hitam tidak terlalu legam seperti kuli panggul di tanah abang. Sawo matang dengan kontras hitam. Badan yang sangat lebar mampu menutupi tangga. Dia duduk di barisan ke 2 tangga. Yang satu lagi, saat aku hendak masuk ke ruangan samping, nampak kaki yang sangat panjang nemembus pelafon rumah. Tapi saat aku lihat dari luar, tidak nampak

sosok ataupun sesuatu di tempat itu. Kakinya hanya satu tetapi diameternya seperti tiang listrik. Menjulang tinggi. Belum lagi didepan rumah, ada makhkluk tinggi besar dengan bagian tubuh tinggi menjulang. Kepalanya tidak menembus plafon, padahal dia cukup tinggi untuk menembus plafon depan rumah, kepalanya tertunduk seperti kita yang memasuki tempat yang pendek dan beradu dengan kepala. Kitapun harus sedikit membungkukkan leher dan tetap memandang lurus. Dengan mulut yang sangat lebar melebihi rahangnya. Sepenglihatanku hanya tiga itu saja tapi sangat kuat. Jika aku bermain ke rumah bang Yung, tak sampai 3 jam biasanya aku langsung pulang karena terasa pusing dan seperti ada yang menyedot. Bang Yung, Huda dan temanku yang lain juga bercerita apa saja yang mereka rasakan dirumah itu. Misalnya, Daus yang pernah saat buang hajat di rumah itu terkena tetesan air dari atas. Dia terlalu takut untuk menengadah keatas, karena tahu rumah itu terkadang terasa sangat sepi padahal banyak anak” yang nongkrong. Ia memutar akal, menerka” apa yang barusan saja menetes di kepalanya. Dia berfikir bahwa tidak mungkin ada pipa diatas ataupun cucian jemuran diatas. Tanpa sadar dia meraba kepalanya,

terasa dingin seperti air dingin di lemari es. Dia berusaha mencium, wangi. Aku tak tahu wangi seperti apa, Daus hanya bercerita seperti itu. Saat dia mencium air yang menetes tersebut, seketika suara wanita setengah baya menangis sesegukan. Dia langsung lari ke kamar Huda dan suara itu berubah menjadi ketawa cekikikan dan yang lainpun mendengarnya walaupun semua berada di kamar Huda. Belum lagi terkadang gallon yang melayang penuh dengan isinya. Dan terlempar. Saat Daus menceritakan hal tersebut aku melihat bayangan putih terbang ke lantai dua. Hal itu mengantarku safari batin dan aku menyadari bahwa ada satu keluarga gaib yang menempati lantai dua.


Adanya makhluk-makhluk yang tinggal di rumah Bang Yung seakan membuat aku penasaran apa saja yang terjadi di rumah ini. Bang Yung sosok yang menyenangkan, humoris dan banyak sekali beradu pendapat tentang apa yang dia rasakan di rumah tersebut terkadang juga menanyakan apa yang ada di rumah ini. Lantai 2, yaa lantai dua sepertinya menjadi misteri buatku. Tak sampai hati untuk melihat, tak mau juga untuk menaiki tangga tersebut karena adanya sosok lebar nan gemuk menutupi tangga kedua. Perutnya yang membuat lipatan lemak dan pusar yang terlihat membuat aku jijik menatap makhluk tersebut. Andai aku bisa melukis dengan ahli, rasanya ingin aku tuangkan dalam lukisan makhluk apa saja yang pernah aku temui, karena mendeskripsikan dalam cerita dan kalian mencernanya sungguh berbeda dengan apa yang aku maksudkan. Sekalipun tidak pernah ada di dunia ini dan seperti cerita fiksi, terkadang cerita fiksipun berbeda dengan yang ada di dunia gaib.


Aku bertanya pada bang Yung, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini. Sejatinya rumah ini adalah peninggalan dari kakek Bang Yung. Aku tak tahu pasti kakek dar ibu atau dari ayahnya beliau. Yang pasti kebanyakan orang betawi asli punya jatah rumah dan tanah masing-masing di ibu kota. Apalagi, bang Yung dan Huda adalah keturunan H. Nawi. Nama jalan yang sangat terkenal akses menuju Pondok Indah Mall, apa lagi dengan sepenglihatanku disini sepertinya dulu adalah rawa dan sawah dengan rumah yang masih berjauh-jauhan sekitar 10 meteran. Mendengar penjelasanku tentang dulunya rumah ini, diapun berkata bahwa disini ada sumur yang tidak pernah kering di turunan dekat rumahnya yang sekarang adalah counter pulsa isi ulang. Aku memang melihat sumur yang di jaga di rumah itu. Dijaga oleh seorang pemuda berbadan cakap dan mengenakan pakaian adat dengan belangkon, sepertinya orang kejawen.


Bang Yung bercerita mengapa disini banyak sekali makhluk yang mengganggu, ternyata jawaban dari semuanya adalah harta. Ya, ada sanak saudara yang tidak terima keluarga Huda menempati rumah itu padahal itu sudah sah menjadi kepunyaan keluarga Huda. Tentang bola api yang dulu terkadang ada di atap rumah Huda, kuntilakan yang berada di depan rumah Huda sangat mengganggu. Suara-suara tertawa dan menangis tengah malam. Itu semua intens terjadi, saat ibu dari Huda masih ada di dunia ini. Ya, Huda bercerita bahwa ibunya pergi meninggalkannya karena sesuatu yang tidak wajar.


Rumah Hantu


Huda sangat menyayangi ibunya, saat sakit dia selalu menemani dirumah saat dia tidak ada jam mata kuliah. Sampai saat ada salah satu teman kita terjerumus dengan nikmatnya bintang 5 yang berpenghasilan kapal pesiar beserta mobil dengan yang platnya sama di foto. MLM. Huda pun berniat menyembuhkan ibunya dengan membeli produk kesehatan tersebut. Anak-anak patungan untuk mengurangi beban huda. Tapi nihil, ibunda Huda sudah berada disamping ilahi. Semoga arwah beliau tenang disana.

Huda bercerita, bahwa ibunya terkadang diganggu kuntilanak depan rumahnya. Terkadang histeris ketakutan dan berteriak sejadi-jadinya. Merasa tak tenang saat sakitnya.

Aku melihat kedepan, memang masih ada kuntilanak itu. Tepat di samping telepon umum bekas, dia mematung. Menunduk dengan kain yang lurus, lurus, lusuh dan beberapa noda-noda tanah.


Saat bercerita mengenai ibunya, Huda spontan bertanya.

“Mon, nyokap gue masih ada disini ngga coba lo liatin deh”

Aku mencoba membuka mata batin menjadi lebih tajam. Lebih tajam lagi, dan lebih tajam lagi.

Nampak seorang wanita dengan rambut pendek, ada uban di bagian-bagian tertentu. Tidak semua rambutnya putih. Bahu yang agak menurun, terlihat muka yang ketakutan, was-was, seperti menunggu seseorang. Wanita yang baru pertama kali aku lihat karena biasanya aku hanya melihat sosok hitam tinggi di depan rumahnya. Kini ada ibu dengan perawakan tua, tangan mengepal dan dilekatkannya di dada. Gesture tubuh yang menunjukkan dia ingin melindungi diri, seperti kedinginan tapi beliau tidak menggigil.


Kontak batin, aku bertanya kepada wanita itu.

“Assalamualaikum, ibu siapa ?”

Perlu aku beritahu, saat aku melakukan kontak ini. Badanku berada bersama huda di dalam. Sedangkan diriku yang lain, mungkin jiwaku, berada di luar mengamati ibu itu.

“Assalamualaikum…. Bu…. Apa bisa denger saya ?”

Mungkin aku belum terlalu kuat untuk berkomunikasi, tapi harapan Huda bertemu dengan ibunya membuatku semakin keras mencoba berkomunikasi dengannya.

“Ibuuuu……” Aku sedikit menyentuh tangganya.

Saat ingin ku gapai tangannya, dia menggangkat kepalanya.. Melihat ke arahku, dan menggeleng sambil menyerngitkan alisnya.


Rumah Hantu


Tak bisa mendapatkan jawaban dari beliau, langsung aku bertanya kepada Huda.

“Da, nyokap lo rambutnya pendek sebahu ya ?”

“Iya mon, kok lo tau ?” Dari posisinya yang duduk, Huda sambil setengah berdiri menanggapi pertanyaanku.

“Ada ubannya dikit, tapi ngga banyak Cuma beberapa helai ya ?”

“Iya mon, iya” Huda mulai berkaca-kaca.

“Pake daster coklat bunga-bunga ?” Lanjutku, memastikan.

“Iya monnnn iya. Yaa Allaahhh itu baju terakhir waktu Almarhum meninggal mon.” Dia tersentak dan aku melihat air matanya banjir di pelupuk mata. Rasa rindu yang teramat sangat. Rasa memori yang terus-terusan berulang tentang Ibu. Seakan mengingatkannya kembali saat-saat pertemuan terakhir dengan ibunya.

“Nyokap gue dimana monnnn. Nyokap gue dimana. Kasih tau gue, gue mau ketemu”

“Itu Da, di luar”


Serempak semua keluar. Saat itu yang aku ingat, ada Huda, Bang Yung, Moller, Ka Frida (Kakak dari Huda), Ka Pipit (Kakak dari Huda), Moller dan Daus.

Disana aku berbicara dengan ragaku juga.

“Ibu, ini ada yang mau ketemu”

Tidak ada apa-apa. Bahkan angin malampun tak berhembus saat itu. Semua hening, menanti dan berharap sesuatu terjadi. Depan rumah Huda ada tembok dengan cat hijau, tersampir kain. Maaf, bukan kain. Mungkin bisa dibilang perlak bayi yang berwarna merah dengan baliknya hitam.

“LO GA USAH BOHONG MON ! MANA NYOKAP GUEEE ??” Aku tersentak mendengar Huda berbicara seperti itu.

“Itu di situ daaa.” Sambil menunjuk, aku membela diri.

Aku bingung, bagaimana aku menjelaskannya. Aku teringat, bagaimana jika aku dikucilkan kembali dengan hal yang sama. Hal yang seperti ini.

Semua menunggu, ka Pipit menenangkan Huda. Secara tiba-tiba perlak itu terangkat seperti di sibakkan. Tidak mungkin angin berhembus. Dan jikalau ada angin yang menerbangkannya, perlak tebal itu tidak bisa hanya terkibas oleh hembusan angin.

“Tuhh kannn apa gue bilang.”

“ Itu nyokap lo da.”

“Maahhhh ini Huda mahhh.” Suara parau keluar dari mulutnya.

Ka Pipit, Bang Yung, Ka Frida, berlinangan air mata.

“Mon, nyokap gue ngomong ga ? Tanyain dong dia apa kabar” Huda menambahkan pembicaraan dengan suaranya yang parau dan makin parau.

Aku berkomunikasi dengan beliau.

“Da, kata nyokap lo. Jangan suka berantem. Kuliah yang bener. Mamah sayang sama kalian. Mamah mau liat Bapak.”

Semua terdiam sejenak. Aku berinisiatif untuk mengirimkan beliau alfatihah.

“Alfatihah khususon *********** binti ********* Alfatihah….”

Semua khusyuk dengan hafalan masing-masing.

“Makasih yaa mon”

“Iyaa da, sama-sama. Gue seneng bisa bantuin lo. Lo yang sabar yaa.”

“Iyaa, bakal gue inget pesen nyokap. Dia bilang, kuliah yang bener. Waktu nyokap ga ada, emang gue masih kuliah mon. Sekarang, lo tau sendiri keadaan gue.”

“Iya da, gue paham.”


Rumah Hantu


Kami semua masuk kedalam dan kembali bercerita-cerita hingga pukul 2 pagi. Mengantuk, aku pun pamit pulang. Yang lain menginap seperti biasa di rumah Huda.


Tante, apa kabar disana ? Tante udah tenang kan ? Sekarang ka Frida udah kerja, Ka Mega (kakak Huda) udh nikah dan punya rumah sendiri. Bang Yung udah lumayan jualannya, kadang suka main ke tempat ka Mega. Huda, dia makin gila tanteeeeeee wkwkkwk.


Buku Lainnya


Komentar :