Kembali ke 12 tahun yang lalu di tahun 2004, di mana saat bencana itu dimulai. Waktu itu aku masih bersekolah di sekolah dasar. Aku tinggal salah satu desa di Kabupaten Madiun. Waktu dulu rumah belum banyak seperti sekarang. Yang namanya ke masjid, ngaji, pengajian, aku paling senang pulang sampai malam. Di waktu itu aku masih kelas 3 SD, aku diajak oleh guru ngajiku untuk melihat pengajian di kampung sebelah. Aku janjian dengan Beliau di depan masjid sesudah sholat Magrib .
“Edi, mari kita berangkat melihat pengajian,”ajak guru ngajiku?“Iya Pak. Kita berangkat naik sepeda atau jalan kaki, Pak?” tanyaku?“Ya naik sepeda, masa jalan kaki keburu selesai nanti.”
Aku pun dibonceng oleh Beliau. Sekitar 20 menit kemudian sampailah kami di tempat pengajian yang dimaksud.
“Sudah sampai, ayo turun,” ucap beliau.
“Oh, iya pak. Tapi kok semuanya pakai pakaian putih ya pak? Cuma aku saja yang beda.” Apa gak apa-apa pak?” tanyaku heran dengan orang orang yang ada di pengajian.?“Udah gak papa kok. Ayo kita masuk.”
Aku langsung ikut masuk ke dalam tempat pengajian. Di dalam udaranya sejuk nyaman sekali. Betah rasanya duduk berlama-lama di sini, padahal aku paling tidak suka duduk berlama-lama. Satu jam berlalu hingga pengajian selesai, aku masih belum menyadari kalau orang-orang cepat sekali pulang, hanya menyisakan aku, Guru ngaji, dan Guru Besar yang tadi memberi ceramah. Aku dipanggil oleh Guru Besar.
“Sini nak, mari mendekat sama Abah.”?“Iya, Abah Guru.” Aku mendekat ke pada abah guru dengan duduk di depannya.?“Jangan takut sama saya, nama asli saya adalah *** (di sini akan aku tuliskan sebagai ‘Guru Besar’ saja). Sini saya mau titipkan sesuatu harta yang mungkin di kemudian hari akan kamu butuhkan, nak. Abah Guru percaya kalau suatu saat nanti kamu akan menolong banyak orang. Kamu pasti akan membutuhkan harta ini jika kamu ingin menolong orang-orang yang kamu sayangi.”
Saat itu aku masih tidak menyadari apa yang Abah Guru ucapkan, aku pun hanya mengiyakan aja. Lalu tangan Guru Besar, tangan Guruku, dan tangan kedua asisten Guru Besar diletakkan di atas kepalaku. Saat tangan mereka ada di atas kepala, tiba tiba semua mendadak kosong. Aku tidak tahu kenapa, ketika sadar aku sudah berada di dalam masjid dan jam menunjukkan pukul 20.00. Kalau dipikir-pikir aku berangkat pengajian pukul 18.15, waktu tempuh ke pengajian 20 menit, dan pengajian berlangsung sekitar 1 jam, terus kejadian mengobrol dengan Guru Besar sekitar 30 menit.
Setelah terbangun di masjid, aku pun langsung pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang ke rumah aku melewati pemakaman desa, karena di depan masjid ada makam desa, mau tidak mau aku harus melewati pemakaman ini. Karena jika harus memutar akan sangat jauh. Begitu lewat, aku sempat menengok ke arah makam di tengah makam terdapat sebuah cahaya bulat berwarna biru, putih, dan hijau. Aku tidak tau itu apa dan terus saja melanjutkan perjalanan sampai di rumah. Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan tidur. Hingga aku bermimpi sesuatu yang sangat mengerikan .
Saat masuk SD usiaku baru 5 tahun. Sehabis pulang sekolah aku sudah mempunyai kebiasaan bermain ke rumah teman yang berbeda desa. Jarak desaku dengan desa mereka kira-kira 15 menit dengan sepeda. Aku dengan temanku bermain layang-layang di punden desa, yang biasanya digunakan orang-orang untuk merayakan hari bersih desa setahun sekali. Selesai bermain dari punden aku pun pulang ke rumah. Sesampaiku di rumah aku makan lalu mandi. Namun malamnya aku jatuh sakit. Suhu badanku sangat tinggi. Selama dua hari aku terbaring di tempat tidur. Dua hari pun berlalu dan aku sudah bisa menjalankan aktifitas seperti biasa. Pagi masuk sekolah dan selesai sekolah main sampai sore. Saat sudah hampir magrib, aku masih di jalan desa yaitu di sebuah gereja. Aku lewati gereja itu, namun entah mengapa rasanya ingin sekali menengok ke atas atap gereja. Dan tiba tiba aku melihat sesosok wanita mengenakan pakaian yang seluruhnya putih dan berambut panjang. Saat melihat wajahnya, senyumnya sungguh mengerikan. Sontak saja aku langsung tancap gas ngebut sambil teriak-teriak dan menangis. Sesampainya aku di sebuah warung, aku pun berhenti lalu ditolong oleh pemilik warung tersebut.
“Kenapa kok nangis dan teriak-teriak, nak?”?“Itu di atas atap gereja ada perempuan duduk bajunya putih, wajahnya rusak, aku takut, Bu,” ucapku sambil sesegukan?“Ya sudah, ayo aku antar ke rumahmu”
Itulah awal di mana mata ketigaku terbuka dan satu persatu kemampuan itu muncul. Sesampainya aku di rumah, aku ceritakan pada ayahku. Dan ayahku cuma mengiyakan saja, hanya mengatakan, “Mungkin kamu salah lihat, nak.” Salah lihat bagaimana?! Jelas seperti itu masih dibilang salah lihat! Akhirnya besok pagi aku dibawa ke rumah seorang ustad di daerah Caruban. Saat sampai di rumah ustad tersebut aku merasakan suasana sejuk dan nyaman di dalam rumah itu. Dan dimulailah pembicaraan kami.
“Mbah, kenapa ya anakku kok bisa melihat kuntilanak?”?“Sebentar, aku lihat dulu, ya. Nak, coba ini namanya apa? saat itu ustad tersebut mengeluarkan sebuah keris dari dalam sarungnya.?“Keris, Mbah.”?“Nak sekarang pejamkan matamu terus lihat di dalam keris ini ada apa?”?“Lah gimana to Mbah pejamkan mata tapi disuruh liat keris ‘kan gak bisa, Mbah?!”?“Aduh …… maksud Mbah pejamkan matamu, kosongkan pikiran jangan mikir apa pun. Terus apa yg kamu lihat bilang sama mbah, ya?”?“Iya mbah.” Aku pun memejamkan mata dan tanpa sadar nampak sebuah gambaran. Ya itu sesuatu.“Itu Mbah, ada kucing warnanya abu-abu.”?“Oh ya sudah, nak, sekarang kamu boleh buka matamu.” Saat membuka mata kulihat seekor kucing berwarna abu-abu berdiri di atas kursi sebelah ustad.
Bocah Indigo Dan Hantu Macan
“Eh, Mbah. Ada kucing abu-abu di depanku,” batinku senang. Tapi Ayahku kelihatan seperti sedang memperhatikan sesuatu di atas kursi di depanku.
“Mbah, masa ada kucing tapi aku kok gak liat, ya?” tanya ayahku?“Kamu gak bisa liat karena itu khadam yang ada di dalam kerisku ini.”?“Nak, sudah pernah ngeliat macan belum.”?“Belum, Mbah. Cuma pernah liat gambar yang digambar sama ibu guru di sekolah.”?“Ini saya kasih liat macannya.”
Langsung saja kucing abu-abu yang tadinya kecil, tiba-tiba langsung tumbuh menjadi besar. Sontak aku kaget dan berlari ke belakang ayahku. “Hiii... Ada macan besar, yah. Gimana nanti kalau kita dimakan!?”?“Hahahah … enggak nak, macannya engga makan kamu, kok.”?“Masak toh, Mbah? Ah nanti aku duduk diterkam sama macannya.”?“Enggak-enggak … lihat ini mbah elus elus” bersama sang ustad kepala macan tersebut dielus-elus.
“Mau coba, nak? Enak kok?!”?“Coba Mbah kayak apa rasanya”Terus aku mendekati macan tersebut dan membelai kepala macan itu.
“Eh iya mbah rasanya enak. Kalau aku bawa pulang macannya engga makan aku kan mbah? Jadi nanti aku kasih makan ayam di rumah”?“Hahahaha …… ya nanti kalau sudah besar kamu bawa ya?!”?“Hore!” sontak aku senang sekali.?“Bagaimana anakku, Mbah?”?“Hmpp … matanya sudah kebuka.”?“Bisa ditutup enggak Mbah? Anakku dan aku takut akan hal ini.”?“Sebentar, ya. Aku siapkan dulu.” Ustad pergi ke belakang mengambil sebuah gelas yang berisikan air putih.
“Nak, ini minumlah. Kamu haus gak?”?“Iya Mbah, haus nih. Aaku minum dulu.”
Air putih di gelas pun aku habiskan. Setelah habis minum air putih. Macannya hilang. “Lha kok macannya hilang, Mbah?”?“Iya, Nak, macannya tidur.”
Setelah basa-basi, Aku dan ayah pun pulang ke rumah. Jika mengingat kenangan masa kecil dulu aku senyum senyum sendiri. Karena kemampuanku sudah hilang aku menjadi takut dengan mereka, karena aku tidak bisa melawan mereka seperti setahun yang lalu. Jika setahun yang lalu dengan mudah aku memusnahkan mereka dengan ajian yang aku miliki. Kini jika mereka datang menakutiku aku hanya bisa memejamkan mata sambil membaca surat-surat pendek .
0 $type={blogger}: